Makalah Kelompok All.docx

  • Uploaded by: sasmitaarief
  • 0
  • 0
  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Makalah Kelompok All.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 4,804
  • Pages: 21
BLOK STOMATOGNATIK/MALOKLUSI

MAKALAH KELOMPOK

Oleh: MUH.AULIA RAMADHAN

J11116023

PUTRI MUJAHIDAH

J11116026

ANSYARI MUIS

J11116035

NURUL AULIYA

J11116312

NUR HILDAH INAYAH

J11116516

NURUL MUTMAINNAH

J11116521

SASMITA M. ARIEF

J11116524

FITRIA MAMILE

J11116525

ANDI ALIYA NURUL SYAIKAH A.

J11116530

MUHAMMAD FADIL HIDAYAT

J11116537

KHAERUNNISA IKA HANDAYANI ARIF

J11115325

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2019

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan karuniaNya, serta salam dan shalawat kepada Rasulullah Muhammad SAW beserta sahabat dan keluarganya, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini sebagai salah satu syarat dalam menyelesaikan tugas kami. Selama persiapan dan penyusunan makalah ini rampung, penulis mengalami kesulitan dalam mencari referensi. Namun berkat bantuan, saran, dan kritik dari berbagai pihak akhirnya makalah ini dapat terselesaikan.Semoga amal dan budi baik dari semua pihak mendapatkan pahala dan rahmat yang melimpah dari Allah SWT. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini terdapat banyak kekurangan dan masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran untuk menyempurnakan penulisan yang serupa di masa yang akan datang. Penulis berharap sekiranya laporan ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Aamiin

Makassar, 21 Februari 2019 Hormat Kami

Penyusun

ii

DAFTAR ISI SAMPUL ................................................................................................................. i KATA PENGANTAR ......................................................................................................... i DAFTAR ISI....................................................................................................................... ii BAB 1. PENDAHULUAN ................................................................................................. 1 1.1

Latar Belakang .................................................................................................... 1

1.2

Skenario ................................................................Error! Bookmark not defined.

1.3

Rumusan Masalah ............................................................................................... 2

1.4

Tujuan Pembelajaran........................................................................................... 2

BAB 2. PEMBAHASAN .................................................................................................... 3 2.1

Syarat yang Diperhatikan dalam Mendirikan RS..Error! Bookmark not defined.

2.2

Strategi dalam Mendirikan Rumah Sakit ..............Error! Bookmark not defined.

2.3

Standar Sarana dan Prasarana Rumah Sakit........................................................ 9

2.4

Faktor Penjamin Kualitas Pelayanan Rumah Sakit ........................................... 10

2.5

Pengertian K3 dan UU yang Mengatur ............................................................. 11

2.6

Visi dan Misi K3 ............................................................................................... 11

2.7

Prinsip K3 ......................................................................................................... 11

2.8

Indikator K3 ...................................................................................................... 12

2.9

Faktor yang Mempengaruhi Keselamatan Kerja di Lingkungan Kerja ............ 12

2.10

Faktor Penyebab K3 Terabaikan ....................................................................... 13

2.11

Efek yang Ditimbulkan jika K3 Terabaikan ..................................................... 14

2.12

Cara Mengelola Limbah Klinik ........................................................................ 14

2.13

Dampak Pengelolaan Limbah yang Buruk ....................................................... 16

BAB 3. PENUTUP ........................................................................................................... 16 3.1

Kesimpulan ....................................................................................................... 16

3.2

Saran ................................................................................................................. 17

DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................................... 17

iii

BAB 1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Ortodontik

adalah

salah satu

cabang ilmu

kedokteran

gigi

yang

mempelajari pertumbuhan, perkembangan, variasi wajah, rahang dan gigi serta perawatan perbaikannya untuk tercapainya oklusi normal (Harty dan Ogston, 2012). Perawatan ortodontik mempunyai riwayat yang panjang, anjuran tertulis yang pertama mengenai perawatan aktif dibuat oleh Aurelius Cornelius Celsus (25 SM-50M) memperkenalkan penggunaan tekanan jari untuk memperbaiki susunan gigi yang tidak teratur. Perawatan ortodontik kini mengalami peningkatan pesat di dalam perkembangan teknologinya dan sudah

dilakukan

beberapa

cara

untuk mendefinisikan

kebutuhan

akan

perawatan ortodontik (Foster, 2012). Perawatan

ortodontik

seseorang

mempunyai

tujuan

masing-masing

diantaranya estetika dan mastikasi. Perawatan ortodontik tidak hanya dapat memperbaiki susunan gigi geligi, namun dalam kasus-kasus tertentu dalam perawatannya dapat berdampak besar pada estetika

seseorang. Penampilan

wajah seseorang dapat mempunyai dampak tidak menguntungkan dalam kehidupan terutama mempengaruhi

juga

pada

psikologis

dalam penerimaan

seseorang.

Hal

lingkungan

tersebut

seseorang

dapat

sehingga

berdampak pada perkembangan karier serta derajat pandangan seseorang (Williams, et al. 2012). Perlindungan kesehatan gigi dan mulut pada masa peralihan, sesuai pengelompokan usia menurut The World Health Organization usia kanak kanak akhir (5 tahun - 12 tahun) menuju remaja awal ( 13 tahun – 20 tahun). Usia peralihan ini perlu diperhatikan lebih karena pada usia tersebut sedang terjadinya proses pertumbuhan gigi geligi agar tidak terjadinya maloklusi atau malposisi. Maloklusi dan malposisi dari gigi geligi pada usia remaja menimbulkan

efek

yang

merugikan terhadap

kesehatan

rongga

mulut

khususnya terhadap jaringan periodontal. Jaringan periodontal yang kurang sehat akan mengganggu proses mastikasi (Foster, 2012).

1

1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang diatas, maka dapat menimbulkan permasalahan, yaitu: 1. Apa saja hal-hal yang perlu diperhatikan dalam melakukan perawatan ortodonti? 1.3 Tujuan A. Tujuan Umum Mengetahui hal-hal yang perlu diperhatikan dalam perawatan ortodonti B. Tujuan Khusus a) Mengetahui biomekanika pergerakan gigi b) Mengetahui penjangkaran gigi cekat dan lepasan c) Mengetahui masa erupsi gigi decidui dan permanen d) Mengetahui apa yang dimaksud a. Kurva spee, wilson, monson e) Menggetahui tipe pergerakan gigi 1.4 Manfaat Dapat menambah wawasan pembaca, terutama bagi penulis

2

BAB 2. PEMBAHASAN

2.1 Biomekanika Pergerakan Gigi Pergerakan gigi yang diinduksi dengan pemberian gaya mekanis oleh alat ortodonsia mempunyai 3 fase dalam proses pergerakan gigi. Fase tersebut adalaht initial phase, lag phase dan postlag phase. Pada initial phase dikharakteristikkan sebagai pergerakan secara cepat dan terjadi segera setelah aplikasi gaya pada gigi. Laju fase ini sebagian besar dihubungkan dengan displacment gigi pada celah ligament preiodontal. Segera setelah fase ini, maka akan terjadi lag phase, fase ini berkebalikan dengan fase sebelumnya yang mempunyai laju yang rendah bahkan sama sekali tidak terjadi pergerakan gigi. Hialinisasi ligament periodontal pada daerah tekanan merupakan tanda utama dari fase ini dan tidak terjadi pergerakan gigi sampai sel-sel osteoklas secara lengkap menghilangkan semua jaringan nekrotik. Pada fase ketiga akan terjadi laju pergerakan secara gradual atau meningkat secara tiba-tiba.1,2 Reaksi selular dan jaringan mulai pada initial phase segera terjadi setelah gaya mekanis diaplikasikan. Gaya mekanis tersebut menyebabkan tekanan dan peregangan pada serabut ligamen periodontal serta sel-sel pada daerah ligamen periodontal didaerah tekanan dan regangan. Proses kompleks ini mengawali rekruitmen dari progenitor osteoklas dan osteoblas, seperti dimulainya ekstravasasi dan kemotraksi sel-sel radang. Keberadaan daerah hialinisasi di daerah tekanan pada fase awal sudah dilaporkan pada beberapa penelitian.2 Perubahan deformasi pada tulang alveolar yang diakibatkan gaya mekanis akan di respon oleh osteosit, yang merupakan sel yang sensitif dan sebagai mekanoreseptor pada tulang. Sel ini dalam merespon gaya mekanis dengan cara meningkatkan ekspresi glucose-6-phosphatase dehydrogenase, H-uridine, c-fos dan insulin-like growth factor-1. Sehingga akan memicu reaksi-reaksi inflamasi selanjutnya.3 Pada Bone Bending dan Piezoelectric theory3 menyebutkan bahwa ketika alat ortodonsia diaktivasi, gaya yang diberikan pada gigi disalurkan ke semua jaringan di sekelilingnya sehingga gigi akan bergerak lebih besar dibandingkan dengan lebar ligamen periodontal yang menyebabkan terjadinya defleksi pada tulang

3

alveolar. Defleksi pada tulang juga memicu keluarnya potensial elektrik pada permukaan tulang atau piezoelectric yang sering ditemukan pada material kristalin. Deformasi atau perubahan bentuk struktur kristal menghasilkan arus listrik seperti elektron yang berpindah dari molekul kristal yang satu ke molekul kristal yang lain. Bila struktur kristal mengalami deformasi, elektron bermigrasi sehingga terjadi aliran listrik. Jika terdapat tekanan maka struktur kristal masih stabil dan tidak tejadi perpindahan elektron, namun jika tekanan dilepaskan, kristal akan kembali ke bentuk semula dan aliran elektron akan terjadi pada arah yang berlawanan. Hal ini didukung oleh Krishnan and Davidovitch1 yang menyebutkan bahwa fase awal pergerakan gigi secara ortodonsia selalu melibatkan respons inflamasi akut yang ditandai oleh vasodilatasi kapiler dan migrasi leukosit ke kapiler. Selsel yang bermigrasi ini memproduksi berbagai sitokin. Sitokin ini merangsang sintesis dan sekresi berbagai substansi untuk sel target seperti prostaglandin, growth factor dan berbagai sitokin. Inflamasi akut yang terjadi merupakan initial phase dan bersifat eksudatif. Satu sampai dua hari kemudian fase inflamasi akut menjadi inflamasi kronik bersifat proliferatif yang melibatkan fibroblas, sel-sel endotel, osteoblas dan selsel tulang alveolar. Selama periode ini leukosit terus bermigrasi ke jaringan paradental dan mengatur proses remodeling.4 Keterkaitan inflamasi akut pada fase awal pergerakan gigi juga dikemukakan oleh Dolche2 (2002), yang menyebutkan bahwa Respon inflamasi akut adalah gambaran khas pada fase awal pergerakan gigi secara ortodonsia. Sitokin yang dikeluarkan oleh mononocluer cells sebagai mediator kimiawi yang berinteraksi dengan sel-sel tulang secara langsung ataupun tidak langsung. IL-1 dapat meningkatkan sintesis dan sekresi beberapa substansi termasuk prostaglandin ataupun growth factors lainnya. PG dapat menstimulasi resorbsi tulang dan meningkatkan laju pergerakan gigi secara ortodonsia. Lag phase dipresentasikan sebagai pergerakan yang terhenti, dimana terjadi rekruitmen sel-sel dan persiapan mikroenvironmen bagi ligamen periodontal dan tulang untuk mengalami remodeling. Fase ini terjadi ketika osteoklas sudak terekrut dan osteblas teraktivasi.2Gambaran fase kedua ini sejalan dengan

4

Krishnan and Davidovitch1 yang menyatakan bahwa fase kedua pada daerah tekanan dikenali dengan terjadinya penampakan susunan serabut ligamen periodontal yang abnormal. Gangguan aliran darah akibat terjadinya distorsi ini akan membawa pembentukan area hialinisasi dan terhentinya pergerakan gigi. Pembersihan jaringan nekrotik dan resopsi tulang yang berasal dari daerah alveolar bone marrow (indirect resorption) dan dari arah ligament periodontal yang normal (undermining resorption) memungkinkan dimulainya kembali pergerakan gigi. Proses komprehensif ini membutuhkan perekrutan sel-sel fagosit seperti makrofag, foreign body giant cells, dan osteoklas yang berasal dari daerah yang berbatasan dengan ligamen periodontal yang belum rusak dan kavitas alveolar bone marrow. Sel-sel ini beraktifitas secara bersamaan menghilangkan jaringan nekrotik dari ligament periodontal dan yang berbatasan dengan tulang alveolar pada daerah tekanan. Pada daerah regangan, quiescent osteoblasts (bone surface lining cells) akan membesar dan mulai memproduksi matrik tulang baru (osteoid). Progenitor osteoblast baru berasal dari populasi fibroblast-like cells (pericytes) disekitar kapiler ligament periodontal. Sel preosteoblas ini akan berproliferasi dan migrasi kearah permukaan tulang alveolar melalui serat-serat Sharpey’s secara simultan, dilanjutkan fibroblast pada daerah regangan memulai multifikasi dan remodeling matriks disekitarnya.5 Pernyataan ini didukung oleh Bien dalam fluid dynamic theory3 yang menyatakan bahwa aplikasi gaya eksternal pada gigi menyebabkan terjadinya pergerakan cairan di dalam kanalikuli. Ketika cairan kanalikuli berkurang, terjadilah apoptosis osteosit yang terdapat dalam tulang kemudian akan menarik osteoklas sehingga terjadi resorbsi tulang. Pada fase lanjut pergerakan gigi secara ortodonsia, juga dikenal sebagai fase akselerasi dan linear. Pada daerah tekanan gigi menunjukkan serat kolagen tanpa orientasi yang tepat. Permukaan tulang yang tidak beraturan ditemukan yang mengindikasikan terjadinya resorpsi langsung atau frontal. Namun, pada beberapa penelitian terbaru ditunjukkan bahwa zona hialinisasi pada daerah tekanan terjadi pada tahap ini khususnya pada daerah yang diaplikasikan gaya tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa pembentukan dan penghilangan daerah nekrotik merupakan proses yang terjadi secara terus menerus atau lebih dari satu kejadian selama

5

pergerakan gigi. Selain itu juga menunjukkan bahwa resopsi tulang pada daerah tekanan

bukan

merupakan

reaksi

terhadap

gaya

tetapi

terjadi

untuk

menghilangakan jaringan tulang iskemik yang berdekatan dengan jaringan hialinisasi. Resorpsi tulang langsung selanjutnya dapat dianggap sebagai bagian dari proses remodeling. Dan didaerah regangan terjadi deposisi, keberadaannya ditandai dengan alkaline phosphatase osteoblastic.6,2 Selain itu, dalam pressure tension theory3 menyebutkan bahwa bila terjadi hialinisasi dan undermining resorption maka pergerakan gigi akan melambat. Hal ini mungkin disebabkan oleh lambatnya stimulasi pembentukan osteoklas pada sumsum tulang dan lebih tebalnya tulang yang harus diresorpsi. Pergerakan gigi yang simultan terjadi pada resorbsi frontal, sedang pada pemberian tekanan yang besar, pergerakan gigi seperti melompat. Sedangkan Farrar dalam Bone Bending dan Piezoelectric theory3 menyatakan bahwa pada saat gigi diberi tekanan, tulang alveolar di sekitarnya akan mengalami tekukan. Daerah yang cekung diasosiasikan dengan arus negative dan menyebabkan deposisi tulang sedangkan daerah yang cembung diasosiasikan dengan arus positif dan menyebabkan resorbsi tulang. Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa Mekanisme pergerakan gigi secara ortodonsia mempunyai tiga fase yaitu initial phase¸ lag phase dan postlag fase. Ketiga fase tersebut terjadi secara berkesinambungan, sehingga bila terjadi gangguan pada salah satu fase maka proses pergerakan gigi juga terganggu. 2.2 Penjangkaran Gigi Cekat dan Lepasan Pergerakan sebuah gigi maupun sekelompok gigi secara ortodonti terjadi akibat penerapan gaya yang disalurkan oleh komponen aktif, seperti pegas, busur kawat, elastik, atau sekrup ekspansi. Ketika gigi-gigi digerakkan maka gaya reaksi akan disalurkan melalui alat sehingga cenderung menghasilkan pergerakan gigigigi lain ke arah yang berlawanan (Gambar 1). Keadaan ini sesuai dengan Hukum Newton ke-3 yang mengatakan bahwa setiap aksi menghasilkan reaksi yang besarnya sama dan berlawanan arah. Masalahnya adalah bagaimana menghindari efek merugikan dari gaya-gaya yang berlawanan tersebut, karena tujuan yang diharapkan dari suatu perawatan adalah menggerakkan gigi yang dikehendaki sementara struktur lain tidak bergerak. 6

Gambar 1. Penjangkaran berhubungan dengan jumlah gigi yang digerakkan. A) Menggerakkan sebuah gigi menghasilkan penjangkaran yang memuaskan. B) Jika 13 dan 23 diretraksi mengakibatkan gigi penjangkar bergerak ke depan. C) Jika 14,13,23,24 diretraksi bersama-sama, jumlah gigi yang digerakkan lebih besar dibandingkan gigi penjangkarnya, maka penjangkaran tidak akan kuat, kemungkinan terjadi anchorage loss.1

Kemampuan bertahan terhadap gaya yang dihasilkan oleh komponen aktif disebut penjangkaran. Pengontrolan penjangkaran ditujukan untuk sebanyak mungkin menghasilkan pergerakan gigi yang diinginkan sementara gerakan gigi yang tidak diharapkan dapat ditahan atau diupayakan sekecil mungkin. Penjangkaran dapat diperoleh secara intra oral maupun ekstraoral, namun penjangkaran intra oral lebih umum digunakan pada alat lepasan. 1.

Penjangkaran intraoral Penjangkaran intra oral ada dua macam, yaitu penjangkaran intramaksiler dan

intermaksiler. Penjangkaran intramaksiler diperoleh dari lengkung rahang yang sama. Penjangkaran jenis ini adalah yang sering dipilih dalam pemakaian alat lepasan aktif. Penjangkaran intermaksiler menggunakan lengkung rahang lawan untuk memperoleh penjangkaran. Penjangkaran jenis ini biasa digunakan pada perawatan menggunakan alat fungsional dan alat cekat, tetapi sulit untuk diterapkan pada pemakaian alat lepasan untuk pergerakkan aktif gigi karena cenderung akan melepaskan alat.1 Penjangkaran intramaksiler dapat diperoleh dari gigi-gigi yang dijadikan sandaran cangkolan atau gigi-gigi yang tertahan pada tempatnya oleh busur labial, pelat landasan yang beradaptasi baik dengan palatum dan dengan permukaan gigi yang tidak digerakkan, serta interdigitasi antara gigi-gigi rahang atas dengan rahang bawah.1

7

Penjangkaran intermaksiler dapat diperoleh pada penggunaan alat lepasan yang dikombinasikan dengan alat cekat pada salah satu rahangnya. Salah satu contoh kasus adalah pada maloklusi kelas II dengan susunan gigi rahang bawah yang baik. Pada rahang bawah digunakan alat lepasan dengan ditambahkan hook pada cangkolan di gigi molarnya untuk mengaitkan elastik intermaksiler sehingga menghasilkan tarikan bagi segmen anterior dari alat cekat yang dipasang pada rahang atas (Gambar 2). Pada kasus maloklusi kelas III, alat lepasan pada rahang atas bisa digunakan untuk menghasilkan traksi kelas III, dan bisa juga digunakan alat ekspansi untuk proklinasi segmen insisif.1

Gambar 2. Penjangkaran intermaksiler. Elastik digunakan alat cekat atas, dan alat lepasan bawah sebagai penjangkar. Retensi cangkolan alat lepasan harus baik dan cangkolan Adam dimodifikasi dengan hook untuk sangkutan elastik. 1

2.

Penjangkaran ekstra oral Penjangkaran ekstra oral dapat digunakan untuk memperkuat penjangkaran

intra oral, namun bisa juga sebagai sumber utama penjangkaran, misalnya untuk retraksi segmen bukal. Gaya ekstra oral bergantung pada elastisitas dari elastik penghubung yang terdapat pada headgear. Penjangkaran ekstra oral dapat diperoleh dengan menggunakan headgear, bisa berupa headcap atau high pull headgear. Penghubung antara headgear dengan alat lepasan adalah facebow atau J hooks.1,6 Penjangkaran bisa dihasilkan secara intra oral, ekstra oral, atau keduanya. Penjangkaran ekstra oral memiliki potensi keberhasilan yang besar jika digunakan pada pasien yang kooperatif, namun penampilan alat ini tidak disukai pasien dan

8

tidak nyaman pada saat digunakan. Penjangkaran intra oral lebih bisa diterima oleh pasien, namun kemampuan menjangkarnya sangat terbatas.7 Penjangkaran akan lebih baik jika dipersiapkan sejak awal dibandingkan apabila sudah terjadi anchorage loss. Jika penjangkaran ekstra oral digunakan sejak awal perawatan, sebaiknya dinilai apakah pasien sanggup untuk mematuhi waktu pemakaian, sebelum tahap rencana perawatan berikutnya dilanjutkan. Jika ragu terhadap nilai penjangkaran yang dihasilkan, maka nilai penjangkaran harus dievalusi pada setiap kunjungan. Operator harus selalu memperhatikan pergerakan gigi yang terjadi dan membandingkannya dengan keadaan sebelum perawatan. 2.3 Standar Sarana dan Prasarana Rumah Sakit Bangunan Rumah Sakit adalah wujud fisik hasil pekerjaan konstruksi yang menyatu dengan tempat dan kedudukannya, sebagian atau seluruhnya yang berada di atas tanah/perairan, ataupun di bawah tanah/perairan yang digunakan untuk penyelenggaraan Rumah Sakit. Prasarana Rumah Sakit adalah utilitas yang terdiri atas alat, jaringan dan sistem yang membuat suatu bangunan Rumah Sakit bisa berfungsi. Persyaratan teknis Bangunan dan Prasarana Rumah Sakit harus memenuhi standar pelayanan, keamanan, serta keselamatan dan kesehatan kerja penyelenggaraan Rumah Sakit.1 Rumah Sakit Gigi dan Mulut, selanjutnya disingkat RSGM adalah sarana pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan gigi dan mulut perorangan untuk pelayanan pengobatan dan pemulihan tanpa mengabaikan pelayanan peningkatan kesehatan dan pencegahan penyakit yang dilaksanakan melalui pelayanan rawat jalan, gawat darurat dan pelayanan tindakan medik. Rumah Sakit Gigi dan Mulut harus memenuhi persyaratan bangunan, sarana dan prasarana serta peralatan sesuai dengan peruntukannya. Persyaratan sebagaimana dimaksud meliputi:3  Lokasi atau letak bangunan dan prasarana harus sesuai dengan rencana umum tata ruang  Bangunan dan prasarana dan harus memenuhi persyaratan keamanan, keselamatan kerja, dan analisis dampak lingkungan RS dan sarana kesehatan lain  Peralatan harus memenuhi persyaratan kalibrasi, standar kebutuhan pelayanan, keamanan, keselamatan dan kesehatan kerja Ketentuan persyaratan minimal sarana dan prasarana RSGM:3 a. Ruang Rawat Jalan b. Ruang Gawat Darurat c. Ruang pemulihan/Recovery room d. Ruang Operasi

9

e. f. g. h. i. j. k. l. m.

Farmasi dan Bahan Kedokteran Gigi Laboratorium Klinik Laboratorium Teknik Gigi Ruang Sentral Sterilisasi Radiologi Ruang Tunggu Ruang Administrasi Ruang Toilet Prasarana yang meliputi tenaga listrik, penyediaan air bersih, instalasi pembuangan limbah, alat komunikasi, alat pemadam kebakaran dan tempat parkir. Ketentuan persyaratan minimal peralatan RSGM:3 a. Jumlah Dental Unit 50 b. Jumlah Dental Chair 50 unit c. Jumlah Tempat Tidur 3 buah d. Peralatan Medik meliputi:  1 unit Intra Oral Camera  1 unit Dental X – ray  1 unit Panoramic x-ray  1 unit Chepalo Metri x-ray  1 unit Autoclave / 7 unit Sterilisato  1 Camera  1 Digital Intra Oral RSGM dapat memiliki peralatan medik khusus lainnya meliputi:3  1 unit Laser  1 Radiografi (Radio Visio Graphi). Setiap RSGM harus menyediakan berbagai jenis, bahan dan obat-obatan sekurang-kurangnya sama dengan yang ditetapkan dalam Daftar Obat Esensial Nasional ( DOEN).3 2.4 Faktor Penjamin Kualitas Pelayanan Rumah Sakit Kualitas Pelayanan adalah seberapa jauh tingkat pelayanan yang diberikan kepada masyarakat dilihat dari segi produk,atau jasa yang sesuai dengan keinginan pelanggan atau masyarakat dimana penyelenggara pelayanan berorientasi pada kepuasan pelanggan.4 Beberapa faktor yang dapat menjamin kualitas pelayanan adalah:4 a. Kualitas peralatan yang digunakan untuk memproses pelayanan b. Pembangunan kultur pelayanan c. Pengembangan sistem pelayanan yang mengutamakan kepentingan masyarakat

10

d. Faktor kesadaran,aturan,organisasi,pendapatan,kemampuan dan keterampilan 2.5 Pengertian K3 dan UU yang Mengatur K3 adalah semua kondisi dan faktor yang dapat berdampak pada keselamatan dan kesehatan kerja bagi tenaga kerja maupun orang lain di tempat kerja.5 Undang-Undang No. 1/1970 dan No. 23/1992 mengatur mengenai Keselamatan dan Kesehatan Kerja:6 1) Undang-undang No. 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja Undang-Undang ini mengatur dengan jelas tentang kewajiban pimpinan tempat kerja dan pekerja dalam melaksanakan keselamatan kerja. 2) Undang-undang nomor 23 tahun 1992 tentang Kesehatan Kerja. Undang- Undang ini menyatakan bahwa secara khusus perusahaan berkewajiban memeriksakan kesehatan badan, kondisi mental dan kemampuan fisik pekerja yang baru maupun yang akan dipindahkan ke tempat kerja baru, sesuai dengan sifat-sifat pekerjaan yang diberikan kepada pekerja, serta pemeriksaan kesehatan secara berkala. Sebaliknya para pekerja juga berkewajiban memakai alat pelindung diri (APD) dengan tepat dan benar serta mematuhi semua syarat keselamatan dan kesehatan kerja yang diwajibkan. 2.6 Visi dan Misi K3 Visi : Terwujudnya budaya Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) di Indonesia7 Misi :7 1. Meningkatkan koordinasi yang sinergis antar pengandil (stakeholders) bidang K3 2. Meningkatkan kemandirian dunia usaha dalam menerapkan K3 3. Meningkatkan kompetensi dan daya saing tenaga kerja di bidang K3 2.7 Prinsip K3 Agar K3RS dapat dipahami secara utuh, perlu diketahui pengertian 3 (tiga) komponen yang saling berinteraksi, yaitu :8 1. Kapasitas kerja adalah status kesehatan kerja dan gizi kerja yang baik serta kemampuan fisik yang prima setiap pekerja agar dapat melakukan pekerjaannya dengan baik. Contoh; bila seorang pekerja kekurangan zat besi

11

yang menyebab kan anemia, maka kapasitas kerja akan menurun karena pengaruh kondisi lemah dan lesu. 2. Beban kerja adalah beban fisik dan mental yang harus di tanggung oleh pekerja dalam melaksanakan tugasnya. Contoh; pekerja yang bekerja melebihi waktu kerja maksimum, dll. 3. Lingkungan kerja adalah lingkungan terdekat dari seorang pekerja. Contoh; seorang yang bekerja di instalasi radiologi, maka lingkungan kerjanya adalah ruangan-ruangan yang berkaitan dengan proses pekerjaannya di instalasi radiologi (kamar X Ray, kamar gelap, kedokteran nuklir dan lain-lain). 2.8 Indikator K3 Indikator keselamatan dan kesehatan kerja menurut Anoraga (2005) mengemukakan aspek-aspek keselamatan dan kesehatan kerja meliputi:9 a. Lingkungan Kerja Lingkungan kerja merupakan tempat dimana seseorang atau karyawan dalam beraktifitas bekerja. Lingkungan kerja dalam hal ini menyangkut kondisi kerja, seperti ventilasi, suhu, penerangan dan situasinya. b. Alat Kerja dan Bahan Alat kerja dan bahan merupakan suatu hal pokok yang dibutuhkan oleh perusahaan untuk memproduksi barang. c. Cara Melakukan Pekerjaan Setiap bagian kerja memiliki cara berbeda-beda yang dimiliki oleh karyawan. Cara-cara yang biasanya dilakukan oleh karyawan dalam melakukan semua aktifitas pekerjaan, misalnya menggunakan peralatan yang sudah tersedia dan pelindung diri secara tepat dan mematuhi peraturan penggunaan peralatan tersebut dan memahami cara mengoperasionalkan. 2.9 Faktor yang Mempengaruhi Keselamatan Kerja di Lingkungan Kerja Kesehatan dan Keselamatan Kerja beresiko menimbulkan kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja. Faktor yang mempengaruhinya adalah:10 1) Faktor manusia (unsafe human acts), berupa tindak perbuatan manusia yang tidak mengalami keselamatan seperti tidak memakai Alat Pelindung Diri (APD), bekerja tidak sesuai prosedur, bekerja sambil bergurau, menaruh alat atau barang tidak benar, sikap kerja yang tidak benar, bekerja di dekat alat yang berputar, kelelahan, kebosanan dan sebagainya. 2) Faktor lingkungan (unsafe condition), berupa keadaan lingkungan yang tidak aman, seperti mesin tanpa pengaman, peralatan kerja yang sudah tidak baik

12

tetapi masih dipakai, penerangan yang kurang memadai, tata ruang kerja tidak sesuai, cuaca, kebisingan, dan lantai kerja licin. Swasto juga mengemukakan bahwa ada beberapa faktor-faktor yang mempengaruhi kesehatan kerja antara lain:10 a. Kondisi lingkungan meliputi:  Kondisi fisik:Berupa penerangan, suhu udara, ventilasi ruangan tempat kerja, tingkat kebisingan, getaran mekanis, radiasi dan tekanan udara.  Kondisi fisiologis: Dapat dilihat dari konstruksi mesin/peralatan, sikap badan dan cara kerja dalam melakukan pekerjaan, hal-hal yang dapat menimbulkan kelelahan fisik dan bahkan dapat mengakibatkan perubahan fisik tubuh karyawan  Kondisi Khemis: Dapat dilihat dari uap gas, debu, kabut, asap, awan, cairan dan benda padat b. Mental psikologis:  Meliputi hubungan kerja dalam kelompok/teman sekerja  Hubungan kerja antara bawahan dengan atasan dan sebaliknya, suasana kerja dll 2.10 Faktor Penyebab K3 Terabaikan Salah satu faktor penyebab K3 terabaikan, yaitu karena faktor psikososial. Faktor psikososial adalah interaksi yang terjadi antara dan di tengah-tengah lingkungan kerja, isi pekerjaan, kondisi organisasi, dan kapasitas serta kebutuhan pekerja, budaya dan pertimbangan-pertimbangan pribadi dengan pekerjaan yang berlebih, melalui persepsi dan pengalaman serta berpengaruh pada kesehatan, kinerja dan kepuasan kerja.11 Faktor-faktor psikososial dalam lingkungan kerja yang memiliki pengaruh dalam kinerja sebagai berikut:11 1) Pengaruh dan kontrol pekerjaan Dalam hal ini ada beberapa hal yang bisa dilihat antara lain seperti pengaruh tingkatan kerja, pengaruh metode kerja, pengaruh alokasi kerja, dan kontrol teknis serta pengaruh peraturan kerja 2) Beban kerja secara psikologis Beberapa hal yang dipertimbangkan adalah stres kerja, beban kerja, perasaan lelah dan kejenuhan sehabis bekerja yang meningkat, ada atau tidaknya kemungkinan untuk relaksasi dan beristirahat saat bekerja dan beban mental yang ditimbulkan oleh pekerjaan itu sendiri. 3) Hubungan dengan rekan kerja Hal-hal yang diperhatikan antara lain adalah hubungan dan kontak dengan rekan kerja, pembicaraan tentang hal-hal yang berkaitan dengan pekerjaan dengan rekan kerja, perluasan pengalaman dalam suasana kerja yang

13

menyenangkan, diskusi tentang masalah yang berkaitan dengan pekerjaan dan penghargaan rekan kerja sebagai seorang teman yang baik atau bukan 4) Rangsang dari kerja itu sendiri Hal-hal yang diperhatikan adalah apakah pekerjaan tersebut menarik dan menstimulasi individu untuk bekerja atau tidak.11 2.11 Efek yang Ditimbulkan jika K3 Terabaikan Kecelakaan kerja merupakan kejadian yang tidak diinginkan semua perusahaan, karena dapat menyebabkan kerugian kepada manusia, peralatan, dan lingkungan. Meningkatnya infeksi nasokomial.12 2.12 Cara Mengelola Limbah Klinik Limbah Rumah sakit adalah buangan hasil proses kegiatan dimana sebagian limbah tersebut merupakan limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) yang mengandung mikroorganisme pathogen, infeksius dan radioaktif. Limbah tersebut sebagian dapat dimanfaatkan ulang dengan teknologi tertentu dan sebagian lainnya sudah tidak dapat dimanfaatkan kembali. Dengan demikian limbah rumah sakit adalah semua limbah yang dihasilkan oleh seluruh kegiatan rumah sakit (Depkes RI, 2006).13 1. Pengelolaan Limbah Medis Padat 13

 Penampungan Penampungan dibedakan dalam dua wadah, yaitu limbah padat medis berupa ember berwarna abu-abu bertutup yang bertuliskan limbah medis tanpa dilapisi kantong plastik yang diletakkan di masing-masing instalasi pelayanan dan di setiap kelas ruang pelayanan rawat inap. Untuk limbah padat non medis berupa ember, tong dan keranjang sampah yang tidak dilengkapi oleh kantong plastik. Tempat sampah ini diletakkan di luar ruangan.

 Pengangkutan Limbah medis yang sudah terkumpul pada wadah penampung diangkat keatas gerobak dorong dan akan diantar ke tempat incinerator dan langsung di masukkan ke dalam incinerator. Limbah medis padat minimal 1 kali sehari harus dibuang

 Penyimpanan Sementara Ketika limbah medis padat diangkut dari ruangan, limbah tersebut langsung dimasukkan ke dalam incinerator. Hal ini sesuai dengan KepMenKes RI No. 1204/Menkes/SK/X/2004 dimana ditetapkan bahwa penyimpanan limbah medis padat tidak boleh lebih dari 24 jam setelah diangkut dari masing-masing unit penghasil limbah.

 Pemusnahan dan Pembuangan Akhir 14

Pemusnahan limbah medis padat dilakukan dengan pembakaran menggunakan Incinerator. Waktu penelitian dilakukan, incinerator dalam keadaan rusak. Limbah dibakar secara manual di dalam incinerator dimana limbah ini bisa dibakar satu malam agar bisa habis terbakar. Abu sisa pembakaran limbah ini dibuang ke lahan yang ada di belakang incinerator, abu sisa pembakaran dibiarkan menumpuk. Pembuangan abu sisa pembakaran ini dilakukan 2 kali seminggu. Ketika limbah medis padat telah selesai dibakar, abu ditunggu dingin terlebih dahulu dan nantinya akan dibuang.

 Pengelolahan Limbah Medis Cair Pengolahan air limbah ini dilakukan dengan system Up Flow Filter, dimana prinsip kerjanya berdasarkan lumpur aktif. Tahap-tahap IPAL ini adalah: 1) Pengolahan Pendahuluan 2) Septic Tank 3) Screen 4) Bak penampung awal/buffer basin 5) Bak penyaring 6) Bak pengendap 7) Bak air terolah 8) Bak penampung lumpur 9) Bak desinfektan 10) Bak penyaring akhir 11) Effluent 13 Proses:

 Air limbah dari masing-masing bak penampung yang ada di beberapa titik di rumah sakit dialirkan ke septic tank.

 Kemudian air limbah dialirakan ke screen untuk menyaring dan mengacau air limbah, pada tahap ini benda-benda padat berukuran besar yang terikut ke air limbah akan tersisisih dan kemudian masuk ke dalam buffer basin, pada bak ini ditambahkan bahan kimia berupa Feriklorida dimana zat ini berfungsi sebagai koagulan dalam proses koagulasi. Hal ini ditujukan untuk membentuk flok dengan ukuran yang memungkinkan dapat dipisahkan oleh sedimentasi dan filtrasi.

 Dari buffer basin air limbah dialirkan ke dalam bak penyaring, di tahap ini benda-benda padat yang tidak tersaring pada screen akan tersisih.

 Dari buffer basin air limbah dialirkan ke dalam bak penyaring, Pada tahap ini oksigen juga dimasukkan agar bakteri dapat berkembang. Sehingga saat pengolahan ini keadaan atau kondisi bakteri sangat menentukan kualitas limbah. 15

 Setelah melewati bak penyaringan, air limbah dialirkan ke bak pengendap, disini lumpur akan diendapkan dan akan dialirkan ke bak penampung lumpur yang nantinya akan disedot ke dalam dewatering treatment.

 Air limbah dari bak pengendap akan dialirkan ke bak air terolah  Pengolahan dengan desinfeksi dilakukan pada tahap akhir pengolahan limbah untuk membunuh bakteri pathogen

 Sebelum dibuang ke lingkungan air limbah akan disaring menggunakan pasir.  Effluent tidak dilakukan pemeriksaan sebelum dibuang ke lingkungan.13 2.13 Dampak Pengelolaan Limbah yang Buruk Dampak dari kurang baiknya pengelolaan limbah klinik gigi: 1. Mencemari lingkungan dan dianggap sebagai mata rantai penyebaran penyakit menular14 2. Membahayakan kesehatan manusia karena dampak yang dapat ditimbulkan atas paparan limbah yang dihasilkan RS adalah mutagenik, karsinogenik, efek teratogenik, ganguan pernafasan, ganguan sistem saraf pusat, kerusakan sistem reproduksi dan lain-lain15

BAB 3. PENUTUP

3.1 Kesimpulan Pentingnya pelayanan kesehatan masyarakat di daerah tersebut membuat masyarakat lebih memperhatikan masalah kesehatannya. Dengan didirikannya pelayanan kesehatan seperti rumah sakit atau klinik di daerah tersebut masyarakat lebih mudah melakukan pelayanan kesehatan dan keselamatan kerjanya (K3). K3 merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan mutu pelayanan Rumah Sakit, khususnya dalam hal kesehatan dan keselamatan bagi SDM Rumah Sakit, pasien, pengunjung/pengantar pasien, masyarakat sekitar Rumah Sakit, hal ini sudah ditetapkan dalam perundang undangan yang berlaku.

16

3.2 Saran Dalam pembangunan Rumah Sakit harus diperlukannya tempat pembuangan medis baik pembuangan limbah medis padat maupun cair agar limbah tersebut tidak membahayakan pasien atau staff dirumah sakit atau klinik tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

1. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 56 Tahun 2014 Tentang Klasifikasi Dan Perizinan Rumah Sakit 2. Sakti GMK, dkk. Rencana aksi nasional pelayanan kesehatan gigi dan mulut tahun 2015-2019. Jakarta : Kementerian Kesehatan Direktorat Jenderal Bina Upaya Kesehatan; 2016. h. 30-1 3. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1173/Menkes/Per/X/2004 Tentang Rumah Sakit Gigi Dan Mulut 4. Larasati,Niken.2016.Kualitas Pelayanan Program Jaminan Kesehtan Nasional Dalam Rangka Menjamin Perlindungan Kesehatan Bagi Peserta BPJS Di RSUD DR.M.Soewandhie Surabaya.Surabaya: Kebijakan Manajemen Publik.Vol.4,No.2.

17

5. International Labour Office. Keselamatan dan Kesehatan Kerja di Tempat Kerja. Jakarta: ILO, 2013. 6. UU No.1 Tahun 1970 tentang keselamatan kerja dan UU No.23 Tahun 1992 tentang kesehatan kerja 7. Dewan Keselamatan dan Kesehatan Kerja Nasional (DK3N). Visi, Misi, Kebijakan, Strategi dan Program Kerja Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) Nasional. 8. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Kementerian Kesehatan. Direktorat Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat. Standar Kesehatan dan Keselamatan Kerja di Rumah Sakit (K3RS). Jakarta : Kementerian Kesehatan RI, 2010. 9. Anoraga (2005). Aspek-Aspek Keselamatan dan Kesehatan Kerja. Jakarta: Erlangga 10. Waruru S, Yuamita F. Analisis factor kesehatan dan keselamatan kerja (K3) yang signifikan. Spektrum Industri 2016; 14 (1). H. 64. 11. Rahardjo, Wahyu. Peran Faktor-Faktor Psikososial dan Keselamatan Kerja pada Jenis Pekerjaan yang Bersifat ISO-SRAIN. Proceeding Seminar Nasional PESAT. Jakarta, 2005. 12. Salawati liza, taufik nasyaruddin herry, putra andi. Analisis tindakan keselamatan dan kesehatan kerja perawat dalam pengendalian infeksi nosocomial di ruang icu rsud dr.zainoel abiding banda aceh. Jurnal kedokteran syiah kuala.desember 2014;14(3). 13. Putri Yani br Sitepu; Nurmaini; Surya Dharma. Sistem Pengelolaan Limbah Medis Padat Dan Cair Serta Faktor-Faktor Yang Berkaitan Dengan Pelaksanaan Pengelolaan Limbah Medis Padat Dan Cair Di Rumah Sakit Umum Kabanjahe Kabupaten Karo Tahun 2015. Departemen Kesehatan Lingkungan FKM USU, Medan, 2015. 14. Yunizar A, Fauzan A. Sistem pengelolaan limbah padat pada RS. Dr. H. Moch. Ansari Saleh Banjarmasin. An-Nadaa. 2014 Jun; 1(1): 5. 15. Putri HE, Ritnawati, Samad R. Pengelolaan limbah rumah sakit gigi dan mulut di wilayah Kota Makassar. Mks Dent J. 2014 Feb; 3(1): 8.

18

Related Documents


More Documents from "Ozada Rasifa"