Menangguk 07.Jan.2008
Untung
dari
Kesenjangan
Digital
Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) menilai tarif telpon dan SMS di Indonesia sebagai yang paling mahal di Asia Tenggara. Menurut banyak kalangan, mahalnya tarif telpon ini tidak semata alasan hitungan teknis dan bisnis, tapi lebih karena “kesepakatan bisnis” para operator. Untuk itu, tersiar dugaan Telkomsel, Indosat dan XL, tiga operator telepon selular yang cukup besar telah melakukan kartel. Dugaan ini kemudian melebar kepada Hutchison (operator three) dan Natrindo juga disebut terlibat dalam kartel bisnis ini. Sarana komunikasi, jalan raya, toilet umum, dan angkutan umum misalnya, merupakan sarana publik. Sebagai sarana milik publik dan jelas dekat dengan cita-cita dan tujuan pemerataan kesejahteraan—sebagaimana dicita-citakan dan menjadi tujuan utama berdirinya sebuah organisasi bernama “negara”—seharusnya semakin hari semakin murah. Dan apabila mungkin terus bergerak menjadi gratis. Namun sayang perkembangannya di Indonesia, bukan hanya biaya pemilihan umum, pilkada, dan honor anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang terus meningkat dan melonjak melebihi standar kesejahteraan umum, berbagai sarana dan bisnis yang jelas berhubungan langsung dengan publik dan cita-cita kesejahteraan publik, terus saja menunjukkan tren yang semakin mahal. Mungkin biaya telepon nyaris sama dengan biaya pendidikan. Seiring sejalan dengan biaya tol. Sebangun dengan harga sembako yang terkadang bisa turun, namun jauh lebih sering menjadi lebih mahal. Kendati demikian, tren pengguna telepon selular sepertinya terus saja meningkat pesat. Para operator baru pun semakin banyak bermunculan. Pun dengan inovasi teknologi telekomunikasi. Inovasinya sebenarnya semakin membuka ruang bagi siapapun akan akses informasi, semakin dekat berhubungan dengan orang atau kelompok yang dituju, serta semakin mempercepat tiadanya batas penghalang untuk menjalin komunikasi. Hanya saja itu semua masih butuh biaya. Dan biayanya teramat sangat mahal. Memang tak ada yang gratisan di dunia ini, apalagi masyarakat kota-kota besar. Cuma masalahnya biaya komunikasi ini memang terlalu mahal. Akhirnya, sebagaimana yang terjadi dengan pendidikan, kita mungkin akhirnya harus percaya dengan keniscayaan bahwa hanya mereka yang ”berduit”, hanya mereka yang kaya, yang mampu mengakses berbagai fasilitas yang sebenarnya milik dan demi kepentingan publik. Dalam ide CSR yang substansial dan sesuai dengan bisnis inti, bisnis telekomunikasi sebenarnya sangat bertanggung jawab untuk menjadi ”jembatan” atas kesenjangan digital. Bagaimana pun kebutuhan komunikasi dan akses terhadap informasi dirasakan oleh seluruh—bukan sebagian saja—publik. Dengan kemajuan teknologi komunikasi, serta semakin mungkinnya alat telekomunikasi diproduksi menjadi produk massal, seharusnya bisnis telekomunikasi sudah semakin murah dan dapat dijangkau semua kalangan. Pun dengan penyediaan berbagai fasilitas demi kesejahteraan dan kemajuan publik, seperti fasilitas wifi gratis yang masih jarang dan amat langka
ditemukan di arena publik. Kalau pun ada kembali semuanya hanya bisa diakses oleh mereka yang berkantung relatif tebal. Hanya mereka yang bisa membiayai harga nongkrong di cafe-cafe sambil menjinjing laptop—yang juga harganya masih mahal— yang bisa mengakses layanan ”milik publik” itu. Jadi, alih-alih menjembatani kesenjangan digital, yang dilakukan kepabanyak perusahaan telekomunikasi malahan memperlebar kesenjangan itu. Bagaimana pun praktik kartel terjadi karena dua sisi: Pertama, kepentingan bisnis itu sendiri. Sudah menjadi cita-cita dan tujuan kaum pebisnis bahwa jika ada kesempatan mengeluarkan modal dan memeroleh keuntungan semaksimal mungkin, pasti kesempatan itu tak akan pernah mereka sia-siakan. Termasuk di dalamnya bergabung dengan para pebisnis lain demi meraih keuntungan besar secara efektif dan efesien. Kedua, lemahnya kontrol terhadap praktik monopoli, persaingan tidak sehat, dan kepentingan konsumen. Dan biasanya kelompok bisnis hanya akan bereaksi jika sudah ada letupan kontrol dan protes baik dari konsumen maupun dari negara. Sifat reaksioner dan ketidaksediaan mengambil inisiatif dan pro-aktif menjalankan bisnis secara bertanggung jawab dan nyaris tiadanya kontrol terutama dari negara, jelas merugikan konsumen. Sekali lagi, sebagaimana pendidikan, pemerataan dan pelayanan kebutuhan komunikasi dan akses informasi terus menjadi semakin senjang. Dikhawatirkan, kesenjangan itu malah berubah menjadi jurang yang tak lagi bisa terjembatani. Padahal, kesenjangan digital itu akan terejawantah dalam semakin parahnya kesenjangan ekonomi. Pelaku bisnis, pemangku kekuasaan negara, dan berbagai kelompok minoritas dengan kekuasaan dan kekayaan yang jauh lebih tinggi dari kaum majoritas, tampaknya harus siap-siap dengan kecepatan eksalasi dampak dan konflik sosial yang mungkin sangat sulit diprediksi.