BAB I PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Hukum internasional adalah bagian hukum yang mengatur aktivitas entitas
berskala internasional. Pada awalnya, Hukum Internasional hanya diartikan sebagai perilaku dan hubungan antar negara namun dalam perkembangan pola hubungan internasional yang semakin kompleks pengertian ini kemudian meluas
sehingga
perilaku organisasi
hukum
internasional
internasional dan,
juga pada
mengurusi batas
struktur
dan
tertentu,perusahaan
multinasional dan individu. Hukum bangsa-bangsa dipergunakan untuk menunjukkan pada kebiasaan dan aturan hukum yang berlaku dalam hubungan antara raja-raja zaman dahulu.Hukum antar bangsa atau hukum antar negara menunjukkan pada kompleks kaedah dan asas yang mengatur hubungan antara anggota masyarakat bangsa-bangsa atau negara. Hukum Internasional terdapat beberapa bentuk perwujudan atau pola perkembangan yang khusus berlaku di suatu bagian dunia (region) tertentu : (1) Hukum Internasional regional : Hukum Internasional yang berlaku/terbatas daerah lingkungan berlakunya, seperti Hukum Internasional Amerika / Amerika Latin, seperti konsep landasan kontinen (Continental Shelf) dan konsep perlindungan kekayaan hayati laut (conservation of the living resources of the sea) yang mula-mula tumbuh di Benua Amerika sehingga menjadi hukum Internasional Umum. (2) Hukum Internasional Khusus : Hukum Internasional dalam bentuk kaedah yang khusus berlaku bagi negara-negara tertentu seperti Konvensi Eropa mengenai HAM sebagai cerminan keadaan, kebutuhan, taraf perkembangan dan tingkat integritas yang berbeda-beda dari bagian masyarakat yang berlainan. Berbeda dengan regional yang tumbuh melalui proses hukum kebiasaan. Hukum
Internasional
didasarkan
atas
pikiran
adanya
masyarakat
internasional yang terdiri atas sejumlah negara yang berdaulat dan merdeka dalam arti masing-masing berdiri sendiri yang satu tidak dibawah kekuasaan lain
1
sehingga merupakan suatu tertib hukum koordinasi antara anggota masyarakat internasional yang sederajat.
1.2. Tujuan Tujuan dari penyusunan makalah ini adalah untuk : 1. Memenuhi tugas terstruktur pembuatan makalah pada mata kuliah Sistem Hukum Indonesia pada semester III 2. Agar praja lebih mengetahui apa itu Hukum Internasional dan segala sesuatu mengenai Hukum internasional
BAB II PERMASALAHAN
2.1. Identifikasi Masalah
2
Dalam mata kuliah Sistem Hukum Indonesia praja mempelajari banyak tentang hukum-hukum yang berlaku di dunia namun bagaimana praja mempelajari tentang Hukum Internasional secara lebih luas.
2.2. Rumusan Masalah 1. Apa itu Hukum Internasional,bagaimana bentuk dan asas hukum Internasional? 2. Apa saja subjek dan sumber Hukum Internasional? 3. Apa itu masyarakat internasional,ciri-cirinya dan sejarah perkembangannya? 4. Bagaimana sebab dan penyelesaian sengketa internasional dan bagaimana peranan Mahkamah Internasional terhadap pelanggaran HAM ?
BAB III PEMBAHASAN
3.1 Pengertian Hukum Internasional Hukum internasional adalah bagian hukum yang mengatur aktivitas entitas berskala internasional. Pada awalnya, Hukum Internasional hanya diartikan sebagai perilaku dan hubungan antarnegara namun dalam perkembangan pola hubungan internasional yang semakin kompleks pengertian ini kemudian meluas 3
sehingga hukum internasional juga mengurusi struktur dan perilaku organisasi internasional dan pada batas tertentu, perusahaan multinasional dan individu. Hukum internasional adalah hukum bangsa-bangsa, hukum antarbangsa atau
hukum
antarnegara.
Hukum
bangsa-bangsa
dipergunakan
untuk
menunjukkan pada kebiasaan dan aturan hukum yang berlaku dalam hubungan antara raja-raja zaman dahulu. Hukum antarbangsa atau hukum antarnegara menunjukkan pada kompleks kaedah dan asas yang mengatur hubungan antara anggota masyarakat bangsa-bangsa atau negara. Prof Dr. Mochtar Kusumaatmaja mengatakan bahwa Hukum Internasional adalah keseluruhan kaidah-kaidah dan asas-asas yang mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batas-batas negara antara negara dengan negara, negara dengan subjek hukum internasional lainnya. Hukum internasional terbagi menjadi dua bagian, yaitu : 1. Hukum Perdata Internasional, adalah hukum internasional yang mengatur hubungan hukum antara warga negara di suatu negara dengan warga negara dari negara lain (hukum antar bangsa) 2. Hukum Publik Internasional, adalah hukum internasional yang mengatur negara yang satu dengan lainnya dalam hubungan internasional (Hukum Antarnegara)
Perbedaan dan persamaan Hukum Internasional publik berbeda dengan Hukum Perdata Internasional. Hukum Perdata Internasional ialah keseluruhan kaedah dan asas hukum yang mengatur hubungan perdata yang melintasi batas negara atau hukum yang mengatur hubungan hukum perdata antara para pelaku hukum yang masingmasing tunduk pada hukum perdata (nasional) yang berlainan. Sedangkan Hukum Internasional adalah keseluruhan kaidah dan asas hukum yang mengatur
4
hubungan atau persoalan yang melintasi batas negara (hubungan internasional) yang bukan bersifat perdata. Persamaannya adalah bahwa keduanya mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batas negara(internasional). Perbedaannya adalah sifat hukum atau persoalan yang diaturnya (obyeknya).
3.2. Bentuk Hukum Internasional Hukum Internasional terdapat beberapa bentuk perwujudan atau pola perkembangan yang khusus berlaku di suatu bagian dunia (region) tertentu : Hukum Internasional Regional Hukum Internasional yang berlaku/terbatas daerah lingkungan berlakunya, seperti Hukum Internasional Amerika / Amerika Latin, seperti konsep landasan kontinen (Continental Shelf) dan konsep perlindungan kekayaan hayati laut (conservation of the living resources of the sea) yang mulamula tumbuh di Benua Amerika sehingga menjadi hukum Internasional Umum. Hukum Internasional Khusus Hukum Internasional dalam bentuk kaedah yang khusus berlaku bagi negara-negara tertentu seperti Konvensi Eropa mengenai HAM sebagai cerminan keadaan, kebutuhan, taraf perkembangan dan tingkat integritas yang berbeda-beda dari bagian masyarakat yang berlainan. Berbeda dengan regional yang tumbuh melalui proses hukum kebiasaan. Hukum Internasional merupakan keseluruhan kaedah dan asas yang mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batas negara antara: 1. negara dengan negara 2. negara dengan subyek hukum lain bukan negara atau subyek hukum bukan negara satu sama lain.
5
3.3. Asas-Asas Hukum Internasional Asas-asas yang berlaku dalam hukum internasional, adalah : 1. Asas Teritorial, Menurut asas ini, negara melaksanakan hukum bagi semua orang dan semua barang yang berada dalam wilayahnya. 2. Asas Kebangsaan, menurut asas ini setap warganegara dimanapun dia berada, tetap mendapat perlakuan hukum dari nearanya. asas ini memiliki kekuatan ekstrateritorial, artinya hukum negara tetap berlaku bagi seorang warganegara walaupun ia berada di negara lain. 3. Asa Kepentingan Umum, menurut asas ini negara dapat menyesuaikan diri dengan dengan semua keadaan dan peristiwa yang bersangkut paut dengan kepentingan umum. Jadi, hukum tidak terikat pada batas-batas wilayah suatu negara. 3.4 Subjek Hukum Internasional Subjek hukum Internasional terdiri dari : 1. Negara 2. Individu 3. Tahta Suci / vatican 4. Palang Merah Internasional 5. Organisasi Internasional Sebagian Ahli mengatakan bahwa pemberontak pun termasuk bagian dari subjek hukum internasional.
3.5. Sumber Hukum Internasional Sumber hukum dapat dibedakan menjadi dua bagian, yaitu : 1. Sumber hukum materil, yaitu segala sesuatu yang membahas dasar berlakunya hukum suatu negara.
6
2. Sumber hukum formal, yaitu sumber darimana kita mendapatkan atau menemukan ketentuan-ketentuan hukum internasional. Menurut pasal 38 Piagam mahkamah Internasional, sumber hukum formal terdiri dari :
Perjanjian Internasional, (traktat/Treaty)
Kebiasaan-kebiasaan internasional yang terbukti dalam praktek umum dan diterima sebagai hukum
Asas-asas umum hukum yang diakui oleh negara-negara beradab
Yurisprudency, yaitu keputusan hakim hukum internasional yang telah memiliki kekuatan hukum tetap
Doktrin, yaitu pendapat para ahli hukum internasional.
3.6. Masyarakat dan Hukum Internasional
Adanya masyarakat-masyarakat Internasional sebagai landasan sosiologis hukum internasional. 1. Adanya suatu masyarakat Internasional. Adanya masyarakat internasional ditunjukkan adanya hubungan yang terdapat antara anggota masyarakat internasional, karena adanya kebutuhan yang disebabkan antara lain oleh pembagian kekayaan dan perkembangan industri yang tidak merata di dunia seperti adanya perniagaan atau pula hubungan di lapangan kebudayaan, ilmu pengetahuan, keagamaan, sosial dan olah raga mengakibatkan timbulnya kepentingan untuk memelihara dan mengatur hubungan bersama merupakan suatu kepentingan bersama. Untuk menertibkan, mengatur dan memelihara hubungan Internasional inilah dibutuhkan hukum dunia menjamin unsur kepastian yang diperlukan dalam setiap hubungan yang teratur.
7
Masyarakat Internasional pada hakekatnya adalah hubungan kehidupan antar manusia dan merupakan suatu kompleks kehidupan bersama yang terdiri dari aneka ragam masyarakat yang menjalin dengan erat. 2. Asas hukum yang bersamaan sebagai unsur masyarakat hukum internasional. Suatu kumpulan bangsa untuk dapat benar-benar dikatakan suatu masyarakat Hukum Internasional harus ada unsur pengikat yaitu adanya asas kesamaan hukum antara bangsa-bangsa di dunia ini. Betapapun berlainan wujudnya hukum positif yang berlaku di tiap-tiap negara tanpa adanya suatu masyarakat hukum bangsa-bangsa merupakan hukum alam (naturerech) yang mengharuskan bangsa-bangsa di dunia hidup berdampingan secara damai dapat dikembalikan pada akal manusia (ratio) dan naluri untuk mempertahankan jenisnya.
Kedaulatan
Negara :
Hakekat
dan
Fungsinya
Dalam
Masyarakat
Internasional. Negara dikatakan berdaulat (sovereian) karena kedaulatan merupakan suatu sifat atau ciri hakiki negara. Negara berdaulat berarti negara itu mempunyai kekuasaan tertentu. Negara itu tidak mengakui suatu kekuasaan yang lebih tinggi daripada kekuasaannya sendiri dan mengandung 2 (dua) pembatasan penting dalam dirinya: 1. Kekuasaan itu berakhir dimana kekuasaan suatu negara lain mulai. 2. Kekuasaan itu terbatas pada batas wilayah negara yang memiliki kekuasaan itu. Konsep
kedaulatan,
kemerdekaan
dan
kesamaan
derajat
tidak
bertentangan satu dengan lain bahkan merupakan perwujudan dan pelaksanaan pengertian kedaulatan dalam arti wajar dan sebagai syarat mutlak bagi terciptanya suatu masyarakat Internasional yang teratur. 8
Masyarakat Internasional dalam peralihan: perubahan-perubahan dalam peta bumi politik, kemajuan teknologi dan struktur masyarakat internasional. Masyarakat Internasional mengalami berbagai perubahan yang besar dan pokok ialah perbaikan peta bumi politik yang terjadi terutama setelah Perang Dunia II. Proses ini sudah dimulai pada permulaan abad XX mengubah pola kekuasaan politik di dunia. Timbulnya negara-negara baru yang merdeka, berdaulat dan sama derajatnya satu dengan yang lain terutama sesudah Perang Dunia
Perubahan Kedua ialah kemajuan teknologi. Kemajuan teknologi berbagai alat perhubungan menambah mudahnya perhubungan yang melintasi batas negara. Perkembangan golongan ialah timbulnya berbagai organisasi atau lembaga internasional yang mempunyai eksistensi terlepas dari negara-negara dan adanya perkembangan yang memberikan kompetensi hukum kepada para individu. Kedua
gejala
ini
menunjukkan
bahwa
disamping
mulai
terlaksananya suatu masyarakat internasional dalam arti yang benar dan efektif berdasarkan asas kedaulatan, kemerdekaan dan persamaan derajat antar negara sehingga dengan demikian terjelma Hukum Internasional sebagai hukum koordinasi, timbul suatu komplek kaedah yang lebih memperlihatkan ciri-ciri hukum subordinasi. 3.7. Sejarah dan Perkembangannya Hukum Internasional modern sebagai suatu sistem hukum yang mengatur hubungan antara negara-negara, lahir dengan kelahiran masyarakat Internasional yang didasarkan atas negara-negara nasional. Sebagai titik saat lahirnya negaranegara nasional yang modern biasanya diambil saat ditandatanganinya Perjanjian Perdamaian Westphalia yang mengakhiri Perang Tiga Puluh Tahun di Eropa. Zaman dahulu kala sudah terdapat ketentuan yang mengatur, hubungan antara raja-raja atau bangsa-bangsa: 9
Dalam lingkungan kebudayaan India Kuno telah terdapat kaedah dan lembaga hukum yang mengatur hubungan antar kasta, suku-suku bangsa dan rajaraja yang diatur oleh adat kebiasaan. Menurut Bannerjce, adat kebiasaan yang mengatur hubungan antara raja-raja dinamakan Desa Dharma. Pujangga yang terkenal pada saat itu Kautilya atau Chanakya penulis buku Artha Sastra Gautamasutra salah satu karya abad VI SM di bidang hukum. Hukum Internasional didasarkan atas pikiran adanya masyarakat internasional yang terdiri atas sejumlah negara yang berdaulat dan merdeka dalam arti masing-masing berdiri sendiri yang satu tidak dibawah kekuasaan lain sehingga merupakan suatu tertib hukum koordinasi antara anggota masyarakat internasional yang sederajat. Hukum Dunia berpangkal pada dasar pikiran lain. Dipengaruhi analogi dengan Hukum Tata Negara (constitusional law), hukum dunia merupakan semacam negara (federasi) dunia yang meliputi semua negara di dunia ini. Negara dunia secara hirarki berdiri di atas negara-negara nasional. Tertib hukum dunia menurut konsep ini merupakan suatu tertib hukum subordinasi. Dalam hukum kuno mereka antara lain Kitab Perjanjian Lama, mengenal ketentuan mengenai perjanjian, diperlakukan terhadap orang asing dan cara melakukan perang.Dalam hukum perang masih dibedakan (dalam hukum perang Yahudi ini) perlakuan terhadap mereka yang dianggap musuh bebuyutan, sehingga diperbolehkan diadakan penyimpangan ketentuan perang. Lingkungan kebudayaan Yunani. Hidup dalam negara-negara kita. Menurut hukum negara kota penduduk digolongkan dalam 2 golongan yaitu orang Yunani dan orang luar yang dianggap sebagai orang biadab (barbar). Masyarakat Yunani sudah mengenal ketentuan mengenai perwasitan (arbitration) dan diplomasi yang tinggi tingkat perkembangannya. Sumbangan yang berharga untuk Hukum Internasional waktu itu ialah konsep hukum alam yaitu hukum yang berlaku secara mutlak dimanapun juga dan yang berasal dari rasion atau akal manusia.
10
Hukum Internasional sebagai hukum yang mengatur hubungan antara kerajaan-kerajaan tidak mengalami perkembangan yang pesat pada zaman Romawi. Karena masyarakat dunia merupakan satu imperium yaitu imperium roma yang menguasai seluruh wilayah dalam lingkungan kebudayaan Romawi. Sehingga tidak ada tempat bagi kerajaan-kerajaan yang terpisah dan dengan sendirinya tidak ada pula tempat bagi hukum bangsa-bangsa yang mengatur hubungan antara kerajaan-kerajaan. Hukum Romawi telah menyumbangkan banyak sekali asas atau konsep yang kemudian diterima dalam hukum Internasional ialah konsep seperti occupatio servitut dan bona fides. Juga asas “pacta sunt servanda” merupakan warisan kebudayaan Romawi yang berharga. Abad pertengahan Selama
abad
pertengahan
dunia
Barat
dikuasai
oleh
satu
sistem feodal yang berpuncak pada kaisar sedangkan kehidupan gereja berpuncak pada Paus sebagai Kepala Gereja Katolik Roma. Masyarakat Eropa waktu itu merupakan satu masyarakat Kristen yang terdiri dari beberapa negara yang berdaulat dan Tahta Suci, kemudian sebagai pewaris kebudayaan Romawi dan Yunani. Di samping masyarakat Eropa Barat, pada waktu itu terdapat 2 masyarakat besar
lain
yang
termasuk
lingkungan
kebudayaan
yang
berlaianan
yaitu Kekaisaran Byzantium dan Dunia Islam. Kekaisaran Byzantium sedang menurun mempraktikan diplomasi untuk mempertahankan supremasinya. Oleh karenanya praktik Diplomasi sebagai sumbangan yang terpenting dalam perkembangan Hukum Internasional dan Dunia Islam terletak di bidang Hukum Perang. Perjanjian Westphalia Perjanjian
Damai
Westphalia
terdiri
dari
dua
perjanjian
yang
ditandatangani di dua kota di wilayah Westphalia, yaitu di Osnabrück (15 Mei 1648) dan di Münster (24 Oktober 1648). Kedua perjanjian ini mengakhiri Perang 30 Tahun (1618-1648) yang berlangsung di Kekaisaran Romawi Suci dan Perang 80 Tahun (1568-1648) antara Spanyol dan Belanda. 11
Perdamaian Westphalia dianggap sebagai peristiwa penting dalam sejarah Hukum Internasional modern, bahkan dianggap sebagai suatu peristiwa Hukum Internasional modern yang didasarkan atas negara-negara nasional. Sebabnya adalah : 1.
Selain mengakhiri perang 30 tahun, Perjanjian Westphalia telah meneguhkan perubahan dalam peta bumi politik yang telah terjadi karena perang itu di Eropa .
2.
Perjanjian perdamaian mengakhiri untuk selama-lamanya usaha Kaisar Romawi yang suci.
3.
Hubungan antara negara-negara dilepaskan dari persoalan hubungan kegerejaan dan didasarkan atas kepentingan nasional negara itu masingmasing.
4.
Kemerdekaan negara Belanda, Swiss dan negara-negara kecil di Jerman diakui dalam Perjanjian Westphalia. Perjanjian Westphalia meletakkan dasar bagi susunan masyarakat
Internasional yang baru, baik mengenai bentuknya yaitu didasarkan atas negaranegara nasional (tidak lagi didasarkan atas kerajaan-kerajaan) maupun mengenai hakekat negara itu dan pemerintahannya yakni pemisahan kekuasaan negara dan pemerintahan dari pengaruh gereja. Dasar-dasar yang diletakkan dalam Perjanjian Westphalia diperteguh dalam Perjanjian Utrech yang penting artinya dilihat dari sudut politik Internasional, karena menerima asas keseimbangan kekuatan sebagai asas politik internasional.
3.8. Ciri-ciri Masyarakat Internasional 1. Negara merupakan satuan teritorial yang berdaulat. 2. Hubungan nasional yang satu dengan yang lainnya didasarkan atas kemerdekaan dan persamaan derajat.
12
3. Masyarakat negara-negara tidak mengakui kekuasaan di atas mereka seperti seorang kaisar pada zaman abad pertengahan dan Paus sebagai Kepala Gereja. 4. Hubungan antara negara-negara berdasarkan atas hukum yang banyak mengambil alih pengertian lembaga Hukum Perdata, Hukum Romawi. 5. Negara mengakui adanya Hukum Internasional sebagai hukum yang mengatur hubungan antar negara tetapi menekankan peranan yang besar yang dimainkan negara dalam kepatuhan terhadap hukum ini. 6. Tidak adanya Mahkamah (Internasional) dan kekuatan polisi internasional untuk memaksakan ditaatinya ketentuan hukum Internasional. 7. Anggapan terhadap perang yang dengan lunturnya segi-segi keagamaan beralih dari anggapan mengenai doktrin bellum justum (ajaran perang suci) kearah ajaran yang menganggap perang sebagai salah satu cara penggunaan kekerasan.
3.9. Tokoh Hukum Internasional
Hugo Grotius mendasarkan sistem hukum Internasional atas berlakunya hukum alam. Hukum alam telah dilepaskan dari pengaruh keagamaan dan kegerejaan. Banyak didasarkan atas praktik negara dan perjanjian negara sebagai sumber Hukum Internasional disamping hukum alam yang diilhami oleh akal manusia, sehingga disebut Bapak Hukum Internasional.
Fransisco Vittoria (biarawan Dominikan – berkebangsaan Spanyol Abad XIV menulis buku Relectio de Indis mengenai hubungan Spanyol dan Portugis dengan orang Indian di AS. Bahwa negara dalam tingkah lakunya tidak bisa bertindak sekehendak hatinya. Maka hukum bangsa-bangsa ia namakan ius intergentes.
Fransisco Suarez (Yesuit) menulis De legibius ae Deo legislatore (on laws and God as legislator) mengemukakan adanya suatu hukum atau kaedah obyektif yang harus dituruti oleh negara-negara dalam hubungan antara mereka.
13
Balthazer Ayala (1548-1584) dan Alberico Gentilis mendasarkan ajaran mereka atas falsafah keagamaan atau tidak ada pemisahan antara hukum, etika dan teologi.
Tokoh-Tokoh lain mengenai Pengertian Hubungan Internasional
3.10. Sebab-sebab Sengketa Internasional Secara garis besar sengketa internasional terjadi karena hal-hal berikut : 1. Sengketa terjadi karena masalah Politik Hal ini terjadi karena adanya perang dingin antara blok barat (liberal membentuk pakta pertahanan NATO) di bawah pimpinan Amerika dan blok Timur (Komunis membentuk pakta pertahanan Warsawa) dibawah pimpinan Uni Sovyet/ Rusia. kedua blok ini saling memeperluas pengaruh ideologi dan ekonominya di berbagai negara sehingga banyak negara yang kemudian enjadi korban. contoh kore yang terpecah menjadi dua, yaitu Korea Utara dengan paham komunis dan korea selatan dengan paham liberal 2. Karena batas wilayah hal ini terjadi karena tidak adanya kejelasan batas wilayah suatu negara dengan negara lain sehingga masing-masing negara akan mengklaim wilayah perbatan tertentu. contoh : Tahun 1976 Indonesia dan Malaysia yang memperebutkan pula sipadan dan ligitan dan diputuskan oleh MI pada tahun 2003 dimenangkan oleh malaysia, perbatasan kasmir yang diperebutkan oleh india dan pakistan. 3.11. Penyelesaian Sengketa Internasional Penyelesaian sengketa internasional dapat dilakukan melalui dua cara, yaitu : 1. Dengan cara damai, terdiri dari :
Arbitrasi. arbitrase biasanya dilakukan dengan cara menyerahkan sengketa kepada orang-orang tertentu (arbitrator) yag dipilih secarea bebas oleh berbagai pihak untuk memutuskannya tanpa terlalu terikat dengan prosedur hukum.
14
Penyelesaian Yudisia, adalah suatu penyelesaian dihasilkan melalui suatu peradilan yudicial internasional yang dibentuk sebagaimana mestinya dengan memberlakukan kaidah-kaidah hukum. Contoh International Court of Justice, yang berkedudukan di Denhag Belanda.
Negosiasi (perundingan), jasa-jasa baik, mediasi, dan konsiliasi.
penyelidikan
Penyelesaian di bawah naungan PBB
2. Dengan cara paksa atau kekerasan, terdisi dari :
perang dan tindakan bersenjata non perang
Retorsi, yaitu istilah teknis untuk pembalasan dendam oleh suatu negara terhadap negara lain karena diperlakukan secara tidak pantas.
Tindakan-tindakan pembalasan (Repraisal), yaitu suatu metode yang dipakai oleh suatu negara untuk memperoleh ganti kerugian dari negara lain dengan melakukan tindakan-tindakan pemalasan.
Blokade secara damai
Intervensi
3.12. Peranan Mahkamah Internasional Terhadap Pelanggaran HAM Mahkamah Internasional (MI) merupakan salah satu badan perlengkapan PBB yang berkedudukan di Denhag (Belanda). MI memiliki 15 orang hakim yang dipilih dari 15 negara dengan masa jabatan 9 tahun. Selain memberikan pertimbangan hukum kepada Majelis Umum PBB dan Dewan Keamanan PBB MI pun bertugas untuk memeriksa dan menyelesaikan perselisihan-perselisihan yang diserahkan kepadanya. dalam mengadili suatu perara MI berpedoman pada Traktat-traktat dan kebiasaan -kebiasaan Internasional. Prosedur Penyelesaian Kasus HAM Internasional Penyelesaian kasus pelanggaran HAM oleh mahkamah internasional dapat dilakukan melalui prosedur berikut :
15
1. Korban pelanggaran HAM dapat mengadukan kepada komisi tinggi HAM PBB atau melalui lembaga HAM internasional lainnya. 2. pengaduan ditindaklanjuti dengan penyelidikan dan penyidikan. 3. dengan bukti-bukti hasil penyelidikan dan penyidikan proses dilanjutkan pada tahap peradilan, dan jika terbukti maka hakim MI akan menjatuhkan sanksi.
BAB IV KESIMPULAN Hukum internasional adalah hukum bangsa-bangsa, hukum antarbangsa atau
hukum
antarnegara.
Hukum
bangsa-bangsa
dipergunakan
untuk
menunjukkan pada kebiasaan dan aturan hukum yang berlaku dalam hubungan antara raja-raja zaman dahulu. Hukum antarbangsa atau hukum antarnegara menunjukkan pada kompleks kaedah dan asas yang mengatur hubungan antara anggota masyarakat bangsa-bangsa atau negara. Hukum Internasional terdapat beberapa bentuk perwujudan atau pola perkembangan yang khusus berlaku di suatu bagian dunia (region) tertentu : 1. Hukum Internasional Regional
16
2. Hukum Internasional Khusus Asas-asas yang berlaku dalam hukum internasional, adalah : 1. Asas Teritorial, 2. Asas Kebangsaan, 3. Asa Kepentingan Umum, Subjek hukum Internasional terdiri dari : 1. Negara 2. Individu 3. Tahta Suci / vatican 4. Palang Merah Internasional 5. Organisasi Internasional
DAFTAR PUSTAKA
[http://Hukum%20HAM%20Internasional:%20Sebuah%20Pengantar%20Kontek stual http://books.google.co.id/books?id=vH7xe16WSw0C&lpg=PP1&hl=id&pg=PP 1#v=onepage&q&f=false http://id.wikipedia.org/wiki/Hukum_internasional http://manalor.wordpress.com/2010/04/14/hukum-internasional/
17
PROPOSAL SKRIPSI A.
Latar Belakang Masalah Pemerintah Indonesia tengah gencar melakukan promosi kepada investor
asing untuk menanamkan modalnya di Indonesia, hukum penanaman modal asing di Indonesia masih diliputi oleh perdebatan krusial terkait arah kebijakan penanaman modal asing sebagai bagian dari kebijakan perekonomian nasional. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing yang telah diganti dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal dinilai oleh berbagai golongan sebagai produk hukum yang sangat kental
18
dengan nuansa kapitalisme dan liberalisme yang tidak sejalan dengan hukum dasar perekonomian nasional. Perekonomian global menuntut adanya sikap keterbukaan Indonesia terhadap pihak asing dalam pembangunan ekonomi nasional, khususnya dalam kebijakan penanaman modal. Di sisi lain, kepentingan dan kedaulatan ekonomi nasional harus menjadi tumpuan utama dalam setiap kebijakan di bidang perekonomian. Untuk menemukan jalan keluar atas polemik ini, kebijakan penanaman modal asing di Indonesia tentunya harus dikembalikan kepada hukum dasar (grundnorm) perekonomian nasional sebagaimana digariskan dalam Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pasal 33 UUD RI Tahun 1945 memiliki tujuan yang ideal untuk memajukan kesejahteraan umum dan mewujudkan kedaulatan ekonomi nasional. Pada umumnya, negara berkembang meyakini penanaman modal sebagai suatu keniscayaan karena penanaman modal merupakan salah satu motor penggerak roda ekonomi agar suatu negara dapat mendorong perkembangan ekonominya selaras dengan tuntutan perkembangan masyarakatnya. Setiap negara selalu berusaha meningkatkan pembangunan, kesejahteraan dan kemakmuran rakyatnya. Usaha tersebut dilakukan dengan berbagai cara yang berbeda antara satu negara dengan negara lainnya. Salah satu usaha yang selalu dilakukan oleh negara adalah menarik sebanyak mungkin investasi asing masuk ke negaranya.[1] Menarik investasi sebanyak mungkin ke dalam suatu negara didasarkan pada suatu mitos yang menyatakan bahwa untuk menjadi suatu negara yang makmur, pembangunan nasional harus diarahkan ke bidang industri. Untuk mengarah ke sana, sejak awal negara-negara tersebut dihadapkan kepada 19
permasalahan minimnya modal dan teknologi yang merupakan elemen dasar dalam menuju industrialisasi. Jalan yang ditempuh untuk mengatasi masalah tersebut adalah mengundang masuknya modal asing dari negara-negara maju ke dalam negeri.[2] Sejalan dengan itu, penghimpunan dana pembangunan perekonomian melalui pelaksanaan penanaman modal asing dipercaya sebagai pilihan yang lebih baik dibandingkan dengan penghimpunan dana internasional lainnya seperti pinjaman luar negeri.[3]. Dari sudut pandang ini jelas bahwa pelaksanaan penanaman modal asing merupakan suatu keniscayaan bagi negara berkembang seperti Indonesia dan memiliki tujuan yang mulia dalam kehidupan bernegara sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dari sudut pandang yang berbeda, penanaman modal asing justru merupakan ancaman yang serius bagi perekonomian negara berkembang dan terbelakang. Perbedaan Pandangan atas arah kebijakan penanaman modal asing bukanlah merupakan hal yang baru melainkan sudah membentuk suatu polemik sejak masa awal kemerdekaan. Perdebatan seputar benturan antara kepentingan nasional dan investor asing dalam kegiatan penanaman modal asing merupakan masalah klasik yang sejak dulu sampai saat ini selalu menjadi kajian yang menarik. Dalam lintasan sejarah, masalah penanaman modal asing menjadi salah satu topik utama dalam penentuan arah kebijakan pembangunan ekonomi pasca kemerdekaan.
20
Trade-Related Investment Measures (TRIMs) merupakan perjanjian tentang aturan-aturan investasi yang menyangkut atau berkaitan dengan perdagangan dan sebagai salah satu kesepakatan dalam konvensi Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Kesepakatan TRIMs dimaksudkan untuk mengurangi atau menghapus kegiatan perdagangan dan meningkatkan kebebasan kegiatan investasi antar negara. Tujuan utama TRIMs adalah untuk menyatukan kebijakan dari negaranegara anggota dalam hubungannya dengan investasi asing dan mencegah proteksi perdagangan sesuai dengan prinsip-prinsip GATT (General Agreement on Tariffs and Trade). Pertimbangan-pertimbangan tersebut menjadi dasar perundingan yang mengarahkan negara-negara penerima modal mengatur investasi asing di negara tersebut. TRIMs melarang pengaturan-pengaturan penanaman modal asing yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip GATT 1994, sebagai instrumen untuk membatasi penanaman modal asing, namun ada pengecualian-pengecualian tertentu asalkan memenuhi syarat-syarat tertentu juga World Trade Organization (WTO) atau Organisasi Perdagangan Dunia merupakan satu-satunya badan internasional yang secara khusus mengatur masalah perdagangan antar negara. Sistem perdagangan multilateral WTO diatur melalui suatu persetujuan yang berisi aturan-aturan dasar perdagangan internasional sebagai hasil perundingan yang telah ditandatangani oleh negaranegara anggota. Persetujuan tersebut merupakan kontrak antar negara-anggota yang mengikat pemerintah untuk mematuhinya dalam pelaksanaan kebijakan perdagangan di negaranya masing-masing. Walaupun ditandatangani oleh pemerintah, tujuan utamanya adalah untuk membantu para produsen barang dan
21
jasa, eksportir dan importir dalam kegiatan perdagangan. Pemerintah Indonesia merupakan salah satu negara pendiri Word Trade Organization (WTO) dan telah meratifikasi Persetujuan Pembentukan WTO melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994. Oleh sebab itu, apapun alasannya, cepat atau lambat, kebijakankebijakan investasi di Indonesia harus mengacu pada ketentuan-ketentuan yang telah disepakati dalam Konvensi Organisasi Perdagangan Dunia tersebut. Berdasarkan latar belakang tersebut di atas maka penulis tertarik untuk mengangkat suatu karya ilmiah berebentuk skripsi yang berjudul “Harmonisasi Pengaturan Perdagangan di Bidang Penanaman Modal Asing Ditinjau dari Trade Related Investment Measures dan Peraturan Perundangan di Indonesia”. B. a.
Rumusan Masalah Apakah peraturan perundang-undangan di Indonesia di bidang penanaman
modal asing telah selaras dengan Trade Related Ivestment Measures? C. 1.
Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan Penelitian
a. Untuk mengetahui dan menganalisis apakah peraturan perundang-undangan di Indonesia di bidang penanaman modal asing telah selaras dengan Trade Related Ivestment Measures. 2.
Manfaat Penelitian
22
a. Manfaat secara teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan pendapat atau manfaat bagi pengembangan hukum di Indonesia yang berkenaan dengan pengaturan penanaman modal asing. b. Manfaat secara praktis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi alternatif pemecahan masalah yang timbul dewasa ini, berkaitan dengan pengaturan perlindungan di bidang penanaman modal asing, kepada pihak pemerintah Indonesia, investor dan pihak lainnya. D.
Kerangka Konseptual Guna memahami maksud yang terkandung dalam penulisan skripsi, perlu
diketahui pengertian berikut ini: 1.
Harmonisasi Harmonisasi dalam hukum adalah mencakup penyesuaian peraturan perundang-undangan, keputusan pemerintah, keputusan hakim, sistem hukum dan asas-asas hukum dengan tujuan peningakatan kesatuan hukum, kepastian hukum, keadilan dan kesebandingan, kegunaan dan kejelasan hukum, tanpa mengaburkan dan mengorbankan pluralisme hukum.[4] Tanpa adanya harmonisasi sistem hukum, akan memunculkan keadaan tidak dapat menjamin kepastian hukum yang dapat menimbulkan gangguan dalam
23
kehidupan bermasyarakat, ketidaktertiban dan rasa tidak dilindungi. Dalam perspektif demikian masalah kepastian hukum akan dirasakan sebagai kebutuhan yang hanya dapat terwujud melalui harmonisasi sistem hukum.[5] 2.
Modal Asing Pengertian Penanaman Modal Asing pada UU PMA lama, didefinisikan sebagai direct investment. Dalam Undang-undang No 25 Tahun 2007 modal asing tidak hanya diartikan direct invesment, tetapi juga meliputi pembelian saham (portopolio). Dengan demikian pintu masuk penanaman modal asing lebih diperluas dalam Undang-undang No 25 Tahun 2007.
3.
Trade-Related Investment Measures (TRIMs) TRIMs adalah perjanjian tentang aturan-aturan investasi yang menyangkut atau berkaitan dengan perdagangan. Kesepakatan TRIMs dimaksudkan untuk mengurangi atau menghapus kegiatan perdagangan dan meningkatkan kebebasan kegiatan investasi. TRIMs merupakan isu baru dalam WTO.[6] Dalam perjanjian yang akhirnya disetujui dalam perjanjian Uruguay Round. Hal pokok yang menjadi hasil perjanjian di bidang TRIMs adalah penekanan kembali tentang ketentuan GATT yang melarang adanya “local content requirement dan trade balancing” Di samping itu hal-hal yang harus diperhatikan dalam TRIMs antara lain:
1. Para penandatangan persetujuan (contracting parties), dalam waktu 90 hari sejak berlakunya persetujuan WTO harus menotifikasi semua TRIMs yang diterapkan dan dinilai dapat menghambat dan mengganggu jalannya perdagangan bebas
24
2. Semua TRIMs yang telah dinotifikasikan tersebut harus dihapuskan dalam waktu dua tahun sejak berlakunya Persetujuan WTO bagi negara maju, lima tahun bagi negara-negara berkembang, dan tujuh tahun bagi Negara-negara berkembang terbelakang 3. TRIMs yang penetapannya kurang dari 180 hari sejak berlakunya Persetujuan WTO, tidak mendapat masa transisi 4. Atas permintaan sesuatu negara berkembang dan negara berkembang paling terbelakang dapat meng-ajukan perpanjangan masa transisi atas aspek-aspek TRIMs yang belum terselesaikan selama masa transi-si, dengan disertai uraian kesulitan-kesulitan yang di-alami, terutama yang berkaitan dengan masalah perdagangan, neraca pembayaran dan tingkat kema-juan pembangunan yang sudah dicapai. 5. Suatu komite TRIMs akan dibentuk, yang bertugas untuk memantau pelaksanaan dari ke-tentuan-ketentuan Persetujuan ini 6. Dalam jangka waktu tidak lebih dari lima tahun sejak berlakunya persetujuan WTO, Council for Trade in Goods harus mengevaluasi pelaksana-an persetujuan ini dan apabila perlu mengajukan usul perubahan Per-setujuan TRIMs ke pertemuan Tingkat Menteri, termasuk kemungkinan melengkapinya dengan ketentuan tentang investment policy and competition policy. E.
Landasan Teori Para sarjana
mengemukakan beberapa
teori
untuk
menerangkan
dasar pengikat berlakunya hukum internasional di lingkungan masyarakat dunia. Di antara beberapa teori yang ada adalah: 1. Teori Hukum Alam (National Law) Menurut para penganut ajaran hukum ini, Hukum Internasional itu mengikat karena yaitu tidak lain daripada Hukum Alam yang diterapkan pada kehidupan masyarakat bangsa-bangsa. Dengan kata lain negara terikat pada hukum internasional dalam hubungan antara mereka satu sama lain, karena hukum intenasional itu merupakan bagian dari hukum yang lebih
25
tinggi yaitu hukum alam.[7] Tokohnya antara lain : Hugo Grotius dan Emmerich Vattel. 2. Teori yang mengatakan bahwa Hukum Internasional tidak lain daripada Hukum Tata Negara yang mengatur hubungan luar suatu negara. Hukum Internasional bukan sesuatu yang lebih tinggi yang mempunyai kekuatan mengikat di luar kemauan negara. Tokohnya yaitu Hegel, George Jellineck, dan Zorn. 3. Teori yang menyandarkan kekuatan mengikat Hukum Internasional pada kemauan bersama. Hukum Internasional itu mengikat bagi negara, bukan karena kehendak mereka satu-persatu untuk terikat, melainkan karena adanya suatu kehendak bersama yang lebih tinggi dari kehendak masing-masing negara untuk tunduk pada Hukum Internasional. Teori ini disebut juga sebagai “Verein Barung Theory”. Tokohnya yang terkenal yaitu Triepel. 4. Teori yang mendasarkan asas Pacta Sunt Servanda sebagai kaidah dasar Hukum Internasional. Teori ini bertolak dari ajaran Mahzab Wina yang mengembalikan segala sesuatunya kepada suatu kaidah dasar, memang dapat menerangkan secara logis darimana kaidah Hukum Internasional itu memperoleh kekuatan mengikatnya, tetapi ajaran ini tidak dapat menerangkan mengapa kaidah dasar itu sendiri mengikat. Tokohnya yaitu Kelsen. 5. Teori yang berdasarkan kekuatan mengikat Hukum Internasional pada faktor biologis, sosial, dan sejarah kehidupan manusia yang dinamakan “fakta-fakta kemasyarakatan”.
Menurut
teori
ini
dasar
kekuatan
mengikat
Hukum
Internasional terdapat dalam kenyataan sosial bahwa mengikatnya hukum ini
26
mutlak perlu untuk dapat terpenuhinya kebutuhan bangsa untuk hidup bermasyarakat. Teori ini berdasarkan daripada Mahzab Perancis dengan tokohtokohnya yaitu, Fauchile, Scelle, dan Duguit Faktor pengikat non-mateiil lainnya adalah adanya kesamaan asas-asas hukum antara bangsa-bangsa di dunia ini, betapapun berlainan wujudnya hukum positif yang berlaku di tiap-tiap negara tanpa adanya suatu masyarakat hukum bangsa-bangsa. Asas-asas pokok hukum yang bersamaan ini yang dalam ajaran mengenai sumber hukum formil dikenal dengan asas-asas hukum umum yang diakui oleh bangsa-bangsa yang beradab merupakan penjelmaan dari hukum alami (naturrecht). Dalam penulisan skripsi ini, teori daya mengikat Hukum Internasional yang digunakan adalah teori yang mendasarkan asas Pacta Sunt Servanda sebagai kaidah dasar Hukum Internasional. Asas ini tertuang dalam Pasal 26 Konvensi Wina Tahun 1969 yang menyatakan bahwa setiap perjanjian mengikat para pihak dan harus dilaksanakan dengan itikad baik. F.
Metode Penelitian Dalam penulisan ini metode yang digunakan adalah:
1.
Spesifikasi Penelitian Dalam penulisan ini menggunakan spesifikasi penulisan deskriptif analitis, yaitu penulisan yang menggambarkan dan menganalisa secara rinci mengenai objek yang diteliti, dalam hal ini adalah mengenai Harmonisasi Pengaturan Perdagangan
27
di Bidang Penanaman Modal Asing Ditinjau Dari Trade Related Investment Measures dan Peraturan Perundangan di Indonesia 2. Tipe Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif. Karena penelitian ini adalah penelitian yang meneliti bahan hukum dengan mempelajari sumber-sumber atau bahan tertulis berupa buku-buku, artikel, dan jurnal yang berkaitan dengan permasalahan yang akan diteliti. 3. Pendekatan yang Digunakan Metode pendekatan yang penulis gunakan dalam penelitian ini antara lain adalah: a. Metode pendekatan Perundang-undangan (statute approach) dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkutan dengan isu hukum yang ditangani”[8], yang berkaitan dengan objek penelitian. b. Metode pendekatan konseptual (conceptual approach) beranjak dari pandanganpandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang di dalam ilmu hukum”[9] 4. Pengumpulan Bahan Hukum Penelitian ini merupakan penelitian normatif, maka penelitian ini lebih difokuskan pada penelitian kepustakaan untuk mengkaji bahan-bahan hukum yang relevan dengan objek penelitian. Bahan-bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini antara lain adalah: a.
Bahan Hukum Primer
28
Bahan hukum primer adalah bahan-bahan hukum yang dijadikan dasar dalam menyusun penulisan skripsi yang diambil dari kepustakaan, di antaranya: 1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing The World Trade Organization 3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing. 4) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal 5) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 Tentang Perjanjian Internasional. 6) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan b.
Bahan Hukum Sekunder Berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumendokumen resmi. Publikasi tentang hukum meliputi :buku , kamus hukum, jurnal hukum dan komentar atas putusan pengadilan yang berkaitan dengan permasalahan (isu hukum) yang penulis teliti dalam proposal skripsi ini.
c.
Bahan Hukum Tersier Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang akan digunakan penulis dalam mendukung bahan hukum primer dan sekunder, yakni:
1) Kamus Hukum.
29
2) Kamus Besar Bahasa Indonesia. 3) Website dan blog dari internet yang relevan 5.
dengan permasalahan skripsi
Analisis Bahan Hukum Analisis dilakukan dengan cara:
a. Menilai bahan-bahan hukum yang berhubungan dengan masalah yang teliti. b. Mengintepretasikan semua peraturan perundang-undangan sesuai masalah yang dibahas. c. Mengevaluasi perundang-undangan yang berhubungan dengan masalah yang dibahas. G.
Sistematika Penulisan Penulisan skripsi ini disusun dengan sistematis bab demi bab. Setiap bab
merupakan bagian yang tidak terpisahkan satu sama lain. Masing-masing bab terbagi dalam sub-sub bab. Hal ini dilakukan untuk mempermudah melihat pada bab satu dengan bab lainnya. Adapun sistematika tersebut adalah sebagai berikut: BAB I
PENDAHULUAN
Pada bab ini penulis akan mengemukakan pendahuluan yang memaparkan segala hal yang akan diuraikan dalam teks. Bab ini terdiri atas latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, kerang konseptual, metode penelitian, dan sistematika penulisan skripsi ini.
30
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Pada bab ini, penulis mengemukakan tinjauan umum tentang penanaman modal di Indonesia, peraturan penanaman modal di Indonesia, dan relevansi Konvensi mengenai penanaman modal asing dengan peraturan yang ada di Indonesia. BAB III
PEMBAHASAN
Bab ini merupakan bab inti yang berupa pembahasan dari permasalahan. Membahas mengenai Harmonisasi Pengaturan Perdagangan di Bidang Penanaman Modal Asing Ditinjau Dari Trade Related Investment Measures dan Peraturan Perundangan Di Indonesia. BAB IV
PENUTUP
Bab ini merupakan akhir dari penulisan skripsi ini. Pada bab IV ini Penulis akan mengemukakan kesimpulan yang didapat dari penelitian, kemudian berdasarkan hal tersebut penulis memberikan saran yang nantinya berkemungkinan dapat memberikan sumbangan terhadap hukum di Indonesia.
31
[1] Ahmad Yulianto, Peranan Multilateral Investment Guarantee Agency (MIGA) dalam Kegiatan Investasi, Jurnal Hukum Bisnis, Vol 22, No. 5, 2003, hlm.39.
[2] Ridwan Khairandy,Peranan Perusahaan Penanaman Modal Asing Joint Venture dalam Ahli Teknologi di Indonesia, Jurnal Hukum Bisnis, Vol 22, No. 5, 2003 hlm.51.
[3] Yulianto Syahyu,Pertumbuhan Investasi Asing Di Kepulauan Batam: Antara Dualisme Kepem impinan dan Ketidakpastian Hukum, Jurnal Hukum Bisnis, Vol. 22, No. 5, 2003, hlm.13.
[4] L.M. Gandhi, Harmonisasi Hukum Menuju Hukum Yang Responsif, Makalah, yang disampaikan pada Pidato Pengukuhan Guru Besar Tetap FH-UI, 1995, dalam Moh. Hasan Wargakusumah, dkk, 1996/1997, hlm. 28-29.
[5] Kusnu Goesniadhie, Harmonisasi Hukum Dalam Persfektif perundangundangan; Lex Specialis Suatu Masalah, JP Books, Surabaya, 2006,hlm.100.
[6] Siti Anisah, Implementasi TRIMs dalam Hukum Investasi di Indonesia, Hukum Bisnis, Vol. 22, 2005, hlm.34.
32
[7] Mochtar Kusumaatmadja, Indonesia Dan Perkembangan Hukum Laut Dewasa Ini Jakarta,Departemen Luar Negeri, Badan Penelitian dan Pengembangan Masalah Luar Negeri, 1977, hlm. 33.
[8] Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Edisi Pertama, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2005, hlm. 40.
[9] Ibid., hlm. 95. DAFTAR PUSTAKA
Buku
Jahawir Thontowi dan Pranoto Iskandar. Hukum Internasional Kontemporer. Refika Aditama, Bandung, 2006.
Kusnu Goesniadhie, Harmonisasi Hukum Dalam Persfektif perundang-undangan; Lex Specialis Suatu Masalah, JP Books, Surabaya, 2006,hlm.100. Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes. Pengantar Hukum Internasional. Cet. 2. Alumni, Bandung, 2003.
Peter Mahmud Marzuki. Penelitian Hukum. Edisi Pertama. Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2005. Syahmin. Hukum Perjanjian Internasional (Menurut Konvensi Wina 1969).Armico, Bandung, 1985.
33
Internet
Damosdumali.blogspot.com, Perjanjian Internasional. Teori, Praktek dan Statusnya Damosdumali.blogspot.com.2009/03/status-hukum-nternasionaldan_12.html?m=1,
Peraturan Perundang-Undangan
Republik Indonesia. Undang-Undang Dasar Negara. UUD 1945.
Republik Indonesia. Undang-Undang Tentang Pengesahan Charter Of The Association Of Southeast Asian Nations (Piagam Perhimpunan BangsaBangsa Asia Tenggara). UU Nomor 38 Tahun 2008. LNRI Nomor 165. TLNRI Nomor 4915.
UU
Republik Indonesia. Undang-Undang Tentang Perjanjian Internasional. Nomor 24 Tahun 2000. LNRI Nomor 185. TLNRI Nomor 4012.
Republik Indonesia. Undang-Undang Tentang Penanaman Modal Asing. UU Nomor 1 Tahun 1967. LNRI Nomor 185. TLNRI Nomor 4012.
34
Republik Indonesia. Undang-Undang Tentang Penanaman Modal. UU Nomor 25 Tahun 2007 Republik Indonesia. Undang-Undang Pengesahan Agreement Establishing The World Trade Organization. UU Nomor 7 Tahun 1994. LNRI Nomor 185. TLNRI Nomor 4012.
Republik Indonesia. Undang-Undang Tentang Pembentukan Peraturan Perundang- undangan. UU Nomor 12 Tahun 2011. LNRI Nomor 82. TLNRI Nomor 5234.
Jurnal/Makalah
Ahmad Yulianto, Peranan Multilateral Investment Guarantee Agency (MIGA) dalam Kegiatan Investasi, Jurnal Hukum Bisnis, Vol 22, No. 5, 2003, hlm.39.
Ridwan Khairandy,Peranan Perusahaan Penanaman Modal Asing Joint Venture
dalam Ahli Teknologi di Indonesia, Jurnal Hukum Bisnis, Vol 22, No. 5,
35
2003 hlm.51.
Yulianto Syahyu,Pertumbuhan Investasi Asing Di Kepulauan Batam: Antara
Dualisme Kepemimpinan dan Ketidakpastian Hukum, Jurnal Hukum
Bisnis, Vol. 22, No. 5, 2003, hlm.13.
L.M. Gandhi, Harmonisasi Hukum Menuju Hukum Yang Responsif, Makalah,
yang disampaikan pada Pidato Pengukuhan Guru Besar Tetap FH-UI,
1995, dalam Moh. Hasan Wargakusumah, dkk, 1996/1997, hlm. 28-29.
Siti Anisah, Implementasi TRIMs dalam Hukum Investasi di Indonesia, Hukum
Bisnis, Vol. 22, 2005, hlm.34
36
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hukum internasional adalah bagian hukum yang mengatur aktivitas entitas berskala internasional. Pada awalnya, Hukum Internasional hanya diartikan sebagai perilaku dan hubungan antar negara namun dalam perkembangan pola hubungan internasional yang semakin kompleks pengertian ini kemudian meluas sehingga hukum internasional juga mengurusi struktur dan perilaku organisasi internasional dan, pada batas tertentu, perusahaan multinasional dan individu. Hukum bangsa-bangsa dipergunakan untuk menunjukkan pada kebiasaan dan aturan hukum yang berlaku dalam hubungan antara raja-raja zaman dahulu. Hukum antar bangsa atau hukum antar negara menunjukkan pada kompleks kaedah dan asas yang mengatur hubungan antara anggota masyarakat bangsabangsa atau negara. Hukum Internasional terdapat beberapa bentuk perwujudan atau pola perkembangan yang khusus berlaku di suatu bagian dunia (region) tertentu : (1) Hukum Internasional regional : Hukum Internasional yang berlaku/terbatas daerah lingkungan berlakunya, seperti Hukum Internasional Amerika / Amerika Latin, seperti konsep landasan kontinen (Continental Shelf) dan konsep perlindungan kekayaan hayati laut (conservation of the living resources of the sea) yang mula-mula tumbuh di Benua Amerika sehingga menjadi hukum Internasional Umum. (2) Hukum Internasional Khusus : Hukum Internasional dalam bentuk kaedah yang khusus berlaku bagi negara-negara tertentu seperti Konvensi Eropa mengenai HAM sebagai cerminan keadaan, kebutuhan, taraf perkembangan dan tingkat integritas yang berbeda-beda dari bagian masyarakat yang berlainan. Berbeda dengan regional yang tumbuh melalui proses hukum kebiasaan. Hukum Internasional didasarkan atas pikiran adanya masyarakat internasional yang terdiri atas sejumlah negara yang berdaulat dan merdeka dalam arti masing-masing berdiri sendiri yang satu tidak dibawah kekuasaan lain sehingga merupakan suatu tertib hukum koordinasi antara anggota masyarakat internasional yang sederajat. Hukum Nasional di Indonesia merupakan campuran dari sistem hukum hukum Eropa, hukum Agama dan hukum Adat. Sebagian besar sistem yang dianut, baik perdata maupun pidana, berbasis pada hukum Eropa kontinental, khususnya dari Belanda karena aspek sejarah masa lalu Indonesia yang merupakan wilayah jajahan dengan sebutan Hindia Belanda (Nederlandsch-Indie). Hukum Agama, karena sebagian besar masyarakat Indonesia menganut Islam, maka dominasi hukum atau Syari'at Islam lebih banyak terutama di bidang perkawinan, kekeluargaan dan warisan. Selain itu, di Indonesia juga berlaku sistem hukum Adat, yang merupakan penerusan dari aturan-aturan setempat dari masyarakat dan budaya-budaya yang ada di wilayah Nusantara. B. Permasalahan
37
Dalam perkembangan teori-teori hukum, dikenal dua aliran besar mengenai hubungan antara hukum nasional dengan hukum internasional. Monisme dan dualisme. Untuk memperjelas hubungan antara hukum Nasional dan Internasional, maka permasalahan yang akan dibahas dalam makalah ini adalah bagaimana hubungan hukum nasional dan internasional.
38
BAB II PEMBAHASAN A. Pengertian Hukum Internasional Hukum internasional dapat didefinisikan sebagai sekumpulan hukum yang sebagian besar terdiri atas prinsip-prinsip dan peraturan-peraturan yang harus ditaati oleh negara-negara, dan oleh karena itu juga harus ditaati dalam hubunganhubungan antara mereka satu dengan lainnya, serta yang juga mencakup : (a) organisasi internasional, hubungan antara organisasi internasional satu dengan lainnya, hubungan peraturan-peraturan hukum yang berkenaan dengan fungsifungsi lembaga atau antara organisasi internasional dengan negara atau negaranegara ; dan hubungan antara organisasi internasional dengan individu atau individu-individu ; (b) peraturan-peraturan hukum tertentu yang berkenaan dengan individu-individu dan subyek-subyek hukum bukan negara (non-state entities) sepanjang hak-hak dan kewajiban-kewajiban individu dan subyek hukum bukan negara tersebut bersangkut paut dengan masalah masyarakat internasional” (Phartiana, 2003; 4) Sejalan dengan definisi yang dikeluarkan Hyde, Mochtar Kusumaatmadja mengartikan ’’hukum internasional sebagai keseluruhan kaidah-kaidah dan asasasas hukum yang mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batas-batas negara, antara negara dengan negara dan negara dengan subjek hukum lain bukan negara atau subyek hukum bukan negara satu sama lain’’. (Kusumaatmadja, 1999; 2) Berdasarkan pada definisi-definisi di atas, secara sepintas sudah diperoleh gambaran umum tentang ruang lingkup dan substansi dari hukum internasional, yang di dalamnya terkandung unsur subyek atau pelaku, hubungan-hubungan hukum antar subyek atau pelaku, serta hal-hal atau obyek yang tercakup dalam pengaturannya, serta prinsip-prinsip dan kaidah atau peraturan-peraturan hukumnya. Sedangkan mengenai subyek hukumnya, tampak bahwa negara tidak lagi menjadi satu-satunya subyek hukum internasional, sebagaimana pernah jadi pandangan yang berlaku umum di kalangan para sarjana sebelumnya. B. Pengertian Hukum Nasional Hukum nasional adalah sekumpulan hukum yang sebagian besar terdiri atas prinsip-prinsip dan peraturan-peraturan yang harus ditaati oleh masyarakat dalam suatu negara, dan oleh karena itu juga harus ditaati dalam hubungan-hubungan antara mereka satu dengan lainnya. Hukum Nasional di Indonesia merupakan campuran dari sistem hukum hukum Eropa, hukum Agama dan hukum Adat. Sebagian besar sistem yang dianut, baik perdata maupun pidana, berbasis pada hukum Eropa kontinental, khususnya dari Belanda karena aspek sejarah masa lalu Indonesia yang merupakan wilayah jajahan dengan sebutan Hindia Belanda (Nederlandsch-Indie). Hukum Agama, karena sebagian besar masyarakat Indonesia menganut Islam, maka dominasi hukum atau Syari'at Islam lebih banyak terutama di bidang perkawinan, kekeluargaan dan warisan. Selain itu, di Indonesia juga berlaku
39
sistem hukum Adat, yang merupakan penerusan dari aturan-aturan setempat dari masyarakat dan budaya-budaya yang ada di wilayah Nusantara. C. Hubungan Hukum Nasional dan Hukum Internasional Menurut teori Dualisme, hukum internasional dan hukum nasional, merupakan dua sistem hukum yang secara keseluruhan berbeda. Hukum internasional dan hukum nasional merupakan dua sistem hukum yang terpisah, tidak saling mempunyai hubungan superioritas atau subordinasi. Berlakunya hukum internasional dalam lingkungan hukum nasional memerlukan ratifikasi menjadi hukum nasional. Kalau ada pertentangan antar keduanya, maka yang diutamakan adalah hukum nasional suatu negara. Sedangkan menurut teori Monisme, hukum internasional dan hukum nasional saling berkaitan satu sama lainnya. Menurut teori Monisme, hukum internasional itu adalah lanjutan dari hukum nasional, yaitu hukum nasional untuk urusan luar negeri. Menurut teori ini, hukum nasional kedudukannya lebih rendah dibanding dengan hukum internasional. Hukum nasional tunduk dan harus sesuai dengan hukum internasional. (Burhan Tsani, 1990; 26) Berangkat dari pentingnya hubungan lintas negara disegala sektor kehidupan seperti politik, sosial, ekonomi dan lain sebagainya, maka sangat diperlukan hukum yang diharap bisa menuntaskan segala masalah yang timbul dari hubungan antar negara. Hukum Internasional ialah sekumpulan kaedah hukum wajib yang mengatur hubungan antara person hukum internasional (Negara dan Organisasi Internasional), menentukan hak dan kewajiban badan tersebut serta membatasi hubungan yang terjadi antara person hukum tersebut dengan masyarakat sipil. Oleh karena itu hukum internasional adalah hukum masyarakat internasional yang mengatur segala hubungan yang terjalin dari person hukum internasional serta hubungannya dengan masyarakat sipil. Hukum internasional mempunyai beberapa segi penting seperti prinsip kesepakatan bersama (principle of mutual consent), prinsip timbal balik (priniple of reciprocity), prinsip komunikasi bebas (principle of free communication), princip tidak diganggu gugat (principle of inciolability), prinsip layak dan umum (principle of reasonable and normal), prinsip eksteritorial (principle of exterritoriality), dan prinsip-prinsip lain yang penting bagi hubungan diplomatik antarnegara. Maka hukum internasional memberikan implikasi hukum bagi para pelangarnya, yang dimaksud implikasi disini ialah tanggung jawab secara internasional yang disebabkan oleh tindakan-tindakan yang dilakukan sesuatu negara atau organisasi internasional dalam melakukan segala tugas-tugasnya sebagai person hukum internasional. Dari pengertian diatas dapat kita simpulkan unsur-unsur terpenting dari hukum internasional; (a) Objek dari hukum internasional ialah badan hukum internasional yaitu negara dan organisasi internasional, (b) Hubungan yang terjalin antara badan hukum internasional adalah hubungan internasional dalam artian bukan dalam scope wilayah tertentu, ia merupakan hubungan luar negeri yang melewati batas teritorial atau geografis negara, berlainan dengan hukum negara yang hanya mengatur hubungan dalam negeri dan (c) kaedah hukum internasional ialah kaedah wajib, seperti layaknya
40
semua kaedah hukum, dan ini yang membedakan antara hukum internasional dengan kaedah internasional yang berlaku dinegara tanpa memiliki sifat wajib seperti life service dan adat kebiasaan internasional. Jika hukum nasional ialah hukum yang terapkan dalam teritorial sesuatu negara dalam mengatur segala urusan dalam negeri dan juga dalam menghadapi penduduk yang berdomisili didalamnya, maka hukum internasional ialah hukum yang mengatur aspek negara dalam hubungannya dengan negara lain. Hukum Internasional ada untuk mengatur segala hubungan internasional demi berlangsungnya kehidupan internasional yang terlepas dari segala bentuk tindakan yang merugikan negara lain. Oleh sebab itu negara yang melakukan tindakan yang dapat merugikan negara lain atau dalam artian melanggar kesepakatan bersama akan dikenai implikasi hukum, jadi sebuah negara harus bertanggung jawab atas segala tindakan yang telah dilakukannya. Pengertian tanggung jawab internasional itu sendiri itu adalah peraturan hukum dimana hukum internasional mewajibkan kepada person hukum internasional pelaku tindakan yang melanggar kewajiban-kewajiban internasional yang menyebabkan kerugian pada person hukum internasional lainnya untuk melakukan kompensasi. D. Esensial Hukum Internasional Apa yang menjadi kepentingan hukum internasional adalah memberikan batasan yang jelas terhadap kewenangan negara dalam pelaksanaan hubungan antarnegara. Hal ini bertolak belakang dengan kepentingan penyelenggaraan politik internasional yang bertujuan untuk mempertahankan atau memperbesar kekuasaan. Karena itu, hukum bermakna memberikan petunjuk operasional perihal kebolehan dan larangan guna membatasi kekuasaan absolut negara. Realitanya keterkaitan diantara kedua dimensi hubungan ini berujung kepada persoalan esensi hukum sebagai suatu kekuatan yang bersifat memaksa. Masalah efektifitas hukum dalam hubungan internasional ini menimbulkan dua konsekuensi yang secara diameteral saling bertolak-belakang. Pertama, struktur hukum nasional lebih tinggi dari pada hukum internasional. Pemahaman ini membawa implikasi hukum internasional terhadap kebijakan domestik suatu negara akan diukur berdasarkan sistem hukum nasional. Di sini hukum internasional baru akan berlaku jika tidak bertentangan dengan kaedah hukum nasional. Agar berlaku, hukum internasional juga perlu diadopsi terlebih dahulu menjadi hukum nasional, yaitu suatu proses yang dilakukan antara lain melalui ratifikasi. Dasarnya adalah doktrin hukum pacta sunc servanda di mana perjanjian berlaku sebagai hukum bagi para pihak. Perjanjian merefleksikan itikad bebas yang dicapai secara sukarela oleh subjek hukum internasional yang memiliki kesetaraan satu sama lain. Sebaliknya, hukum dinilai tidak dapat berfungsi secara efektif jika tidak ada keinginan negara untuk tunduk di bawah ketentuan yang diaturnya. Kemudian pemahaman kedua sementara itu mendalilkan bahwa hukum internasional otomatis berlaku sebagai kaedah hukum domestik yang mengikat negara tanpa melalui proses adopsi menjadi hukum nasional. Menurut paradigma ini, hukum internasional merupakan fondasi tertinggi yang mengatur hubungan antarnegara. Sumber kekuatan mengikat hukum internasional adalah prinsip
41
hukum alam(costumary) yang menempatkan akal sehat masyarakat internasional sebagai cita-cita dan sumber hukum ideal yang tertinggi. Terlepas dari ada atau tidaknya persetujuan ini, secara yuridis negara dapat terikat oleh prinsip hukum internasional yang berlaku universal atau oleh kaedah kebiasaan internasional. Customary itu sendiri membuktikan bahwa praktek negara atas sesuatu hal yang sama dan telah mengkristal, sehingga diakui oleh masyarakat internasional memiliki implikasi hukum bagi pelanggaran terhadapnya. E. Penyelesaian Sengketa Internasional Secara Damai. Ketentuan hukum internasional telah melarang penggunaan kekerasan dalam hubungan antar negara. Keharusan ini seperti tercantum pada Pasal 1 Konvensi mengenai Penyelesaian Sengketa-Sengketa Secara Damai yang ditandatangani di Den Haag pada tanggal 18 Oktober 1907, yang kemudian dikukuhkan oleh pasal 2 ayat (3) Piagan Perserikatan bangsa-Bangsa dan selanjutnya oleh Deklarasi Prinsip-Prinsip Hukum Internasional mengenai Hubungan Bersahabat dan Kerjasama antar Negara. Deklarasi tersebut meminta agar “semua negara menyelesaikan sengketa mereka dengan cara damai sedemikian rupa agar perdamaian, keamanan internasional dan keadilan tidak sampai terganggu”. Penyelesaian sengketa secara damai dibedakan menjadi: penyelesaian melalui pengadilan dan di luar pengadilan. Yang akan dibahas pada kesemapatan kali ini hanyalah penyelesaian perkara melalui pengadilan. Penyelesaian melalui pengadilan dapat ditempuh melalui: 1. Arbitrase Internasional Penyelesaian sengketa internasional melalui arbitrase internasional adalah pengajuan sengketa internasional kepada arbitrator yang dipilih secara bebas oleh para pihak, yang memberi keputusan dengan tidak harus terlalu terpaku pada pertimbangan-pertimbangan hukum. Arbitrase adalah merupakan suatu cara penerapan prinsip hukum terhadap suatu sengketa dalam batas-batas yang telah disetujui sebelumnya oleh para pihak yang bersengketa. Hal-hal yang penting dalam arbitrase adalah; (a) perlunya persetujuan para pihak dalam setiap tahap proses arbitrase, dan (b) sengketa diselesaikan atas dasar menghormati hukum. (Burhan Tsani, 1990; 211) Secara esensial, arbitrase merupakan prosedur konsensus, karenanya persetujuan para pihaklah yang mengatur pengadilan arbitrase. Arbitrase terdiri dari seorang arbitrator atau komisi bersama antar anggota-anggota yang ditunjuk oleh para pihak atau dan komisi campuran, yang terdiri dari orang-orang yang diajukan oleh para pihak dan anggota tambahan yang dipilih dengan cara lain. Pengadilan arbitrase dilaksanakan oleh suatu “panel hakim” atau arbitrator yang dibentuk atas dasar persetujuan khusus para pihak, atau dengan perjanjian arbitrase yang telah ada. Persetujuan arbitrase tersebut dikenal dengan compromis (kompromi) yang memuat; (a) persetujuan para pihak untuk terikat pada keputusan arbitrase, (b) metode pemilihan panel arbitrase, (c) waktu dan tempat hearing (dengar pendapat), (d) batas-batas fakta yang harus dipertimbangkan, dan (e) prinsip-prinsip hukum atau keadilan yang harus diterapkan untuk mencapai suatu kesepakatan. (Burhan Tsani, 1990, 214)
42
2.
1. 2.
1. 2. 3.
Masyarakat internasional sudah menyediakan beberapa institusi arbitrase internasional, antara lain (a) Pengadilan Arbitrase Kamar Dagang Internasional (Court of Arbitration of the International Chamber of Commerce) yang didirikan di Paris, tahun 1919, (b) pusat Penyelesaian Sengketa Penanaman Modal Internasional (International Centre for Settlement of Investment Disputes) yang berkedudukan di Washington DC, (c) Pusat Arbitrase Dagang Regional untuk Asia (Regional Centre for Commercial Arbitration), berkedudukan di Kuala Lumpur, Malaysia dan (d) Pusat Arbitrase Dagang Regional untuk Afrika (Regional Centre for Commercial Arbitration), berkedudukan di Kairo, Mesir. (Burhan Tsani; 216) Pengadilan Internasional Pada permulaan abad XX, Liga Bangsa-Bangsa mendorong masyarakat internasional untuk membentuk suatu badan peradilan yang bersifat permanent, yaitu mulai dari komposisi, organisasi, wewenang dan tata kerjanya sudah dibuat sebelumnya dan bebas dari kehendak negara-negara yang bersengketa. Pasal 14 Liga Bangsa-Bangsa menugaskan Dewan untuk menyiapkan sebuah institusi Mahkamah Permanen Internasional. Namun, walaupun didirikan oleh Liga Bangsa-Bangsa, Mahkamah Permanen Internasional, bukanlah organ dari Organisasi Internasional tersebut. Hingga pada tahun 1945, setelah berakhirnya Perang Dunia II, maka negara-negara di dunia mengadakan konferensi di San Fransisco untuk membentuk Mahkamah Internasional yang baru. Di San Fransisco inilah, kemudian dirumuskan Piagam Perserikatan BangsaBangsa dan Statuta Mahkamah Internasional. Menurut Pasal 92 Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa disebutkan bahwa Mahkamah Internasional merupakan organ hukum utama dari Perserikatan Bangsa-Bangsa. Namun sesungguhnya, pendirian Mahkamah Internasional yang baru ini, pada dasarnya hanyalah merupakan kelanjutan dari Mahkamah Internasional yang lama, karena banyak nomor-nomor dan pasal-pasal yang tidak mengalami perubahan secara signifikan. Secara umum, Mahkamah Internasional mempunyai kewenangan untuk: Melaksanakan “Contentious Jurisdiction”, yaitu yurisdiksi atas perkara biasa, yang didasarkan pada persetujuan para pihak yang bersengketa; Memberikan “Advisory Opinion”, yaitu pendapat mahkamah yang bersifat nasehat. Advisory Opinion tidaklah memiliki sifat mengikat bagi yang meminta, namun biasanya diberlakukan sebagai “Compulsory Ruling”, yaitu keputusan wajib yang mempunyai kuasa persuasive kuat (Burhan Tsani, 1990; 217) Sedangkan, menurut Pasal 38 ayat (1) Statuta Mahkamah Internasional, sumber-sumber hukum internasional yang dipakai oleh Mahkamah dalam mengadili perkara, adalah: Perjanjian internasional (international conventions), baik yang bersifat umum, maupun khusus; Kebiasaan internasional (international custom); Prinsip-prinsip hukum umum (general principles of law) yang diakui oleh negara-negara beradab;
43
4.
Keputusan pengadilan (judicial decision) dan pendapat para ahli yang telah diakui kepakarannya, yang merupakan sumber hukum internasional tambahan. Mahkamah Internasional juga sebenarnya bisa mengajukan keputusan ex aequo et bono, yaitu didasarkan pada keadilan dan kebaikan, dan bukan berdasarkan hukum, namun hal ini bisa dilakukan jika ada kesepakatan antar negara-negara yang bersengketa. Keputusan Mahkamah Internasional sifatnya final, tidak dapat banding dan hanya mengikat para pihak. Keputusan juga diambil atas dasar suara mayoritas. Yang dapat menjadi pihak hanyalah negara, namun semua jenis sengketa dapat diajukan ke Mahkamah Internasional. Masalah pengajuan sengketa bisa dilakukan oleh salah satu pihak secara unilateral, namun kemudian harus ada persetujuan dari pihak yang lain. Jika tidak ada persetujuan, maka perkara akan di hapus dari daftar Mahkamah Internasional, karena Mahkamah Internasional tidak akan memutus perkara secara in-absensia (tidak hadirnya para pihak).
44
BAB III KESIMPULAN Menurut teori Dualisme, hukum internasional dan hukum nasional, merupakan dua sistem hukum yang secara keseluruhan berbeda. Hukum internasional dan hukum nasional merupakan dua sistem hukum yang terpisah, tidak saling mempunyai hubungan superioritas atau subordinasi. Berlakunya hukum internasional dalam lingkungan hukum nasional memerlukan ratifikasi menjadi hukum nasional. Kalau ada pertentangan antar keduanya, maka yang diutamakan adalah hukum nasional suatu negara. Sedangkan menurut teori Monisme, hukum internasional dan hukum nasional saling berkaitan satu sama lainnya. Menurut teori Monisme, hukum internasional itu adalah lanjutan dari hukum nasional, yaitu hukum nasional untuk urusan luar negeri. Menurut teori ini, hukum nasional kedudukannya lebih rendah dibanding dengan hukum internasional. Hukum nasional tunduk dan harus sesuai dengan hukum internasional. (Burhan Tsani, 1990; 26) Berangkat dari pentingnya hubungan lintas negara disegala sektor kehidupan seperti politik, sosial, ekonomi dan lain sebagainya, maka sangat diperlukan hukum yang diharap bisa menuntaskan segala masalah yang timbul dari hubungan antar negara. Hukum Internasional ialah sekumpulan kaedah hukum wajib yang mengatur hubungan antara person hukum internasional (Negara dan Organisasi Internasional), menentukan hak dan kewajiban badan tersebut serta membatasi hubungan yang terjadi antara person hukum tersebut dengan masyarakat sipil.
45
DAFTAR PUSTAKA Ardiwisastra Yudha Bhakti, 2003, Hukum Internasional, Bunga Rampai, Alumni, Bandung. Burhantsani, Muhammad, 1990; Hukum dan Hubungan Internasional, Yogyakarta : Penerbit Liberty. Disarikan dari paparan ilmiah Abdul Hakim Garuda Nusantara, dalam Dialog Interaktif, “Arti Pengesahan Dua Kovenan HAM bagi Penegakan Hukum,” di Hotel Acacia, Jakarta, pada 9 Maret 2006, yang diselenggarakan oleh Komisi Hukum Nasional RI. Hans Kelsen, Teori Umum Tentang Hukum dan Negara (terj), (Bandung: Nuansa, 2006), hal. 512-513. J.G. Starke, Pengantar Hukum Internasional Buku 2 (terj), (Jakarta: Sinar Grafika, 1992), hal. 98. Lihat juga Boer Mauna, Hukum Internasional, (Bandung: Alumni, 2000), hal. 12-13. Lebih lanjut mengenai pandangan Kelsen ini dapat di lihat dalam beberapa tulisan Kelsen, Teori Hukum Murni: Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif, hal. 353. Teori Umum Tentang Hukum dan Negara, hal. 511. Ibid, hal. 97. Kusamaatmadja Mochtar, 1999, Pengantar Hukum Internasional, Cetakan ke-9, Putra Abardin. Mauna Boer, 2003, Hukum Internasional; Pengertian, Peran dan Fungsi dalam Era Dinamika Global, Cetakan ke-4, PT. Alumni, Bandung. Phartiana I Wayan, 2003, Pengantar Hukum Internasional, Penerbit Mandar maju, Bandung. Situni F. A. Whisnu, 1989, Identifikasi dan Reformulasi Sumber-Sumber Hukum Internasional, Penerbit Mandar Maju, Bandung Suryokusumo, Sumaryo,.(1995) Hukum Diplomatik Teori dan Kasus, Bandung: Alumni. Soekanto, Soerjono,.(1993) Sendi-sendi Ilmu Hukum dan Tata Hukum, Bandung: Citra Aditya
46