Makalah Unin

  • December 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Makalah Unin as PDF for free.

More details

  • Words: 2,072
  • Pages: 7
Seminar , “Hukum, Etika dan kebebasan pers”

HUKUM, ETIKA DAN KEBEBASAN PERS Oleh : Jakob Oetama (Pemimpin Umum Harian KOMPAS)

Dari mana kita mulai ? sebelum reformasi ketika berlaku Surat Ijin Usaha Penerbitan Pers (SUPP), Jumlah penerbitan, surat kabar harian dan berkala 217. kini sekitar 1500, jumlahnya berlipat. Datanglah sekali-sekali kekios majalah luar biasa maraknya. Warna-warni dan yang mencolok foto-foto perempuan dan kepala-kepala beritanya yang merangsang dan menantang. Sekarang, barangkali mulai surut, tetapi beberapa yang lalu , kios, penjaja dan pasar pers juga disemarakan oleh aneka macam tabloid politik. Politiknya pun berteriak, penuh isyu, sarat sensasi, meledak-ledak. Apa boleh buat, namanya juga business of attention. Begitulah Koran dan majalah disebut biisnis minta perhatian. Ditengah ramainya Koran dan majalah bersaing minta perhatian pembeli mau-tidak mau teriak menjadi semakin keras, ya adu keras. Sementara media massa berteriak adu keras minta perhatian, khalayak dan masyarakat tidak tinggal diam. Senang bahwa media gagap gepita, pertanda datangnya zaman baru, zaman kebebasan, zaman demokrasi. Kesenangan itu tidak lama kemudian disertai kegelisahan, kekecewaan dan protes, “mau dibawa kemana bangsa dan negara ini”. Beginilah sosok kemerdekaan pers yang kita dambakan dan kita perjuangkan bersama ?. Kegelisahan dan gugatan itu pula melatar belakangi seminar ini, jangankan masyarakat dan pemerintah, kami, masyarakat pers pun bertanya, berrefleksi dan menggugat diri. Lagi pula itu pertanda aksi yang pada tempatnya bagi wacana kebebasan dan wacana demokrasi. Jika kita masing-masing dan kita bersama-sama mau saling menggugat diri. Kami masyarakat pers mendengar keluhan sekaligus teguran, bukankah kebebasan pers itu telah kebablasan ?, Pernyataan itu tidak kita jawab ya atau tidak. Kita coba kupas bersama. Perubahan dalam tahun 1965, 1966 dan tahun-tahun berikutnya dari orde lama ke orde baru juga disertai berubahnya sosok pers. Pers bebas atau lebih bebas dari periode sebelumnya. Tetapi perubahan dalam tahun enam puluhan itu berbeda secara subtansial dengan perubahan tahun 1998 dan tahun tahun selanjutnya. Perubahan dari Orla ke Orba disertai Euphoria kebebasan dan demokrasi, namun segera jelas dan tegas sosoknya, yakni kembali ke pelaksanaan UUD lewat amandemen amandemen. Dulu UUD 1945 tetap tidah tersentuh, kini justru ditetliti dan dianalisa kembali, kecuali pembukaannya. Media Development Center

Seminar , “Hukum, Etika dan kebebasan pers” Untuk itu diperlukan stabilitas susunan pemerintahan dan perangkat perangkatnya menunjang keamanan dan stabilitas yang diperlukan untuk pembangunan ekonomi, tidak lama rakyat mengambil prakasa pemerintah yang kuat dan efektif . Pers, Partai politik, institusi-institusi demokrasi itu sendiri mau tidak mau terserap oleh format kebijakan dan strategi nasional developmentalisme alias pembangunan ekonomi. Perijinan untuk menerbitkan media cetak dan media elektronik tetap berlaku. Perubahan masyarakat terkendali dan terarahkan. Gangguan-gangguan tidak berarti. Amatlah berbeda dengan pergolakan dan perubahan sekarang, sebab konteksnya memang amat berbeda. Reformasi tahun 1998 membawa perubahan besar dan cukup mendasar. Seluruh negeri bergerak dan bergejolak, hampir-hampir seperti dinamikanya revolusi, tetapi dinamika revolusi yang diberi format dan saluran reformasi. Masuk akal ketegangan terasa dimanamana. Konflik pecah yang terjadi secara wajar maupun yang konon direkayasa. Bukankah benar-benar seperti Umwertung aller werten, penjungkirbalikan nilai-nilai. Arahnya horizontal dan vertical. Sentralisasi berlebihan yang disertai ketidakadilan alokasi dan distribusi hasil sumber alam daerah dan perlakuan sosial politik yang represi dan gelegopatan tindak kekerasan, merekahkan disontegrasi bangsa. Perubahan tahun 1998 sungguh-sungguh perubahan besar yang bahkan menyentuh sendi dan tata kehidupan masyarakat bangsa dan negara. Perangkat perangkatnya juga ikut disentuh, dirombak, diubah, direposisikan kembali. Benar-benar bersosok demokrasi. Partai-partai berdiri, Pers Bebas, tidak lagimemerlukan izin terbit. Pemilihan umum yang demokratis diselenggarakan pemerintah baru, presiden dan wakil presiden dipilih oleh MPR,hasil pemilihan umum . Dalam hal demokrasi , Indonesia mencapai point of no return ? partai-partai menjadi pilarnya. Lembaga-lembaga perwakilan otonom, demikian pula lembaga media serta insitusiinstitusi lainnya seperti pengadilan. Sosoknya berubah seperti berubahnya telapak tangan , serba cepat. Apakah sosok itu masih berisi padat dan kenyal, ataukah sosok itu kosong disana-sini bahkan kropos dan memang gaya dan suaranya saja?, kita mulai bertanya-tanya, hanya 6 bulan setelah berlangsungnya pemerintahan baru. Tidak usah berkecil hati, buru-buru. Persoalan yang kita hadapi luar biasa . warisan persoalan kemarin yang menumpuk,sepertinya menghabiskan perhatian, energi dan waktu kita. Dan itu pun didak tahu mana yang sudah beres. Sementara itu persoalan baru datang silih berganti, merengek dan berteriak mita perhatian pula. Media Development Center

Seminar , “Hukum, Etika dan kebebasan pers” Dalam suasana dan akumulasi persoalan itu, dimana pers kita ditempatkan ? , selalu terlihat menarik melihat hubungan pers dengan sistem politik. Secara empiris, dapat kita katakana pers ikut aktif berpartisipasi bahkan menggerakan reformasi. Hal itu akan dapat dikonfirmasikan, sekiranya ada studi dan riset tentang isi media dan peranan eskalasi yang dilakukan oleh media selama gerakan reformasi ini. Pemerintahan Presiden Habibie mempunyai andil besar dalam melepaskan kebebasan pers, sekalipun barangkali pers ikut merugikan posisinya dalam pemilihan presiden. Urusan ijin terbit dipermudahdan diperlancar. Oleh UU Pers No. 40 th. 1999, surat ijin tidak lagi diperlukan lagi. Silahkan Publish, terbit and be dammed ?, selebihnya masa bodoh ?, tidaklah demikian maksudnya.tetapi aspek itulah yang segera dirasakan

, dan dihawatirkan

masyarakat dan pemerintah. Pemerintah masih dalam posisi tidak berdaya terhadap pers. Tetapi masyarakat lebih proaktif, masyarakat mengambil nasibnya ditangan sendiri dalam menghadapi pers, maka terjadilah berbagai tindakan tekanan dan main hakim sendiri dari berbagai kelompok dan anggota masyarakat. Orang berolok, gara-gara pemerintah

pers bebas,!, sebaliknya pemerintah

menanggapi bahwa itu dari masyarakat, belum lagi pernyataan tentang kebebasan pers tidak terlepaskan dari paham kebebasan berfikir, kebebasan berpendapat, kebebasan berbicara. Hal itu diriwayatkan dari sejarah politik yang panjang. Biasanya di mulai dari John Milton, th. 1644, voltame, Thomas jafferson dan lain-lain. Paham kebebasan pers erat berkaitan dengan sistem politik yang berlaku. Maka dikenak 4 TEORI KEBEBASAN PERS yaitu: 1. Otoritarian 2. Liberitarian 3. Marxist-leninist 4. Social Responsibility Dalam negara yang mempunyai konstitusi tertulis, paham kebebasan pers termasuk dicantumkan. Di Amerika serikat apa yang disebut

‘First Amandement, Pada UUD

Indonesia pasal 28 menyatakan : Kemerdekaan berserikat dan berkumpul mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang. Terhadap pasal 28 sedang diusahakan suatu amandemen, sebab pengalaman dengan UU No. 11 Th. 65 dari UU pasal 27 Th. 82 menunjukan Undang –undang yang menetapkan kemerdekaan pers justru mengikat kemerdekaan itu. Amandemen yang diusulkan secra Media Development Center

Seminar , “Hukum, Etika dan kebebasan pers” eksplisit memberikan jaminan bahwa undang-undang No. 40 Th. 1999 memenuhi syarat kebebasan pers. Tetapi Undang-undang itupun mengandung

kelemahan Misalnya

ketentuan etika masuk kedalam Undang-undang . Ketentuan etik pers lebih tepat dimaksudkan “Kode Etik”. Mengapa UU No 40 Th. 1999 sesuai dan menjamin kebebasan pers ? Karena tidak dikenakan penyensoran, pemberedelan dan pelarangan penyiaran (Pasal 4). Setiap negara mendirikan perusahaan pers yang berbentuk badan hukum (Pasal 9). Mengapa demokrasi memerlukan kebebasan berekspresi dan karena itu pula diperlukan kebebasan pers ?, Demokrasi adalah suatu sistem politik yang bersensikan kedaulatan rakyat. Rakyat memilih, rakyat juga yang berpartisipasi dalam proses politik. Untuk menjalankan hak dan kewajibannya, rakyat memerlukan perangkat, diantaranya media massa. Dimulai dengan memberikan informasi yang benar, seksama, dan lengkap . Otonomi dan independent, sering juga disebut ‘Cover Both sides. Kebebasan pers juga diperlukan agar masyarakat dapat memperoleh apa yang oleh DR. Robert A Dal dikatakan sebagai ‘The avaibility of alternative and independent sources of information’ (DEMOCRACY, hal 97) Bagi masyarakat pers dan masyarakat luas, apa yang tmenjadi fungsi pers diketahui cukup luas, Sering kita dengar sebagai fungsi “Wacthdog” (Mata dan telinga) dalam arti sebagi pemberi isyarat, pemberi tanda-tanda dini, sebagai pembentuk opini dan sebagai pengarah agenda kedepan. Pasal 6 UU Pers No. 40 Th. 1999, mengamanatkan 5 peranan Pers: 1. Memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui, 2. Menegakan nilai-nilai demokrasi, mendorong penegakan supremasi hukum dan hak-hak azasi manusia , menghormati prulalisme/kebinekaan. 3. Mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat dan benar. 4. Melakukan pengawasan kritis, koreksi dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum 5. Memperjuangkan keadilan dan kebenaran. Pemahaman tentang fungsi dan peranan pers, tentu saja luas, terbuka dan dinamis, fleksibel dan adaktif. Tidaklah mungkin pers lepas dari negara dan masyarakat dimana ia berada dan bekerja, Justru dengan kebebasannya pers dapat

Media Development Center

Seminar , “Hukum, Etika dan kebebasan pers” ikut mengamati dan menangkap apa yang pada saat itu menjadi kerisauan, keprihatinan, harapan serta upaya bangsanya. Sebutlah sekarang ini misanya perbaikan ekonomi , membangun kembali bangsa dan negara dalam kondisi baru, yakni kondisi yang disertai protes terhadap masa lampau yang disertai kebangkitan kesadaran daerah, otonomi bahkan hasrat berdiri sendiri. Sungguh berat peranan pers dalam kondisi serba paradoksasi sekarang ini. Disatu sisi pihak demokrasi, dilai pihak pancaroba, perubahan, perlalihan, krisis dan krisis di satu pihak mengawasi kekuasaan agar senantiasa menyadari pernyataan ‘Beyamin Fraklin Th. 1787, konvensi Konstitusi Amerika Serikat:”Sir, There are two passion which have a powerful influence on the affair of man. These are ambition and avarice , the love of power and the love money” Pers pada waktu yang sama harus melakukan peranannya mencerdaskan bangsa dan mencerdaskan masyarakat. Pada masyarakat harus tumbuh dan berkembang “Enlightened understanding” dari persoalan persoalan publik, persoalan politik dan proses politik. Lewat hal itu masyarakat dapat berpartisi pasi secara efektif serta mempengaruhi agenda publik berupa upaya pencerdasan, kesadaran masyarakat terhadap hukum semaki tinggi dan tidak akan mudak menempuh jalan main hakim sendiri, termasuk pada pers. Ketika kita memaparkan fungsi dan peranan pers muncul dua pemikiran bahwa Pertama,melakukan fungsi dan peranan publik, pers harus memiliki kebebasan, hanya kebebasan itu yang melakukan otonomi kepada pers, maka pers dapat melaksanakan pekerjaannya.Kedua, alangkah besar beban tugas pers sehingga diperlukan tanggungjawab. Tanggungjawab pers disini didekatkan bukan dari luar, tidak pula dari kecerobohan, kelalaian dan kesalahan, tetapi didekatkan lebh dari dalam pers sendiri sebagai lembaga, dari para pengelola pers termasuk pemiliknya dan para wartawannya. Memang mau tidak mau tanggung jawab itu diasosiasikan dan dikaitkan dengan kemerdekaan pers . Dalam teori tentang kebebasan hal itu sempat memunculkan teori “Social Responsibility sebagai refleksi kritis terhadap teori liberalism (Komisi Hutchins 1947 0n freedom of the press, afree and responsible press) Bukanlah memonopoli , jika dewasa ini suara masyarakat terhadap pers bertambah keras, bahkan bukan saja suaranya keras, juga beberapa langkah nya main hakim sendiri. Bagi saya sangat masuk akal jika masyarakat pers tidak Media Development Center

Seminar , “Hukum, Etika dan kebebasan pers” mengabaikan kritik dan protes masyarakat, agar masyarakat pers melakukan refleksi dan aksi. Pers bukan sekedar kumpulan fakta dan cerita. Pers adalah kumpulan fakta dan cerita yang disusun dalam suatu mozaik dan mozaik itu merupakan resultat yang terus menerus di cari aksi dan refleksi – refleksinya. Pertanggungjawaban pers diberikan secara hukum. Dalam kitab KUHP (pernah dikumpulkan oleh Menpen . Moh. Yunus dalam buku Biru Th. 1998 ) Terkumpul pasalpasal pidana yang biasa menjerat pers, diantaranya yang menyangkut pencemaran nama baik, menyebarkan rasa permusuhan, dan penghinaan. Pertanggungjawaban yang lain yaitu pertanggungjawaban dari wartawan, dari pemilik

dan

pengelola

pers

.

Pertanggungjawaban

ini

sering

disebut

Pertanggungjawaban etika.. Etika menurut John C Merril and Ralph D. Barney, 1975. , “Has to do with duty, duty to self and duty to others ( ethic and the press, readings in mass media morality ) . Etika bermuka dua, kewajiban terhadap diri sendiri dan kewajiban terhadap orang lain , menunjukan posisi setiap orang sebagai insan individual dan insan sosial. Wartawan menulis untuk orang lain, untuk khalayak pembaca, untuk masyarakat, wartawan sekaligus menulis untuk mengekspresikan diri sendiri, dalam arti wartawan mempertaruhkan diri dengan tulisannya. Standar yang ia terapkan dalam proses penulisannya bukan hanya menyangkut orang lain , tetapi sekaligus sebagai standar diri sang wartawan. Dengan sengaja saya berikan tekanan itu karena dengan demikian amatlah jelas bahwa jika hukum datang dari luar , etika datang dari dalam diri wartawan/pengelola/ institusi pers itu sendiri. Undang- undang termasuk KUHP di buat oleh DPR dan pemerintah. Kode etik wartawan disusun oleh Masyarakat pers. Kode etik ini diperbaharui dan disesuaikan dengan zaman reformasi pro demokrasi, dibuat oleh organisasi wartawan. Susunan dan isinya padat dan sederhana. Bermanfaat kiranya kita kemukakan kehadiran Dewan pers. Dewan pers diketuai oleh Sdr. Atmakusumah merupakan hasil pemilihan oleh masyarakat pers yang sesuai dengan UU. No. 40. Th. 1999 ditetapkan oleh presiden. Dewan pers sekarang independent tidak adalagi campurtangan dari pemerintah. Dewan pers bertugas melindungi kemerdekaan pers dari campur tangan pihak lain, melakukan pengkajian untuk pengembangan kehidupan pers, pengembangan komunikasi antar pers, memfasilitasi organisasi-organisasi pers dalam menyusun Media Development Center

Seminar , “Hukum, Etika dan kebebasan pers” peraturan-peraturan dibidang pers dan meningkatkan kualitas profesi kewartawanan dan mendata perusahaan pers. Tugas Dewan pers cukup berat, melindungi kemerdekaan pers tetapi juga mengawasi agar kode etik pers dilaksanakan. Menjadi perantara penyelesaian jika terjadi pengembangan komunikasi antara pers dan masyarakat dan pemerintah. Pelaksanaan kode etik oleh wartawan amatlah penting. Langkah lain yang juga mendesak ialah memperbaiki terus menerus kopentensi, profesionalisme wartawan. Usaha itu tidak dapat dilepaskan dari hadir-tidaknya pers sebagai institusi yang fisibel, termasuk sebagai usaha ekonomi. Jakarta, 6 juni 2000

Media Development Center

Related Documents

Makalah Unin
December 2019 22
Makalah
June 2020 40
Makalah
July 2020 39
Makalah
October 2019 94
Makalah
July 2020 62
Makalah
November 2019 85