Masalah Perilaku Seks Dan Prostitusi Anak Remaja

  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Masalah Perilaku Seks Dan Prostitusi Anak Remaja as PDF for free.

More details

  • Words: 1,894
  • Pages: 9
1

BAB I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Semakin maraknya perilaku seks bebas pada kalangan anak remaja memberikan keprihatinan yang mendalam pada kita semua, dari penelitian yang dilakukan secara perorangan atau badan memperlihatkan kenaikan yang begitu signifikan. Bukan cuma itu tetapi juga marak diantara remaja dengan mudahnya menjajakan diri (terlibat menjadi pelacur), tanpa memikirkan dampak penyakit, moral dan psikososial yang ditimbulkannya. Masa remaja adalah suatu tahap dalam perkembangan di mana seseorang mengalami perubahan-perubahan yang dramatis dari aseksual menjadi seksual. Perubahan-perubahan tersebut terutama ditandai oleh perkembangan karakteristik seks primer dan seks sekunder. Perkembangan karakteristik seksual kemudian menyebabkan perkembangan perilaku seks seperti tertarik pada lawan jenis dan keinginan untuk melakukan hubungan seks. Perilaku seks pada remaja dapat mengarah pada problem yang serius jika perilaku tersebut diekspresikan secara tidak sehat atau tidak sesuai dengan norma-norma yang berlaku. Perilaku seks yang tidak sehat pada remaja merugikan remaja yang bersangkutan paling tidak didasarkan pada empat pertimbangan. Semua ini menimbulkan dampak negatif berupa meningkatnya tingkat penyebaran Penyakit Menular Seksual (PMS), terjadinya Abortus Provokatus, yang berakhir pada terpaparnya remaja remaja ini pada kematian. Seks yang dulu ditabukan bagi anak remaja, kini justru menjadi demikian terbuka sampai sebagai ajang komersialisasi dan praktik prostitusi. Kasus semacam itu mungkin bukan satu-satunya yang pernah terjadi di negeri ini. Bahkan, bisa jadi seperti fenomena gunung es; makin ke bawah kian membesar dan meluas. Sesungguhnya, apa yang sedang terjadi di negeri ini sehingga seks yang sakral sudah berubah menjadi perilaku yang murahan? Sudah demikian

2 parahkah moralitas sebagian anak remaja putri kita sehingga mereka rela menggadaikan ”mahkota”-nya demi memanjakan nafsu lelaki hidung belang? Prostitusi agaknya bukan persoalan yang mudah untuk dihilangkan begitu saja dari muka bumi ini. Perilaku ”anomali” semacam itu tergolong sebagai perilaku yang tertua, ada semenjak manusia mengenal peradaban. Persoalan ekonomi, gaya hidup hedonis, putus asa, kompleksnya persoalan sosial dan budaya, proses degradasi moral, atau maraknya sikap permisif, bisa menjadi ”sponsor” utama maraknya praktik pelacuran. Bahkan, ada yang secara ekstrem menyatakan bahwa prostitusi baru akan hilang ketika peradaban dunia sudah tamat alias lenyap. Mereka yang punya naluri bisnis ”esek-esek” agaknya telah terlatih untuk menajamkan daya penciuman dalam memburu mangsa. Dengan berbagai

macam

cara,

mereka

memasang

perangkap

untuk

menjerat

perempuan di bawah umur demi memuaskan naluri purba pelanggannya. Tak ayal, pelajar putri yang masih anak remaja yang kebetulan sedang bermasalah menjadi sangat rentan kena perangkapnya. 2. Tujuan Tulisan ini mencoba menggali : •

Faktor

faktor

yang

mempengaruhi

semakin

meningkatnya

pergaulan seks bebas dan prostitusi anak remaja. •

Tindakan

pencegahan

apa

yang

perlu

dilakukan

untuk

meminimalisasi perilaku patologi seks bebas dan prostitusi dikalangan remaja. 3. Manfaat Dengan penulisan ini diharapkan bahwa masayarakat khususnya mahasiswa psikologi lebih mengetahui cara cara penanganan perilaku patologi remaja di bidang Perilaku Seks Bebas dan Prostitusi.

3 BAB II. KAJIAN TEORITIS DAN RISET 1. Kajian Teoritis Kartono (1986), menyimpulkan bahwa Juvenile Delinquency adalah perilaku jahat (dursila) atau kenalakan anak anak muda, meruapakan gejala sakit (patologis) secara sosial yang disebabkan oleh satu bentuk pengabaian sosial, sehingga mereka mengembangkan tingkah laku menyimpang. Anak anak muda ini disebut sebagai anak cacat secara sosial, mereka menderita cacat mental disebabkan oleh pengaruh sosial yang ada di tengah masyarakat. Selanjutnya dia juga mengatakan bahwa pengaruh sosial kultural memainkan peran besar dalam pembentukan tingkah laku kriminal anak remaja, yang merupakan kurangnya tanda tanda konformitas terhadap norma sosial, mayoritas JD (Juvenile Delinquency) berda dibawah usia 21 tahun dan tertinggi pada usia 15 -19 tahun, sesudah usia 22 tahun akan menurun, tetapi kejahatan seksual banyak dilakukan dari usia remaja sampai umur menjelang dewasa.

Anak

perempuan lebih banyak jatuh ke lembah pelacuran Promiskuitas (pergaulan bebas dan seks bebas dengan banyak pria). Saputra & Habsyi (2002), mengatakan bahwa kehidupan wanita dalam dunia seks (prostitusi), bisa terjadi karena dua faktor utama yaitu “faktor internal” dan “faktor eksternal”. Faktor internal adalah yang datang dari individu wanita itu sendiri, yaitu yang berkenaan dengan hasrat, rasa frustrasi, kualitas konsep diri, dan sebagainya. Sedangkan faktor eksternal adalah sebab yang datang bukan secara langsung dari individu wanita itu sendiri melainkan karena ada faktor luar yang mempengaruhinya untuk melakukan hal yang demikian. Faktor eksternal ini bisa berbentuk desakan kondisi ekonomi, pengaruh lingkungan, kegagalan kehidupan keluarga, kegagalan percintaan, dan sebagainya. Rokan (2007), Tayangan televisi, media-media berbau porno, semakin mendekatkan para remaja itu melakukan hubungan seks di luar nikah. VCD dan DVD porno begitu mudah diperoleh hanya dengan Rp 5.000. Sekali dirazia,

4 setelah itu bebas lagi diperjualbelikan. Sistem pendidikan yang mengejar angkaangka pun memberi andil kerusakan generasi muda itu. Negara dalam Rasmini (2007), mengatakan pendidikan normatif, budi pekerti dan agama memang sangat perlu buat bisa mencegah berbuat yang yang bertentangan dengan norma umum. Tetapi jauh lebih strategis juga adalah pentingnya pendidikan seks itu sendiri. Supaya remaja punya pemahaman akan risiko tindakan yang dilakukan dan membawa remaja menjadi remaja bertanggung jawab dan ini tugas kita bersama. Paling tidak dalam kasus ini remaja jadi menunda hubungan seks atau pacaran sehat tapi buat yang terlanjur gonta-ganti mereka bisa melindungi dirinya dari kehamilan tidak diinginkan, infeksi menular seksual, dan HIV/AIDS. Suaib (2006), menyimpulkan bahwa penyebab utama prostitusi anak remaja adalah faktor kurangnya kontrol orang tua. Praktek komersialisasi birahi yang dilakukan oleh perempuan usia belasan (PUB) sebenarnya memiliki motif serta melalui proses yang sama dengan perempuan dewasa. Yang berbeda hanya tingkat kemungkinan intervensi pihak lain terhadap pilihan mereka dalam bersikap, perempuan dewasa lebih berani dan bebas sedangkan PUB dapat dikendalikan orang tua. Umumnya perempuan yang akhirnya terjun ke dunia komersialisasi birahi tersebut melalui tahapan sbb : 1. Tahap Dorongan,

yang timbul karena perkembangan biologi,

sehingga memicu : a. Pornografi (dampak teknologi), dapat terjadi bila orang tua tidak mengontrol surfing internet, tontonan dan bacaan anak. b. Salah bergaul, dapat terjadi bila orang tua tidak mengontrol frekuensi anak keluar rumah termasuk dalam memilih teman bergaulnya. 2. Tahap Coba coba a. Pacaran. Anak-anak putri biasanya lebih cepat mengalami masa pacaran dari pada putra. Ini terjadi karena secara

5 psikologis anak-anak yang sedang mengalami puber ingin segera mendapatkan pengakuan sebagai orang dewasa, maka dia akan bangga bila dipacari oleh orang yang lebih dewasa daripada dia. Sebaliknya laki-laki (yang lebih matang) akan sangat bangga bila pacarnya PUB. Inilah alasan mengapa banyak PUB yang pacaran dengan laki-laki dewasa

(bahkan

laki-laki

beristri).

Bisa

dibayangkan

bagaimana proses pendewasaan yang prematur itu terjadi pada sang PUB ketika menjadi pacar laki-laki yang sudah ahli dalam menaklukkan perempuan, sementara PUB itu sendiri memang sedang ingin bereksperimen dengan pengalaman-pengalaman barunya. b. Brokenheart.

Problematika pacaran dan problematika

rumah tangga akan mendukung proses coba-coba ini. 3. Tahapan Terbiasa a. Keterlanjuran. Apabila hal tersebut terjadi lebih sering dan tanpa kontrol orang tua maka akan berkembang menjadi kebiasaan, selanjutnya tinggal menunggu 'kecelakaan'. b. Gonta-ganti pacar. 4. Tahap Komersialisasi a. Memanfaatkan kebiasaan. Karena sudah terbiasa dan bisa menghasilkan uang,"Why not?" b. Dukungan gengsi. Desakan kebutuhan untuk bergaya hidup mewah. Pada tahap ini baru motif finansial akan dominan. Rokan (2007) dalam

rubrik Seks Bebas Remaja dikoran replubika,

memuat data data sejumlah peneliti antara lain : 1. Kantor Berita Antara menulis, ”85 Persen Remaja 15 Tahun Berhubungan Seks” 2. Warta Kota (11/2/2007) memberi judul, ”Separo Siswa Cianjur Ngesek”.

6 3. Harian Republika terbitan 1 Maret 2007 menulis ”Hampir 50 persen remaja perempuan Indonesia melakukan hubungan seks di luar nikah.” 4. Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) melakukan survei menyatakan pula bahwa sebanyak 85 persen remaja berusia 13-15 tahun mengaku telah berhubungan seks dengan pacar mereka. Penelitian pada 2005 itu dilakukan terhadap 2.488 responden di Tasikmalaya, Cirebon, Singkawang, Palembang, dan Kupang. 5. Direktur Eksekutif PKBI, Inne Silviane, hubungan seks itu dilakukan di rumah sendiri, rumah tempat mereka berlindung. Sebanyak 50 persen dari remaja itu mengaku menonton media pornografi, di antaranya VCD. Dari penelitian itu pula diketahui, 52 persen yang memahami bagaimana kehamilan bisa terjadi. 6. Penelitian lain dilakukan Annisa Foundation, diberitakan, 42,3 persen pelajar SMP dan SMA di Cianjur telah melakukan hubungan seksual. Menurut pengakuan mereka, hubungan seks itu dilakukan suka sama suka, dan bahkan ada yang berganti-ganti pasangan. Penelitian ini dilakukan Annisa Foundation (AF) pada Juli-Desember 2006 terhadap 412 responden, yang berasal dari 13 SMP dan SMA negeri serta swasta. 7. Laila Sukmadewi, Direktur Eksekutif AF, mengatakan hubungan seks di luar nikah itu umumnya dilakukan responden karena suka sama suka. Hanya sekitar 9 persen dengan alasan ekonomi. ”Jadi, bukan alasan ekonomi. Yang lebih memprihatinkan, sebanyak 90 persen menyatakan paham nilai-nilai agama, dan mereka tahu itu dosa,” ujar Laila. Dijelaskan, sebagian besar mereka menggunakan alat kontrasepsi yang dijual bebas, sebanyak 12 persen menggunakan metode coitus interuptus. Rasmini (2007), menulis bahwa Trend seks pranikah menjadi fenomena menggiurkan bagi gaya hidup remaja sekarang. Apalagi budaya permisif tampaknya melegalkan perilaku seks pranikah. Dalam kondisi aktif dan labil, dalam pencarian jati diri remaja memang sangat mudah terseret arus trend seks pranikah. Selanjutnya dia memaparkan hasil penelitiannya, 766 responden

7 terdapat 526 responden yang menyatakan mereka telah melakukan aktivitas seksual seperti pelukan, 458 responden sudah berciuman bibir, 202 responden sudah pernah mencium leher (necking), disusul 138 responden sudah menggesek-gesekkan alat kelamin tanpa berhubungan seks (petting), 103 responden sudah pernah hubungan seksual, dan 159 menyatakan aktivitas seksual lain selain yang disebutkan tadi. Juga diteliti 432 responden melakukannya dengan pacar, lalu 158 responden dengan teman, 61 responden dengan pasangan yang tidak jelas status hubungannya (HTS), 112 responden dengan teman tapi mesra (TTM), dan 49 responden melakukan aktivitas seksualnya dengan PSK. Dalam penelitian tersebut ditemukan fakta bahwa dari 766 responden ternyata 103 orang pernah melakukan hubungan seksual dan bahkan 49 orang di antaranya melakukan hubungan seksual dengan PSK. Jika saat ini remaja tersebut berusia 16 atau 17 tahun mereka melakukannya tanpa kondom, bisa jadi mereka akan tertular infeksi menular seksual (IMS) atau parahnya human immunodeficiency virus (HIV), maka dengan masa inkubasi sekitar 5-10 tahun dapat diprediksikan mereka baru ketahuan mengidap HIV kira-kira di usia 22 atau 27 tahun ketika mulai memasuki fase AIDS, padahal ini usia yang sangat produktif. Rokan (2007), Tayangan televisi, media-media berbau porno, semakin mendekatkan para remaja itu melakukan hubungan seks di luar nikah. VCD dan DVD porno begitu mudah diperoleh hanya dengan Rp 5.000. Sekali dirazia, setelah itu bebas lagi diperjualbelikan. Sistem pendidikan yang mengejar angkaangka pun memberi andil kerusakan generasi muda itu. Tattersall (1999), pada usia remaja, kehidupan kelihatannya penuh dengan problem, kadang kadang sangat mendominasi dan membuat remaja merasa kesepian sendiri. Remaja pada usia ini merasa bahwa tiada orang lain merasakan ini selain dia dan mereka merasa tak seorangpun mengerti akan dia. Akhirnya beberapa remaja mencari pelarian menjadi pelacur yang imbalannya uang. Menjadi pelacur merupakan cara untuk tetap bertahan hidup atau juga merupakan cara membuat orang lain senang, atau merasakan cinta. 90%

8 pelacur usia remaja pada umumnya berusia dibawah 18 tahun, 50% nya disebabkan karena lari meninggalkan rumah. Para mucikari biasanya membuat remaja jatuh mental dengan cara membuatnya ketagihan pada obat obatan dan alkhohol, sehingga akhirnya mudah dijerumuskan ke pelacuran. Dikatakan juga bahwa para remaja berisiko mengalami : 1. Sexual abuse (kekerasan seksual) 2. Drug abuse (ketagihan drugs) 3. Physical abuse (kekerasan fisik) 4. Financial abuse (kekerasan keuangan). 5. Kehamilan. 6. Bunuh diri. 7. Tertular penyakit kelamin (termasuk HIV dan AIDS)

9

Daftar Pustaka : 1. Made Putri Ayu Rasmini (2007), Menguak Perilaku Seks Remaja Denpasar, Harian Bali Kabar Anyar 18th July 2007. 2. Harja saputra dan Fikri habsyi (2002), Faktor factor Penyebab Prostitusi, Sebuah Penelitian di Warung Remang-remang Desa Pondok Udik, Parung, Bogor 3. Asro Kamal Rokan (2007), Pergaulan Bebas, Harian Republika. 4. Arifin Suaib (2006), Tentang Prostitusi Remaja Gorontalo, 5. Kuntjojo (2008),Mencegah Perilaku Seks tidak Sehat Pada Remaja Melalui Pendidikan Seks. http://kunt34.blogspot.com/2008/12/ 6. Clare Tattersall (1999). Drugs, Runaways, and Teen Prostitution The Rosen Pub. Group, INC, NEW YORK.

Related Documents