Menanti Pagi di Kantor Polisi Pada awal tahun kelima, aku kembali ke Polsek untuk urusan lain. Jadi, bukan meminta perlindungan dari kepolisian. Dari bagian depan bangunan Polsek, tampaklah jelas sebaris pohon leci tua, ratusan tahun, berdaun rimbun, berwarna kelam. Tampaklah juga semaksemak gelagah dekat kuburan Cina. Aku sepertinya tengah melihat setiap senja yang meneteskan kabut-kabutnya bersama gerimis, menyerap warna-warna abu bunga gelagah. Selaku “tahanan adat”, masa hukumanku memasuki tahun terakhir (vonis yang aku terima lima tahun masa pembuangan). Di Polsek ini aku mengenang kembali bagian senja yang paling pahit itu. “Ada apa?” Sapa seorang petugas piket, yang berdiri di bawah televisi, digantung di dinding. Pasti dia tahu, kecemasan yang tampak di mukaku. Aku berusaha tenang. “Pak, saya membutuhkan perlindungan.” Tak menunggu lama, aku telah dikerubuti oleh lima petugas jaga. Mereka semua ingin tahu apa yang terjadi. Tanpa diminta dan aku tidak menunggu pertanyaan dari salah seorang petugas jaga, aku pun berkata lagi, “Saya tengah dalam masalah di desa. Tadi saya menerima telepon, saya mesti ke Tanah Lembaga. Di bale banjarnya, massa telah menunggu saya sejak tadi sore, menantikan pertangunggjawaban saya, soal novel yang saya 1
tulis, yang menurut mereka melecehkan adat. Saya tidak yakin, saya bisa selamat. Walaupun petugas keamaan Tanah Lembaga (pecalang) berjanji akan menjamin keamanan saya, bagaimana saya bisa percaya karena pastilah mereka lebih menyalahkan saya juga. Jadi, tiada berguna melindungi orang yang dituduh bersalah?” “Bapak, tunggu di sini, kami akan mengecek situasi di lapangan dulu.” Kata salah seorang petugas. Aku lihat, dalam waktu singkat, polisi-polisi meluncur ke Tanah Lembaga. Menit-menit berikutnya, aku mendengar pembicaraanpembicaraan mereka lewat pesawat HT. Aku tahu, situasi sedang panas dan gawat di Tanah Lembaga. Massa telah dikondisikan untuk satu gerakan. Menjelang pukul 21.00 WITA, aku menuju rumah di Tanah Lembaga. Rumah ini jadi saksi kelahiranku. Dindingnya pernah merekam segala kenakalan serta imajinasi anak desa, yang bersahabat musim atau dingin jalan setapak perkebunan kopi. Aku tidak kuasa menatap wajah bunda. Dia berusaha menyimpan jauh kecemasannya. Aku adalah penyebab semua ini. Biasanya aku pulang dengan cerita dari pengalamanku di kota, berkisah tentang perjalanan naik pesawat terbang ke suatu kota, tentang orang-orang yang kujumpai, berdiskusi tentang rencana, hingga menjelang pagi. Tapi malam ini bukan itu yang terjadi. Aku datang dengan kecemasan untuk bunda, bapak, adik-adikku. Kepada mereka, yang paling kucintai untuk hidupku dan hidup mereka, aku rasa amat bersalah. “Ini adalah
2
yang tidak kuharapkan, terjadi karena sesuatu yang tidak aku ketahui dengan pasti, oleh kekuatan massa di Tanah Lembaga.” Pikirku. Malam ini aku dikitari semua keluarga dekat. Malam ini kami tengah menunggu panggilan atau jemputan dari bale banjar. Gerimis turun halus, cukup intens namun tidak sampai menyimpan suaranya di atap seng rumah kami. Penjemput pun tiba. Aku dibonceng oleh seorang pecalang, menuju bale banjar. Bapak mengikuti aku dari belakang dengan berjalan kaki, melewati gang, menembus dingin dan gerimis, tanpa jaket dan payung. Empat tahun kemudian, bapak mengisahkan perasaannya kepadaku, bahwa malam ini, aku senasib dengan orang yang dicap PKI (pada 1965), yang digiring ke atas truk, lalu diekskusi di tengah malam, tanpa nyanyian serangga, pada sekian ayunan dan tebasan kelewang, mungkin beberapa kali tembakan jarak dekat, atau gilasan roda jeep willis. Mendengar pengakuan seperti itu, aku hanya bersikap tenang. Terus terang, aku pun tidak sadar dengan apa yang aku alami malam itu. Bagi sebuah keluarga kecil yang miskin (dengan sedikit petak sawah, kebun kopi, rumah sederhana, tanah pekarangan di bawah satu are), perlakukan mobilisasi massa Tanah Lembaga, aku kira sangat berlebihan. Apa alasan sebenarnya untuk semua ini, yang ujungnya, Natal 2003 (vonis menuju pembuangan secara adat), aku dan keluargaku sama sekali tidak tahu. Sistem adat di Bali tidak memberi ruang bicara kepada individu. Adat hanyalah kebersamaan dan
3
dominasi besar, yang angkuh namun memiliki legitimasi. Dominasi itulah harus kami bayar mahal dengan leburnya atau hilangnya semua yang individual. Pada kasusku di Tanah Lembaga, jangan bertanya harga individu. Hal itu tidak ada. Yang ada adalah suara bersama. Ya, jika suara itu benar? Tetapi sering juga suara bersama itu hanya akumulasi emosional massa, yang termobilisasi dan terprovokasi. Malam ini di bale banjar Tanah Lembaga, aku tidak boleh memiliki suaraku. Aku adalah lawan massa. Aku adalah “santapan” bersama. Ini aku rasakan, adat di Bali sangat kanibal. Aku adalah sekerat daging, yang jatuh ke sungai, di dalamnya gerombolan viranha yang kelaparan menanti. Sama sekali hal ini bukan dramatisasi tetapi hal inilah yang kurasakan. Tapi, aku menyimpannya jauh, seolah aku tidak percaya apa yang kurasakan. Mungkin menjadi pilihanku yang paling tepat untuk tetap bisa bertahan, walau sebatas horison kesadaran. Di tengah waktu yang sedikit, aku berkata-kata. Aku menjelaskan maksud dan apa sebenarnya yang tengah terjadi atas tulisanku, mengapa kini bisa menimbulkan gerakan massa di Tanah Lembaga. Di tengah sikap komunalistik seperti ini, Tanah Lembaga tidak perlu adanya penjelasan. Mereka memenuhi telinga dengan sorakan-sorakan besar. Pembicaraanku hanya formalitas bagi massa Tanah Lembaga. Inilah juga yang terjadi, di forum lebih besar Tanah Lembaga, pada Natal 2003.
4
“Yang terpenting, aku telah menyampaikan satu kejujuran. Mungkin kejujuran yang salah, mungkin kejujuran yang tidak mereka mau. Soal didengar atau ditampik, bukan tugasku.” Kata-kata itu mengendap di hatiku. Pertemuan ini selesai tanpa keputusan apa. Sebaliknya, massa semakin marah. Ibarat pertunjukan drama, malam ini di bale banjar, lakon tengah bergerak ke puncak. Sangat menegangkan, mencekam, penuh ancaman, rasa benci yang dibangun di seluruh desa, provokasi terus dilakukan pada hari-hari menuju Natal 2003 agar lakon tidak padam di tengah jalan. “Pak, rasanya saya tidak aman malam ini berada di Tanah Lembaga.” Kataku kepada Kapolsek. Dia mengerti situasi dan tahu apa yang terbaik buatku. “Ya, demi amannya, Bapak ikut saja ke kantor.” Aku menumpang mobil kijang merah. Sesampai di Polsek, para polisi jaga berkisah satu sama lain, soal apa yang baru saja terjadi di bale banjar Tanah Lembaga. Mereka pada umumnya heran, mengapa demikian cara memecahkan masalah? Mendengar diskusi-diskusi mereka aku lebih baik diam. Walaupun pembicaraan mereka banyak berpihak ke diriku, aku sama sekali tidak merasa terbela. Hal ini tidak mungkin terjadi. Hukuman adat tidak membutuhkan pembela. Massa akan memvonis siapa saja atas tuduhan kesalahan, yang tidak perlu waktu dan cara-cara untuk membuktikan. Pembelaan dan pembuktian
5
tidak perlu dalam hukuman adat. Semuanya hanya berjalan dalam lakon mendekati tragedy atau tragedi itu sendiri. Yang aku butuhkan dari Polsek adalah perlindungan secara fisik. “Bapak tidur saja di sini.” Kata bapak Kapolsek. “Terima kasih Pak”. Apakah ini jalan hidup? Siapa sangka, pada suatu malam, aku tidur di sofa ruang kerja seorang Kapolsek, dalam gelisah dan rasa cemas, tanpa mimpi indah? Memang aku sanggup memejamkan mata tetapi aku tetap terjaga. Aku akan ke Singaraja, dini hari. Aku lemas namun aku tetap menguatkan diri dengan segala keyakinan terhadap diriku. (Bagaimana kecemasan bunda? Kelak juga aku baru tahu, buda sangat cemas, kecemasan yang paling aneh semasa ia hidup di Tanah Lembaga. Ketika aku menjemput istriku ke Jawa, betapa cemasnya bunda, “Jangan-jangan anakku bunuh diri, menceburkan diri ke laut dari very yang sedang melintasi selat itu, yang ia tumpangi?” Terhadap ini, aku tidak memiliki air mata bagi tangisku pada kecemasan bunda.) Di sinilah logika banyak membantu diriku untuk tetap bisa sadar apa yang tengah terjadi atas diriku di Tanah Lembaga. Aku menyadari dominasi yang mengancam. Aku sadari kesendirian di tengah tuduhantuduhan dan segala konstruksi kebencian. Aku sadari, hal paling buruk pasti akan terjadi atas diriku, yaitu “deportasi”. Hanya menunggu hitungan hari. Tidak bisa ditawar. Kelak, aku tahu, setelah malam ini di bale banjar Tanah Lembaga,
6
ketika aku menumpang kijang merah Kapolsek, menuju kantor di kecamatan, aku dikatakan telah disel. Ini pandangan orang-orang Tanah Lembaga. Di awal tahun kelima, aku kembali ke kantor Polsek, namun aku tidak berjumpa dengan bapak Kapolsek, yang empat tahun lalu, memberiku perlindungan atas nama aku sebagai warga negara republik ini. Barisan pohon leci tetap ada. Beberapa burung menyelinap ke rimbun ranting dan daun-daunnya. Gelagah di kuburan Cina sedikit lebih cerah warnanya.
7