Makalah Ulumul Qur'an Ririn.docx

  • Uploaded by: badun al qadri
  • 0
  • 0
  • December 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Makalah Ulumul Qur'an Ririn.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 3,189
  • Pages: 13
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Islam sebagai agama yang rahmatan lil ‘alamin, memiliki peranan sangat penting dalam membentuk peradaban manusia yang mulia. Sebagai agama, Islam tidak saja hanya mengatur hubungan manusia dan Tuhannya, tetapi juga hubungan manusia dan manusia, hubungan manusia dan alam sekitarnya. Al-Quran sebagai kitab suci umat Islam adalah wahyu Allah SWT yang berisikan sejarah, hukum, dan syariat-syariat yang menuntun dan membimbing umat Islam ke jalan yang benar, yang pada akhirnya akan memuliakan manusia itu sendiri. Al-Quran juga membenarkan Kitab-Kitab yang Allah turunkan sebelumnya yaitu Zabur, Taurat dan Injil. Memahami ajaran dalam agama Islam dilakukan tidak sebatas membaca Al-Quran dan terjemahannya. Sebab, Al-Quran memiliki bahasa yang tinggi dan ayat-ayatnya tidak selalu bisa dipahami hanya melalui terjemahan. Salah satu penjelas dari isi Al-Quran adalah sunnah atau hadits yang berupa ucapan-ucapan Rasulullah saw yang diberi otoritas oleh Tuhan untuk menyampaikan setiap wahyu kepada umat manusia. Kedudukan hadits ini sangat penting bagi umat Islam.

B. Rumusan Masalah Adapun Rumusan Masalah yang kami bahas pada Makalah ini yaitu : a. Bagaimana kedudukan hadits dalam Islam? b. Apa fungsi Hadits dalam Islam?

1

BAB II PEMBAHASAN A. Kedudukan Hadist Dalam Islam Seluruh umat Islam telah sepakat bahwa hadits merupakan salah satu sumber ajaran Islam. Ia menempati kedudukannya yang sangat penting setelah Al Qur’an. Kewajiban mengikuti hadits bagi umat Islam sama wajibnya dengan mengikuti Al Qur’an. Hal ini karena hadits mubayyin terhadap Al Qur’an. Tanpa memahami dan menguasai hadits siapa pun tidak Akan mampu bisa memahami Al Qur’an. Sebaliknya siapapun tidak akan bisa memahami hadits tanpa memahami Al Qur’an karena Al Qur’an merupakan dasar hukum pertama, yang didalamnya berisi garis besar syariat, dan hadits merupakan dasar hukum kedua yang didalamnya berisi penjabaran dan penjelasan Al Qur’an. Hadits adalah berfungsi menafsirkan nashnya, menjelaskan pengertiannya, mentakhsish yang ‘amm, men-taqyid yang muthlaq, menjelaskan yang musykil, menjelaskan yang mubham, dan menjelaskan hukum-hukumnya. Oleh karena itu wajib mengikutinya sebagaimana mengikuti Al-Quran.1 Imam Ahmad berkata, “mencari hukum dalam Al-Quran haruslah melalui hadits, demikian pula halnya dengan mencari agama. Jalan yang dibentang untuk mempelajari fiqh Islam sesuai syariat ialah melalui hadits atau sunnah.” Sebagaimana telah dikemukan oleh para ulama sepakat dalam menetapkan bahwa hadis berkedudukan sebagai pensyarah dan penjelas bagi Al-Quran.2 Dengan demikian antara hadits dan Al Qur’an memiliki kaitan yang sangat erat, yang satu sama lain tidak bisa dipisah-pisahkan atau berjalan sendiri-sendiri. Berdasarkan hal tersebut, kedudukan hadits dalam Islam tidak dapat diragukan karena terdapat penegasan yang banyak, baik didalam Al Qur’an maupun dalam hadits nabi Muhammad SAW, seperti diuraikan dibawah ini : 1.

Dalil Al-Qur’an Dalam Al Qur’an banyak terdapat ayat yang menegaskan tentang kewajiban

mengikuti Allah SWT yang digandengkan dengan keta’atan mengikuti Rasul-Nya, seperti firman Allah SWT berikut ini :

1 2

M. Noor Sulaiman. Antologi Ilmu Hadits. (Jakarta: Gaung Persada Press 2008). hlm. 37 Ibid,,,,,

2

             Artinya : Katakanlah: "Ta'atilah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling, maka Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir".( Q.S. Ali Imran : 32) Dalam surat Annisa’ ayat 59 Allah juga berfirman :

                               Artinya : Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (Q.S. An-Nisa’ : 59 )

Dalam Surat Al Hasyr ayat 7, Allah SWT juga berfirman :

                                         Artinya : Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada RasulNya (dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota Maka adalah untuk Allah, untuk rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang Kaya saja di antara kamu. Apa yang 3

diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah, dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Amat keras hukumannya.( Q. S. Al Hasyr : 7 ) Selain ayat-ayat di atas, juga terdapat ayat-ayat lain yang mewajibkan ketaatan kepada Rasul, karena pada dasarnya taat kepada Rasul adalah sama halnya kita taat kepada Allah SWT, yaitu :  Surat Al Maidah ayat 52  Surat An Nisa ayat 80  Surat Ali Imran ayat 31  Surat An Nur : 56, 62 dan 63  Surat Al A’raf : 158 Ayat-ayat tersebut merupakan Firman Allah yang secara tegas mengatakan bahwa taat kepada Rasul adalah sesuatu hal yang wajib. Rasul merupakan orang kepercayaan Allah yang diutus untuk membawa umat menuju jalan yang lurus.

2.

Dalil Hadits Rasulullah SAW Disamping banyak ayat Al Qur’an yang menjelaskan kewajiban mengikuti semua

yang disampaikan nabi SAW banyak juga hadits nabi SAW yang menegaskan kewajiban mengikuti ajaran-ajaran yang dibawa oleh nabi SAW seperti sabda Nabi Muhammad SAW, sebagai berikut :

‫تركت فيكم أمرين لن تضلوا أبداما إن تمسكتم بهما كتاب هللا وسنة رسوله ) رواه‬ ( ‫الحاكم‬ Artinya : “Aku tinggalkan dua pusaka pada kalian, jika kalian berpegang kepadanya, niscaya tidak akan tersesat, yaitu kitab Allah (Al Qur’an) dan sunnah Rasul-Nya. (H.R. Al Hakim)3 Hadits tersebut menunjukkan bahwa Nabi SAW diberi Al-Kitab dan Sunnah, dan mewajibkan kita berpegang teguh pada keduanya, serta mengambil apa yang ada pada sunnah seperti mengambil pada Al-Kitab. Masih banyak hadis-hadis lainnya yang menegaskan tentang kewajiban mengiktu perintah dan tuntunan Nabi SAW.4

3 4

As-Suyuthi, Al-Jami’ Ash-Shagir, Beirut : Dar Al-Fikr, hlm. 130 M. Agus Solahudin dan Agus Suyadi. Ulumul Haidis. Hlm. 7

4

Dalam Hadits yang lain Nabi juga bersabda yang artinya :“Kalian wajib berpegang teguh dengan sunahku dan sunah khulafar rasyidin yang mendapat petunjuk, berpegang teguhlah kamu sekalian kepadanya …” (H.R. Abu Dawud)5

3.

Ijma’ Ulama Setelah Rasulullah wafat, para sahabat sepakat bahwa apa-apa yang berasal dari

Rasulullah, baik perbuatan, perkataan dan takrirnya dijadikan sebagai landasan untuk menjalankan agama. Tidak seorangpun diantara mereka menolak tentang kewajiban untuk menaati apa-apa yang datang dari Rasulullah. Kewajiban untuk menaati sunnah rasul dikuatkan oleh dalil-dalil yang bersumber dari Al-Quran dan Hadis. Kesepakatan para sahabat selanjutnya diikuti oleh para tabi’in, tabi’ tabi’in dan generasi berikutnya hingga sampai saat ini.6 Banyak peristiwa menunjukkan adanya kesepakatan menggunakan hadits sebagai sumber hukum Islam, antara lain dapat diperhatikan peristiwa di bawah ini:7  Ketika Abu Bakar dibai’at menjadi Khalifah, ia pernah berkata “Saya tidak meninggalkan sedikit pun sesuatu yang diamalkan/dilaksanakan oleh Rasulullah, sesungguhnya saya takut tersesat bila meninggalkan perintahnya”.  Saat Umar berada di depan Hajar Aswad ia berkata “Saya tahu bahwa engkau adalah batu. Seandainya saya tidak melihat Rasulullah menciummu, saya tidak akan menciummu”.  Pernah ditanyakan kepada Abdullah bin Umar tentang ketentuan shalat safar dalam Al-Quran. Ibnu Umar menjawab: “Allah SWT telah mengutus Nabi Muhammad SAW kepada kita dan kita tidak mengetahui sesuatu. Sesungguhnya kami berbuat sebagaimana duduknya Rasulullah SAW, saya makan sebagaimana makannya Rasulullah dan saya shalat sebagaimana shalatnya Rasul”.  Diceritakan dari Sa’id bin Musayyab bahwa Usman bin ‘Affan berkata: “Saya duduk sebagaimana duduknya Rasulullah SAW, saya makan sebagaimana makannya Rasulullah dan saya shalat sebagaimana shalatnya Rasul”.

4.

Dalil ‘Aqli ( Rasio)

5

Abu Dawud, Sunan Abu Dawud Jilid II, Beirut : Dar Al-Fikr. 1990, hlm. 393 Aan Supian. Ulumul Hadits. (Bogor: IPB Press 2014). hlm. 29 7 Munzier Suparta. Ilmu Hadis. (Jakarta: PT Raja Gradindo Persada 2008). hlm. 57 6

5

Maksud dari dalil ini adalah argumen yang disusun berdasarkan pendekatan akal untuk menjelaskan kedudukan hadits. Hampir tidak dapat dibayangkan betapa seorang manusia tidak akan bisa menjalankan praktik Ubudiyah maupun praktik Mu’amalah dengan benar bila mengambil pijakan langsung dari Al-Quran tanpa mengetahui keterangan dan penjabaran dari hadits terhadap ayat-ayat mengenai hal-hal tersebut.8 Kerasulan Nabi Muhammad SAW teah diakui dan dibenarkan oleh umat Islam. Di dalam mengemban misinya itu, kadang-kadang beliau hanya sekedar menyampaikan apa yang diterima dari Allah SWT, baik isi maupun formulasinya dan kadang kala atas inisiatif sendiri dengan bimbingan ilham dari Tuhan. Namun, tidak jarang beliau membawakan hasil ijtihad semata-mata mengenai suatu masalah yang tidak ditunjuk oleh wahyu dan juga tidak dibimbing oleh ilham. Hasil ijtihad beliau ini tetap berlaku sampai ada nas yang menasakhnya. B. Fungsi hadits Dalam Islam Secara global, sunnah sejalan dengan Al-Qur’an, menjelaskan yang mubham (yang tidak jelas), merinci yang mujmal (yang umum), membatasi yang mutlak, mengkhususkan yang umum dan menguraikan hukum-hukum dan tujuan-tujuannya, disamping membawa hukum-hukum yang belum dijelaskan secara eksplisit oleh Al-Qur’an yang isinya sejalan dengan kaidah-kaidahnya dan merupakan realisasi dari tujuan dan sasarannya.9 Imam Asy-Syatibi menjelaskan beberapa fungsi hadits terhadap Al-Qur’an antara lain sebagai berikut : a. Memberikan tafshil, perincian, dan penafsiran terhadap ayat-ayat yang masih mujmal. b. Memberikan taqyid (persyaratan) terhadap ayat-ayat yang masih bersifat mutlaq. c. Memberikan takhshish (penetuan khusus) terhdap ayat-ayat yang masih bersifat umum. d. Memperkuat hukum-hukum yang telah diterapkan Al-Quran. e. Menetapkan hukum-hukum yang tidak ditetapkan dalam Al-Quran.10 Para ulama berbeda pendapat tentang penjelasan hadits terhadap Al-Quran.11  Menurut ulama ahl al-ra’y penjelasan hadis terhadap Al-Quran adalah sebagai berikut: 8

Aan Supian. Ulumul Hadits. (Bogor: IPB Press 2014). hlm. 30 M. Noor Sulaiman. Antologi Ilmu Hadits. (Jakarta: Gaung Persada Press 2008). hlm. 36 10 Aan Supian. Ulumul Hadits. (Bogor: IPB Press 2014). hlm. 30 11 M. Noor Sulaiman. Antologi Ilmu Hadits. (Jakarta: Gaung Persada Press 2008). hlm. 38 9

6

a. Bayan Taqrir b. Bayan Tafsir c. Bayan Tabdil  Menurut Imam Malik Penjelasan hadits itu terbagi menjadi lima, yaitu: a. Bayan Taqrir b. Bayan Tawdhih (Bayan Tafsir) c. Bayan Tafshil d. Bayan Tabshith e. Bayan Tasyri’  Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i menetapkan bahwa penjelasan hadis terhadap AlQur’an menjadi lima, yaitu: a. Bayan Tafshil b. Bayan Takhshish c. Bayan Ta’yin d. Bayan Tasyri’ e. Bayan Nashk  Ahmad Ibnu Hambal sependapat dengan gurunya Imam Asy-Syafi’i, bahkan lebih keras lagi pendiriannya. Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah menjelaskan pendapat Ahmad ibnu Hambal bahwa penjelasan Sunnah terhadap Al-Qur’an terbagi empat: a. Bayan Ta’kid (Bayan Taqrir) b. Bayan Tafsir c. Bayan Tasyri’ d. Bayan Takhshish dan Taqyid.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa sunnah, menurut pendapat Ahmad, dapat men-takhshish Al-Qur’an, men-taqyid atau menafsirkannya. Ia juga berpendapat bahwa sunnah dapat menafsirkan zhahir Al-Qur’an, dan hadits ahad dapat men-takhshish AlQur’an. Dalam kitab Ushul al-Hadits dikatakan bahwa ada tiga fungsi sunnah terhadap AlQura’n:12 1) Kalau ada persesuaian hadits dengan Al-Qur’an, maka hadits berfungsi sebagai penguat apa yang ada di dalam Al-Qur’an, seperti hadits tentang perintah shalat, zakat, keharaman riba dan sebagainya.

12

M. Noor Sulaiman. Antologi Ilmu Hadits. (Jakarta: Gaung Persada Press 2008). hlm. 41

7

2) Kalau ia berfungsi menjelaskan dan menafsirkan yang mujmal di dalam Al-Qur’an, maka hadits menjelaskan maksudnya, seperti penjelasan tata cara shalat, jumlah rakaatnya dan waktu pelaksanaanya. Al-Qur’an hanya menyebutkan waktu-waktunya secara umum, dan haditslah yang menjelaskan tatacara pelaksanaanya. 3) Rasulullah menetapkan suatu hukum yang belum ada ketentuan nash-nya di dalam Al-Qur’an, seperti keharaman memakan keledai kampung. Dari beberapa perbedaan pendapat para ulama terpercaya tentang penjelasan hadits terhadap Al-Qur’an, maka berikut dapat diambil dan dijelaskan secara singkat beberapa penjelasan hadits diantaranya: 1. Hadits sebagai Bayan Tafshil Yang di maksud dengan bayan tasfsil di sini adalah bahwa hadits itu menjelaskan atau memperinci kemujmalan Al-Qur’an. Karena Al-Quran bersifat mujmal (global), maka agar ia dapat berlaku sepanjang masa dan dalam keadaan bagaimanapun perlu untuk dilakukan perincian. Maka dari itu diperlukan adanya hadis atau sunnah. Dalam kedudukannya sebagai sumber kedua setelah Al-Qur’an, hadits berfungsi sebagai pemerinci atau penafsir hal-hal yang masih disebutkan secara mujmal oleh AlQur’an. Mujmal dalam pengertian ini adalah suatu lafaz yang belum jelas dilalahnya atau masih bersifat umum dalam penunjukannya. Dengan hadits diharapkan dapat diketahui dengan jelas maksud dan penunjukannya. Dalam

Al-Qur’an ada perintah melaksanakan shalat, mengeluarkan zakat,

mengerjakan ibadah haji. Namun teknik operasional tidak dijumpai di dalam Al-Quran, teknik pelaksanaan tersebut dijelaskan di dalam hadits. 2. Hadits sebagai Bayan Takhshish Dalam hal ini hadits bertindak sebagai penjelas tentang kekhususan ayat-ayat yang masih bersifat umum. ‘Amm dalam pengertian ini adalah suatu lafaz yang menunjukkan suatu makna yang mencakup seluruh satuan makna yang tidak terbatas dalam satuan tertentu. Dengan kata lain, semua lafaz yang mencakup semua makna yang pantas dengan suatu ucapan saja. Misalnya lafaz al-Muslimun (orang-orang Islam), al-rijal (anak-anak lakilakimu), dan lain-lain.13 Misalnya, terkait informasi Al-Qur’an tentang ketentuan anak laki-laki yang dapat mewarisi orang tua dari keluarganya, di dalam Al-Qur’an dijelaskan sebagai berikut: “Allah 13

Aan Supian. Ulumul Hadits. (Bogor: IPB Press 2014). hlm. 31

8

telah mewasiatkan kepadamu tentang bagian anak-anakmu, yakni untuk laki-laki sama dengan dua bagian untuk anak perempuan”. (Q.S. An-Nisa: 11). Ayat ini tidak menjelaskan syarat-syarat untuk dapat saling mewarisi antara keluarga. Selanjutnya hal itu dijelaskan oleh hadits yang menerangkan tentang persyaratan khusus tentang kebisaan saling mewarisi tersebut, antara lain tidak berlainan agama dan tidak ada tindakan pembunuhan di antara mereka. 3. Hadis Sebagai Bayan Taqyid Bayan taqyid adalah penjelasan terhadap Al-Qur’an dengan cara membatasi ayat-ayat yang bersifat mutlak dengan keadaan, sifat dan syarat tertentu. Istilah mutlak maksudnya adalah hakikat dari suatu ayat yang hanya berorientasi pada dhahirnya tanpa memiliki limitasi yang dapat membuat pagar hukum yang sistematis. Adapun contoh hadits yang memiliki pembatasan hukum adalah:

َ ‫ ( ََل ت ُ ْق‬: ‫ّللَاِ صلى هللا عليه وسلم‬ ْ َ‫ّللَاُ َع ْن َها قَال‬ ‫سو ُل َ ه‬ ‫ي َه‬ ‫ط ُع‬ َ ِ‫َع ْن َعائ‬ ُ ‫ قَا َل َر‬:‫ت‬ ِ ‫شةَ َر‬ َ ‫ض‬ ُ ‫ظ ِل ُم ْس ِلم َولَ ْف‬ ُ ‫ َوالله ْف‬.‫صا ِعدًا ) ُمتهفَ ٌق َعلَ ْي ِه‬ :ِ‫اري‬ َ ُ‫يَد‬ ٍ ‫ق ِإ هَل فِي ُربُعِ دِين‬ َ َ‫َار ف‬ ِ ‫ظ ا َ ْلبُ َخ‬ ٍ ‫ار‬ ِ ‫س‬ َ ‫صا ِعدًا َوفِي ِر َوايَ ٍة ِل َ ْح َمدَ اِ ْق‬ َ ‫ت ُ ْق‬ ‫ َو ََل‬,‫َار‬ ٍ ‫طعُوا فِي ُربُعِ دِين‬ ٍ ‫ط ُع ا َ ْليَدُ فِي ُربُعِ دِين‬ َ َ‫َار ف‬ َ ‫ت َ ْق‬ ....‫طعُوا فِي َما ُه َو أ َ ْدنَى ِم ْن ذَ ِل َك‬

Artinya :

“Dari 'Aisyah r.a bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Tidak boleh dipotong tangan seorang pencuri, kecuali sebesar seperempat dinar atau lebih." Muttafaq Alaihi dan lafadznya menurut riwayat Muslim. Menurut Lafadz Bukhari: "Tangan seorang pencuri dipotong (jika mengambil sebesar seperempat dinar atau lebih." Menurut riwayat Ahmad: "Potonglah jika mengambil seperempat dinar dan jangan memotong jika mengambil lebih kurang daripada itu”.14 Hadits di atas dalam prakteknya yaitu membatasi hukuman pencuri yang secara hukum tetap ia dipotong tangannya sebagaimana dijelaskan secara mutlak dalam ayat:

               Artinya :

14

Bulughul Maram versi 2.0 © 1429 H / 2008 M Oleh : Pustaka Al-Hidayah, Hadis No. 1255

9

“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”.(Q.S. Al-Maidah : 38). Ayat ini menjelaskan tentang hukum mutlak potong tangan bagi pencuri laki-laki dan perempuan tanpa ada suatu pembatas takaran curiannya. Ayat ini mengobligasikan potong tangan secara mutlak. Maka, kemudian hadits datang untuk membatasi hukum bahwa yang dikenakan potongan tangan adalah bagi mereka yang mencuri seperempat dinar atau lebih. 4. Hadis sebagai Bayan Ta’kid Hadits berfungsi juga sebagai penguat hukum-hukum yang ada di dalam Al-Qur’an. Suatu ketetapan hukum tentang suatu masalah memiliki dua sumber atau argumentasi, yakni Al-Qur’an dan Sunnah. Selain itu sunnah dalam konteks ini melengkapi sebagian cabangcabang hukum yang berasal dari Al-Qur’an.15 Dalam Al-Qur’an banyak ayat yang saling menguatkan dengan sunnah. Misalnya ayat Al-Qur’an tentang puasa Ramadhan, Allah berfirman: “Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan AL-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan sebagai penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan bathil). Karena itu, barang siapa di antara kamu melihat bulan, maka hendaklah dia berpuasa pada bulan itu”. (Q.S. Al-Baqarah: 15). Ayat ini dikuatkan oleh hadits Nabi yang berbunyi: “Berpuasalah kamu setelah melihat bulan itu dan berbukalah setelah melihat bulan juga” (H.R. Bukhari-Muslim). 5. Hadits sebagai Bayan Tasyri’ Bayan tasyri’ adalah penjelasan hadits Nabi yang mendefenisikan suatu ketetapan hukum secara independen yang tidak didapati dalam nash-nash Al-Qur’an secara tekstual. Penjelasan itu muncul dengan sebab adanya permasalahan-permasalahan yang timbul di antara masyarakat. Di sinilah hadits Nabi mengeluarkan penjelasan dan sekaligus keputusan dengan tidak berorientsi terhadap Al-Qur’an namun tetap ada bimbingan langsung dari sang pemilik semesta, Allah SWT. Misalnya hadits Nabi:

15

Aan Supian. Ulumul Hadits. (Bogor: IPB Press 2014). hlm. 32

10

‫سو َل ه‬ ُ ‫نر‬ ِ‫ّللَا‬ َ َ ‫الزنَا ِد َع ْن ْالَع َْرجِ َع ْن أَبِي ُه َري َْرة َ أ‬ ِ ‫و َحدهثَنِي يَ ْحيَى َع ْن َما ِلك َع ْن أَبِي‬ ْ َ‫سله َم قَا َل ََل يُ ْج َم ُع َبيْنَ ْال َم ْرأ َ ِة َو َع هم ِت َها َو ََل َبيْن‬ ‫صلهى ه‬ ‫ال َم ْرأ َ ِة َوخَالَ ِتهَا‬ َ ‫ّللَاُ َعلَ ْي ِه َو‬ َ Artinya: “Tidak boleh menikahi seorang perempuan bersamaan dengan bibinya dari pihak bapak & tak boleh menikahi perempuan bersamaan dengan bibinya dari pihak ibunya”. (HR. Malik). Hadits di atas menjelaskan bahwa seseorang dilarang mempoligami perempuan bersamaan dengan bibinya. Disini Nabi memutuskan suatu hukum akan larangan itu. Dalam Al-Qur’an tidak ada sebuah ayat tersurat tentang larangan mengawini perempuan bersamaan dengan bibinya baik dari arah ayah maupun ibu. Hanya ada dalam Al-Qur’an keteranganketerangan tentang dilarangnya menikahi perempuan beserta keluarganya, seperti ibu, saudara, anak dan sebagainya. Disinilah hadits menjelaskan haramnya menikahi bibi perempuan yang dinikahi tanpa berorientasi terhadap Al-Qur’an dalam membuat keputusan itu.16 Imam Syafi’i berpendapat bahwa apa yang telah disunnahkan oleh Rasulullah SAW tidak terdapat dalam kitabullah, maka hal itu merupakan hukum Allah juga, sebagaimana Allah berfirman: “Sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus, yaitu jalan Allah yang kepunyaan-Nya segala apa yang ada di langit dan di bumi”. (Q.S. AlSyura: 52).

16

Aan Supian. Ulumul Hadits. (Bogor: IPB Press 2014). hlm. 33

11

BAB III PENUTUP Al-Qur’an memang merupakan pedoman umat Islam yang utama, namun isi dan redaksi dari Al-Qur’an itu sendiri masih sangat bersifat global (mujmal). Maka dari itu kedudukan hadits dalam Islam yang utama adalah menjelaskan ayat-ayat Al-Qur’an yang masih global. Rasulullah diperintahkan untuk menjelaskan tiap-tiap ajaran kepada para sahabat setelah beliau mendapatkan penjelasan dari Jibril. Peran kedua adalah agar hadits menjadi pedoman ketika muncul persoalan-persoalan yang tidak secara spesifik terdapat dalam Al-Qur’an. Setelah masa Rasulullah SAW. AlQur’an dan Hadits dijadikan sebagai rujukan para ulama untuk mengeluarkan fatwa dan aturan lainya. Karena tidak menutup kemungkinan perseteruan akan terjadi di masa yang akan datang berhubungan dengan hukum dalam Al-Qur’an. Peran yang ketiga, menjaga agar ayat-ayat Al-Qur’an tidak secara sembarangan dilencengkan sehingga seolah ayat-ayat Al-Qur’an berkontradiksi. Penjelasan Rasulullah sudah merupakan penjelasan yang dapat dipahami bahwa juga telah ditafsirkan mendalam oleh para ulama. Rasulullah yang bergelar uswatun hasanah segala ucapan dan kepribadiannya adalah pencitraan dari Al-Qur’an. Sehingga umat Islam yang mengikuti hadits-hadits Rasulullah adalah mereka yang juga taat kepada Al-Qur’an.

12

DAFTAR PUSTAKA Agus Solehudin, M dan Suyadi, Agus. 2008. Ulumul Hadis. Bandung: Pustaka Setia Khon, Abdul Majid. 2009. Ulumul Hadis. Jakarta: Bumi Aksara Noer Sulaiman, M. 2008. Antologi Ilmu Hadits. Jakarta: Gaung Persada Press Suparta, Munzier. 2008. Ilmu Hadis. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada Supian, Aan. 2014. Ulumul Hadis. Bogor: IPB Press

13

Related Documents


More Documents from ""