Masyarakat Transparansi Indonesia

  • Uploaded by: yandi fauzi
  • 0
  • 0
  • July 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Masyarakat Transparansi Indonesia as PDF for free.

More details

  • Words: 1,131
  • Pages: 3
ARTIKEL DAN BERITA [ HOME ] [ ARTIKEL DAN BERITA EDISI JULI 2003 ]

Indeks Pembangunan Manusia Indonesia Oleh: Mar'ie Muhammad Koran Tempo - Senin, 14 Juli 2003 Pekan lalu tersiar berita mengejutkan mengenai merosotnya Indeks Pembangunan Manusia Indonesia yang dimuat dalam Laporan Pembangunan Manusia 2003 oleh Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP). Mengejutkan karena Indeks Pembangunan Manusia Indonesia mengalami penurunan dibandingkan tahun lalu, yaitu dari 175 negara, Indonesia menempati urutan ke-112, lebih rendah ketimbang tahun lalu yang menempati urutan ke-110. Dan peringkat Indonesia ini lebih rendah dibanding Thailand, Filipina, bahkan Vietnam, tapi lebih baik daripada Kamboja dan Myanmar. Human Development Index versi UNDP sebenarnya merupakan salah satu cara mengukur tingkat kesejahteraan masyarakat suatu negara dan indeks yang diumumkan itu adalah mengenai keadaan tingkat kesejahteraan pada 2001. Ukuran yang dipakai dalam indeks tersebut berdasarkan beberapa kriteria dan masing-masing kriteria diberi bobot tertentu. Kualitas atau tingkat kesejahteraan masyarakat didasarkan atas rata-rata usia harapan hidup, persentase mereka yang melek huruf dari usia 15 tahun ke atas, jumlah persentase anak didik yang menikmati bangku sekolah tingkat dasar dan menengah, serta penghasilan rata-rata penduduk yang dinyatakan dalam kekuatan daya beli. Sebenarnya peringkat ke-110 pada tahun 2000 dan peringkat ke-112 pada 2001 bukan menunjukkan penurunan berarti, tapi tentu patut memperoleh perhatian. Dapat dikatakan tingkat kesejahteraan masyarakat Indonesia tidak mengalami perubahan berarti, kecuali dalam hal penurunan penduduk yang tergolong miskin secara absolut, yang pada 2001 lebih baik dibanding tahun 2000. Dalam bidang pelayanan sosial, pendidikan, dan kesehatan dapat dikatakan kita bergerak di tempat alias tidak banyak berubah. Dan penurunan peringkat Indonesia disebabkan oleh masuknya dua negara, Bosnia-Herzegovina dan Palestina, ke dalam daftar laporan yang dibuat UNDP ini. Dengan kata lain, pelayanan pendidikan serta kesehatan dasar tidak mengalami perbaikan dan keadaan diperburuk oleh adanya daerah-daerah yang tertinggal atau terbelakang dalam bidang pelayanan sosial, kesehatan dasar, serta pendidikan. Berbagai komentar dari para pengamat, tokoh masyarakat, bahkan pejabat tinggi muncul menanggapi hal ini. Ada yang berpendapat, keadaan ini disebabkan selama 30 tahun pembangunan di masa lalu hanya mementingkan pertumbuhan ekonomi, meski ini perlu dikaji lebih mendalam. Ambil contoh pada 1960-an rata-rata usia harapan hidup kita masih

berada pada tingkat 53 tahun, sedangkan pada 2001 menurut laporan UNDP ini sudah berada pada tingkat 66,2 tahun. Angka kemiskinan absolut pada 1960-an tidak banyak berbeda dengan jumlah penduduk miskin yang absolut pada sekitar tahun 1935 di zaman penjajahan Belanda dan jumlah penduduk miskin yang absolut sekitar 60 persen dari jumlah penduduk. Sementara itu, saat ini, meski kita masih bergulat untuk terus memperbaiki keadaan sosial dan ekonomi, jumlah penduduk miskin absolut sekitar 15-16 persen dari jumlah penduduk. Sebelum krisis pada 1997, jumlah penduduk miskin absolut menurut laporan Bank Dunia sekitar 11-12 persen dari jumlah penduduk. Tentu ada yang berpendapat bahwa utang luar negeri kita saat ini berlipat ganda dibandingkan dengan utang luar negeri pada 1960-an. Pendapat ini tentu benar. Tapi jangan lupa pula berbagai infrastruktur ekonomi dan sosial, seperti jalan-jalan, pelabuhan, listrik, saluran irigasi, dan infrastruktur sekolah serta kesehatan dasar pada saat ini, meski belum memadai, jauh lebih baik dibandingkan pada 1960, dengan jumlah penduduk yang harus dilayani yang jumlahnya semakin besar. Tentu ada yang berpendapat pula bahwa terdapat dana publik dalam jumlah besar yang dikorup. Pendapat ini juga benar dan nyatanya saat ini korupsi pun tidak semakin mereda. Yang penting sekarang adalah kita bukan sekadar mencari-cari kesalahan seraya mencari kambing hitam, tapi mengambil pelajaran dari masa yang lalu; yang positif semakin ditingkatkan dan yang negatif harus dikurangi, bahkan dihilangkan. Jadi, arah ke depan, bagaimana kita memperbaiki tingkat kesejahteraan masyarakat--khususnya bagi masyarakat miskin dan mereka yang berpenghasilan pas-pasan--sehingga tetap memperoleh akses yang cukup dan dapat menikmati kebutuhan-kebutuhan asasi dalam bidang sosial, kesehatan, dan pendidikan. Beberapa arah kebijakan ke depan perlu menjadi perhatian para elite, baik di kalangan pemerintahan maupun DPR, dan tokoh-tokoh masyarakat. Peranan tokoh masyarakat sangat penting untuk pembangunan masyarakat, apalagi kita sudah bertekad untuk membangun masyarakat dari bawah. Dan hal ini tidak hanya di pusat dan justru yang perlu memperoleh perhatian sangat khusus adalah perkembangan di daerah-daerah yang saat ini memiliki kekuasaan dan sumber dana yang lebih besar. Ada kecenderungan kuat bahwa daerah-daerah dengan otonomi yang seluas-luasnya sangat menikmati kekuasaan yang semakin besar, tapi hal ini tidak diimbangi dengan tanggung jawab dan transparansi yang seimbang. Perlu pemantauan di daerah-daerah guna menyisihkan dana dari APBD-nya yang cukup untuk pendidikan dasar, kesehatan dasar, dan pelayanan sosial. Misalnya, akses bagi masyarakat miskin untuk memperoleh air bersih dan lingkungan yang sehat bagi mereka-termasuk bagi penduduk yang mengalami isolasi karena keadaan geografis. Pada tingkatan saat ini, dilihat dari struktur anggaran belanja, dapat dipastikan tidak mungkin bagi pemerintah pusat untuk menyediakan anggaran yang besar bagi pendidikan, kesehatan dasar, dan pelayanan sosial karena besarnya anggaran yang harus dikeluarkan untuk pembiayaan rutin serta cicilan utang dalam maupun luar negeri. Sebagai contoh, dalam APBN 2003, anggaran yang disediakan untuk

pendidikan hanya mencapai sekitar 10 persen dari total anggaran, sedangkan untuk cicilan utang mencapai 22 persen. Anggaran untuk pendidikan masih rendah jika dinyatakan dalam produk domestik bruto (PDB) dan Indonesia saat ini hanya mencapai 1,6 persen dari PDB, sedangkan Thailand mencapai 3,6 persen dari PDB. Karena itu, keterbatasan anggaran belanja harus secepatnya dapat dipecahkan, dan itu hanya bisa dicapai jika kegiatan ekonomi bergerak lebih cepat dibanding saat ini dan hasilnya dinyatakan dalam tingkat pertumbuhan PDB yang meningkat. Roda ekonomi dan bisnis yang semakin meningkat, akan menciptakan lapangan kerja sehingga mereka yang mempunyai penghasilan tetap akan semakin besar. Dengan penghasilan yang ada, penduduk akan dapat menyekolahkan anaknya. Demikian pula gizi dapat diperbaiki serta biaya untuk kesehatan dasar akan tersedia. Hasilnya, kesejahteraan akan meningkat dan tentu peringkat Indonesia, dengan ukuranukuran yang dipakai oleh UNDP, akan semakin naik. Sebaliknya, jika roda ekonomi bergerak di tempat, apalagi menurun, jumlah masyarakat miskin yang absolut akan semakin membludak dengan segala akibatnya yang sungguh fatal bagi hari depan Indonesia. Peningkatan pengangguran akan selalu diikuti dengan meningkatnya kejahatan dan masyarakat semakin tidak mampu memenuhi kebutuhan dasarnya, seperti makanan yang cukup, pendidikan dasar bagi anak-anak mereka, dan kesehatan dasar, agar mereka dapat terhindar dari berbagai penyakit. Suatu pertumbuhan ekonomi yang tinggi tidak otomatis menjamin adanya pemerataan penghasilan. Dan untuk keadaan Indonesia dan negara-negara berkembang lainnya, yang lebih mendesak untuk segera ditangani adalah memberantas kemiskinan absolut dan mengurangi jumlah penduduk yang mengalami kelaparan kronis. Yang paling fatal, jika sampai terjadi pertumbuhan ekonomi stagnan pada tingkat yang rendah, katakanlah di bawah 5 persen, dan pemerataan pendapatan pun tidak semakin baik. Dan jika kita tidak berhati-hati mengelola negara dengan mengikutsertakan masyarakat sebanyak mungkin dalam proses pembangunan yang berkelanjutan, bukan tidak mungkin skenario ini yang akan terjadi. Mimpi buruk ini bukan mustahil terjadi karena tampaknya para pemimpin, tecermin dari elite politik kita, lebih mementingkan kepentingan individu dan kelompoknya dan menganggap kedudukan politik sebagai hak istimewa, bukan sebagai alat untuk mensejahterakan masyarakat. [ HOME ] [ ARTIKEL DAN BERITA EDISI JULI 2003 ] © Copyright 1999 Masyarakat Transparansi Indonesia The Indonesian Society for Transparency http://www.transparansi.or.id E-mail: [email protected]

Related Documents


More Documents from "Shim-Chung Nana"