Atmonadi__________________________________________Risalah Pendek
"Hamba Allah" Sebuah "Maqam Tanpa Nama" (tulisan ini merupakan bagian dari risalah “Kun Fa Yakuun: Mengenal Diri Mengenal Ilahi”)
Risalah Mawas Diri Atmo
“Hak Penciptaaan Hanya Milik Allah semata “ Distribusikan secara bebas untuk kepentingan Umat Islam 2005-2057 adalah era tegaknya Cahaya Pemurnian Tauhid
Kun Fa Yakuun________________________________________________
1
Atmonadi__________________________________________Risalah Pendek
"Mengenal Diri dan Mengenal Ilahi" sebagai aforisma sufistik yang menjadi kunci untuk mengenal manusia secara utuh sebagai hamba Allah akhirnya memang akan berbicara tentang akhlak mulia sebagai suatu atribut ketuhanan yang dinisbahkan kepada manusia sebagai suatu hidayah dan anugerah. Ketika manusia tidak menyadari hal ini, maka eksistensinya sebagai citra Tuhan akan jatuh, sejatuh-jatuhnya yang menyebabkan dirinya memiliki derajat yang sangat rendah. Ketika
Nabi
SAW
menyempurnakan
bersabda akhlak
bahwa
yang
"sesungguhnya
mulia",
maka
ia
aku
diutus
sebenarnya
untuk sedang
menyampaikan suatu Pesan Ilahiah bahwa kebanyakan manusia atau manusia pada umumnya memiliki akhlak yang belum lengkap dan tidak sempurna. Nabi Muhammad SAW menyempurnakan akhlak yang mulia mengindikasikan bahwa manusia sejatinya memang mempunyai akhlak yang mulia (berfitrah suci, dalam keadaan keseimbangan optimum awal mula) sebagai wujud kesadaran dirinya bahwa ia memberikan kesaksian atas ke-Esa-an Tuhan. Dengan syariat kemudian Nabi Muhammad SAW lebih formal lagi memberikan pendidikannya kepada manusia sebagai suatu instrumen praktis untuk mengubah kualitaskualitas Azazil Sang Iblis yang tercela, yang muncul setelah ruh dan jasad memanusia dan ditempatkan di dunia seperti sombong, iri, dengki, dan lainlainnya, menuju kepada kualitas-kualitas yang mulia. Namun, syariat saja tidak cukup oleh karena syariat memerlukan suatu dorongan internal yang lebih permanen yang berasal dari qolbu sebagai esensi lathifah manusia sehingga syariat tidak sekedar “jurus tanpa tenaga”. Hakikat kemudian dinisbahkan juga kepada manusia agar ia lebih mampu, secara pribadi, untuk mentransformasikan semua akhlak dan perilakunya sebagai atribut-atribut kemuliaan yang telah dianugerahkan Tuhannya. Sehingga, dengan Hakikat sebagai akhir perjalanan suluk-nya dan titik tolak penyingkapan-Nya, maka ia akan mampu melakukan Lompatan Kuantum dengan penyaksian bahwa Realitas Absolut adalah al-Haqq,
Kun Fa Yakuun________________________________________________
2
Atmonadi__________________________________________Risalah Pendek sehingga manusiapun hanya mampu mengatakan “Aku mengenal Allah dengan Allah”. Melalui para nabi dan rasul, wali, dan para pewaris ilmunya, syariat dan hakikat kemudian menjadi instrumen yang terpadu sebagai pembangun akhlak mulia tersebut. Apa yang nampak dalam akhlak dan perilaku Nabi Muhammad SAW sebenarnya dengan jelas menunjukkan bahwa manusia harus mengarahkan dirinya kedalam "penghambaan" (ubudiyah) mutlak kepada Allah. "Tak seorang pun di langit dan di bumi , kecuali akan datang kepada Tuhan Yang maha Pemurah selaku seorang hamba (QS 19:93)". Dengan kata lain, menjadi jelas bahwa semua makhluk hakikatnya adalah hamba Allah yang mengada di alam semesta sebagai bagian dari Rahmat dan nafas Kasih Sayang Allah SWT semata (ar-Rahmaan Ar-Rahiim). Sehingga dapat dipahami kenapa dalam setiap penciptaan, dalam setiap awal perubahan dan tindakan makhluk, semuanya mesti dimulai dengan Basmalah; dan dalam setiap akhir perubahan dan tindakan makhluk mesti diakhiri dengan Hamdalah. Oleh karena kehambaan makhluk ini, maka semua perintah Allah dan laranganlarangan-Nya wajib dipatuhi, makhluk harus menyelaraskan diri dengan sunnatullah-Nya serta ridha atas semua ketentuan-Nya, dan makhluk harus mengikuti contoh kesempurnaan manifestasi Insan Kamil (akhlak Nabi Muhammad SAW). Inilah yang tidak dipahami Azazil Sang Iblis ketika membangkang perintah Allah untuk bersujud menghormati Adam; Namun Ibrahim memahami ini, sehingga ia ridha untuk mengorbankan Ismail sebagai wujud kepatuhannya sebagai hamba. Dihadapan Allah, semua makhluk adalah sekedar wayang yang mematuhi-Nya setiap saat. Dihadapan Allah, semua makhluk adalah hamba-Nya yang fakir,
Kun Fa Yakuun________________________________________________
3
Atmonadi__________________________________________Risalah Pendek yang membutuhkan-Nya setiap saat. Tanpa penghambaan dan kefakiran, maka manusia menjadi budak Azazil, yang mewujud dalam kesombongan. Padahal, kesombongan adalah selendang Kebesaran -Nya, yang tidak satu makhluk pun boleh mengenakannya. Menurut Ibnu Arabi, tugas manusia sebagai hamba Allah, dimanapun ia berada, di zaman apapun, adalah untuk memahami sepenuhnya Kefakiran Radikal si hamba dari segala sesuatu, terutama dari dirinya sendiri. Tindakan yang sempurna tentang hal ini kemudian disebut "penghambaan". Menurut Jami, kefakiran sebagai hamba Allah adalah kefakiran yang menafikan semua afiliasi amal, status (ahwal), dan peringkat (maqamat) dari dirinya. Seorang sufi yang menjadi hamba Allah tidak memperhatikan dan menisbahkan lagi status dan peringkat dirinya pada apapun, bahkan ia sudah tidak memperhatikan dan mengetahui siapa dirinya. Ia sudah tidak memiliki wujud eksistensi lagi, juga segala esensi dan atribut diri. Ia terhapus dalam keterhapusan, ia lebur-binasa dalam keleburan. Sehingga dikatakan oleh Syaikh Abū ‘Abd Allāh Ibn Khafif r.a., “Kefakiran adalah kehancuran kepemilikan dan keluar dari hukum-hukum atribut.” Dengan kata lain, seperti seringkali diungkapkan oleh para sufi, “Seorang fakir adalah orang yang tidak memiliki dan tidak dimiliki.” Definisi kefakiran demikian merupakan definisi holistik yang sudah mencakup hakikat dan ilustrasi tentang “kefakiran radikal” sebagai “penghambaan”. Akan tetapi, kefakiran radikal sebagai penghambaan bukanlah kefakiran karena pilihannya sendiri, kefakiran hamba Allah adalah kefakiran yang dipilihkan oleh Allah Yang Mahabenar untuk dirinya karena motivasi Rahmat dan Kasih Sayang-Nya (arRahmaan ar-Rahiim). Maka, ketika penyingkapan menjadi penyaksian, ketika kefakiran dirinya menjadi kehambaan,
Kun Fa Yakuun________________________________________________
4
Atmonadi__________________________________________Risalah Pendek Nabi Muhammad SAW adalah hamba Allah. Ia adalah rahasia penciptaan, sebagai Yang Awal dan Yang Akhir, Yang Lahir dan Yang Batin; sebagai Muhammad dan Nur Muhammad; sebagai baju yang dilipat pertama kali dan dikenakan terakhir kali; sebagai Perbendaharaan Tersembunyi yang maujud (menjadi makhluk); sebagai manifestasi semua penciptaan makhluk; sebagai esensi “Basmalah” dan “Kun Fa Yakuun”. Maka dialah habib Allah (Kekasih Allah), dimana tersemat padanya Kemahagaungan dan Kemahaindahan-Nya. Itulah yang dipilihkan baginya oleh-Nya, ketika Dia hembuskan Rahmat dan Nafas Kasih Sayang-Nya, untuk ber-tajalli dengan semua Asma dan Sifat-Nya bahwa hakikat semua makhluk itu tidak ada, maka Yang Ada hanya Dia. Sebagai hamba Allah, maka manusia selayaknya dapat menghendaki tiadanya maqam tertinggi, oleh karena ketinggian adalah milik Allah SWT semata. Maka, karena penghambaan adalah pilihan yang dipilihkan oleh Allah,
kehendak
dirinya yang menghendaki tiadanya maqam tertinggi adalah esensi kebaqaannya dimana semua kehendak dirinya melenyap secara mandiri menjadi kehendak Allah semata. Jadi, manusia yang menjadi seorang hamba Allah adalah manusia yang berada dalam suatu “sudut pandang tanpa sudut pandang”, Ibnu Arabi menyebutnya “Maqam Tanpa Maqam”, atau saya katakan suatu "Maqam Tanpa Nama". Setelah sama sekali tidak menonjolkan dirinya di hadapan al-Haqq, seorang hamba yang sempurna tidak lagi memiliki dirinya sendiri, ia menjadi terfanakan, dan kemudian menjadi kehilangan segalanya, ia tidak memiliki peringkat, lantas iapun termurnikan seperti awal mula dan eksis kembali dalam kebaqaan-Nya, ia pun berdiri pada "Maqam Tanpa Nama". Ia hanyalah hamba Allah semata.
Kun Fa Yakuun________________________________________________
5
Atmonadi__________________________________________Risalah Pendek
Ketika seorang berada dalam “Maqam Tanpa Nama”, maka si hamba Allah tidak berada
dibawah
belenggu
perbudakan
oleh
sesama
makhluk
ataupun
diperbudak oleh perubahan kehidupan duniawi maupun ukhrawi; ia diabsahkan dengan tersingkirnya segala macam pembedaan dalam hatinya, sehingga segala gejala duniawi sama di hadapannya. Ia akan menunggalkan diri kepada Allah Yang Maha Esa semata. Dan menyaksikan dengan ar-Rububiyah-Nya, ia berada di pintu surga yang semerbak wanginya tercium di dunia. Tidak ada sesuatupun yang memperbudaknya, baik perkara duniawi yang bersifat sementara, pencarian kepuasan hawa nafsu, keinginan, kepemilikan, permintaan, niat, kebutuhan ataupun ambisi. Al-Husain bin Mansyur lebih lanjut berkomentar, “Ketika orang mencapai maqam penghambaan, segalanya nampak bebas dari belenggu penghambaan. Lalu ia melakukannya tanpa beban. Itulah maqam para Nabi dan kaum shiddiqin.Maksudnya, ia sendiri dipikul oleh maqam tersebut; tanpa kesusahan, walaupun tetap konsisten dengan syariat.” Menurut Syekh Ibnu Athaillah as sakandari, Hamba Allah yang sempurna ini adalah hamba yang telah minum karunia Allah dari nur Tauhid-Nya; Bertambah kesadarannya. Ia tidak menampakkan sesuatu selain Allah. Menjadi eratlah kehadirannya di hadapan Allah. Meskipun demikian, perjumpaannya dengan Allah tidak menghalangi penglihatannya kepada sesama makhluk, dan penglihatannya kepada makhluk tidak menghalangi pertemuannya dengan Allah. Dirinya tidak fana di dalam Zat Allah, sehingga tidak terhalang ia berhubungan dengan makhluk Allah. Demikian juga perasaannya bersama makhluk Allah tidak mengahalangi fananya ke dalam Zat Allah. Diberikan setiap bagiannya, dan memenuhi yang mempunyai hak akan hak-haknya. Syekh Ibnu Ibad menegaskan pendapat Ibnu Athaillah diatas,
Kun Fa Yakuun________________________________________________
6
Atmonadi__________________________________________Risalah Pendek Hamba Allah yang dekat dengan Allah dan dekat dengan makhluk tidak akan lupa kepada makhluk ketika berhadapan dengan Khaliq dan tidak menjadi lalai apabila berada di tengah makhluk. Inilah manusia yang paling istimewa dan khusus. Hamba Allah seperti ini tidak melupakan sesama hamba-Nya, ketika sedang asyik masyuk dengan-Nya, dalam ibadahnya, dalam amalnya, dalam tafakkur-nya dan ibadah lain yang memerlukan konsentrasi. Akan tetapi ia pun tetap dalam keadaan tafakkur dan tawadu’ ketika berada di tengah-tengah sesama hamba Allah. Ia tetap ikut mengurus kepentingan manusia akan tetapi ia tidak larut sehingga lalai kepada Allah dan kewajiban-kewajibannya. Nabi Muhammad SAW sebagai hamba Allah merupakan suatu teladan manusia, merupakan contoh nyata dari gambaran Insan Kamil yaitu manusia di “Maqam Tanpa Nama ”. Untuk menetapkan dan memantapkan penghambaan mereka, manusia harus menyadari hubungan-hubungan yang tepat di antara segala sesuatu. Ia menjadi memahami bahwa apa yang nampak dalam pengertian realitas adalah maya adanya, semua itu adalah milik Tuhan semata dan akan kembali kepada-Nya. “innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun (Sesungguhnya kami milik Allah dan sesungguhnya kepada-Nya kami kembali ” (QS Al-Baqarah [2]:156 ). Dalam kehidupan sehari-hari, maka secara praktis ia harus memantapkan sikap rendah hati secara sempurna. Manusia tidak dapat membandingkan dirinya sebagai hamba Allah dengan Allah, bahkan dengan makhluk-Nya pun ia tidak berhak membandingkan dirinya, karena ia sebenarnya tidak mempunyai alasan untuk merasa lebih baik, lebih tinggi, lebih suci, dan merasa lebih dari makhluk Allah lainnya, apalagi merasa sombong dan merasa lebih mulia dari Tuhannya. Sehingga dalam ketiadaan dirinya, dalam kebingungannya, yang ada hanyalah “HambaKu…HambaKu…HambaKu Allah….Allah….Allah…” sebagai nuansa penghabisan yang melenyapkan dirinya.
Kun Fa Yakuun________________________________________________
7
Atmonadi__________________________________________Risalah Pendek Dalam kehambaan, hakikat dirinya adalah lemah bahkan tiada. Semua amalnya tidak lebih dari sekedar kewajiban kehambaannya kepada-Nya. Sehingga ia pun semestinya tidak bergantung kepada amal-amalnya, namun menyadari bahwa semua amalnya itu tidaklah seberapa jika dibandingkan dengan hidayah dan anugerah Allah kepada-Nya. Jadi,
jangan merasa sombong karena ber-KTP
Islam, jangan merasa sombong karena sudah berbaju koko, jangan berasa sombong karena sudah berjilbab, jangan merasa sombong karena sudah shalat, jangan merasa sombong karena sudah berhaji, jangan merasa sombong karena bertasawuf, dan jangan merasa sombong karena merasa sudah beramal lainnya. Tanpa kehambaan diri dihadapan Allah, maka semua amal tidak seberapa dibandingkan dengan hidayah dan anugerah Allah yang dilimpahkan setiap saat sebagai suatu rahmat dan cinta, mulai dari manusia dilahirkan sampai azal tiba. Oleh sebab itu, harus dipahami bahwa dimensi syariat harus ditopang oleh hakikat dimana dengan hakikat setiap segmen terkecil dari waktu si hamba mesti disertai dengan kesadaran untuk selalu mengingat Allah semata (dzikir). Manusia yang sempurna adalah manusia yang berkesadaran transenden dan holistik, yang melakukan penghambaan di hadapan Dzat Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang. Mereka yang menghamba adalah mereka yang menerima sumber setiap sifat yang ada di dalam dirinya dan yang lain, dan mereka menyaksikan bahwa penyifatan dirinya dengan semua akhlak yang mengarah kepada Allah hanya dapat dilalui melalui pelakonan kehidupan sebagai hamba Allah dengan citarasa (dzauqi) penyingkapan dan penyaksian, bukan hanya melalui pemahaman rasional (aqli) semata. Hamba Allah adalah mereka yang memasrahkan
diri (Islam) mereka semata-mata hanya kepada
Allah SWT yang Wujud (Ihsan) dan memberikan setiap keyakinan yang menetap secara mandiri (Iman dan Tauhid), baik berupa akhlak khusus maupun pemberi rahmat, untuk melayani semua makhluk di semua alam. Manusia Sempurna, kendati secara status, peringkat, dan eksistensi dirinya menjadi musnah, ia bukanlah manusia yang musnah dari eksistensi yang maujud
Kun Fa Yakuun________________________________________________
8
Atmonadi__________________________________________Risalah Pendek (sebagai manusia yang berjasad dan hidup hasil dari penciptaan). Justru, mereka sendirilah yang nyata diantara semua makhluk yang ada, karena mereka mengetahui dirinya sendiri dan yang lainnya untuk apa dia diciptakan. Dia sudah melampaui “Man Arofa Nafsahu, Faqod Arofa Robbahu”, dia nyata sekali sebagai dia yang melihat “Allah dengan Allah”. Dia yang nyata dengan ubudiyahnya menyaksikan “Laa ilaaha illa Allaah, Muhammadurrasulullah”. Setelah menyerahkan ilusi kediriannya di hamparan altar ketiadaan, mereka tidak tampak seperti halnya batas-batas wujud yang tanpa tapal batas dan meliputi segala sesuatu (fana), namun kemudian muncul kembali pada bentuk selanjutnya yang termurnikan di titik keseimbangan optimum awal mula sebagai penyingkapan diri dari yang wujud (baqa). Setelah menghilangkan berbagai keterbatasan kemanusiaannya, mereka hidup sebagai wajah-wajah Allah yang berubah menjadi makhluk. Mereka ada di setiap keadaan, mereka bertindak pada setiap keadaan sebagai kebutuhan situasi menurut sifat wujud itu sendiri. Mereka tidak berada dalam suatu maqam yang khusus, bahkan mereka tidak lagi mengenal maqam-maqam karena semua maqam sudah menyatu menjadi Hamba Allah sebagai Maqam Tanpa Nama, namun mereka memberi respon pada setiap keadaan dan situasi dengan potensi dan kapabilitasnya masingmasing sebagai karakter dasar yang diinginkan Tuhan (sesuai dengan qadā dan qadarnya). Mereka bisa menampilkan respon yang pantas dan bahkan lebih baik terhadap sifat-sifat alamiah tentang segala sesuatu, baik yang terjadi di alam nyata maupun di alam gaib sebagai penerus dari rahmat untuk seluruh alam. Dalam banyak aspek , maka : Mereka yang menjadi hamba Allah adalah mereka yang berjalan selaras dengan Kehendak Allah; mereka yang menjadi hamba Allah adalah mereka yang dihatinya tumbuh Sidratul Muntaha, sebagai Bunga Teratai yang tenang, yang tumbuh menjulang di suatu tempat tanpa tapal batas,
Kun Fa Yakuun________________________________________________
9
Atmonadi__________________________________________Risalah Pendek sebagai wujud Kemahagungan dan Kemahaindahan Allah Azza wa Jalla. Setiap geraknya adalah Kemahalembutan-Nya, yang mengada dari ar-Rahmaan dan ar-Rahiim-Nya; Desah nafasnya adalah Rahmat-Nya yang tidak pandang bulu; Belaiannya adalah Kasihsayang-Nya; Tatapannya adalah Ketentuan -Nya; Ucapannya adalah Ilmu-Nya; Langkahnya adalah Yang Menghidupkan dan Yang Mematikan; Keputusannya adalah Kemahaadilan dan Kemahabijaksanaan-Nya; Sedekahnya adalah ketulus ikhlasan yang muncul dari ridha-Nya; Akhlaknya adalah kesempurnaan Asma-asma dan Sifat-sifat-Nya; Ketika ia berbicara tentang ke-Esa-an-Nya, Ia sebenanya berbicara tentang cinta-Nya, ia sebenarnya sedang menunjukkan jalan, untuk kembali kepada-Nya. Dan dirinya, tak lebih dari sekedar hamba-Nya, yang sirna di “Maqam Tanpa Nama”. Lebak Bulus, 11 November 2004 Atmonadi
Kun Fa Yakuun________________________________________________ 10