Membantah fitnah wahhaby 3-a : Allah ada tanpa tempat bukan di arsy/langit/arah atas Membantah fitnah wahhaby 3-a : Allah ada tanpa tempat bukan di arsy/langit/arah atas A. Daftar Pertanyaan menggugurkan aqidah tajsim wahhaby Pertanyaan-pertanyaan ini adalah untuk membantah aqidah sesat wahhaby, yang mana mereka hanya mengambil makna dhahir dari ayat dan hadits mutasyabihat sehingga mereka mensifatkan Allah dgn sifat makhluq. Pertanyaan ini akan terjawab jika membaca keseluruhan artikel ini. insyaAllah. 1. Apakah Tuhan wahaby SAKIT dan LUPA? apakah kalian masih bersikeras menggunakan makna dhahir pada ayat/hadist mutasyabihat ini ? - ”Nasuullaha fanasiahum” (QS Attaubah:67), Artinya : Mereka melupakan Allah maka Allah pun lupa dengan mereka (QS Attaubah:67), - ”Innaa nasiinaakum” (QS Assajadah 14). Dan juga diriwayatkan dalam hadtist Qudsiy bahwa Allah swt berfirman : ”Wahai Keturunan Adam, Aku sakit dan kau tak menjenguk Ku, maka berkatalah keturunan Adam : Wahai Allah, bagaimana aku menjenguk Mu sedangkan Engkau Rabbul ’Alamin?, maka Allah menjawab : Bukankah kau tahu hamba Ku fulan sakit dan kau tak mau menjenguknya?, tahukah engkau bila kau menjenguknya maka akan kau temui Aku disisinya?” (Shahih Muslim hadits no.2569) Artinya : (sungguh kami telah lupa pada kalian ( QS Assajadah 14). 2. Dalam hadits shahih muhakamat disebutkan bahwa Allah ada tanpa arah (atas atupun bawah), kenapa kalian mengingkarinya? Allah ada tanpa arah adalah aqidah shahih yang didukung oleh banyak ayat dan hadist muhkamat. Al Imam al Bayhaqi (W. 458 H) dalam kitabnya al Asma wa ashShifat, hlm. 506, mengatakan: “Sebagian sahabat kami dalam menafikan tempat bagi Allah mengambil dalil dari sabda Rasulullah shalllallahu ‘alayhi wa sallam:
1
Maknanya: “Engkau azh-Zhahir (yang segala sesuatu menunjukkan akan ada-Nya), tidak ada sesuatu di atas-Mu dan Engkaulah al Bathin (yang tidak dapat dibayangkan) tidak ada sesuatu di bawah-Mu” (H.R. Muslim dan lainnya). Jika tidak ada sesuatu di atas-Nya dan tidak ada sesuatu di bawah-Nya berarti Dia tidak bertempat”. 3. Manakah yang berjarak lebih dekat ke ‘arsy : seseorang dalam keadaan berdiri atau sujud? Wahhaby punya keyakinan bahwa Tuhan bersemayam di ‘arsy. Coba kalian pikirkan, manakah yang berjarak lebih dekat ke ‘arsy : seseorang dalam keadaan berdiri atau sujud? Sudah tentu berdiri lebih dekat ke ‘arsy. Jadi apabila kalian berpendapat bahwa Allah bersemayam di ‘arsy, maka dimanakah hadits yang mengatakan, “Paling dekatnya kedudukan seorang hamba dengan Tuhannya adalah apabila dia dalam keadaan sujud”. 4. Dimanakah Allah sebelum diciptakannya semua makhluq (Tempat, arah, arsy dsb) ? setelah Allah ciptakan semua makhluq (langit,arsy,arah,tempat dsb), dimanaallah? Apakah sifat dzat Allah berubah? Sebelum Allah ciptakan semua makhluq (zaman azali)….. semua makhluq tidak ada (langit,arsy,tempat, ruang,arah,cahaya, atas,bawah….semua makluq tdk ada,karena Allah blm ciptakan…..) pada saat itu dimana Allah? dan setelah Allah ciptakan semua makhluq (langit,arsy,arah,tempat dsb), dimana allah? Ingat : Sifat allah tetap tdk berubah..sifat allah tdk sama dgn makhluq. Maka orang yang mengatakan tuhan bertempat dan berarah menyalahi sifat wajib salbiyah Allah. Sifat Salbiyah :Sifat yang digunakan untuk menolak sesuatu yang tidak patut untuk dinisbahkan kepada Allah. Ada 5 sifat yaitu : Wahdaniyah/esa (Allah tidak banyak atau tidak terpecah-pecah (ada tuhan yg dilangit, ada tuhan yang di arsy, ada tuhan yang di sorga, ada tuhan yang di baitullah dsb)) -
Qidam/ada sebelum semua makhluq ada (Allah Ada sebelum tempat dan arah ada)
-
Baqo /kekal (Allah kekal sedangkan langit akan di gulung/hancurkan)
Mukhalafatu lil hawaditsi/berbeda dgn makhluq (Allah beda dgn makhkuq, sedangkan yang bertempat dan berarah adalah benda kasar/makhluq)
2
-
Qiyamuhu binafsihi /tidak memerlukan apapun( Allah tidak memerlukan tempat/arsy dsb)
5. Kenapa kalian solat masih hadap kekiblat, katanya Allah diatas? ingat Langit Hanyalah kiblat Do’a….bukan tempat bersemayam Allah….ingat : Allah ada tanpa tempat dan arah. 6. Manakah arah ATAS yang kalian maksud? Tunjukan? Bumi ini Bulat dan tidak ada arah atas bagi benda yang bulat, Arah atasnya orang di Indonesia adalah arah bawahnya Orang yang ada di Negara Amerika, dan sebaliknya. 7. Apakah Tuhan-Mu bergelantungan di langit pertama setiap saat? Kalian katakan pada sepertiga malam Allah dilangit pertama bukan diatas arsy, padahal waktu bergulir setiap saat. Jika di Indonesia tengah Malam maka di Amerika adalah siang hari. 8. Makna zahir mana yg mereka katakan “menerima secara zahir” ?? wahabi katakan : “Allah punya Tangan tetapi beda dengan tangan Makhluk” Mereka katakan mereka menerima secara zahir,lalu mereka katakan lagi bahwa yg zahir itu beda dengan zahirnya makhluk…. kami bertanya : lalu makna zahir mana yg mereka katakan “menerima secara zahir” ?? Inilah akidah akal akalan mereka tak ada satu orangpun salaf al shalih yg berakal seperti ini. 9. Dimanakah Tuhan kalian: apakah di langit pertama (lihat hadis nuzul), di langit (surat al mulk), diatas arsy (lihat surat ar’ad), menempel/menyatu dengan orang beriman (lihat surat albaqarah), dimana-mana/disemua arah, tanpa tempat (hadis zaman azali)? Jika menggunakan makna dhahir ayat dan hadist maka tidak akan bisa menjawabnya dan terjerumus dalam tasybih (penyerupaan kepada makhluq). Ta’wil disni berarti menjauhkan makna dari segi zahirnya kepada makna yang lebih layak bagi Allah, ini kerana zahir makna nas al-Mutasyabihat tersebut mempunyai unsur jelas persamaan Allah dengan makhluk. Dalil melakukan ta’wil ayat dan hadis mutasyabihat: Rasulullah berdoa kepada Ibnu Abbas dengan doa:
3
Maknanya: “Ya Allah alimkanlah dia hikmah dan takwil Al quran” H.R Ibnu Majah. (Sebahagian ulamak salaf termasuk Ibnu Abbas mentakwil ayat-ayat mutasyabihah) B. Ahlusunnah Menta’wil Ayat Mutasyabihat Ahlusunnah TIDAK MENERIMA MAKNA DHOHIR ayat atau hadits mutasyabihat (ta’wil) tapi juga TIDAK MERUBAH LAFADZ AYAT/HADIST (TASHRIF) , karena merubah lafadz ayat atau hadits adalah haram dan dilarang. Al Imam Ahmad ar-Rifa’i (W. 578 H) dalam al Burhan al Muayyad berkata: “Jagalah aqidah kamu sekalian dari berpegang kepada zhahir ayat al Qur’an dan hadits Nabi Muhammad shallallahu ‘alayhi wasallam yang mutasyabihat sebab hal ini merupakan salah satu pangkal kekufuran”. Ta’wil disni berarti menjauhkan makna dari segi zahirnya kepada makna yang lebih layak bagi Allah, ini kerana zahir makna nas al-Mutasyabihat tersebut mempunyai unsur jelas persamaan Allah dengan makhluk. Dalil melakukan ta’wil ayat dan hadis mutasyabihat: Rasulullah berdoa kepada Ibnu Abbas dengan doa:
Maknanya: “Ya Allah alimkanlah dia hikmah dan takwil Al quran” H.R Ibnu Majah. (Sebahagian ulamak salaf termasuk Ibnu Abbas mentakwil ayat-ayat mutasyabihah) Masalah ayat/hadist mutasyabihat dalam ilmu tauhid terdapat dua pendapat dalam menafsirkannya. 1.Pendapat Tafwidh ma’a tanzih (Ta’wil ijtimaly) 2.Pendapat Ta’wil (Ta’wil Tafsilly) Keterangan : 1. Madzhab tafwidh ma’a tanzih yaitu mengambil dhahir lafadz dan menyerahkan maknanya kpd Allah swt, dg i’tiqad tanzih (mensucikan Allah dari segala penyerupaan). Ditanyakan kepada Imam Ahmad bin Hanbal masalah hadist sifat, ia berkata ”Nu;minu biha wa nushoddiq biha bilaa kaif wala makna”, (Kita percaya dg hal itu, dan membenarkannya tanpa menanyakannya bagaimana, dan tanpa makna) Madzhab inilah yg juga di pegang oleh Imam Abu hanifah. 4
Pendapat ini dikenal juga dengan TA’WIL IJTIMALY iaitu ta’wilan yang dilakukan secara umum dengan menafikan makna zahir nas al-Mutasyabihat tanpa diperincikan maknanya. Sebagai contoh perkataan istawa dikatakan istawa yang layak bagi Allah dan waktu yang sama dinafikan zahir makna istawa kerana zahirnya bererti duduk dan bertempat, Allah mahasuci dari bersifat duduk dan bertempat. dan kini muncullah faham mujjassimah yaitu dhohirnya memegang madzhab tafwidh tapi menyerupakan Allah dg mahluk, bukan seperti para imam yg memegang madzhab tafwidh. 2. Madzhab takwil yaitu menakwilkan ayat/hadist tasybih sesuai dg keesaan dan keagungan Allah swt, dan madzhab ini arjah (lebih baik untuk diikuti) karena terdapat penjelasan dan menghilangkan awhaam (khayalan dan syak wasangka) pada muslimin umumnya, sebagaimana Imam Syafii, Imam Bukhari,Imam Nawawi dll. (syarah Jauharat Attauhid oleh Imam Baajuri) Pendapat ini juga terdapat dalam Al Qur’an dan sunnah, juga banyak dipakai oleh para sahabat, tabiin dan imam imam ahlussunnah waljamaah. Ta’wilan Tafsiliyy iaitu ta’wilan yang menafikan makna zahir nas tersebut kemudian meletakkan makna yang layak bagi Allah. Seperti istawa bagi Allah bererti Maha Berkuasa kerana Allah sendiri sifatkan dirinya sebagai Maha Berkuasa. Dan banyak pula para sahabat, tabiin, dan para Imam ahlussunnah waljamaah yg berpegang pada pendapat Ta’wil, seperti Imam Ibn Abbas, Imam Malik, Imam Bukhari, Imam Tirmidziy, Imam Abul Hasan Al Asy’ariy, Imam Ibnul Jauziy dll (lihat Daf’ussyubhat Attasybiih oleh Imam Ibn Jauziy). Maka jelaslah bahwa akal tak akan mampu memecahkan rahasia keberadaan Allah swt, sebagaimana firman Nya : ”Maha Suci Tuhan Mu Tuhan Yang Maha Memiliki Kemegahan dari apa apa yg mereka sifatkan, maka salam sejahtera lah bagi para Rasul, dan segala puji atas tuhan sekalian alam” . (QS Asshaffat 180-182). C. Tafsir Lafadz Ayat mutasyabihat LUPA - ”Nasuullaha fanasiahum” (QS Attaubah:67), Artinya : Mereka melupakan Allah maka Allah pun lupa dengan mereka (QS Attaubah:67), - ”Innaa nasiinaakum” (QS Assajadah 14). Artinya : (sungguh kami telah lupa pada kalian ( QS Assajadah 14). Keterangan : Dengan ayat ini kita tidak bisa menyifatkan sifat lupa kepada Allah walaupun tercantum dalam Alqur’an, dan kita tidak boleh mengatakan Allah punya sifat lupa, tapi berbeda dg sifat lupa pada diri makhluk, karena Allah berfirman : ”dan tiadalah Tuhanmu itu lupa” (QS Maryam 64). 5
D. Tafsir Lafadz Ayat mutasyabihat SAKIT Dan juga diriwayatkan dalam hadtist Qudsiy bahwa Allah swt berfirman : ”Wahai Keturunan Adam, Aku sakit dan kau tak menjenguk Ku, maka berkatalah keturunan Adam : Wahai Allah, bagaimana aku menjenguk Mu sedangkan Engkau Rabbul ’Alamin?, maka Allah menjawab : Bukankah kau tahu hamba Ku fulan sakit dan kau tak mau menjenguknya?, tahukah engkau bila kau menjenguknya maka akan kau temui Aku disisinya?” (Shahih Muslim hadits no.2569) Keterangan : apakah kita bisa mensifatkan sakit kepada Allah tapi tidak seperti sakitnya kita? Berkata Imam Nawawi berkenaan hadits Qudsiy diatas dalam kitabnya yaitu Syarah Annawawiy alaa Shahih Muslim bahwa yg dimaksud sakit pada Allah adalah hamba Nya, dan kemuliaan serta kedekatan Nya pada hamba Nya itu, ”wa ma’na wajadtaniy indahu ya’niy wajadta tsawaabii wa karoomatii indahu” dan makna ucapan : akan kau temui aku disisinya adalah akan kau temui pahalaku dan kedermawanan Ku dengan menjenguknya (Syarh Nawawi ala shahih Muslim Juz 16 hal 125). E. Hadis Mutasyabihat NUZUL (turun kelangit pertama) “Pada sepertiga malam terakhir Allah akan turun kelangit pertama…..” (HR Shahih Muslim hadits no.758) “Pada hari arafah Allah akan turun kelangit pertama…..” Keterangan : makna hadis tersebut adalah rahmat Allah yang begitu dekat pada waktu-waktu tersebut, sehingga waktu tersebut menjadi lebih utama untuk berdo’a.jadi Bukan dzat Allah yang turun (Fadhilah Haji, Syaikhul hadis Muhammad Zakariya) Dalam hadits qudsiy disebutkan Allah swt turun kelangit yg terendah saat sepertiga malam terakhir, sebagaimana diriwayatkan dalam Shahih Muslim hadits no.758, sedangkan kita memahami bahwa waktu di permukaan bumi terus bergilir, maka bila disuatu tempat adalah tengah malam, maka waktu tengah malam itu tidak sirna, tapi terus berpindah ke arah barat dan terus ke yang lebih barat, tentulah berarti Allah itu selalu bergelantungan mengitari Bumi di langit yg terendah, maka semakin ranculah pemahaman ini, dan menunjukkan rapuhnya pemahaman mereka, jelaslah bahwa hujjah yg mengatakan Allah ada di Arsy telah bertentangan dg hadits qudsiy diatas, yg berarti Allah itu tetap di langit yg terendah dan tak pernah kembali ke Arsy, sedangkan ayat itu mengatakan bahwa Allah ada di Arsy, dan hadits Qudsiy mengatakan Allah dilangit yg terendah. F. Tafsir Ayat Mutasyabihat ISTIWA
6
I. Tafsir Makna istiwa Menurut Kitab Tafsir Mu’tabar lihat dalam tafsir berikut : Sekarang akan disebutkan sebahagian penafsiran lafaz istawa dalam surah ar Ra’d: 1- Tafsir al Qurtubi ( ) ثم استوى على العرشdengan makna penjagaan dan penguasaan 2- Tafsir al-Jalalain ( ) ثم استوى على العرشistiwa yang layak bagi Nya 3- Tafsir an-Nasafi Maknanya: makna ( )ثم استوى على العرشadalah menguasai Ini adalah sebahagian dari tafsiran , tetapi banyak lagi tafsiran-tafsiran ulamak Ahlu Sunnah yang lain… 4- Tafsir Ibnu Kathir: ( ) ثم استوى على العرشtelah dijelaskan maknanya sepertimana pada tafsirnya surah al Araf, sesungguhnya ia ditafsirkan tanpa kaifiat(bentuk) dan penyamaan Disini Ibnu Katsir mengunakan ta’wil ijtimalliy iaitu ta’wilan yang dilakukan secara umum dengan menafikan makna zahir nas al-Mutasyabihat tanpa diperincikan maknanya. sebenarnya memahami makna istiwa ini sebenarnya. ليس هذا،ً {ثم استوى على العرش} فللناس في هذا المقام مقالت كثيرة جدا:وأما قوله تعالى وإنما نسلك في هذا المقام مذهب السلف الصالح مالك والوزاعى والثوري،موضع بسطها والليث بن سعد والشافعي و أحمد وإسحاق راهويه وغيرهم من أئمة المسلمين قديما وحديثا وهو والظاهر المتبادر إلى أذهان المشبهين،إمرارها كما جاءت من غير تكييف ول تشبيه ول تعطيل بل،}منفي عن اللّه فإن اللّه ل يشبهه شيء من خلقه و{ليس كمثله شيء وهو السميع البصير ، من شبَّه اللّه بخلقه كفر:المر كما قال أئمة منهم نعيم بن حماد الخزاعي شيخ البخاري قال وليس فيما وصف اللّه به نفسه ول رسوله تشبيه،ومن جحد ما وصف اللّه به نفسه فقد كفر فمن أثبت للّه تعالى ما وردت به اليات الصريحة والخبار الصحيحة على الوجه الذي يليق بجلل اللّه ونفي عن الله تعالى النقائص قد سلك سبيل الهدى “Dan adapun firman-Nya: “Kemudian Dia istiwa di atas ‘arsy”, Orang-orang mempunyai berbagai pendapat yang sangat banyak dalam hal ini, dan bukan ini tempatnya perinciannya. Hanyasaja dalam hal ini kami menapaki (meniti) cara yang dipakai oleh madzhab Salaf alShalih, (seperti) Malik, al-Auza’i, al-Laits bin Sa’ad, al-Syafi’i, Ahmad, Ishaq bin Rahawaih dan selain mereka dari para imam kaum muslimin yang terdahulu maupun kemudian, yakni membiarkan (lafadz)nya seperti apa yang telah datang (maksudnya tanpa memperincikan maknanya)tanpa takyif (bagaimana, gambaran), tanpa tasybih (penyerupaan), dan tanpa ta’thil (menafikan). Zhahirnya apa yang mudah ditangkap oleh musyabbih (orang yang melakukan tasybih) adalah hal yang tidak ada bagi Allah, karena sesungguhnya Allah tidak ada 7
sesuatupun dari makhluk-Nya yang menyerupai-Nya, dan “Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan-Nya, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat” [al-Syura: 11]. Bahkan perkaranya adalah sebagaimana yang dikatakan oleh para imam, diantaranya Nu’aim bin Hammad alKhuza’i, guru al-Bukhari, ia berkata: “Siapa yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya, ia telah kafir, dan siapa yang mengingkari apa yang Allah mensifati diri-Nya, maka ia kafir, dan bukanlah termasuk tasybih (penyerupaan) orang yang menetapkan bagi Allah Ta’ala apa yang Dia mensifati diri-Nya dan Rasul-Nya dari apa yang telah datang dengannya ayat-ayat yang sharih (jelas/ayat mukamat) dan berita-berita (hadits) yang shahih dengan (pengertian) sesuai dengan keagungan Allah dan menafikan dari Allah sifat-sifat yang kurang; berarti ia telah menempuh hidayah.” Inilah selengkapnya dari penjelasan Ibnu Katsir.Berdasarkan penjelasan ibnu katsir : - ibnu katsir mengakui ayat ‘istiwa’ adalah ayat mutasyabihat yang tidak boleh memegang makna dhahir dari ayat mutasyabihat tapi mengartikannya dengan ayat dan hadis yang – jadi ibnu katsir tidak memperincikan maknanya tapi juga tidak mengambil makna dhahir ayat tersebut. - disitu imam ibnu katsir, imam Bukhari dan imam ahlsunnah lainnya tidak melarang ta’wil. “…dan selain mereka dari para imam kaum muslimin yang terdahulu maupun kemudian, yakni membiarkan (lafadz)nya seperti apa yang telah datang (maksudnya tanpa memperincikan maknanya)tanpa takyif (bagaimana, gambaran), tanpa tasybih (penyerupaan), dan tanpa ta’thil (menafikan)….” sedangkan wahaby melarang melakukan tanwil! Bukti imam Bukhari, imam Ahmad dan lainnya melakukan ta’wil ayat mutasyabihat akan dijelaskan pada point E. II. Makna istiwa yang dikenal dalam bahasa arab dan dalam kitab-kitab Ulama salaf Di dalam kamus-kamus arab yang ditulis oleh ulama’ Ahlu Sunnah telah menjelaskan istiwa datang dengan banyak makna, diantaranya: 1-masak (boleh di makan) contoh: قد استوى الطعام—–قد استوى التفاحmaknanya: makanan telah masak—buah epal telah masak 2- التمام: sempurna, lengkap 3- العتدال: lurus 4- جلس: duduk / bersemayam, contoh: – استوى الطالب على الكرسي: pelajar duduk atas kerusi - استوى الملك على السرير: raja bersemayam di atas katil 8
5- استولى: menguasai, contoh: قد استوى بشر على العراق من غير سيف ودم مهراق Maknanya: Bisyr telah menguasai Iraq, tanpa menggunakan pedang dan penumpahan darah. Al Hafiz Abu Bakar bin Arabi telah menjelaskan istiwa mempunyai hampir 15 makna, diantaranya: tetap,sempurna lurus menguasai, tinggi dan lain-lain lagi, dan banyak lagi maknannya. Sila rujuk qamus misbahul munir, mukhtar al-Sihah, lisanul arab, mukjam alBuldan, dan banyak lagi. Yang menjadi masalahnya, kenapa si penulis memilih makna bersemayam. Adakah makna bersemayam itu layak bagi Allah?, apakah dia tidak tahu bersemayam itu adalah sifat makhluk? Adakah si penulis ini tidak mengatahui bahawa siapa yang menyamakan Allah dengan salah satu sifat daripada sifat makhluk maka dia telah kafir? sepertimana kata salah seorang ulama’ Salaf Imam at Tohawi (wafat 321 hijrah): ومن وصف الله بمعنى من معانى البشر فقد كفر Maknanya: barang siapa yang menyifatkan Allah dengan salah satu sifat dari sifat-sifat manusia maka dia telah kafir. Kemudian ulama’-ulama’ Ahlu Sunnah telah menafsirkan istiwa yang terkandung di dalam Al quran dengan makna menguasai arasy kerana arasy adalah makhluk yang paling besar, oleh itu ia disebutkan dalam al Quran untuk menunjukkan kekuasaan Allah subhanahu wata’ala sepertimana kata-kata Saidina Ali yang telah diriwayatkan oleh Imam Abu Mansur al-Tamimi dalam kitabnya At-Tabsiroh: ان الله تعالى خلق العرش اظهارا لقدرته ولم يتخذه مكان لذاته Maknanya: Sesungguhnya Allah Ta’ala telah mencipta al-arasy untuk menzohirkan kekuasaanya, bukannya untuk menjadikan ia tempat bagi Nya. Allah ada tanpa tempat dan arah adalah aqidah salaf yang lurus. III. Hukum Orang yang meyakini Tajsim; bahwa Allah adalah Benda
9
*Bersemayam yang bererti Duduk adalah sifat yang tidak layak bagi Allah dan Allah tidak pernah menyatakan demikian, begitu juga NabiNya. Az-Zahabi adalah Syamsuddin Abu Abdullah Muhammad bin Ahmad bin Uthman bin Qaymaz bin Abdullah ( 673-748H ). Pengarang kitab Siyar An-Nubala’ dan kitab-kitab lain termasuk Al-Kabair. Az-Zahabi mengkafirkan akidah Allah Duduk sepertimana yang telah dinyatakan olehnya sendiri di dalam kitabnya berjudul Kitab Al-Kabair. Demikian teks Az-Zahabi kafirkan akidah “ Allah Bersemayam/Duduk” : Nama kitab: Al-Kabair. Pengarang: Al-Hafiz Az-Zahabi. Cetakan: Muassasah Al-Kitab Athaqofah,cetakan pertama 1410h. 10
Terjemahan. Berkata Al-Hafiz Az-Zahabi: “Faidah, perkataan manusia yang dihukum kufur jelas terkeluar dari Islam oleh para ulama adalah: …sekiranya seseorang itu menyatakan: Allah Duduk untuk menetap atau katanya Allah Berdiri untuk menetap maka dia telah jatuh KAFIR”. Rujuk scan kitab tersebut di atas m/s 142. Syekh Ibn Hajar al Haytami (W. 974 H) dalam al Minhaj al Qawim h. 64, mengatakan: “Ketahuilah bahwasanya al Qarafi dan lainnya meriwayatkan perkataan asy-Syafi’i, Malik, Ahmad dan Abu Hanifah – semoga Allah meridlai merekamengenai pengkafiran mereka terhadap orangorang yang mengatakan bahwa Allah di suatu arah dan dia adalah benda, mereka pantas dengan predikat tersebut (kekufuran)”. Al Imam Ahmad ibn Hanbal –semoga Allah meridlainyamengatakan: “Barang siapa yang mengatakan Allah adalah benda, tidak seperti benda-benda maka ia telah kafir” (dinukil oleh Badr ad-Din az-Zarkasyi (W. 794 H), seorang ahli hadits dan fiqh bermadzhab Syafi’i dalam kitab Tasynif al Masami’ dari pengarang kitab al Khishal dari kalangan pengikut madzhab Hanbali dari al Imam Ahmad ibn Hanbal). Al Imam Abu al Hasan al Asy’ari dalam karyanya an-Nawadir mengatakan : “Barang siapa yang berkeyakinan bahwa Allah adalah benda maka ia telah kafir, tidak mengetahui Tuhannya”. As-Salaf ash-Shalih Mensucikan Allah dari Hadd, Anggota badan, Tempat, Arah dan Semua Sifat-sifat Makhluk Al Imam Abu Ja’far ath-Thahawi -semoga Allah meridlainya- (227-321 H) berkata: “Maha suci Allah dari batas-batas (bentuk kecil maupun besar, jadi Allah tidak mempunyai ukuran sama sekali), batas akhir, sisi-sisi, anggota badan yang besar (seperti wajah, tangan dan lainnya) maupun anggota badan yang kecil (seperti mulut, lidah, anak lidah, hidung, telinga dan lainnya). Dia tidak diliputi oleh satu maupun enam arah penjuru (atas, bawah, kanan, kiri, depan dan belakang) tidak seperti makhluk-Nya yang diliputi enam arah penjuru tersebut”. Perkataan al Imam Abu Ja’far ath-Thahawi di atas merupakan Ijma’ (konsensus) para sahabat dan Salaf (orang-orang yang hidup pada tiga abad pertama hijriyah). III. ulamak 4 mazhab tentang aqidah 1- Imam Abu hanifah: ليشبه شيئا من الشياء من خلقه ول يشبهه شيء من خلقه Maknanya:: (Allah) tidak menyerupai sesuatu pun daripada makhlukNya, dan tidak ada sesuatu makhluk pun yang menyerupaiNya.Kitab Fiqh al Akbar, karangan Imam Abu Hanifah, muka surat 1.
11
IMAM ABU HANIFAH TOLAK AKIDAH SESAT “ ALLAH BERSEMAYAM/DUDUK/BERTEMPAT ATAS ARASY. Demikian dibawah ini teks terjemahan nas Imam Abu Hanifah dalam hal tersebut ( Rujuk kitab asal sepertimana yang telah di scan di atas) : “ Berkata Imam Abu Hanifah: Dan kami ( ulama Islam ) mengakui bahawa Allah ta’al ber istawa atas Arasy tanpa Dia memerlukan kepada Arasy dan Dia tidak bertetap di atas Arasy, Dialah menjaga Arasy dan selain Arasy tanpa memerlukan Arasy, sekiranya dikatakan Allah memerlukan kepada yang lain sudah pasti Dia tidak mampu mencipta Allah ini dan tidak mampu mentadbirnya sepeti jua makhluk-makhluk, kalaulah Allah memerlukan sifat duduk dan 12
bertempat maka sebelum diciptaArasy dimanakah Dia? Maha suci Allah dari yang demikian”. Tamat terjemahan daripada kenyatan Imam Abu Hanifah dari kitab Wasiat. Amat jelas di atas bahawa akidah ulama Salaf sebenarnya yang telah dinyatakan oleh Imam Abu Hanifah adalah menafikan sifat bersemayam(duduk) Allah di atas Arasy. Semoga Mujassimah diberi hidayah sebelum mati dengan mengucap dua kalimah syahadah kembali kepada Islam. 2-Imam Syafie: انه تعالى كان ول مكان فخلق المكان وهو على صفته الزلية كما كان قبل خلقه المكان ليجوز عليه التغيير Maknanya: sesungguhnya Dia Ta’ala ada (dari azali) dan tempat belum dicipta lagi, kemudian Allah mencipta tempat dan Dia tetap dengan sifatnnya yang azali itu seperti mana sebelum terciptanya tempat, tidak harus ke atas Allah perubahan. Dinuqilkan oleh Imam Al-Zabidi dalam kitabnya Ithaf al-Sadatil Muttaqin jilid 2 muka surat 23 3-Imam Ahmad bin Hanbal : -استوى كما اخبر ل كما يخطر للبشر Maknanya: Dia (Allah) istawa sepertimana Dia khabarkan (di dalam al Quran), bukannya seperti yang terlintas di fikiran manusia. Dinuqilkan oleh Imam al-Rifae dalam kitabnya al-Burhan alMuayyad, dan juga al-Husoni dalam kitabnya Dafu’ syubh man syabbaha Wa Tamarrad. قائل بشىء من الجهة أو نحوها- وما اشتهر بين جهلة المنسوبين الى هذا المام المجتهد من أنه فكذب وبهتان وافتراء عليه Maknanya: dan apa yang telah masyhur di kalangan orang-orang jahil yang menisbahkan diri mereka pada Imam Mujtahid ini (Ahmad bin Hanbal) bahawa dia ada mengatakan tentang (Allah) berada di arah atau seumpamanya, maka itu adalah pendustaan dan kepalsuan ke atasnya(Imam Ahmad) Kitab Fatawa Hadisiah karangan Ibn Hajar al- Haitami 4- Imam Malik : الستواء غير المجهول والكيف غير المعقول واليمان به واجب و السؤال عنه بدعة Maknannya: Kalimah istiwa’ tidak majhul (diketahui dalam al quran) dan kaif(bentuk) tidak diterima aqal, dan iman dengannya wajib, dan soal tentangnya bidaah. lihat disini : imam malik hanya menulis kata istiwa ( )لستواءbukan memberikan makna dhahir jalasa atau duduk atau bersemayam atau bertempat (istiqrar)….. G. Ayat Mutasyabihat NAIK 13
Artinya : Dan kepada-Nya naik (mengetahui-Nya) perkataan yang baik dan amAlan yang shalih dinaikan (MENERIMA AMALAN SHALIHNYA) Dalam tafsir Jalalain : (ilaihi YUSH’ADU kalimuthayyib) ya’lamuhu ,…. Artinya lafadz : ilaihi YUSH’ADU kalimuthayyib artinya MENGETAHUINYA,… (wa ‘amilushalihati yarfa’uhu) YAQBALUHU Artinya : menerima amalan baik itu (memberi pahala/meridhai) H. Tafsir Ayat Mutasyabihat LAFADZ “MAN FISSAMA-I DALAM ALMULK 16 “ Makna firman Allah : َ َ َّ من فِي ال َّ منتُم موُر ْ َ ماء أَن ي َ س ِ أ ِ خ ُ َي ت َ س ُ ُ ف بِك َ م الْر َ ِ ض فَإِذ َا ه (Al-Mulk:16) Jawab: 1. Dalam Tafsir Al Bahr al Muhith dan Kitab “Amali (Imam Al-Hafiz Al-‘Iraqi ) Pakar tafsir, al Fakhr ar-Razi dalam tafsirnya dan Abu Hayyan al Andalusi dalam tafsir al Bahr al Muhith mengatakan: ََ في ال ََ (man fissama-i) dalam ayat tersebut adalah malaikat”. “Yang dimaksud ماء ِ من َ س Ayat tersebut tidak bermakna bahwa Allah bertempat di langit. Perkataan ‘man’ iaitu ‘siapa’ dalam ayat tadi bererti malaikat bukan bererti Allah berada dan bertempat dilangit. Ia berdasarkan kepada ulama Ahli Hadith yang menjelaskannya iaitu Imam Al-Hafiz Al-‘Iraqi dalam Kitab Amali bahawa “Perkataan ‘siapa’ pada ayat tersebut bererti malaikat”. Kemudian, yang berada dilangit dan bertempat dilangit bukanlah Allah tetapi para malaikat berdasarkan hadith Nabi bermaksud: “ Tidaklah di setiap langit itu kecuali pada setiap empat jari terdapat banyak para malaikat melakukan qiyam, rukuk atau sujud ”. Hadith Riwayat Tirmizi. Ketahuilah bahawa tempat tinggal para malaikat yang mulia adalah di langit pada setiap langit penuh dengan para malaikat manakala bumi terkenal dengan tempat tinggal manusia dan jin. Maha suci Allah dari bertempat samaada di langit mahupun di bumi. Banyak hadis dan ayat yang menyebutkan man fissamawati (yang dilangit), penduduk langit dan sebagainya, tapi itu semua adalah para malaikat. Seperti dalamsurat al-ra’du ayat 15 (ayat sajadah) : “walillahi yasjudu man fissamawati wal’ardhi thau’an wa karhan wa dhilaaluhum bil ghuduwwi wal aashaal” 14
artinya : “Apa yang di langit dan Bumi, semuanya tunduk kepada Allah, mau atau tidak mau, demikian juga bayang-bayang mereka diwaktu pagi dan petang (QS arra’du ayat 15) Dalam Tafsir jalalain (halaman 201, darul basyair, damsyik) : “Apa yang di langit (man fisamawati) dan Bumi, semuanya tunduk kepada Allah, mau” (adalah seperti orang beriman) “atau tidak mau” (sperti orang munafiq dan orang yang ditakut-takuti (untuk sujud) dengan pedang). Dalam kitab ihya ulumuddin (jilid I, bab Kitab susunan wirid dan uraian menghidupkan malam) ayat ini merupakan salah satu wirid yang dibaca pada pada waktu petang. 2. Dalam Tafsir qurtubi Al-Qurtubi dalam kitab tafsirnya turut menjelaskan perkara yang sama bila mentafsirkan ayat tersebut. Sekiranya ingin dimaksudkan dari perkataan ‘man’ (siapa) dalam ayat tadi itu adalah ‘Allah’ maka tidak boleh dikatakan keberadaan Allah itu di langit kerana Allah tidak memerlukan langit tetapi memberi erti ‘kerajaan Allah’ BUKAN ‘zat Allah’. Maha suci Allah dari sifat makhlukNya. 3. Dalam tafsir jalalain ((penerbit darul basyair, damsyiq,halaman 523) Imam suyuthi rah mengatakan : َّ من فِي ال َّ (man fissama-i) dalam ayat tersebut adalah “Yang dimaksud ماء َ س kekuasaan/kerajaan dan qudrat-Nya (Shulthonihi wa qudratihi ) jadi yang dilangit adalah kekuasaan dan qudratnya (Shulthonihi wa qudratihi ) bukan dzat Allah sehingga penafsiran yang betul (dalam tafsir jalalain dan qurtubi) : ََ َ َّ من فِي ال َّ منتُم موُر ْ َ ماء أَن ي َ س ِ خ ِ أأ ُ َي ت ُ ُ ف بِك َ س َ م الْر َ ِ ض فَإِذ َا ه Apakah kamu merasa aman dengan Allah yang di langit (kekuasaan dan qudratnya) bahwa Dia akan menjungkir balikkan bumi bersama kamu, sehingga dengan tiba-tiba bumi itu bergoncang?, (Al-Mulk:16) َ َ َأ َّ من فِي ال َّ منتُم َ س َ ْ ن كَي ِ حا ِ ماء أن يُْر ِ مأ َ مو َ م ْ َ َصبًا ف ُ َ ستَعْل ْ ُ ل عَلَيْك َ س ِف نَذِير atau apakah kamu merasa aman dengan Allah yang di langit (kekuasaan dan qudratnya bukan dzat-Nya) bahwa Dia akan mengirimkan badai yang berbatu. Maka kelak kamu akan mengetahui bagaimana (akibat mendustakan) peringatan-Ku? (Al-Mulk:17). N. Hadis tentang isra mi’raj dan “Langit ” sebagai Kiblat Do’a Bukan “Tempat bersemayam dzat Alah” As-Salaf ash-Shalih Mensucikan Allah dari Hadd, Anggota badan, Tempat, Arah dan Semua Sifat-sifat Makhluk
15
Al Imam Abu Ja’far ath-Thahawi -semoga Allah meridlainya- (227-321 H) berkata: “Maha suci Allah dari batas-batas (bentuk kecil maupun besar, jadi Allah tidak mempunyai ukuran sama sekali), batas akhir, sisi-sisi, anggota badan yang besar (seperti wajah, tangan dan lainnya) maupun anggota badan yang kecil (seperti mulut, lidah, anak lidah, hidung, telinga dan lainnya). Dia tidak diliputi oleh satu maupun enam arah penjuru (atas, bawah, kanan, kiri, depan dan belakang) tidak seperti makhluk-Nya yang diliputi enam arahpenjuru tersebut”. Perkataan al Imam Abu Ja’far ath-Thahawi di atas merupakan Ijma’ (konsensus) para sahabat dan Salaf (orang-orang yang hidup pada tiga abad pertama hijriyah). Diambil dalil dari perkataan tersebut bahwasanya bukanlah maksud dari mi’raj bahwa Allah berada di arah atas lalu Nabi Muhammad shallallahu ‘alayhi wasallam naik ke atas untuk bertemu dengan-Nya, melainkan maksud mi’raj adalah memuliakan Rasulullah shalalllahu ‘alayhi wasallam dan memperlihatkan kepadanya keajaiban makhluk Allah sebagaimana dijelaskan dalam al Qur’an surat al Isra ayat 1. Juga tidak boleh berkeyakinan bahwa Allah mendekat kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alayhi wasallam sehingga jarak antara keduanya dua hasta atau lebih dekat, melainkan yang mendekat kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alayhi wasallam di saat mi’raj adalah Jibril ‘alayhissalam, sebagaimana diriwayatkan oleh al Imam al Bukhari (W. 256 H) dan lainnya dari as-Sayyidah ‘Aisyah -semoga Allah meridlainya-, maka wajib dijauhi kitab Mi’raj Ibnu ‘Abbas dan Tanwir al Miqbas min Tafsir Ibnu ‘Abbas karena keduanya adalah kebohongan belaka yang dinisbatkan kepadanya. Sedangkan ketika seseorang menengadahkan kedua tangannya ke arah langit ketika berdoa, hal ini tidak menandakan bahwa Allah berada di arah langit. Akan tetapi karena langit adalah kiblat berdoa dan merupakan tempat turunnya rahmat dan barakah. Sebagaimana apabila seseorang ketika melakukan shalat ia menghadap ka’bah. Hal ini tidak berarti bahwa Allah berada di dalamnya, akan tetapi karena ka’bah adalah kiblat shalat. Penjelasan seperti ini dituturkan oleh para ulama Ahlussunnah Wal Jama’ah seperti al Imam al Mutawalli (W. 478 H) dalam kitabnya al Ghun-yah, al Imam al Ghazali (W. 505 H) dalam kitabnya Ihya ‘Ulum ad-Din, al Imam an-Nawawi (W. 676 H) dalam kitabnya Syarh Shahih Muslim, al Imam Taqiyy ad-Din as-Subki (W.756 H) dalam kitab as-Sayf ash-Shaqil dan masih banyak lagi. Perkataan al Imam at-Thahawi tersebut juga merupakan bantahan terhadap pengikut paham Wahdah al Wujud yang berkeyakinan bahwa Allah menyatu dengan makhluk-Nya atau pengikut paham Hulul yang berkeyakinan bahwa Allah menempati makhluk-Nya. Dan ini adalah kekufuran berdasarkan Ijma’ (konsensus) kaum muslimin sebagaimana dikatakan oleh al Imam asSuyuthi (W. 911 H) dalam karyanya al Hawi li al Fatawi dan lainnya, juga para panutan kita ahli tasawwuf sejati seperti al Imam al Junaid al Baghdadi (W. 297 H), al Imam Ahmad ar-Rifa’i (W. 578 H), Syekh Abdul Qadir al Jilani (W. 561 H) dan semua Imam tasawwuf sejati, mereka selalu memperingatkan masyarakat akan orang-orang yang berdusta sebagai pengikut tarekat tasawwuf dan meyakini aqidah Wahdah al Wujud dan Hulul. Bersambung ke bagian kedua tentang tafsir ayat mutasyabihat tangan, kaki, jari-jari, tertawa, berjalan/berlari, nur/cahaya, ruh Allah, baitullah dsb…. 16
http://salafytobat.wordpress.com
17