BAB II ISI
PERKAWINAN Pernikahan merupakan ikatan diantara dua insan yang mempunyai banyak perbedaan, baik dari segi fisik, asuhan keluarga, pergaulan, cara berfikir (mental), pendidikan dan lain hal. Dalam pandangan Islam, pernikahan merupakan ikatan yang amat suci dimana dua insan yang berlainan jenis dapat hidup bersama dengan direstui agama, kerabat, dan masyarakat. Perkawinan dalam Islam adalah suatu ikatan yang kuat dan perjanjian yang teguh yang ditegakkan di atas landasan niat untuk bergaul antara suamiisteri dengan abadi, supaya dapat memetik buah kejiwaan yang telah digariskan Allah dalam al-Quran, yaitu ketenteraman, kecintaan dan kasih sayang. Sedang tujuannya yang bersifat duniawi yaitu demi berkembangnya keturunan dan kelangsungan jenis manusia. Seperti yang diterangkan Allah dalam al-Quran: "Allah telah menjadikan jodoh untuk kamu dari jenismu sendiri, dan Ia menjadikan untuk kamu dari perjodohanmu itu anak-anak dan cucu." (an-Nahl: 72) Aqad nikah dalam Islam berlangsung sangat sederhana, terdiri dari dua kalimat "ijab dan qabul". Tapi dengan dua kalimat ini telah dapat menaikkan hubungan dua makhluk Allah dari bumi yang rendah ke langit yang tinggi. Dengan dua kalimat ini berubahlah kekotoran menjadi kesucian, maksiat menjadi ibadah, maupun dosa menjadi amal sholeh. Aqad nikah bukan hanya perjanjian antara dua insan. Aqad nikah juga merupakan perjanjian antara makhluk Allah dengan Al-Khaliq. Ketika dua tangan diulurkan (antara wali nikah dengan mempelai pria), untuk mengucapkan kalimat baik itu, diatasnya ada tangan Allah SWT, "Yadullahi fawqa aydihim". Begitu sakralnya aqad nikah, sehingga Allah menyebutnya "Mitsaqon gholizho" atau perjanjian Allah yang berat. Juga seperti perjanjian Allah dengan Bani Israil dan juga Perjanjian Allah dengan para Nabi adalah perjanjian yang berat (Q.S Al-Ahzab : 7), Allah juga menyebutkan aqad nikah antara dua orang anak manusia sebagai "Mitsaqon gholizho". Karena janganlah pasangan suami istri dengan begitu mudahnya mengucapkan kata cerai.
Aqad nikah dapat menjadi sunnah, wajib, makruh ataupun haram, hal ini disebabkan karena: I. Sunnah, untuk menikah bila yang bersangkutan : a. Siap dan mampu menjalankan keinginan biologi, b. Siap dan mampu melaksanakan tanggung jawab berumah tangga. II. Wajib menikah, apabila yang bersangkutan mempunyai keinginan biologi yang kuat, untuk menghindarkan dari hal-hal yang diharamkan untuk berbuat maksiat, juga yang bersangkutan telah mampu dan siap menjalankan tanggung jawab dalam rumah tangga. Hal ini sesuai dengan firman Allah Q.S An-Nur : 33 III. Makruh, apabila yang bersangkutan tidak mempunyai kesanggupan menyalurkan biologi, walau seseorang tersebut sanggup melaksanakan tanggung jawab nafkah, dll. Atau sebaliknya dia mampu menyalurkan biologi, tetapi tidak mampu bertanggung jawab dalam memenuhi kewajiban dalam berumah tangga. IV. Haram menikah, apabila dia mempunyai penyakit kelamin yang akan menular kepada pasangannya juga keturunannya.
POLIGAMI Islam adalah agama yang sesuai dengan fitrah manusia dan selalu terjun dalam suatu realita, mendidik dan menjauhkan dari sikap teledor dan bermalas-malas. Begitulah yang kami saksikan dengan gamblang dalam hubungannya dengan masalah poligami. Dengan menitikberatkan demi kepentingan manusia, baik secara individual maupun masyarakat, Islam membolehkan kawin lebih dari seorang. Kebanyakan umat-umat dahulu dan agama-agama sebelum Islam membolehkan kawin tanpa batas yang kadangkadang sampai sepuluh orang wanita, bahkan ada yang sampai seratus dan beratus-ratus tanpa suatu syarat dan ikatan. Maka setelah Islam datang, perkawinan lebih dari seorang ini diberinya batas dan bersyarat. Batas maksimalnya ialah empat, seperti riwayatnya Ghailan:
"Sesungguhnya Ghailan ats-Tsaqafi telah masuk Islam dan mempunyai sepuluh isteri, kemudian Nabi berkata kepadanya: Pilihlah empat di antara mereka itu, dan cerailah yang lain." (Riwayat Ahmad, Syafi'i, Tarmizi, Ibnu Majah, Ibnu Abi Syaibah, Daraquthni dan Baihaqi) Sementara ada juga yang mempunyai isteri delapan dan ada juga yang lima. Semuanya itu diperintahkan oleh Nabi supaya memilih empat saja. Adapun kawinnya Nabi sampai sembilan orang itu adalah khususiyah buat Nabi karena ada suatu motif da'wah dan demi memenuhi kepentingan ummat kepada isteri-isteri Nabi itu sepeninggal beliau. Syarat yang ditentukan Islam untuk poligami ialah terpercayanya seorang muslim terhadap dirinya, bahwa dia sanggup berlaku adil terhadap semua isterinya baik tentang soal makannya, minumnya, pakaiannya, rumahnya, tempat tidurnya maupun nafkahnya. Siapa yang tidak mampu melaksanakan keadilan ini, maka dia tidak boleh kawin lebih dari seorang.Firman Allah: "Jika kamu tidak dapat berlaku adil, maka kawinlah seorang saja." (an-Nisa': 3) Dan Rasulullah s.a.w. bersabda: "Barangsiapa mempunyai isteri dua, tetapi dia lebih cenderung kepada yang satu, maka nanti di hari kiamat dia akan datang menyeret salah satu lambungnya dalam keadaan jatuh atau miring." (Riwayat Ahlulsunan, Ibnu Hibban dan al-Hakim) Yang dimaksud cenderung atau condong yang diancam oleh hadis tersebut, ialah meremehkan hak-hak isteri, bukan semata-mata kecenderungan hati. Sebab kecenderungan hati termasuk suatu keadilan yang tidak mungkin dapat dilaksanakan. Oleh karena itu Allah memberikan maaf dalam hal tersebut. Seperti tersebut dalam firmanNya: "Dan kamu tidak akan dapat berlaku adil antara isteri-isterimu sekalipun kamu sangat berkeinginan, oleh karena itu janganlah kamu terlalu condong." (anNisa': 129) Oleh karena itu pula setelah Rasulullah membagi atau menggilir dan melaksanakan keadilannya, kemudian beliau berdoa:
"Ya Allah! Inilah giliranku yang mampu aku lakukan. Maka janganlah Engkau siksa aku berhubung sesuatu yang Engkau mampu laksanakan tetapi aku tidak mampu melaksanakan." (Riwayat Ashabussunan) Yakni sesuatu yang tidak mampu dikuasai oleh hati manusia dan sesuatu kecenderungan kepada salah satu isterinya. Nabi sendiri kalau hendak bepergian, ia mengadakan undian. Siapa mendapat bagiannya, dialah yang nanti akan diajak pergi oleh Nabi. Beliau bersikap demikian demi menjaga perasaan dan tercapainya persetujuan oleh semuanya.
PERNIKAHAN BEDA AGAMA "Cinta itu buta," begitu kata penyair asal Inggris, William Shakespeare. Ungkapan yang sangat masyhur itu memang kerap terbukti dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan, terkadang sampai melupakan aturan agama. Saat ini, tak sedikit umat Muslim yang karena "cinta" berupaya sebisa mungkin untuk menikah dengan orang yang berbeda agama. "Tolong dibantu... Saya benarbenar serius untuk melakukan nikah beda agama. Saya benar-benar pusing harus bagaimana lagi," tulis seorang wanita Muslim pada sebuah laman. Lalu bolehkah menurut hukum Islam seorang Muslim, baik pria maupun wanita menikah dengan orang yang berbeda agama? Masalah perkawinan beda agama telah mendapat perhatian serius para ulama di Tanah Air. Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam musyawarah Nasional II pada 1980 telah menetapkan fatwa tentang pernikahan beda agama. MUI menetapkan dua keputusan terkait pernikahan beda agama ini. Pertama, para ulama di Tanah Air memutuskan bahwa perkawinan wanita Muslim dengan laki-laki non-Muslim hukumnya haram. Kedua, seorang laki-laki Muslim diharamkan mengawini wanita bukan Muslim. Perkawinan antara laki-laki Muslim dengan wanita ahlul kitab memang terdapat perbedaan pendapat. "Setelah mempertimbangkan bahwa mafsadatnya lebih besar dari maslahatnya, MUI memfatwakan perkawinan tersebut hukumnya haram," ungkap Dewan Pimpinan Munas II MUI, Prof Hamka, dalam fatwa itu. Dalam memutuskan fatwanya, MUI menggunakan Alquran dan Hadis sebagai dasar hukum. "Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik hingga mereka ber
iman (masuk Islam). Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun ia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan wanita orangorang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) hingga mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, meskipun ia menarik hatimu..." (QS: al-Baqarah:221). Selain itu, MUI juga menggunakan Alquran surat al-Maidah ayat 5 serta at Tahrim ayat 6 sebagai dalil. Sedangkan, hadis yang dijadikan dalil adalah Sabda Rasulullah SAW yang diriwayatkan Tabrani: "Barang siapa telah kawin, ia telah memelihara setengah bagian dari imannya, karena itu, hendaklah ia takwa (takut) kepada Allah dalam bagian yang lain." Ulama Nahdlatul Ulama (NU) juga telah menetapkan fatwa terkait nikah beda agama. Fatwa itu ditetapkan dalam Muktamar ke-28 di Yogyakarta pada akhir November 1989. Ulama NU dalam fatwanya menegaskan bahwa nikah antara dua orang yang berlainan agama di Indonesia hukumnya tidak sah. Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah juga telah menetapkan fatwa tentang penikahan beda agama. Secara tegas, ulama Muhammadiyah menyatakan bahwa seorang wanita Muslim dilarang menikah dengan pria nonMuslim. Hal itu sesuai dengan surat al-Baqarah ayat 221, seperti yang telah disebutkan di atas. "Berdasarkan ayat tersebut, laki-laki Mukmin juga dilarang nikah dengan wanita non-Muslim dan wanita Muslim dilarang walinya untuk menikahkan dengan laki-laki non-Muslim," ungkap ulama Muhammadiyah dalam fatwanya. Ulama Muhammadiyah pun menyatakan kawin beda agama juga dilarang dalam agama Nasrani. Dalam perjanjian alam, kitab ulangan 7:3, umat Nasrani juga dilarang untuk menikah dengan yang berbeda agama. "Dalam UU No 1 tahun 1974 pasal 2 ayat 1 juga disebutkan bahwa: "Pernikahan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu." "Jadi, kriteria sahnya perkawinan adalah hukum masingmasing agama yang dianut oleh kedua mempelai," papar ulama Muhammadiyah dalam fatwanya. Ulama Muhammadiyah menilai pernikahan beda agama yang dicatatkan di kantor catatan sipil tetap tak sah nikahnya secara Islam. Hal itu dinilai sebagai sebuah perjanjian yang bersifat administratif.
Ulama Muhammadiyah memang mengakui adanya perbedaan pendapat tentang bolehnya pria Muslim menikahi wanita nonMuslim berdasarkan surat al-Maidah ayat 5. "Namun, hendaknya pula dilihat surat Ali Imran ayat 113, sehingga dapat direnungkan ahli kitab yang bagaimana yang dapat dinikahi laki-laki Muslim," tutur ulama Muhammadiyah. Dalam banyak hal, kata ulama Muhammadiyah, pernikahan wanita ahli kitab dengan pria Muslim banyak membawa kemadharatan. "Maka, pernikahan yang demikian juga dilarang." Abdullah ibnu Umar RA pun melarang pria Muslim menikahi wanita nonMuslim.
EKONOMI SYARIAH INDONESIA Ekonomi syariah merupakan ilmu pengetahuan sosial yang mempelajari masalah-masalah ekonomi rakyat yang dilhami oleh nilai-nilai Islam. Ekonomi syariah berbeda dari kapitalisme, sosialisme, maupun negara kesejahteraan (Welfare State). Berbeda dari kapitalisme karena Islam menentang eksploitasi oleh pemilik modal terhadap buruh yang miskin, dan melarang penumpukan kekayaan. Selain itu, ekonomi dalam kaca mata Islam merupakan tuntutan kehidupan sekaligus anjuran yang memiliki dimensi ibadah. Sistem ekonomi syariah sangat berbeda dengan ekonomi kapitalis, sosialis maupun komunis. Ekonomi syariah bukan pula berada ditengah-tengah ketiga sistem ekonomi itu. Sangat bertolak belakang dengan kapitalis yang lebih bersifat individual, sosialis yang memberikan hampir semua tanggungjawab kepada warganya serta komunis yang ekstrim, ekonomi Islam menetapkan bentuk perdagangan serta perkhidmatan yang boleh dan tidak boleh di transaksikan. Ekonomi dalam Islam harus mampu memberikan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat, memberikan rasa adil, kebersamaan dan kekeluargaan serta mampu memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada setiap pelaku usaha. Tidak banyak yang dikemukakan dalam Al Qur’an, dan hanya prinsipprinsip yang mendasar saja. Karena alasan-alasan yang sangat tepat, Al Qur’an dan Sunnah banyak sekali membahas tentang bagaimana seharusnya kaum Muslim berprilaku sebagai produsen, konsumen dan pemilik modal, tetapi hanya sedikit tentang sistem ekonomi[5]. Sebagaimana diungkapkan dalam
pembahasan diatas, ekonomi dalam Islam harus mampu memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada setiap pelaku usaha. Selain itu, ekonomi syariah menekankan empat sifat, antara lain : Kesatuan (unity) Keseimbangan (equilibrium) Kebebasan (free will) Tanggungjawab (responsibility) Manusia sebagai wakil (khalifah) Tuhan di dunia tidak mungkin bersifat individualistik, karena semua (kekayaan) yang ada di bumi adalah milik Allah semata, dan manusia adalah kepercayaannya di bumi. Didalam menjalankan kegiatan ekonominya, Islam sangat mengharamkan kegiatan riba, yang dari segi bahasa berarti “kelebihan”. Dalam Al Qur’an surat Al Baqarah ayat 275. disebutkan bahwa Orang-orang yang makan (mengambil) riba[8] tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.
MUAMALAH Menurut fiqih, muamalah ialah tukar menukar barang atau sesuatu yang memberi manfaat dengan cara yang ditentukan. Yang termasuk dalam hal muamalah adalah jual beli, sewa menyewa, upah mengupah, pinjam meminjam, urusan bercocok tanam, berserikat dan lain-lain. Manusia adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri tanpa orang lain, masing-masing berhajat kepada yang lain, bertolong-tolongan, tukar menukar keperluan dalam urusan kepentingan hidup baik dengan cara jual beli, sewa menyewa, pinjam meminjam atau suatu usaha yang lain baik bersifat pribadi maupun untuk kemaslahatan umat. Dengan demikian akan terjadi suatu kehidupan yang teratur dan menjadi ajang silaturrahmi yang erat. Agar hak masing-masing tidak sia-sia dan guna menjaga kemaslahatan umat, maka agar semuanya dapat berjalan dengan lancar dan teratur, agama Islam memberikan peraturan yang sebaik-baiknya aturan.
Dalam hal bermuamalah, ruang lingkupnya sangat luas. Agama islam dalam hal ini memberikan tuntunan secara global. Para ahli fikih memberikan rumusan prinsip umum dalam bermuamalah, yaitu berupa kaidah ushul fiqih “asal hukum dalam setiap masalah yang berhubungan dengan muamalah adalah jaiz atau boleh, sampai ditemukan adanya dalil yang melarangnya. Dalam transaksi dijalankan secara sukarela atau tanpa paksaan dari pihak manapun antara kedua belah pihak dan dalam pelaksanaannya dilandasi dengan niat yang baik dan tulus agar kecurangan dapat dihindarinya. Transaksi ekonomi dalam islam dapat dicontohkan seperti aktivitas di pasar yang para pedagangnya menggunakan system perdagangan secara Islam.
BANK ISLAMI Dalam rangka untuk menghindari unsur riba, maka bermunculan bank yang berdasarkan syari’ah misalnya bank muamalat, bank syari’ah mandiri dan bank-bank lainnya yang berdasarkan syari’ah. Bank-bank tersebut dalam operasinya disesuaikan dengan prinsip-prinsip syari’ah Islam dan tatacaranya acuannya adalah Al Qur’an dan As Sunah. Agar tidak terdapat unsur riba, nasabah yang akan mengadakan akad perjanjian dengan bank dapat melaksanakan perihal sebagaimana berikut:
Mudarabah atau qirad Syirkah atau perseroan Wadiah atau titipan uang qard hasan atau peminjaman yang baik murabahah atau bank membelikan barang yang diperlukan oleh pengusaha untuk dijual lagi dan bank dapat minta tambahan atas harga pembeliannya.
Dengan adanya bank syari’ah maka umat islam dapat menghilangkan keragu-raguannya dalam berurusan dengan bank. Selain itu hikmahnya dengan adanya bank syari’ah antara lain:
Mempermudah umat islam dalam menjalankan syari’at khususnya dalam bidang keuangan dan perekonomian Dapat menghindari unsur riba Nyaman dalam berhubungan dengan bank karena sudah bersyari’ah Islam Ekploitasi dari orang kaya terhadap orang miskin dapat terhindari
ETIKA BARAT DAN TIMUR Menurut Kamus Bahasa Indonesia, secara etimologi etika diartikan sebagai berikut; (1). Ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral. (2). Kumpulan Azas/nilai yang berkenaan dengan akhlak. (3). Nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat. Etika, norma, moral dan akhlak memiliki banyak persamaan. Ketiganya selalu berkaitan dengan tingkah laku atau perbuatan yang selayaknya diadopsi dan ditinggalkan masyarakat, dan mempunyai nilai baik dan buruknya ditengah-tengah masyarakat. Dilihat dari segi fungsi dan perannya, dapat dikatakan bahwa etika adalah menentukan hukum atau nilai dari suatu perbuatan yang dilakukan seseorang untuk di tentukan baik dan buruknya. Dengan kata lain etika menghendaki terciptanya masyarakat yang baik, teratur,aman, damai, tenteram dan sejahtera lahir dan batin. Satu hal yang perlu diperhatikan, sehingga membedakannya dengan istilahistilah moral dan akhlak adalah terletak pada sumber yang dijadikan patokan untuk menentukan baik dan buruknya. Jika dalam etika penilaian baik buruk berdasarkan kepada pendapat akal pikiran dan lebih banyak bersifat teoritis dan pada moral lebih didasarkan pada kebiasaan yang berlaku umum di masyarakat dan bersifat praktis, sedangkan pada akhlak ukuran yang digunakan untuk menentukan baik dan buruk adalah Alquran dan Al-hadis. Secara sederhana dapat dikemukakan bahwa etika dan moral merupakan produk akal dan budaya masyarakat yang secara selektif diakui berguna dan baik dalam kehidupan manusia. Dan pada sisi lain, akhlak juga memberikan batasan-batasan umum dan universal, agar ketentuan yang terdapat dalam etika dan moral tidak bertentangan dengan nilai-nilai luhur dan tidak membawa manusia ke jalan yang sesat. Secara sepintas, tidak terdapat perbedaan antara etika Barat dengan etika Islam karena keduanya menentukan batas-batas antara yang baik dan buruk, benar dan salah. Fungsi etika adalah memberikan kepada masyarakat beberapa prinsip atau ukuran dasar untuk menentukan bagaimana tingkah laku yang benar dan baik. Perbedaannya hanya terletak pada sumber atau referensinya. Tetapi, jika diteliti secara mendalam, diantara keduanya terdapat perbedaan yang mencolok. Perbedaannya ialah, etika Barat bertitik tolak dari akal pikiran manusia, yaitu akal pikiran para ahli filsafat. Yang menjadi dasar etika Barat tentang perbuatan baik dan buruk, yang berbeda dari seorang ke orang lain. Sedangkan yang menjadi dasar etika Islam iman dan taqwa kepada Allah swt. Dengan demikian, dalam aspek teoritis dan praktis, komunikasi Islam dapat
berbeda dengan komunikasi menurut Barat, sebab komunikasi Islam berasaskan kepada al-Qur’an dan Hadis yang menjunjung kebenaran, manakala komunikasi Barat lebih mengutamakan keuntungan ekonomi, bisnis, politik yang bersifat material. Bagi teori Barat dalam komunikasi itu harus automistik, individualistik dan bebas nilai. Sebaliknya bagi Islam, teori (pengertian) komunikasi itu harus terikat budaya, partisipatoris, mengabdi kepada agama dan umatnya. Berbagai landasan etis Islam yang relevan dengan praktis komunikasi dikedepankan, termasuk tradisi umat Islam dalam memanfaatkan komunikasi dan ilmu-ilmu yang berkembang di kalangan Islam yang berkaitan dengan bidang komunikasi. Etika pada dasarnya merupakan dialektika antara kebebasan dan tanggung jawab, antara tujuan yang hendak dicapai dan cara untuk mencapai tujuan itu. Ia berkaitan dengan penilaian tentang perilaku benar atau tidak benar, baik atau tidak baik, berdasarkan normatif budaya tertentu. Apa yang dianggap suatu kebohongan dalam suatu budaya mungkin dianggap sopan santun dalam budaya lain. Apa yang dianggap suap oleh suatu budaya, mungkin dianggap persahabatan dalam budaya lain. Beberapa nilai etika yang dijunjung tinggi oleh wartawan-wartawan Barat diantaranya adalah kebebasan (freedom), kebenaran (truthfulness) dan bertanggung jawab (responsibility). Di samping itu ada dua etika yang biasanya terdapat dalam kode etik Barat yaitu keadilan (fair play) dan keobjektifan (objectivity). Dalam komunikasi umum juga dikenal tuntutan terhadap komunikator agar memperlakukan komunikan sebagai mitra bukan objek untuk dimanipulasi. Hubungan komunikator dengan komunikan adalah hubungan “Aku-Anda” (I - You relationship), bukan hubungan “Aku-Objek” (I it relationships). Pada hubungan yang pertama, terdapat pengakuan terhadap jati diri orang lain, saling menghargai. Adapun pada hubungan yang kedua yang ada hanyalah ketimpangan di mana komunikator tidak memperdulikan orang lain. Komunikator hanya melihat komunikan sebagai “ikan-ikan” bebal yang harus dipancing dengan berbagai teknik. Dengan demikian, bentuk hubungan yang pertama digambarkan Jalaluddin Rakhmat sebagai komunikasi yang beradab. Adapun bentuk hubungan yang kedua digambarkannya sebagai komunikasi yang biadab. Etika umum (Barat) tidak ada yang mutlak dan universal ia berkembang dan berubah-ubah sesuai dengan cara pandang budaya yang dinamis. Bahkan filosof Inggris-Jeremi Benthan dan John Stuart Mill mengungkapkan bahwa pada dasarnya sesuatu itu dapat dipandang sebagai tindakan etis yang dapat dibenarkan sepanjang membawa kebahagiaan dan kesenangan. Etika adalah standar-standar moral yang mengatur perilaku kita: bagaimana kita bertindak mengharapkan orang lain untuk bertindak. Dengan demikian etika komunikasi umum (Barat) harus disesuaikan dengan patokan-patokan yang ada pada budaya, filsafat dan
agama. Namun dalam kenyataannya sebagian orang bahkan tidak merujuk kepada patokan secara ketat. Menurut mereka patokan itu bisa saja menyesatkan secara etis pada situasi tertentu. Jadi dalam prakteknya Barat agak cenderung lebih menekankan patokan budaya dan filsafat, meskipun kebanyakan umat manusia tetap saja berpatokan kepada manusia. Komunikasi dalam umum (Barat) pada umumnya, meremehkan fungsi kemasyarakat, dan mengabaikan peranan struktur sosial dan budaya. Di samping itu, perspektif Barat juga jelas-jelas menitikberatkan pada individu. Ini merupakan bukti pendekatan 5 W-nya Harold Lasswell, salah seorang bapak pendiri teori komunikasi di Amerika Serikat, yang menggambarkan tindakan komunikasi dalam pengertian tanggapan (respons) pada lima pertanyaan berikut: siapa (who) mengatakan apa (says what) kepada siapa (to whom) melalui saluran apa (what channel) dan dengan efek bagaimana (what effect). Orientasi yang secara individual positivistik dan perspektif Barat yang fungsional pada komunikasi ini, ternyata tidak menempatkan komunikasi sebagai tindakan proses sosial. Dengan demikian dalam perspektif ini tidak mempertimbangkan masuknya keseluruhan struktur dan fungsi sosiokultural yang mendorong setiap perubahan sosial. Apalagi, karena tiadanya pemahaman terhadap realitas sosial, yang diperlukan untuk membangkitkan bentuk kesadaran dan mendorong tindakan sosial, maka perspektif kaum fungsionalis ini telah mengabaikan konsep penelitian partisipatif yang akhir-akhir ini dipandang baru, terutama dikalangan para ahli komunikasi. Etika (akhlak) Islam memiliki perbedaan yang sangat mencolok dengan etika dalam umum (barat) meskipun keduanya secara sepintas sama-sama menentukan batasan antara baik dan buruk, benar dan salah. Dalam perspektif Islam, etika atau akhlak bersumber dari al-Qur’an dan hadis Rasulullah saw, yang didasari dengan iman dan takwa kepada Allah swt. Esensi dari al-Qur’an adalah etika, yang menjadi asas pedoman bagi manusia. Jadi seorang muslim haruslah memiliki etika. Menjadi muslim berarti telah ada kontrak primordialisme tentang kepatuhan kita kepada-Nya. Dalam melaksanakan kepatuhan, setiap manusia harus mampu berkomunikasi dan dapat dikomunikasikan sesuai dengan norma (etika) sebagai cerminan manusia sempurna, baik mulia dan beradab. Pemikiran dan praktek etika dalam masyarakat dewasa ini, khususnya yang berhubungan dengan komunikasi, perilaku media massa, opini public dan interaksi sosial haruslah benar-benar mencerminkan ikatan normatif religius. Dengan ikatan ini diharapkan transaksi komunikasi dapat berjalan secara baik dan konstruktif, karena adanya dorongan spirit spiritual.
Dalam al-Qur’an, dapat kita temukan perkataan akhlaknya antara lain dalam surat al-Qalam ayat 4 yang bunyinya : ﻭﺍﻨﻚﻟﻌﻠﻰﺧﻠﻖﻋﻆﻴﻢArtinya : “Sesungguhnya engkau (ya Muhammad) mempunyai pekerti yang luhur”.(QS.68 : 4). Dalam Hadis juga dijumpai, yang artinya : “Sesungguhnya tidaklah aku (Muhammad) diutus melainkan untuk menyempurnakan kemuliaan akhlak.” Menurut al-Qurthuby, dalam Shahih Muslim. Kata al-Junaid, disebut akhlak nabi yang agung karena tidak ada yang lebih penting oleh nabi selain Allah swt. Kemudian konsideransi pengangkatan Nabi Muhammad saw sebagai Rasul juga karena keagungan akhlak Nabi disebabkan segala kemuliaan bersimpul kepada akhlak Rasul. Toshihiko Izutsu melihat etika atau moral tidak hanya sebatas aturan yang harus dimainkan antar sesama manusia. Tetapi etika atau moral mempunyai tiga kategori, menurut konsep-konsep etik dalam al-Qur’an yakni: kategori yang menunjukkan sifat-sifat Tuhan, kategori yang menunjukkan sikap fundamental manusia terhadap Tuhan-nya sebagai pencipta dan kategori yang menunjukkan tentang prinsip-prinsip dan aturan-aturan dalam konsep dan masyarakat Islam.
BAB I PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Dalam makalah ini akan di bahas mengenai perkawinan, poligami,
perkawinan beda agama, ekonomi syariah Indonesia, muamalah, bank islami, etika barat dan timur.
1.2 Tujuan Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memberikan informasi tentang perkawinan, poligami, perkawinan beda agama, ekonomi syariah Indonesia, muamalah, bank islami, etika barat dan timur.
DAFTAR PUSTAKA WWW.KOMPASIANA.COM WWW.luk.staff.ugm.ac.id poligami WWW.islamwiki.blogspot.com muamalah www.bi.go.id www.republika.co.id beda agama www.suaramedia.com http://makalahkuliahjurusanpai.blogspot.com/2011/04/etika-komunikasidalam-perspektif-islam.html