PERANAN MEDIA SOSIAL DALAM POLITIK GENERASI MILENIAL Oleh Kartika Suryani
Di tahun politik ini generasi milenial menjadi bahan pembicaraan di media. Meskipun masih terjadi perdebatan siapa saja yang dikelompokkan menjadi generasi milenial. Kapan mereka dilahirkan, dan bagaimana karateristik mereka masih simpang siur. Pada tahun 2017, BPS memperkirakan generasi milenial mencapai 85 juta jiwa atau 32,6 persen dari total penduduk yang sebanyak 261,89 juta jiwa. Maka generasi milenial menjadi target partai politik untuk mendapatkan suara. Potensi yang begitu besar dari generasi milenial membuat partai politik mentarget generasi tersebut, meskipun dengan cara yang berbeda-beda. Karena generasi milenial yang dianggap melek media, para tokoh politik Indonesia berusaha eksis di dunia media sosial. Demi meraih simpati generasi milenial para tokoh politik merubah gaya dan karakternya sesuai trend generasi milenial saat ini. Meraih simpati generasi milenial memang susah gampang, karakternya yang susah ditebak dan cenderung apatis terhadap politik membuat mereka susah didekati oleh partai politik. Ditambah lagi dengan generasi milenial tidak memiliki loyalitas yang tinggi terhadap suatu institusi partai. William Strauss dan Neil Howe dalam beberapa publikasinya pada tahun 1990 an, generasi milenial adalah orang-orang yang lahir antara tahun 1980-2000, yang sering juga disebut sebagai generasi Y. Generasi ini dianggap sebagai generasi yang individualistik, sangat bergantung pada teknologi, dan apatis terhadap politik. Apatisme terhadap politik tak lepas dari pandangan bahwa politik itu kotor. Banyaknya pejabat publik yang tertangkap oleh KPK membuat opini mereka menjadi negatif. Partai-partai yang mempunyai jargon anti korupsi, bukanya memerangi korupsi malah banyak kadernya yang tersangkut korupsi. Itulah yang mungkin menjadi penyebab apatisme generasi ini terhadap politik. Namun demikian kiprah politik kaum generasi muda seperti Tuan Guru Bajang (TGB) Zainul Majdi gubernur Nusa Tenggara Barat dan Emil Dardak Bupati Trenggalek Jawa Timur, mungkin bisa menjadi acuan generasi milenial untuk mengurangi sikap apatisnya terhadap partai politik. Karena generasi inilah yang nantinya akan membawa perubahan di negeri ini.
Di sisi lain, Daniel Wittenberg pada 2013 menulis artikel di The Guardian mengenai anak muda dan politik. Wittenberg menceritakan bagaimana ia dan anak muda lainnya tertarik dengan isu-isu yang berkaitan dengan masa depannya seperti akses pendidikan, pelayanan kesehatan, lapangan pekerjaan, dan rumah murah. Bahkan Wittenberg dengan tegas menyatakan bahwa sesungguhnya anak muda tertarik dengan politik, tapi tak pernah diberi kesempatan dalam politik. Banyak cara untuk meningkatkan partisipasi politik generasi milenial, salah satunya meraih simpati mereka lewat media sosial. Di era zaman now ini banyak sekali macam media sosial. Misalkan facebook, instagram, twitter, path, whats up, dan BBM. Bagi politikus ini merupakan suatu jalan untuk mendekati generasi milenial. Karena media sosial merupakan kebutuhan bagi mereka. Para pengusung kandidat partai harus jeli melihat kesempatan yang ada di media sosial. Mencari momentum yang tepat untuk bergerak di media sosial. Sebaliknya juga harus bisa memanfaatkan medsos supaya tidak menjadi senjata makan tuan bagi partainya. Karena media ini seperti buah simalakama yang sewaktu waktu bisa berubah-ubah kegunaanya. Apalagi di dunia media sosial perubahan sangat cepat sekali, beda sekali dengan dunia nyata yang membutuhkan waktu untuk perubahan. Secara epistimologi media sosial adalah sebuah media online yang mendukung interaksi sosial dan media sosial menggunakan teknologi berbasis web yang mengubah komunikasi menjadi dialog interaktif, dimana para penggunanya bisa dengan mudah berpartisipasi, berbagi, dan menciptakan isi meliputi blog, jejaring sosial, wiki, forum dan dunia virtual. Di seluruh dunia blog, jejaring sosial dan wiki merupakan media sosial yang sering diakses. Perkembangan media sosial kini sangat cepat dikarenakan semua orang bisa memiliki media send iri. Akses yang mudah dan biaya yang murah menjadi pendukung cepatnya perkembangan media sosial. Dengan kuota dan wifi para pengguna media sosial sudah bisa berinteraksi dengan pengguna lain di seluruh penjuru dunia. Penggunaan media sosial untuk kegiatan politik di Indonesia sudah terjadi pada tahun 2012. Media sosial mampu menggenjot popularitas tokoh-tokoh politik. Di tahun politik 2018-2019 kegiatan politik di media sosial menunjukkan
kenaikan yang drastis. Upaya-upaya untuk membentuk citra politik digalakkan mendekati pilkada dan pemilu presiden. Meskipun ada yang melakukanya dengan samar-samar dan juga melakukannya dengan terang-terangan. Memanfaatkan kampanye via Youtube atau facebook, merupakan trend kampanye saat ini. Di youtube atau
facebook
politikus bisa mengunggah
aktifitas sosialnya untuk membentuk sosial brandnya atau sering disebut sebagai pencitraan. Atau mungkin dengan media sosial di atas seorang pengguna media sosial bisa membuat suatu gerakan yang bisa membawa perubahan. Namun demikian, penggunaan media sosial tidak mudah begitu saja. Media sosial merupakan tempat generasi milenial beraktifitas dan beropini. Kemampuan generasi milenial mengakses media sosial tidak diragukan lagi. Dikawatirkan kemampuan mengkases media sosial tidak diimbangi dengan kemampuan mengolah data dari media sosial atau literasi media. Adanya akun-akun palsu yang menyebarkan berita-berita hoax yang menjadi malapetaka bagi partai politik maupun kandidat yang diusung. Hoax yang sering menjatuhkan salah satu pihak sudah menjadi santapan bagi pengguna media sosial. Jika tidak bisa menyerap informasi dengan baik maka pengguna akan terpengaruh oleh hoax. Contoh yang terjadi di beberapa negara. Seperti revolusi Tunisia dimulai dari seseorang yang membakar dirinya untuk melakukan protes atas pemerintahan Tunisia, kemudian video tersebut viral di media sosial sehingga memicu gerakangerakan selanjutnya. Akhirnya, revolusi yang dipengaruhi kekuatan media sosial ini memicu perubahan politik di wilayah-wilayah negara Arab yang dikenal sebagai The Arab Spring. Di Indonesia hastag #2019gantipresiden juga menjadi sebuah gerakan yang viral saat ini karena melalui media. Sebuah protes untuk ketidak puasan atas pemerintahan yang atau mungkin sebuah ajakan untuk menjatuhkan rezim pemerintahan sekarang. Media sosial seperti rimba sosial, siapa saja bisa berkuasa di media sosial. Akses yang yang luas dan tak terbatas menjadikan siapapun menjadi pengamat dan kritikus di media sosial. Sehingga ketika masuk di media sosial, kita seperti berhadapan dengan orang yang bermuka dua, kadang baik kadang
buruk. Kadang baik jika konten itu berisi berita dan informasi positif, buruk jika konten itu berisi berita dan informasi negatif. Dalam konteks politik, media sosial merupakan senjata politik untuk saat ini. Media sosial meruapakan salah satu jalan untuk meraup suara. Para politisi menggunakan media sosial untuk mendekati generasi milenial, karena arus utama informasi generasi milenial. Maka dari itu pengguna media sosial yang sebagian besar generasi milenial harus mampu dalam literasi media. Yaitu kemampuan dalam menyerap informasi dan menganalisis informasi-informasi yang bersifat menghasut, mencaci, bahkan menjatuhkan.
GENERASI POLITIK MILENIAL Politikus bukan hanya mendapatkan simpati dan mendapatkan suara semata. Mereka punya tanggung jawab untuk memberikan edukasi politik, atau konten yang positif kepada generasi milenial melalui media sosial sehingga kesadaran politik yang terbangun adalah kesadaran politik yang positif. Dan tentu saja berpolitik bukanlah ikut pilkada dan pemilu saja. Politik adalah bagaimana mengelola kekuasaan untuk mencapai dan mewujudkan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat. Inilah yang sering diabaikan partai politik. Yang menjadi lebih fatal lagi jika partai politik belum mampu menciptakan kader yang visioner dan berintegritas dalam ranah politik. Pendidikan politik untuk generasi milenial sangatlah penting, untuk menjaga iklim politik yang sehat. Memberikan pengertian bahwa generasi milenial merupakan generasi yang bisa merubah negara Indonesia merupakan suatu kewajiban bagi semua orang. Kesadaran berpolitik generasi milenial perlu diberikan, untuk menjaga nilai-nilai dalam panggung politik. Cara yang digunakan tentu juga berbeda, cara yang digunakan generasi milenial adalah menggunakan media sosial seperti facebook dan Youtube. Media tersebut akan menjadi media politik bagi mereka. Mereka akan berpartisipasi dalam politik melalui akun media sosial. Politikus bisa berinteraksi dalam konteks politik melalui media sosial. Asalkan menjaga moralitas dalam berpolitik, memberikan edukasi yang baik dalam berpolitik.
Generasi milenal haruslah mampu merubah pola komunikasi politik mereka dari yang konvensional menuju ke dinamis. Supaya bisa berdialog dan beropini. Gaya formal dan normatif harusnya sudah bukan menjadi tren dikalangan milenial. Gaya yang santai namun santun merupakan impian dari generasi milenial. Jangan seperti apa yang dikatakan Bertold Brecht “Buta terburuk adalah buta politik. Dia tidak mendengar, tidak melihat, tidak berpartisipasi dalam setiap adegan politik. Dia tahu bahwa kenaikan harga barang dan jasa, kemiskinan, dan kemajuan negara tergantung kepada keputusan politik. Dia dengan bangga mengatakan benci kepada politik. Dia tidak sadar bahwa apa yang dia kerjakan menyebabkan orang lain kehilangan pekerjaan, anak terlantar, hadirnya politisi buruk, dan buruknya pengelolaan negara”.
DAFTAR PUSTAKA
Annisa,Finasti.”Mengenal Indonesia Lewat Data: Generasi Millenial dan Terbukanya Peluang Ekonomi Baru Indonesia”.Ideannisa.com (diakses pada19 Mei 2018)
Reynaldi.”Pengantar Teori Generasi Straus-Howe”.Reysatrio.wordpress.com (diakses pada 19 Mei 2018)
Syarfina.”Dua Tahun Revolusi Tunisia”.aceh.tribunnews.com (diakses pada 19 Mei 2018)
Wirodono,
Sunardian.”Politic
Quotes:Buta
terburuk
adalah
Buta
Politik”.www.kompasiana.com/sunardianwirodono (diakses pada 19 Mei 2018)
www.wikipedia.org