Makalah Sejarah Indonesia.docx

  • Uploaded by: Azkka
  • 0
  • 0
  • November 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Makalah Sejarah Indonesia.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 6,546
  • Pages: 26
MAKALAH SEJARAH INDONESIA “ KERAJAAN ISLAM DI SULAWESI ”

Disusun Oleh : 1. M. Azka Fadia 2. Mentari Imeka Putri 3. M. Ramadhani Wijaya

Guru Pembimbing : Revi Yunita S.pd

SMA N 2 LEBONG Tahun Ajaran 2019/2020

KATA PENGANTAR Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat-Nya sehingga makalah ini dapat tersusun hingga selesai. Tidak lupa kami mengucapkan banyak terimakasih kepada guru pembimbing yang telah membimbing kami dalam penyelesaian tugas kami ini. Dan harapan kami semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca, untuk kedepannya dapat memperbaiki bentuk maupun menambah isi makalah agar menjadi lebih baik. Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman kami, kami yakin masih banyak kekurangan dalam makalah ini, oleh karena itu kami sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.

Tes, 03 februari 2019

DAFTAR ISI Kata Pengantar.............................................................................................................................i Daftar Isi.....................................................................................................................................ii

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan........................................................................................1 B. Rumusan Masalah..........................................................................................................1 C. Tujuan Penulisan............................................................................................................1 D. Manfaat Penulisan..........................................................................................................2

BAB 2 PEMBAHASAN A. Kesultanan Gowa..........................................................................................................3 B. Kesultanan Buton..........................................................................................................7 C. Kesultanan Bone.........................................................................................................16 D. Kerajaan Banggai........................................................................................................15 E. Nama-Nama Raja/Sultan Kerajaan di Sulawesi…………………………………….20

BAB 3 PENUTUP A. Kesimpulan..................................................................................................................22 B. Saran............................................................................................................................22 C. Daftar Pustaka……………………………………………………………………….22

ii

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG PERMASALAHAN Munculnya kerajaan-kerajaan Islam di Sulawesi tidak terlepas dari perdagangan yang berlangsung ketika itu. Penyebaran Islam di Nusantara selalu dikaitkan dengan jalur perdagangan. Penyebaran Islam yang dilakukan para pedagang bisa dimungkinkan karena mereka pergi ke berbagai penjuru bumi. Dalam ajaran Islam setiap orang memiliki kewajiban yang sama untuk berdakwah. Setiap Muslim, apapun kedudukan dan profesinya mereka dituntut untuk dapat menyampaikan ajaran Islam walaupun hanya satu ayat al-Quran. Pada perkembangannya memang ada kelompok-kelompok yang secara khusus menjadi penyebar agama. Berikut ini adalah beberapa kerajaan Islam di Sulawesi di antaranya Gowa-Tallo, Bone, Wajo dan Soppeng, dan Kesultanan Buton. Dari sekian banyak kerajaan-kerajaan itu yang terkenal antara lain Kerajaan Gowa-Tallo. Yang paling menarik bagi kami dalam penyusunan makalah tentang keraajan Islam di Sulawesi adalah kami sengaja memuat tentang Kerajaan Gorontalo. Berbicara tentang sejarah, Gorontalo saat itu merupakan bagian dari Provinsi Sulawesi Utara, maka kami selaku penyusun sangat termotivasi untk menyusun makalah agar lebih mempelajari dan memahami Kerajaan Islam di Sulawesi terutama Kerajaan Gorontalo. B. RUMUSAN MASALAH 1. Bagaimana latar belakang lahirnya setiap kerajaan Islam di Sulawesi ? 2. Bagaimana proses masuknya Islam pada kerajaan-kerajaan Islam di Sulawesi ? 3. Bagaimana pengaruh Islam pada kerajaan-kerajaan Islam yang ada di Sulawesi ? C. TUJUAN PENULISAN 1.

Memahami latar belakang lahirnya setiap kerajaan Islam di Sulawesi.

2.

Mempelajari proses masuknya Islam pada kerajaan-kerajaan Islam di Sulawesi.

3.

Mengetahui pengaruh Islam pada kerajaan-kerajaan Islam di Sulawesi

D. MANFAAT PENULISAN Adapun manfaat penulisan tentang Kerajaan Islam di Sulawesi karena Sulawesi merupakan wilayah tempat tinggal sendiri sehingga sangat perlu mengetahui, mempelajari dan memahami sejarah kerajaan Islam yang berada di Sulawesi khususnya yang paling menarik adalah kerajaan Islam di Gorontalo itu sendiri.

2

BAB II PEMBAHASAN A. KESULTANAN GOWA Sejarah Awal Pada awalnya di daerah Gowa terdapat sembilan komunitas, yang dikenal dengan nama Bate Salapang (Sembilan Bendera), yang kemudian menjadi pusat Kerajaan Gowa: Tombolo, Lakiung, Parang-Parang, Data, Agangjene, Saumata, Bissei, Sero dan Kalili. Melalui berbagai cara, baik damai maupun paksaan, komunitas lainnya bergabung untuk membentuk Kerajaan Gowa. Cerita dari para pendahulu di Gowa mengatakan bahwa Tumanurung merupakan pendiri Kerajaan Gowa pada awal abad ke-14. Abad ke-16 Tumapa'risi' Kallonna Memerintah pada awal abad ke-16, di Kerajaan Gowa bertahta Karaeng (Penguasa) Gowa ke-9, bernama Tumapa'risi' Kallonna. Pada masa itu salah seorang penjelajah Portugis berkomentar bahwa "daerah yang disebut Makassar sangatlah kecil". Dengan melakukan perombakan besar-besaran di kerajaan, Tumapa'risi' Kallonna mengubah daerah Makassar dari sebuah konfederasi antar-komunitas yang longgar menjadi sebuah negara kesatuan Gowa. Dia juga mengatur penyatuan Gowa dan Tallo kemudian merekatkannya dengan sebuah sumpah yang menyatakan bahwa apa saja yang mencoba membuat mereka saling melawan (ampasiewai) akan mendapat hukuman Dewata. Sebuah perundang-undangan dan aturan-aturan peperangan dibuat, dan sebuah sistem pengumpulan pajak dan bea dilembagakan di bawah seorang syahbandar untuk mendanai kerajaan. Begitu dikenangnya raja ini sehingga dalam cerita pendahulu Gowa, masa pemerintahannya dipuji sebagai sebuah masa ketika panen bagus dan penangkapan ikan banyak. Dalam sejumlah penyerangan militer yang sukses penguasa Gowa ini mengalahkan negara tetangganya, termasuk Siang dan menciptakan sebuah pola ambisi imperial yang kemudian berusaha ditandingi oleh penguasa-penguasa setelahnya pada abad ke-16 dan ke17. Kerajaan-kerajaan yang ditaklukkan oleh Tumapa'risi' Kallonna diantaranya adalah Kerajaan Siang, serta Kesultanan Bone, walaupun ada yang menyebutkan bahwa Bone ditaklukkan oleh Tunipalangga. Tunipalangga Tunipalangga dikenang karena sejumlah pencapaiannya, seperti yang disebutkan dalam Kronik (Cerita para pendahulu) Gowa, diantaranya adalah: 1. Menaklukkan dan menjadikan bawahan Bajeng, Lengkese, Polombangkeng, Lamuru, Soppeng, berbagai negara kecil di belakang Maros, Wajo, Suppa, Sawitto, Alitta,

Duri, Panaikang, Bulukumba dan negara-negara lain di selatan, dan wilayah pegunungan di selatan. 3 2. Orang pertama kali yang membawa orang-orang Sawitto, Suppa dan Bacukiki ke Gowa. 3. Menciptakan jabatan Tumakkajananngang. 4. Menciptakan jabatan Tumailalang untuk menangani administrasi internal kerajaan, sehingga Syahbandar leluasa mengurus perdagangan dengan pihak luar. 5. Menetapkan sistem resmi ukuran berat dan pengukuran 6. Pertama kali memasang meriam yang diletakkan di benteng-benteng besar. 7. Pemerintah pertama ketika orang Makassar mulai membuat peluru, mencampur emas dengan logam lain, dan membuat batu bata. 8. Pertama kali membuat dinding batu bata mengelilingi pemukiman Gowa dan Sombaopu. 9. Penguasa pertama yang didatangi oleh orang asing (Melayu) di bawah Anakhoda Bonang untuk meminta tempat tinggal di Makassar. 10. Yang pertama membuat perisai besar menjadi kecil, memendekkan gagang tombak (batakang), dan membuat peluru Palembang. 11. Penguasa pertama yang meminta tenaga lebih banyak dari rakyatnya. 12. Penyusun siasat perang yang cerdas, seorang pekerja keras, seorang narasumber, kaya dan sangat berani. Abad ke-17

Gambar Sultan Hasanuddin dalam perangko yang diterbitkan tahun2006. Pada tahun 1666, di bawah pimpinan Laksamana Cornelis Speelman, VOC berusaha menundukkan kerajaan-kerajaan kecil di Sulawesi, tetapi belum berhasil menundukkan Kesultanan Gowa. Di lain pihak, setelah Sultan Hasanuddin naik tahta, ia berusaha menggabungkan kekuatan kerajaan-kerajaan kecil di Indonesia bagian timur untuk melawan VOC (Kompeni). Pertempuran terus berlangsung, Kompeni menambah kekuatan pasukannya hingga pada akhirnya Gowa terdesak dan semakin lemah sehingga pada tanggal 18 November 1667 bersedia mengadakan Perjanjian Bungaya di Bungaya. Gowa merasa dirugikan, karena itu Sultan Hasanuddin mengadakan perlawanan lagi. Akhirnya pihak Kompeni minta bantuan

tentara ke Batavia. Pertempuran kembali pecah di berbagai tempat. Sultan Hasanuddin memberikan perlawanan sengit.

Bantuan tentara dari luar menambah kekuatan pasukan VOC, hingga akhirnya Kompeni berhasil menerobos benteng terkuat milik Kesultanan Gowa yaitu Benteng Somba Opu pada tanggal 12 Juni 1669. Sultan Hasanuddin kemudian mengundurkan diri dari tahta kerajaan dan wafat pada tanggal 12 Juni 1670. Abad ke-20 Kesultanan Gowa telah mengalami pasang surut dalam perkembangan sejak Raja Gowa ke-1, Tumanurung, hingga mencapai puncak keemasannya pada abad ke-17, hingga kemudian mengalami masa penjajahan di bawah kekuasaan Belanda. Dalam pada itu, sistem pemerintahan mengalami transisi pada masa Raja Gowa ke-36, Andi Idjo Karaeng Lalolang Sultan Muhammad Abdul Kadir Aidudin, menyatakan Kesultanan Gowa bergabung menjadi bagian Republik Indonesia yang merdeka dan bersatu, dan berubah bentuk dari kerajaan menjadi Daerah Tingkat II Kabupaten Gowa. Sehingga dengan perubahan tersebut, Andi Idjo pun tercatat dalam sejarah sebagai Raja Gowa terakhir dan sekaligus Bupati Kabupaten Gowa pertama. Keadaan Sosial-Budaya

Deretan kapal Pinisi di Pelabuhan Paotere. Sebagai negara maritim, maka sebagian besar masyarakat Gowa adalah nelayan dan pedagang. Mereka giat berusaha untuk meningkatkan taraf kehidupannya, bahkan tidak jarang dari mereka yang merantau untuk menambah kemakmuran hidupnya. Walaupun masyarakat Gowa memiliki kebebasan untuk berusaha dalam mencapai kesejahteraan hidupnya, tetapi dalam kehidupannya mereka sangat terikat dengan norma adat yang mereka anggap sakral. Norma kehidupan masyarakat diatur berdasarkan adat dan agama Islam yang disebut Pangadakkang. Dan masyarakat Gowa sangat percaya dan taat terhadap normanorma tersebut. Di samping norma tersebut, masyarakat Gowa juga mengenal pelapisan sosial yang terdiri dari lapisan atas yang merupakan golongan bangsawan dan keluarganya disebut dengan Anakarung atau Karaeng, sedangkan rakyat kebanyakan disebut to Maradeka dan masyarakat lapisan bawah disebut dengan golongan Ata[2].

Dari segi kebudayaan, maka masyarakat Gowa banyak menghasilkan benda-benda budaya yang berkaitan dengan dunia pelayaran. Mereka terkenal sebagai pembuat kapal. Jenis kapal yang dibuat oleh orang Gowa dikenal dengan nama Pinisi dan Lombo. Kapal Pinisi dan Lombo merupakan kebanggaan rakyat Sulawesi Selatan dan terkenal hingga mancanegara.

Para Raja dan Sultan Gowa I Mangimangi Daeng Matutu Karaeng Bonto Nompo Sultan Muhammad Tahur Muhibuddin Tuminanga ri Sungguminasa (bertahta 1936-1946) mendengarkan pidato pengangkatan pejabat gubernur Celebes, Tn. Bosselaar (awal tahun 1930-an).

Istana Balla Lompoa di Sungguminasa, Kabupaten Gowa pada tahun 2013. 1. Tumanurung (±1300) 2. Tumassalangga Baraya 3. Puang Loe Lembang 4. I Tuniatabanri 5. Karampang ri Gowa 6. Tunatangka Lopi (±1400) 7. Batara Gowa Tuminanga ri Paralakkenna 8. Pakere Tau Tunijallo ri Passukki 9. Daeng Matanre Karaeng Tumapa'risi' Kallonna (awal abad ke-16) 10. I Manriwagau Daeng Bonto Karaeng Lakiyung Tunipallangga Ulaweng (1546-1565) 11. I Tajibarani Daeng Marompa Karaeng Data Tunibatte 12. I Manggorai Daeng Mameta Karaeng Bontolangkasa Tunijallo (1565-1590) 13. I Tepukaraeng Daeng Parabbung Tuni Pasulu (1593) 14. I Mangari Daeng Manrabbia Sultan Alauddin I Tuminanga ri Gaukanna; Berkuasa mulai tahun 1593 - wafat tanggal 15 Juni 1639, merupakan penguasa Gowa pertama yang memeluk agama Islam 15. I Mannuntungi Daeng Mattola Karaeng Lakiyung Sultan Malikussaid Tuminanga ri Papang Batuna; Lahir 11 Desember 1605, berkuasa mulai tahun 1639 hingga wafatnya 6 November 1653 16. I Mallombassi Daeng Mattawang Karaeng Bonto Mangape Sultan Hasanuddin Tuminanga ri Balla'pangkana; Lahir tanggal 12 Januari 1631, berkuasa mulai tahun 1653 sampai 1669, dan wafat pada 12 Juni 1670 17. I Mappasomba Daeng Nguraga Sultan Amir Hamzah Tuminanga ri Allu'; Lahir 31 Maret 1656, berkuasa mulai tahun 1669 hingga 1674, dan wafat 7 Mei 1681

18. Sultan Mohammad Ali (Karaeng Bisei) Tumenanga ri Jakattara; Lahir 29 November 1654, berkuasa mulai 1674 sampai 1677, dan wafat 15 Agustus 1681 19. I Mappadulu Daeng Mattimung Karaeng Sanrobone Sultan Abdul Jalil Tuminanga ri Lakiyung. (1677-1709) 20. La Pareppa Tosappe Wali Sultan Ismail Tuminanga ri Somba Opu (1709-1711) 21. I Mappaurangi Sultan Sirajuddin Tuminang ri Pasi 22. I Manrabbia Sultan Najamuddin

23. I Mappaurangi Sultan Sirajuddin Tuminang ri Pasi; Menjabat untuk kedua kalinya pada tahun 1735 24. I Mallawagau Sultan Abdul Chair (1735-1742) 25. I Mappibabasa Sultan Abdul Kudus (1742-1753) 26. Amas Madina Batara Gowa (diasingkan oleh Belanda ke Sri Lanka) (1747-1795) 27. I Mallisujawa Daeng Riboko Arungmampu Tuminanga ri Tompobalang (1767-1769) 28. I Temmassongeng Karaeng Katanka Sultan Zainuddin Tuminanga ri Mattanging (1770-1778) 29. I Manawari Karaeng Bontolangkasa (1778-1810) 30. I Mappatunru / I Mangijarang Karaeng Lembang Parang Tuminang ri Katangka (1816-1825) 31. La Oddanriu Karaeng Katangka Tuminanga ri Suangga (1825-1826) 32. I Kumala Karaeng Lembang Parang Sultan Abdul Kadir Moh Aidid Tuminanga ri Kakuasanna (1826 - wafat 30 Januari 1893) 33. I Malingkaan Daeng Nyonri Karaeng Katangka Sultan Idris Tuminanga ri Kalabbiranna (1893 - wafat 18 Mei 1895) 34. I Makkulau Daeng Serang Karaeng Lembangparang Sultan Husain Tuminang ri Bundu'na; Memerintah sejak tanggal 18 Mei 1895, dimahkotai di Makassar pada tanggal 5 Desember 1895, ia melakukan perlawanan terhadap Hindia Belanda pada tanggal 19 Oktober 1905 dan diberhentikan dengan paksa oleh Hindia Belanda pada 13 April 1906, kemudian meninggal akibat jatuh di Bundukma, dekat Enrekang pada tanggal 25 Desember 1906[3] 35. I Mangimangi Daeng Matutu Karaeng Bonto Nompo Sultan Muhammad Tahur Muhibuddin Tuminanga ri Sungguminasa (1936-1946) 36. Andi Ijo Daeng Mattawang Karaeng Lalolang Sultan Muhammad Abdul Kadir Aidudin (1946-1978)[3] sekaligus menjadi Kepala Daerah TK II Gowa (bupati Gowa) pertama dan mendeklarasikan diri sebagai Raja Gowa terakhir setelah Kerajaan Gowa dinyatakan bergabung dengan NKRI. B. KESULTANAN BUTON Salah satu istana Sultan Buton yang masih dapat dijumpai di Kota Baubau

Kraton Buton pada tahun 1910-1940

Kesultanan Buton terletak di Kepulauan Buton (Kepulauan Sulawesi Tenggara) Provinsi Sulawesi tenggara, di bagian tenggara Pulau Sulawesi . Pada zaman dahulu memiliki kerajaan sendiri yang bernama kerajaan Buton dan berubah menjadi bentuk kesultanan yang dikenal dengan nama Kesultanan Buton. Nama Pulau Buton dikenal sejak zaman pemerintahan Majapahit, Patih Gajah Mada dalam Sumpah Palapa, menyebut nama Pulau Buton.

Daftar isi           

1Sejarah Awal 2Raja Buton Masuk Islam 3Pemerintahan 4Politik 5Masyarakat 6Perekonomian 7Hukum 8Bahasa 9Pertahanan 10Bidang Pertahanan 11Daftar Sultan Kesultanan Buton o 11.1Pranala luar

Sejarah Awal Mpu Prapanca juga menyebut nama Pulau Buton di dalam bukunya, Kakawin Nagarakretagama. Sejarah yang umum diketahui orang, bahwa Kerajaan Bone di Sulawesi lebih dulu menerima agama Islam yang dibawa oleh Datuk ri Bandang yang berasal dari Minangkabau sekitar tahun 1605 M. Sebenarnya Sayid Jamaluddin al-Kubra lebih dulu sampai di Pulau Buton, yaitu pada tahun 815 H/1412 M.

Ulama tersebut diundang oleh Raja Mulae Sangia i-Gola dan baginda langsung memeluk agama Islam. Lebih kurang seratus tahun kemudian, dilanjutkan oleh Syeikh Abdul Wahid bin Syarif Sulaiman al-Fathani yang dikatakan datang dari Johor. Ia berhasil mengislamkan Raja Buton yang ke-6 sekitar tahun 948 H/ 1538 M. Riwayat lain mengatakan tahun 1564 M. Walau bagaimana pun masih banyak pertikaian pendapat mengenai tahun kedatangan Syeikh Abdul Wahid di Buton. Oleh itu dalam artikel ini dirasakan perlu dikemukakan beberapa perbandingan. Dalam masa yang sama dengan kedatangan Syeikh Abdul Wahid bin Syarif Sulaiman al- Fathani, diriwayatkan bahwa di Callasusung (Kulisusu), salah sebuah daerah kekuasaan Kerajaan Buton, didapati semua penduduknya beragama Islam. Selain pendapat yang menyebut bahwa Islam datang di Buton berasal dari Johor, ada pula pendapat yang menyebut bahwa Islam datang di Buton berasal dari Ternate. Dipercayai orang-orang Melayu dari berbagai daerah telah lama sampai di Pulau Buton.

Mengenainya dapat dibuktikan bahwa walaupun Bahasa yang digunakan dalam Kerajaan Buton ialah bahasa Wolio, namun dalam masa yang sama digunakan Bahasa Melayu, terutama bahasa Melayu yang dipakai di Malaka, Johor dan Patani. Orang-orang Melayu tinggal di Pulau Buton, sebaliknya orang-orang Buton pula termasuk kaum yang pandai belayar seperti orang Bugis juga. Orang-orang Buton sejak lama merantau ke seluruh pelosok dunia Melayu dengan menggunakan perahu berukuran kecil yang hanya dapat menampung lima orang, hingga perahu besar yang dapat memuat barang sekitar 150 ton. Raja Buton Masuk Islam Kerajaan Buton secara resminya menjadi sebuah kerajaan Islam pada masa pemerintahan Raja Buton ke-6, iaitu Timbang Timbangan atau Lakilaponto atau Halu Oleo. Bagindalah yang diislamkan oleh Syeikh Abdul Wahid bin Syarif Sulaiman al-Fathani yang datang dari Johor. Menurut beberapa riwayat bahwa Syeikh Abdul Wahid bin Syarif Sulaiman al-Fathani sebelum sampai di Buton pernah tinggal di Johor. Selanjutnya bersama isterinya pindah ke Adonara (Nusa Tenggara Timur). Kemudian dia sekeluarga berhijrah pula ke Pulau Batu atas yang termasuk dalam pemerintahan Buton. Berkas:Rajaterakhir4.jpg Sultan Buton ke 38, Muhamad Falihi Kaimuddin bersama Presiden RI Pertama Soekarno Di Pulau Batu atas, Buton, Syeikh Abdul Wahid bin Syarif Sulaiman al-Fathani bertemu Imam Pasai yang kembali dari Maluku menuju Pasai (Aceh). Imam Pasai menganjurkan Syeikh Abdul Wahid bin Syarif Sulaiman al-Fathani pergi ke Pulau Buton, menghadap Raja Buton. Syeikh Abdul Wahid setuju dengan anjuran yang baik itu. Setelah Raja Buton memeluk Islam, Baginda langsung ditabalkan menjadi Sultan Buton oleh Syeikh Abdul Wahid pada tahun 948 H/1538 M.

Mengenai tahun tersebut, masih dipertikaikan karena sumber lain menyebutkan bahwa Syeikh Abdul Wahid merantau dari Patani-Johor ke Buton pada tahun 1564 M. Sultan Halu Oleo dianggap sebagai Sultan Buton pertama, bergelar Sultan atau Ulil Amri dan menggunakan gelar yang khusus yaitu Sultan Qaimuddin. Maksud perkataan ini ialah Kuasa Pendiri Agama Islam. Dalam riwayat yang lain menyebut bahawa yang melantik Sultan Buton yang pertama memeluk Islam, bukan Syeikh Abdul Wahid tetapi guru dia yang sengaja didatangkan dari Patani. Raja Halu Oleo setelah ditabalkan sebagai Sultan Kerajaan Islam Buton pertama, dinamakan Sultan Murhum. Ketika diadakan Simposium Pernaskahan Nusantara Internasional IV, 18 - 20 Julai 2000 di Pekan Baru, Riau, salah satu kertas kerja membicarakan beberapa aspek tentang Buton, yang dibentang oleh La Niampe, yang berasal dari Buton. Hasil wawancara saya kepadanya adalah sebagai berikut:

1. Syeikh Abdul Wahid pertama kali sampai di Buton pada tahun 933 H/1526 M. 2. Syeikh Abdul Wahid sampai ke Buton kali kedua pada tahun 948 H/1541 M. 3. Kedatangan Syeikh Abdul Wahid yang kedua di Buton pada tahun 948 H/1541 M bersama guru dia yang bergelar Imam Fathani. Ketika itulah terjadi pengislaman beramai-ramai dalam lingkungan Istana Kesultanan Buton dan sekaligus melantik Sultan Murhum sebagai Sultan Buton pertama. Maklumat lain, kertas kerja Susanto Zuhdi berjudul Kabanti Kanturuna Mohelana Sebagai Sumber Sejarah Buton, menyebut bahawa Sultan Murhum, Sultan Buton yang pertama memerintah dalam lingkungan tahun 1491 M - 1537 M. Menurut Maia Papara Putra dalam bukunya, Membangun dan Menghidupkan Kembali Falsafah Islam Hakiki Dalam Lembaga Kitabullah, bahawa ``Kesultanan Buton menegakkan syariat Islam ialah tahun 1538 Miladiyah. Berkas:Kesultanan Buton.jpg Jika kita bandingkan tahun yang saya sebutkan (1564 M), dengan tahun yang disebutkan oleh La Niampe (948 H/1541 M) dan tahun yang disebutkan oleh Susanto Zuhdi (1537 M), berarti dalam tahun 948 H/1541 M dan tahun 1564 M, Sultan Murhum tidak menjadi Sultan Buton lagi karena masa dia telah berakhir pada tahun 1537 M. Setelah meninjau pelbagai aspek, nampaknya kedatangan Syeikh Abdul Wahid di Buton dua kali (tahun 933 H/1526 M dan tahun 948 H/1541 M) yang diberikan oleh La Niampe adalah lebih meyakinkan. Yang menarik pula untuk dibahas ialah keterangan La Niampe yang menyebut bahawa ``Kedatangan Syeikh Abdul Wahid yang kedua kali di Buton pada tahun 948 H/1541 M itu bersama Imam Fathani mengislamkan lingkungan Istana Buton, sekaligus melantik Sultan Murhum sebagai Sultan Buton yang pertama. Apa sebab Sultan Buton yang pertama itu dilantik/dinobatkan oleh Imam Fathani? Dan apa pula sebabnya sehingga Sultan Buton

yang pertama itu bernama Sultan Murhum, sedangkan di Patani terdapat satu kampung bernama Kampung Parit Murhum. Kampung Parit Murhum berdekatan dengan Kerisik, iaitu pusat seluruh aktivitas Kesultanan Fathani Darus Salam pada zaman dahulu. Semua yang tersebut itu sukar untuk dijawab. Apakah semuanya ini secara kebetulan saja atau pun memang telah terjalin sejarah antara Patani dan Buton sejak lama, yang memang belum diketahui oleh para penyelidik. Namun walau bagaimanapun jauh sebelum ini telah ada orang yang menulis bahwa ada hubungan antara Patani dengan Ternate. Dan cukup terkenal legenda bahawa orang Buton sembahyang Jumaat di Ternate. Jika kita bandingkan dengan semua sistem pemerintahan, sama ada yang bercorak Islam maupun sekular, terdapat perbedaan yang sangat kental dengan pemerintahan Islam Buton. Kerajaan Islam Buton berdasarkan Martabat Tujuh. Daripada kenyataan ini dapat diambil kesimpulan bahwa kerajaan Islam Buton lebih mengutamakan ajaran tasawuf daripada ajaran yang bercorak zahiri. Namun ajaran syariat tidak diabaikan.

10 Semua perundangan ditulis dalam bahasa Walio menggunakan huruf Arab, yang dinamakan Buru Wolio seperti kerajaan-kerajaan Melayu menggunakan bahasa Melayu tulisan Melayu/Jawi. Huruf dan bahasa tersebut selain digunakan untuk perundangan, juga digunakan dalam penulisan salasilah kesultanan, naskhah-naskhah dan lain-lain. Tulisan tersebut mulai tidak berfungsi lagi menjelang kemerdekaan Indonesia 1945. Berkas:Bangsawan Buton.jpg Bangsawan Buton Pemerintahan Kerajaan Buton berdiri tahun 1332 M. Awal pemerintahan dipimpin seorang perempuan bergelar Ratu Wa Kaa Kaa. Kemudian raja kedua pun perempuan yaitu Ratu Bulawambona. Setelah dua raja perempuan, dilanjutkan Raja Bataraguru, Raja Tuarade, Raja Rajamulae, dan terakhir Raja Murhum. Ketika Buton memeluk agama Islam, maka Raja Murhum bergelar Sultan Murhum. Kerajaan Buton didirikan atas kesepakatan tiga kelompok atau rombongan yang datang secara bergelombang. Gelombang pertama berasal dari kerajaan Sriwijaya. Kelompok berikutnya berasal dari Kekaisaran Cina dan menetap di Buton. Kelompok ketiga berasal dari Kerajaan Majapahit. Sistem kekuasaan di Buton ini bisa dibilang menarik karena konsep kekuasaannya tidak serupa dengan konsep kekuasaan di kerajaan-kerajaan lain di nusantara. Struktur kekuasaan kesultanan ditopang dua golongan bangsawan: golongan Kaomu dan Walaka. Wewenang pemilihan dan pengangkatan sultan berada di tangan golongan Walaka, namun yang menjadi sultan harus dari golongan Kaomu. Jadi bisa dikatakan kalau seorang raja dipilih bukan berdasarkan keturunan, tetapi berdasarkan pilihan di antara yang terbaik.

Kelompok Walaka yang merupakan keturunan dari Si Panjonga memiliki tugas untuk mengumpulkan bibit-bibit unggul untuk dilatih dan dididik sedemikian rupa sehingga para calon raja memiliki bekal yang cukup ketika berkuasa nanti. Berdasarkan penelitian, Ratu Waa Kaa Kaa adalah proyek percobaan pertama kelompok Walaka ini Selain sistem pemilihan raja yang unik, sistem pemerintahannya juga bisa dikatakan lebih maju dari jamannya. Sistem pemerintahan kerajaan/kesultanan Buton dibagi dalam tiga bentuk kekuasaan. Sara Pangka sebagai lembaga eksekutif, Sara Gau sebagai lembaga legislatif, dan Sara Bhitara sebagai lembaga yudikatif. Beberapa ahli berani melakukan klaim kalau sistem ini sudah muncul seratus tahun sebelum Montesquieu mencetuskan konsep trias politica Peraturan hukum diterapkan tanpa diskriminasi, berlaku sama bagi rakyat jelata hingga sultan. Sebagai bukti, dari 38 orang sultan yang pernah berkuasa di Buton, 12 di antaranya diganjar hukuman karena melanggar sumpah jabatan. Dan hukumannya termasuk hukuman mati majelis rakyat Kesultanan Buton adalah lambang demokrasi Kesultanan Buton. di sini dirumuskan berbagai program kesultanan dan juga tempat untuk melaksanakan proses pemilihan sultan berdasarkan aspirasi masyarakat Buton.

11 Pembagian kelompok di majelis yang diatur dalam UU yang disebut Tutura ini adalah sebagai berikut: 1. Eksekutif = Sara Pangka 2. Legislatif = Sara Gau 3. Yudikatif = Sara Bitara Ada 114 anggota majelis Sara buton yang terdiri dari 3 fraksi 1. Fraksi rakyat = Beranggotakan 30 menteri/bonto ditambah 2 menteri besar yang juga mewakili pemukiman-pemukiman di wilayah Buton. 2. Fraksi pemerintahan = Pangka, Bobato, lakina Kadie yang mewakili pemerintahan. 3. Fraksi Agama = Diwakili oleh pejabat lingkungan sarakidina/sarana hukumu yang berkonsentrasi di masjid agung kesultanan Buton. Politik Masa pemerintahan Kerajaan Buton mengalami kemajuan terutama bidang Politik Pemerintahan dengan bertambah luasnya wilayah kerajaan serta mulai menjalin hubungan Politik dengan Kerajaan Majapahit, Luwu, Konawe, dan Muna. Demikian juga bidang ekonomi mulai diberlakukan alat tukar dengan menggunakan uang yang disebut Kampua (terbuat dari kapas yang dipintal menjadi benang kemudian ditenun secara tradisional menjadi kain). Memasuki masa Pemerintahan Kesultanan juga terjadi perkembangan diberbagai aspek kehidupan antara lain bidang politik dan pemerintahan dengan ditetapkannya Undang-Undang Dasar Kesultanan Buton yaitu “Murtabat Tujuh” yang di dalamnya mengatur fungsi, tugas dan kedudukan perangkat kesultanan dalam melaksanakan pemerintahan serta ditetapkannya Sistem Desentralisasi (otonomi daerah) dengan membentuk 72 Kadie (Wilayah Kecil).

Masyarakat Masyarakat Buton terdiri dari berbagai suku bangsa. Mereka mampu mengambil nilai-nilai yang menurut mereka baik untuk diformulasikan menjadi sebuah adat baru yang dilaksanakan di dalam pemerintahan kerajaan/kesultanan Buton itu sendiri. Berbagai kelompok adat dan suku bangsa diakui di dalam masyarakat Buton. Berbagai kebudayaan tersebut diinkorporasikan ke dalam budaya mereka. Kelompok yang berasal dari Tiongkok diakui dalam adat mereka. Kelompok yang berasal dari Jawa juga diakui oleh masyarakat Buton. Di sana terdapat Desa Majapahit, dan dipercaya oleh masyarakat sekitar bahwa para penghuni desa tersebut memang berasal dari Majapahit. Mereka sampai di sana karena perdagangan rempah-rempah. Dengan membuat pemukiman di sana, mereka dapat mempermudah akses dalam memperolah dan memperdagangkan rempah-rempah ke pulau Jawa. Beberapa peninggalan mereka adalah berupa gamelan yang sangat mirip dengan gamelan yang terdapat di Jawa. Imam-imam yang menjabat di dalam dewan agama juga dipercaya merupakan keturunan Arab. Mereka dengan pengetahuan agamanya diterima oleh masyarakat Buton dan dipercaya sebagai pemimpin di dalam bidang agama. Berbagai suku dan adat tersebut mampu bersatu secara baik di dalam kerajaan/kesultanan Buton. 12 Apabila kita melihat kerajaan/kesultanan lain, perbedaan itu seringkali memunculkan konflik yang berujung kepada perang saudara, bahkan perang agama. Sedangkan di Buton sendiri tercatat tidak pernah terjadi perang antara satu kelompok dengan kelompok lain, terutama bila menyangkut masalah suku dan agama. Dapat dikatakan bahwa seluruh golongan di buton merupakan pendatang. Mereka menerapkan sistem yang berdasarkan musyawarah. Para perumus sistem kekuasaan atau sistem adat di Buton juga berasal dari berbagai kelompok suku dan agama. Ada yang berasal dari semenanjung Malaysia, Si Tamanajo yang berasal dari Kerajaan Pagaruyung. Ada pula yang berasal dari Jawa yaitu Sri Batara dan Raden Jutubun yang merupakan putra dari Jayanegara. Seluruh golongan tersebut berasal dari kerajaan yang otoriter dan menerapkan sistem putera mahkota. Hampir semua peralihan kekuasaan tersebut dilakukan dengan kudeta. Di kerajaan Buton hal tersebut tidak pernah terjadi. Asumsinya, berdasarkan pengalaman pahit dalam jatuh-bangunnya pemerintahan tersebut, maka mereka yang berkumpul di tanah Buton tersebut merumuskan suatu sistem yang mampu melakukan peralihan kekuasaan tanpa harus melalui pahitnya kudeta maupun perang saudara. Mereka berkumpul di tanah Buton sejak Gajah Mada mengumumkan sumpah palapanya. Pada masa itu Kerajaan Sriwijaya mengalami kemunduran. Begitu juga Kerajaan Singosari. Seluruh raja-raja dan panglima yang tidak takluk pada Kerajaan Majapahit akan dijadikan budak. Pilihan mereka adalah dengan melarikan diri menuju tempat yang aman. Pulau Buton menjadi salah satu lokasi dimana beberapa pelarian tersebut singgah dan menetap.

Perekonomian Wilayah kerajaan/kesultanan Buton sangat strategis. Pedagang dari India, Arab, Eropa maupun Cina lebih memilih untuk melalui jalur selatan Kalimantan untuk mencapai kepulauan rempah-rempah di Maluku. Bila melalui Utara Sulawesi dan selatan kepulauan Filipina, para pedagang akan berhadapan dengan bajak laut yang banyak berkeliaran di sana. Selain itu, angin di selatan Kalimantan lebih kencang daripada di sebelah utara Sulawesi. Masyarakat Buton telah menggunakan alat tukar uang yang disebut Kampua. Kampua Sehelai kain tenun dengan ukuran 17,5 kali 8 sentimeter. Pajak juga telah diterapkan di negeri ini. Tunggu Weti sebagai penagih pajak di daerah kecil ditingkatkan statusnya menjadi Bonto Ogena disamping sebagai penanggung jawab dalam pengurusan pajak dan keuangan juga mempunyai tugas khusus selaku kepala siolimbona (saat ini hampir sama dengan ketua lembaga legislatif). Hukum Hukum dijalankan sangat tegas dengan tidak membedakan baik aparat pemerintahan maupun masyarakat umum. Hal ini terlihat dari ke 38 orang sultan yang memerintah di Buton, 12 orang menyalahgunakan kekuasaan dan melanggar sumpah jabatan dan satu di antaranya yaitu Sultan ke - VIII Mardan Ali, diadili dan diputuskan untuk dihukum mati dengan cara leher dililit dengan tali sampai meninggal yang dalam Bahasa Wolio dikenal dengan istilah digogoli.

13 Bahasa Etnik/Suku Buton sebutan bagi masyarakat yang berasal dari Kerajaan dan Kesultanan Buton, memiliki sejumlah bahasa yang berbeda tiap wilayah. Secara umum, setidaknya ada 4 bahasa yg digunakan oleh 4 kelompok/etnik masyarakat yakni Bahasa Pancana, Bahasa Cia-Cia, Bahasa Pulo (Wakatobi), dan Bahasa Moronene. Selain 4 bahasa tersebut masih terdapat pula beberapa bahasa yang digunakan oleh kelompok masyarakat yang lebih kecil, seperti bahasa Laompo/Batauga, Bahasa Barangka/Kapontori, Bahasa Wabula, Bahasa Lasalimu, Bahasa Kolencusu, Bahasa Katobengke dan sebagai bahasa pemersatu digunakan Bahasa Wolio. Bahasa Wolio ini merupakan bahasa resmi kesultanan. Pertahanan Bidang Pertahanan Bidang Pertahanan Keamanan ditetapkannya Sistem Pertahanan Rakyat Semesta dengan falsafah perjuangan yaitu : “Yinda Yindamo Arata somanamo Karo” (Harta rela dikorbankan demi keselamatan diri) “Yinda Yindamo Karo somanamo Lipu” (Diri rela dikorbankan demi keselamatan negeri)

“Yinda Yindamo Lipu somanamo Sara” (Negeri rela dikorbankan demi keselamatan pemerintah) “Yinda Yindamo Sara somanamo Agama” (Pemerintah rela dikorbankan demi keselamatan agama) Disamping itu juga dibentuk sistem pertahanan berlapis yaitu empat Barata (Wuna, Tiworo, Kulisusu dan Kaledupa), empat matana sorumba (Wabula, Lapandewa, Watumotobe dan Mawasangka) serta empat orang Bhisa Patamiana (pertahanan kebatinan). Selain bentuk pertahanan tersebut maka oleh pemerintah kesultanan, juga mulai membangun benteng dan kubu–kubu pertahanan dalam rangka melindungi keutuhan masyarakat dan pemerintah dari segala gangguan dan ancaman. Kejayaan masa Kerajaan/Kesultanan Buton (sejak berdiri tahun 1332 dan berakhir tahun 1960) berlangsung ± 600 tahun lamanya telah banyak meninggalkan warisan masa lalu yang sangat gemilang, sampai saat ini masih dapat kita saksikan berupa peninggalan sejarah, budaya dan arkeologi. Wilayah bekas Kesultanan Buton telah berdiri beberapa daerah kabupaten dan kota yaitu : Dengan wacana pembentukan Provinsi Kepulauan Buton yang terdiri dari Kabupaten Buton, Kabupaten Wakatobi, Kabupaten Buton Utara, Kota Bau-Bau, Kabupaten Buton Selatan, dan Kabupaten Buton Tengah. Serta tiga daerah yang masuk dalam Provinsi Sulawesi Tenggara Kabupaten Konawe Kepulauan, Kabupaten Bombana, Kabupaten Muna.

14

. C. KESULTANAN BONE Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas Jump to navigation Jump to search Kesultanan / Kerajaan Bone atau sering pula dikenal dengan Akkarungeng ri Bone, merupakan kesultanan yang terletak di Sulawesi bagian barat daya atau tepatnya di daerah Provinsi Sulawesi Selatan sekarang ini. Menguasai areal sekitar 2600 km2. Terbentuknya kerajaan Bone dimulai dengan kedatangan Tomanurung ri Matajang MatasilompoE yang mempersatukan 7 komunitas yang dipimpin oleh Matoa. 16 Manurung ri Matajang menikah dengan Manurung ri Toro melahirkan La Ummasa Petta Panre Bessie sebagai Arumpone kedua. Saudara perempuannya menikah dengan La Pattikkeng Arung Palakka yang melahirkan La Saliyu Karampelua sebagai Arumpone ketiga.Di masanya, kerajaan Bone semakin luas berkat keberaniannya.

Perluasan kerajaan Bone ke utara bertemu dengan kerajaan Luwu yang berkedudukan di Cenrana, muara sungai WalennaE. Terjadi perang antara Arumpone La Tenrisukki dengan Datu Luwu Dewaraja yang berakhir dengan kemenangan Bone dan Perjanjian Damai Polo MalelaE ri Unynyi. Dinamika politik militer diera itu kemudian ditanggapi dengan usulan penasehat kerajaan yaitu Kajao Laliddong pada Arumpone La Tenrirawe BongkangngE yaitu dengan membangun koalisi dengan tetangganya yaitu Wajo dan Soppeng. Koalisi itu dikenal dengan Perjanjian TellumpoccoE. Ratu Bone, We Tenrituppu adalah pemimpin Bone pertama yang masuk Islam. Namun Islam diterima secara resmi dimasa Arumpone La Tenripale Matinroe ri Tallo Arumpone keduabelas. Sebelumnya yaitu La Tenrirua telah menerima Islam namun ditolak oleh hadat Bone yang disebut Ade Pitue sehingga dia hijrah ke Bantaeng dan meninggal disana. Ketika Islam diterima secara resmi, maka susunan hadat Bone berubah. Ditambahkan jabatan Parewa Sara (Pejabat Syariat) yaitu Petta KaliE (Qadhi). Namun, posisi Bissu kerajaan tetap dipertahankan. Bone berada pada puncak kejayaannya setelah Perang Makassar, 1667-1669. Bone menjadi kerajaan paling dominan dijazirah selatan Sulawesi. Perang Makassar mengantarkan La Tenritatta Arung Palakka Sultan Saadudin sebagai penguasa tertinggi. Kemudian diwarisi oleh kemenakannya yaitu La Patau Matanna Tikka dan Batari Toja. La Patau Matananna Tikka kemudian menjadi leluhur utama aristokrat di Sulawesi Selatan. Sejak berakhirnya kekuasaan Gowa, Bone menjadi penguasa utama di bawah pengaruh Belanda di Sulawesi Selatan dan sekitarnya pada tahun 1666. Bone berada di bawah kontrol Belanda sampai tahun 1814 ketika Inggris berkuasa sementara di daerah ini, tetapi dikembalikan lagi ke Belanda pada 1816 setelah perjanjian di Eropa akibat kejatuhan Napoleon Bonaparte. Pengaruh Belanda ini kemudian menyebabkan meningkatnya perlawanan Bone terhadap Belanda, namun Belanda-pun mengirim sekian banyak ekspedisi untuk meredam perlawanan sampai akhirnya Bone menjadi bagian dari Indonesia pada saat proklamasi. Di Bone, para raja bergelar Arumponé. Daftar Arumpone Bone Manurunge Ri Matajang, Mata Silompoe, 1330-1365, Pria 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.

La Ummasa, Petta Panre Bessie, 1365-1368, Pria La Saliyu Korampelua, 1368-1470, Pria We Banrigau, Mallajange Ri Cina, 1470-1510, Wanita La Tenrisukki, Mappajunge, 1510-1535, Pria La Uliyo Bote-E, Matinroe Ri Itterung, 1535-1560, Pria La Tenrirawe Bongkange, Matinroe Ri Gucinna, 1560-1564, Pria La Inca, Matinroe Ri Addenenna, 1564-1565, Pria La Pattawe, Matinroe Ri Bettung, 1565-1602, Pria 17

9. We Tenrituppu, Matinroe Ri Sidenreng, 1602-1611, Wanita 10. La Tenriruwa, Sultan Adam, Matinroe Ri Bantaeng, 1611-1616, Pria 11. La Tenripale, Matinroe Ri Tallo, 1616-1631, Pria 12. La Maddaremmeng, Matinroe Ri Bukaka, 1631-1644, Pria

13. La Tenriaji, Arungpone, Matinroe Ri Pangkep, 1644-1672, Pria 14. La Tenritatta, Daeng Serang, Malampe-E Gemme’na, Arung Palakka, 1672-1696, Pria 15. La Patau Matanna Tikka, Matinroe Ri Nagauleng, 1696-1714, Pria 16. We Bataritoja, Datu Talaga Arung Timurung, Sultanah Zainab Zulkiyahtuddin, 17141715, Wanita 17. La Padassajati, Toappeware, Petta Rijalloe, Sultan Sulaeman, 1715-1718, Pria 18. La Pareppa, Tosappewali, Sultan Ismail, Matinroe Ri Sombaopu, 1718-1721, Pria 19. La Panaongi, Topawawoi, Arung Mampu, Karaeng Bisei, 1721-1724, Pria 20. We Bataritoja, Datu Talaga Arung Timurung, Sultanah Zainab Zulkiyahtuddin, 17241749, Wanita 21. La Temmassonge, Toappawali, Sultan Abdul Razak, Matinroe Ri Mallimongeng, 1749-1775, Pria 22. La Tenritappu, Sultan Ahmad Saleh, 1775-1812, Pria 23. La Mappasessu, Toappatunru, Sultan Ismail Muhtajuddin, Matinroe Rilebbata, 18121823, Pria 24. We Imaniratu, Arung Data, Sultanah Rajituddin, Matinroe Ri Kessi, 1823-1835, Wanita 25. La Mappaseling, Sultan Adam Najamuddin, Matinroe Ri Salassana, 1835-1845, Pria 26. La Parenrengi, Arungpugi, Sultan Ahmad Muhiddin, Matinroe Riajang Bantaeng, 1845-1857, Pria 27. We Tenriawaru, Pancaitana Besse Kajuara, Sultanah Ummulhuda, Matinroe Ri Majennang, 1857-1860, Wanita 28. La Singkeru Rukka, Sultan Ahmad Idris, Matinroe Ri Topaccing, 1860-1871, Pria 29. We Fatimah Banri, Datu Citta, Matinroe Ri Bolampare’na, 1871-1895, Wanita 30. La Pawawoi, Karaeng Sigeri, Matinroe Ri Bandung, 1895-1905, Pria 31. La Mappanyukki, Sultan Ibrahim, Matinroe Ri Gowa, 1931-1946, Pria 32. La Pabbenteng, Matinroe Ri Matuju, 1946-1951, Pria Runtuhnya Kerajaan Bone Perlawanan Rakyat Bone terhadap Belanda pada tahun 1905 dikenal dengan nama RUMPA’NA BONE. Raja Bone ke-31 Lapawawoi Karaeng Sigeri bersama putranya Abdul Hamid Baso Pagilingi yang populer dengan nama Petta Ponggawae menunjukkan kepahlawanannya dalam perang Bone melawan Belanda tahun 1905. Pendaratan tentara Belanda secara besar-besaran beserta peralatan perang yang sangat lengkap di pantai Timur Kerajaan Bone (ujung Pallette-BajoE-Ujung Pattiro), disambut dengan pernyataan perang oleh Raja bone tersebut. Tindakan penuh keberanian ini dilakukan setelah mendapat dukungan penuh dari anggota Hadat Tujuh serta Seluruh pimpinan Laskar Kerajaan Bone. Istilah RUMPA’NA BONE berasal dari pernyataan Lapawawoi Karaeng Sigeri sendiri ketika menyaksikan secara langsung Petta Ponggawae gugur diterjang peluru tentara Belanda. Gugurnya Petta Ponggawae (putranya sendiri) sebagai Panglima Kerajaan waktu itu, membuat Lapawawoi Karaeng Sigeri langsung menaikkan 18 bendera putih sebagai tanda menyerah. Rupanya La Pawawoi Karaeng Sigeri melihat bahwa putranya itu adalah benteng pertahanan dalam perlawanannya terhadap Belanda sehingga

setelah melihat putranya gugur, spontan ia berucap dengan kalimat Bugis yang kental “ RUMPA’NI BONE” (Bobollah Bone). Salah satu putra terbaik Tana Bone dalam peristiwa heroik itu adalah Arung Ponre, La Semma Daeng Marola atau lebih dikenal dengan nama Anre Guru Semma. Dia berasal dari Watapponre, sebuah perkampungan tua yang dahulu menjadi pusat pemerintahan “kerajaan” Ponre. Pada jaman dahulu ketika Kerajaan Bone belum terbentuk, Ponre adalah sebuah kerajaan kecil yang dipimpin oleh seorang Matowa atau Arung seperti halnya kerajaankerajaan kecil lain yang kemudian sama-sama melebur dalam kerajaan Bone pada masa pemerintahan Raja Bone ke-3 yaitu Lasaliyu Karampeluwa (1424–1496). Letaknya berada di puncak Bulu Ponre, sebuah gunung yang berada tepat ditengah-tengah antara Palakka, Ulaweng Bengo, Lappa Riaja, Libureng, Mare, Cina dan Barebbo, saat ini. Selama kurang lebih lima bulan (Juli-November 1905) Daeng Marola senantiasa mendampingi Lapawawoi Karaeng Sigeri bersama Petta Ponggawae melakukan perlawanan dengan taktik gerilya secara berpindah-pindah mulai dari Palakka, Pasempe, Gottang, Lamuru, dan Citta di daerah Soppeng hingga ke pusat pertahanan terakhir Bulu Awo (perbatasan Siwa dengan Tanah Toraja), tempat gugurnya Petta PonggawaE. Dalam hikayat Rumpa’na Bone yang terkenal itu, disebutkan bahwa ketika para pimpinan laskar kerajaan Bone seperti Daeng Matteppo’ Arung Bengo dari Bone Barat, Daeng Massere Dulung Ajangale dari Bone Utara, dan Arung Sigeri Keluarga Arungpone serta sejumlah Pakkanna Passiuno lainnya gugur dalam pertempuran melawan armada Belanda yang sangat lengkap persenjataannya, laskar Bone dibawah komando Panglima Perang Petta Ponggawae terdesak mundur dan bertahan di Cellu. Pada tanggal 30 Juli 1905, tentara Belanda berhasil merebut Saoraja (Istana Raja) di Watampone dan menjadikannya sebagai basis pertahanannya. Sepeninggal Panglima Perang Petta Ponggawae, laskar-laskar kerajaan Bone terpencar-pencar. Meski perlawanan masih terus berjalan terutama LaskarLaskar yang berada di wilayah selatan Kerajaan Bone di bawah komando Latemmu Page Arung Labuaja. Namun kian hari stamina laskar kerajaan Bone semakin menurun sementara serdadu Belanda terus menyisir pusat-pusat pertahanannya. Tanggal 2 Agustus 1905, tentara Belanda menyerbu ke Pasempe, akan tetapi Arumpone dengan laskar dan keluarganya sudah meninggalkan Pasempe dan mengungsi ke Lamuru dan selanjutnya ke Citta. Dalam bulan September 1905, Arumpone dengan rombongannya tiba di Pitumpanuwa Wajo. Tentara Belanda tetap mengikuti jejaknya. Daeng Marola Arung Ponre serta sejumlah laskar pemberani terus mendampingi Petta Ponggawae dan La Pawawoi Karaeng Sigeri hingga di Bulu Awo perbatasan Siwa dengan Tanah Toraja. Di Bulu Awo inilah, pada tanggal 18 November 1905, laskar Kerajaan Bone dibawah komando Panglima Petta PonggawaE kembali bertemu dengan tentara Belanda dibawah komando Kolonel van Loenen dan terjadi pertempuran habis-habisan. Pada saat itulah, Petta PonggawaE gugur terkena peluru Belanda. Lapawawoi Karaeng Sigeri akhirnya ditangkap dan dibawa ke Parepare, seterusnya ke Makassar lalu diasingkan ke Bandung dan terakhir dipindahkan ke Jakarta. Pada tanggal 11 November 1911 M. La Pawawoi Karaeng Sigeri meninggal dunia di Jakarta, maka dinamakanlah dia MatinroE ri Jakarta. Pada tahun 1976, ia dianugrahi gelar sebagai Pahlawan Nasional, dan kerangka jenazahnya dipindahkan ke Taman Makam Pahlawan Kalibata. Ketika La Pawawoi Karaeng Sigeri diasingkan ke Bandung, 19 pemerintahan di Bone hanya dilaksanakan oleh Hadat Tujuh Bone sehingga selama 26 tahun tidak ada Mangkau’ di Bone. Adapun La Semma Daeng Marola, ketika Bone benar-benar

telah di kuasai oleh Belanda, mengurungkan niatnya untuk pulang ke kampung halamannya, Ponre. La Semma Daeng Marola Arung Ponre memilih tetap berada di Bajoe dan menghembuskan nafas terakhirnya disana sehingga disebutlah ia sebagai Anre Guru Semma Suliwatang Matinroe Ribajoe.

D. KERAJAAAN BANGGAI Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas Jump to navigation Jump to search Kerajaan Banggai (bahasa Inggris: Kingdom of Banggai), adalah sebuah kerajaan di Indonesia yang terletak di bagian semenanjung timur pulau Sulawesi dan Kepulauan Banggai. Kerajaan ini pada awalnya hanya meliputi wilayah Banggai kepulauan, namun kemudian disatukan dengan wilayah Banggai daratan oleh Adi Cokro.[1][2] Bukti bahwa kerajaan Banggai sudah di kenal sejak zaman Majapahit dengan nama Benggawi setidaknya dapat di lihat dari tulisan seorang pujangga Majapahit yang bernama Mpu Prapanca dalam bukunya, "Nagarakretagama" bertarikh caka 1478 atau tahun 1365 Masehi, yang dimuat dalam seuntai syair nomor 14 bait kelima sebagai berikut[3][4]: "Ikang Saka Nusa-Nusa Mangkasara, Buntun Benggawi, Kuni, Galiayo, Murang Ling." Daftar Raja Banggai                  

1648 - 1689 Benteng Paudagar 1689 - 1705 Balantik Mbulang 1795 - 1728 Kota Abdul Gani 1728 - 1753 Bacan Abu Kasim 1753 - 1768 Mondonu Kabudo 1768 - 1773 Padongko Ansyara 1773 - 1809 Dinadat Mandaria 1809 - 1821 Galila Atondeng 1821 - 1827 Sau Tadja 1827 - 1847 Tenebak Laota 1847 - 1852 Bugis Agama 1852 - 1858 Jere Tatu Tanga (Jere Dg.Masikki) 1858 - 1870 Banggai Soak 1870 - 1882 Raja Haji Labusana Nurdin 1882 - 1900 Raja Haji Abdul Aziz 1900 - 1922 Raja Haji Abdul Rahman 1922 - 1925 Majelis Perwalian Banggai 1925 - 1939 Raja Haji Awaluddin (lahir 1939)

     

1939 - 1941 Raja Nurdin Daud-Pemangku Tomundu 1959 - 14 Agustus 2005 perantaraan 14 Agustus 2005 - 27 Januari 2010 Iskandar Zaman Awaluddin (lahir 1960 - wafat 2010) 27 Januari 2010 - 28 Januari 2010 Raja Muda Irawan Zaman Awaluddin-Pemangku (pertama kali) 27 Januari 2010 - 28 Januari 2010 Muhammad Fikran Ramadhan Iskandar Zaman (lahir 1993 - wafat 2010) 28 Januari 2010 - Raja Muda Irawan Zaman Awaluddin-Pemangku (kedua kali)

NAMA-NAMA RAJA/SULTAN DIKERJAAN ISLAM DISULAWESI 1) 1491-1537: Sultan Murhum 2) 1545-1552: Sultan La Tumparasi 3) 1566-1570: Sultan La Sangaji 4) 1578-1615: Sultan La Elangi 5) 1617-1619: Sultan La Balawo 6) 1632-1645: Sultan La Buke 7) 1645-1646: Sultan La Saparagau 8) 1647-1654: Sultan La Cila 9) 1654-1664: Sultan La Awu 10) 1664-1669: Sultan La Simbata 11) 1669-1680: Sultan La Tangkaraja 12)1680-1689: Sultan La Tumpamana 13) 1689-1697: Sultan La Umati 14) 1697-1702: Sultan La Dini 15) 1702: Sultan La Rabaenga 16) 1702-1709: Sultan La Sadaha 17) 1709-1711: Sultan La Ibi 18) 1711-1712: Sultan La Tumparasi 19) 1712-1750: Sultan Langkarieri

20) 1750-1752: Sultan La Karambau 21) 1752-1759: Sultan Hamim 22) 1759-1760: Sultan La Seha

23) 1760-1763: Sultan La Karambau 24) 1763-1788: Sultan La Jampi 25) 1788-1791: Sultan La Masalalamu 26) 1791-1799: Sultan La Kopuru 27) 1799-1823: Sultan La Badaru 28) 1823-1824: Sultan La Dani 29) 1824-1851: Sultan Muh. Idrus 30) 1851-1861: Sultan Muh. Isa 31) 1871-1886: Sultan Muh. Salihi 32) 1886-1906: Sultan Muh. Umar 33) 1906-1911: Sultan Muh. Asikin 34) 1914: Sultan Muh. Husain 35) 1918-1921: Sultan Muh. Ali 36) 1922-1924: Sultan Muh. Saifu 37) 1928-1937: Sultan Muh. Hamidi 38) 1937-1960: Sultan Muh. Falihi 39) mei 2012-19 july 2013: La Ode Muhammad Jafar

BAB III PENUTUP

A. KESIMPULAN Munculnya kerajaan-kerajaan Islam di Sulawesi tidak terlepas dari perdagangan yang berlangsung ketika itu. Penyebaran Islam di Nusantara selalu dikaitkan dengan jalur perdagangan. Penyebaran Islam yang dilakukan para pedagang bisa dimungkinkan karena mereka pergi ke berbagai penjuru bumi. Dalam ajaran Islam setiap orang memiliki kewajiban yang sama untuk berdakwah. Setiap Muslim, apapun kedudukan dan profesinya mereka dituntut untuk dapat menyampaikan ajaran Islam walaupun hanya satu ayat Al-Quran. Adapun kerajaan-kerajaan Islam yang berada di Sulawesi adalah sebagai berikut : 1. Kerajaan Gowa 2. Kesultanan Buton 3. Kesultanan Bone 4. Kerajaan Banggai B. SARAN

Sekarang ini, adat istiadat di tiap-tiap daerah semakin lama semakin luntur, padahal salah satu penyebaran agama Islam melalui perilaku adat istiadat, karena adat istiadat memiliki pesan moral dan nilai-nilai agama. Di Gorontalo sendiri, adat istiadat sebagai pemersatu Pohala’a-Pohala’a di Gorontalo semakin lama semakin diabaikan. Perkataan orang-orang tua pada saat itu sangat menyentuh hati karena seperti syair yang mengandung nilai pendidikan yang sangat mendalam. Bahkan pesan-pesan Islami terkadang melalui syair dan mampu membuat orang mencerna atau memahami maksud dan tujuan serta nilai agama.

DAFTAR PUSTKA Akhadiah, Sabarti, et al. 1999. Pembinaan Kemampuan Menulis Bahasa Indonesia. Bandung: Erlangga http://www.biografiku.com

http://www.student.cnnindonesia.com/inspirasi/20150524156729-147433.

22

Related Documents


More Documents from "Silvy Dianita Agustina"