Menghilangkan Kekerasan Guru Pada Siswa (banjarmasin Post)

  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Menghilangkan Kekerasan Guru Pada Siswa (banjarmasin Post) as PDF for free.

More details

  • Words: 856
  • Pages: 3
Menghilangkan Kekerasan Guru pada Siswa Abdul Halim Rahmat* Kekerasan bukanlah hal yang aneh dan luar biasa di negeri ini, karena terjadi hampir di setiap tempat baik di rumah, masyarakat maupun sekolah. Di media elektronik dan cetak, hampir setiap hari kita disuguhi berita tentang kekerasan mulai dari pembunuhan, penganiayaan, pemukulan, pelecahan dan sebagainya. Kekerasan (violence) berasal dari gabungan kata vis (daya, kekuatan) dan latus (membawa). Menurut KUBI, kekerasan adalah sifat atau hal yang keras; kekuatan, paksaan (desakan atau tekanan yang keras). Kekerasan dapat kita artikan tindakan yang mendasarkan diri pada kekuatan (penghancuran, perusakan, keras, kasar, kejam, ganas) untuk memaksa pihak lain tanpa setuju. Dalam dunia pendidikan di Indonesia, aksi kekerasan juga sering terjadi. Dari beberapa kasus kekerasan yang melibatkan guru diantaranya adalah Kasus SMPN 3 Babelan Bekasi, 3 orang siswa dipukul oleh teman-temannya atas perintah gurunya karena tidak memakai Badge sekolah (Supriadi, 31/5/2007). Terakhir, yang masih menjadi berita hangat adalah kasus pemukulan guru pada beberapa siswa SMK di Gorontalo serta kasus pemukulan yang sama di SMA Kristen Palangkaraya yang terekam dalam kamera Handpone. (B.Post, 17/12/2008). Ini hanyalah beberapa kasus yang terungkap di media massa, belum lagi yang tidak terungkap. Berarti kekerasan terhadap anak bisa terjadi dimana saja, termasuk di lingkungan lembaga pendidikan, tempat yang selama ini dianggap aman dan terbaik bagi anak. Hasil penelitian UNICEF di Jawa Tengah, Sulawesi Selatan dan Sumatera Utara tahun 2006 menunjukkan bahwa kekerasan terhadap anak sebagian besar (80 persen) dilakukan oleh guru. Selain itu, hasil penelitian tersebut memberikan kesadaran kepada kita bahwa kekerasan ada anak tidak hanya berupa kekerasan fisik, namun bisa berupa kekerasan non fisik, seperti pemberian tugas berlebihan, memberi target prestasi terlalu tinggi, hingga memaksa anak melakukan sesuatu diluar minatnya (JP, 21 November 2007). Hasil penelitian lain… juga menunjukkan hal yag sam. Hasil penelitian Philip juga demikian, bahwa di Indonesia cukup banyak guru yang menilai cara kekerasan masih efektif untuk mengendalikan siswa. Akibatnya adalah terjadi trumatis psikologis, dendam yang mendalam, makin kebal hukuman, dan cenderung akan melampiaskan kemarahan dan agresif terhadap siswa lain yang dianggap lemah (Philip, 2007) Hal ini mengindikasikan bahwa di lingkungan sekolah, guru menjadi unsur penting dalam tindak kekerasan yang bisa berdampak serius bagi anak didik. Kekerasan oleh guru pada siswa disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya adalah ; Pertama, kurangnya pengetahuan guru bahwa kekerasan itu tidak efektif untuk memotivasi siswa atau merubah tingkah laku. Selama ini kekerasan dilakukan guru dengan dalih untuk mendisiplinkan siswa, justru kekerasan akan mengakibatkan hal-hal yang akan berdampak bagi masa depan anak baik dari perkembangan, pertumbuhan dan kepribadiannya. Akibat kekerasan akan membuat perilaku anak menjadi tidak konsisten yakni “patuh di depan dan berani di belakang guru”. Kedua, adanya persepsi yang parsial menilai siswa. Misalnya, ketika siswa melanggar, bukan sebatas menangani, tetapi seharusnya mencari tahu apa yang melandasi tindakan itu. Ketiga, adanya hambatan psikologis, sehingga dalam menangani masalah guru lebih sensitif dan reaktif. Keempat, adanya tekanan kerja; adanya target (standarisasi) yang harus dipenuhi guru seperti kurikulum, materi, prestasi yang harus dicapai siswa. Kelima, pola yang dianut adalah mengedepankan kepatuhan dan ketaatan pada siswa, mengajar satu arah (dari guru

ke murid). Keenam, muatan kurikulum yang menekankan pada kemampuan kognitif dan cenderung mengabaikan kemampuan afektif, sehingga guru dalam mengajar cenderung suasananya kering, stressful dan tidak menarik, padahal mereka dituntut untuk mencetak siswasiswa yang berprestasi. Ketujuh, adanya tekanan ekonomi pada guru yang akhirnya menjelma menjadi bentuk kepribadian yang tidak stabil, seperti berfikir pendek, emosional, mudah goyah, ketika merealisasikan rencana-rencana yang sulit diwujudkan. Karena itu solusi yang bisa ditawarkan untuk menghentikan kekerasan ini adalah; pertama, guru dan semua warga sekolah membuat kesepakatan untuk menerapkan pendidikan tanpa kekerasan di sekolah. Kedua, mendorong dan mengembangkan humanisasi pendidikan dengan menyatupadukan kesadaran hati dan pikiran, membutuhkan keterlibatan mental dan tindakan sekaligus, serta mengembangkan suasana belajar yang meriah, gembira, dengan memadukan potensi fisik dan psikis menjadi suatu kekuatan yang integral. Ketiga, lebih mengedepankan penghargaan dari pada hukuman. Keempat, terus menerus membekali guru untuk menambah wawasan pengetahuan, kesempatan, pengalaman baru untuk mengembangkan kreativitas mereka. Kelima, adanya konseling, tidak hanya siswa yang membutuhkan bimbingan, tetapi juga guru. Sebab guru juga mengalami masa sulit yang membutuhkan dukungan, penguatan dan bimbingan untuk menemukan jalan keluar yang terbaik.. Keenam, Segera memberikan pertolongan bagi siapa pun juga yang mengalami tindakan kekerasan di sekolah, dan menindaklanjuti serta mencari solusi alternatif yang terbaik. Sehingga kekerasan tidak menjadi hal yang “biasa dan lumrah” tetapi menjadi suatu tindakan yang harus mendapat perhatian serius. Bagi guru, perlu direnungkan apa yang diajarkan Dorothy Law Nolte ini: Jika anak dibesarkan dengan celaan, maka ia belajar memaki. Jika anak dibesarkan dengan permusuhan, maka ia belajar berkelahi. Jika anak dibesarkan dengan hinaan, maka ia belajar menyesali diri. Jika anak dibesarkan dengan dorongan, maka ia belajar percaya diri. Jika anak dibesarkan dengan toleransi, maka ia belajar menaruh kepercayaan. Jika anak dibesarkan dengan sebaik-baik perlakuan, maka ia beajar berlaku adil. Jika anak dibesarkan dengan kasih sayang dan persahabatan, maka ia menemukan cinta dalam kehidupan. Begitulah anak selalu belajar dalam kehidupannya. *Penulis adalah Guru SMA Negeri 7 Banjarmasin Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional e-mail : [email protected]

Nama No. KTP Alamat E-Mail Handphone No.rekening

: Abdul Halim Rahmat : 16.0105.170876.0006 : Jl. Irigasi Kayu Bawang RT.04 Kec. Gambut Kab. Banjar 70652 : [email protected] : 0511-7754484 : BNI Banjarmasin 0161042254 a.n. Abdul Halim Rahmat

Related Documents