Makalah Pajak Penghasilan Pasal 23 Revisi.docx

  • Uploaded by: Marie Muhammad
  • 0
  • 0
  • October 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Makalah Pajak Penghasilan Pasal 23 Revisi.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 6,169
  • Pages: 32
BAB II PEMBAHASAN I.

PAJAK PENGHASILAN PASAL 23

1.1.Pengertian Pajak Penghasilan Pasal 23 Pajak penghasilan Pasal 23 (PPh Pasal 23) adalah pajak yang dipotong atas penghasilan yang diterima atau diperoleh wajib pajak dalam negeri (orang pribadi dan badan) dan bentuk usaha tetap yang berasal dari modal, penyerahan jasa, atau penyelenggaraan kegiatan selain yang telah dipotong PPh Pasal 21. PPh Pasal 23 dibayar atau terutang oleh badan pemerintah atau Subjek Pajak dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya.

1.2.Pemotong PPh Pasal 23 a. Badan pemerintah b. Subjek Pajak badan dalam negeri c. Penyelenggara kegiatan d. Bentuk usaha tetap e. Perwakilan perusahaan luar negeri lainnya f. Orang pribadi sebagai Wajib Pajak dalam negeri tertentu, yang ditunjuk oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak sebagai Pemotong PPh Pasal 23, yaitu : 

Akuntan, aristek, dokter, notaris, Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), kecuali camat, pengacara, dan konsultan yang melakukan pekerjaan bebas.



Orang

pribadi

yang

menjalankan

usaha

yang

menyelanggarakan pembukuan atas pembayaran berupa sewa.

1.3.Penerima Penghasilan Yang Dipotong PPh Pasal 23

Penerima penghasilan yang dipotong PPh Pasal 23 ini disebut dengan Wajib Pajak PPh Pasal 23, yaitu : a. Wajib Pajak dalam negeri (orang pribadi dan badan). b. Bentuk Usaha Tetap (BUT).

1.4.Penghasilan Yang Dikenakan PPh Pasal 23 Penghasilan yang dikenakan PPh Pasal 23 ini disebut dengan Objek PPh Pasal 23, sesuai dengan aturan Pasal 23 UU No. 36 Tahun 2008, yaitu : a. Deviden; b. Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan sehubungan dengan jaminan pengembalian utang; c. Royalti; d. Hadiah, penghargaan, bonus, dan sejenisnya selain yang telah dipotong PPh adalah penghasilan yang diterima / diperoleh Wajib Pajak dalam negeri orang pribadi yang berasal dari penyelenggara kegiatan sehubungan dengan pelaksanaan suatu kegiatan. Perbedaan penghasilan berupa hadiah dan penghargaan yang dipotong PPh Pasal 21 dengan yang dipotong PPh Pasal 23 adalah untuk PPh Pasal 23, Wajib Pajaknya bisa Wajib Pajak dalam negeri orang pribadi maupun Wajib Pajak dalam negeri badan, tetapi untuk PPh Pasal 21 Wajib Pajaknya adalah Wajib Pajak dalam negeri orang pribadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf e UU PPh; e. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, kecuali sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta yang telah dikenai Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) UU PPh; f. Imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan, dan jasa lain selain jasa yang telah dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 UU PPh.

1.5.Penghasilan Yang Dikecualikan Dari Pemotongan PPh Pasal 23 Beberapa jenis penghasilan yang tidak dikenakan pemotongan PPh Pasal 23 (bukan Objek PPh Pasal 23) sesuai dengan Pasal 23 ayat (4) UU No. 17 Tahun 2000, yaitu : 

Penghasilan yang dibayar atau terutang kepada bank;



Sewa yang dibayarkan atau terutang sehubungan sewa guna usaha dengan hak opsi;



Deviden atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai Wajib Pajak dalam negeri, koperasi, BUMN, atau BUMD, dari penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia dengan syarat : 

Deviden berasal dari cadangan laba yang ditahan; dan



Bagi perseroan terbatas, BUMN dan BUMD yang menerima deviden, kepemilikan saham pada badan yang memberikan deviden paling rendah 25% dari jumlah modal yang disetor;



Bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroaan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma, dan kongsi, termasuk pemegang unit penyertaan kontrak investasi kolektif;



Sisa hasil usaha koperasi yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggotanya;



Penghasilan yang dibayar atau terutang kepada badan usaha atas jasa keuangan yang berfungsi sebagai penyalur pinjaman dan/atau pembiayaan. Badan usaha yang dimaksud adalah perusahaan pembiayaan

yang

telah

mendapat

izin

Menteri

Keuangan;

BUMN/BUMD yang khusus memberikan pembiayaan kepada usaha mikro, kecil, menengah, koperasi (UMKM) termasuk Perseroan Terbatas (PT) Permodalan Nasional Madani. Penghasilan yang dimaksud

adalah

imbalan

yang

diberikan

atas

pinjaman/pembiayaan termasuk pembiayaan syariah.

penyaluran

1.6. Menghitung PPh Pasal 23 PPh Pasal 23 dihitung dengan mengalikan tarif dan jumlah bruto penghasilan, yang dirumuskan sebagai berikut : PPh Pasal 23 = Tarif × Dasar Pengenaan Pajak Dasar Pengenaan Pajak = Jumlah Bruto Penghasilan

a. Tarif PPh Pasal 23: 

Tarif 15% dikenakan atas penghasilan berupa : o Deviden, o Bunga, o Royalti, o Hadiah, bonus, dan penghargaan lain yang tidak dipotong PPh Pasal 21.



Tarif 2% dikenakan atas penghasilan berupa : o Sewa, o Imbalan jasa yang tidak dipotong PPh Pasal 21.

b. Pengenaan PPh atas deviden dibedakan sebagai berikut: 

Deviden yang diterima Wajib Pajak Luar Negeri dikenakan tarif 20%.



Deviden yang diterima oleh Wajib Pajak Orang Pribadi dalam negeri dikenakan tarif 10% bersifat final (dibahas pada bab 4)



Deviden yang diterima oleh Wajib Pajak berbentuk Koperasi yang deviden tersebut berasal dari cadangan laba tidak dibagi dikecualikan dari pengenaan PPh (bukan objek pajak).



Deviden yang diterima oleh Wajib Pajak berbentuk PT dan BUMN/BUMD dengan syarat : -

Deviden tersebut berasal dari cadangan laba dan tidak dibagi, dan

-

PT

dan

BUMN/BUMD

tersebut

mempunyai

kepemilikan saham pada pemberi deviden paling

rendah 25% dari jumlah saham disetor, dikecualikan dari pengenaan PPh (bukan objek pajak). 

Deviden selain memenuhi ketentuan diatas dikenakan tarif 15% PPh Pasal 23 (tidak final).

c. Pengenaan PPh atas bunga dibedakan sebagai berikut: 

Bunga yang diterima oleh Wajib Pajak Luar Negeri dikenakan tarif 20%.



Bunga berupa bunga obligasi/diskonto obligasi yang diperdagangkan di bursa efek Indonesia dikenakan 15% bersifat final (dibahas dalam bab 4).



Bunga yang dibayarkan oleh bank kepada nasabah dikenakan tarif 20% bersifat final (dibahas dalam bab 4).



Bunga yang diterima oleh anggota koperasi atas simpanan di koperasi dengan jumlah tidak melebihi Rp240.000 sebelum dikecualikan dari pengenaan PPh (bukan objek pajak).



Bunga yang diterima oleh anggota koperasi atas simpanan di koperasi dengan jumlah melebihi Rp240.000 sebulan dikenakan tarif 10% bersifat final (dibahas dalam bab 4).



Bunga

pinjaman

selain

memenuhi

ketentua

diatas

dikenakan tarif 15% PPh pasar 23. d. Pengenaan atas sewa dibedakan sebagai berikut: 

Sewa tanah dan/atau bangunan dikenakan tarif 10% bersifat final (dibahas dalam bab 4).



Sewa selain tanah dan/atau bangunan, misalnya sewa kendaraan, alat-alat berat, mesin-mesin, dan lain-lain dikenakan tarif 15% PPh Pasal 23 (tidak final)

e. Pengenaan PPh atas hadiah dibedakan sebagai berikut: 

Hadiah undian dikenakan tarif 25% bersifat final (dibahas dalam bab 4).



Hadiah penghargaan yang diterima Wajib Pajak orang pribadi dikenakan tarif Pasal 17 UU PPh sesuai ketentuan PPh Pasal 21 bersifat final (dibahas dalam bab 5).



Hadiah penghargaan diterima oleh Wajib Pajak luar negeri selain Bentuk Usaha Tetap dikenakan tarif 20%.



Hadiah penghargaan yang diterima Wajib Pajak badan dikenakan tarif 15% PPh Pasal 23.

f. Imbalan jasa dibedakan sebagai berikut: 

Imbalan jasa yang diterima oleh Wajib Pajak orang pribadi dikenakan tarif Pasal 17 UU PPh sesuai ketentuan PPh Pasal 21 bersifat final (dibahas dalam bab 5).



Imbalan jasa yang diterima oleh Wajib Pajak Luar Negeri dikenakan tarif 20%.



Imbalan jasa yang diterima oleh Wajib Pajak badan dikenakan tarif 2% PPh Pasal 23.

Jika penerima penghasilan yang dikenakan PPh Pasal 23 tersebut ternyata tidak memiliki NPWP, maka akan dikenakan tarif 100% lebih tinggi dari tarif sebenarnya. Contohnya, Nadia menerima royalti dari PT. Bahagia namun ia tidak memiliki NPWP. Atas royalti tersebut, Nadia dikenakan PPh pasal 23 dengan tarif 200% × 15% 1.7. Dasar Pengenaan Pajak Dasar pengenaan pajak dalam PPh Pasal 23 adalah jumlah bruto penghasilan yaitu deviden, royalti, hadiah penghargaan, bonus, sewa, dan imbalan jasa lain tidak dikurangi beban apapun dan tidak dikalikan dengan persentase tertentu. Berdasarkan Peraturan MenKeu Nomor 141/PMK.03/2015, jumlah bruto imbalan jasa lain tidak termasuk PPN. Selain itu, jumlah bruto untuk imbalan lain ditentukan sebagai berikut: a. Untuk jasa katering, jumlah bruto penghasilan adalah seluruh jumlah penghasilan dengan nama dan dalam bentuk apapun yang dibayarkan, disediakan untuk dibayarkan, atau telah jatuh tempo pembayaran.

Contoh : CV Sofan merupakan usaha jasa katering. Sebuah universitas mengadakan kontrak penyediaan makanan berupa cemilan dan makan siang sebanyak 500 paket dalam 3 hari dengan harga Rp25.000 per paket. Jumlah bruto penghasilan sebagai dasar pengenaan pajak adalah 3 × 500 × Rp25.000 = Rp37.500.000. PPh Pasal 23 yang dipotong oleh Universitas tersebut adalah 2% × Rp37.500.000 = Rp750.000. b. Untuk jasa selain jasa katering, jumlah bruto penghasilan adalah seluruh jumlah penghasilan dengan nama dan dalam bentuk apapun yang dibayarkan, disediakan untuk dibayarkan atau telah jatuh tempo pembayarannya, tidak termasuk poin-poin berikut: 

Pembayaran

gaji,

upah,

pembayaran lain sebagai

honorarium,

tunjangan,

dan

imbalan sehubungan dengan

pekerjaan yang dibayarkan oleh Wajib Pajak penyedia tenaga kerja kepada tenaga kerja yang melakukan pekerjaan berdasarkan kontrak dengan pengguna jasa. Hal ini berlaku sepanjang disertai kontrak kerja dan daftar pembayaran gaji, upah, dan pembayaran lain yang berkaitan dengan pekerjaan. Contoh : CV Sarana adalah perusahaan dibidang pengadaan tenaga kerja. CV Sarana melakukan kontrak dengan Bank Artha dalam penyediaan 15 orang tenaga kerja dengan gaji Rp3.000.000/orang. Dan imbalan jasa penyediaan tersebut adalah Rp10.000.000. tenaga kerja ini selanjutnya menjadi tenaga kerja di Bank Artha. Jumlah penghasilan bruto sebagai dasar pengenaan PPh adalah Rp10.000.000. besarnya PPh Pasal 23 yang dipotong oleh Bank Artha adalah 2% × Rp10.000.000 = Rp200.000. 

Pembayaran kepada penyedia jasa atas pegadaian/pembelian barang atau material yang terkait dengan jasa yang diberikan.



Pembayaran kepada pihak ketiga yang dibayarkan melalui penyedia jasa, terkait jasa yang diberikan oleh penyedia jasa.



Pembayaran

kepada

penyedia

jasa

yang

merupakan

penggantian atas biaya yang telah dibayarkan penyedia jasa kepada pihak ketiga dalam rangka pemberian jasa yang bersangkutan. Contoh : PT. Yogya melakukan kontrak kerja dengan PT. Advertising yang berusaha dibidang agen periklanan. Pembuatan dan pemasangan iklan dipesankan dari perusahaan yang khusus menangani pembuatan dan pemasangan iklan, yaitu PT. Dinda. Kontrak antara PT. Yogya dan PT. Advertising senilai Rp158.000.000 dengan rincian sebagai berikut: - Jasa pembuatan materi iklan (dibuat PT. Adversiting) sebesar Rp50.000.000 - Fee agen (diterima PT. Adversiting) sebesar Rp8.000.000 - Biaya pembuatan dan pemasangan iklan (yang membuat PT. Dinda sehingga PT. Adversiting membayar ke PT. Dinda) sebesar Rp100.000.000. Penyelesaian : - PT. Adversiting tidak menunjukkan/melampirkan bukti kepada PT. Yogya atas pembayaran senilai Rp100.000.000 sehingga jumlah bruto sebagai dasar pengenaan PPh Pasal 23 adalah Rp158.000.000. Maka, PPh Pasal 23 yang dipotong PT Yogya adalah 2% × Rp158.000.000 = Rp3.160.000. - PT. Adversiting menunjukkan kepada PT. Yogya bukti pembayaran pemasangan iklan senilai Rp100.000.000. sehingga jumlah penghasilan bruto sebagai dasar pengenaan PPh Pasal 23 adalah Rp50.000.000 + Rp8.000.000 = Rp58.000.000. PPh Pasal 23 yang dipotong PT. Yogya untuk PT. Adversiting adalah 2% × Rp58.000.000 =

Rp1.160.000. PT. Adversiting memotong PPh Pasal 23 atas PT. Dinda sebesar 2% × Rp100.000.000 = Rp2.000.000. Pembayaran atas imbalan jasa tersebut harus disertai dengan bukti-bukti meliputi kontrak kerja, daftar pembayaran gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain, faktur pembayaran atas pengadaan/pembelian barang atau material, faktur tagian dari pihak ketiga disertai dengan perjanjian tertulis,

faktur

tagihan/bukti

pembayaran

yang

telah

dibayarkan oleh penyedia jasa kepada pihak ketiga. Apabila tidak terdapat bukti tersebut, jumlah bruto penghasilan sebagai dasar pengenaan PPh Pasal 23 menjadi sebesar nilai kontrak/pembayaran tidak dikurangi dengan pembayaran kepada

tenaga

kerja,

pembelian

material/bahan,

dan

pembayaran kepada pihak ketiga. Jenis jasa lain yang dikenakan PPh Pasal 23 sesuai Peraturan Menteri Keuangan Nomor 141/PMK.03/2015, meliputi: 1. Jasa penilai (appraisal); 2. Jasa aktuaris; 3. Jasa akuntansi, pembukuan, dan atestasi laporan keuangan; 4. Jasa hukum 5. Jasa arsitektur; 6. Jasa

perancang

kota

dan

arsitektur

lanskap

(landscape); 7. Jasa perancang; 8. Jasa pengeboran di bidang penambangan migas, kecuali yang dilakukan oleh BUT; 9. Jasa penunjang di bidang usaha panas bumi dan penambangan migas;

10. Jasa penambangan dan jasa penunjang selain di bidang usaha panas bumi dan penambangan migas; 11. Jasa penunjang di bidang penerbangan dan bandar udara; 12. Jasa penebangan hutan; 13. Jasa pengolahan limbah; 14. Jasa penyedia tenaga kerja dan/atau tenaga ahli; 15. Jasa perantara dan/atau keagenan; 16. Jasa di bidang perdagangan surat-surat berharga, kecuali yang dilakukan oleh Bursa Efek, KSEI, dan KPEI; 17. Jasa kustodian/penyimpangan/penitipan, kecuali yang dilakukan oleh KSEI; 18. Jasa pengisi suara dan/atau sulih suara; 19. Jasa mixing film; 20. Jasa pembuatan sarana promosi film, iklan, poster, foto, slide, klise, banner, pamflet, baliho, dan folder; 21. Jasa sehubungan dengan software dan hardware atau sistem komputer, termasuk perawatan, pemeliharaan, dan perbaikan; 22. Jasa pembuatan dan/atau pengelolaan website; 23. Jasa internet termasuk sambungannya; 24. Jasa penyimpanan, pengolahan, dan/atau penyaluran data informasi, dan/atau program; 25. Jasa instalasi/pemasangan mesin, peralatan listrik, telepon, air, gas, AC, dan/atau TV kabel, selain yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang ruang lingkupnya di bidang

konstruksi

dan

memiliki

izin

dan/atau

sertifikasi sebagai pengusaha konstruksi; 26. Jasa

perawatan/perbaikan/pemeliharaan

mesin,

peralatan, listrik, telepon, air, gas, AC, TV kabel, dan/atau bangunan, selain yang dilakukan Wajib Pajak

yang ruang lingkupnya di bidang konstruksi dan memiliki izin dan/atau sertifikasi sebagai pengusaha konstruksi; 27. Jasa perawatan kendaraan dan/atau alat transportasi darat, laut, dan udara; 28. Jasa maklom; 29. Penyelidikan dan keamanan; 30. Jasa penyelenggara kegiatan atau event organizer; 31. Jasa penyedia tempat dan/atau waktu dalam media massa, media luar ruang, atau media lain untuk penyampaian informasi, dan/atau jasa periklanan; 32. Jasa pembasmian hama; 33. Jasa kebersihan; 34. Jasa sedot septic tank; 35. Jasa pemeliharaan kolam; 36. Jasa katering atau tata boga; 37. Jasa freight forwading; 38. Jasa logistik; 39. Jasa pengurusan dokumen; 40. Jasa pengepakan; 41. Jasa loading dan unloading; 42. Jasa laboratorium dan/atau dilakukan oleh lembaga atau rangka penelitian akademis; 43. Jasa pengelolaan parkir; 44. Jasa penyondiran tanah; 45. Jasa penyiapan dan/atau pengelohan lahan; 46. Jasa pembibitan dan/atau penanaman bibit; 47. Jasa pemeliharaan tanaman; 48. Jasa pemanenan; 49. Jasa

pengolahan

hasil

pertanian,

perkebunan,

perikanan, peternakan, dan/atau perhutanan; 50. Jasa dekorasi;

51. Jasa percetakan/penerbitan; 52. Jasa penerjemahan; 53. Jasa pengangkutan/ekspedisi, kecuali yang telah diatur dalam Pasal 15 UU PPh; 54. Jasa pelayanan kepelabuhan; 55. Jasa pengangkutan melalui jalur pipa; 56. Jasa pengelolaan penitipan anak; 57. Jasa pelatihan dan/atau kursus; 58. Jasa pengiriman dan pengisian uang ke ATM; 59. Jasa sertifikasi; 60. Jasa survei; 61. Jasa tester; dan 62. Jasa

selain

jasa-jasa

tersebut

di

atas

yang

pembayarannya dibebankan pada APBN/APBD

1.8. PPh atas deviden, bunga, dan sewa a. Deviden Pengenaan

Perhitungan

Penerima

-

PT, koperasi,

Pajak Bukan Objek Pajak

BUMN/BUMD dengan syarat tertentu

PPh Pasal 23

15% × jumlah bruto

WP dalam negeri

PPh Pasal 26

20% × jumlah bruto

WP luar negeri

(final) PPh Pasal 17 ayat

10% × jumlah bruto

WP dalam negeri

(2C)

(final)

orang pribadi

Pengenaan

Perhitungan

Penerima

-

Perusahaan reksa dana

b. Bunga

Pajak Bukan Objek Pajak

atas bunga obligasi

PPh Pasal 23

15% × jumlah bruto

WP dalam negeri

PPh Pasal 26

20% × jumlah bruto

WP luar negeri

(final) PPh Pasal 4 ayat

20% × jumlah bruto

(2)

WP dalam negeri atas bunga deposito, tabungan

15% × jumlah bruto

Bunga obligasi pasar modal

c. Sewa Pengenaan

Perhitungan

Penerima

PPh Pasal 23

2% × jumlah bruto

WP dalam negeri

PPh Pasal 26

20% × jumlah bruto

WP luar negeri

PPh Pasal 4 ayat

10% × jumlah bruto

WP dalam negeri atas

Pajak

(2)

sewa tanah dan/atau bangunan

Contoh perhitungan : 

PT Jaya Abadi menerima bunga atas pemberian pinjaman kepada PT Perdana senilai Rp5.500.000 Jawab : PPh Pasal 23 yang dipotong PT Perdana adalah 15% × Rp5.500.000 = Rp825.000



Tuan Hakim adalah salah satu anggota koperasi Sejahtera. Pada bulan agustus 2016, ia menerima bunga simpanan dari Koperasi sebesar Rp500.000 dan menerima SHU sebesar Rp1.500.000. Jawab : Penghasilan bunga tersebut tidak dikenakan PPh Pasal 23 tetapi dikenakan PPh Pasal 4 ayat (2) sebesar 10% × Rp500.000 = Rp50.000 Pembagian SHU koperasi tidak dikenakan PPh Pasal 23 karena bukan merupakan objek pajak.



Catering Jaya memiliki NPWP. Pada tanggal 4 agustus 2016, catering Jaya memberikan jasa katering kepada Universitas Merdeka senilai Rp25.000.000 Jawab: PPh Pasal 23 yang dipotong oleh Universitas Merdeka adalah 2% × Rp25.000.000 = Rp500.000

1.9. Saat terutang, penyetoran, dan pelaporan PPh Pasal 23 a. PPh Pasal 23 terutang pada akhir bulan dilakukannya pembayaran atau pada akhir bulan terutangnya penghasilan yang bersangkutan. Hal yang dimaksud dengan saat terutangnya penghasilan yang bersangkutan adalah saat pembebanan sebagai biaya oleh pemotong pajak sesuai dengan metode pembukuan yang dianutnya. b. PPh Pasal 23 harus disetorkan oleh Pemotong Pajak selambatlambatnya tanggal 10 bulan takwim berikutnya setelah bulan saat terutangnya pajak ke bank persepsi atau Kantor Pos Indonesia. c. Pemotong

PPh

Pasal

23

diwajibkan

menyampaikan

Surat

Pemberitahuan Masa selambat-lambatnya 20 hari setelah Masa Pajak berakhir. d. Pemotong PPh Pasal 23 harus memberikan tanda bukti pemotongan kepada orang pribadi atau badan yang dibebanii Pajak Penghasilan yang dipotong. e. Pelaksanaan pemotongan, penyetoran, dan pelaporan PPh Pasal 23 dilakukan secara desentralisasi, artinya dilakukan di tempat terjadinya pembayaran atau terutangnya penghasilan yang merupakan Objek PPh Pasal 23. Hal ini dimaksudkan untuk mempermudah pengawasan terhadap pelaksanaan pemotongan PPh Pasal 23 yang pembayarannya dilakukan oleh kantor pusat, PPh Pasal 23 dipotong, disetor, dan dilakukan oleh kantor pusat, sedangkan objek PPh Pasal 23 yang pembayarannya dilakukan oleh kantor cabang, misalnya sewa kantor cabang yang bersangkutan.

II.

PAJAK PENGHASILAN PASAL 24

2.1.Pengertian Pajak Penghasilan Pasal 24 PPh Pasal 24 adalah pajak yang dibayar atau terutang di luar negeri atas penghasilan dari luar negeri yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dalam negeri, dan boleh dikreditkan terhadap total PPh terutang dalam suatu tahun pajak.

2.2.Permohonan Kredit Pajak Luar Negeri Pajak terutang atau dibayar di luar negeri akan dapat dikreditkan, tetapi dengan syarat wajib pajak menyampaikan surat permohonan kepada Direktur Jenderal Pajak dengan dilampiri : 1. Laporan keuangan tentang penghasilan yang berasal dari luar negeri; 2. Fotokopi Surat Pemberitahuan Pajak yang disampaikan di luar negeri; dan 3. Dokumen pembayaran pajak di luar negeri. Permohonan kredit pajak luar negeri tersebut harus disampaikan bersamaan dengan penyampaian SPT PPh. Direktur Jenderal Pajak bisa memperpanjang

jangka

waktu

penyampaian

lampiran-lampiran

permohonan tersebut karena alasan-alasan di luar kekuasaan Wajib Pajak. 2.3.Penggabungan Penghasilan Langkah pertama yang harus dilakukan dalam menghitung total PPh terutang dalam suatu tahun pajak adalah menentukan jumlah penghasilan (dalam negeri dan luar negeri) yang digunakan sebagai dasar untuk menghitung PPh tersebut. Untuk penghasilan yang berasal dari luar negeri berikut ketentuannya: 1. Penghasilan yang berasal dari usaha. Penggabungan penghasilan dilakukan dalam tahun diperolehnya penghasilan tersebut. 2. Penghasilan lainnya, seperti sewa, bunga, royalti, dan lain-lain. Penggabungan penghasilan dilakukan dalam tahun pajak diterimanya penghasilan tersebut.

3. Penghasilan berupa deviden yang diperoleh Wajib Pajak dalam negeri dari penyertaan modal sekurang-kurangnya 50% dari jumlah disetor atau bersama-sama dengan Wajib Pajak dalam negeri lainnya sekurang-kurang 50% dari jumlah saham disetor pada badan usaha di luar negeri yang sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek. Penggabungan ini dilakukan dalam tahun pajak saat deviden diperoleh. Saat perolehan deviden dalam rangka penggabungan penghasilan tersebut ditetapkan sesuai Keputusan Menteri Keuangan, yaitu: 1. Pada bulan ke-4 setelah akhir batas waktu kewajiban untuk menyampaikan SPT Tahunan PPh badan usaha di luar negeri untuk tahun pajak yang bersangkutan, atau; 2. Jika tidak ditentukan batas waktu penyampaian SPT Tahunan PPh, atau tidak ada kewajiban penyampaian SPT PPh, saat diperolehnya deviden adalah pada bulan ke-7 setelah tahun pajak berakhir. Penentuan besar deviden yang digabungkan adalah berdasarkan proporsi kepemilikan saham pada badan usaha luar negeri atas laba setelah pajak. Apabila terjadi pembagian deviden dalam jumlah melebih deviden berdasarkan perhitungan Wajib Pajak dalam negeri tersebut atau terjadi pembagian deviden maka kelebihan jumlah tersebut wajib dilaporkan dalam SPT Tahunan PPh pada tahun pajak dibagikannya deviden tersebut. Namun, jika sebelum jangka waktu tersebu ternyata sudah dibagikan maka deviden yang digabungkan menjadi sebesar deviden yang dibagikan tersebut. Deviden yang menjadi hak wajib pajak adalah deviden yang sekurang-kurangnya sama besarnya dengan deviden yang dihitung sebanding dengan penyertaan Wajib Pajak pada badan usaha di luar negeri. Badan usaha yang dimaksud adalah badan usaha yang berkedudukan di : a. Argentina

b. Bahama c. Bahrain d. Belize e. Bermuda f. British Isle g. Kepulauan Virgin Inggris h. Cayman Island i. Channel Island Greensey j. Channel Island Jersey k. Cook Island l. El Salvador m. Estonia n. Hong Kong o. Liechtenstein p. Lituania q. Makau r. Mauritius s. Meksiko t. Antilla Belanda u. Nikaragua v. Panama w. Paraguay x. Peru y. Qatar z. St. Lusia aa. Arab saudi bb. Venezuela cc. Vanuatu dd. Yunani ee. Zambia

Contoh 1: Selama 2016, PT Ananda yang beralamat di Yogyakarta menerima dan memperoleh penghasilan neto yang bersumber dari luar negeri. Berikut ini rinciannya. 1. Laba usaha di Singapura dalam tahun pajak 2016 Rp500.000.000. 2. Deviden atas kepemilikan saham pada X,Ltd di Australia sebesar Rp200.000.000, yaitu berasal dari keuntungan tahun 2014 yang ditetapkan dalam rapat pemegang saham tahun 2015 dan baru akan dibayarkan dalam tahun 2016. 3. Deviden atas penyertaan saham sebanyak 70% pada Y Corporation di Hong Kong yang sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek sebesar Rp60.000.000, yaitu berasal dari keuntungan saham tahun 2015 yang berdasarkan keputusan MenKeu ditetapkan akan diperoleh tahun 2016. 4. Bunga obligasi pada Z,Inc. Di Kuala Lumpur dihitung sebesar Rp80.000.000 setiap semester dan diterima pada setiap semester dengan rincian: a. Bunga semester I tahun 2016 diterima bulan September 2016 b. Bunga semester II tahun 2016 diterima pada bulan Maret 2017. Jawab : Penghasilan yang bersumber dari luar negeri yang digabungkan dengan penghasilan dalam negeri Tahun Pajak 2016 adalah penghasilan nomor 1,2,3, dan 4a. Sedangkan, penghasilan 4b digabungkan dengan penghasilan dalam negeri Tahun Pajak 2017. 2.4. Penentuan Sumber Penghasilan Dalam menentukan batas jumlah pajak atas penghasilan yang dibayarkan atau terutang di luar negeri yang boleh dikreditkan, perlu diperhatikan penentuan sumber penghasilan berikut : 1. Penghasilan dari saham dan sekuritas lainnya, maka sumber penghasilan

adalah

negara

tempat

saham/sekuritas tersebut berkedudukan.

badan

yang

menerbitkan

2. Penghasilan berupa bunga, royalti, dan sewa sehubungan dengan penggunaan harta bergerak, maka sumber penghasilan adalah negara tempat pihak yang membayarkan (atau dibebani bunga, royalti, atau penggunaan harta) tersebut berada atau berkedudukan. 3. Penghasilan berupa sewa sehubungan dengan penggunaan harta tak bergerak, maka sumber penghasilan adalah negara tempat harta tersebut bergerak. 4. Penghasilan berupa imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan, maka sumber penghasilan adalah negara tempat pihak yang membayar (atau dibebani imbalan) tersebut berada atau berkedudukan. 5. Penghasilan berupa bentuk usaha tetap, maka sumber penghasilan adalah negara tempat bentuk usaha tetap tersebut menjalankan usaha atau melakukan kegiatan. UU Pajak Penghasilan di Indonesia menganut pengertian penghasilan yang luas. Oleh karena itu, jika terdapat sumber penghasilan selain yang disebutkan di atas, maka penentuan sumber penghasilan tersebut menggunakan prinsip yang sama dengan di atas. 2.5. Besarnya Kredit Pajak Yang Diperbolehkan Ketentuan Kredit Pajak Luar Negeri : 1. Pajak atas penghasilan yang terutang atau dibayar di luar negeri yang dapat dikreditkan terdapat total PPh terutang di Indonesia hanya pajak yang langsung dikenakan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dari luar negeri tersebut. pajak atas penghasilan yang terutang di luar negeri adalah pajak atas penghasilan berkenaan dengan usaha/pekerjaan di luar negeri, sedangkan yang dimaksud dengan pajak atas penghasilan yang dibayar di luar negeri adalah pajak atas penghasilan dari modal dan penghasilan lainnya di luar negeri, seperti bunga, deviden, royalti, sewa, dan sebagainya. Contoh : PT Perdana memperoleh penghasilan neto tahun 2016 sebagai berikut : 

Penghasilan dari dalam negeri sebesar Rp500.000.000



Penghasilan dari luar negeri sebesar Rp500.000.000 (tarif pajak 40% berlaku) Maka, perhitungan kredit pajak luar negeri (PPh Pasal 24)

A. Menghitung Total PKP PKP = Penghasilan dari dalam negeri + penghasilan dari LN = Rp500.000.000 + Rp500.000.000 = Rp1.000.000.000 B. Menghitung total PPh yang terutang Tarif PPh Pasal 17 × PKP = 25% × Rp1.000.000.000 = Rp250.000.000 C. Menghitung PPh Maksimum Dikreditkan sesuai Perbandingan Penghasilan 𝑝𝑒𝑛𝑔ℎ𝑎𝑠𝑖𝑙𝑎𝑛 𝐿𝑁 × 𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑃𝑃ℎ 𝑡𝑒𝑟𝑢𝑡𝑎𝑛𝑔 𝑝𝑒𝑛𝑔ℎ𝑎𝑠𝑖𝑙𝑎𝑛 𝑑𝑎𝑙𝑎𝑚 𝑛𝑒𝑔𝑒𝑟𝑖 𝑅𝑝500.000.000 × 𝑅𝑝250.000.000 = 𝑅𝑝125.000.000 𝑅𝑝1.000.000.000 D. Menghitung PPh yang Dipotong atau Dibayarkan di LN Tarif pajak di LN × Penghasilan LN 40% × Rp500.000.000 = Rp200.000.000 Jumlah PPh yang dibayar melebihi jumlah kredit pajak yang diperbolehkan tetapi kelebihan tersebut tidak dapat diperhitungkan dengan PPh yang terutang tahun berikutnya, tidak boleh dibebankan sebagai biaya atau pengurang penghasilan, dan tidak dapat dimintakan restitusi. Perhitungan PPh Pasal 24 jika Terjadi Kerugian Usaha Dalam Negeri Jika terjadi kerugian usaha di dalam negeri maka sejumlah kerugian yang diderita tersebut dapat digabungkan/dikompensasikan dengan penghasilan yang diterima atau diperoleh di Indonesia (dalam negeri). Contoh PT Ananda, berkantor di Indonesia, memperoleh penghasilan neto pada tahun 2016 :



Di negara A, laba usaha PT Ananda sebesar Rp500.000.000 (tarif pajak 30% berlaku)



Didalam

negeri,

PT

Ananda

menderita

kerugian

sebesar

Rp100.000.000 Peredaran bruto dari kegiatan usaha dalam dan luar negeri sebesar Rp5.000.000.000. Berikut perhitungan kredit pajak luar negeri diperbolehkan (PPh Pasal 24). A. Menghitung Total PKP PKP = Penghasilan dari luar negeri - kerugian usaha = Rp500.000.000 - 100.000.000 = Rp400.000.000 B. Menghitung total PPh yang terutang 𝑅𝑝4.800.000.000 × 𝑅𝑝400.000.000 = 𝑅𝑝384.000.000 𝑅𝑝5.000.000.000 PKP yang tidak mendapat fasilitas pengurangan tarif : Rp400.000.000 – Rp384.000.000 = Rp16.000.000 PPh terutang : 50% × 25% × Rp384.000.000 25% × Rp16.000.000

= Rp 48.000.000 = Rp4.000.000 +

Tarif PPh terutang

= Rp52.000.000

C. Menghitung PPh Maksimum Dikreditkan sesuai Perbandingan Penghasilan 𝑝𝑒𝑛𝑔ℎ𝑎𝑠𝑖𝑙𝑎𝑛 𝐿𝑁 × 𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑃𝑃ℎ 𝑡𝑒𝑟𝑢𝑡𝑎𝑛𝑔 𝑝𝑒𝑛𝑔ℎ𝑎𝑠𝑖𝑙𝑎𝑛 𝑑𝑎𝑙𝑎𝑚 𝑛𝑒𝑔𝑒𝑟𝑖 𝑅𝑝500.000.000 × 𝑅𝑝52.000.000 = 𝑅𝑝65.000.000 𝑅𝑝400.000.000 D. Menghitung PPh yang Dipotong atau Dibayarkan di LN Tarif pajak di LN × Penghasilan LN 30% × Rp500.000.000 = Rp150.000.000 Kredit pajak luar negeri diperbolehkan (PPh Pasal 24) adalah Rp52.000.000 atau sebesar total PPh terutang. Jumlah ini diperoleh dengan membandingkan perhitungan total PPh terutang, PPh

maksimum dikreditkan sesuai perbandingan penghasilan, dan PPh terutang atau dibayar di luar negeri. Kemudian, dipilih nilai terendah di antara ketiganya. Perhitungan PPh Pasal 24 jika Terjadi Kerugian Usaha Luar Negeri Jika terjadi kerugian yang diderita di luar negeri maka kerugian tersebut tidak boleh digabungkan/dikompensasikan dengan penghasilan yang diterima atau diperoleh dari Indonesia. Contoh : Amalia (TK/0) domisili di Surabaya, memperoleh dan menerima penghasilan neto tahun 2016 sebagai berikut. 

Di Negara A, ia menerima penghasilan berupa sewa sebesar Rp200.000.000 (tarif pajak berlaku 40%)



Di Negara B, mengalami kerugian usaha sebesar Rp100.000.000 (tarif pajak berlaku 25%)



Di dalam negeri, laba usaha sebesar Rp200.000.000

Jawab : A. Menghitung total PKP Penghasilan dari negara A berupa sewa

= Rp200.000.000

Penghasilan dari dalam negeri berupa laba usaha = Rp200.000.000 + Jumlah penghasilan neto

= Rp400.000.000

PTKP (TK/0)

= Rp54.000.000 -

PKP

= Rp346.000.000

Jumlah penghasilan neto sama dengan PKP karena tidak terdapat kompensasi kerugian atau pengurangan lain. B. Menghitung Total PPh Yang Terutang 5% × Rp50.000.000

= Rp2.500.000

15% × Rp200.000.000

= Rp30.000.000

25% × Rp96.000.000

= Rp24.000.000 + Rp56.500.000

C. Menghitung PPh Maksimum dikreditkan di Negara A sesuai perbandingan penghasilan

𝑝𝑒𝑛𝑔ℎ𝑎𝑠𝑖𝑙𝑎𝑛 𝐿𝑁 × 𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑃𝑃ℎ 𝑡𝑒𝑟𝑢𝑡𝑎𝑛𝑔 𝑝𝑒𝑛𝑔ℎ𝑎𝑠𝑖𝑙𝑎𝑛 𝑘𝑒𝑛𝑎 𝑝𝑎𝑗𝑎𝑘 𝑅𝑝200.000.000 × 𝑅𝑝56.500.000 = 𝑅𝑝32.658.960 𝑅𝑝346.000.000 D. Menghitung PPh yang dipotong atau dibayar di negara A 40% × Rp200.000.000 = Rp80.000.000 Maka, kredit pajak luar negeri (PPh Pasal 24) adalah Rp32.658.960 atau sebesar PPh maksimumnya.

Perhitungan PPh Pasal 24 Jika Penghasilan Luar Negeri berasal dari beberapa negara Jika penghasilan luar negeri diperoleh dari beberapa negara maka besarnya batas maksimum kredit pajak luar negeri dihitung untuk masingmasing negara. Contoh : PT Yoga, berkantor di Jakarta, memperoleh dan menerima penghasilan neto pada tahun 2016 sebagai berikut : 

Di negara P, PT Yoga memperoleh penghasilan berupa laba usaha

sebesar Rp300.000.000 (tarif pajak 20% berlaku) 

Di negara Q, PT Yoga memperoleh penghasilan berupa laba usaha

sebesar Rp400.000.000 (tarif pajak 25% berlaku) 

Di negara R, PT Yoga, menerima penghasilan berupa bunga sebesar

Rp100.000.000 (tarif pajak 35% berlaku) 

Di dalam negeri, PT Yoga memperoleh penghasilan berupa laba usaha

sebesar Rp200.000.000 Peredaran bruto dari kegiatan usaha di dalam dan luar negeri sebesar Rp50.000.000.000. Berikut perhitungan PPh Pasal 24 : 1.

Menghitung total PKP

Penghasilan dari negara P berupa laba usaha

= Rp300.000.000

Penghasilan dari negara Q berupa laba usaha

= Rp400.000.000

Penghasilan dari negara R berupa bunga

= Rp100.000.000

Penghasilan dari dalam negeri berupa laba usaha = Rp200.000.000 + Jumlah penghasilan neto

= Rp1.000.000.000

Jumlah penghasilan neto sama dengan PKP karena tidak ada kompensasi kerugian atau pengurangan lain. 2.

Menghitung Total PPh Terutang

25% × Rp1.000.000.000 = Rp250.000.000 3.

Menghitung PPh Maksimum Dikreditkan sesuai perbandingan

penghasilan masing-masing negara a.

PPh Maksimum untuk Negara P 𝑃𝑒𝑛𝑔ℎ𝑎𝑠𝑖𝑙𝑎𝑛 𝑁𝑒𝑔𝑎𝑟𝑎 𝑃 × 𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑃𝑃ℎ 𝑇𝑒𝑟𝑢𝑡𝑎𝑛𝑔 𝑃𝐾𝑃 𝑅𝑝300.000.000 × 𝑅𝑝250.000.000 = 𝑅𝑝75.000.000 𝑅𝑝1.000.000.000

b.

PPh Maksimum untuk Negara Q 𝑃𝑒𝑛𝑔ℎ𝑎𝑠𝑖𝑙𝑎𝑛 𝑁𝑒𝑔𝑎𝑟𝑎 𝑄 × 𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑃𝑃ℎ 𝑇𝑒𝑟𝑢𝑡𝑎𝑛𝑔 𝑃𝐾𝑃 𝑅𝑝400.000.000 × 𝑅𝑝250.000.000 = 𝑅𝑝100.000.000 𝑅𝑝1.000.000.000

c.

PPh Maksimum untuk Negara R 𝑃𝑒𝑛𝑔ℎ𝑎𝑠𝑖𝑙𝑎𝑛 𝑁𝑒𝑔𝑎𝑟𝑎 𝑅 × 𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑃𝑃ℎ 𝑇𝑒𝑟𝑢𝑡𝑎𝑛𝑔 𝑃𝐾𝑃 𝑅𝑝100.000.000 × 𝑅𝑝250.000.000 = 𝑅𝑝25.000.000 𝑅𝑝1.000.000.000

4.

Menghitung PPh yang Dipotong atau dibayar di luar negeri untuk

masing-masing negara a.

PPh terutang atau dibayar di Negara P

Tarif Pajak Negara P × Penghasilan Negara P 20% × Rp300.000.000 = Rp60.000.000 b.

PPh terutang atau dibayar di Negara Q

Tarif Pajak Negara Q × Penghasilan Negara Q 25% × Rp400.000.000 = Rp100.000.000 c.

PPh terutang atau dibayar di Negara R

Tarif Pajak Negara R × Penghasilan Negara R 35% × Rp100.000.000 = Rp35.000.000

Total Kredit Pajak Luar Negeri diperbolehkan adalah Rp185.000.000 (Rp60.000.000 + Rp100.000.000 + Rp35.000.000) karena jumlah ini masih lebih rendah dibanding total PPh terutang Rp250.000.000

2.6. Pengurangan/Pengembalian PPh Luar Negeri Jika terjadi pengurangan/pengembalian pajak atas penghasilan yang dibayar di luar negeri, sehingga besarnya pajak yang dapat dikreditkan di Indonesia menjadi lebih kecil daripada besarnya perhitungan semua, maka selisihnya ditambahkan pada PPh yang terutang atas seluruh penghasilan Wajib Pajak dalam negeri pada tahun pengurangan/pengembalian dilakukan. Contoh : Dalam tahun pajak 2016, WP mendapatkan pengurangan pajak atas penghasilan luar negeri dengan tahun pajak 2015 sebesar Rp7.000.000; yang semula telah termasuk dalam jumlah pajak yang dikreditkan terhadap pajak yang terutang tahun 2015, sehingga jumlah sebesar Rp7.000.000 tersebut ditambahkan pada PPh yang terutang dalam Tahun Pajak 2016. Jumlah tersebut dimasukkan dalam induk SPT Tahunan setelah menghitung PPh yang terutang sebelum menentukan jumlah PPh yang terutang.

III.

PAJAK PENGHASILAN PASAL 26

3.1. Pengertian Pajak Penghasilan Pasal 26 UU NO. 36 Tahun 2008 menganut dua sistem pengenaan pajak atas penghasilan yang diterima/diperoleh Wajib Pajak Luar Negeri di Indonesia. Dua sistem pengenaan pajak tersebut, yaitu : 

Pemenuhan sendiri kewajiban perpajakannya bagi Wajib Pajak luar negeri yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui suatu bentuk usaha tetap di Indonesia;



Pemotongan oleh pihak yang wajib membayar bagi Wajib Pajak luar negeri lainnya.

Pasal 26 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 mengatur tentang pemotongan atas penghasilan yang besumber dari Indonesia yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap.

3.2.Pemotong Pajak Penghasilan Pasal 26 Pemotongan PPh Pasal 26 wajib dilakukan oleh : 1. Badan pemerintah; 2. Subjek Pajak dalam negeri; 3. Penyelenggara kegiatan; 4. Bentuk usaha tetap; 5. Perwakilan perusahaan luar negeri lainnya

yang melakukan

pembayaran kepada Wajib Pajak Luar Negeri selain bentuk usaha tetap.

3.3.Penghasilan Yang Dipotong PPh Pasal 26 (Objek PPh Pasal 26) a. Deviden; b. Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan sehubungan dengan jaminan pengembalian hutang; c. Royalti, sewa, dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta; d. Imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan; e. Hadiah dan penghargaan; f. Pensiun dan pembayaran berkala lainnya; g. Premi swap dan transaksi lingdung nilai lainnya; h. Keuntungan karena pembebasan utang.

3.4.Tarif dan Perhitungan PPh Pasal 26 A. Tarif Tarif yang dikenakan adalah 20% untuk setiap jenis penghasilan yang dikenakan PPh Pasal 26 atau sesuai dengan persetujuan penghindaran pajak berganda (P3B) antarnegara atau tax treaty.

Tarif 20% dikenakan dari dasar pengenaan pajak, dengan ketentuan, yaitu: 1. Tarif 20% dari penghasilan bruto; 2. Tarif 20% dari penghasilan neto; 3. Tarif 20% dari penghasilan kena pajak setelah dikurangi Pajak Penghasilan.

B. Perhitungan PPh Pasal 26 1. PPh Pasal 26 = Tarif 20% × penghasilan bruto Perhitungan

tersebut

diterapkan

untuk

penghasilan

yang

bersumber dari modal dalam bentuk : a. Deviden; b. Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan sehubungan dengan jaminan pengembalian hutang; c. Royalti, sewa, dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta; d. Imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan; e. Hadiah dan penghargaan; f. Pensiun dan pembayaran berkala lainnya; Sesuai PP No. 1 Tahun 2007, pengenaan PPh atas deviden yang dibayarkan kepada Subjek Pajak Luar Negeri sebesar 10%, atau tarif yang lebih rendah menurut Penghindaran Pajak Berganda yang berlaku dalam hal terdapat penanaman modal di bidangbidang usaha tertentu dan/atau di daerah-daerah tertentu. Contoh :  PT Dana adalah penerbit buku cerita anak-anak. Pada bulan Maret

2016,

perusahaan

membayarkan

royalti

sebesar

Rp100.000.000 kepada Akira Toriyama sebagai pengarang buku cerita Dragon Ball. Akira Toriyaman adalah Wajib Pajak Luar Negeri. PPh Pasal 26 yang dipotong PT Dana adalah : 20% × Rp100.000.000 = Rp20.000.000

 Jane adalah atlet asal Singapura. Pada bulan Mei 2016, ia mengikuti perlombaan lari maraton di Indonesia dan merebut hadiah sebesar US$20.000. Kurs untuk US$1 pada saat itu adalah Rp13.000 PPh Pasal 26 yang dipotong oleh penyelenggara kegiatan, yaitu: 20% × US$20.000 × Rp13.000 = Rp52.000

2. PPh Pasal 26

= 20% × penghasilan neto;

Penghasilan neto = perkiraan penghasilan neto×penghasilan bruto Perhitungan tersebut diterapkan untuk : a. Penghasilan dari penjualan harta di Indonesia; b. Premi asuransi dan reasuransi yang dibayarkan kepada perusahaa asuransi luar negeri. Besarnya perkiraan penghasilan neto dihitung berdasarkan kondisi:  Untuk premi yang dibayar tertanggung kepada perusahaan asuransi luar negeri, baik secara langsung maupun melalui pialang, besarnya perkiraan penghasilan neto adalah 50% dari jumlah premi yang dibayar. Maka, PPh Pasal 26 = 20% × (50% × penghasilan bruto) = 10% × Penghasilan Bruto = 10% × Jumlah premi yang dibayar  Untuk premi

yang dibayar perusahaan asuransi

yang

berkedudukan di Indonesia kepada perusahaan asuransi di luar negeri, baik secara langsung maupun pialang adalah 10% dari jumlah premi yang dibayar. Maka : PPh Pasal 26 = 20% × (10% × penghasilan bruto) = 2% × Penghasilan Bruto = 2% × Jumlah premi yang dibayar  Untuk premi yang dibayar perusahaan reasuransi yang berkedudukann di Indonesia kepada perusahaan asuransi di

luar negeri, baik secara langsung maupun melalui pialang adalah 5% dari jumlah premi yang dibayar. Maka: PPh Pasal 26

= 20% × (5% × penghasilan bruto) = 1% × Penghasilan Bruto = 1% × Jumlah premi yang dibayar

Contoh : 

PT Ananda adalah perusahaan persewaan gedung kantor. Pada tahun 2016, perusahaan mengasuransikan bangunan bertingkat ke perusahaan asuransi di luar negeri Building Life Inc. Premi yang dibayar PT Ananda sebesar Rp1.000.000.000 PPh Pasal 26 yang dipotong oleh PT Ananda adalah : 20% × 50% × Rp1.000.000.000 = Rp100.000.000



Pt Dimas adalah perusahaan persewaan. Pada tahun 2016 perusahaan mengasuransikan bangunan ke perusahaan asuransi dalam negeri dengan premi Rp750.000.000. untuk mengurangi resiko PT dimas mengasuransikan sebgaian polis asuransinya kepada perusahaan asuransi di luar negeri Tower Insurance Ltd. Dengan premi Rp500.000.000 PPh Pasal 26 yang harus dipotong adalah : 20% × 10% × Rp500.000.000 = Rp10.000.000

3. PPh Pasal 26 = 20% × (PKP-PPh terutang) Perhitungan tesebut diterapkan dalam bentuk usaha tetap di Indonesia yang penghasilan/sebagian labanya tidak ditanamkan kembali di Indonesia. Jika penghasilan setelah dikurangi pajak tersebut ditanamkan kembali di Indonesia, atas penghasilan tersebut tidak dipotong PPh Pasal 26 Contoh : Suatu bentuk usaha tetap di Indonesia memperoleh PKP sebesar Rp17.500.000.000 PPh Pasal 26 dihitung :

PKP

= Rp17.500.000.000

PPh terutang: 25% × Rp17.500.000.000 = Rp4.375.000.000 Penghasilan setelah dikurangi pajak

Rp13.125.000.000

PPh Pasal 26 yang terutang : 20% × Rp13.125.000.000 = Rp2.625.000.000

3.5. Sifat Pemotongan/Pemungutan, Penyetoran, dan Pelaporan PPh Pasal 26 A. Sifat pemotongan/pemungutan PPh Pasal 26 Pada prinsipnya pemotongan pajak atas penghasilan wajib pajak luar negeri adalah bersifat final, tetapi atas penghasilan berikut ini pemotongan pajaknya tidak bersifat final sehingga potongan pajak tersebut dapat dikreditkan dalam SPT Tahunan PPh. Berikut penghasilan yang pemotongannya tidak bersifat final: a. Penghasilan kantor pusat dari usaha/kegiatan, penjualan barang, atau pemberian jasa di Indonesia yang sejenis dengan yang dijalankan atau yang dilakukan oleh bentuk usaha tetap di Indonesia. b. Penghasilan berupa deviden, bunga, termasuk premium, diskonto, premi, swap, dan imbalan sehubungan dengan jaminan pengembalian utang royalti, sewa, dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta; imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan; hadiah dan penghargaan; pensiun dan pembayaran berkala lainnya; penghasilan dari penjualan harta di Indonesia; premi asuransi dan reasuransi yang dibayarkan kepada perusahaan asuransi luar negeri; PKP setelah dikurangi pajak dari suatu bentuk usaha tetap di Indonesia, kecuali jika penghasilan tersebut ditanamkan kembali di Indonesia, yang diterima atau diperoleh kantor pusat, sepanjang terdapat hubungan efektif antara bentuk usaha tetap dengan harta/kegiatan yang memberikan penghasilan tersebut. c. Penghasilan wajib pajak orang pribadi/badan luar negeri yang berubah status menjadi wajib pajak dalam negeri/bentuk usaha tetap.

B. Penyetoran dan Pelaporan PPh Pasal 26 Penghasilan berikut ini terutang PPh Pasal 26 pada akhir bulan dilakukannya pembayaran atau terutangnya penghasilan yang bersangkutan. a. Penghasilan yang bersumber dari modal dalam bentuk deviden, bunga, termasuk premium, diskonto, premi, swap, dan imbalan sehubungan dengan jaminan pengembalian utang royalti, sewa, dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta; penghasilan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan; hadiah dan penghargaan dengan nama dan dalam bentuk apapun; pensiun dan pembayaran berkala lainnya. b. Penghasilan dari penjualan harta di Indonesia. c. Premi asuransi dan reasuransi yang dibayarkan kepada perusahaan asuransi luar negeri.

Ketentuan penyetoran dan pelaporan PPh Pasal 26 : a. PPh Pasal 26 yang telah dipotong harus disetorkan selambatlambatnya tanggal 10 bulan takwim berikutnya setelah bulan saat terutangnya pajak. b. Pemotong PPh Pasal 26 diwajibkan untuk menyampaikan SPT Masa selambat-lambatnya 20 hari setelah masa pajak berakhir. c. Pemotong PPh Pasal 26 harus memberikan tanda bukti pemotongan PPh Pasal 26 kepada orang pribadi/badan yang dibebani membayar Pajak Penghasilan yang dipotong. d. Pemotong PPh Pasal 26 atas penghasilan berupa PKP sesudah dikurangi pajak dari semua bentuk usaha di Indonesia, terutang dan harus dibayar lunas selambat-lambatnya tanggal 25 bulan ketiga setelah tahun pajak/bagian tahun pajak berakhir, sebelum SPT Tahunan disampaikan. Namun,

apabila

perpanjangan

bentuk

jangka

usaha

waktu

tetap

tersebut

penyampaian

SPT

meminta Tahunan,

pemotongan PPh Pasal 26 didasarkan pada perhitungan semetara,

terutang dan harus dibayar lunas pada saat surat permohonan perpanjangan disampaikan, tetapi tidak melampaui tanggal 25 bulan ketiga setelah tahun pajak/bagian tahun pajak berakhir.

Related Documents


More Documents from "Achas"