Cedera Kepala.docx

  • Uploaded by: Adhi Ngr
  • 0
  • 0
  • October 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Cedera Kepala.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 8,257
  • Pages: 45
CASE BASED DISCUSSION

CEDERA KEPALA Disusun Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Kepanitraan Klinik Stase Bedah RSUD Dr. H. Soewondo Kendal

Disusun oleh : Harlina Nurlita NIM : 01.210.6174

Pembimbing: dr. Haris Tiyanto, Sp.B KEPANITERAAN KLINIK ILMU BEDAH UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG RSUD dr. H. SOEWONDO KENDAL 2014

HALAMAN PENGESAHAN

Nama

: Harlina Nurlita

NIM

: 012106174

Fakultas

: Kedokteran Umum

Tingkat

: Universitas Islam Sultan Agung Semarang

Bidang pendidikan

: Ilmu Bedah

Judul

: CEDERA KEPALA

Pembimbing

: dr. Haris Tiyanto, Sp.B

Mengetahui :

Pembimbing

dr. Haris Tiyanto Sp.B

2

BAB I LAPORAN KASUS

I.

IDENTITAS Nama

: Tn. Nur iswan

Umur

: 18 tahun

Jenis Kelamin

: Laki-laki

Alamat

: Ketapang RT 14/05 kota Kendal Kab. Kendal

Pekerjaan

: Buruh pasang gypsun

Agama

: Islam

Tgl masuk RS

: 21 Desember 2014

Bangsal

: Nusa Indah (ICU)

No.CM

: 462152

II. ANAMNESIS Anamnesis dilakukan secara alloanamnesis pada hari ke-3 dirawat di RS pukul 07.00 di Bangsal Nusa Indah (ICU) A. Keluhan Utama

: Penurunan kesadaran

B. Riwayat Penyakit Sekarang : Onset

: ± sejak 3 hari yang lalu

Kronologis

:

 ± 3 hari yang lalu, pasien mengalami kecelakaan saat mengendarai sepeda motor. Pasien sempat pingsan ± selama 5 menit. Kemudian pasien sadar kembali dan mengeluh sakit kepala, mual, dan keluar darah dari hidung  Pasien di bawa temannya ke bapelkes, dari sana pasien langsung dirujuk ke IGD RSUD Soewondo Kendal dengan keluhan sakit kepala, mual, muntah, dan keluar darah dari hidung.  ± 1 jam kemudian (± jam 00.00) pasien muntah dalam jumlah banyak dan mulai terjadi penurunan kesadaran. setelah mendapatkan penanganan primer dan perawatan luka kemudian pasien dikirim ke ICU(± jam 02.00) 3

C. Riwayat Penyakit Dahulu :  Riwayat trauma serupa

: disangkal

 Riwayat Hipertensi

: disangkal

 Riwayat penyakit jantung

: disangkal

 Riwayat Alergi Obat dan Makanan

: disangkal

 Riwayat DM

: disangkal

D. Riwayat Penyakit Keluarga :

E.

 Riwayat Hipertensi

: disangkal

 Riwayat penyakit jantung

: disangkal

 Riwayat DM

: disangkal

Riwayat Pribadi, Sosial dan Ekonomi Pasien sehari-hari bekerja sebagai buruh pasang gypsun. Biaya pengobatan menggunakan dana pribadi (umum).

III. PEMERIKSAAN FISIK Keadaan umum

: sedang

Kesadaran

: somnolen

GCS

: E2M4V3

Status gizi

: Normoweight

Tanda vital (bed side monitoring) 

T

: 110/80 mmHg



N

: 113 x/menit



SpO2 : 100 %





: 36º C (per axiller)

Status generalis 1. Kulit

: sawo matang, turgor kulit (N) 4

2. Kepala

: bentuk mesocephal, vulnus laserasi region temporal dexter, vulnus

lacerasi mndibula dexter dan vulnus laserasi region superior labium superior 3. Mata

: konjungtiva palpebra anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil isokor ,

reflek cahaya (+/+), hematoma periorbita (+/-) 4. Telinga

: Discharge (-/-)

5. Hidung

: septum deviasi (-), discharge (-/-), terpasang NGT (+)

6. Mulut

: Normal, sianosis (-)

7. Leher

: simetris, deviasi trachea (-), pembesaran kelenjar getah bening(-),

pembesaran kelenjar tiroid (-) 8. Thoraks

: normochest, simetris, pembesaran kelenjar getah bening aksilla (-)

COR Inspeksi

: ictus cordis tidak tampak

Palpasi

: ictus cordis teraba di SIC V, 2 cm ke medial linea midclavicularissinistra, pulsus para sternal (-), pulsusepigastrium (-)

Perkusi

: batas jantung

kiri bawah : SIC V, 2 cm medial linea midclavicularissinistra kiri atas

: SIC II linea sternalis sinistra

kanan atas : SIC II linea sternalis dextra pinggang jantung : SIC III linea parasternalis sinistra Kesan

: konfigurasi jantung dalam batas normal

Auskultasi : Bunyi Jantung I-II reguler, bising (-) PULMO Depan

Belakang

I : Statis : normochest (+/+), simetris I : Statis : normochest (+/+), simetris kanan kiri, retraksi (-/-) Dinamis

:

pergerakan

kanan kiri, retraksi (-/-) paru

simetris, retraksi (-/-)

Dinamis

:

pergerakan

paru

simetris, retraksi (-/-)

Pa : Statis : simetris, sela iga tidak Pa : Statis : simetris, sela iga tidak melebar, tidak ada yang tertinggal,

melebar,

tidak

ada

yang 5

retraksi (-/-) Dinamis

:

tertinggal, retraksi (-/-) pergerakan

paru

Dinamis

:

pergerakan

paru

simetris, sela iga tidak melebar,

simetris, sela iga tidak melebar,

tidak ada yang tertinggal, retraksi

tidak ada yang tertinggal, retraksi

(-/-)

(-/-)

Stem fremitus kanan=kiri

Stem fremitus kanan=kiri

Pe : sonor / sonor seluruh lapang paru

Pe : sonor/sonor seluruh lapang paru

Aus: Suara dasar vesikuler (+/+), Aus: Suara dasar vesikuler (+/+), ronki (-/-), wheezing (-/-)

ronki (-/-), wheezing (-/-)

9. Punggung : jejas (-), kifosis dan lordosis (sulit dinilai) 10. Abdomen Inspeksi : Tampak datar, meteorismus (-), massa (-) Palpasi

: Supel, nyeri tekan (-), hepar dan lien tak teraba

Perkusi

: timpani di semua lapang abdomen

Auskultasi: bising usus (+) normal

11. Ekstremitas Superior

Inferior

Akral dingin

(+/+)

(+/+)

Edema

(-/-)

(-/-)

Capilary refill

>2“

>2“

Jejas (Vulnus Eksoriasi)

Regio

antebrachii Regio genue dexter

dexter dan sinister

IV. STATUS LOKALIS Regio temporan dexter  vulnus laserasi ± 7 𝑐𝑚 Regio mandibula dexter  vulnus laserasi ± 1 𝑐𝑚 Region superior labium superior  vulnus laserasi ± 2 𝑐𝑚 6

Regio antebrachii dexter et sinister  vulnus ekskoriasi Regio genue dexter  vulnus ekskoriasi . V. PEMERIKSAAN PENUNJANG 1. Pemeriksaan Laboratorium (Tanggal 21-12-2014) Hematologi Hb

: 15,1 gr/dl

Lekosit

: 16, 7 x 10^3/ uL

Trombosit

: 237 x 10^3/ uL

Hematokrit

: 46,1 %

Kimia Klinik Glukosa

: 129 mg/dl

(75-115)

Ureum

: 17 mg/dl

(10-50)

Creatinin

: 0,72 mg/dl

(0,6-1,1)

VI. ASSESMENT 

Dx Klinis 1. Cedera kepala sedang (CKS)

VII. INITIAL PLAN a. Ip Diagnostik -

Pemeriksaan foto cranium AP/Lateral

-

Pemeriksaan CT-scan

b. Ip Terapeutik Medikamentosa : -

Oksigen 3-4 liter/mnt

-

Terapi cairan ( infuse Nacl atau RL 20 tpm)

-

Menurunkan TIK (infuse Manitol 2x 175 mg)

-

Inj. Cefotaxim 3x1gr 7

-

Inj. Antrain 3x1 gr

-

Inj. Piracetam 3x1 gr

-

Inj. As. Traneksamat 3x500 mg

-

Rawat luka

c. Ip Operatif Rujuk ke Dokter spesialis bedah umum

d. Ip Monitoring Keadaan umum, tanda vital, perbaikan GCS, hasil pemeriksaan penunjang

e. Ip Edukatif

VIII.

-

Penjelasan mengenai penyakit dan prognosisnya kepada keluarga

-

Menjelaskan kemungkinan komplikasi yang dapat terjadi kepada keluarga

PROGNOSIS •

Quo ad vitam : dubia ad bonam



Quo ad sanam: dubia ad bonam



Quo ad fungsionam: dubia ad bonam

8

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ANATOMI KEPALA Otak di lindungi dari cedera oleh rambut, kulit dan tulang yang membungkusnya, tanpa perlindungan ini, otak yang lembut yang membuat kita seperti adanya, akan mudah sekali terkena cedera dan mengalami kerusakan. Selain itu, sekali neuron rusak, tidak dapat di perbaiki lagi. Secara lengkap, otak akan dilindungi oleh : 1. SCALP SCALP/Kulit kepala terdiri atas 5 lapisan, 3 lapisan pertama saling melekat dan bergerak sebagai satu unit. SCALP terdiri dari: o Skin atau kulit, tebal, berambut dan mengandung banyak kelenjar sebacea. o Connective Tissue atau jaringan penyambung, merupakan jaringan lemak fibrosa yang menghubungkan kulit dengan aponeurosis dari m. occipitofrontalis di bawahnya. Banyak mengandung pembuluh darah besar terutama dari lima arteri utama yaitu cabang supratrokhlear dan supraorbital dari arteri oftalmik di sebelah depan, dan tiga cabang dari karotid eksternal-temporal superfisial, aurikuler posterior, dan oksipital di sebelah posterior dan lateral. Pembuluh darah ini melekat erat dengan septa fibrosa jaringan subkutis sehingga sukar berkontraksi atau mengkerut. Apabila pembuluh ini robek, maka pembuluh ini sukar mengadakan vasokonstriksi dan dapat menyebabkan kehilangan darah yang bermakna pada penderita laserasi kulit kepala. Perdarahan sukar dijepit dengan forcep arteri. Perdarahan diatasi dengan menekannya dengan jari atau dengan menjahit laserasi. o Aponeurosis atau galea aponeurotika, merupakan suatu jaringan fibrosa, padat, dapat digerakkan dengan bebas, yang membantu menyerap kekuatan trauma eksternal, menghubungkan otot frontalis dan otot occipitalis. Spatium subaponeuroticum adalah ruang potensial dibawah aponeurosis epicranial. Dibatasi di depan dan di belakang oleh origo m. Occipito frontalis, dan meluas ke lateral sampai ke tempat perlekatan aponeurosis pada fascia temporalis. 9

o Loose areolar tissue atau jaringan penunjang longgar, menghubungkan aponeurosis galea dengan periosteum cranium (pericranium). Mengandung beberapa arteri kecil dan beberapa v.emmisaria yang menghubungkan v.diploica tulang tengkorak dan sinus venosus intrakranial. Pembuluh-pembuluh ini dapat membawa infeksi dari kulit kepala sampai jauh ke dalam tengkorak, sehingga pembersihan dan debridement kulit kepala harus dilakukan secara seksama bila galea terkoyak. Darah atau pus terkumpul di daerah ini dan tidak bisa mengalir ke region occipital atau subtemporal karena adanya perlekatan occipitofrontalis. Cairan bisa masuk ke orbita dan menyebabkan hematom yang bisa jadi terbentuk dalam beberapa waktu setelah trauma kapitis berat atau operasi kranium. o Pericranium merupakan periosteum yang menutupi permukaan luar tulang tengkorak. Sutura diantara tulang-tulang tengkorak dan periousteum pada permukaan luar tulang berlanjut dengan periousteum pada permukaan dalam tulang-tulang tengkorak 2. Tulang Tengkorak Tulang tengkorak terdiri dari calvarium (kubah) dan basis cranii (bagian terbawah). Pada kalvaria di regio temporal tipis, tetapi di daerah ini dilapisi oleh otot temporalis. Basis cranii terbentuk tidak rata sehingga dapat melukai bagian dasar otak saat bergerak akibat proses akselerasi dan deselarasi. Pada orang dewasa, tulang tengkorak merupakan ruangan keras yang tidak memungkinkan perluasan isi intracranial. Tulang tengkorak mempunyai 3 lapisan, yaitu: 1. Tabula interna( lapisan tengkorak bagian dalam) 2. Diploe(rongga di antara tabula), dan 3. Tabula eksterna (lapisan tengkorak bagian luar) Rongga tengkorak dasar dibagi atas 3 fossa yaitu fossa anterior yang merupakan tempat lobus frontalis, fossa media yang merupakan tempat lobus temporalis, fossa posterior yang merupakan tempat bagian bawah batang otak dan cerebellum. 3.

Meningen Selaput meningen menutupi seluruh permukaan otak dan terdiri dari 3 lapisan, yaitu Duramater, Selaput arakhnoid, dan Piamater

10

ANATOMI MENINGES DAN VASA DARAH OTAK 1. Meninges Meninges adalah selubung jaringan ikat non sarafi yang membungkus otak dan medulla spinalis yang barisi liquor cerebrospinal dan berfungsi sebagai schock absorber. Meninges terdiri dari tiga lapisan dari luar kedalam yaitu : duramater, arachnoidea dan piamater.(1,3,4) a. Duramater Merupakan selaput padat, keras dan tidak elastis. Duramater pembungkus medulla spinalis terdiri atas satu lembar, sedangkan duramater otak terdiri atas dua lembar yaitu lamina endostealis yang merupakan jaringan ikat fibrosa cranium, dan lamina meningealis. Membentuk lipatan / duplikatur dibeberapa tempat, yaitu dilinea mediana diantara kedua hehemispherium cerebri disebut falx cerebri , berbentuk segitiga yang merupakan lanjutan kekaudal dari falx cerebri disebut Falx cerebelli, berbentuk tenda yang merupakan atap dari fossa cranii posterior memisahkan 11

cerebrum dengan cerebellum disebut tentorium cerebelli, dan lembaran yang menutupi sella tursica merupakan pembungkus hipophysis disebut diafragma sellae.(1,3) Diantara dua lembar duramater, dibeberapa tempat membentuk ruangan disebut sinus ( venosus ) duramatris. Sinus duramatis menerima aliran dari vv. Cerebri, vv. Diploicae, dan vv. Emissari. Ada dua macam sinus duramatis yang tunggal dan yang berpasangan. Sinus duramater yang tunggal adalah : sinus sagitalis superior, sinus sagitalis inferior, sinus rectus, dan sinus occipitalis. Sinus sagitalis superior menerima darah dari vv. Cerebri,vv. Diploicae, dan vv. Emissari.Sinus sagitalis inferior menerima darah dari facies medialis otak. Sinus rectus terletak diantara falx cerebri dan tentorium cerebelli, merupakan lanjutan dari v. cerebri magna, dengan sinus sagitalis superior membentuk confluens sinuum. Sinus occipitalis mulai dari foramen magnum, bergabung dengan confluens sinuum.(1) Sinus duramater yang berpasangan yaitu sinus tranversus, sinus cavernosus, sinus sigmoideus dan sinus petrosus superior dan inferior. Sinus tranversus menerima darah dari sinus sagitalis superior dan sinus rectus, kemudian mengalir ke v. jugularis interna. Sinus sigmoideus merupakan lanjutan sinus tranversus berbentuk huruf S. Sinus petrosus superior dan inferior menerima darah dari sinus cavernosus dan mengalirkan masing – masing ke sinus tranversus dan v. jugularis interna(1) b. Aracnoidea Membran halus disebelah dalam duramater, tidak masuk kedalam sulcus / fissura kecuali fissura longitudinalis. Dari aracnoidea banyak muncul trabecula halus menuju kepiamater membentuk bangunan seperti sarang laba – laba. Diantara aracnoidea dan piamater terdapat ruang spatium subaracnoidale, yang dibeberapa tempat melebar membentuk cisterna. Sedangkan celah sempit diantara duramater dan aracnoidea disebut spatium subdurale, celah sempit diluar duramater disebut spatium epidurale. Dari aracnoidea juga muncul jonjot – jonjot yang mengadakan invaginasi ke duramater disebut granulasio aracnoidales terutama didaerah sinus sagitalis yang berfungsi klep satu arah memungkinkan lalunya bahan – bahan dari LCS ke sinus venosus.(1,3) 12

c. Piamater Piamater melekat erat pada otak dan medulla spinalis, mengikuti setiap lekukan, mengandung vasa kecil. Ditempat tertentu bersama dengan ependyma membentuk tela choroidea. Piamater berperan sebagai barrier terhadap masuknya senyawa yang membahayakan.(1,3) 2. Vasa Darah Otak a. Arteri Otak divaskularisasi oleh cabang – cabang a. carotis interna dan a. vertebralis. A. carotis interna merupakan cabang dari a. carotis comunis yang masuk ke kavum cranii melalui canalis caroticus, cabang- cabangnya adalah a. optalmica, a. choroidea anterior, a. cerebralis anterior dan a.cerebralis medialis. A. opthalmica mempercabang a. centralis retina, a. cerebralis anterior mempercabangkan a. communicans anterior, sedangkan a. cerebralis medialis mempercabangkan a. communican posterior.(3) Arteri vertebralis merupakan cabang a. subclavia naik ke leher melalui foramina tranversalis. Kedua a. vertebralis di kranial pons membentuk a. basillaris yang mempercabangkan aa. Pontis, a.labirintina ( mengikuti n. V dan n. VIII ), a. cerebellaris superior ( setinggi n. III dan n. IV ) dan a. cerebralis posterior yang merupakan cabang terminal a. basilaris.(3) Cabang -.cabang a. carotis interna dan a. vertebralis membentuk circulus arteriosus Willis yang terdapat disekitar chiasma opticum. Dibentuk oleh a. cerebralis anterior, a. cerebralis media, a. cerebralis posterior, a. comunican posterior dan a.communican anterior. Sistem ini memungkinkan suplai darah ke otak yang adekuat terutama jika terjadi oklusi / sumbatan. (3) b. Vena Vena diotak dikalsifikasikan sebagai berikut : (3) 

Vena cerebri eksterna, meliputi v. cerebralis superior / lateralis / medialis / inferior dan vv. Basallles.



Vena cerebri interna, meliputi v. choroidea dan v. cerebri magna.



Vv. Cerebellaris

13



Vv. Emissariae, yaitu vena yang menghubungkan sinus duralis dengan vena superfisialis cranium yang berfungsi sebagai klep tekanan jika terjadi kenaiakan tekanan intrakranial. Juga berperan dalam penyebaran infeksi ke dalam cavum cranii. Vena yang berasal dari truncus cerebri dan cerebellum pada umumnya

mengikuti kembali aliran arterinya. Sedangkan aliran balik darah venosa di cerebrum tidak tidak mengikuti pola di arterinya. Semua darah venosa meninggalkan otak melalui v. jugularis interna pada basis cranii. Anastomosis venosa sangat ektensif dan efektif antara vv. Superfisialis dan vv. Profunda di dalam otak. (3)

14

CEDERA KEPALA A. DEFINISI Cedera kepala adalah trauma mekanik pada kepala yang terjadi baik secara langsung atau tidak langsung yang kemudian dapat berakibat kepada gangguan fungsi neurologis, fungsi fisik, kognitif, psikososial, bersifat temporer atau permanent.1 Menurut Brain Injury Assosiation of America, cedera kepala adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat congenital ataupun degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan/benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau mengubah kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik.2

B. EPIDEMIOLOGI Di Amerika Serikat, kejadian cedera kepala setiap tahunnya diperkirakan mencapai 500.000 kasus. Dari jumlah tersebut, 10% meninggal sebelum tiba di rumah sakit. Yang sampai di rumah sakit, 80% dikelompokkan sebagai cedera kepala ringan (CKR), 10% termasuk cedera kepala sedang (CKS), dan 10% sisanya adalah cedera kepala berat (CKB).3 Insiden cedera kepala terutama terjadi pada kelompok usia produktif antara 15-44 tahun. Kecelakaan lalu lintas merupakan penyebab 48%-53% dari insiden cedera kepala, 20%-28% lainnya karena jatuh dan 3%-9% lainnya disebabkan tindak kekerasan, kegiatan olahraga dan rekreasi.4 Data epidemiologi di Indonesia belum ada, tetapi data dari salah satu rumah sakit di Jakarta, RS Cipto Mangunkusumo, untuk penderita rawat inap, terdapat 60%-70% dengan CKR, 15%-20% CKS, dan sekitar 10% dengan CKB. Angka kematian tertinggi sekitar 35%-50% akibat CKB, 5%-10% CKS, sedangkan untuk CKR tidak ada yang meninggal.1

C. KLASIFIKASI Cedera kepala bisa diklasifikasikan atas berbagai hal. Untuk kegunaan praktis, tiga jenis klasifikasi akan sangat berguna, yaitu berdasar mekanisme, tingkat beratnya cedera kepala serta berdasar morfologi.1 Klasifikasi cedera kepala:1 A. Berdasarkan mekanisme 1. Cedera kepala tumpul, dapat disebabkan oleh kecelakaan kendaraan bermotor, jatuh, atau pukulan benda tumpul. 2. Cedera kepala tembus (penetrasi), disebabkan luka tembak atau pukulan benda tumpul.

15

B. Berdasarkan beratnya 1. Ringan (GCS 14-15) 2. Sedang (GCS 9-13) 3. Berat (GCS 3-8) C. Berdasarkan morfologi 1. Fraktura tengkorak a. Kalvaria 1. Linear atau stelata 2. Depressed atau nondepressed 3. Terbuka atau tertutup b. Dasar tengkorak 1. Dengan atau tanpa kebocoran CNS 2. Dengan atau tanpa paresis N VII 2. Lesi intrakranial a. Fokal 1. Epidural 2. Subdural 3. Intraserebral b. Difusa 1. Komosio ringan 2. Komosio klasik 3. Cedera aksonal difusa

D. PATOFISIOLOGI Pada cedera kepala, kerusakan otak dapat terjadi dalam dua tahap yaitu cedera primer dan cedera sekunder. Cedera primer merupakan cedera pada kepala sebagai akibat langsung dari suatu ruda paksa, dapat disebabkan benturan langsung kepala dengan suatu benda keras maupun oleh proses akselarasi-deselarasi gerakan kepala.5 Dalam mekanisme cedera kepala dapat terjadi peristiwa coup dan contrecoup. Cedera primer yang diakibatkan oleh adanya benturan pada tulang tengkorak dan daerah sekitarnya disebut lesi coup. Pada daerah yang berlawanan dengan tempat benturan akan terjadi lesi yang disebut contrecoup.1 Akselarasi-deselarasi terjadi karena kepala bergerak dan berhenti secara mendadak dan kasar saat terjadi trauma. Perbedaan densitas antara tulang tengkorak (substansi solid) dan otak (substansi semisolid) menyebabkan tengkorak 16

bergerak lebih cepat dari muatan intrakranialnya. Bergeraknya isi dalam tengkorak memaksa otak membentur permukaan dalam tengkorak pada tempat yang berlawanan dari benturan (contrecoup).6

Gambar 1. Coup dan contercoup7 Cedera sekunder merupakan cedera yang terjadi akibat berbagai proses patologis yang timbul sebagai tahap lanjutan dari kerusakan otak primer, berupa perdarahan, edema otak, kerusakan neuron berkelanjutan, iskemia, peningkatan tekanan intrakranial dan perubahan neurokimiawi.6

E. PATOLOGI CEDERA KEPALA a. Fraktura Tengkorak Fraktur tengkorak dapat terjadi pada kalvaria atau basis. Pada fraktur kalvaria ditentukan apakah terbuka atau tertutup, linear atau stelata, depressed atau nondepressed. Fraktur tengkorak basal sulit tampak pada foto sinar-x polos dan biasanya perlu CT scan dengan setelan jendelatulang untuk memperlihatkan lokasinya. Sebagai pegangan umum, depressed fragmen lebih dari ketebalan tengkorak (> 1 tabula) memerlukan operasi elevasi. Fraktura tengkorak terbuka atau compound berakibat hubungan langsung antara laserasi scalp dan permukaan serebral karena duranya robek, dan fraktura ini memerlukan operasi perbaikan segera.8 Frekuensi fraktura tengkorak bervariasi, lebih banyak fraktura ditemukan bila penelitian dilakukan pada populasi yang lebih banyak mempunyai cedera berat. Fraktura kalvaria linear mempertinggi risiko hematoma intrakranial sebesar 400 kali pada pasien yang sadar dan 20 kali

17

pada pasien yang tidak sadar. Fraktura kalvaria linear mempertinggi risiko hematoma intrakranial sebesar 400 kali pada pasien yang sadar dan 20 kali pada pasien yang tidak sadar. Untuk alasan ini, adanya fraktura tengkorak mengharuskan pasien untuk dirawat dirumah sakit untuk pengamatan, tidak peduli bagaimana baiknya tampak pasien tersebut.3 b. Lesi Intrakranial Lesi intrakranial dapat diklasifikasikan sebagai fokal atau difusa, walau kedua bentuk cedera ini sering terjadi bersamaan. Lesi fokal termasuk hematoma epidural, hematoma subdural, dan kontusi (atau hematoma intraserebral). Pasien pada kelompok cedera otak difusa, secara umum, menunjukkan CT scan normal namun menunjukkan perubahan sensorium atau bahkan koma dalam. Basis selular cedera otak difusa menjadi lebih jelas pada tahun-tahun terakhir ini.3 Lesi Fokal 1.

Hematoma Epidural Epidural hematom (EDH) adalah perdarahan yang terbentuk di ruang potensial antara tabula interna dan duramater. Paling sering terletak diregio temporal atau temporalparietal dan sering akibat robeknya pembuluh meningeal media. Perdarahan biasanya dianggap berasal arterial, namun mungkin sekunder dari perdarahan vena pada sepertiga kasus. Kadang-kadang, hematoma epidural mungkin akibat robeknya sinus vena, terutama diregio parietal-oksipital atau fossa posterior. Walau hematoma epidural relatif tidak terlalu sering (0.5% dari keseluruhan atau 9% dari pasien koma cedera kepala), harus selalu diingat saat menegakkan diagnosis dan ditindak segera. Bila ditindak segera, prognosis biasanya baik karena cedera otak disekitarnya biasanya masih terbatas. Outcome langsung bergantung pada status pasien sebelum operasi. Mortalitas dari hematoma pidural sekitar 0% pada pasien tidak koma, 9% pada pasien obtundan, dan 20% pada pasien koma dalam.6,8

2.

Hematoma Subdural Hematoma subdural (SDH) adalah perdarahan yang terjadi di antara duramater dan arakhnoid. SDH lebih sering terjadi dibandingkan EDH, ditemukan sekitar 30% penderita dengan cedera kepala berat. Terjadi paling sering akibat robeknya vena bridging antara korteks serebral dan sinus draining. Namun ia juga dapat berkaitan dengan laserasi permukaan atau substansi otak. Fraktura tengkorak mungkin ada atau tidak. Selain itu, kerusakan otak yang mendasari hematoma subdural akuta biasanya sangat lebih berat dan prognosisnya lebih buruk dari hematoma epidural. Mortalitas umumnya 60%, namun 18

mungkin diperkecil oleh tindakan operasi yang sangat segera dan pengelolaan medis agresif.8 3.

Kontusi dan hematoma intraserebral. Kontusi serebral sejati terjadi cukup sering. Selanjutnya, kontusi otak hampir selalu berkaitan dengan hematoma subdural. Majoritas terbesar kontusi terjadi dilobus frontal dan temporal, walau dapat terjadi pada setiap tempat termasuk serebelum dan batang otak. Perbedaan antara kontusi dan hematoma intraserebral traumatika tidak jelas batasannya. Bagaimanapun, terdapat zona peralihan, dan kontusi dapat secara lambat laun menjadi hematoma intraserebral dalam beberapa hari.8 Hematoma intraserebri adalah perdarahan yang terjadi dalam jaringan (parenkim) otak. Perdarahan terjadi akibat adanya laserasi atau kontusio jaringan otak yang menyebabkan pecahnya pula pembuluh darah yang ada di dalam jaringan otak tersebut. Lokasi yang paling sering adalah lobus frontalis dan temporalis. Lesi perdarahan dapat terjadi pada sisi benturan (coup) atau pada sisi lainnya (countrecoup). Defisit neurologi yang didapatkan sangat bervariasi dan tergantung pada lokasi dan luas perdarahan.9

F. APLIKASI KLINIS Pada trauma kapitis dapat terjadi perdarahan intrakranial / hematom intrakranial yang dibagi menjadi :hematom yang terletak diluar duramater yaitu hematom epidural, dan yang terletak didalam duramater yaitu hematom subdural dan hematom intraserebral ; dimana masing-masing dapat terjadi sendiri ataupun besamaan. (3) 1. EPIDURAL HEMATOMA a. Definisi Hematom epidural merupakan pengumpulan darah diantara tengkorak dengan duramater ( dikenal dengan istilah hematom ekstradural ). Hematom jenis ini biasanya berasal dari perdarahan arteriel akibat adanya fraktur linier yang menimbulkan laserasi langsung atau robekan arteri-arteri meningens ( a. Meningea media ). Fraktur tengkorak yang menyertai dijumpai pada 8% - 95% kasus, sedangkan sisanya (9%) disebabkan oleh regangan dan robekan arteri tanpa ada fraktur (terutama pada kasus anak-anak dimana deformitas yang terjadi hanya sementara). Hematom epidural yang berasal dari perdarahan vena lebih jarang terjadi.(1,3,5)

19

Air

Calcified pineal gland

Midline shift

Gambar CT SCAN Epidural hematom b. Etiologi Kausa yang menyebabkan terjadinya hematom epidural meliputi : (5) 

Trauma kepala



Sobekan a/v meningea mediana



Ruptur sinus sagitalis / sinus tranversum



Ruptur v diplorica

Hematom jenis ini biasanya berasal dari perdarahan arterial akibat adanya fraktur linier yang menimbulkan laserasi langsung atau robekan arteri meningea mediana.Fraktur tengkorak yang menyertainya dijumpai 85-95 % kasus, sedang sisanya ( 9 % ) disebabkan oleh regangan dan robekan arteri tanpa ada fraktur terutama pada kasus anak-anak

dimana

deformitas

yang

terjadi

hanya

sementara.(1,3)

Hematom jenis ini yang berasal dari perdarahan vena lebih jarang terjadi, umumnya disebabkan oleh laserasi sinus duramatris oleh fraktur oksipital, parietal atau tulang sfenoid.(1,3) c. Klasifikasi Berdasarkan kronologisnya hematom epidural diklasifikasikan menjadi (1,3)

20

1. Akut : ditentukan diagnosisnya waktu 24 jam pertama setelah trauma 2.

Subakut

:

ditentukan

diagnosisnya

antara

24

jam



7

hari

3. Kronis : ditentukan diagnosisnya hari ke 7

d. Patofisiologi Hematom epidural terjadi karena cedera kepala benda tumpul dan dalam waktu yang lambat, seperti jatuh atau tertimpa sesuatu, dan ini hampir selalu berhubungan dengan fraktur cranial linier. Pada kebanyakan pasien, perdarahan terjadi pada arteri meningeal tengah, vena atau keduanya. Pembuluh darah meningeal tengah cedera ketika terjadi garis fraktur melewati lekukan minengeal pada squama temporal. e. Gejala klinis Gejala klinis hematom epidural terdiri dari trias gejala : 1. Interval lusid (interval bebas) Setelah periode pendek ketidaksadaran, ada interval lucid yang diikuti dengan perkembangan yang merugikan pada kesadaran dan hemisphere contralateral. Lebih dari 50% pasien tidak ditemukan adanya interval lucid, dan ketidaksadaran yang terjadi dari saat terjadinya cedera. Sakit kepala yang sangat sakit biasa terjadi, karena terbukanya jalan dura dari bagian dalam cranium, dan biasanya progresif bila terdapat interval lucid. Interval lucid dapat terjadi pada kerusakan parenkimal yang minimal. Interval ini menggambarkan waktu yang lalu antara ketidak sadaran yang pertama diderita karena trauma dan dimulainya kekacauan pada diencephalic karena herniasi transtentorial. Panjang dari interval lucid yang pendek memungkinkan adanya perdarahan yang dimungkinkan berasal dari arteri. 2. Hemiparesis Gangguan neurologis biasanya collateral hemipareis, tergantung dari efek pembesaran massa pada daerah corticispinal. Ipsilateral hemiparesis sampai penjendalan dapat juga menyebabkan tekanan pada cerebral kontralateral peduncle pada permukaan tentorial. 3. Anisokor pupil Yaitu pupil ipsilateral melebar. Pada perjalananya, pelebaran pupil akan mencapai maksimal dan reaksi cahaya yang pada permulaan masih positif akan menjadi 21

negatif. Terjadi pula kenaikan tekanan darah dan bradikardi.pada tahap ahir, kesadaran menurun sampai koma yang dalam, pupil kontralateral juga mengalami pelebaran sampai akhirnya kedua pupil tidak menunjukkan reaksi cahaya lagi yang merupakan tanda kematian.

f. Terapi Hematom epidural adalah tindakan pembedahan untuk evakuasi secepat mungkin, dekompresi jaringan otak di bawahnya dan mengatasi sumber perdarahan. Biasanya pasca operasi dipasang drainase selama 2 x 24 jam untuk menghindari terjadinya pengumpulan darah yamg baru. - Trepanasi –kraniotomi, evakuasi hematom - Kraniotomi-evakuasi hematom

f. Komplikasi Dan Outcome Hematom epidural dapat memberikan komplikasi : 

Edema serebri, merupakan keadaan-gejala patologis, radiologis, maupun tampilan ntra-operatif dimana keadaan ini mempunyai peranan yang sangat bermakna pada kejadian pergeseran otak (brain shift) dan peningkatan tekanan intrakranial



Kompresi batang otak – meninggal

Sedangkan outcome pada hematom epidural yaitu : 

Mortalitas 20% -30%



Sembuh dengan defisit neurologik 5% - 10%



Sembuh tanpa defisit neurologik



Hidup dalam kondisi status vegetatif

2. SUBDURAL HEMATOMA a. Definisi Perdarahan subdural ialah perdarahan yang terjadi diantara duramater dan araknoid. Perdarahan subdural dapat berasal dari:

22



Ruptur vena jembatan ( "Bridging vein") yaitu vena yang berjalan dari ruangan subaraknoid atau korteks serebri melintasi ruangan subdural dan bermuara di dalam sinus venosus dura mater.



Robekan pembuluh darah kortikal, subaraknoid, atau araknoid

Hyperacute SDH : Unresponsive 80 years old, woman

Acute on Subacute SDH : Unresponsive 95 years old, 2 weeks after SDH

23

Acute on Chronic SDH : Unresponsive 76 years old, man

b. Etiologi 1. Trauma kepala. 2. Malformasi arteriovenosa. - Diskrasia darah - Terapi antikoagulan

c. Klasifikasi 1. Perdarahan akut Gejala yang timbul segera hingga berjam - jam setelah trauma.Biasanya terjadi pada cedera kepala yang cukup berat yang dapat mengakibatkan perburukan lebih lanjut pada pasien yang biasanya sudah terganggu kesadaran dan tanda vitalnya. Perdarahan dapat kurang dari 5 mm tebalnya tetapi melebar luas. Pada gambaran scanning tomografinya, didapatkan lesi hiperdens. 2. Perdarahan sub akut Berkembang dalam beberapa hari biasanya sekitar 2 - 14 hari sesudah trauma. Pada subdural sub akut ini didapati campuran dari bekuan darah dan cairan darah . Perdarahan dapat lebih tebal tetapi belum ada pembentukan kapsula di sekitarnya. 24

Pada gambaran skening tomografinya didapatkan lesi isodens atau hipodens.Lesi isodens didapatkan karena terjadinya lisis dari sel darah merah dan resorbsi dari hemoglobin. 3. Perdarahan kronik Biasanya terjadi setelah 14 hari setelah trauma bahkan bisa lebih.Perdarahan kronik subdural, gejalanya bisa muncul dalam waktu berminggu- minggu ataupun bulan setelah trauma yang ringan atau trauma yang tidak jelas, bahkan hanya terbentur ringan saja bisa mengakibatkan perdarahan subdural apabila pasien juga mengalami gangguan vaskular atau gangguan pembekuan darah. Pada perdarahan subdural kronik, kita harus berhati hati karena hematoma ini lama kelamaan bisa menjadi membesar secara perlahan- lahan sehingga mengakibatkan penekanan dan herniasi. Pada subdural kronik, didapati kapsula jaringan ikat terbentuk mengelilingi hematoma pada yang lebih baru, kapsula masih belum terbentuk atau tipis di daerah permukaan arachnoidea. Kapsula melekat pada araknoidea bila terjadi robekan pada selaput otak ini. Kapsula ini mengandung pembuluh darah yang tipis dindingnya terutama pada sisi duramater. Karena dinding yang tipis ini protein dari plasma darah dapat menembusnya dan meningkatkan volume dari hematoma. Pembuluh darah ini dapat pecah dan menimbulkan perdarahan baru yang menyebabkan menggembungnya hematoma. Darah di dalam kapsula akan membentuk cairan kental yang dapat menghisap cairan dari ruangan subaraknoidea. Hematoma akan membesar dan menimbulkan gejala seprti pada tumor serebri. Sebagaian besar hematoma subdural kronik dijumpai pada pasien yang berusia di atas 50 tahun. Pada gambaran skening tomografinya didapatkan lesi hipodens

d. Patofisiologi Vena cortical menuju dura atau sinus dural pecahdan mengalami memar atau laserasi, adalah lokasi umum terjadinya perdarahan. Hal ini sangat berhubungan dengan comtusio serebral dan oedem otak. CT Scan menunjukkan effect massa dan pergeseran garis tengah dalam exsess dari ketebalan hematom yamg berhubungan dengan trauma otak.

25

e. Gejala klinis Gejala klinisnya sangat bervariasi dari tingkat yang ringan (sakit kepala) sampai penurunan kesadaran. Kebanyakan kesadaran hematom subdural tidak begitu hebat deperti kasus cedera neuronal primer, kecuali bila ada efek massa atau lesi lainnya. Gejala yang timbul tidak khas dan meruoakan manisfestasi dari peninggian tekanan intrakranial seperti : sakit kepala, mual, muntah, vertigo, papil edema, diplopia akibat kelumpuhan n. III, epilepsi, anisokor pupil, dan defisit neurologis lainnya. Kadang kala yang riwayat traumanya tidak jelas, sering diduga tumor otak.

f. Terapi Tindakan terapi pada kasus kasus ini adalah kraniotomi evakuasi hematom secepatnya dengan irigasi via burr-hole. Khusus pada penderita hematom subdural kronis usia tua dimana biasanya mempunyai kapsul hematom yang tebal dan jaringan otaknya sudah mengalami atrofi, biasanya lebih dianjurkan untuk melakukan operasi kraniotomi (diandingkan dengan burr-hole saja).

g. Komplikasi Dan Outcome Subdural hematom dapat memberikan komplikasi berupa : 1. Hemiparese/hemiplegia. 2. Disfasia/afasia 3. Epilepsi 26

4. Hidrosepalus 5. Subdural empiema Sedangkan outcome untuk subdural hematom adalah : 1. Mortalitas pada subdural hematom akut sekitar 75%-85% 2. Pada sub dural hematom kronis : - Sembuh tanpa gangguan neurologi sekitar 50%-80%. - Sembuh dengan gangguan neurologi sekitar 20%-50%.

3. INTRASEREBRAL HEMATOM a. Definisi Adalah perdarahan yang terjadi didalam jaringan otak. Hematom intraserbral pasca traumatik merupkan koleksi darah fokal yang biasanya diakibatkan cedera regangan atau robekan rasional terhadap pembuluh-pembuluh darahintraparenkimal otak atau kadangkadang cedera penetrans. Ukuran hematom ini bervariasi dari beberapa milimeter sampai beberapa

centimeter

dan

dapat

terjadi

pada

2%-16%

kasus

cedera.

Intracerebral hematom mengacu pada hemorragi / perdarahan lebih dari 5 ml dalam substansi otak (hemoragi yang lebih kecil dinamakan punctate atau petechial /bercak).

Gambar CT SCAN Intraserebral hematom

27

b. Etiologi Intraserebral hematom dapat disebabkan oleh : 1. Trauma kepala. 2. Hipertensi. 3. Malformasi arteriovenosa. 4. Aneurisme 5. Terapi antikoagulan 6. Diskrasia darah

c. Klasifikasi Klasifikasi intraserebral hematom menurut letaknya ; 1. Hematom supra tentoral. 2. Hematom serbeller. 3. Hematom pons-batang otak

d. Patofisiologi Hematom intraserebral biasanta 80%-90% berlokasi di frontotemporal atau di daerah ganglia basalis, dan kerap disertai dengan lesi neuronal primer lainnya serta fraktur kalvaria.

e. Gejala klinis. Klinis penderita tidak begitu khas dan sering (30%-50%) tetap sadar, mirip dengan hematom ekstra aksial lainnya. Manifestasi klinis pada puncaknya tampak setelah 2-4 hari

pasca

cedera,

namun

dengan

adanya

scan

computer

tomografi

otak

diagnosanya dapat ditegakkan lebih cepat. Kriteria diagnosis hematom supra tentorial -

nyeri kepala mendadak

-

penurunan tingkat kesadaran dalam waktu 24-48 jam.

Tanda fokal yang mungkin terjadi ; -

Hemiparesis / hemiplegi

-

Hemisensorik. 28

-

Hemi anopsia homonim

-

Parese nervus III

Kriteria diagnosis hematom serebeller ; -

Nyeri kepala akut.

-

Penurunan kesadaran.

-

Ataksia

-

Tanda tanda peninggian tekanan intrakranial.

Kriteria diagnosis hematom pons batang otak: -

Penurunan kesadaran koma.

-

Tetraparesa

-

Respirasi irreguler

-

Pupil pint point

-

Pireksia

-

Gerakan mata diskonjugat

f. Terapi Untuk hemmoragi kecil treatmentnya adalah observatif dan supportif. Tekanan darah harus diawasi. Hipertensi dapat memacu timbulnya hemmoragi. Intra cerebral hematom yang luas dapat ditreatment dengan hiperventilasi, manitol dan steroid dengan monitorong tekanan intrakranial sebagai uasaha untuk menghindari pembedahan. Pembedahan dilakukan untuk hematom masif yang luas dan pasien dengan kekacauan neurologis

atau

adanya

elevasi

tekanan

intrakranial

karena

terapi

medis

Konservatif 

Bila perdarahan lebih dari 30 cc supratentorial



Bila perdarahan kurang dari 15 cc celebeller



Bila perdarahan pons batang otak.



Pembedahan

Kraniotomi 

Bila perdarahan supratentorial lebih dari 30 cc dengan effek massa



Bila perdarahan cerebeller lebih dari 15 cc dengan effek massa 29

g. Komplikasi Dan Outcome Intraserebral hematom dapat memberikan komplikasi berupa; 

Oedem serebri, pembengkakan otak



Kompresi batang otak, meninggal



Sedangkan outcome intraserebral hematom dapat berupa :



Mortalitas 20%-30%



Sembuh tanpa defisit neurologis



Sembuh denga defisit neurologis



Hidup dalam kondisi status vegetatif.

G. PEMERIKSAAN KLINIS Pemeriksaan klinis pada pasien cedera kepala secara umum meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik umum, pemeriksaan neurologis dan pemeriksaan radiologis. Pada anamnesis informasi penting yang harus ditanyakan adalah mekanisme trauma. Pada pemeriksaan fisik secara lengkap dapat dilakukan bersamaan dengan secondary survey. Pemeriksaan meliputi tanda vital dan sistem organ.9 Penilaian GCS awal saat penderita datang ke rumah sakit sangat penting untuk menilai derajat kegawatan cedera kepala.4 Pemeriksaan neurologis, selain pemeriksaan GCS, perlu dilakukan lebih dalam, mencakup pemeriksaan fungsi batang otak, saraf kranial, fungsi motorik, fungsi sensorik, dan refleksrefleks.9

30

Pemeriksaan radiologis yang paling sering dan mudah dilakukan adalah rontgen kepala yang dilakukan dalam dua posisi, yaitu anteroposterior dan lateral.9 Idealnya penderita cedera kepala diperiksa dengan CT Scan, terutama bila dijumpai adanya kehilangan kesadaran yang cukup bermakna, amnesia, atau sakit kepala hebat.3 Indikasi pemeriksaan CT Scan pada kasus cedera kepala adalah :9 1. bila secara klinis (penilaian GCS) didapatkan klasifikasi cedera kepala sedang dan berat. 2. cedera kepala ringan yang disertai fraktur tengkorak 3. adanya kecurigaan dan tanda terjadinya fraktur basis kranii 4. adanya defisit neurologi, seperti kejang dan penurunan gangguan kesadaran 5. sakit kepala yang hebat 6. adanya tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial atau herniasi jaringan otak 7. kesulitan dalam mengeliminasi kemungkinan perdarahan intraserebral.

H. PENATALAKSANAAN Penatalaksanaan cedera kepala sesuai dengan tingkat keparahannya, berupa cedera kepala ringan, sedang, atau berat.3 Tidak semua pasien cedera kepala perlu di rawat inap di rumah sakit. Indikasi rawat antara lain :9

31

1. Amnesia posttraumatika jelas (lebih dari 1 jam) 2. Riwayat kehilangan kesadaran (lebih dari 15 menit) 3. Penurunan tingkat kesadaran 4. Nyeri kepala sedang hingga berat 5. Intoksikasi alkohol atau obat 6. Fraktura tengkorak 7. Kebocoran CSS, otorrhea atau rhinorrhea 8. Cedera penyerta yang jelas 9. Tidak punya orang serumah yang dapat dipertanggungjawabkan 10. CT scan abnormal Prinsip penanganan awal pada pasien cedera kepala meliputi survei primer dan survei sekunder. Dalam penatalaksanaan survei primer hal-hal yang diprioritaskan antara lain airway, breathing, circulation, disability, dan exposure, yang kemudian dilanjutkan dengan resusitasi. Pada penderita cedera kepala khususnya dengan cedera kepala berat survei primer sangatlah penting untuk mencegah cedera otak sekunder dan mencegah homeostasis otak.3 Indikasi untuk tindakan operatif pada kasus cedera kepala ditentukan oleh kondisi klinis pasien, temuan neuroradiologi dan patofisiologi dari lesi. Secara umum digunakan panduan sebagai berikut :9 1. volume masa hematom mencapai lebih dari 40 ml di daerah supratentorial atau lebih dari 20 cc di daerah infratentorial 2. kondisi pasien yang semula sadar semakin memburuk secara klinis, serta gejala dan tanda fokal neurologis semakin berat 3. terjadi gejala sakit kepala, mual, dan muntah yang semakin hebat 4. pendorongan garis tengah sampai lebih dari 3 mm 5. terjadi kenaikan tekanan intrakranial lebih dari 25 mmHg. 6. terjadi penambahan ukuran hematom pada pemeriksaan ulang CT scan 7. terjadi gejala akan terjadi herniasi otak 8. terjadi kompresi / obliterasi sisterna basalis

I.

CEDERA KEPALA RINGAN (GCS = 14 – 15 ) Idealnya semua penderita cedera kepala diperiksa dengan CT scan, terutama bila dijumpai adanya kehilangan kesadaran yang cukup bermakna, amnesia atau sakit kepala hebat. 3 % penderita CK. Ringan ditemukan fraktur tengkorak

32

Klinis : 

Keadaan penderita sadar



Mengalami amnesia yang berhubungna dengan cedera yang dialaminya



Dapat disertai dengan hilangnya kesadaran yang singkat



Pembuktian kehilangan kesadaran sulit apabila penderita dibawah pengaruh obatobatan / alkohol.



Sebagain besar penderita pulih sempurna, mungkin ada gejala sisa ringan



Fractur tengkorak sering tidak tampak pada foto rontgen kepala, namun indikasi adanya fractur dasar tengkorak meliputi :



-

Ekimosis periorbital

-

Rhinorea

-

Otorea

-

Hemotimpani

-

Battle’s sign

Penilaian terhadap Foto ronsen meliputi : - Fractur linear/depresi - Posisi kelenjar pineal yang biasanya digaris tengah - Batas udara – air pada sinus-sinus - Pneumosefalus - Fractur tulang wajah - Benda asing



Pemeriksaan laboratorium : - Darah rutin tidak perlu - Kadar alkohol dalam darah, zat toksik dalam urine untuk diagnostik / medikolagel



Therapy : - Obat anti nyeri non narkotik - Toksoid pada luka terbuka - Penderita dapat diobservasi selama 12 – 24 jam di Rumah Sakit -

II. CEDERA KEPALA SEDANG ( GCS = 9 - 13 ) Pada 10 % kasus : 33



Masih mampu menuruti perintah sederhana



Tampak bingung atau mengantuk



Dapat disertai defisit neurologis fokal seperti hemi paresis

Pada 10 – 20 % kasus : 

Mengalami perburukan dan jatuh dalam koma



Harus diperlakukan sebagai penderita Cedera Kepala Berat.

Tindakan di UGD : 

Anamnese singkat



Stabilisasi kardiopulmoner dengan segera sebelum pemeriksaan neulorogis



Pemeriksaan CT. scan



Penderita harus dirawat untuk diobservasi

Penderita dapat dipulangkan setelah dirawat bila : 

Status neurologis membaik



CT. scan berikutnya tidak ditemukan adanya lesi masa yang memerlukan pembedahan



Penderita jatuh pada keadaan koma, penatalaksanaanya sama dengan CK. Berat.



Airway harus tetap diperhatikan dan dijaga kelancarannya

III. CEDERA KEPALA BERAT ( GCS 3 – 8 ) Kondisi penderita

tidak mampu melakukan perintah sederhana walaupun status

kardiopulmonernya telah distabilkan Cedera Kepala Berat mempunyai resiko morbiditas sangat tinggi. Diagnosa dan therapy sangat penting dan perlu dengan segara penanganan Tindakan stabilisasi kardiopulmoner pada penderita CK. Berat harus dilakukan secepatnya.

A. Primary survey dan resusitasi Di UGD ditemukan : -

30 % hypoksemia ( PO2 < 65 mmHg ) 34

-

13 % hypotensia ( tek. Darah sistolik < 95 mmHg )  Mempunyai mortalitas 2 kali lebih banyak dari pada tanpa hypotensi

-

12 % Anemia ( Ht < 30 % )

Airway dan breathing -

Sering terjadi gangguan henti nafas sementara, penyebab kematian karena terjadi apnoe yang berlangsung lama

-

Intubasi endotracheal tindakan penting pada penatalaksanaan penderita cedera kepala berat dengan memberikan oksigen 100 %

-

Tindakan hyeprveltilasi dilakukan secara hati-hati untuk mengoreksi sementara asidosis dan menurunkan TIK pada penderita dengan pupil telah dilatasi dan penurunan kesadaran

-

PCo2 harus dipertahankan antara 25 – 35 mm Hg

Sirkulasi -

Normalkan tekanan darah bila terjadi hypotensi

-

Hypotensi petunjuk adanya kehilangan darah yang cukup berat pada kasus multiple truama, trauma medula spinalis, contusio jantung / tamponade jantung dan tension pneumothorax.

-

Saat mencari penyebab hypotensi, lakukan resusitasi cairan untuk mengganti cairan yang hilang

-

UGS / lavase peritoneal diagnostik untuk menentukan adanya akut abdomen

B. Secondary survey Penderita cedera kepala perlu konsultasi pada dokter ahli lain. C. Pemeriksaan Neurologis Dilakukan segera setelah status cardiovascular penderita stabil, pemeriksaan terdiri dari : -

GCS

-

Reflek cahaya pupil

-

Gerakan bola mata

-

Tes kalori dan Reflek kornea oleh ahli bedah syaraf 35

- Sangat penting melakukan pemeriksaan minineurilogis sebelum penderita dilakukan sedasi atau paralisis -

Tidak dianjurkan penggunaan obat paralisis yang jangka panjang

-

Gunakan morfin dengan dosis kecil ( 4 – 6 mg ) IV

- Lakukan pemijitan pada kuku atau papila mame untuk memperoleh respon motorik, bila timbul respon motorik yang bervariasi, nilai repon motorik yang terbaik -

Catat respon terbaik / terburuk untuk mengetahui perkembangan penderita

-

Catat respon motorik dari extremitas kanan dan kiri secara terpisah

-

Catat nilai GCS dan reaksi pupil untuk mendeteksi kestabilan atau perburukan pasien.

-

Prosedur Diagnosis

J. TERAPI MEDIKAMENTOSA UNTUK TRAUMA KEPALA Tujuan utama perawatan intensif ini adalah mencegah terjadinya cedera sekunder terhadap otak yang telah mengaalami cedera Cairan Intravena -

Cairan intra vena diberikan secukupnya untuk resusitasi penderita agar tetap normovolemik

-

Perlu diperhatikan untuk tidak memberikan cairan berlebih

-

Penggunaan cairan yang mengandung glukosa dapat menyebabkan hyperglikemia yang berakibat buruk pada otak yang cedera

-

Cairan yang dianjurkan untuk resusitasi adalah NaCl o,9 % atau Rl

-

Kadar Natrium harus dipertahankan dalam batas normal, keadaan hyponatremia menimbulkan odema otak dan harus dicegah dan diobati secara agresif

Hyperventilasi -

Tindakan hyperventilasi harus dilakukan secara hati-hati, hyperventilasi dapat menurunkan PCo2 sehingga menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah otak

-

Hyperventilasi yang lama dan cepat menyebabkan iskemia otak karena perfusi otak menurun 36

-

PCo2 < 25 mmHg , hyperventilasi harus dicegah

-

Pertahankan level PCo2 pada 25 – 30 mmHg bila TIK tinggi.

Manitol -

Dosis 1 gram/kg BB bolus IV

-

Indikasi penderita koma yang semula reaksi cahaya pupilnya normal, kemudian terjadi dilatasi pupil dengan atau tanpa hemiparesis

-

Dosis tinggi tidak boleh diberikan pada penderita hypotensi karena akan memperberat hypovolemia

Furosemid -

Diberikan bersamaan dengan manitol untuk menurunkan TIK dan akan meningkatkan diuresis

-

Dosis 0,3 – 0,5 mg/kg BB IV

Steroid -

Steroid tidak bermanfaat

-

Pada pasien cedera kepala tidak dianjurkan

Barbiturat -

Bermanfaat untuk menurunkan TIK

-

Tidak boleh diberikan bila terdapat hypotensi dan fase akut resusitasi, karena barbiturat dapat menurunkan tekanan darah

Anticonvulsan -

Penggunaan anticonvulsan profilaksisi tidak bermanfaat untuk mencegaah terjadinya epilepsi pasca trauma

-

Phenobarbital & Phenytoin sering dipakai dalam fase akut hingga minggu ke I

-

Obat lain diazepam dan lorazepam

37

K. PENATALAKSANAAN PEMBEDAHAN

Luka Kulit kepala -

Hal penting pada cedera kepala adalah mencukur rambut disekitar luka dan mencuci bersih sebelum dilakukan penjahitan

-

Penyebab infeksi adalah pencucian luka dan debridement yang tidak adekuat

-

Perdarahan pada cedera kepala jarang mengakibatkan syok, perdarahan dapat dihentikan dengan penekanan langsung, kauteraisasi atau ligasi pembuluh besar dan penjahitan luka

-

Lakukan insfeksi untuk fraktur dan adanya benda asing, bila ada CSS pada luka menunjukan adanya robekan dura. Consult ke dokter ahli bedah saraf

-

Lakukan foto teengkorak / CT Scan

Tindakan operatif -

Fraktur depresi tengkorak

-

Tindakan operatif apabila tebal depresi lebih besar dari ketebalan tulang di dekatnya

-

CT Scan dapat menggambarkan beratnya depresi dan ada tidaknya perdarahan di intra kranial atau adanya suatu kontusio

Lesi masa Intrakranial -

Trepanasi dapat dilakukan apabila perdarahan intra kranial dapat mengancam jiwa dan untuk mencegah kematian

-

Prosedur ini penting pada penderita yang mengalami perburukan secara cepat dan tidak menunjukan respon yang baik dengan terapy yang diberikan

-

Trepanasi dilakukan pada pasien koma, tidak ada respon pada intubasi endotracheal , hiperventilasi moderat dan pemberian manitol

L. PROGNOSIS

- Penderita lansia mempunyai kemungkinan lebih rendah untuk pemuluhan dari cedera kepala -

Penderita anak-anak memiliki daya pemulihan yang baik

38

BAB III PEMBAHASAN

Anamnesis  Tn. N umur 18 tahun, pada tanggal 21 Desember 2014

± pukul 23.00 mengalami

kecelakaan sepeda motor yang mengakibatkan penurunan kesadaran  ± 3 hari yang lalu, pasien mengalami kecelakaan sepeda motor. Pasien sempat pingsan ± selama 5 menit. Kemudian pasien sadar kembali dan mengeluh sakit kepala, mual, dan keluar darah dari hidung  Kemudian Pasien di bawa temannya ke bapelkes, dari sana pasien langsung dirujuk ke IGD RSUD Soewondo Kendal dengan keluhan sakit kepala, mual, muntah, dan keluar darah dari hidung.  ± 1 jam kemudian (± jam 00.00) pasien muntah dalam jumlah banyak dan mulai terjadi penurunan kesadaran. setelah mendapatkan penanganan primer dan perawatan luka kemudian pasien dikirim ke ICU(± jam 02.00)

Pemeriksaan Fisik  Keadaan umum

: sedang

 Kesadaran

: somnolen

 GCS

: E2M4V3

 Status gizi

: Normoweight

 Mata

:

konjungtiva palpebra anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil

isokor , reflek cahaya (+/+), hematoma periorbita (+/-)  Telinga

:

Discharge (-/-)

 Hidung

:

septum deviasi (-), discharge (-/-), terpasang NGT (+)

 Mulut

:

Normal, sianosis (-)

 Leher

:

simetris, deviasi trachea (-), pembesaran kelenjar getah

bening(-), pembesaran kelenjar tiroid (-)

39

Pemeriksaan Penunjang Leukosit meningkat 16, 7 x 10^3/ uL dan glukosa sewaktu meningkat 129 mg/dl Terapi Medikamentosa : -

Oksigen 3-4 liter/mnt

-

Terapi cairan ( infuse Nacl atau RL 20 tpm)

-

Menurunkan TIK (infuse Manitol 2x 175 mg)

-

Inj. Cefotaxim 3x1gr

-

Inj. Antrain 3x1 gr

-

Inj. Piracetam 3x1 gr

-

Inj. As. Traneksamat 3x500 mg

-

Rawat luka

g. Ip Operatif Rujuk ke Dokter spesialis bedah umum

Dari kronologi kejadian, pasien mengalami mekanisme cedera deselerasi. Deselerasi yaitu jika kepala yang bergerak membentur benda yang diam (kepala membentur aspal jalan). Dimana menurut teori pada cedera kepala, kerusakan otak dapat terjadi dalam dua tahap yaitu cedera primer dan cedera sekunder. Cedera primer merupakan cedera pada kepala sebagai akibat langsung dari suatu ruda paksa, dapat disebabkan benturan langsung kepala dengan suatu benda keras maupun oleh proses akselarasi-deselarasi gerakan kepala (kepala pasien membentur aspal jalan).5 Dalam mekanisme cedera kepala dapat juga terjadi peristiwa coup dan contrecoup. Cedera primer yang diakibatkan oleh adanya benturan pada tulang tengkorak dan daerah sekitarnya disebut lesi coup. Pada daerah yang berlawanan dengan tempat benturan akan terjadi lesi yang disebut contrecoup.1 Akselarasi-deselarasi terjadi karena kepala bergerak dan berhenti secara mendadak dan kasar saat terjadi trauma. Perbedaan densitas antara tulang tengkorak (substansi solid) dan otak (substansi semisolid) menyebabkan tengkorak bergerak lebih cepat dari muatan intrakranialnya. Bergeraknya isi dalam tengkorak memaksa otak membentur permukaan dalam tengkorak pada tempat yang berlawanan dari benturan (contrecoup).6

40

Cedera sekunder merupakan cedera yang terjadi akibat berbagai proses patologis yang timbul sebagai tahap lanjutan dari kerusakan otak primer, berupa perdarahan, edema otak, kerusakan neuron berkelanjutan, iskemia, peningkatan tekanan intrakranial dan perubahan neurokimiawi.6 Dengan demikian seperti teori diatas akibat terjadinya cedera sekunder menyebabkan peningkatan tekanan intracranial sehingga pada pasien ini pusing dan muntah. Komplikasi kejadian ini dapat berupa hematom intrakranial, yang dapat menjadikan penderita cedera kepala derajat ringan dalam waktu yang singkat masuk dalam suatu keadan yang gawat dan mengancam jiwanya, terbukti dengan adanya kronologi pasien yang mengalami fase

tidak

sadar-sadar-tidak

sadar

menandakan

adanya

kemungkinan

terjadinya

PERDARAHAN INTRAKRANIAL. Dari pemeriksaan neurologis pada hari ke 3 didapatkan GCS=9 (E2M4V3), dapat dikategorikan sebagai CEDERA KEPALA SEDANG (GCS 9-13) Dari pemeriksaan didapatkan adanya sakit kepala, rhinoragi, muntah proyektil, demam, pupil isokor dan reflek cahaya positif. Hal ini merupakan tanda-tanda tidak khas yang dapat muncul karena peningkatan Tekanan Intra Kranial (TIK). Tekanan Intrakranial (TIK) adalah suatu fungsi nonlinear dari fungsi otak, cairan serebrosspinal (CSS) dan volume darah otak. Ruang intrakranial ditempati oleh jaringan otak, darah dan cairan serebrospinal. Setiap bagian menempati suatu volume tertentu yang menghasilkan suatu tekanan intrakranial normal berkisar antara 5 dan 15 mmHg (millimeter air raksa). Sedangkan, peningkatan tekanan intrakranial (PTIK) adalah suatu peningkatan tekanan yang terjadi dalam rongga tengkorak. PTIK adalah komplikasi serius yang mengakibatkan herniasi dengan gagal pernapasan dan gagal jantung serta kematian. Komplikasi dati peningkatan TIK juga dapat menyebabkan Herniasi Unkus yang merupakan herniasi lobus temporalis bagian mesial terutama unkus. Herniasi ini disebabkan oleh kompresi rostrokaudal progresif ; secara bertahap tekanan makin kekaudal dan makin berat, dan dikenal empat tahap dengan sindrom yang khas, diantaranya : (1) Bagian yang tertekan adalah diensefalon dan nukleus hipotalamus ; (2) Penekanan terhadap mesensefalon. Dalam keadaan ini N.III ipsilateral akan terjepit diantara arteri serebri posterial dan arteri serebri superior sehingga terjadilah oftalmoplegi ipsilateral (pupil anisokor hingga midriasis bilateral) ; (3) Apabila penekanan terus berlangsung maka pons akan tertekan dan akhirnya akan berlanjut menekan medula oblongata (menyebabkan sakit kepala, menekan 41

pusat reflek muntah di medulla yang mengakibatkan terjadinya muntah proyektil sehingga tidak terjadi keseimbangan antara intake dengan output); (4) Merupakan tahap agonia. Faktor penyebab adalah gangguan peredaran darah otak (GPDO atau stroke), neoplasma, abses dan edema otak. Selain itu, peningkatan TIK juga dapat menyebabkan terjadinya penurunan kesadaran dan aliran darah otak menurun. Jika aliran darah otak menurun maka akan terjadi hipoksia yang menyebabkan disfungsi serebral sehingga koordinasi motorik terganggu. Disamping itu hipoksia juga dapat menyebabkan terjadinya sesak nafas. Pada pasien ini juga dicurigai adanya kemungkinan fraktur basis cranii posterior, dimana terdapat unilateral orbital hematom (Brill’s hematom) dexter, perdarahan melalui hidung (Rhinoragi). Beberapa kondisi di atas dapat dibuktikan dengan pemeriksaan penunjang seperti CTScan maupun MRI. Pemberian tindakan segera dan bersifat gawat darurat harus dilakukan meliputi Primary Survey, Secondary Survey, dan Pemeriksaan Neurologis. Dari perawatan hari ke-1 hingga hari ke-3 di ICU pasien menunjukkan adanya perbaikan. Pada hari ke-7 kondisi pasien semakin membaik, kesadaran (GCS) sudah mulai normal dan stabil, kemuadian pada hari ke -7 pasien dipindah ke bangsal Kenanga untuk melanjutkan perawatan luka dan pemulihan KU.

42

BAB IV KESIMPULAN 

Cedera kepala adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang disertai atau tanpa disertai perdarahan interstitial dalam substansi otak tanpa diikuti terputusnya kontinuitas otak (Muttaqin, 2008).



Perdarahan Intrakranial adalah perdarahan di dalam tulang tengkorak. Perdarahan bisa terjadi di dalam otak atau di sekeliling otak. Setiap perdarahan akan menimbulkan kerusakan pada sel-sel otak. Ruang di dalam tulang tengkorak sangat terbatas, sehingga perdarahan dengan cepat akan menyebabkan bertambahnya tekanan dan hal ini sangat berbahaya.



Otak di lindungi dari cedera oleh rambut, kulit dan tulang yang membungkusnya, tanpa perlindungan ini, otak yang lembut yang membuat kita seperti adanya, akan mudah sekali terkena cedera dan mengalami kerusakan. Selain itu, sekali neuron rusak, tidak dapat di perbaiki lagi. Secara lengkap, otak akan dilindungi oleh SCALP (Skin, Connective tissue, Aponeurosis, Loose areolar tissue, Pericranium), Tulang tengkorak, dan Meningen (Lapisan Duramater, Arakhnoid, dan Piamater).



Pada trauma kapitis dapat terjadi perdarahan intrakranial / hematom intrakranial yang dibagi menjadi : hematom yang terletak diluar duramater yaitu hematom epidural, dan yang terletak didalam duramater yaitu hematom subdural dan hematom intraserebral ; dimana masingmasing dapat terjadi sendiri ataupun besamaan



Perdarahan yang terjadi di dalam otak disebut perdarahan intraserebral. Perdarahan diantara otak dan rongga subaraknoid disebut perdarahan subaraknoid. Perdarahan diantara lapisan selaput otak (meningen) disebut perdarahan subdural. Perdarahan diantara tulang tengkorak dan selaput otak disebut perdarahan epidural.



Pemeriksaan klinis merupakan pemeriksaan yang paling komprehensif dalam evaluasi diagnostik penderita-penderita cedera kepala, dimana dengan pemeriksaan-pemeriksaan serial yang cepat, tepat, dan noninvasif diharapkan dapat nenunjukkan progresifitas atau kemunduran dari proses penyakit atau gangguan tersebut. Sehubungan tinnginya insidensi kelainan / cedera sistemik penyerta (lebih dari 50%) pada kasus-kasus cedera kepala berat, maka perlu diperhatikan adalah tingkat kesadaran, gerakan bola mata, pupil, dan fungsi motoric. 43



Prognosis setelah cedera kepala sering mendapat perhatian besar, terutama pada pasien dengan cedera berat. Skor GCS waktu masuk rumah sakit memiliki nilai prognostik yang besar: skor pasien 3-4 memiliki kemungkinan meninggal 85% atau tetap dalam kondisi vegetatif, sedangkan pada pasien dengan GCS 12 atau lebih kemungkinan meninggal atau vegetatif hanya 5 – 10%. Sindrom pascakonkusi berhubungan dengan sindrom kronis nyeri kepala, keletihan, pusing, ketidakmampuan berkonsentrasi, iritabilitas, dan perubahan kepribadian yang berkembang pada banyak pasien setelah cedera kepala. Sering kali berturnpang-tindih dengan gejala depresi.

44

DAFTAR PUSTAKA 1. PERDOSSI cabang Pekanbaru. Simposium trauma kranio-serebral tanggal 3 November 2007. Pekanbaru. 2. Brain Injury Association of America. Types of Brain Injury. Http://www.biausa.org [diakses 19 Juni 2008] 3. American College of Surgeon Committee on Trauma. Cedera Kepala. Dalam : Advanced Trauma Life Support fo Doctors. Ikatan Ahli Bedah Indonesia. Komisi trauma IKABI, 2004. 4. Turner DA. Neurological evaluation of a patient with head trauma. Dalam : Neurosurgery 2nd edition. New York: McGraw Hill, 1996. 5. Gennarelli TA, Meaney DF. Mechanism of Primary Head Injury. Dalam: Neurosurgery 2 nd edition. New York : McGraw Hill, 1996. 6. Hickey JV. Craniocerebral Trauma. Dalam: The Clinical Practice of Neurological and Neurosurgical Nursing 5th edition. Philadelphia : lippincot William & Wilkins, 2003. 7.

Findlaw

Medical

Demonstrative

Evidence.

Closed

head

traumatic

brain

injury.

Http://findlaw.doereport.com [diakses 19 Juni 2008] 8. Saanin S. Cedera Kepala. Http://www.angelfire.com/nc/neurosurgery. [diakses 19 Juni 2008] 9. Fakultas Kedokteran Universitas Pelita Harapan. Cedera Kepala. Jakarta : Deltacitra Grafindo, 2005.

45

Related Documents

Cedera Kepala
June 2020 38
Cedera Kepala.doc
June 2020 24
Cedera Kepala.docx
October 2019 30
Cedera Maksilofasial
June 2020 21
Cedera Kepala
June 2020 48

More Documents from "April"

Bph.docx
October 2019 9
Cover Cbd 1.docx
October 2019 11
Cedera Kepala.docx
October 2019 30
Refleksi Kasus.docx
October 2019 16
Makalah.docx
October 2019 18
Mina.docx
October 2019 16