Makalah Fix-2.docx

  • Uploaded by: RohilahStt
  • 0
  • 0
  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Makalah Fix-2.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 40,008
  • Pages: 184
MAKALAH AKHIR Diajukan untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di SD Kelas Rendah Dosen Pengampu: Prof. Dr. Suprani, M.Pd dan Rina Yuliana, M.Pd

Disusun Oleh: Kelas 4A

JURUSAN PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA 2019

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT, atas segala limpahan rahmat, hidayah serta inayah-Nya sehingga kami mampu menyelesaikan. Makalah akhir mata kuliah Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Kelas Rendah. Kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penyelesaian makalah akhir ini, untuk itu kritik dan saran yang bersifat membangun sangat diharapkan, serta kami berterimakasih atas bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Untuk itu dengan segala hormat kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada seluruh pihak yang telah membantu dalam pelaksanaan dan penyusunan tugas ini. Dan harapan kami semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca, untuk ke depannya dapat memperbaiki bentuk maupun menambah isi makalah agar menjadi lebih baik. Akhir kata penulis berharap bahwa tugas ini dapat bermanfaat khususnya bagi penulis pribadi dan dapat bermanfaat bagi semua pihak pada umumnya. Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman yang kami miliki, kami yakin masih banyak kekurangan dalam makalah ini. Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.

Serang, 23 Februari 2019

Penulis

ii

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................ i DAFTAR ISI .......................................................................................................... ii BAB I PSIKOLINGUISTIK A. Pengertian Psikolinguistik .........................................................................1 B. Sejarah Perkembangan Psikolinguistik ............................................................ C. Pemerolehan Bahasa .................................................................................... D. Hubungan Otak dengan Bahasa ................................................................... E. Tahap Perkembangan Bahasa....................................................................... F. Patologi Bahasa atau Gangguan Berbahasa ................................................. BAB II PERKEMBANGAN BAHASA INDONESIA A. Sumber Bahasa Indonesia .................................................................................. B. Peresmian Nama Bahasa Indonesia .................................................................. C. Peristiwa-Peristiwa Penting yang Berkaitan dengan Bahasa Indonesia ...... D. Kedudukan dan Fungsi Bahasa Indonesia ....................................................... E. Ragam dan Variasi Bahasa ................................................................................ BAB III TEORI-TEORI BELAJAR DALAM PEMBELAJARAN BAHASA A. Definisi Teori ...................................................................................................... B. Teori Belajar dan Pembelajaran ........................................................................ C. Teori Belajar dalam Pembelajaran Bahasa ...................................................... BAB BAB V PEMBELAJARAN MENULIS DI KELAS RENDAH A. Pengertian Pembelajaran Menulis Permulaan ................................................. B. Metode yang Digunakan dalam Pembelajran Menulis Permulaan .............. C. Media yang Digunakan dalam Pembelajaran Menulis Permulaan ............... D. Langakah-Langkah Pembelajaran Menulis Permulaan ................................. E. Kesulitan Belajar Menulis ................................................................................. BAB VI PEMBELAJARAN MENYIMAK DI KELAS RENDAH A. Pengertian Menyimak ........................................................................................ B. Proses Menyimak ............................................................................................... C. Faktor Pengaruh Perhatian Menyimak .............................................................

iii

D. Hubungan Menyimak dengan Berbicara ......................................................... E. Tujuan Menyimak ............................................................................................... F. Ragam Menyimak ............................................................................................... G. Teknik Pengajaran Menyimak .......................................................................... H. Perilaku Menyimak............................................................................................. I. Mengapa Orang Tidak Menyimak .................................................................... BAB VII PEMBELAJARAN BERICARA DI KELAS RENDAH A. Pengertian Berbicara .......................................................................................... B. Batasan dan Tujuan Berbicara .......................................................................... C. Hubungan Berbicara dengan Menyimak ......................................................... D. Strategi Pembelajaran Berbahasa Lisan dan Penerapannya .......................... E. Penyusunan Bahan Pembelajaran Menyimak dan Berbicara ........................ BAB VIII PEMBELAJARAN SASTRA DI KELAS RENDAH A. Pengertian Sastra dan Hakikatnya .................................................................... B. Nilai Sastra bagi Anak ................................................................................. C. Pembelajaran Sastra bagi Pendidikan Anak SD ............................................. D. Pentingnya Pembelajaran Sastra di Kelas Rendah ......................................... E. Manfaat Sastra Anak-Anak ............................................................................... F. Bentuk-bentuk Karya Sastra Anak .................................................................. BAB IX PENILAIAN BAHASA INDONESIA DI KELAS RENDAH A. Hakikat Penilaian ................................................................................................ B. Fungsi dan Tujuan Penilaian ............................................................................. C. Keterkaitan Antara Penilian dan Proses Pembelajaran .................................. D. Karakteristik Penilaian Siswa Sekolah Dasar ................................................. E. Jenis-Jenis Penilaian ........................................................................................... F. Alat Penilaian Bahasa ......................................................................................... BAB X PENGEMBANGAN MEDIA BAHASA INDONESIA A. Pengertian Media Bahasa di Kelas Rendah .................................................... B. Manfaat Media Dalam Proses Pengembangan Bahasa di Kelas Rendah ... C. Fungsi Media Dalam Proses Pengembangan Bahasa di Kelas Rendah ......

iv

D. Kriteria Umum dan Khusus Dalam Memilih Media Pengembangan Bahasa di Kelas Rendah ..................................................................................... E. Jenis-Jenis Penggunaan Media Pengembangan Bahasa di Kelas Rendah ... DAFTAR PUSTAKA ..............................................................................................

v

BAB I PSIKOLINGUISTIK

C. Pengertian Psikolinguistik Secara etimologi kata psikolinguistik terbentuk dari kata psikologi dan kata linguistic, yakni dua bidang ilmu yang berbeda, yang masing-masing berdiri sendiri dengan prosedur dan metode yang berlainan, namun keduanya sama-sama meneliti bahasa sebagai objek formalnya. Linguistik, mengkaji struktur bahasa, sedangkan psikologi mengkaji perilaku berbahasa atau proses berbahasa. Adapun pengertian psikolinguistik menurut para ahli: Harley (2001: 1) psikolinguistik merupakan suatu studi tentang prosesproses mental dalam pemakaian bahasa. Diebold (Slama, 1973: 39) menyatakan bahwa psikolinguistik dalam hubungan luas membicarakan antara pesan-pesan dengan sifat-sifat kemandirian manusia yang menyeleksi dan menafsirkan pesan-pesan.Psikolinguistik adalah psikologi yang diorientasikan secara llinguistik atau linguistik yang diorientasikan secara psikolog. Sementara itu, Clark dan Clark (1977: 4) menyatakan bahwa psikologi bahasa berkaitan dengan tiga hal utama: komprehensi, produksi, dan pemerolehan bahasa. Dengan merujuk kepada berbagai pedapat ahli, Pateda (1990: 13) mengemukakan beberapa konsep penting terkait pengertian psikolinguistik, yakni: 1. Membahas hubungan bahasa dan otak 2. Menelaah hubungan langsung proses mengode dan menafsirkan kode 3. Menelaah pengetahuan bahasa, pemakaian bahasa, dan perubahan bahasa 4. Membicarakan proses

yang terjadi dengan pembicara dan pendengar

dengan kaitannya dengan bahasa 5. Menitikberatkan pada pembahasan mengenai akuisisi dan tingkah laku linguistik. Dari definisi-definisi ini dapat disimpulkan bahwa psikolinguistik adalah ilmu yang mempelajari proses-proses mental yang dilalui oleh manusia dalam berbahasa.

1

2

Tujuan utama seorang psikolinguis adalah menemukan struktur dan proses yang melandasi kemampuan manusia untu berbicara dan memahami bahasa Psikolinguis tidak tertarik pada ineraksi bahasa antara para penutur bahasa. Yang mereka kerjakan, terutama adalah menggali apa yang terjadi dalam individu yang berbahasa. Secara rinci psikolinguistik mempelajari empat topik utama: 1. Komprehensi, yakni proses-proses mental yang dilalui oleh manusia sehingga mereka dapat menangkap apa yang dikatakan orang dan memahami apa yang dimaksud. 2. Produksi, yakni proses-proses mental pada diri kita yang membuat kita dapat berujar seperti yang kita ujarkan. 3. Landasan biologis dan neurologis yang membuat manusia bisa berbahasa. 4. Pemerolehan bahasa, yakni bagaimana anak memperoleh bahasa mereka.

B. Sejarah Perkembangan Psikolinguistik Pada awal perkembangannya, psikolinguistik bermula dari adamya pakar linguistik yang berminat pada psikologi, dan adanya pakar psikologi yang yang berkecimpung dalam linguistik. Dilanjutkan dengan adanya kerja sama antara pakar linguistik dan pakar psikologi, dan kemudian muncullah pakar-pakar psikolinguistik sebagai disiplin mandiri. 1. Psikologi dalam Linguistik Dalam sejarah kajian linguistik ada sejumlah pakar linguistik yang menaruh perhatian besar pada psikologi. Diantara mereka yang patut diketengahkan diantaranya adalah Leonard Bloomfielddan Otto Jespersen. Leonard Bloomfield (1887-1949), pakar linguistik bangsa Amerika, dalam usahanya menganalisis bahasa telah dipengaruhi olah dua aliran psikologi yang saling bertentangan, yaitu mentalisme dan behaviorisme. Pada mulanya beliau menganalisis bahasa menurut prinsip-prinsip mentalisme. Disini beliau berpendapat bahwa bahasa dimulai dari melahirkan pengalaman yang luar biasa, terutama sebagai penjelmaan dari adanya tekanan emosi yang sangat kuat. Jika melahirkan pengalaman dalam

3

bentuk bahasa ini karena adanya tekanan emosi yang sangat kuat, maka muncullah ucapan (kalimat) ekslamasi. Jika pengalaman ini lahir oleh keinginan berkomunikasi maka lahirlah ucapan (kalimat) deklarasi. Jika keinginan bekomunikasi ini bertukar menjadi keinginan untuk mengetahui maka muncul ucapan (kalimat) interogasi. Kemudian, sejak 1925, Bloomfield meninggalka psikologi mentalisme Wundt, lalu menganut paham psikologi behaviorisme Watson dan Weiss. Beliau menerapkan teori psikologi behaviorsme dalam teori bahasanya yang kini dikenal sebagai “linguistik struktural” atau “linguistik taksonomi”. Otto Jerpersen, pakar linguistic berkebangsaan Denmark, telah menganalisis bahasa menurut psikologi mentalistik yang juga sedikit berbau behaviorisme. Jespersen berpendapat bahwa bahasa bukanlah sutu wujud dalam pengertian satu benda seperti sebuah meja atau seekor kucing, melainkan merupakan satu fungsi manusia sebagai lambing-lambang di dalam otak yang melambangkan pikiran atau yang membangkitkan pikiran itu. Beliau juga berpendapat bahwa berkomunikasi harus dilihat dari sudut perilaku. Jadi, juga brsifat behavioristic. Malah beliau juga berpendapat bahwa satu kata dapat dibandingkan dengan suatu kebiasaan berperilaku seperti mengangkat topi, melirik, atau perbuatan lain. 2. Linguistik dalam Psikologi Dalam sejarah perkembangan psikologi ada sejumlah pakar psikologi yang menaruh perhatian pada linguistik. Di antara mereka yang patut diketengahkan adalah John Dewey, Watson, dan Weiss. John Dewey (1859-1952), pakar psikologi berkebangsaan Amerika, seorang

empirisme

murni.

Beliau

telah

mengkaji

bahasa

dan

perkembangannya dengan cara menafsirkan analisis linguistik bahasa kanak-kanak berdasarkan prinsip-prinsip psikologi. Umpamanya, beliau menyarankan agar penggolongan psikologi akan kata-kata yang diucapkan kanak-kanak dilakukan berdasarkan makna seperti yang dipahami kanakkanak, dan bukan seperti yang dipahami orang dewasa dengan bentukbentuk tata bahasa orang dewasa. Dengan cara ini, maka berdasarkan

4

prinsip-prinsip psikologi akan dapat ditentukan hubungan antara kata-kata berkelas adverbia. Dan preposisi di satu pihak dengan kata-kata berkelas nomina dan adjektiva dipihak lain. Jadi, dengan pengkajian kelas kata berdasarkan pemahaman kanak-kanak kita kana dapar menentukan kecenderungan akal (mental) kanak-kanak yang dihubungkan dengan perbedaan-perbedaan linguistic. Pengkajian seperti ini, menurut Dewey, akan memberi bantuan yang besar kepada psikologi bahasa pada umumnya. Watson (1878-1958), ahli psikologi behaviorisme berkebangsaan Amerika. Beliau menempatkan perilaku atau kegiatan berbahasa yang sama dengan perilaku atau kegiatan lainnya, seperti makan, berjalan, dan melompat. Pada mulanya Watson hanya menghubungkan perilaku berbahasa yang implisit, yakni yang terjadi di dalam pikiran, dengan yang eksplisit, yakni yang berupa tuutran. Namun, kemudian dia telah menyamakan perilaku berbahasa itu dengan teori stimulus-respons (S-R). Maka, penyamaan ini memperlakukan kata-kata sama dengan benda-benda lain sebagai respons dari suatu stimulus. Weiss, ahli psikologi behaviorisme Amerika. Beliau mengakui adanya aspek mental dalam bahasa.Namun, karean wujudnya tidak memiliki kekuatan bentuk fisik, maka wujudnya itu sukar dikaji atau ditunjukkan. Oleh karena itu. Weiss lebih cenderung mengatakan bahwa bahasa itu sebagai bentuk perilaku apabila seseorang menyesuaikan dirinya dengan lingkungan sosialnya. Weiss adalah salah seorang tokoh psikologi behaviorisme terkemuka yang telah merintis jalan kearah lahirnya disiplin psikolinguistik. Dia pun sangat berjasa dalam pertumbuhan linguistik struktural Amerika, karena dialah yang telah berhasil mengubah Bloomfield dari penganut aliran mentalistik menjadi penganut aliran behaviorisme. Weiss juga telah mengemukakan sejumlah masalah yang harus dipecahkan oleh linguistik dan psikologi yang dilihat dari sudut behaviorisme. Di antara masalahmasalah itu sebagai berikut.

5

a. Bahasa merupakan satu kata kumpulan respons yang jumlahnya tidak terbatas terhadap suatu simulasi b. Pada dasarnya perilaku nahasa menyatukan anggota suatu masyarakat ke dalam organisasi gerak saraf. c. Perilaku bahasa adalah sebuah alat untuk mengubah dan meragamragamkan kegiatan seseorang sebagai hasil warisan dan hasil perolehan d. Bahasa dapat merupakan stimulus terhadap suatu respons, atau merupakan satu respon terhadap satu stimulus e. Respons bahasa sebagai stimulus pengganti untuk benda dn keadaan yange sebenarnya memungkinkan untuk memunculkan kembali suatu hal yang pernah terjadi, dan menganalisis kejadian ini dalam bagianbagianya Menurut Weiss tugas seorag pakar psikolinguistik yang terlatih dalam disiplin linguistik dan disiplin psikologi adalah sebagai berikut. a. Menerangkan bagaimana perilaku bahasa menghasilkan satu alam pengganti untuk alam nyata yang secara praktis tidak dibatasi oleh waktu dan tempat. b. Menunjukkan bagaimana perilaku bahasa mewujudkan sejenis organisasi sosial yang dapat disifatkan sebagai satu kumpulan dari organisasi kecil yang banyak. c. Menerangkan bagaimana perilaku bahasa menghasilkan satu bentuk organisasi; dan didalam organisasi

ini panca indra dan otot-otot

seseorang dapat ditempatkan agar dapat diapakai dan dimanfaatkan orang lain. d. Menerangkan bagaimana perilaku bahasa menghasilakn satu bentuk perilaku yang menjadi fungsi setiap peristiwa di alam ini yang telah terjadi, sedang terjadi, atau akan terjadi di masa mnedatang. 3. Kerja Sama Psikologi dan Linguistik Kerja sama secara langsung antara disiplin linguistik dan psikologi sebenarnya sudah dimulai sejak 1860, yaitu oleh Heyman Steinthal seorang

6

ahli psikologi yang beralih menjadi ahli linguistik, dan Moritz Lazarus seorang ahli linguistik yang beralih menjadi ahli psikologi Menurut Steinthal, sebuah ilmu psikologi tidak mungkin dapat hidup tanpa sebuah ilmu bahasa. Juga dikatakannya bahwa satu satunya jalan untuk masuk ke dalam akal manusia adalah melalui hukum hukum asal bahasa dan bukan melalui pancaindra manusia. Dasar-dasar psikolinguistik menurut beberapa pakar adalah sebagai berikut. a. Psikolinguistik adalah satu teori

linguistik berdasarkan bahasa yang

dianggap sebagai sebuah sistem elemen yang saling berhubungan b. Psikolinguistik adalah satu teori pembelajaran berdasarkan bahasa yang dianggap

sebagai

satu

sistem

tabiat

dan

kemampuan

yang

menghubungkan isyarat dengan perilaku. c. Psikolinguistik adalah satu teori informasi yang menganggap bahasa sebagai sebuah alat untuk menyampaikan suatu benda. 4. Tiga generasi dalam Psikolinguistik Sehubungan dengan perkembangan disiplin psikolingusitik ada artikel dari Mehler dan Noizet berjudul “Vers Une Modelle Psycholinguistique du Locuteur” yang dimuat dalam Text Pour Une Psycholinguistique (Paris, 1974). Isinya tentang adanya tiga generasi dalam psikolinguistik. a. Psikolinguistik Generasi Pertama Psikolinguistik generasi pertama adalah psikolinguistik dengan para pakar yang menulis artikel dalam kumpulan karangan berjudul psycholinguistics: A survey of Theory and Research Problems yang disunting oleh C. Osgood dan T. Sebeok. (Cetakan pertama 1954, cetak ulang 1965). Titik pandang Osgood dan Sebeok berkaitan erat dengan aliran behaviorisme (aliran perilaku) atau lebih tepat lagi dengan aliran neobehaviorisme.

Teori-teori

perilaku

atau

behaviorisme

ini

mengidentifikasikan bahasa sebagai satu sistem respons yang langsung dan tidak langsung terhadap stimulus verbal atau nonverbal. Orientasi

7

stimulus respons (aksi-reaksi; atau rangsangan-balasan) ini adalah orientasi psikologi. Mengenai teori psikolinguistik generasi pertama ini, Parera (1996) mencatat adanya tiga kelemahan berikut. 1. Adanya sifat reaktif dari psikolinguistik tentang bahasa, 2. Psikolinguistik generasi pertama ini bersifat atomistic. 3. Psikolinguistik generasi pertama ini bersifat induvidualis. Adanya tiga kelemahan itu memang tidak bisa dibantah. Namun, teori-teori psikolinguistik Osgood dan Sebeok ini dapat diterima sebagai teori penengah antara teori perilaku (behaviorisme) dan teori kognitif. Tokoh lain dari psikolinguistik generasi pertama, dan yang diaggap sebagai tokoh utama adalah B.F Skinner. Beliau menjadi tokoh yang kemudian ditentang oleh tokoh Noam Chomsky yang menganut aliran kognitif dalam proses berbahasa. Namun, teori-teori Skinner inilah yang dianut oleh teori-teori linguistik aliran Bloomfield. Skiner dengan verbal behaviorismenya berpendapat bahwa berbahasa haruslah diartikan sebagai satu runtutan respons operan terkondisikan terhadap stimulus tersembunyi yang internal dan eksternal (Bab VI, I.e, hlm. 89) b. Psikolinguistik Generasi Kedua Oleh karena teori-teori psikolinguistik generasi pertama ini tidak menjawab banyak masalah proses berbahasa, dan teori-teori itu kekurangan daya penjelas, maka diperlukan teori yang lain dalam psikolinguistik. Lahirlah teori-teori psikolinguistik generasi kedua, dengan dua tokoh utamanya yakni Noam Chomsky dan George Miller. Menurut Mehler dan Noizet, psikolinguistik generasi kedua telah dapat mengatasi ciri-ciri atomistic dan psikolinguistik Osgood-Sebeok. Psikolinguistik generasi kedua berpendapat bahwa dalam proses berbahasa bukanlah butir butir bahasa yang diperoleh, melainkan kaidah dan sistem kaidahlah yang diperoleh.

8

c. Psikolinguistik Generasi Ketiga Psikolinguistik generasi ketiga oleh G. Werstch dalam bukunya Two

Problems

for

New

Psycholinguistics

diberi

nama

New

Psycholinguistics atau psikolinguistik baru. Ciri-ciri psikolinguistik generasi ketiga ini adalah sebagai berikut. Pertama, orientasi mereka kepada psikologi, tetapi bukan psikologi perilaku.Mereka berorientasi kepada psikologi seperti yang dikemukakan oleh Fresse dan Al Vallon dari Perancis, dan mungkin juga kepada psikologi aktivitas dari Uni Sovyet. Atau seperti ditekankan oleh G. Werstch bahwa terjadi proses yang serempak dari informasi linguistic dan psikologi. Kedua, keterlepasan mereka dari kerangka “psikolinguistik kalimat” dan keterlibatan dalam psikolinguistik yang berdasarkan situasi dan konteks.Ini berarti, analisis psikolinguistik bukan lagi menentukan kaidah hubungan antara struktur gramatikal da kaidah semantic model Noam Chomsky dengan teori generatif transformasinya, tetapi hubungan ini diperluas dengan memperhitungkan situasi dan konteks. Ketiga, adanya satu pergeseran dari analisis mengenai proses ujaran yang abstrak (atau persepsinya) ke satu analisis psikologis mengenai komunikasi dan perpikiran. Pergeseran dari ujaran yang abstrak ke komunikasi dan perpikiran ini dikemukakan oleh oleh J.S. Bruner dalam artikelnya berjudul “From Comminication to Language” yang dimuat dalam Cognition Vol 3/3 Tahun 1974-5. Ketiga cirri utama dari psikolinguistik generasi ketiga ini menunjukkan telah terjadinya satu peningkatan kualitatif dalam perkembangan psikolinguistik di Negara-negara Barat.

C. Pemerolehan Bahasa Menurut Ghazali (2012:3-4), setidak-tidaknya ada tiga fakta tentang belajar bahasa yang tidak bisa kita tolak kebenarannya. Pertama, semua anak bayi yang dilahirkan normal akan menguasai bahasa yang dipergunakan oleh

9

lingkungannya. Ini tanpa melihat dimana bayi itu dilahirkan, siapa yang melahirkan, dan bagaimana ia dilahirkan. Kenyataannya ini terjadi secara universal sehingga hal tersebut menolak anggapan bahwa bahasa adalah warisan sosial. Pemerolehan bahasa ini tumbuh secara bertahap, yaitu mulai dari penguasaan bunyi-bunyi prabahasa, kemudian muncul “kalimat satu kata”. Selanjutnya muncul “kalimat dua kata”, kalimat sederhana, dan kalimatkalimat yang strukturnya lebih kompleks. Kedua, waktu yang dipergunakan seorang anak untuk menguasai kaidah bahasa yang sangat kompleks terjadi pada waktu yang relatif singkat dan sangat menakjubkan karena peristiwa belajar bahasa itu seakan-akan dialami oleh anak-anak tanpa kesulitan apapun. Ketiga, fakta lain yang membuat peneliti perkembangan bahasa anak tercengang adalah kemampuan anak menyimpulkan kaidah, membuat kategorisasi kata, memilah-milah morfem penanda kata, jenis kelamin, jumlah dan sebagainya. Sejarah studi bahasa anak dibagi dalam dua periode, yaitu periode sebelum tahun 1960 dan sesudah 1960 (Mar’at, 2005: 58). Minat terhadap bahasa anak mulai timbul pada dekade pertama abad ke-20 yang dipelopori oleh ilmuwan di bidang psikologi ataupun pedagogi, antara lain W. Stern, W. Preyer, dan G. Stumpf. Pada umumnya, mereka mempelajari buku harian dari anak-anaknya, kemudian membandingkan hasilnya. Maka timbul argumentasiargumentasi tentang perolehan bahasa pada anak-anak yang mempertanyakan apakah perolehan bahasa pada anak-anak semata-mata merupakan hasil imitasi terhadap lingkungannya atau karena kreativitas yang timbul secara spontan. Akhirnya juga dibahas interaksi antar kedua konsep tersebut (lingkungan dan bawaan). Penelitian sebelum tahun 1960 lebih menitikberatkan pada urutan kata yang dipakai anak-anak, kesalahan anak pada pemakaian dan pengucapannya, dan kurang mencari sistematika kesalahan-kesalahan atau kurang untuk menjelaskan sebab-sebab kesalahan tersebut. Pada periode sesudah tahun 1960, terjadi perubahan yang cukup berarti. Dimulai sejak munculnya

Chomsky,

seorang

linguis

dengan

teori

barunya,

yaitu

Transformational Generative Grammer (Tatabahasa Transformasi Generatif)

10

pada1957.

Di samping itu, karena kemajuan di bidang teknologi seperti

adanya tape recorder dan alat video, perhatian terhadap perkembangan bahasa anak semakin meningkat. Dengan suatu alat, bahasa anak dapat diselidiki, dengan merekam kemudian menganalisisnya. Antara tahun 1960-an sampai dengan 1970-an muncul aliran baru yang menekankan pentingnya faktor biologi sebagai dasar perolehan bahasa, tetapi teori ini tidak menjadi popular. Sesudah tahun 1970, studi tentang sintaksis pada anak diperluas yaitu dengan diadakannya studi-studi lintas budaya untuk mencari kemungkinan adanya faktor universilitas dalam proses perolehan bahasa pada anak diseluruh dunia dan melihat persamaan serta perbedaan dalam perkembangan sintaksis bahasa anak pada bahasa-bahasa lain yang bukan bahasa Inggris. Aspek semantik juga menjadi perhatian sejalan dengan munculnya teori kognitif dari Piaget yang beranggapan bahwa dalam perkembangan seorang anak harus pula diperhatikan termasuk perkembangan kognisinya. Salah satu hal yang sering dibicarakan dalam konteks penguasaan (akuisisi) bahasa adalah pemerolehan bahasa. Pada umumnya, banyak orang menganggap bahwa subjek dalam pemerolehan bahasa selalu adalah anakanak. Anggapan ini tidak sepenuhnya benar karena selain anak-anak, orang dewasapun dapat menjadi subjek penelitian mengenai pemerolehan bahasa. Yang membedakan keduanya adalah waktu pemerolehan bahasa sehingga terciptalah pembedaan istilah pemerolehan dan pembelajaran. Istilah pemerolehan dipakai dalam proses penguasaan bahasa pertama, yaitu salah satu proses perkembangan yang terjai pada seorang manusia sejak ia lahir. Istilah pembelajaran dipakai dalam proses belajar bahasa (umumnya bahasa yang dipelajari secara formal di sekolah atau bahasa asing) yang dialami oleh seorang anak atau orang dewasa setelah ia menguasai bahasa pertama (Kushartanti, 2005: 24). Sebagai sebuah proses, pemerolehan bahasa merupakan sebuah proses yang kompleks dan berjalin dengan faktor-faktor psikologi, biologi, neurologi, dan sosial budaya. Faktor psikologi merupakan landasan yang berhubungan

11

dengan kesiapan kognitif anak untuk mengakuisisi bahasa. Faktor biologi terkait dengan jadwal perkembangan motorik (anatomis) yang biasanya mengiringi proses pemerolehan bahasa. Faktor neurologi berhubungan dengan kesiapan mental dan otak yang sangat mendeterminasi kecepatan dan laju pertumbuhan bahasa anak. Sementara itu, faktor sosial budaya berhubungan dengan pilihan bahasa yang dilakukan orang tua sebagai korpus yang akan menjadi input dan sekaligus sebagai latar sebenarnya dari aktivitas komunikasi dalam kehidupan sosial anak. Pilihan orang tua terhadap suatu bahasa biasanya dilandasi oleh pertimbangan-pertimbangan sosial budaya dan latar belakang linguistis yang sangat menentukan jenis dan jumlah bahasa yang diperoleh anak. Penguasaan bahasa oleh seorang individu dapat dilakukan melalui pembelajaran, baik formal maupun informal, dan dapat diperoleh melalui pemerolehan secara alamiah (Krashen dalam Dulay, 1982: 32). Seorang pembelajar dapat menginternalisasikan aturan-aturan bahasa melalui satu atau dua cara secara terpisah, yaitu secara implicit dan eksplisit. Proses mengecamkan dalam pikiran secara implicit inilah yang sering disebut oleh ahli pengajaran bahasa dengan istilah pemerolehan, sedangkan yang secara eksplisit biasa disebut dengan istilah pembelajaran. Pembedaan istilah pembelajaran dan pemerolehan mula-mula dikemukakan oleh Krashen (1981; 1982; 1983). Melalui model monitor yang dikemukakan, ia menerangkan bahwa pembelajaran adalah proses yang secara sadar dilakukan oleh pembelajar dalam menguasai bahasa, sedangkan perolehan adalah proses alami di dalam menguasai bahasa (1987;261; Huda, 1987: 1). Perolehan biasanya didapatkan dari kontak verbal dengan penutur asli di lingkungan bahasa, Sedangkan pembelajaran diperoleh melalui pengajaran formal di lingkungan bahasa pertama. (Hamied, 1987: 25) dalam (Mintowati, 1997: 67). Selanjutnya, menurut Huda (1990: 6) pemerolehan adalah penguasaan atas suatu bahasa melalui cara bawah sadar atau alamiah dan terjadi tanpa kehendak yang terencana. Proses ini tidak melalui usaha belajar yang formal ataupun eksplisit. Sementara itu, belajar bahasa adalah usaha sadar untuk

12

secara formal dan eksplisit menguasai bahasa yang dipelajari, terutama yang berkenaan dengan pengetahuan tentang kaidah-kaidah. Ada dua proses yang terjadi ketika seorang kanak-kanak sedang memperoleh bahasa pertamanya, yaitu proses kompetensi dan proses performansi. Kedua proses ini merupakan dua proses yang berlainan. Kompetensi adalah proses penggunaan tata bahasa yang berlangsung secara tidak disadari. Proses kompetensi ini menjadi syarat untuk terjadinya proses performansi yang terdiri atas dua buah proses, yakni proses pemahaman dan proses penerbitan atau proses menghasilkan kalimatkalimat. Proses pemahaman melibatkan kemampuan atau kepandaian mengamati atau kemampuan mempersepsi kalimat-kalimat yang didengar. Adapun penerbitan melibatkan kemampuan mengeluarkan atau menerbitkan kalimat-kalimat. Kedua proses kompetensi ini apabila telah dikuasai kanakkanak akan menjadi kemampuan linguistik kanak-kanak. Jadi, melahirkan atau menerbitkan kalimat-kalimat baru yang dalam linguistik transformasi generatif disebut perlakuan, atau pelaksanaan bahasa, atau performansi (Chaer, 2003: 167). Persoalan mendasar dalam pemerolehan bahasa pertama adalah keterkaitan antara pemerolehan bahasa di satu sisi dan produksi bahasa pada sisi lain. Kedua aspek dalam pemerolehan bahasa anak tersebut secara mendasar tidak dapat dipisahkan karena ketika anak memperoleh bahasa tentu akan diikuti oleh produksi bahasa yang akan diperolehnya itu. Kanak-kanak mengembangkan

kompetensi

linguistik

dalam

pengertian

bahwa

dia

mengembangkan gambaran intern tata bahasa dari bahasanya yang akhirnya mengizinkannya untuk membuat jenis pertimbangan/keputusan linguistik yang dapat dibuat oleh orang dewasa, yaitu keputusan-keputusan mengenai ketatabahasaan, kedwimaknaan, parafrasa, dan sebagainya (Tarign, 1985: 253). Begitu kanak-kanak mengembangkan kompetensi linguistik, dia pun mengembangkan kemampuan performansi linguistik, yang mengizinkannya menjadikan pikiran-pikiran sendiri menjadi ucapan-ucapan yang dapat dipahami dan mengalih sandikan (men-decoding) ujaran orang lain sehingga dia mencapai beberapa tingkat pemahaman.

13

Pendekatan Teoritis Terhadap Pemerolehan Bahasa a. Pandangan Nativistik Pandangan nativistik tidak menganggap penting pengaruh dari lingkungan sekitar. Selama belajar bahasa (pertama), sedikit demi sedikit manusia membuka kemampuan lingualnya yang secara biologis telah diprogramkan. Pandangan yang condong pada anggapan bahwa bahasa merupakan pemberian biologis ini sering pula disebut sebagai “hipotesis pemberian alam”. Menurut pandangan kaum nativis, bahasa terlalu kompleks dan mustahil dipelajari dalam waktu singkat melalui metode seperti peniruan. Jadi beberapa aspek penting menyangkut sistem bahasa pasti sudah ada pada manusia secara alamiah. Chomsky (1965, 1975) tidak hanya terkesan akan betapa kompleksnya bahasa, melainkan juga oleh betapa banyak kesalahan dan penyimpangan kaidah pada pengucapan bahasa. Oleh karena itu, tidaklah mungkin bahwa manusia belajar bahasa (pertama) dari manusia lain; selaama belajar mereka menggunakan prinsipprinsip yang membimbingnya menyusun tata bahasa. Belajar bahasa hanyalah mengisikan detail didalam struktur bahasa yang sudah ada secara alamiah. Bahasa hanya dapat dikuasai oleh manusia. Pandangan ini berlandas pada beberapa asumsi berikut: (1) bahwa perilaku berbahasa adalah sesuatu yang diturunkan (genetik), pola perkembangan bahasa adalah sama pada berbagai macam bahasa dan budaya (merupakan sesuatu yang universal), dan lingkungan memiliki peranan yang kecil di dalam waktu yang singkat; anak usia 4tahun sudah dapat berbicara mirip dengan kaum dewasa; (2) bahwa lingkungan bahasa si anak tidak dapat menyediakan cukup data bagi penguasaan tata bahasa yang rumit dari kaum dewasa. Menurut Chomsky, anak sudah dibekali secara alamiah dengan peranti yang disebut Language Acquisition Device (LAD). Peranti ini merupakan alat yang meruakan pemberian biologis dan sudah diprogramkan untukk memerinci butir-butir yang mungkin dari suatu tata bahasa. LAD dianggap sebagai suatu bagian fisiologis dari otak yang dikhususkan untuk

14

memproses bahasa, dan tidak berkaitan dengan kemampuan kognitif lain. Sebagaimana sayap memungkinkan burung untuk terbang maka LAD membekali manusia kemampuan alamiah untuk berbahasa (Chomsky, 1979). b. Pendekatan Behavioristik Pendekatan behavioristik menekankan bahwa proses penguasaan bahasa pertama dikendalikan dari luar, yaitu oleh rangsanagan yang disodorkan melalui lingkungan. Karya Skinner (1957) merupakan versi yang paling ekstrem dari pandangan ini. Bahasa merupakan salah satu (yang juga merupakan sesuatu yang kompleks) diantara perilaku-perilaku yang lain. Dengan demikian, bagi kaum behavioristik bahasa itu sendiri dirasa kurang tepat karena mengonotasikan suatu wujud (entity) sesuatu yang dimiliki atau digunakan dan bukan sesuatu yang dilakukan. Untuk istilah bahasa, mereka lebih suka menggunakan istilah perilaku verbal agar lebih kelihatan miripnya denga perilaku yang harus dipelajari. Kemampuan berbicara dan memahami bahasa diperoleh melalui rangsangan dari lingkungannya. Anak dianggap sebagai penerima pasif dari tekanan lingkungannya sebagaimana lempung yang dibentuk menjadi wujud baru. Anak tidak memiliki peranan yang aktif didalam proses perkembangan perilaku lingualnya. Bukan hanya peranan aktif anak yang tidak diakui kaum behavioris; kematangan si anak pun bukanlah sesuatu yang menentukan proses perkembangan bahasa. Proses perkembangan bahasa terutama ditentukan oleh lamanya latihan yang disodorkan oleh lingkungan. c. Pendekatan Kognitivistik Menurut Piaget (1954), bahasa distrukturkan atau dikendalikan oleh nalar; perkembangan bahasa harus berlandaskan (atau diturunkan dari) perubahan yang lebih mendasar dan lebih umum didalam kognisi. Dengan demikian, urutan-urutan perkembangan kognitif menentukan urutan perkembangan

bahasa.

Untuk

lebih

memahami

hubungan

antara

perkembangan kognitif dan perkembangan bahasa, dapat diamati keterangan Piaget mengenai tahap paling awal dari perkembangan intelektual anak.

15

Tahap perkembangan dari lahirsampai 18 bulan atau 2 tahun disebut sebagai tahap “sensori motor”. Pada tahap ini dianggap belum ada bahasa karena anak belum menggunakan lambing-lambang untuk menunjukan kepada benda-benda disekitarnya. Anak pada masa sensori ini memahami dunianya hanya melalui inderanya (sensori) dan gerakan yang dilakukannya (motor). Anak pada usia ini hanya mengenal objek jika benda itu dialaminya secara langsung. Begitu sebuah benda hilang dari penglihatannya, benda itu dianggap tidak ada lagi sebagai benda. Baru menjelang akhir usia satu tahun, si anak dapat menangkap “kepermanenan” objek, si anak mulai menggunakan symbol untuk mempresentasikan objek yang tidak lagi hadir didepan matanya. Simbol ini kemudian menjadi kata-kata awal yang diucapkan anak. Kepermanenan objek adalah pembuka jalan yang diperlukan

bagi

penguasaan

bahasa.jadi,

menurut

pandangan

ini,

diasumsikan bahwa perkembangan kognitif harus tercapai lebih dahulu, dan barulah setelah itu pengetahuan dapatkeluardalam wujud keterampilan berbahasa. Dengan demikian perkembangan kognitif dan mental anak adalah faktor penentu dalam proses pemerolehan bahasa (Tolla, 1990:11). d. Pendekatan Konvergensi Dalam hal ini, pemerolehan bahasa dimungkinkan terjadi bukan semata secara alamiah manusia telah dibekali salah satu modal hidup berupa peranti penguasaan bahasa yang oleh Chomsky dihipotesiskan sebagai LAD; bukan sekadar anak beroleh masukan dari lingkungan selama dalam proses pertumbuhan dan perkembanannya sehingga dimungkinkan terjadi penguasaan bahasa dengan makanisme peniruan; bukan hanya disokong oleh

kematangan

kognitif

seperti

yang dikemukakan

oleh

kaum

kognitivisme. Pemerolehan bahasa terjadi karena faktor yang kompleks yang secara alamiah bekerja simultan, yakni karena manusia memiliki bakat bawaan yang kodrati, karena adanya masukan bahasa dari lingkungan, dan karena dilandasi kematangan kognitif yang memberinya kemampuan berpikir.

16

D. Hubungan Otak dengan Bahasa Dari buku Dardjowidjojo (2003), orang sudah lama sekali berbicara tentang otak dan bahasa. Aristotle pada tahun 384-322 Sebelum Masehi telah berbicara soal hati yang melakukan hal-hal yang kini kita ketahui dilakukan oleh otak. Begitu pula pelukis terkenal Leonardo da Vinci pada tahun 1500-an (Dingwall 1998: 53). Namun titik tolak yang umum dipakai adalah setelah penemuan-penemuan ang dilakukan oleh Broca dan Wernicke pada tahun 1860-an. Dari struktur serta organisasi otak manusia tampak bahwa otak memegang peran yang sangat penting dalam bahasa. Dari (Geschwind 1981) Apabila input yang masuk adalah dalam bentuk lisan, maka bunyi-bunyi itu ditanggapi di lobe temporal, khususnya oleh korteks primer pendengaran. Di sini input tadi diolah secara rinci sekali, misalnya, apakah bunyi sebelum bunyi /o/ yang didengar itu memiliki VOT +60 milidetik, +20 milidetik, atau di antara kedua angka ini. Angka indek VOT ini penting karena kalau VOT-nya adalah +0 milidetik, maka bunyi itu pastilah vois seperti /b/ atau /g/; kalau lebih dari +30 milidetik, pastilah itu bunyi tak-vois seperti /p/ atau /k/, dst. Korteks ini juga meneliti apakah urutan bu- nyinya adalah, misalnya, /p/,/ɔ/,/s/ (pos) atau /s/,/ɔ/,/p/ (sop). Setelah diterima, dicerna, dan diolah seperti ini maka bunyi bunyi bahasa tadi "dikirim" ke daerah Wernicke untuk diinterpretasikan. Di daerah ini bunyibunyi itu dipilah-pilah menjuci suku kata, kata, frasa, klausa, dan akhirnya kalimat. Setelah di- beri makna dan difahami isinya, maka ada dua jalur kemungkinan. Bila masukan tadi hanya sekedar informasi yang tidak perlu ditanggapi, maka masukan tadi cukup disimpan saja dalam memori. Suatu saat nanti mungkin informasi itu diperlukan. Bila masukan tadi perlu ditanggapi secara verbal, maka interpretasi itu dikirim ke daerah Broca melalui fasikulus arkuat. Di daerah Broca proses penanggapan dimulai. Setelah diputuskan tanggapan

verbal

itu

bunyinya

seperti

apa

maka

daerah

Broca

"memerintahkan" motor korteks untuk melaksanakannya. Proses pelaksanaan di korteks motor juga tidak sederhana. Untuk suatu ujaran ada minimal 100

17

otot dan 140.000 rentetan neuromuskuler yang terlibat. Motor korteks juga harus mempertimbangkan tidak hanya urutan kata dan urutan bunyi, tetapi juga urutan dari fitur-fitur pada tiap bunyi yang harus diujarkan. Ambillah perkataan dia pada kalimat (1) Dia belum pulang. Karena bunyi /d/ mempunyai fitur [+vois], di samping fitur-fitur lain seperti [+konsonatal], [+anterior], [-bilabial, [+alveolar], [- nasal], maka korteks motor harus memerintahkan pita suara untuk bergetar 30 milidetik lebih awal daripada perintah- perintah yang lain. Hal ini disebabkan karena pita suara letaknya paling jauh dibandingkan dengan alat-alat penyuara yang lain. Sebaliknya, untuk bunyi /p/ pada kata pulang di kalimat (1) di atas, pita suara harus diperintahkan untuk bergetar paling awal 25 milidetik setelah bunyi /p/ itu diucapkan. Ini untuk menjamin bahwa bunyi bilabial yang keluar itu benar-benar /p/ dan bukan /b/ Perpindahan dari bunyi /d/ ke /i/ dan kemudian ke /a/ untuk kata dia juga memerlukan koordinasi yang sangat akurat. Ujung lidah yang menempel pada daerah alveolar di mulut untuk bunyi /d/ yang kemudian harus dengan tepat berubah bentuk menjadi lengkung dan tinggi-depan untuk /i/, misalnya, harus dikoordinasi dengan rapi sekali sehingga hasilnya benar-benar mencerminkan bunyi yang natif. Tanpa ketepatan ini maka pembicara akan kedengaran seperti orang asing. Bila input yang masuk bukan dalam bentuk lisan, tetapi dalam bentuk tulisan, maka jalur pemrosesannya agak berbeda. Masukan tidak ditanggapi oleh korteks primer pendengaran, tetapi oleh korteks visual di lobe osipital. Masukan ini tidak langsung dikirim ke daerah

Wernicke,

tetapi

harus

melewati

girus

anguler

yang

mengkoordinasikan daerah pemahaman dengan daerah osipital. Setelah tahap ini, prosesnya sama, yakni, input tadi difahami oleh daerah Wernicke, kemudian dikirim ke daerah Broca bila perlu tanggapan verbal. Bila tanggapannya juga visual, maka informasi itu dikirim ke daerah parietal diproses visualisasinya.

18

E. Tahap Perkembangan Bahasa Dari jurnal (uny.ac.id) berbagai teori oleh para ahli dapat dipahami bahwa psikolinguistik membahas tentang bagaimana orang mempergunakan bahasa sebagai sebuah sistem dan bagaimana orang dapat memperoleh bahasa tersebut sehingga dapat digunakan untuk komunikasi. Psikolinguistik juga membahas bagaimana bahasa itu diterima dan diproduksi oleh pemakai bahasa, bagaimana kerja otak manusia yang berkaitan dengan bahasa, teori pemerolehan bahasa oleh anak, Perbedaan antara pemerolehan bahasa oleh anak dan pembelajaran bahasa, dan interferensi sistem bahasa ibu ke bahasa yang sedang dipelajari.Ada dua langkah pembelajar menguasai bahasa target. Bahasa target adalah bahasa yang dikuasai (dipelajari) oleh pembelajar, baik disadari maupun tidak disadari. Krashen dan Terrell (dalam Suwarno: 2002: 18) mengemukakan bahwa kedua cara diatas adalah pembelajaran (learning) dan pemerolehan (acquisition). Suwarno (2002:18) menyatakan bahwa pembelajaran merupakan usaha disadari untuk menguasai kaidah- kaidah kebahasaan (about the language atau language usage), languge learning is knowing about language, or formal knowledge of a language. Belajar bahasa dilakukan secara formal dalam setting yang formal pula, misalnya pembelajaran bahasa dalam kelas.Namun demikian belajar bahasa secara formal tidak harus dilakukan dalam suatu tempat yang dibatasi oleh ruang, atau tidak harus dilakukan dalam kelas. Kegiatan belajar dimanapun asalkan proses belajar itu diarahkan pada penguasaan kaidah kebahasaan secara disadari, maka proses itu disebut pembelajaran. Pemerolehan adalah penguasaan bahasa secara tidak disadari (implisit), informal atau alamiah (Suwarno, 2002:18). Dardjowidjojo (2005:225) mengemukakan bahwa pemerolehan bahasa atau akuisi bahasa (language acquisition), yaitu proses penguasaan bahasa yang dilakukan oleh anak secara natural pada waktu dia belajar bahasa ibu (native language). Bahasa ibu adalah bahasa yang digunakan oleh orang dewasa pada saat berbicara dengan anak yang dalam masa memperoleh bahasa ibu (Dardjowidjojo, 2005:224). Pateda (1990:51) menyatakan akuisisi bahasa tergantung dari lingkungan anak. Dari

19

berbagai pendapat yang dikemukakan diatas dapat disimpulkan bahwa proses penguasaan bahasa yang oleh anak dilakukan secara natural. Proses penguasaan bahasa dilakukan dengan cara anak belajar bahasa yang digunakan oleh orang dewasa dalam masa memperoleh bahasa ibu. Pemerolehan bahasa ibu tergantung lingkungan anak. Penguasaaan bahasa secara tidak disadari atau informal diperoleh dengan cara menggunakan bahasa itu dalam berkomunikasi. Pemerolehan berkaitan dengan use the language atau use. Pemerolehan merupakan penguasaan bahasa secara praktis.Pemerolehan bahasa dilakukan secara alamiah untuk pengembangan kompetensi linguistik.Kompetensi linguistik tampak dalam performansi berbahasa. Apabila pembelajar telah dapat menggunakan bahasanya (untuk komunikasi, baik aktif maupun pasif), berarti ia telah memiliki kompetensi komunikatif. Penguasaan bahasa pada manusia berlangsung bertahap. Tahap penguasaan bahasa tersebut mengalami perkembangan paling pesat pada limatahun pertama yang disebut the golden year. Subyakto (1992: 18) membagi tahap pemerolehan bahasa menjadi empat tahap yaitu, tahap pengocehan, tahap satu kata satu frase, tahap dua kata satu frase, dan tahap menyerupai telegram.Tahap pengocehan (bubling stage) berkisar pada anak kurang lebih enam bulan. Anak mulai mengucapkan bunyi- bunyi yang tidak bermakna dan sebagian kecil menyerupai kata atau penggalan kata yang bermakna hanya merupakan kebetulan saja. Anak belajar menggunakan bunyibunyi ujar yang benar dan membuang bunyi ujar yang salah.Anak mulai meniru bunyi sesuai yang diucapkan orang dewasa, atau paling tidak mengadaptasi menjadi bunyi yang sekiranya mirip.Tahap satu kata satu frase berkisar kira- kira terjadi pada anak usia satu tahun. Anak mulai menggunakan serangkaian bunyi yang berulang- ulang untuk makna yang sama. Hal ini dilakukan sebab anak sudah mengerti bahwa bunyi ujar berkaitan dengan makna. Setelah tahap satu kata satu frase kemudian tahap dua kata satu frase. Tahap itu berada pada anak yang berusia dua tahun. Anak mulai mengucapkan ujaran yang terdiri atas ucapan satu kata dengan intonasi seakan-akan dua ucapan. Tahap menyerupai telegram (telegraphic stage). Tahap itu berada

20

pada anak yang berusia kurang lebih empat tahun.Pada tahap itu, kemampuan anak merespons stimulus dari lingkungannyasemakin berkembang. Anak sudah menguasai kalimat- kalimat yang lebih lengkap. Hubungan sintaksis sudah mulai tampak dengan jelas, meskipun yang menjadi topik pembicaraan adalah hal-hal yang berkenaan dengan dirinya. Leneberg (dalam Pateda, 1990: 57), membagi tahapan penguasaan bahasa pada anak berdasarkan tentang hubungan gerakan motorik dengan vokalisme bahasa. Berikut ini adalah tabel yang menggambarkan hubungan gerakan motorik dengan vokalisme bahasa.

Tabel 1: Hubungan Gerakan Motorik dengan Vokalisme Bahasa No

Umur

Gerakan Motorik Mengangkat kepala jika

Vokalisme Bahasa Jika didekati tidak banyak

tiarap, berat bertumpu pada menangis, jika diangguki 1

12 minggu

siku dan tangan terbuka,

akan tersenyum,

belum ada reflex

bergumam sekitar 15-20

memegang.

detik.

Bermain mainan yang 2

16 minggu

berbunyi, dapat memutar kepala, mata selalu menatap pembicara.

3

20 minggu

Duduk sangga.

Bereaksi terhadap bunyi bahasa, kadang-kadang tertawa. Bergumam yang diselingi konsonan label- frikatif, spiranti, nasal, bunyi vocal berbeda dari bunyi sekitar.

4

0,6 tahun

Duduk menekuk ke depan,

Meraban dengan satu suku

tangan sebagai penyangga,

kata, bukan saja vocal

dapat menahan berat badan

tetapi juga konsonan telah

jika meletakkan sesuatu,

diucapkan secara

belum dapat berdiri

berulang-ulang, umumnya

sendiri, jangkauan searah,

mengucapkan da…da,

21

pegangan belum sempurna, ma…,ma… benda dilepas jika diberi benda lain. 5

6

0,8 tahun

0,10 tahun

Berdiri sambil dipegang,

Reduplikasi sudah sering,

dapat memegang butir dan

tekanan lebih jelas, ujaran

benda dengan ibu jari dan

sudah memperlihatkan

jari lainnya.

keinginan dan perasaan.

Merangkak, berpegangan,

Vocal bercampur bunyi

mendorong untuk usaha

tiupan ketika sedang

sendiri.

meniru, produksi kata mulai berbeda.

7

8

1 tahun

1,6 tahun

Berjalan tanpa dipegang

Urutan bunyi telah ditiru,

ditangan, dapat duduk

telah mengerti pertanyaan

sendiri di lantai.

dan perintah.

Memegang kemudian

Membuat kalimat tiga

melepaskan diri secara

kata, masih meraban,

cepat, mendorong, turun

tetapi berbagai variasi

naik kursi dengan susah

silabe dan variasi tekanan.

payah, dapat membuat

Belum ada usaha

mainan sendiri.

memberikan informasi, marah jika tidak dituruti, sudah mengerti kalimat perintah, belum lancer menghubungkan katakata.

9

10

2,0 tahun

2,6 tahun

Berlari kadang-kadang

Kosa kata lebih dari lima

terjerembab, dapat segera

puluh kata, mulai secara

memilih duduk atau

cepat menghubungkan

berdiri.

kata-kata.

Melompat berdiri dengan

Pertumbuhan kosa kata

22

satu kaki dalam 2 detik,

cepat berkomunikasi

berjingkat-jingkat

sederhana, marah jika

melompat dari kursi,

tidak didengar, ujaran

tangan dan jari telah

berupa dua kata,

berkoordinasi dengan baik.

intelegensi belum berkembang dengan baik.

11

3,0 tahun

Berjingkat, melompat

Kosa kata kurang lebih

setinggi 12 inci.

1000 kata. Bahasa seharihari dikuasai meski kesalahan masih muncul.

12

4,0 tahun

Melompat di tali, dapat

Ujaran lancer, matang

menangkap bola yang

berbicara, pembeda

dilempar kepadanya.

bentuk-bentuk telah jelas.

Dalam jurnal (uny.ac.id) juga menyebutkan bahwa Atchison (dalam Pateda 1990: 54), membagi stadia akuisi bahasa yang langsung berkaitan dengan performansi linguistik.Pembagian stadia akuisi bahasa yang langsung berkaitan dengan performansi linguistik disajikan dalam bentuk tabel.Berikut ini adalah tabel yang menggambarkan performansi linguistik pada umur tertentu. No

Umur

Performansi Linguistik

1

0,3 tahun

Mulai meraban/bergumam

2

0,9 tahun

Pola intonasi telah terdengar

3

1,0 tahun

Kalimat satu kata (stadi holoprhases)

4

1,3 tahun

Kapar kata, banyak bertanya

5

1,8 tahun

Ujaran dua kata

6

2,0 tahun

Kalimat tiga kata (stadia telegraphic)

7

2,3 tahun

Mulai menggunakan kata ganti

8

2,6 tahun

Kalimat Tanya, kalimat negasi, kalimat empat kata, pelafalan vocal telah sempurna.

23

9

3,6 tahun

Pelafalan konsonan telah sempurna

10

4,0 tahun

Kalimat sederhana yang tepat yeyapi masih terbatas

11

5,0 tahun

Kontruksi morfologis dan sintaksis telah sempurna.

Dari berbagai tahapan menurut para ahli di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa manusia dalam menguasai bahasa mengalami beberapa tahap dan tingkatan kesukaran dari tingkatan termudah sampai dengan tingkatan tersukar. Mulai umur 2,6 tahun anak telah bisa diajak berkomunikasi sederhana menguasai kalimat tanya, kalimat negasi, dan kalimat empat kata. Pada umur empat tahun anak sudah menguasai kalimat- kalimat yang lebih lengkap, hubungan sintaksis sudah mulai tampak dengan jelas, ujaran lancar dan menguasai kalimat sederhana yang tepat tetapi masih terbatas. Anak secara sempurna menguasai konstruksi morfologis dan sintaksis pada usia lima tahun. Dardjowidjojo (2003: 241) mengemukakan bahwa pemerolehan bahasa berkaitan dengan bagaimana manusia dapat mempersepsi dan kemudian memahami ujaran orang lain yang berupa unsur pertama yang harus dikuasai manusia dalam berbahasa. Penelitian mengenai pemerolehan bahasa manusia terbagi menjadi dua kubu.Pembagian tersebut yaitu berdasarkan pandangan behavioristik dan mentalis.Teori behavioristik menganggap bahwa anak yang lahir dianggap kosong dari bahasa. Skinner (dalam Dardjowidjojo: 2003) mengungkapkan bahwa pemerolehan pengetahuan, termasuk pemerolehan bahasa, didasarkan pada adanya stimulus, kemudian diikuti oleh respon. Pengertian bahasa menurut Skinner merupakan seperangkat kebiasaan yang diperoleh

dengan

latihan

secara

berulang-ulang.

Anak

memperoleh

kemampuan berbahasanya dengan mengulang kata hasil dari lingkungan sekitarnya. Teori mentalistik, berbeda halnya dengan teori behavioristik, menganggap bahwa anak yang lahir ke dunia telah membawa kapasitas atau potensi bahasa. Chomsky (Dardjowidjojo:2003), menyatakan bahwa bahasa bukan merupakan suatu kebiasaan tetapi merupakan sistem yang diatur oleh seperangkat keteraturan. Menurut Chomsky manusia akan dengan sendirinya memperoleh kesempurnaan bahasa tanpa adanya pembiasaan. Chomsky

24

membuat suatu model bagaimana anak belajar tata bahasa.Model tersebut terkenal dengan LAD (language acquisition device) atau program penguasaan bahasa (Monks, 1988: 154).

F. Patologi Bahasa atau Gangguan Berbahasa Dalam buku (Chaer, 2009), manusia yang normal memiliki fungsi otak dan alat bicaranya, tentu dapat berbahasa dengan baik. Namun, mereka yang memiliki kelainan fungsi otak dan alat bicaranya, tentu mempunyai kesulitan dalam berbahasa, baik produktif maupun reseptif. Jadi, kemampuan berbahasanya terganggu. Gangguan berbahasa ini secara garis besar dapat dibagi dua. Pertama, gangguan akibat faktor medis; dan kedua, akibat faktor lingkungan sosial. Yang dimaksud dengan faktor medis adalah gangguan, baik akibat kelainan fungsi otak maupun akibat kelainan alat-alat bicara. Sedangkan yang dimaksud dengan kelainan faktor lingkungan sosial adalah lingkungan kehidupan yang tidak alamiah manusia, seperti tersisih atau terisolasi dari lingkungan kehidupan masyarakat manusia yang sewajarnya. Secara medis menurut Sidharta (1984) dalam Chaer (2009) gangguan berbahasa itu dapat dibedakan atas tiga golongan (1) gangguan berbicara, (2) gangguan berbhasa, dan (3) gangguan berpikir. Ketiga gangguan itu masih dapat diatasi kalau penderita gangguan itu mempunyai daya dengar yang normal; bila tidak tentu menjadi sukar atau sangat sukar. 1. Gangguan berbicara a. Gangguan mekanisme berbicara Mekanisme berbicara aadalah suatu proses produksi ucapan (perkataan) oleh kegiatan terpadu dari pita suara, lidah, otot-otot yang memebentuk rongga mulut serta kerongkongan, dan paru-paru. 1) Gangguan akibat faktor pulmnal Gangguan berbicara ini dialami oleh para penderita penyakit paruparu. Para penderita penyakit paru-paru ini kekuatan bernapasnya sangat kurang, sehingga cara berbicaraanya diwarnai dengan nada

25

yang monoton, volume suara yag kecil sekali, dan terputus-putus, meskipun dari segi semantik dan sintaksis tidak ada masalah. 2) Gangguan akibat faktor laringal Gangguan berbicara akibat faktor laringal di mana terdapat gangguan pada pita suara ini ditandai oleh suara yang serak atau hilang, tanpa kelaianan semantik dan sintaksis. 3) Gangguan akibat faktor lingual Lidah yang sariawan atau terluka akan terasa pedih kalau digerakkan. Untuk mencegah timbulnya rasa pedih ini ketika berbicara maka gerak aktivitas lidah itu dikurangi secara semaunya. Dalam keadaan seperti ini maka pengucapan sejumlah fonem menjadi tidak sempurna, sehingga

misalnya,

kalimat

“Sudah

barang

tentu

dia

akan

menyangkal” mungkin akan diucapkan menjadi “Hu ah ba-ang ke-ku ia a-an me-angkay”. 4) Gangguan akibat faktor resonansi Gangguan akibat faktor resonansi ini menyebabkan suara yang dihasilkan menjadi bersengau. Pada orang sumbing, misalnya, suara menjadi bersengau (bindeng) karena rongga mulut dan rongga hidung yang digunakan untuk berkomunikasi melalui defek di langit-langit keras (palatum), sehingga resonansi yang seharusnya menjadi terganggu.

b. Gangguan akibat multifaktorial 1) Berbicara serampangan Berbicara serampangan atau sembrono adalah berbicara dengan cepat sekali, dengan artikulasi yang rusak, ditambah dengan “menelan” sejumlah susku kata, sehingga apa yang diucapkan sukar dipahami. Umpamanya kalimat “Kemarin pagi saya sudah beberapa kali ke sini” diucapkan dengan cepat menjadi “Kemary sdada berali ksni”. Berbicara serampangan ini karena kerusakan di serebelum atau bisa juga terjadi sehabis terkena kelumpuhan ringan sebelah badan.

26

2) Berbicara propulsif Artikulasi sangat terganggu karena elastisitas otot lidah, otot wajah dan pita suara, sebagian besar lenyap. Dalam pada itu suaranya kecil, iramanya datar. Suaranya mula-mula tersendat-sendat, kemudian terus-menerus, dan akhirnya tersendat-sendat kembali. 3) Berbicara mutis Sebagian dari mereka mungkin masih dapat dianggap membisu, yakni memang sengaja tidak mau berbicara. Mutisme ini sebenarnya bukan hanya tidak dapat berkomunikasi secara verbal saja, tetapi juga tidak dapat berkomunikasi secara visual maupun isyarat, seperti dengan gerak-gerik dan sebagainya.

c. Gangguan psikogenik 1) Berbicara manja Disebut berbicara manja karena ada kesan anak (orang) yang melakukannya meminta Perhatian untuk dimanja. 2) Berbicara kemayu Berbicara kemayu (istilah dari Sidharta 1989) berkaitan dengan perangai kewanitaan yang berlebihan. 3) Berbicara Gagap Berbicara yang kacau karena sering tersendat-sendat, mendadak berhenti, lalu mengulang-ulang suku kata pertama, kata berikutnya, dan setelah berhasil mengucapkan kata-kata itu kalimat dapat diselesaikan. 4) Berbicara latah Suatu sindrom yang terdiri atas curahverbalrepetitive yang bersifat jorok (koprolalla) dan gangguan lokomotorik yang dapat dipancing.

27

2. Gangguan berbahasa a. Afasia motorik Kerusakan pada belahan otak yang dominan yang menyebabkan terjadinya afasia motorik dapat terletak pada lapisan permukaan daerah Broca. Atau pada lapisan di bawah permukaan atau juga di daerah otot antara daerah Broca dan daerah Wernicke. 1) Afasia motorik kortikal Hilangnya kemampuan untuk mengutarakan isi pikiran dengan menggunakan perkataan. Penderita ini masih bisa mengerti bahasa lisan dan bahasa tulisan. Namun, ekspresi verbal tidak bisa sama sekali; sedangkan ekspresi visual masih bisa dilakukan. 2) Afasia motorik subkortikal Tidak dapat mengeluarkan isi pikirannya dengan menggunakan perkataan; tetapi masih bisa mengeluarkan perkataan dengan cara membeo. Selain itu, pengertian bahasa verbal dan visual tidak terganggu, dan ekspresi visual pun berjalan normal. 3) Afasia motorik transcortical Penderita dapat mengutarakan perkataan yang singkat dan tepat; tetapi masih mungkin menggunakan perkataan substitusinya. b. Afasia sensorik Penyebab terjadinya afasia sensorik adalah akibat adanya kerusakan pada reaksi kortikal di daerah Wernicke pada hemispherium yang dominan. Daerah itu terletak di kawasan asosiatif antara daerah visual, daerah sensorik, daerah motorik, dan daerah pendengaran. Kerusakan di daerah Wernicke ini menyebabkan bukan saja pengertian dari apa yang didengar terganggu, tetapi juga pengertian dari apa yang dilihat ikut terganggu. Jadi penderita ini kehilangan pengertian bahasa lisan dan bahasa tulis. Namun dia masih memiliki curah verbal meskipun hal itu tidak dipahami oleh dirinya sendiri maupun oleh orang lain.

28

3. Gangguan berpikir a. Pikun Orang yang pikun menunjukkan banyak sekali gangguan seperti agnosia, apraksia, amnesia, perubahan kepribadian, perubahan perilaku, dan kemunduran dalam segala macam fungsi intelektual. b. Sisofrenik Para penderita ini dapat mengucapkanword-salad ini dengan lancar, dengan volume yang cukup, atau lemah sekali. Curah verbalnya penuh dengan kata-kata neologisme. Irama serta intonasinya menghasilkan curah verbal yang melodis. c. Depresif Volume curah verbanya lemah lembut dan kelancarannya terputus-putus oleh interval yang cukup panjang. Namun, arah arus isi pikiran tidak terganggu.

4. Gangguan lingkungan sosial Yang dimaksud dengan akibat faktor lingkungan adalah terasingnya seorang anak manusia, yang aspek biologos bahasanya normal dari lingkungan hidup manusia. Keterasingan bisa disebabkan diperlakukan dengan sengaja (sebagai eksperimen) bisa juga karena hidup bukan dalam alam lingkungan manusia, melainka dipelihara oleh binatang serigala, seperti kasus Kamala dan Mougle (Chauchard, 1983) dalam (Chaer, 2009).

BAB II PERKEMBANGAN BAHASA INDONESIA

F. Sumber Bahasa Indonesia Sejarah tumbuh dan berkembangnya Bahasa Indonesia tidak lepas dari Bahasa Melayu. Dimana Bahasa Melayu sejak dahulu telah digunakan sebagai bahasa perantara (lingua franca) atau bahasa pergaulan. Bahasa melayu tidak hanya digunakan di Kepulauan Nusantara, tetapi juga digunakan hampir diseluruh Asia Tenggara. Hal ini diperkuat dengan ditemukannya Prasastiprasasti kuno dari kerajaan di Indonesia yang ditulis dengan menggunakan Bahasa Melayu. Dan pada saat itu Bahasa Melayu telah berfungsi sebagai: 1. Bahasa Kebudayaan yaitu bahasa buku-buku yang berisi aturan-aturan hidup dan sastra. 2. Bahasa Perhubungan (Lingua Franca) antar suku di Indonesia. 3. Bahasa Perdagangan baik bagi suku yang ada di Indonesia. 4. Bahasa resmi kerajaan. Jadi, jelaslah bahwa Bahasa Indonesia sumbernya berasal dari Bahasa Melayu.

G. Peresmian Nama Bahasa Indonesia Bahasa Indonesia secara resmi diakui sebagai bahasa nasional pada saat Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober 1928. Penggunaan bahasa Melayu sebagai bahasa nasional merupakan usulan dari Muhammad Yamin, seorang politikus, sastrawan, dan ahli sejarah. Secara sosiologis kita bisa mengatakan bahwa Bahasa Indonesia resmi diakui pada Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober 1928. Hal ini juga sesuai dengan butir ketiga ikrar Sumpah Pemuda yaitu “Kami putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.” Namun secara Yuridis Bahasa Indonesia diakui pada tanggal 18 Agustus 1945 atau setelah Kemerdekaan Indonesia.

29

30

1. Tiga Fase Perkembangan Bahasa Indonesia Bagian

ini

menguraikan

hasil

dan

pembahasan

tiga

fase

perkembangan bahasa Indonesia (1928—2009) dilengkapi foto-foto peristiwa kebahasaan yang relevan. Secara berurutan, dibahas fase bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan, bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi negara, dan bahasa Indonesia sebagai bahasa internasional. a. Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Persatuan Bahasa Indonesia diikrarkan sebagai bahasa persatuan oleh para pemuda yang mengikuti Kongres Pemuda ke-II di Batavia (kini Jakarta) pada tanggal 27—28 Oktober 1928. Saat itu, para pemuda dari berbagai organisasi daerah mengucapkan ikrar bernama Sumpah Pemuda sebagai berikut:

Kami poetra dan poetri Indonesia mengakoe bertoempah darah jang satoe, tanah Indonesia Kami poetra dan poetri Indonesia mengakoe berbangsa

jang

satoe,

bangsa

Indonesia Kami poetra dan poetri Indonesia mendjoendjoeng bahasa persatoean, bahasa Indonesia

Butir ketiga menjadi dasar pijakan atas pengakuan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan. Dari segi pemaknaan, bahasa persatuan menjadi wahana pemersatu seluruh elemen bangsa. Artinya, bangsa Indonesia mempersatukan diri berdasarkan penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Sementara itu, dari segi ejaan, teks Sumpah Pemuda masih menggunakan ejaan van Ophuijsen. Salah satu ciri bunyi bahasa ejaan van Ophuijsen, yaitu huruf u ditulis oe. Jadi, teks ikrar butir ketiga jika ditulis ulang dengan ejaan saat ini menjadi “...

31

Kami putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.” b. Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Resmi Negara Fase bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi negara memiliki durasi waktu terlama, sejak tanggal 18 Agustus 1945 melalui penetapan Pasal 36 UUD 1945, hingga Seminar Politik Bahasa pada tahun 1999. Fase ini diawali dengan peristiwa Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta membacakan teks Proklamasi Kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945 dan sehari kemudian bahasa Indonesia ditetapkan sebagai bahasa resmi negara melalui Pasal 36 UUD 1945. Dengan begitu, terjadilah tanda pergeseran fase, awalnya bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan menjadi bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi negara. Kemudian muncullah Ejaan Suwandi pada tahun 1947. Menurut Sudaryanto (2017), ejaan Suwandi merupakan sistem ejaan Latin untuk bahasa Indonesia sesudah Proklamasi Kemerdekaan yang dimuat dalam Surat Keputusan Menteri Pengajaran, Pendidikan, dan Kebudayaan, Mr. Soewandi, No. 264/Bhg. A tanggal 19 Maret 1947 yang merupakan penyederhanaan atas Ejaan van Ophuijsen, antara lain, adalah perubahan oe menjadi u. Sistem Ejaan Suwandi bernama lain Ejaan Republik. Disebut Ejaan Republik karena bangsa Indonesia saat itu tengah menunjukkan rasa nasionalisme yang tinggi, termasuk di dalam bahasa. Di mata mereka, Ejaan van Ophuijsen dianggap sebagai bagian dari pengaruh penjajah Belanda karena yang menyusun ejaan itu ialah orang Belanda, Charles Adriaan van Ophuijsen.

c. Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Internasional Fase bahasa Indonesia sebagai bahasa internasional merupakan kelanjutan dari fase sebelumnya, yaitu bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi negara. Fase ini ditandai adanya Kongres Internasional IX Bahasa Indonesia di Jakarta, pada tanggal 28 Oktober—1 November 2008. Tema kongres tersebut adalah “Bahasa Indonesia Internasional”.

31

32

Membentuk Insan Indonesia Cerdas Kompetitif di Atas Pondasi Peradaban Bangsa”. Penggunaan kata internasional pada nama kongres itu mengisyaratkan bahwa saatnya bahasa Indonesia menjadi bahasa internasional. Setahun kemudian, terbitlah UndangUndang (UU) Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan yang kian mendukung peningkatan fungsi bahasa Indonesia menjadi bahasa internasional Pasal 44 ayat (1).

2. Empat Faktor yang Menyebabkan Bahasa Melayu Diangkat Menjadi Bahasa Indonesia a. Bahasa Melayu sudah merupakan lingua franca di Indonesia, bahasa perhubungan dan bahasa perdagangan. b. Sistem bahasa Melayu sederhana, mudah dipelajari karena dalam bahasa Melayu tidak dikenal tingkatan bahasa (bahasa kasar dan bahasa halus). c. Suku Jawa, Suku Sunda dan suku-suku yang lainnya dengan sukarela menerima bahasa Melayu menjadi bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional. d. Bahasa Melayu mempunyai kesanggupan untuk dipakai sebagai bahasa kebudayaan dalam arti yang luas.

H. Peristiwa-Peristiwa Penting yang Berkaitan dengan Bahasa Indonesia. Peristiwa-peristiwa penting yang berkaitan dengan perkembangan bahasa Indonesia dapat dirinci sebagai berikut: 1. Tahun 1801 disusunlah ejaan resmi bahasa Melayu oleh Ch.A Van Ophuijsen yang dibantu oleh Nawawi Soetan Ma'moer dan Moehammad Taib Soetan Ibrahim. Ejaan ini dimuat dalam Kitab Logat Melayu. 2. Tahun 1908 pemerintah kolonial mendirikan sebuah badan penerbit bukubuku bacaan yang diberi nama Commissie voor de Volkslectuur (Taman Bacaan Rakyat), yang kemudian pada tahun 1917 diubah menjadi Balai Pustaka. Badan penerbit ini menerbitkan novel-novel, seperti Siti Nurbaya dan Salah Asuhan, buku-buku penuntun bercocok tanam, penuntun

33

memelihara kesehatan, yang tidak sedikit membantu penyebaran bahasa Melayu di kalangan masyarakat luas. 3. Tanggal 16 Juni 1927 Jahja Datoek Kayo menggunakan bahasa Indonesia dalam pidatonya. Hal ini untuk pertama kalinya dalam sidang Volksraad (dewan rakyat), seseorang berpidato menggunakan bahasa Indonesia. 4. Tanggal 28 Oktober 1928 secara resmi pengkokohan bahasa Indonesia menjadi bahasa persatuan. 5. Tahun 1933 berdiri sebuah angkatan sastrawan muda yang menanamkan dirinya sebagai Pujangga Baru yang dipimpin oleh Sutan Takdir Alisyahbana. 6. Tahun 1936 Sutan Takdir Alisyahbana menyusun Tata bahasa Baru Bahasa Indonesia. 7. Tanggal 25-28 Juni 1938 dilangsungkan Kongres Bahasa Indonesia I di solo. Dari hasil kongres itu dapat disimpulkan bahwa usaha pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia telah dilakukan secara sadar oleh cendikiawan dan budayawan Indonesia saat itu. 8. Tanggal 18 Agustus 1945 ditandatanganilah Undang-Undang Dasar 1945, yang salah satu pasalnya (pasal 36) menetapkan bahasa Indonesia sebagai bahasa negara. 9. Tanggal 19 Maret 1947 diresmikan penggunaan ejaan Republik (ejaan Soewandi) sebagai pengganti ejaan Van Ophuijsen yang berlaku sebelumya. 10. Tanggal 28 Oktober-2 November 1954 diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia II di Medan. Kongres ini merupakan perwujudan tekad bangsa Indonesia untuk terus-menerus menyempurnakan bahasa Indonesia yang diangkat sebagai bahasa kebangsaan dan ditetapkan sebagai bahasa negara. 11. Tanggal 16 Agustus 1972 H.M Soeharto, Presiden Republik Indonesia, meresmikan penggunaan Ejaan Bahasa Indonesia yang disempurnakan (EYD) melalui pidato kenegaraan di hadapan sidang DPR yang dikuatkan pula dengan Keputusan Presiden No.57 tahun 1972. 12. Tanggal 31 Agustus 1972 Menteri Pendidikan dan kebudayaan menetapkan Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang disempurnakan

34

dan Pedoman Umum Pembentukan Istilah resmi berlaku di seluruh wilayah Indonesia (Wawasan Nusantara). 13. Tanggal 28 Oktober-2 November 1978 diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia III di Jakarta. Kongres yang diadakan dalam rangka memperingati Sumpah Pemuda yang ke-50 ini selain memperlihatkan kemajuan, pertumbuhan, dan perkembangan bahasa Indonesia sejak tahun 1928, juga berusaha memantapkan kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia. 14. Tanggal 21-26 November 1983 diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia IV di Jakarta. Kongres ini diselenggarakan dalam rangka memperingati hari Sumpah Pemuda yang ke-55. Dalam putusannya disebutkan bahwa pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia harus lebih ditingkatkan sehingga amanat yang tercantum di dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara, yang mewajibkan kepada semua warga negara Indonesia untuk menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar, dapat tercapai semaksimal mungkin. 15. Tanggal 28 Oktober-3 November 1988 diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia V di Jakarta. Kongres ini dihadiri oleh kira-kira tujuh ratus pakar bahasa Indonesia dan seluruh Indonesia dan peserta tamu dari negara sahabat seperti Brunei Darussalam, Malaysia, Singapura, Belanda, Jerman, dan Australia. Kongres itu ditandatangani dengan dipersembahkannya karya besar Pusat Pembinaan dan pengembangan bahasa kepada pencinta bahasa di Nusantara, yakni Kamus Besar Bahasa Indonesia dan Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. 16. Tanggal 28 Oktober-2 November 1993 diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia VI di Jakarta. Pesertanya sebanyak 770 pakar bahasa dari Indonesia dan 53 peserta tamu dari mancanegara meliputi Australia, Brunei Darussalam, Jerman, Hongkong, India, Italia, Jepang, Rusia, Singapura, Korea Selatan, dan Amerika Serikat. Kongres mengusulkan agar pusat pembinaan dan pengembangan Bahasa ditingkatkan statusnya menjadi Lembaga Bahasa Indonesia, serta mengusulkan disusunnya Undang-Undang Bahasa Indonesia.

35

17. Tanggal 26-30 Oktober 1998 diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia VII di Hotel Indonesia, Jakarta. Kongres itu mengusulkan dibentuknya Badan Pertimbangan Bahasa.

I. Kedudukan dan Fungsi Bahasa Indonesia 1. Kedudukan Bahasa Indonesia Bahasa Indonesia mempunyai dua kedudukan yang sangat penting yaitu: a. Sebagai Bahasa Nasional Seperti yang tercantum dalam ikrar ketiga Sumpah Pemuda 1928 yang berbunyi Kami Putra dan Putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia, ini berarti bahasa Indonesia berkedudukan sebagai bahasa nasional yang kedudukannya berada di atas bahasa-bahasa daerah. b. Sebagai Bahasa Negara Tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945 (Bab XV Pasal 36) mengenai kedudukan bahasa Indonesia yang menyatakan bahwa bahasa Negara ialah bahasa Indonesia.

2. Fungsi Bahasa Indonesia Di dalam kedudukannya sebagai bahasa nasional, bahasa Indonesia berfungsi sebagai: a. Lambang Kebangsaan b. Lambang Identitas Nasional c. Alat Penghubung antarwarga, antardesa dan antar budaya d. Alat yang memungkinkan penyatuan berbagai suku bangsa dengan latar belakang sosial budaya dan bahasa yang berbeda-beda ke dalam satu kesatuan kebangsaan yang bulat. Di dalam kedudukannya sebagai bahasa negara, bahasa Indonesia berfungsi sebagai: a. Bahasa resmi kenegaraan b. Bahasa pengantar di dalam dunia pendidikan

36

c. Alat Perhubungan pada tingkat nasional untuk kepentingan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan d. Alat pengembangan kebudayaan, ilmu pengetahuan, dan teknologi.

F. Ragam dan Variasi Bahasa 1. Ragam Bahasa Lisan unsur-unsur gramatikal seperti subjek, predikat dan objek tidak adanya bermacam-macam ragam bahasa terjadi karena fungsi, kedudukan serta lingkungan yang berbeda-besa. Ada beberapa ragam bahasa yaitu: a. Ragam Lisan dan Ragam Tulis Perbedaan ragam lisan dan tulis yaitu: 1) Ragam lisan menghendaki adanya orang kedua, teman bicara sedangkan ragam tulis tidak mengharuskan. 2) Dalam ragam selalu dinyatakan, sedangkan ragam tulis harus dinyatakan. 3) Ragam lisan sangat terikat pada kondisi,i situasi, ruang dan waktu sedangkan ragam tulis tidak. 4) Ragam lisan dipengaruhi oleh intonasi suara sedangkan ragam tulis dipengaruhi oleh tanda baca, huruf kapital, dan huruf miring. b. Ragam Baku dan Ragam Tidak Baku Ragam baku adalah ragam yang dilembagakan dan diakui oleh sebagian besar warga masyarakat pemakaiannya sebagai bahasa resmi dan sebagai kerangka rujukan norma bahasa dalam penggunaannya. Ragam tidak baku adalah ragam yang tidak dilembagakan dan ditandai oleh ciri-ciri yang menyimpang dari norma ragam baku. c. Ragam Baku Tulis dan Ragam Baku Lisan Ragam baku tulis adalah ragam yang dipakai dengan resmi dalam buku-buku pelajaran atau buku-buku ilmiah lainnya. Ragam baku lisan bergantung kepada besar atau kecilnya ragam daerah yang terdengar dalam ucapannya.

37

d. Ragam Sosial dan Ragam Fungsional Ragam sosial adalah ragam bahasa yang sebagian norma dan kaidahnya didasarkan atas kesepakatan bersama dalam lingkungan sosial yang lebih kecil dalam masyarakat. Ragam fungsional adalah ragam bahasa yang dikaitkan dengan profesi, lembaga, lingkungan kerja atau kegiatan tertentu.

2. Variasi Bahasa Variasi bahasa disebabkan oleh adanya kegiatan interaksi sosial yang dilakukan oleh masyarakatatau kelompok yang sangat beragam dan dikarenakan oleh para penuturnya yang tidak homogen. Variasi bahasa ada beberapa macam yaitu : a. Variasi Bahasa Dari Segi Penutur Variasi bahasa yang muncul dari setiap orang baik individu maupun sosial. b. Variasi Bahasa Dari Segi Pemakaian Variasi bahasa berkenaan dengan pemakaian atau fungsinya disebut fungsiolek atau register adalah variasi bahas yang menyangkut bahasa itu digunakan untuk keperluan atau bidang apa. Misalnya bidang jurnalistik, militer, pertanian, perdagangan, pendidikan, dan sebagainya. Variasi bahasa dari segi pemakaian ini yang paling tampak cirinya adalah hal kosakata. Setiap bidang kegiatan biasanyay mempunyai kosakata khusus yang tidak digunakan dalam bidang lain. c. Variasi Bahasa Dari Segi Keformalan Variasi bahasa dari segi keformalan ada beberapa macam yaitu : 1) Variasi baku (frozen) Variasi bahasa yang paling formal yang digunakan pada situasi hikmat seperti upacara kenegaraan dan khotbah. 2) Variasi resmi (formal) Variasi bahasa yang digunakan pada kegiatan resmi atau formal seperti surat dinas dan pidato kenegaraan.

38

3) Variasi usaha (konsultatif) Variasi bahasa yang lazim dalam pembicaraan biasa. Seperti pembicaraan di sekolah dan rapat. 4) Variasi santai (casual) Variasi bahasa yang digunakan dalam situasi tidak resmi. Seperti perbincangan dalam keluarga atau dengan teman. 5) Variasi akrab (intimate) Variasi bahasa yang biasa digunakan oleh para penutur yang hubungannya sudah akrab. 6) Variasi bahasa dari segi sarana Variasi bahasa yang dapat dilihat dari sarana atau jalur yang digunakan. Seperti telepon, telegraf dan radio.

39

BAB III TEORI BELAJAR DALAM PEMBELAJAR

D. Definisi Teori Menurut Snelbecker (1974), dalam penggunaan secara umum, teori-teori berarti sejumlah proposisi yang terintegrasi secara sintaktik (artinya kumpulan proposisi ini mengikuti aturan-aturan tertentu yang dapat menghubungkan secara logis proposisi yang satu dengan proposisi yang lain, dan juga pada data yang diamati), serta yang digunakan untuk memprediksi dan menjelaskan peristiwa

peristiwa

yang

diamati

(Dahar,

2011).

Snelbecker

juga

mengungkapkan bahwa konstruksi teori merupakan suatu bagian proses keberlangsungan dalam psikologi dan pendidikan, apakah yang diperhatikan itu suatu proses, belajar misalnya, ataukah suatu individu. Kenyataan bahwa manusia itu belajar merupakan fakta yang nyata, yang tidak nyata ialah “Bagaimana manusia itu belajar?” atau “Mengapa manusia belajar?” Suatu teori dapat menolong kita menjawab pertanyaan-pertanyaan itu. Sedangkan menurut Suyono dan Hariyanto dalam bukunya yang berjudul Belajar dan Pembelajaran mengemukakan bahwa teori adalah suatu penjelasan tentang hubungan antara dua atau lebih konsep, atau variabel yang berupa sekumpulan hukum, gagasan, prinsip, dan teknik-teknik tentang subjek tertentu (Suyono dan Hariyanto, 2014:28).

E. Teori Belajar dan Pembelajaran Dalam konsep pembelajaran,

Bruner membedakan

antara teori

pembelajaran dengan teori belajar, (instructional theory) dan teori belajar, (learning theory). Menurut Brunner (Degeng, 1989) teori pembelajaran adalah preskriptif (bersifat memberi petunjuk atau ketentuan) dan teori belajar adalah deskriptif (bersifat menggambarkan). Disebut preskriptif karena tujuan dari teori pembelajaran adalah menentukan dan menetapkan metode belajar yang paling optimal sedangkan tujuan utama dari teori belajar adalah menjelaskan proses belajar.

39

40

F. Teori Belajar dalam Pembelajaran Bahasa 1. Teori Deskriptif dan Perspektif a. Pengertian Teori Belajar Deskriptif dan Perspektif Untuk membedakan antara teori belajar dan teori pembelajaran bisa diamati dari poisional teorinya, apakah berada pada tataran teori deskriptif dan perspektif Bruner (dalam dageng 1989) mengemukakan bahwa teori pembelajaran adalahperspektif dan teori beljar adalah deskriptif. Perspektif karena tujuan utama teori pembelajaran adalah menetapkan metode pembelajaran yang optimal, sedangkan teori belajar bersifat deskriptif karena tujuan utama teori belajar adalah menjelaskan proses belajar. Teori belajar menaruh perhatian pada hubungan anatara variabel-variabel yang menentukan hasil belajar. Sedangkan teori pembelajaran sebaliknya teori ini menaruh perhatian pada bagaimana seseorang mempengaruhi orang lain agar terjadi proses belajar. Dengan kata lain teori pembelajaran berurusan dengan upaya mengontrol variabel yang di spesivikasikan dalam teori belajar agar dapat memudhkan belajar. Astri Budiningsih 2004 dalam buku belajar dan pembelajaran menjelaskan bahwa upaya dari Brunner untuk membedakan anatara teori belajar deskriptif dan teori pembelajaran perspektif dikembangkan lebih lanjut oleh Reigeluth. Teori dan prinsip-prinsip pembelajaran yang deskriptif menempatkan variabel kondisi dan metode pembelajaran sebagai menempatkan hasil belajar sebagai variabel yang diamati. Dengan kata lain, kondisi dan metode pembelajaran sebagai variabel bebas dan hasil pembelajaran sebagai variabel tergantung. Reigeluth (1983 dalam Degeng, 1990) mengemukakan bahwa teori perspektif adalah goal oriented sedangkan teori deskriptif adalah goal free. Maksudnya adalah bahwa teori belajar deskriptif adalah goal free. Maksudnya adalah bahwa teori pemeblajaran perspektif dimaksud untuk mencapai tujuan, sedangkan teori belajar deskriptif dimaksud untuk memberikan hasil. Itulah sebabnya variabel yang diamati dalam metode

41

yang optimal untuk mencapai tujuan, sedangkan dalam pengembangan teori pembelajaran deskriptif, variabel yang dimati adalah hasil belajar sebagai akibat dari interaksi antara metode dan kondisi. Dengan kata lain teori pembelajaran mengungkapkan hubungan anatara kegiatan pembelajaran dengan proses psikologis dari siswa, sedangkan teori belajar mengungkapkan hubungan antara kegiatan pembelajaran dengan proses psikologis dalam diri siswa. a) Kelebihan Teori Belajar Deskriptif 1) Pembelajaran lebih terpusat sehingga siswa lebih memahami materi yang akan disampaikan dan mendorong siswa untuk mencari sumber pengetahuan sebanyak-banyaknya dalam mengerjakan suatu tugas. 2) Lebih sistematis sehingga memiliki arah dan tujuan yang jelas. Banyak

memberi

motivasi

agar

terjadi

proses

belajar.

Mengoptimalisasikan kerja otak secara maksimal. b) Kekurangan Teori Belajar Deskriptif 1) Kurang memperhatikan sisi psikologis siswa dalam mendalami suatu materi. 2) Membutuhkan waktu cukup lama.

2. Teori Belajar Humanistik a. Pengertian Teori Belajar Humanistik Konsep teori belajar humanistik yaitu proses memanusiakan manusia, dimana seorang individu diharapkan dapat mengaktualisasikan diri artinya manusia dapat menggali kemampuannya sendiri untuk diterapkan dalam lingkungan. Proses belajar humanistik memusatkan perhatian kepada diri peserta didik sehingga menitikberatkan kepada kebebasan individu. Teori humanistik menekankan kognitif dan afektif mempengaruhi proses. Kognitif adalah aspek penguasaan ilmu pengetahuan sedangkan afektif adalah aspek sikap yang keduanya perlu dikembangkan dalam membangun individu. Hal yang penting lagi pada

42

proses pembelajaran humanisme harus adanya motivasi yang diberikan agar peserta didik dapat terus menjalani pembelajaran dengan baik. Motivasi dapat berasal dari dalam yaitu berasal dari diri sendiri maupun dari guru sebagai fasilitator.

b. Karakteristik Teori Humanistik (Suprayogi, 2005): 1) Mementingkan manusia sebagai pribadi. 2) Mementingkan kebulatan pribadi. 3) Mementingkan peranan kognitif dan afektif. 4) Mengutamakan terjadinya aktualisasi diri dan konsep. 5) Mementingkan persepsi subjektif yang dimiliki individu. 6) Mementingkan kemampuan menentukan bentuk tingkah laku sendiri. 7) Mengutamakan Insight ( pengetahuan atau pemahaman).

c. Prinsip Teori Humanistik 1) Manusia memiliki kemampuan alami untuk belajar. 2) Belajar menjadi signifikan apabila apa yang dipelajari memiliki relevansi dengan keperluan mereka. 3) Belajar yang menyangkut perubahan di dalam persepsi mengenai dirinya. 4) Tugas belajar dapat lebih diterima dan diasimilasikan apabila ancaman dari luar itu semakin kecil. 5) Bila ancaman itu rendah terdapat pengalaman siswa dalam memperoleh cara. 6) Belajar yang bermakna diperoleh jika siswa melakukannya. 7) Belajar lancar jika siswa dilibatkan dalam proses belajar. 8) Belajar yang melibatkan siswa seutuhnya dapat memberi hasil yang mendalam. 9) Kepercayaan pada diri siswa ditumbuhkan dengan membiasakan untuk mawas diri. 10) Belajar sosial adalah belajar mengenai proses belajar.

43

d. Tokoh-tokoh Teori Humanistik 1) Abraham Maslow Teori Maslow didasarkan pada asumsi bahwa dalam diri individu ada dua hal yaitu suatu usaha yang positif untuk berkembang dan kekuatan untuk

melawan

atau

menolak

perkembangan

itu.

Maslow

mengemukakan adanya lima tingkatan kunci kebutuhan pokok manusia. Kalimat tingkatan kebutuhan pokok inilah yang kemudian dijadikan pengertian kunci dalam mempelajari motivasi manusia. Karena sesungguhnya dalam teori humanistik ini sangat diperlukan motivasi. 2) Carl Sam Rogers Carl Sam Rogers mengemukakan kebutuhan individu ada 4 yaitu: a) Pemeliharaan, b) Peningkatan diri, c) Penghargaan positif (positive regard) dan d) Penghargaan diri yang positif (positif self regard). 3) Arthur Combs Arthur mengemukakan bahwa belajar terjadi bila mempunyai arti bagi individu. Guru tidak bisa memaksakan materi yang tidak disukai atau tidak relevan dengan kehidupan mereka. Untuk mengerti tingkah laku manusia, yang penting adalah mengerti bagaimana dunia ini dilihat dari sudut pandangnya. Pernyataan ini adalah salah satu dari pandangan humanistik mengenai perasaan, persepsi, kepercayaan, dan tujuan tingkah laku inner (dari dalam) yang membuat orang berbeda dengan orang lain. Untuk mengerti orang lain, yang terpenting adalah melihat dunia sebagai yang dia lihat, dan untuk menentukan bagaimana orang berpikir, merasa tentang dia atau dunianya. e. Penerapan Pembelajaran Teori Belajar Humanistik Teori belajar humanistik ini masih sukar diterjemahkan ke dalam langkah-langkah kirim yang praktis dan operasional, namun

44

sumbangan Teori ini amatlah besar. Ide-idenya, konsep-konsep, taksonomi tujuan yang sudah di rumus dapat membantu para guru untuk memahami hakikat kejiwaan manusia peserta didiknya. Hal ini dapat membantu mereka untuk menentukan komponen pembelajaran seperti perumusan tujuan pembelajaran, penentuan materi, pemilihan strategi belajar, serta dalam mengembangkan evaluasi. Dalam pelaksanaannya, teori belajar humanistik ini antara lain tampak dalam pendekatan belajar yang dikemukakan oleh Ausubel. Pandangannya tentang belajar bermakna atau meaningful learning yang juga tergolong dalam aliran teori belajar kognitif, mengatakan bahwa belajar merupakan asimilasi bermakna. Belajar bermakna bakal terjadi jika relevan dengan kebutuhan peserta didik, disertai motivasi intrinsik, dan kurikulum yang tidak kaku. Kejadian belajar bermakna didorong oleh hasrat dan intensitas keingintahuan peserta didik tentang bidang studi tertentu. Untuk terciptanya iklim kelas yang memungkinkan terjadinya belajar bermakna menurut teori belajar humanistik adalah sebagai berikut: 1) Terimalah peserta didik apa adanya Kenali dan bina minat peserta didik melalui penemuannya terhadap diri sendiri. Usahakan sumber belajar yang mungkin dapat diperoleh peserta didik untuk dapat memilih dan menggunakannya. 2) Gunakan pendekatan inquiry-discovery Tekankan pentingnya penilaian diri sendiri dan biarkan peserta didik mengambil tanggung jawab untuk memenuhi tujuan belajarnya. f. Kelebihan dan Kekurangan Teori Humanistik 1) Kelebihan a) Bersifat pembentukan kepribadian, hati nurani, perubahan sikap, analisis terhadap fenomena sosial. b) Siswa merasa senang, berinisiatif dalam belajar.

45

c) Guru menerima siswa apa adanya, memahami jalan pikiran siswa. d) Siswa mempunyai banyak pengalaman yang berarti. e) Menjadikan Siswa lebih kreatif dan mandiri, membantu siswa memahami bahan belajar secara lebih mudah. 2) Kekurangan a) Bersifat Individual. b) Proses belajar tidak akan berhasil jika tidak ada motivasi dan lingkungan yang mendukung. c) Sulit diterapkan dalam konteks yang lebih praktis. d) Peserta didik kesulitan dalam mengenal diri dan potensi potensi yang ada pada diri mereka. e) Siswa yang tidak mau memahami potensi dirinya akan ketinggalan dalam proses belajar.

3. Teori Belajar Kognitif a. Pengertian teori belajar kognitif Kognitif berasal dari bahasa inggris “cognitive” yang bermakna mengerti atau pengertian diartikan secara luas bahwa cognition (kognisi) adalah perolehan pengetahuan, Penataan dan penggunaanya. Kalau arti secara umumnya adalah kemampuan interaksi yang terdiri dari beberapa tahapan mulai dari knowledge (pengetahuan), analysis (analisis), sinthesis (sintesa), sampai evaluation (evaluasi). Ada juga hang mengartikan kognitif sebagai kemampuan untuk mengembangkan rasional (akal). Pembelajaran bagi aliran kognitif dipandang bukan hanya sekedar mendapat stimulus dan menghasilkan respon yang mekanistik, Tetapi pembelajaran juga melibatkan kondisi mental didalam individu pembelajaran yang berhubungan dengan persepsi, perhatian, motivasi dan lain-lain. Sehingga belajar dipahami sebagai suatu proses mental yang aktif dalam memperoleh, mengingat dan menunjukkan Kedalam

46

perilaku. Perilaku yang nampak tidak dapat diamati dan diukur apabila tidak melibatkan proses mental seperti kesadaran, motivasi, keyakinan dan proses mental lainnya. Teori belajar kognitif adalah teori yang menjelaskan proses pemikiran dan perbedaan kondisi mental serta pengaruh faktor internal dan eksternal dalam menghasilkan belajarnya seorang individu. Apabila proses kognitif bekerja dengan normal, maka perolehan informasi dan penyimpanan pengethauan akan bekerja dengan baik pula. Namun apabila proses kognitif tidak bekerja sebagaimana mestinya, maka terjadilah masalah dalam belajar.

b. Prinsip-Prinsip Teori Belajar Kognitif 1) Proses lebih penting daripada hasil 2) Disebut juga sebagai model perseptul 3) Persepsi menentukan tingkah laku seseorang serta pemahaman terhadap situasi berhubungan dengan tujuan belajar. 4) Perubahan persepsi merupakan proses pembelajaran yang kadang tidak nampak dalam bentuk tingkah laku. 5) Situasi belajar atau materi pelajaran yang dipisah-pisah menjadi komponen-komponen kecil atay dipisah-piasah akan menghilangkan makna.

4. Tokoh-tokoh Teori Belajar Kognitif Beberapa tokoh teori belajar kognitif yang teorinya banyak diterapkan dalam pendidikan ada Max Wartheimer (1887-1967), Kurt Koffka (18861941), dan Wolfgang Kohler (1887-1967). Mereka bertiga meruapakan pelapor teori Gestalt. Mereka berpendapat bahwa keseluruhan lebih bermakna daripada bagian-bagian bagi kognisi manusia. Sehingga proses pembelajaran baiknya dimulai dari keseluruhan (Gestalt) lalu menganalisir unsur-unsur

atau

bagian-bagiannya.

Ada

beberapa

tokoh

yang

47

mengemukakan pandangannya terhadap belajar dalam sudut pandang kognitif (kecerdasan), diantaranya: a. Kurt Levin (1890-1947) Kurt Levin merupakan pengembang teori motivasi disekitar medan. Inti teorinya dalam kaitanya dengan pembelajaran ialah bahwa semakin peserta didik dekat dengan medan belajar, motivasi belajar semakin kuat dibanding dengan peserta didik yang lebih jauh dari medan belajar. Medan yang dimaksud ialah medan psikologis karena belajar peserta didik. b. Jean Piaget Jean Piaget mempunyai konstribusi besar dalam pemahaman terhadap Perkembangan

intelektual

anak.

Dengan

teori

“perkembangan

berfikir”nya ia mengemukakan terhadap perkembangan kognitif anak, yaitu teori sansori-motor, praoperasional, operasional kankret, dan operasional formal. c. David Ausubel Inti dari teori belajar Ausubel adalah belajar bermakna pembelajaran bermakna merupakan suatu proses yang dikaitkan dengan informasi baru pada konsep-konsep relevan yang terdapat dalam struktur kognitif seseorang. Proses belajar tidak sekedar menghafal konsep-konsep atau fakta-fakta saja, tetapi merupakan kegiatan yang menghubungkan konsep-konsep untuk menghasilkan pemahaman yang utuh sehingga konsep yang dipelajari akan dipahami secara baik dan tidak mudah dilupakan. d. Jerome Bruner Jerome Bruner mengusulkan teori yang disebutnya free discovery learning atau belajar penemuan. Inti dari teorinya memandang bahwa manusia adalah sebagai pemproses, pemikir, dan pencipta informasi. Oleh karenanya, dalam belajar yang terpenting adalah cara-cara bagaimana seseorang secara aktif memilih mempertahaknkan dan mentransformasikan informasi yang diterimanya.

48

e. Albert Bandura Bandura menghasilkan sebuah teori dari turunan teori belajar kognitif yang disebut “belajar sosial” bermula dari pendapatnya tentang teori kognitif, sosial dan juga perilaku mempunyai peran penting dalam pembelajaran. Ini berarti bahwa faktor kognitif merupakan ekspetasi berarti bahwa faktor kognitif merupakan keberhasilan sedangkan faktor sosial mencakup pengamatan dan pengalaman pembelajaran terhadap perilaku orang-orang disekitar lingkungannya. f. Robet Gagne (1977) Berlandaskan teori belajar kognitif, maka Gagne menghasilkan suatu model pembelajaran yang disebut “Peristiwa pembelajaran”. Dalam model peristiwa pembelajaran tidak meperhatikan apakah proses belajar terjadi melalui proses penemuan (Discovery) atau proses permainan (Reception) sebagaimana yang dikenalkan oleh Bruner dan Ausubel, menurutnya yang terpenting adalah kulitas penetapan (daya simpan) dan kegunaan belajar.

5. Penerapan Teori Belajar Kognitif Dalam pembelajaran dalam penerapan teori belajar kognitif secara khusunya akan ada model belajar bruner, Ausubel, Gagne, dan model model perekembangan intelektual Piaget. Adapun secara umum penerapan teori belajar kognitif dalam pembelajaran adalah sebagai berikut : a. Belajar tidak harus berpusat pada guru tetapi peserta didik harus lebih aktif. Oleh karenanya peserta didik harus dibimbing agar aktif menemukan sesuatu yang dipelajarinya. b. Bahan pelejaran dan metode pemeblajaran harus menjadi perhatian utama. Peserta didik akan sulit memahami bahanpelajaran jika frekuensi belajar hitung loncat-loncat. Bagi anak SD pengoprasian suatu penjumlahan harus menggunakan benda-benda terutama di kelas-kelas awal kaerna tahap Perkembangan berfikir mereka baru mencapai tahap oprasi konkret.

49

c. Dalam

proses

pemebalajaran

guru

harus

memperhatikan

tahap

perkembanagan kognitif peserta didik. Materi dirancang sesuai dengan tahapan perkembangan kognitif itu dan harus merangsang kemampuan berpikir mereka. d. Belajar harus berfusat pada peserta didik karena peserta didik melihat sesuatu berdasarkan dirinya sendiri. Untuk terjadinya proses belajar harus tidak ada proses pelaksanaan agar sifat egosentrisnya tidak terbunuh.

6. Kelebihan dan Kekurangan Teori Belajar Kognitif 1) Kelebihan: a) Menjadikan siswa lebih aktif dan mandiri. b) Membantu siswa memahami bahkan belajar secara lebih mudah. 2) Kekurangan: a) Teori tidak menyeluruh untuk semua tingkat pendidikan b) Sulit di peraktika. Khususnya ditingkat lanjut c) Beberapa

prinsip

seperti

intelegensi

sulit

dipahami

dan

pemahamannya masih belum tuntas.

7. Teori Belajar Behavioristik a. Pengertian Teori Belajar Behavioristik Teori belajar behavioristik adalah sebuah teori yang dianut oleh Gage dan Berliner tentang perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman. Beberapa ilmuwan yang termasuk pendiri dan penganut teori ini antara lain adalah Thorndike, Watson, Hull, Guthrie, dan Skinner Teori ini lalu berkembang menjadi aliran psikologi belajar yang berpengaruh terhadap arah pengembangan teori dan praktik pendidikan dan pembelajaran yang dikenal sebagai aliran behavioristik. Aliran ini menekankan pada terbentuknya perilaku yang tampak sebagai hasil belajar. Teori behavioristik dengan model hubungan stimulus-responnya, mendudukkan orang yang belajar sebagai individu yang pasif. Respon

50

atau perilaku tertentu dengan menggunakan metode pelatihan atau pembiasaan semata. Munculnya perilaku akan semakin kuat bila diberikan penguatan dan akan menghilang bila dikenai hukuman. Belajar merupakan akibat adanya interaksi antara stimulus dan respon (Slavin, 2000:143). Seseorang dianggap telah belajar sesuatu jika dia dapat menunjukkan perubahan perilakunya. Menurut teori ini dalam belajar yang penting adalah input yang berupa stimulus dan output yang berupa respon. Stimulus adalah apa saja yang diberikan guru kepada pebelajar, sedangkan respon berupa reaksi atau tanggapan pebelajar terhadap stimulus yang diberikan oleh guru tersebut. Proses yang terjadi antara stimulus dan respon tidak penting untuk diperhatikan karena tidak dapat diamati dan tidak dapat diukur. Yang dapat diamati adalah stimulus dan respon, oleh karena itu apa yang diberikan oleh guru (stimulus) dan apa yang diterima oleh pebelajar (respon) harus dapat diamati dan diukur. Teori ini mengutamakan pengukuran, sebab pengukuran merupakan suatu hal penting untuk melihat terjadi atau tidaknya perubahan tingkah laku tersebut. Beberapa prinsip dalam teori belajar behavioristik, meliputi: 1) Reinforcement and Punishment (penguatan dan hukuman); 2) Primary and Secondary Reinforcement (penguatan utama dan kedua); 3) Schedules of Reinforcement (jadwal penguatan); 4) Contingency Management (manajeman berkelanjutan); 5) Stimulus Control in Operant Learning (kontrol rangsangan pada; 6) The Elimination of Responses (emilinasi respons) (Gage, Berliner, 1984). Faktor lain yang dianggap penting oleh aliran behavioristik adalah faktor penguatan (reinforcement). Bila penguatan ditambahkan (positive reinforcement) maka respon akan semakin kuat. Begitu pula bila respon dikurangi/dihilangkan (negative reinforcement) maka respon juga semakin kuat.

51

b. Teori Belajar Behavioristik Menurut Para Ahli 2) Edward Lee Thorndike Edward Lee "Ted" Thorndike (31 Agustus 1874 - 9 Agustus 1949) adalah seorang Psikolog Amerika yang menghabiskan hampir seluruh kariernya di Teachers College, Columbia University. Karyanya di bidang Psikologi Perbandingan dan proses pembelajaran membuahkan teori koneksionisme dan membantu meletakkan dasar ilmiah untuk psikologi pendidikan modern. Menurut Thorndike, belajar adalah proses interaksi antara stimulus dan respon. Stimulus adalah apa yang merangsang terjadinya kegiatan belajar seperti pikiran, perasaan, atau hal-hal lain yang dapat ditangkap melalui alat indra. Sedangkan respon adalah reaksi yang dimunculkan peserta didik ketika belajar, yang dapat pula berupa pikiran, perasaan, atau gerakan/tindakan. Jadi perubahan tingkah laku akibat kegiatan belajar dapat berwujud konkrit, yaitu yang dapat diamati, atau tidak konkret yaitu yang tidak dapat diamati. Meskipun aliran behaviorisme sangat mengutamakan pengukuran, tetapi tidak dapat menjelaskan bagaimana cara mengukur tingkah laku yang tidak dapat diamati. Teori Thorndike ini disebut pula dengan teori koneksionisme (Slavin, 2000). Pemahaman dari tokoh Thorndike akhirnya melahirkan beberapa dalil belajar, antara lain: a) Hukum sebab akibat yang menunjukkan kuat lemahnya hubungan antara stimulus dengan respons tergantung pada akibat yang ditimbulkan. b) Hukum pembiasaan, yang menunjukkan bahwa hubungan stimulus dengan respons bisa menjadi kuat ketika dilatih atau diulang. c) Hukum kesiapan, yang menyatakan bahwa hubungan antara stimulus dengan respons akan mudah terbentuk jika ada kesiapan dari individu itu.

52

d) Hukum reaksi bervariasi, yaitu hukum yang menyatakan bahwa individu melakukan trial and error lebih dulu untuk menunjukkan macam-macam respons sebelum mendapat respons paling tepat. e) Hukum sikap, yaitu hukum yang menyatakan bahwa perilaku seseorang juga ditentukan oleh keadaan yang ada dalam diri individu seperti emosi dan psikomotor. f) Hukum aktivitas berat sebelah, yaitu individu memberikan respons pada stimulus tertentu sesuai dengan persepsi terhadap keseluruhan situasi. g) Hukum respons, yang merupakan pemahaman bahwa individu bisa menyatakan respons tindakan bahwa pada situasi yang belum pernah dialaminya. h) Hukum perpindahan asosiasi, yaitu proses peralihan situasi lama ke situasi baru dengan cara bertahap, mengurangi unsur situasi lama dan mengenalkan unsur situasi baru.

3) Ivan Pavlov Ivan Petrovich Pavlov (14 September 1849 – 27 Februari 1936) adalah seorang fisiolog dan dokter dari Rusia. Karya yang membuat Pavlov memiliki reputasi sebenarnya bermula sebagai studi dalam pencernaan. Ia sedang mencari proses pencernaan pada anjing, khususnya hubungan timbal balik antara air ludah dan kerja perut. Ia sadar kedua hal itu berkaitan erat dengan refleks dalam sistem saraf otonom. Tanpa air liur, perut tidak membawa pesan untuk memulai pencernaan. Pavlov ingin melihat bahwa rangsangan luar dapat memengaruhi proses ini, maka ia membunyikan metronom dan di saat yang sama ia mengadakan percobaan makanan anjing. Setelah beberapa saat, anjing itu -- yang hanya sebelum mengeluarkan liur saat mereka melihat dan memakan makanannya -- akan mulai mengeluarkan air liur saat metronom itu bersuara, meskipun ketika tidak

ada

makanan.

Pada

1903

Pavlov

menerbitkan

hasil

53

eksperimennya dan menyebutnya "refleks terkondisi," berbeda dari refleks halus, seperti. Pavlov menyebut proses pembelajaran ini (sebagai contoh, saat sistem saraf anjing menghubungkan suara metronom dengan makanan) "pengkondisian". Ia juga menemukan bahwa refleks terkondisi akan tertekan bila rangsangan ternyata terlalu sering "salah". Jika metronom bersuara berulang-ulang dan tidak ada makanan, anjing akan berhenti mengeluarkan air liur. Hasil eksperimen ini akhirnya melahirkan beberapa hukum pembelajaran, yaitu: a) Hukum pembiasaan yang dituntut. Hukum ini menjelaskan bahwa jika ada dua stimulus yang diberikan secara bersama-sama (dan salah satunya merupakan reinforce/penguat), maka gerakan refleks pada stimulus lainnya juga meningkat. b) Hukum pemusnahan yang dituntut. Hukum ini memaparkan jika refleks

yang

diperkuat

melalui

pengkondisian

responden

(respondent conditioning) diberikan kembali tanpa adanya penguat (reinforcer), maka kekuatannya akan melemah. Dengan melihat eksperimen tersebut dapat kita wujudkan dalam proses pembelajaran dengan memberikan stimulus yang dilakukan secara berulang untuk hal-hal yang baru agar mendapatkan respons yang sama seperti hal-hal yang telah diketahui sebelumnya. Teori belajar ini disebut dengan terori belajar pengondisian klasik (classical conditioning) yang berarti perilaku manusia telah diarahkan oleh sebuah rangsangan.

Beberapa penerapan prinsip pengondisian klasik dalam kelas: a) Memberikan suasana yang menyenangkan ketika memberikan tugas. b) Membantu siswa mengatasi situasi yang mencemaskan atau mencekam.

54

c) Membantu siswa untuk mengenal perbedaan dan persamaan situasi sehingga dapat menggeneralisasikannya secara tepat.

4) John B. Watson John Broadus Watson (lahir di Greenvile 9 Januari 1878; meninggal 25 September 1958) adalah seorang ahli psikologi (psikolog)

Amerika

Serikat.

Watson

mempromosikan

sebuah

perubahan psikologi melalui karyanya Psychology as the Behaviorist Views it (pandangan perilaku psikologi), yang ia dedikasikan kepada Universitas Kolumbia pada tahun 1913. Ia menjelaskan bahwa tingkah laku seseorang dapat dijelaskan atas dasar reaksi fisiologis terhadap suatu rangsangan atau stimulus. Aliran ini tidak menerima paham tentang alam sadar dan alam bawah sadar pada kegiatan mental manusia. Watson adalah guru besar dan direktur laboratorium psikologi Universitas Johns Hopkins (tahun 1908-1920). Watson mendefinisikan belajar sebagai proses interaksi antara stimulus dan respon, namun stimulus dan respon yang dimaksud harus dapat diamati (observable) dan dapat diukur. Jadi walaupun dia mengakui adanya perubahan-perubahan mental dalam diri seseorang selama proses belajar, namun dia menganggap faktor tersebut sebagai hal yang tidak perlu diperhitungkan karena tidak dapat diamati. Watson adalah seorang behavioris murni, karena kajiannya tentang belajar disejajarkan dengan ilmu-ilmu lain seperi Fisika atau Biologi yang sangat berorientasi pada pengalaman empirik semata, yaitu sejauh mana dapat diamati dan diukur.

5) Edwin Guthrie Asas belajar Guthrie yang utama adalah hukum kontiguiti. Yaitu gabungan stimulus-stimulus yang disertai suatu gerakan, pada waktu timbul kembali cenderung akan diikuti oleh gerakan yang sama (Bell, Gredler, 1991). Guthrie juga menggunakan variabel hubungan

55

stimulus dan respon untuk menjelaskan terjadinya proses belajar. Belajar terjadi karena gerakan terakhir yang dilakukan mengubah situasi stimulus sedangkan tidak ada respon lain yang dapat terjadi. Penguatan sekadar hanya melindungi hasil belajar yang baru agar tidak hilang dengan jalan mencegah perolehan respon yang baru. Hubungan antara stimulus dan respon bersifat sementara, oleh karena dalam kegiatan belajar peserta didik perlu sesering mungkin diberi stimulus agar hubungan stimulus dan respon bersifat lebih kuat dan menetap. Guthrie juga percaya bahwa hukuman (punishment) memegang peranan penting dalam proses belajar. Hukuman yang diberikan pada saat yang tepat akan mampu mengubah tingkah laku seseorang. Saran utama dari teori ini adalah guru harus dapat mengasosiasi stimulus respon secara tepat. Pebelajar harus dibimbing melakukan apa yang harus dipelajari. Dalam mengelola kelas guru tidak boleh memberikan tugas yang mungkin diabaikan oleh anak (Bell, Gredler, 1991).

6) Burrhus Frederic Skinner Burrhus Frederic Skinner (lahir di Susquehanna, Pennsylvania, 20 Maret 1904 – meninggal di Massachusetts, 18 Agustus 1990 pada umur 86 tahun) adalah seorang psikolog Amerika Serikat terkenal dari aliran behaviorisme. Inti pemikiran Skinner adalah setiap manusia bergerak karena mendapat rangsangan dari lingkungannya. Sistem tersebut

dinamakan

"cara

kerja

yang menentukan" (operant

conditioning). Setiap makhluk hidup pasti selalu berada dalam proses bersinggungan dengan lingkungannya. Di dalam proses itu, makhluk hidup menerima rangsangan atau stimulan tertentu yang membuatnya bertindak sesuatu. Rangsangan itu disebut stimulan yang menggugah. Stimulan tertentu menyebabkan manusia melakukan tindakantindakan tertentu dengan konsekuensi-konsekuensi tertentu.

56

Teori operant conditioning mengungkapkan bahwa tingkah laku yang ditunjukkan subjek bukan semata-mata merupakan respon terhadap stimulus tetapi juga tindakan yang disengaja. Skinner menyatakan bahwa kepribadian seseorang merupakan hasil dari respons terhadap lingkungannya. Dua macam respons tersebut adalah: a) Respondent Response yaitu repons akibat rangsangan tertentu. b) Operant Response yaitu respon yang muncul dan semakin berkembang oleh rangsangan tertentu.

7) Robert Gagne Pada tahun 1956 Robert Wills Gagne mengemukakan delapan cara untuk belajar. Urutan ini didasarkan pada tingkat kerumitan proses mental, disarankan suatu sistem untuk menganalisis berbagai kondisi atau tingkat pembelajaran dari yang sederhana hingga yang kompleks. Menurut Gagné, tatanan pembelajaran yang lebih tinggi dalam hierarki dibangun di atas tingkat yang lebih rendah, yang membutuhkan jumlah pengetahuan sebelumnya yang lebih besar untuk berhasil berkembang. Ini menganalisis kemampuan akhir menjadi keterampilan bawahan dengan urutan sedemikian rupa sehingga tingkat yang lebih rendah dapat diprediksi untuk transfer positif pembelajaran tingkat yang lebih tinggi. Empat tatanan yang lebih rendah fokus pada aspek perilaku belajar, sedangkan tatanan empat yang lebih tinggi fokus pada aspek kognitif. Dalam penelitian orisinalnya tentang pengajaran, melalui studi yang berasal dari analisis pembelajaran tugas menyusun rumus untuk jumlah seri angka, Gagne mengaitkan perbedaan individu atau perbedaan kecerdasan dalam belajar.

a. Clark Hull Clark Hull juga menggunakan variabel hubungan antara stimulus dan respon untuk menjelaskan pengertian belajar. Namun dia

57

sangat terpengaruh oleh teori evolusi Charles Darwin. Bagi Hull, seperti halnya teori evolusi, semua fungsi tingkah laku bermanfaat terutama untuk menjaga agar organisme tetap bertahan hidup. Oleh sebab itu Hull mengatakan kebutuhan biologis (drive) dan pemuasan kebutuhan biologis (drive reduction) adalah penting dan menempati posisi sentral dalam seluruh kegiatan manusia, sehingga stimulus (stimulus dorongan) dalam belajarpun hampir selalu dikaitkan dengan kebutuhan biologis, walaupun respons yang akan muncul mungkin dapat berwujud macam-macam. Penguatan tingkah laku juga masuk dalam teori ini, tetapi juga dikaitkan dengan kondisi biologis (Bell, Gredler, 1991).

c. Penerapan Teori Belajar Behavioristik Penerapan teori behavioristik dalam kegiatan pembelajaran tergantung dari beberapa komponen seperti tujuan pembelajaran, materi pembelajaran, karakteristik siswa, media, fasilitas

pembelajaran,

lingkungan dan penguatan (Sugandi, 2007:35).

d. Ciri-ciri Teori Behavioristic Untuk mempermudah mengenal teori behavioristik dapat dikenali lewat ciri-ciri berikut: 1) Mementingkan pengarunmentalish lingkungan (environmentalist). 2) Mementingkan bagian-bagian (elentarist). 3) Mementingkan reaksi (repons). 4) Mementingkan mekanisme terbentuknya hasil belajar. 5) Mementingkan hubungan sebab-akibat pada waktu lalu. 6) Mementingkan pembentukan kebiasaan. 7) Ciri khusus dalam pemecahan masalah dengan “mencoba dan gagal” atau trial and error.

e. Prinsp-Prinsip Dasar Teori Behavioristic

58

Prinsip-prinsip dasar teori behavioristik yang banyak diterapkan di dunia pendidikan meliputi: 1) Menekankan pada pengaruh lingkungan terhadap perubahan perilaku. 2) Menggunakan prinsip penguatan, yaitu untuk mengidentifikasi aspek paling diperlukan dalam pembelajaran dan untuk mengarahkan kondisi agar peserta didik dapat mencapai peningkatan yang diharapkan. 3) Mengidentifikasi karakteristik peserta didik, untuk menetapkan pencapaian tujuan pembelajaran. 4) Lebih menekankan pada hasil belajar daripada proses pembelajaran

f. Kritik Terhadap Teori Behavioristik 1) Tidak dapat menjelaskan situasi belajar yang kompleks. 2) Asumsi bahwa semua hasil belajar berupa perubahan tingkah laku yang dapat diamati, dianggap menyedrhanakan masalah belajar yang sesungguhnya. 3) Tidak semua hasil belajar dapat diamati. 4) Cenderung mengarahkan peserta didik berpikir linear, tidak konvergen dan tidak kreatif.

g. Pentingnya Teori Behavioristik Pentingnya para guru, perancang pembelajaran, dan pengembang program-program pembelajaran memahami teori belajar behavioristik mempunyai alasan sebagai berikut: 1) Membantu para guru, perancang pembelajaran dan pengembang program-program pembelajaran untuk memahami proses belajar yang terjadi di dalam diri peserta didik. 2) Mengerti kondisi dan faktor yang dapat mempengaruhi, memperlancar atau menghambat proses belajar.

59

3) Memungkinkan untuk melakukan prediksi yang cukup akurat tentang hasil yang dapat diharapkan suatu aktivitas belajar (Lindgren, Teoti Sukamto, 1992: 14).

h. Aplikasi Teori Behavioristic Adapun aplikasi dalam pembelajaran teori behavioristik dalam merancang kegiatan pembelajaran adalah: 1)

Menentukan tujuan pembelajaran.

2)

Menganalisis lingkungan kelas yang ada saat ini termasuk mengidentifikasi pengaturan awal peserta didik.

3)

Menentukan materi pembelajaran.

4)

Memecah materi pembelajaran menjadi bagian-bagian kecil, meliputi pokok bahasan, subpokok, bahasan topik dan sebagainya.

5)

Menyajikan materi pembelajaran.

6)

Memberikan stimulus.

7)

Mengamati dan mengkaji respons yang diberikan peserta didik.

8)

Memberikan

penguatan

baik

yang positif

maupun

negatif

(hukuman). 9)

Memberikan stimulus baru.

10) Mengamati dan mengkaji respons yang diberikan peserta didik. 11) Memberikan pengetahuan lanjutan atau hukuman. 12) Evaluasi hasil belajar (Suciati & Irawan, 2001: 31-32).

i. Kelebihan Teori Behavioristik 1) Membiasakan guru untuk bersikap jeli dan peka terhadap situasi dan kondisi belajar. 2) Guru tidak biasa memberikan ceramah sehingga murid dibiasakan belajar mandiri. 3) Mampu membentuk suatu perilaku yang diinginkan untuk mendapat pengakuan positif dan perilaku yang kurang sesuai mendapat penghargaan negatif yang didasari pada perilaku yang tampak.

60

4) Melalui pengulangan dan pelatihan yang berkesinambungan, dapat mengoptimalkan bakat dan kecerdasan siswa yang sudah terbentuk sebelumnya. 5) Bahan pelajaran yang telah disusun sesuai tingkatan dari yang sederhana sampai yang kompleks dengan tujuan pembelajaran yang dibagi-bagi menjadi kecil. 6) Dapat mengganti stimulus yang satu dengan yang lainnya dan seterusnya sampai respons yang diinginkan muncul. 7) Cocok untuk memperoleh kemampuan yang membutuhkan praktik dan pembiasaan. 8) Cocok diterapkan untuk anak yang masih membutuhkan dominasi peran orang dewasa, suka meniru, harus dibiasakan dan senang dengan penghargaan langsung.

j. Kekurangan teori behavioristik 1) Sebuah konsekuensi untuk menyusun bahan pelajaran yang sudah siap. 2) Tidak setiap pelajaran dapat menggunakan metode ini. 3) Murid cenderung pasif karena hanya sebagai pendengar dan menghafal dalam proses pembelajaran. 4) Penggunaan hukuman karena dianggap cara yang efektif untuk menertibkan siswa 5) Cenderung mengarahkan siswa berpikir linear, konvergen, dan tidak kreatif. 6) Pembelajaran siswa yang berpusat pada guru, sehingga bersifat mekanistik (sesuai prosedur atau aturan baku) dan hanya berorientasi pada hasil yang bisa diamati dan diukur. 7) Penerapan metode yang salah dalam pembelajaran mengakibatkan terjadinya proses pembelajaran yang tidak menyenangkan karena berpusat pada guru.

61

8. Teori Belajar Konstruktivistik a. Pengertian Teori Belajar Konstruktif Konstruktivistik atau Konstruktivisme berasal dari kata Konstruktif dan isme. Konstruktif berarti bersifat membina, memperbaiki, dan membangun. Sedangkan Isme dalam kamus Bahasa Indonesia berarti paham

atau

aliran.

Konstruktivistik

merupakan

aliran

filsafat

pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan kita merupakan hasil konstruksi kita sendiri. Pandangan konstruktifistik dalam pembelajaran mengatakan bahwa anak-anak diberi kesempatan agar menggunakan strateginya sendiri dalam belajar secara sadar, sedangkan guru yang membimbing siswa ke tingkat pengetahuan yang lebih tinggi. Dalam konteks filsafat pendidikan, konstruktivistik adalah suatu upaya membangun tata susun hidup yang berbudaya modern. Konstruktivistik merupakan landasan berpikir (filosofi) pembelajaran konstektual, yaitu bahwa pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas dan tidak secara tiba-tiba. Tran Vui mengatakan bahwa teori konstruktivistik adalah sebuah teori yang memberikan kebebasan terhadap manusia yang ingin belajar atau mencari kebutuhannya dengan kemampuan untuk menemukan keinginan atau kebutuhannya tersebut dengan bantuan fasilitas orang lain (Thobroni, 2015:91). Sedangkan menurut Martin. Et. Al mengemukakan bahwa Konstruktivistik menekankan pentingnya setiap siswa aktif mengkonstruksikan pengetahuan melalui hubungan saling mempengaruhi dan belajar sebelumnya dengan belajar baru. Jadi dapat disimpulkan bahwa sebagai landasan paradigma pembelajaran, Konstruktifitas menyerukan perlunya partisipasi aktif siswa dalam proses pembelajaran perlunya pengembangan siswa belajar mandiri,

dan

perlunya

siswa

memiliki

mengembangkan pengetahuannya sendiri.

kemampuan

untuk

62

b. Kelebihan dan Kekurangan Teori Belajar Konstruktivistik Pada dasarnya tidak terdapat pendekatan strategi, metode, gaya atau pola mengajar yang paling baik utnuk semua materi pelajaran, yang ada adalah sesuai atau tidak dengan materi pelajaran pada waktu dan kondisi pelaksanaannya. Oleh karena itu guru diharapkan menguasai berbagai macam pendekatan, strategi, metode, gaya atau pola mengajar sebab setiap pendekatan, strategi, metode, gaya atau pola mengajar memiliki kelebihan dan kekurangan. 1) Kelebihan Adapun kelebihan dari pembelajaran berdasarkan kontruktivistik adalah sebagai berikut: a) Memberikan kesempatan pada siswa untuk mengungkapkan gagasan secara eksplisit dengan menggunakan bahasa siswa sendiri, berbagi gagasan dengan temannya, dan mendorong siswa memberikan penjelasan tentang penjelasannya. b) Memberi pengalaman yang berhubungan dengan gagasan yang telah dimiliki siswa atau rancangan kegiatan disesuaikan dengan gagasan awal siswa agar siswa memperluas pengetahuan mereka tentang fenomena dan memiliki kesempatan untuk merangkai fenomena, sehingga siswa terdorong untuk membedakan dan memadukan gagasan tentang fenomena yang menantang siswa. c) Memberi siswa untuk berfikir tentang pengalamannya. Ini dapat mendorong siswa berfikir kreatif, imajinatif, mendorong refleksi tentanng model dan teori, mengenalkan gagasan-gagasan pada saat yang tepat. d) Memberi kesempatan pada siswa untuk mencoba gagasan baru agar siswa

terdorong

untuk

memperoleh

percaya

diri

dengan

menggunakan berbagai konteks, baik yang telah dikenal maupun yang baru dan akhirnya memotivasi siswa untuk menggunakan berbagai strategi belajar.

63

e) Mendorong siswa untuk memikirkan perubahan gagasan mereka setelah menyadari kemajuan mereka serta memberi kesempatan siswa untuk mengidentifikasi perubahan gagasan mereka. f) Memberikan lingkungan belajar yang kondusif yang mendukung siswa mengungkapkan gagasan, saling menyimak, dan menghindari kesan selalu ada satu jawaban yang benar.

2) Kekurangan Adapun

kekurangan

dari

pembelajaran

berdasarkan

Konstruktivistik adalah sebagai berikut: a) Siswa mengkontruksi pengetahuannya sendiri, tidak jarang bahwa hasil kontruksi siswa tidak cocok dengan hasil kontruksi para ilmuan sehingga menyebabkan miskonsepsi. b) Konstruktivistik

menanamkan

agar

siswa

membangun

pengetahuannya sendiri, hal ini pasti membutuhkan waktu yang lama dan setiap siswa memerlukan penanganan yang berbeda-beda. c) Situasi dan kondisi tiap sekolah tidak sama, karena tidak semua sekolah memiliki sarana prasarana yang dapat membantu keaktifan dan kreativitas siswa. d) Ketidaksiapan murid untuk merancang strategi, berfikir dan menilai sendiri pengajaran berdasarkan pengalamannya sendiri. Tidak semua murid mempunyai pengalaman yang sama, masalah ini kadang menyebabkan aktivitas pengajaran menjadi tidak bermakna bagi siswa.

c. Membandingkan Pembelajaran Tradisional dengan Kontstruktivistik Pembelajaran

Tradisional

(konsep

lama)

sangat

menekan

pentingnya penguasaan bahan pelajaran. Pembelajaran tradisional merupakan pembelejaran dimana secara umum, pusat pembelajaran berada pada guru, dan menempatkan siswa sebagai objek dalam belajar.

64

Jadi, disini guru berperan sebagai yang serba bisa dan sumber belajar. Pembelajaran tradisional ini dikenal dengan pembelajaran behavioristik. Sistem pembelajaran tradisional memiliki ciri bawah pengelolaan pembelajaran ditentukan oleh guru. Peran siswa hanya melakukan aktivitas sesuai dengan petunjuk guru. Model tradisional ini lebih menitik beratkan upaya atau proses menghabiskan materi peajaran, sehingga model tradisional lebih berorientasi pada teks materi pelajaran. Guru cenderung menyampaikan materi saja, masalah pemahaman atau kualitas penerimaan materi siswa kurang mendapatka perhatian secara serius. Sedangkan pembelajaran modern adalah salah satu hasil dari pesatnya perkembangan teknologi dan informasi yang mengubah konsepsi dan cara berfikir belajar manusia. Semakin meningkatnya perkembangan teknologi dan informasi tersebut mengakibatkan teori pembelajaran behavioristik dipandang kurang cocok lagi untuk dikembangkan bagi anak didik sekolah. Oleh karena itu, muncul sebuah teori pembelajaran Konstruktivistik sebagai jawaban atas berbagai persoalan pembelajaran dalam masa kontemporer. Teori konstruktivistik beranggapan bahwa pengetahuan tidak dapat ditransfer begitu saja, melainkan harus diinterprestasikan sendiri oleh masing-masing individu. Pengetahuan juga merupakan sesuatu yang sudah ada, melainkan suatu proses yang berkembang terus-menerus. Dalam proses itu, keaktifan peserta didik sangat menentukan dalam mengembangkan pengetahuannya. Ia harus aktif melakukan kegiatan, aktif berfikir, menyusun konsep dan memberi makna tentang hal-hal yang dipelajari. Disisi lain, kenyataannya masih banyak peserta didik salah menangkap apa yang diberikan oleh gurunya. Hal ini menunjukkan bahwa pengetahuan tidak begitu saja dipindahkan, melainkan harus dikontruksikan sendiri oleh peserta didik tersebut. Peran guru dalam pembelajaran bukan pemindahan pengetahuan, tetapi hanya sebagai fasilitator ia menyediakan stimulus baik berupa strategi pembelajaran, bimbingan, dan bantuan ketika peserta didik

65

mengalamai kesulitan belajar, atau menyediakan media dan materi pembelajaran agar peserta didik itu merasa termotivasi dan tertarik untuk belajar sehingga pembelajaran menjadi bermakna hingga akhirnya peserta didik tersebut mampu mengkontruksi sendiri pengetahuannya.

d. Teori Belajar Kontruktivistik Menurut Para Ahli Saat ini, salah satu teori belajar yang banyak dipakai dalam proses pembelajaran adalah Konstruktivistik. Diantara berbagai variasinya, terdapat dua jenis Konstruktivistik yang paling menonjol yaitu Konstruktifisme social (social constructivism) yang sering dikatakan sebagai kelanjutan hasil kerja vygotsky serta kontruktivisme kognitif (cognitive constructivism) yang dipercaya berakar pada hasil kerja Piaget. 1) Teori Belajar Kontruktivistik Kognitif Menurut Jean Piaget Teori belajar kontruktivistik kognitif oleh Jean Piaget, yang merupakan salah seorang tokoh yang disebut-sebut sebagai pelopor kontruktivistik. Yang mengatakan bahwa pengetahuan dibangun dalam pikiran anak. Pandangan-pandangan Jean Piaget seorang psikolog kelaharian Swiss (1896-1980), percaya bahwa belajar akan lebih berhasil apabila disesuaikan dengan tahap perkembangan kognitif peserta didik. Peserta didik diberi kesempatan untuk melakukan eksperimen dengan objek fisik, yang ditunjang oleh interaksi dengan teman sebaya dan dibantu oleh pertanyaan tilikan dari guru. Guru hendaknya banyak memberikan rangsangan kepada siswa agar mau berinteraksi dengan lingkungan secara aktif, mencari dan menemukan berbagai hal dari lingkungan. Belajar menurut teori konstruktivistik bukanlah sekedar menghafal, akan tetapi proses mengkontruksi pengetahuan melalui pengalaman. Pengetahuan bukanlah hasil “pemberian” dari orang lain seperti guru, akan tetapi hasil dari proses mengkonstruksi yang dilaaukan setiap individu. Pegetahuan hasil dari “pemberian” tidak akan bermakna. Adapun pengetahuan itu oleh setiap individu akan memberikan makna

66

mendalam atau lebih dikuasai lebih lama tersimpan atau diingat dalam setiap individu. Karena menurut pendekatan Konstruktivistik, pengetahuan bukanlah tumpuan fakta dari suatu kenyataan yang sedang dipelajari, melainkan sebagai kontruksi kognitif seseorang terhadap objek, pengalaman, maupun lingkungannya. Pengetahuan bukanlah sesuatu yang sudah ada dan tersedia dan sementara orang lain tinggal menerimanya. Pengetahuan adalah sebagai suatu pembentukan yang terus-menerus oleh seseorang yang setiap saat mengalami reorganisasi karena adanya pemahaman-pemahaman baru. Pengetahuan bukanlah suatu barang yang dapat dipindahkan dari pikiran seseorang yang telah mempunyai pengetahuan kepada fikiran orang lain yang belum memiliki pengetahuan tersebut. Bila guru bermaksud untuk mentransfor konsep, ide, dan pengetahuan tentang sesuatu kepada siswa, pentransferan itu akan diinterprestasikan dan dikontruksikan oleh siswa itu sendiri melalui pengalaman dan pengetahuan mereka sendiri. Lebih jauh Piaget mengemukakan bahwa pengetahuan tidak diperoleh secara pasif oleh seseorang, melainkan melalui tindakan. Bahkan, perkembangan kognitif anak bergantung pada seberapa jauh mereka aktif

memanipulasi

dan

berinteraksi

dengan

lingkungannya.

Sedangkan, perkembangan kognitif itu sendiri merupakan proses berkesinambungan tentang keadaan ketidak seimbangan dan keadaan keseimbangan. Dari pandangan Piaget tentang tahap perkembangan kognitif anak dapat dipahami bahwa pada tahap tertentu cara maupun kemampuan anak mengkontruksi ilmu berbeda-beda berdasarkan kematangan intelektual anak.

2) Teori Kontruktivistik Sosial Menurut Lev Vygotsky Secara umum, pendekatan kontruktivistik sosial menekankan pada konteks sosial dari pembelajaran dan bahwa pengetahuan itu dibangun dan dikontruksi secara bersama (mutual). Keterlibatan

67

dengan orang lain membuka kesempatan bagi murid untuk mengevaluasi dan memperbaiki pemahaman mereka saat mereka berpartisipasi dalam pencarian bersama. Dengan cara ini, pengalaman dalam konteks sosial memberikan mekanisme penting untuk perkembangan pemikiran murid. Vygotsky dalam (thobroni, 2015:115) mengungkapkan bahwa teori belajar kontruktivistik merupakan kemampuan atau pengetahuan berjenjang yang disebutnya sebagai scaffolding. Scaffolding berarti memberikan kepada seseorang individu sejumlah bantuan selama tahap-tahap awal pembelajaran dan kemudian mengurangi bantuan tersebut. Selanjutnya, memberikan kesempatan kepada anak untuk mengambil alih tanggungjawab yang semakin besar tersebut setelah mampu mengerjakannya sendiri. Terbagi kedalam tiga kategori pencapaian siswa dalam upayanya memecahkan masalah yaitu: a) Siswa mencapai keberhasilan dengan baik. b) Siswa mencapai keberhasilan dengan bantuan. c) Siswa gagal meraih keberhasilan. Scaffolding berarti upaya guru untuk membimbing siswa untuk mencapai keberhasilan. Dorongan guru sangat dibutuhkan agar pencapaian siswa kejenjang yang lebih tinggi menjadi optimal. Maka bagi Vygotsky, ada dua prinsip penting berkenaan dengan teori kontruktivisme sosialnya, yaitu: a) Mengenai fungsi dan pentingnya bahasa dalam komunikasi sosial yang dimulai proses pencanderaan terhadap tanda (sign) sampai kepada tukar-menukar informasi dan pengetahuan. b) Zona of Proximal Development. Pendidik sebagai mediator memiliki peran mendorong dan menjembatani siswa dalam upaya membangun pengetahuan, pengertian, dan kompetensi. Zona ini adalah daerah antara tingkat perkembangan sesungguhnya yang didefinisikan sebagai kemampuan pemecahan masalah di bawah bimbinga orang dewasa atau teman sebaya yang lebih mampu.

68

e. Penerapan Kontruktivistik dalam Pembelajaran di Kelas Guru selain sebagai fasilitator dan mediator di dalam kelas juga berperan sebagai partner belajar siswa di kelas. Merancang lingkungan di kelas, dimana siswa sebagai pusat kegiatan proses belajar mengajar. Ada beberapa hal yang guru harus perhatikan dalam menerapkan pembelajaran kontruktivistik dalam kelas, diantaranya: 1) Memberikan kebebasan terhadap siswa mengungkapkan dan mengembangkan

ide-idenya

masing-masing

sesuai

dengan

persepsinya terhadap objek yang dipelajarinya. 2) Kelompok-kelompok siswa perlu dibangun untuk memberikan kesempatan kepada siswa berbagi dengan siswa lainnya tentang ide atau pengetahuan mereka satu sama lainnya sehingga tercipta pengetahuan baru dari hasil diskusi dan pemahaman dari setiap siswa. 3) Menganggap proses pembelajaran yang sama pentingnya dengan hasil belajar. 4) Membangun rasa ingin tahu siswa melalui kajian dan eksperimen.

9. Teori Belajar Sosial Teori belajar sosial merupakan perluasan teori belajar perilaku (behavioristik) yang tradisional. Teori ini dikembangkan oleh Albert Bandura (1969). Teori ini menerima sebagian besar prinsip teori belajar perilaku, tetapi memberikan lebih banyak penekanan pada efek-efek isyarat pada perilaku dan proses mental internal. Jadi, dalam teori belajar sosial kita akan menggunakan penjelasan reinforcement eksternal dan penjelasan kognitif internal untuk memahami bagaimana kita belajar dari orang lain. Menurut Bandura (1977) dalam pandangan belajar sosial, “ manusia itu tidak didorong oleh kekuatan kekuatan dari dalam dan juga tidak dipukul oleh stimulus-stimulus lingkungan. Namun, fungsi psikologi diterangkan sebagai Interaksi yang kontinu dan timbal balik dari determinan pribadi dan

69

determinan lingkungan (Dahar, 2011: 22). Teori belajar sosial menekankan bahwa lingkungan lingkungan yang dihadapkan pada seseorang tidak random, lingkungan itu kerap kali dipilih dan diubah oleh orang itu melalui perilakunya.

70

BAB IV PEMBELAJARAN MEMBACA DI KELAS RENDAH

A. Pembelajaran Membaca di Kelas Rendah Membaca adalah memahami wacana tertulis. Membaca adalah proses interaktif, yaitu suatu proses manakala pembaca terlibat dalam pertukaran gagasan dengan penulis melalui teks. Pertukaran ini selalu memiliki tujuan dan selalu terjadi dalam suatu konteks atau setting. Kemampuan pembaca dalam memahami bahasa lisan menjadi prasyarat memahami wacana tulis (Burnes, 1985: 45). Hal ini juga didukung oleh Kamus Besar Bahasa Indonesia yang menyatakan bahwa membaca merupakan melihat serta memahami isi dari apa yang tertulis (dengan melisankan atau hanya dalam hati). Kegiatan membaca meliputi membaca nyaring dan membaca dalam hati. Membaca nyaring adalah kegiatan membaca yang dilakukan dengan cara membaca keras-keras di depan umum. Sedangkan kegiatan membaca dalam hati adalah kegiatan membaca dengan saksama yang dilakukan untuk mengerti dan memahami maksud atau tujuan penulis dari media tertulis. Membaca dalam hati ada dua jenis yaitu: 1) membaca ekstensif, dan 2) membaca intensif. Adapula

kerangka

pemikiran

mengenai

pembelajaran

membaca

permulaan dalam tinjauan teori Artikulasi Penyerta yang disajikan sebagai berikut: 1. Keterampilan Membaca Keterampilan membaca merupakan salah satu kemampuan literasi yang mengacu pada bahasa tulis. Literasi dalam pengertian luas mencakup keterampilan menyimak, berbicara, membaca, dan menulis. Keterampilan membaca yang ditargetkan di sekolah dasar dibagi menjadi dua tahapan, yakni membaca permulaan dan membaca lanjut. Hartati, dkk (2006:137) menyatakan bahwa di kelas I SD, pembelajaran membaca dan menulis pada tingkat dasar/permulaan, yakni melek huruf artinya siswa mengenal huruf atau lambang-lambang bunyi yang biasa digunakan untuk berkomunikasi. Lebih lanjut Resmini dan Juanda (2007: 79) menyatakan di kelas 4 sampai 6

70

71

SD, siswa diarahkan pada keterampilan membaca lanjut atau membaca pemahaman, dimana siswa mampu memahami, menafsirkan, menghayati dan merespons bacaan yang tepat.

2. Teori Artikulasi Penyerta Dalam kajian kebahasaan, teori artikulasi penyerta merupakan teori yang dikaji dalam kajian fonologi. Fonologi merupakan ilmu yang mengkaji dan mendeskripsikan bunyi bahasa, proses terbentuknya bunyi bahasa dan proses perubahan bunyi bahasa. Marsono (1999: 109) membedakan proses pengaruh bunyi karena artikulasi penyerta dapat dibagi menjadi: a) Labialisasi, ialah pembulatan bibir pada artikulasi primer, sehingga terdengar bunyi (w) pada bunyi utama tersebut. b) Retrofleksi, ialah penarikan ujung lidah ke belakang pada artikulasi primer, sehingga terdengar bunyi (r) pada bunyi utamanya. c) Palatalisasi, ialah pengangkatan daun lidah ke arah langit-langit keras pada artikulasi primer kecuali bunyi palatal dapat disertai palatalisasi. d) Velarisasi, ialah pengangkatan pangkal lidah ke arah langit-langit lunak pada artikulasi primer. Selain bunyi velar, bunyi-bunyi dapat divelarisasi. e) Glotalisasi, ialah proses penyerta hambatan pada glotis sewaktu artikulasi primer diucapkan. Maka dalam tinjauan artikulasi penyerta dapat disimpulkan bahwa bunyi yang umumnya diucapkan sama dan melalui daerah artikulasi yang sama dapat berbeda bunyinya dikarenakan ada bunyi lain yang menyertainya.

3. Pembelajaran Membaca Permulaan di Sekolah Dasar Dalam Usaid Prioritas (2015: 32) program membaca di kelas awal membutuhkan pendamping

yang intensif oleh guru. Guru mulai

mengenalkan huruf, suku kata, kosakata dan kalimat. Tujuan dari program ini membiasakan siswa giat membaca. Kebiasaan membaca akan berkembang menjadi budaya membaca jika didukung oleh berbagai faktor,

72

seperti kondisi siswa, lingkungan belajar, ketersediaan bahan bacaan dan dukungan orang tua. Pembelajaran membaca permulaan di SD hendaknya dilakukan secara konkret dan bertahap, mulai dari yang sederhana hingga kompleks.

B. Metode Membaca Permulaan Mula-mula guru memperkenalkan huruf (abjad) kepada siswa a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v w x y z. Selain yang dipasang di papan tulis, masing-masing huruf tadi juga perlu ditulis dalam satu kartu (satu huruf satu kartu). Guru memberikan contoh cara membaca huruf-huruf di atas, dan siswa menirukan. Mula-mula bersifat klasikal (seluruh kelas), kemudian dipecahpecah lagi menjadi kelas separuh, seperempat kelas, per dua bangku akhirnya perorangan,

kembali dua bangku,

seperempat kelas, separuh kelas, dan

kembali ke seluruh kelas. Apabila pengenalan huruf tadi sudah lancar maka guru mulai bisa menugaskan beberapa siswa untuk mengambil huruf-huruf tertentu dari kartu kartu huruf yang tersedia biarkan siswa mengenal hurufhuruf itu tanpa makna karena tujuannya adalah mengenal dan memahami huruf abjad lakukan kegiatan ini berulang-ulang sehingga siswa benar-benar mengenal dan memahami huruf-huruf itu. Selanjutnya, sehingga dapat ditingkatkan dengan membentuk kata. Pilih beberapa konsonan dan vokal yang apabila digabungkan bisa menjadi kata yang bermakna. Misalnya m a m a. Tempel atau tulis huruf m-a-m-a di papan tulis. Tunjukkan kepada siswa bahwa kata itu dibaca mama. Kemudian tanyakan kepada siswa kata mama itu terdiri dari huruf apa saja, dan arahkan agar siswa dapat menyimpulkan sendiri bahwa apabila huruf M digabung dengan huruf a dibaca ma. Berikan contoh yang lainnya misalnya: papa, nan, tata dll. Begitu seterusnya, guru mulai menggabung-gabungkan konsonan dengan vokal sehingga seluruh vokal (a, i, u, e, o ) bisa digunakan namun untuk konsonan tidak perlu diberikan semua huruf x dan z lebih baik diberikan belakangan karena siswa bisa membaca gabungan dua huruf konsonan vokal, susunan bisa diganti menjadi vokal-

73

konsonan. Misalnya am, an, as, dan lain-lain. Setelah ini baru bisa dilanjutkan dengan 3 huruf (konsonan-vokal-konsonan). Misalnya: man, bas dan lain-lain. Pengajaran membaca permulaan pertama bertujuan agar Siswa memiliki pengetahuan dasar dapat digunakan sebagai dasar untuk membaca bahasa Indonesia. Kedua pengajaran diarahkan untuk memperkuat kemampuan berbahasa lisan siswa. Untuk sampai tujuan pertama diajarkan sistem bunyi yang terdapat dalam bahasa, Pola tata bahasa sederhana, kosakata, makna kata yang berhubungan dengan kalimat maupun wacana. Bahan pengajaran diusahakan adalah bahan yang akrab dengan lingkungan siswa. Misalnya tentang lingkungan

keluarga

lingkungan

alam

sekitar

dimana

anak

tinggal.Lingkungan budaya dimana anak tinggal. Bahan ajar seperti ini dimaksudkan agar anak mudah memahami bahan ajar dan semakin memahami lingkungan alam dan budayanya. Dalam Pelaksanaanya pembelajaran membaca permulaan di bagi menjadi 5 yaitu: 1. Metode Abjad / Alfabet Metode abjad atau eja (spell method) Metode abjad adalah metode membaca permulaan tertua. Metode ini sudah jarang digunakan. Yang dimaksud dengan metode Abjad atau Alfabet ialah metode pengajaran dengan memperkenalkan huruf yang harus dihafalkan dengan dilafalkan menurut bunyinya dalam abjad. Huruf yang telah dilafalkan itu kemudian dirangkaikan menjadi suku kata, suku kata menjadi kata, dan kata akhirnya menjadi kalimat. Pelafalan tidak dilakukan dengan cara fonetis. Misalnya huruf / b / dilafalkan /be/,/c/ dilafalkan /ce/, /d dilafalkan / de / dan seterusnya. Contoh: Inimeri i ni me ri ini meri Kebaikan metode ini adalah siswa yang memahami bentuk bahasa yang paling sederhana. Yang dapat menghafal bunyi huruf yang ada dalam abjad bahasa yang dipelajari. Disamping kebaikan metode ini juga memiliki kelemahan sebagai berikut:

74

a. Mengalami kesulitan apabila menghadapi huruf yang baru karena terbiasa menghafal. b. Siswa mengalami kesulitan dalam membunyikan diftong dan kluster karena kedua bunyi itu tidak terdapat dalam abjad. c. Metode ini bertentangan dengan metode inkuiri yang justru sangat ditekankan dalam pembelajaran.

2. Metode Bunyi (Klank Method) Metode bunyi adalah pembelajaran membaca permulaan dengan menyuarakan huruf konsonan dengan bantuan bunyi vokal tengah (pepet) [e] atau vokal depan sedang [e] dalam bentuk grafem kedua bunyi bahasa ini dilambangkan sama yakni huruf /e/. Bunyi bahasa tradisional huruf konsonan disebut huruf mati. Misalnya huruf konsonan /b/ diucapkan atau /eb/ atau /be/,/ed/ atau /de/,/es/, /ek/ dll. Karena proses pengerjaan ini metode bunyi disebut juga metode eja. Contoh: Ini I en i menjadi ini Lukas el u-> lu ek a es -> kas lukas Kebaikan metode ini adalah siswa mengenal tingkatan bentuk bahasa yang paling sederhana. Di samping kebaikan metode ini juga memiliki kelemahan sebagai berikut: a. Siswa mengalami kesulitan menghadapi huruf yang baru karena terbiasa menghafal b. Siswa mengalami kesulitan dalam membunyikan diftong dan kluster karena kedua bunyi itu tidak terdapat dalam abjad c. Metode ini bertentangan dengan metode inkuiri yang justru sangat ditekankan dalam pembelajaran d. Siswa mengalami kesulitan dalam mengeja

75

e. Siswa kesulitan dalam membunyikan secara spontan.

3. Metode Suku Kata Metode pembelajaran membaca permulaan berikutnya adalah metode suku kata. Pembelajaran dimulai dengan menyajikan suku kata. Suku kata kemudian dirangkai dengan tanda hubung menjadi kata.

Suku kata dianalisis atau

dikupas menjadi huruf-huru. Huruf-huruf kemudian dirangkai menjadi suku kata. Karena dalam penjelasannya terdapat kata kupas dan rangkai metode ini dikenal pula dengan metode kupas rangkai. Contoh: i ni i - ni bu ku bu-ku lu si lu-si

i ni bu ku lu si inibukulusi i ni bu ku lu si

i-ni bu-ku lu-si Kebaikan metode ini siswa mengenal Unsur terkecil dari suatu kata yakni Bunyi atau huruf. Kemudian mengenal suku kata sebagai unsur yang diatasnya dan bagaimana suku kata dibunyikan. Kelemahan metode ini adalah siswa mengalami kesulitan dalam membedakan antara suku kata dengan kata karena pertentangan dengan kenyataan bahwa kata tidak ditulis dengan tanda hubung.

4. Metode Kata Lembaga Metode kata lembaga merupakan metode peralihan antara metode bunyi dengan metode global. Materi ajar dimulai dari kata yang dekat dengan anak dipahami dan sering didengar. Karena dalam konsep seperti ini maka materi ajar itu dalam bentuk gambar dan mana gambar di bawahnya.

Misalnya

gambar seorang anak perempuan bernama Lusi atau Meri. Gambar bola dan gambar-gambar yang lain. Di bawah gambar ditulis Meri atau Lusi. Di bawah gambar bola di tulis kata bola.

Pelaksanaan pembelajaran yang tersusun

sebagai berikut: a. Disajikan beberapa gambar yang memenuhi syarat kedekatan, kepahaman, dan sering didengar.

76

b. Dari gambar-gambar itu dipilih 1 atau 2 gambar yang akan dijadikan kata lembaga c. Kata yang telah dipilih diuraikan menjadi satu kata d. Suku kata diuraikan menjadi huruf huruf e. Huruf-huruf itu kemudian dirangkai menjadi suku kata kembali f. Suku kata itu dirangkaikan menjadi kata g. Kata dirangkaikan menjadi kalimat. Demikian susunan atau urutan urutan pembelajaran metode kata lembaga titik karena prosesnya mengupas dan merangkai metode ini juga dinamakan metode kupas rangkai. Contoh: Mama Meri

Ma ma me ri

mama Meri

mama meri

ma ma me ri

Mama meri

mamamerI

Mama meri

5. Metode Global atau Kalimat Metode global, metode ini mendasarkan pada teori bahwa sesuatu pada awalnya dilihat secara utuh atau secara global. Bahasa dalam wujudnya secara global berupa kalimat. Oleh karena itu pembelajaran membaca permulaan diawali dari kalimat. Secara berurutan pembelajaran metode global tersusun sebagai berikut: a. Minggu-minggu awal anak masuk sekolah diperkenalkan beberapa kalimat. Kalimat itu berupa kalimat yang akrab dengan anak. Kalimatkalimat itu dapat berupa cerita singkat yang mudah dipahami dan dimengerti anak. Kalimat ditulis di papan tulis atau di alat peraga atau pun melalui multimedia. Contoh kalimat: Ini Meri Ini mama Ini mama Meri Mama Meri beli nasi b. Kalimat tersebut setiap hari dibaca oleh guru dan ditirukan oleh siswa sampai seluruh siswa benar-benar dapat menghafal dan membedakan

77

seluruh kalimat dan seluruh kata. Sangat baik jika kata dan kalimat disertai gambar. c. Setelah dapat membedakan kalimat dari kata anak akan berangsur-angsur dapat membedakan suku kata kemudian membedakan huruf dan bunyinya d. Setelah dapat menghafal dan mengerti bunyi huruf siswa akan dapat pula merangkai huruf menjadi suku kata koma suku kata dirangkaikan menjadi kata dan kata dirangkaikan menjadi kalima. Pada dasarnya metode Global hanya sampai pada anak mengenal huruf saja. Proses selanjutnya merangkai tidak dianjurkan. Uraian di atas dapat dijabarkan dalam materi ajar metode global seperti berikut: Contoh: Ini Meri

ini mama

ini meri

6. Metode SAS (Struktural Analitik Sintetik) Menurut Momo dalam Darmiyanti Zuchdi dan Budiasih (2001, 63-66) dalam pelaksanaanya, metode ini dibagi dalam dua tahap yaitu: a. Tanpa buku, dan b. Menggunakan buku Pada tahap tanpa buku, pembelajarannya dilaksanakan dengan cara; 1) Merekam bahasa anak 2) Menampilkan gambar sambil bercerita 3) Membaca gambar 4) Membaca gambar dengan kartu kalimat 5) Membaca kalimat struktural 6) Proses analitik 7) Proses sintetik Penelitian ini menggunakan metode global. Depdiknas (2000:6) mendefinisikan bahwa metode global adalah cara belajar membaca kalimat secara utuh. Metode ini didasarkan pada pendekatan kalimat dengan cara

78

guru mengajarkan membaca dengan menampilkan kata atau kalimat di bawah gambar atau tidak menggunakan gambar kemudian siswa menguraikan kalimat menjadi kata, menguraikan kata menjadi suku kata, dan menguraikan suku kata menjadi huruf. Langkah-langkah penerapan metode global adalah sebagai berikut: a. Siswa membaca kata/kalimat dengan bantuan gambar, namun jika siswa sudah lancar tidak perlu menggunakan bantuan gambar. Misalnya: ini budi. b. Menguraikan kalimat dengan kata-kata: /ini//budi/ c. Menguraikan kata-kata menjadi suku kata; i-ni-bu-di d. Menguraikan suku kata menjadi huruf-huruf: ini d-i Dalam pelaksanaan pengajaran membaca, guru seringkali dihadapi pada anak yang mengalami kesulitan belajar membaca khususnya di kelas rendah. Kesulitan- kesulitan tersebut antara lain: a. Kurang mengenali huruf Ketidakmampuan anak dalam mengenal huruf- huruf alfabet sering kali dijumpai oleh guru yang sulit membedakan huruf besar/kapital dan huruf kecil. b. Membaca kata demi kata Jenis kesulitan ini biasanya berhenti membaca setelah membaca sebuah kata, tidak segera dikut dengan kata berikutnya. Hal ini disebabkan oleh: 1) Gagal menguasai keterampilan pemecahan kode (decoding) 2) Gagal memahami makna kata, 3) Kurang lancar membaca. c. Pemparafase yang salah. Dalam membaca anak seringkali mela pemenggalan (berhenti membaca) pada tempat y baca) pada tempat yang tanda baca tidak tepat atau tidak memperhatikan khususnya tanda koma. d. Miskin pelafalan Ketidak tepatan pelafalan kata disebabkan anak tidak menguasai bunyibunyi bahasa (fonem).

79

e. Penghilangan Penghilangan yang dimaksud adalah menghilangkan (tidak dibaca) kata atau

frasa

dari

teks

yang

dibacanya.

Biasanya

disebabkan

ketidakmampuan anak mengucapkan huruf-huruf yang membentuk kata. f. Pengulangan Kebiasaan anak mengulangi kata atau frasa dalam membaca disebabakan oleh faktor tidak mengenali kata, kurang menguasai huruf, bunyi, atau rendalh keterampilannya g. Pembalikan Beberapa anak melakukan kegiatan membaca dengan menggunakan orientasi dari kanan ke kiri. Kata nasi dibaca isan. Selain itu, pembalikan juga dapat terjadi dalam membunyikan huruf-huruf, misal huruf b dibaca d, huruf p dibaca g. Kesulitan ini biasanya dialami oleh anak-anak kidal yang memiliki kecenderungan menggunakan orientasi dari kanan ke kiri dalam membaca dan menulis. h. Penyisipan Kebiasaan anak untuk menambahkan kata atau frase dalam kalimat yang dibaca juga dipandang sebagai hambatan dalam membaca, misalnya, anak menambah kata seorang dalam kalimat "anak sedang bermain i. Penggantian Kebiasaan mengganti suatu kata dengan kata lain disebabkan ketidakmampuan anak membaca suatu kata, tetapi dia tahu dari makna kata tersebut. Misalnya, karena anak tidak bisa membaca kata mengunyah maka dia menggantinya dengan kata makan.

j. Menggunakan gerak bibir, jari telunjuk dan menggerekan kepala Kebiasaan anak menggerakkan bibir, menggu telunjuk dan menggerakan kepala sewaktu mem dapat menghambat perkembangan anak membaca unakan baca dalam k. Kesulitan konsonan Kesulitan dalam mengucapkan bunyi tertentu dan huruf yang melambangkan tersebut

80

l. Kesulitan vocal Dalam bahasa Indonesia, beberapa vokal dilambangkan dalam satu huruf, misalnya e selain melambangkan bunyi e juga melambangkan bunyi é (dalam kata keras, kepala, kerang, telah dan sebagainya) huruf-huruf yang melambangkan beberapa bunyi seringkali menjadi sumber kesulitan anak dalam membaca m. Kesulitan kluster, diftong dan digraph Dalam bahasa Indonesia dapat dijumpai adanya kluster (gabungan dua konsonan atau lebih), diftong (gabungan dua vokal), dan digraf (dua huruf yang melambangkan satu bunyi). Ketiga hal tersebut merupakan sumber kesulitan anak yang sedang belajar membaca n. Kesulitan menganalisis struktur kata Anak seringkali mengalami kesulitan dalam mengenali suku kata yang membangun suatu kata. Akibatnya anak tidak dapat mengucapkan kata yang dibacanya. o. Tidak mengenali makna kata dalam kalimat dan cara mengucapkannya. Hal

ini

disebabkan

kurangnya

penguasan

kosakata,

kurangnya

penguasaan struktur kata dan penguasaan unsur konteks (kalimat dan hubunga antar kalimat). p. Bimbingan terhadap anak yang kesulitan mengucapkan bunyi konsonan dapat dilakukan bimbingan antara lain:  Kembangkan anak dalam mendengarkan konsonan yang sulit misalnya tuliskan kata-kata yang dimulai dengan konsonan (depan, adat, dapat, diri dan sebagainya).  Menyuruh anak mencari dan mengumpulkan kata yang didalamnya terkandung konsonan tersebut.  Latih anak mengucapkan kata-kata yang didalamnya terkandung konsonan. q. Bimbingan terhadap anak yang mengalami kesulitan vocal dapat dilakukan bimbingan antara lain:

81

 Tanamkan pengertian pada diri anak bahwa huru huruf tertentu dalam melambangkan lebih daristu bunyi misalnya : huruf e dapat melamba bunyi e dan é.  Berikan contoh huruf e yang melambangkan bunyi e dan é dalam kata-kata  Ajaklah anak mengumpulkan kata yang didalamnya terkandung huruf tersebut.

C. Membaca Permulaan Huruf, Suku Kata, Kata dengan Kalimat yang Tepat Pembelajaran

permulaan

lebih

ditekankan

pada

pengembangan

kemampuan dasar membaca. Peserta didik dituntut untuk dapat menyuarakan huruf, suku kata, kata dan kalimat yang disajikan dalam bentuk tulisan kedalam bentuk lisan (Sabarti Akhadiah, dkk. 1993: 11). Contoh:  huruf a dibaca a  huruf b dibaca be  huruf c dibaca ce  suku kata ba dibaca ba bukan bea  suku kata bu dibaca bu bukan beu  kata baju dibaca baju bukan beajeu  kalimat itu buku dibaca itu buku bukan iteu beukeu.

D. Langkah-Langkah Pembelajaran Sebelum kegiatan belajar-mengajar dimulai, ada beberapa hal yang perlu disiapkan oleh guru, yaitu: 1. Guru mempersiapkan sumber bahan ajar, khususnya buku ajar. Guru juga bisa mneggunakan sumber lain misalnya kalimat-kalimat sederhana yang dibuat guru dalam kertas agak besar disertai gambar. 2. Guru membaca dan memahami standar kompetensi dan kompetensi dasar materi yang akan diajarkan dan menjabarkannya sehingga materi yang akan diajarkan jelas, rinci, serta mudah dipahami peserta didik.

82

3. Guru mempelajari dan memahami materi yang akan diajarkan dengan mengacu pada standar kompetensi dan kompetensi dasar dan pada buku ajar. Guru harus memahami konsep kalimat sederhana, cara pelafalan, dan intonasi. 4. Guru mempersiapkan metode dan teknik pembelajaran yang tepat untuk digunakan dalam menyajikan materi yang diajarkan.

E. Membaca Nyaring Kalimat Sederhana dengan Lafal dan Intonasi yang Tepat Membaca nyaring adalah kegiatan membaca dengan menyuarakan tulisan yang dibacanya dengan ucapan dan intonasi yang tepat agar pendengar dan pembaca dapat menangkap informasi yang disampaikan oleh penulis. Keterampilan yang dituntut dalam membaca nyaring adalah berbagai kemampuan diantaranya: menggunakan ucapan yang tepat, menggunakan frase yang tepat, menggunakan intonasi suara yang wajar, dalam posisi sikap yang baik, menguasai tanda baca, membaca dengan terang dan jelas, membaca dengan penuh perasaan satu ekspresif, membaca dengan tidak terbata-bata, mengerti serta memahami bahan bacaan yang dibacanya, kecepatan bergantung pada bahan bacaannya, membaca dengan penuh kepercayaan pada diri sendiri. Kalimat sederhana adalah kalimat yang pendek, yaitu kalimat yang terdiri atas 2-5 kata. Pola kalimat yang dimiliki oleh kalimat sederhana adalah subjek (s) dan predikat (p). Unsur kalimat lainnya seperti objek, keterangan, dan pelengkap tidak selalu ditemukan dalam kalimat sederhana. Contohnya: (1) Budi lari, (2) Nani lupa. 1. Proses pembelajaran a. Guru memberitahukan materi yang akan diajarkan: pada bagian diatas, peserta didik sudah dapat membaca suku kata dan kata dengan lafal yang tepat. Peserta didik diharapkan sudah dapat merangkai kata-kata itu hingga dapat membaca kalimat-kalimat sederhana juga dengan intonasi yang tepat.

83

b. Guru memberikan contoh materi sesuai SK/KD: membaca kalimat sederhana dengan intonasi yang tepat harus diawali dengan contohcontoh yang diberikan guru. Adapun langkah-langkah yang bisa dilakukan sebagai berikut: 1) Guru memberikan kalimat-kalimat sederhana yang terdiri dari subjek + predikat atau subjek + predikat + objek. Misalnya:  Budi minum  Wati lari 2) Guru membacakan kalimat demi kalimat dengan lafal dan intonasi yang tepat. 3) Peserta didik mengikuti kalimat yang dibacakan guru. 4) Guru mengulangi membaca kalimat bila masih ada peserta didik yang belum fasih mengucapkan lafal dan intonasi yang tepat. 5) Dalam membaca perhatikan jeda (perhentian). 6) Membaca dengan pelan-pelan, fasih mengucapkan lafal dan intonasi yang tepat. c. Guru membimbing peserta didik mendalami materi: guru menunjuk peserta didik yang dianggap kurang baik dalam melafalkan kalimat dan mengucapkan intonasi kalimat. Setelah peserta didik mampu membaca dengan intonasi dengan tepat, guru memberikan kalimat sederhana dengan pola S+P+O. Misalnya:  Ibu menjahit baju  Kakak lari pagi  Adik meminjam baju  Budi minum susu Harap diperhatikan agar guru membaca tidak cepat. Bila ada jeda dalam kalimat, sebaiknya guru berhenti dulu membaca. d. Guru memberikan pelatihan kepada peserta didik: dalam kegiatan ini, guru harus aktif membuat kalimat-kalimat dengan tingkat kesulitan bertahap.

84

e. Guru mengevaluasi kemampuan siswa: guru memberikan penilaian tentang cara membaca peserta didik, baik dari segi kelancarannya maupun dari segi intonasi.

F. Membaca Lancar Beberapa Kalimat Sederhana dan Membaca Nyaring Teks Dengan Lafal dan Intonasi yang Tepat Adapun yang dimaksud dengan intonasi adalah lagu kalimat. Intonasi atau lagu kalimat berita- yang ditandai oleh tanda titik (.) berbeda dengan intonasi lagu kalimat tanya- yang ditandai oleh tanda tanya (?). hal itu berbeda pula dengan intonasi lagu atau lagu kalimat perintah yang ditandai oleh tanda seru (!). Misalnya: Namaku Krishna. (kalimat berita) Namamu siapa? (kalimat tanya) Tolong buka pintu! (kalimat seru)

Dalam intonasi terkandung pula jeda. Jeda adalah perhentian dalam sebuah kalimat, atau perhentian antara kalimat yang satu dengan berikutnya. Karena itu jeda dibagi menajdi dua, yaitu (a) jeda pendek dan (b) jeda panjang. Jeda pendek digunakan ketika kita mengucapkan sebuah kata atau beberapa kata yang membentuk satu kesatuan. Jeda pendek juga digunakan bila dalam kalimat terdapat tanda koma (,). Jeda pendek ditandai oleh tanda (/). Sementara itu, jeda panjang digunakan ketika kita akan berganti dari kalimat satu ke kalimat berikutnya. Jeda panjang dalam hal ini ditandai oleh tanda (//). Jeda kalimat-kalimat diatas adalah sebagai berikut. Namaku / Krishna Namamu / siapa? Tolong / buka/ pintu/!

G. Membaca Nyaring Lanjutan 1. Pengantar

85

Membaca nyaring atau membaca bersuara merupakan jenis g menuntut persyaratan uang ketat. Membaca nyaring bukan seedar jika hal ini yang terjadi maka pemahaman akan materi yang dibaca akan gagal diperoleh. Membaca nyaring atau membaca bersuara merupakan kelanjutan dari membaca permulaan. Pada membaca permulaan tekanan ada pada kelancaran dan ketepatan penyuaraan huruf, pada membaca nyaring atau membaca bersuara difokuskan pada tekanan kata, lagu kalimat atau intonasi, jeda dan menguasai tanda baca. Keempatnya harus tepat, jika ketepatan diabaikan, maka murid akan mengalami kesulitan pada waktu membaca dalam hati atau membaca intensif. Mereka hanya bisa membaca tetapi sulit menemukan pemahaman yang dikandung dalam bacaan. Beberapa keuntungan yang dapat diambil dari kegiatan membaca nyaring yang dilakukan oleh siswa seperti diuraikan di bawah ini: a. Dalam mengevaluasi kemajuan kemampuan keterampilan membaca dalam intonasi, tekanan kata, pemenggalan kata, pemenggalan frasa danuntuk menemukan kebutuhan pengajaran yang spesifik. b. Membaca nyaring memberikan latihan berkomunikasi lisan untuk pembaca dan meningkatkan kemampuan menyimak untuk pendengarnya. c. Membaca nyaring dipakai untuk latihan berdialog, memerankan pelaku yang terdapat dalam cerita. d. Membaca nyaring adalah media guru dalam membimbing secara bijak, bisa digunakann untuk meningkatkan kemampuan penyesuaian dir pada anak yang pemalu. Hasil penelitian yang dilakukan o;leh Rothlein dan Meinbach (1993) menunjukkan bahwa membaca nyaring dapat meningkatkan keterampilan berbahasa lainnya, membantu perkembangan anak mencintai buku dan membaca cerita sepanjang hidupnya. Pendapat yang mirip disampaikan oleh Cox (1999), membaca ,menyaring untuk anak-anak yang dilakukan setiap hari merupakan sesuatu yang penting untuk mengajar mereka menyimak, berbicara atau menulis.

86

Gruber (1993) menyampaikan lebih rinci manfaat membaca nyaring untuk anak seperti disampaikan dibawah: a. Memberikan contoh proses membaca secara positif b. Mengekspos siswa untuk memperkaya kosa kata c. Memberi siswa informasi baru d. Mengenalkan kepada siswa berbagai aliran sastra. e. Memberi siswa kesempatan menyimak dan menggunakan daya imajinasinya.

2. Hakikat Membaca Nyaring Membaca bersuara menyangkut tiga istilah, yaitu: reading alound, oral reading dan reading out loud. Membaca nyaring adalah kegiatan membaca dengan bersuara dan memperhatikan struktur kata (kata, kata majemuk dan frasa) dan kalimat, lafal, intonasi dan jeda.

3. Peningkatan Keterampilan Membaca Nyaring Hasil pengamatan terhadap pembaca yang mengalami kesulitan dalam membaca nyaring diperoleh simpulan dalam tekanan kata, lagu kalimat atau intonasi, jeda dan penguasaan tanda baca. Di bawah ini disampaikan kopetensi yang harus diperhatikan oleh guru dalam pembelajaran membaca nyaring diambil dari tarigan tahun (1984). Kelas I a. Menyuarakan huruf dengan tebal dan lancar b. Menyuarakan kata dengan tepat dan lancar c. Mempergunakan intonasi yang wajar

Kelas II a. Membaca dengan terang dan jelas b. Membaca dengan penuh peraaan dan ekspresi c. Membaca dengan tanpa tertegun-tegun, terbata-bata

87

d. Menguasai tanda baca sederhana 1) Titik(.) 2) Koma (,) 3) Tanda tanya (?) 4) Tanda seru (!)

Kelas III a. Membaca dengan penuh perasaan dan ekspresi b. Mengerti serta memahami bahan bacaan

Kelas IV a. Memahami bacaan pada tingkat dasar b. Kecepatan mata dan suara : 3 kata dalam satu detik

Kelas V a. Membaca dengan pemahaman dan perasaan b. Aneka kecepatan membaca dalam berbagai jenis bacaan c. Dapat membaca tanpa terus menerus melihat bahan bacaan

Kelas VI a. Membaca nyaring dengan penuh ekspresi/perasaan b. Membaca nyaring dengan penuh percaya diri c. Mempergunakn frasa atau makna majemuk yang tepat d. jenis membaca nyaring Pembelajaran membaca nyaring yang dapatditerapkan dikelas cukup beragam. Ada reading alound, shared reading, guided readin, membaca bersama, pidato dengan teks. 1) Reading aloud Kegiatan membaca ini dilakukan oleh guru untuk siswanya atau dengan kalimat lain guru membaca sisa mendengarkan. Jenis pembelajaran seperti ini diterapkan dikelas rendah dan taman kanak-kanak dengan

88

menggunakan sumber bacaan dari buku atau teks bacaan lain. Meski demikian kegiatan reading aloud juga dapat diterapkan di kelas tinggi jika diperlukan bahkan di tingkat SLTP. 2) Shared reading Shared reading adalah jenis kegiatan membaca nyaring yang dilakukan antar guru dan siswa. Alam kegiatan ini antara guru dan siswa memegang buku yang sama. Kegiatan membaca ini dapat dilakukan dikelas rendah maupun dikelas tinggi. 3) Guided reading Guided reading adalah salh satu jenis kegiatan membaca nyaring yang memfungsikan guru sebagai pembimbing, pengamat dan fasilitator.meskipun kegiatannya membaca nyaring namun penekananya lebih kepada pemahaman siswa terhadap materi yang disampaikan. Seluruh siswa membaca teks yang sama dengan guru kemudian mendiskusikannya. Guru mengajukan peranyaan dan siswa menjawab dengan kritis. Pertanyaan harus dibuat secara proposional. Kegiatan demikian merupakan suatu kegiatan yang sangat penting dilakukan dalam kelas.

4. Memilih Bacaan Kepentingan membaca bagi manusia dicanagkan oleh tuhan. Perintah membaca oleh tuhan ini dikemas dalam ayat yang pertama kali diturunkan Tuhan.dalam surat ini yakni al-alaq tertera lima ayat penting aturan membaca bagi umat manusia untuk mencapai keberhasilan didunia maupun diakhirat. Banyak manfaat yang dapat dipetik dari kegiatan membaca. Manfaat membaca bisa diperoleh oleh siapa saja dan dari tulisan apa saja. Sederetan manfaat membaca dapat diuraikan seperti dibawah ini: a. Mengusir rasa cemas dan gundah gulana b. Tidak akan terjatuh kedalam lembah kebodohan c. Menjernihkan pikiran

89

d. Mencari dan membentuk jati diri e. Belajar bercakap dan berkata-kata f. Mengisi dan memperbanyak memori, dsb Memperoleh manfaat membaca tidak selamanya positif dan baik akibatnya. Oleh karena itu, sebagai orang yang berpendidikan yang menginginkan kemajuan harus berpikir cerdas. Bukankah hilangnya rasa cemas dan gundah gulana, terhindar dari kebodohan pastilah hal yang baik. Namun, bagaimana jika hilangnya pikiran yang jernih dan hilangnya kegundahan hanya menjadikan seorang penghayal. Hilangnya kegundahan hanya menjdikan seorang menjadi pemalas. Serta jati diri yang terbentuk menjauhkan manusia dari penciptanya? Sekarang ini sangat mudah mendapatkan media cetak di masyarakat. Beraneka ragam bentuk, jenis, tema serta visi dan misinya. Kesalahan memilih bahan bacaan akan berakibat fatal bagi diri pembaca dan juga masyarakat secara umum. Oleh karena itu memilih bacaan yang tepat serta baik dan benar sangatlah penting, baik di lingkungan anak-anak maupun remaja serta dewasa sekalipun. Orangtua dan guru memiliki peran yang sangat penting dalam hal ini khususnya tanggungjawab yang lebih dalam mengawasi kegiatan anakny, terutama dalam orientasi hidup dan kegiatannya di dunia.

BAB V PEMBELAJARAN MENULIS DI KELAS RENDAH

F. Pengertian Pembelajaran Menulis Permulaan Pelajaran menulis awal harus dikuasai oleh pembelajar sekolah dasar terutama pada awal pembelajaran mereka (di kelasa 1). Karean itulah kedudukan pelajaran menulis awal pelajaran sangat penting di sekolah dasar. Penguasaan (mastery) dari pelajaran menulis awal menjadi salah satu faktor penting keberhasilan penguasaan pelajaran lainnya. Sebaliknya kegagalan pelajaran menulis awal akan berakibat pada kegagalan penguasaan pelajaran lainnya. Pelajaran menulis awal berkaitan dengan kemampuan matematika karena pelajaran-pelajaran matematika pun melibatkan kegitan menulis dan mencatat. Pelajaran menulis pun berkaitan dengan pelajaran ilmu pengetahuan sosial, ilmu pengetahuan alam, dan pelajaran lainnya karena dalam setiap mata pelajaran menuntut kemampuan menulis. Telah diketahui secara umum bahwa pelajaarn menulis akan sangat berkaitan dengan membaca, sebagaimana pelajaran menyimak akan sangat berkaitan dengan berbicara. Hal ini berkaitan dengan catur tunggal yang dikemukakan Tarigan (1983) selain itu kaitan menulis dengan membaca ini pun relevan dengan kurikulum terintegrasi sesuai penjelasan kurikulum (2013). Bila seorang mempunyai keterampilan membaca, ia tentu ajan cenderung (mudah) mengusai keteramplan menulis. Sebalknya, bila seorang pembelajar tidak menguasai keterampilan membaca, ia tentu akan merasa kesulitan menguasai keterampilan menulis. Menulis adalah melahirkan pikiran atau gagasan, (seperti mengarang, membuat surat) dengan tulisan ( kamus besar bahasa Indinesia, 1993: 968). Menurut pengertian ini menulis merupakan hasil, yaitu melahirkan pikiran dalam perasaan kedalam tulisan. Menulis atau mengarang adalah proses menggambarkan suatu bhasa sehingga pesan pesan yang dosampaikan pennulis dapat dipahami pembaca (Tarigan, 1986: 21) dari pengertian menulis tersebut

90

91

di atas daat disimpulkan bahwa menulis adalah proses mengungkapkan gagasan, pikiran dan perasaan dalam bentuk tulisan. Banayak hal yang perlu diperhatikan dalam pembelajaran menulis pada tingkat awal. Menulis pada tingat awal ini tidak mudah, dikanakan siswa pada tingkat tersebut belum memiliki bekal pengetahuan yang cukup. Kemampuan menulis diajarkan pada kelas I sampai kelas IV. Disekolah dasar menulis dibagi menjadi dua bagaian, yaitu menulis permulaan yang diajarkab di kelas I dan II, menulis lanjut, di ajarkan di kelas III, IV, V, VI . Kemampuan menulis merupakan salah satu jenis kemampuan berbahsa tuis yang bersifat produktif yang merupakan kemampuan yang menghasilkan tulisan. Menulis merupakan kegiatan yang memerlukan kemampuan yang bersifat kompleks, yaitu kemampuan berfikir secara teratur dan logis, kemampuan mengungkapkan pikiran atu gagasan secara jelas dengan mengguanakan bahasa yang efektif, dan kemampaun menerapakan kaiadah tulis- menulis dengan baik. Sebelum pada tingkat mampu menuliis, siswa harus mulai dari tingkat awal, tingkat permulaan, mulai dari pengenalan lambang – lambang bunyi. Pengetahuan dan kemampuan yang diperoleh pada tingkat permulaan pada pembelajaran menulis permulan tersebut, akan menjadi dasar peningkatan dan pengembanagn kurikulum siswa selanjutnya. Apabila dasar tersebut baik dan kuat mkaa dapat diharapkan hasil pengembangannya pun akan baik pula, dan apabila dsar itu kurang baik atau lemah, maka dapat diperkirakan hasil pengembangannya kurang baik pula. Pelajaran menulis awal dapat di integrasikan dengan membaca awal, penegnalan huruf-huruf dapat dimulai dengan membaca atau mengenal hurufhuruf. Pelajaran menulis awal menjadi dasar yang sangat penting bagi pelajaran menulis lanjut. Penilitian telah dilakukan kepada pembelajar Pendidikan Guru Sekolah Dasar (mahasiswa PGSD) berkenaan dengan menulis awal, karean para pembelajar PGSD mahir menulis dengan tangan kanan, mereka diminta untuk

92

belajar menulis dengan tangan kiri. Urutan pelajarn menulis awal dilakuakan sebagai berikut. 1. Penegnalan huruf dengan lagu ABC 2. Nengang pensil 3. Menggoreskan pensil (miring, tegak, datar, lingkaar) 4. Urutan pengenalan huruf c, d, g, ,j, y. 5. Asosisi huruf 6. Kreasi kata/ kalimat awal.

G. Metode yang Digunakan dalam Pembelajran Menulis Permulaan Dalam pembelajaran menulis ada beberapa metode yang dapat digunakan antara lain : 1. Metode Eja Metode eja di dasarkan pada penedekatan harfiah, artinya belajar membaca dan menulis dimulai dari huruf-huruf yang dirangkaikan menjadi suku kata. Oleh karena itu pengajaran dimulai dari pengenalan huruf-huruf. Demikian halnya dengan pengajaran menulis dimulai dari huruf lepas, dengan langkah-langkah sebagai berikut : a. Menulis huruf lepas. b. Merangkaikan huruf lepas menjadi suku kata. c. Merangkaikan suku kata menjadi kata. d. Menyusun kata menjadi kalimat. Pembelajaran membaca dan menulis permulaan dengan metode ini memulai pengajarannya dengan memperkenlkan huruf-huruf secara alpabetis. Huruf-huruf tersebut dihafalkan dan dilafalkan anak sesuai dengan bunyinya menurut abjad. Sebagai contoh A/a, B/b, C/c, D/d, E/e, F/f, dan seterusnya, dilafalkan sebagai [a], [be], [ce], [de], [ef], dan seterusnya. Kegiatan ini diikuti dengan latihan menulis lambang, tulisan, seperti a, b, c, d, e, f, dan seterusnya atau dengan huruf rangkai a, b, c, d, dan seterusnya.

93

Setelah melalui tahapan ini, para siswa diajak untuk berkenalan dengan suku kata dengan cara merangkaikan beberapa huruf yang sudah dikenalnya. Misalnya: b, a, d, u menjadi b-a → ba (dibaca atau dieja /be-a/ → [ba ]) d-u→ du (dibaca atau dieja /de-u/ → [du]) ba-du dilafalkan → /badu/ b, u, k, u menjadi b-u → bu (dibaca atau dieja /be-u/ → [bu] ) k-u → ku (dibaca atau dieja / ke-u/ → [ku] )

Proses ini sama dengan menulis permulaan, setelah anak-anak bisa menuliskan huruf-huruf lepas, kemudian dilanjutkan dengan belajar menulis rangkaian huruf yang berupa suku kata. Sebagai contoh, ambillah kata ‘badu’ tadi. Selanjutnya, anak diminta menulis seperti ini: ba – du → badu. Proses pembelajaran selanjutnya adalah pengenalan kalimat-kalimat sederhana. Contoh-contoh perangkaian huruf menjadi suku kata, suku kata menjadi kata, dan kata menjadi kalimat diupayakan mengikuti prinsip pendekatan spiral, pendekatan komunikatif, dan pengalaman berbahasa. Artinya, pemilihan bahan ajar untuk pembelajaran MMP hendaknya dimulai dari hal-hal yang konkret menuju hal-hal yang abstrak, dari hal-hal yang mudah, akrab, familiar dengan kehidupan anak menuju hal-hal yang sulit dan mungkin merupakan sesuatu yang baru bagi anak. Kelemahan yang mendasar dari penggunaan metode eja ini meskipun murid mengenal mengenal dan hafal abjad dengan baik, namun dia tetap mengalami kesulitan dalam mengenal rangkaian-rangkaian huruf yang berupa suku kata atau pun kata. Anak yang baru mulai belajar 17 membaca, mungkin akan mengalami kesukaran dalam memahami sitem pelafalan bunyi /b/ dan /a/ menjadi [ba], bukan [bea]. Bukankah huruf /b/ dilafalkan [be] dan huruf /a/ dilafalkan [a]. Mengapa kelompok huruf /ba/ dilafalkan [ba], bukan [bea], seperti tampak pada pelafalan awalnya? Hal ini, tentu akan membingungkan anak. Penanaman konsep hafalan abjad dengan menirukan bunyi pelafalannya secara mandiri, terlepas dari konteksnya,

94

menyebabkan anak mengalami kebingungan manakala menghadapi bentukan bentukan baru, seperti bentuk kata tadi. Di samping hal tersebut, hal lain yang dipandang sebagai kelemahan dari penggunaan metode ini adalah dalam pelafalan diftong dan fonemfonem rangkap, seperti /ng/, /ny/, /kh/, /ai/, /au/, /oi/, dan sebagainya. Sebagai contoh, kita ambil fonem /ng/. Anakanak mengenal huruf tersebut sebagai [en] dan [ge]. Dengan demikian, mereka berkesimpulan bahwa fonem itu jika dilafalkan akan menjadi [en-ge] atau [neg] atau [nege].

2. Metode Kata Lembaga Metode kata lembaga didasarkan atas pendekatan kata, yaitu cara memulai

mengajarkan

membaca

dan

menulis

permulaan

dengan

menampilkan kata-kata. Metode kata lembaga memulai mengajar membaca dan menulis permulaan dengan mengenalkan kata, menguraikan kata menjadi suku kata, suku kata menjadi huruf, kemudian menggabungkan huruf menjadi suku kata, dan suku kata menjadi kata, selanjutnya memvariasikan huruf yang sudah dikenal menjadi suku kata dan kata lain. Metode kata lembaga memulai mengajar membaca permulaan dengan mengenalkan kata, menguraikan kata menjadi suku kata, suku kata menjadi huruf, kemudian menggabungkan huruf menjadi suku kata, dan suku kata, dan suku kata menjadi kata dan selanjutnya memvariasikan huruf yang sudah dikenal menjadi suku kata dan kata lain. (H Djauzah Ahmad, Depdikbud, 1995 / 1996: 5). Langkah-langkah mengajar membaca menulis permulaan dengan metode kata lembaga : a. mengenalkan kata, misalnya : mina b. menguraikan kata atas suku-sukunya, misalnya : mi – na c. menguraikan suku kata atas huruf-hurufnya, misalnya : m – i – n – a d. menggabungkan huruf dengan kata, misalnya : mina memvariasikan huruf-huruf m, i, n, a menjadi suku kata dan kata lain misalnya: m, i, n, a a dilafalkan a m dengan i ditambah n dibaca min

95

kalau disatukan menjadi amin. (H Djauzah Ahmad, Depdikbud, 1995 / 1996: 26) Metode kata lembaga di mulai mengajar dengan langkah-langkah sebagai berikut : a. Mengenalkan kata. b. Merangkaikan kata antar suku kata. c. Menguraikan suku kata atas huruf-hurufnya. d. Menggabungkan huruf menjadi kata.

3. Metode Global Sebagian orang mengistilahkan metode ini sebagai ‟Metode Kalimat‟. Dikatakan demikian, karena alur proses pembelajaran MMP yang diperlihatkan melalui metode ini diawali dengan penyajian beberapa kalimat secara global. Untuk membantu pengenalan kalimat dimaksud, biasanya digunakan gambar. Di bawah gambar dimaksud, dituliskan sebuah kalimat yang kira-kira merujuk pada makna gambar tersebut. Sebagai contoh, jika kalimat yang diperkenalkan berbunyi ‟ini nani‟, maka gambar yang cocok untuk menyertai kalimat itu adalah gambar seorang anak perempuan. Selanjutnya, setelah anak diperkenalkan dengan beberapa kalimat, barulah proses pembelajaran MMP dimulai. Mula-mula, guru mengambil salah satu kalimat dari beberapa kalimat yang diperkenalkan di awal pembelajaran tadi. Kalimat tersebut dijadikan dasar/alat untuk pembelajaran MMP. Melalui proses deglobalisasi (proses penguraian kalimat menjadi satuan-satuan yang lebih kecil, yakni menjadi kata, suku kata, dan huruf), selanjutnya anak menjalani proses belajar MMP. Proses penguraian kalimat menjadi kata, kata menjadi suku kata, suku kata menjadi huruf-huruf, tidak disertai dengan proses sintesis (perangkaian kembali). Artinya, hurufhuruf yang telah terurai itu tidak dikembalikan lagi pada satuan di atasnya, yakni suku kata. Demikian juga dengan suku-suku kata, tidak dirangkaikan lagi menjadi kata; kata-kata menjadi kalimat.

96

Sebagai contoh, di bawah ini dapat Anda lihat bahan untuk MMP yang menggunakan Metode Gglobal. a. Memperkenalkan gambar dan kalimat. (tolong beri gambar dadu di sini)

(tlg beri gambar kuda di sini)

ini dadu

ini kuda

b. Menguraikan salah satu kalimat menjadi kata; kata menjadi suku kata; suku kata menjadi huruf-huruf. ini dadu ini

dadu i-ni

da-du i-n-i

d-a-d-u

4. Metode SAS Menurut (Supriyadi, 1996: 334-335) pengertian metode SAS adalah suatu pendekatan cerita disertai dengan gambar yang tidak terkandung unsur analitik sintetik. Metode SAS menurut (Djuzak, 1996:8) adalah suatu pembelajaran menulis permulaan yang didasarkan atas pendekatan cerita yakni cara memulai belajar menulis dengan menampil cerita yang diambil dari dialog siswa dan guru atau siswa dengan siswa. Teknik pelaksanaan pembelajaran metode SAS yakni keterampilan menulis kartu huruf, kartu suku kata, kartu kata dan kartu kalimat, sementara sebagian siswa mencari huruf, suku kata dan kata, guru dan sebagian siswa menempel kata-kata yang tersusun menjadi kalimat yang berarti (Subana). Menurut Supriyadi metode yang cocok dengan jiwa anak-anak adalah metode SAS. Alasannya adalah: A. Metode ini menganut prinsip ilmu bahasa umum, bahwa bentuk bahasa yang terkecil adalah kalimat. B. Metode ini memperhitungkan pengalaman bahasa anak, dan C. Metode ini menganut prinsip menemukan sendiri.

97

Adapun prosedur penggunaan metode SAS adalah sebagai berikut: a. Membaca permulaan dijadikan dua bagian, bagian pertama membaca permulaan tanpa buku, bagian kedua membaca permulaan dengan buku. b. Merekam bahasa anak melalui pertanyaan-pertanyaan dari pengajar sebagai kontak permulaan. c. Menampilkan gambar sambil bercerita. Setiap kali gambar diperlihatkan, munculah kalimat anak-anak yang sesuai dengan gambar. d. Membaca kalimat secara struktural.Membaca permulaan dengan buku. e. Membaca lanjutan. f. Membaca dalam hati.

Metode SAS memiliki kelemahan dan kelebihan. a. Kelebihan metode ini adalah sebagai berikut: 1) Metode ini dapat digunakan sebagai landasan berpikir analisis 2) Dengan langkah-langkah yang diatur sedemikian rupa membuat anak mudah mengikuti prosedur dan akan dapat cepat membaca pada kesempatan berikutnya. 3) Berdasarkan landasan linguistic metode ini akan menolong anak menguasai bacaan dengan lancer. b. Kelemahan dari metode ini adalah sebagai berikut: 1) Metode SAS mempunyai kesan bahwa pengajar harus kreatif dan terampil serta sabar. Tuntutan semacam ini dipandang sangat sukar untuk kondisi pengajar saat ini 2) Banyak sarana yang harus dipersiapkan untuk pelaksanaan metode ini untuk sekolah-sekolah tertentu dirasa sukar. 3) Metode SAS hanya untuk konsumen pembelajar di perkotaan dan tidak di pedesaan.

98

Dalam penerapan metode SAS, guru menerapkan langkah-langkah sebagai berikut: a. Guru menuliskan sebuah kalimat sederhana, setelah itu kalimat dibaca, siswa menyalinnya. b. Kalimat tersebut diuraikan atau dipisah-pisahkan ke dalam kata-kata. Setelah dibaca, siswa menyalin kata-kata itu seperti yang dilakukan guru. c. Kata-kata dalam kalimat itu diuraikan lagi atas suku-sukunya, setelah dibaca siswa menyalin suku-suku seperti yang dilakukan oleh guru. d. Suku-suku kata itu diuraikan lagi atas huruf-hurufnya, siswa menyalin seperti yang dilakukan guru. e. Setelah guru memberikan penjelasan lebih lanjut, huruf-huruf itu dirangkai lagi menjadi suku kata. Siswa melakukan seperti apa yang dilakukan guru. f. Setelah semua siswa selesai, guru merangkai suku-suku menjadi kata, murid menyalin. g. Kata-kata tersebut dirangkai lagi sehingga menjadi kalimat seperti semula. Siswa melakukan hal yang sama seperti guru. Misalnya: Guru akan mengajarkan huruf baru, s dan y. Huruf yang sudah dikenal siswa: a, n, m, i Kalimat : nama saya nama saya nani nama

saya

na

ma

sa

ya

na

ni

n

a

m

a

s

a

na

ma

sa

ya

nama

saya

y

a

H. Media yang Digunakan dalam Pembelajaran Menulis Permulaan Untuk mengajarkan menulis permulaan ada beberapa jenis media yang dapat digunakan antara lain :

99

1. Papan Tulis, digunakan guru untuk memberikan contoh, dan oleh siswa digunakan untuk menuliskan apa yang ditugaskan oleh guru. Misalnya, menulis kata, kalimat, nama sendiri, dan sebagainya. 2. Papan Selip, digunakan oleh guru untuk menyelipkan gambar atau kartu kata, kartu kalimat yang harus disalin oleh siswa atau gambar yang harus dituliskan judulnya oleh siswa. 3. Papan Tali, digunakan untuk menggantungkan kartu kalimat, kartu-kartu kata, dan huruf yang harus disalin oleh siswa, atau gambar yang perlu dituliskan judulnya. 4. Majalah anak-anak, dapat digunakan untuk tugas menyalin kalimat sederhana yang ada di dalamnya atau menyalin judul. 5. Papan Nama, kartu nama, label, dan sebagainya digunakan untuk tugas menyalin

I. Langakah-Langkah Pembelajaran Menulis Permulaan Langkah-langkah kegiatan menulis permulaan terbagi kedalam dua kelompok, yakni pengenalan huruf dan latihan. Pengenalan huruf kegiatan ini dilaksanakan bersamaan dengan kegiatan pembelajaran membaca permulaan. Penekanan pembelajaran diarahkan pada pengenalan bentuk tulisan serta pelafalannya dengan benar. Fungsi pengenalan ini dimaksudkan untuk melatih indra siswa dalam mengenal dan membeda-bedakan dan lambang-lambang tulisan. Ada beberapa bentuk latihan menulis permulaan yang dapat kita lakukan, antara lain sebagai berikut ini. 1. Latihan Memegang Pensil dan Duduk dengan Sikap dan Posisi yang Benar Tangan kanan berfungsi untuk menulis, tangan kiri untuk menekan buku tulis agar tidak mudah tergeser. Pensil diletakan diantara ibu jari dan telunjuk. Ujung jari, telunjuk, dan jari tengah menekan pensil dengan luwes, tidak kaku. Posisi badan ketika duduk hendaknya tegak, dada tidak menempel pada meja, jarak anatara mata dengan buku kira-kira 25-30 cm.

100

2. Latihan Gerakan Tangan Mula-mula melatih gerakan tangan di udara dengan telunjuk sendiri, atau dengan bantuan alat seperti pensil. Kemudian dilanjutkan denga latihan dalam buku latihan. Agar kegiatan ini menarik, sebaikanya disertai dengan kegiatan becerita. Misalnya, untuk melatih membuat garis tegak lurus, guru dapat bercerita yang ada kaitannya dengan pagar, bulatan dengan telur dan sebagainya.

3. Latihan Menjiplak Menjiplak adalah menggambar atau menulis garis-garis gambaran atau tulisan yang akn ditiru (KBBI, 2008:586). Kegiatan menjiplak gambar merupakan kegiatan awal dari kegiatan menulis. Berikan gambar-yang mudah ditiru dan dalam ukuran yang lebih besar dari biasanya. Selain menjiplak gambar, siswa mulai diarahkan menjiplak huruf. Hal ini penting umtuk diketahui karena akan menentukan kualitas lisan.

4. Latihan Mengeblat Menirukan atau menebalkan suatu tulisan dengan menindas tulisan yang sudah ada. Ada beberapa cara mengeblat yang bisa dilakukan anak, misalnya dengan menggunakan karbon, menggunakan kertas tipis, menebalkan tulisan yang sudah ada.

5. Latihan Menghubung-Hubungkan Tanda Titik yang Membentuk Tulisan Latihan dapat dilakukan pada buku-buku yang secara khusus menyajikan latihan semacam ini.

6. Latihan Menatap Bentuk Tulisan Latihan ini dimaksudkan untuk melatih kordinasi antara mata, ingatan, dan jemari anak ketika menulis, sehingga anak dapat mengingat bentuk

101

kata/huruf dalam benaknya, dan memindahkannya ke jemari tangannya. Dengan demikian, gambaran kata yang hendak ditulis tergores dalam ingatan dan pikiran siswa pada saat dia menuliskannya.

7. Latihan Menyalin Baik dari Buku Pelajaran Maupun dari Tulisan Guru Pada Papan Tulis Latihan ini hendaknya diberikan setelah dipastikan bahwa semua anak telah mengenal huruf dengan baik. Ada beragam model variasi latihan menyalin, di antaranya menyalin tulisan apa adanya sesuai dengan sumber yang ada, menyalin tulisan dengan cara berbeda, misalnya dari huruf cetak ke huruf tegak sambung, atau sebaliknya dari huruf bersambung ke huruf cetak.

8. Latihan Menulis Halus/Indah Latihan dapat dilakukan dengan menggunakan buku bergaris untuk latihan menulis atau buku otak. Ada petunjuk beharga yang dapat anda ikuti, jika murid-murid anda tidak memiliki fasilitas seperti itu.

9. Latihan Dikte/Imla Latihan ini dimaksudkan untuk melatih siswa dalam mengordinasikan ucapan, pendengaran, ingatan, dan jari-jarinya (ketika menulis), sehingga ucapan seseorang itu dapat didengar, diingat, dan dipindahkan ke dalam wujud tulisan dengan benar.

10. Latihan Melengkapi Tulisan (Melengkapi Huruf, Suku Kata, atau Kata) yang Secara Sengaja Dihilangkan. Perhatikan contoh berikut : a. Melengkapi huruf b. Melengkapi suku kata c. Melengkapi kata d. Menuliskan nama benda yang terdapat dalam gambar. e. Mengarang sederhana dengan bantuan gambar, dengan langkah sebagai berikut :

102

1) Guru menunjukan suatu susunan gambar berseri 2) Guru bercerita dan bertanya-jawab tentang tema, isi, dan maksud gambar 3) Siswa diberi tugas untuk menulis karangan sederhana, sesuai dengan penafsiran mengenai gambar tadi, atau sesuai dengan cerita gurunya. ( Prof. Dr. Suprani, M.Pd. 2018:147. Pembelajaran Bahasa Indonesia di Kelas Rendah Sekolah Dasar. Medan, Sumatra utara. Harapan Cerdas).

J. Kesulitan Belajar Menulis Seperti yang dikemukakan, bahwa pelajaran menulis mencakup menulis dengan tangan atau menulis permulaan, mengeja, dan menulis ekspresif. 1. Menulis dengan Tangan atau Menulis Permulaan Menurut lerner (1985: 402) ada beberapa faktor yang mempengaruhi kemmpuan anak untuk menulis, antara lain : (1) Motorik, (2) Perilaku, (3) Persepsi, (4) Memori, (5) kemampuan melaksanakan cross modal, (6) Penggunaan tangan yang dominan, (7) kemampuan memahami insting. Anak yang perkembangan motoriknya belum matang akan megalami kesulitan dalam menulisnya. Anak yang hiperaktif atau anak dapat menyebabkan pekerjaannya terhambat termasuk pekerjaan menulis. Anak yang terganggu persepsinya dapat menimbulkan kesulitan dalam menulis. Jika persepsi visualnya terganngu, anak mungkin akan kesulitan untuk membedakan bentuk-bentuk huruf yang hampir sama seperti \d\ dan \b\, \p\ dengan \q\, \h\ dengan \n\ atau \m\ dengan \w\. jika persepsi auditori yang terganggu, mungkin anak akan mengalami kesulitan untk menulis kata-kata yang diucapkan oleh guru. Gangguan memori juga dapat dijadikan sebagai penyebab terjadinya kesulitan belajar menulis karena anak tidak mampu mengingat apa yang akan ditulis. Kesulitn belajar menulis sering disebut juga disgrafia. Disgrafia menunjukan kepada ketidakmampuan mengingat cara membuat huruf atau

103

simbol-simbol matematika. Kesulitan belajar menulis sering terkait dengan cara anak memegang pensil. Ada 4 macam cara anak memegang pensil yang dapat dijadikan sebagai petunjuk bahwa anak berkesulitan menulis, yaitu ; sudut pensil terlalu besar, sudut pensil terlalu kecil, menggenggam pensil dan menyangkutkan pensil ditangan atau menyeret.

2. Menulis Mengeja Mengeja adalah suatu bidang yang tidak memungkinkan adanya kreatifitas atau berfikir defergen. Hanya ada satu pola susunan huruf-huruf untuk suatu kata yang dapat dianggap benar, tidak ada kompromi. Sekelompok huruf yang sama akan memiliki makna yang berbeda jika disusun secara berbeda. Kelompok huruf \b\, \i\, dan \u\ misalnya, dapat disusun menjadi ibu, ubi, bui dan iub, tiga susunan pertama mengandung makna yang berbeda sedangkan susunan terakhir tidak mengandung makna. Oleh karena itu, mengeja pada hakikatnya memproduksi urutan huruf yang benar baik dalam bentuk ucapan atau tulisan dari suatu kata.

3. Menulis Ekspresif Menulis ekspresif adalah mengungkapkan pikiran dan atau perasaan kedalam suatu bentuk tulisan, sehingga dapat difahami oleh orang lain yang sebahasa. Menulis ekspresif disebut juga mengarang atau komposisi. Kesulitan menulis ekspresif mungkin yang terlalu banyak yang dialami baik oleh anak maupun oleh orang dewasa. Agar dapat menulis ekspresi seseorang harus terlebih dulu memiliki kemampuan berbahasa ujaran, membaca, mengeja, menulis dengan jelas, dan memahami berbagai aturan yang berlaku bagi suatu jenis penulisan, dengan menggunakan katakata sendiri. ( Prof. Dr. Suprani, M.Pd. 2018:147. Pembelajaran Bahasa Indonesia di Kelas Rendah Sekolah Dasar. Medan, Sumatra utara. Harapan Cerdas.)

BAB VI PEMBELAJARAN MENYIMAK DI KELAS RENDAH

A. Pengertian Menyimak Menyimak dapat dibandingkan sebagai suatu sarana, sebagai suatu keterampilan, sebagai seni, sebagai suatu proses, sebagai suatu respon, atau sebagai suatu pengalaman kreatif. Menyimak dikatakan sebagai suatu sarana sebab adanya kegiatan yang dilakukan seseorang pada waktu menyimak yang harus melalui tahap mendengar bunyi bunyi yang telah dikenalnya dengan cara seperti ini ia mampu mengimplementasikan dan memahami makna urutan bunyi tersebut. Menyimak menurut para ahli: 1. Tarigan djago (1991: 4) menyimak adalah suatu proses yang mencakup kegiatan mendengarkan bunyi bahasa mengidentifikasi mengimplementasi, menilai, dan merealisasi atas makna yang terkandung di dalamnya. 2. Harimurti K. 1981 dalam (Hariyadi 1996: 19) menyimak adalah mendengarkan memerhatikan mengikuti menurut memindahkan dan memperdulikan 3. Poerwadarminata

(1984:

941)

menyimak

adalah

mendengar

atau

memerhatikan baik-baik apa yang diucapkan atau yang dibaca orang. 4. Anderso, menyimak sebagai proses besar mendengar, mendengar, serta menginterprestasikan lambang-lambang lisan. Selain itu, menyimak merupakan suatu proses kegiatan mendengarkan bunyi-bunyi bahasa dan non-bahasa dengan penuh perhatian, pemahaman, apresiasi dan interprestasi untuk memperoleh informasi, sekaligus menangkap isi atau pesan, serta mampu memahami makna komunikasi yang telah disampaikan oleh manusia dan atau sumber lainnya. Perlu kita camkan benar bahwa menyimak adalah suatu penerimaan yang aktif terhadap informasi lisa. Menyimak juga merupakan suatu perilaku yang dapat dianalisis dan dimodifikasi, merupakan suatu yang dapat kita pilih untuk dilaksanakan atau tidak dilaksanakan sama sekali, kita dapat menentukan apakah perlu diberi

104

105

wadah atau tidak, kita dapat menentukan tingkat efektifnya, dan kita dapat menggantikan bahkan meningkatkan atau mengembangkannya. Demikian dapat kita simpulkan bahwa perhatian adalah suatu proses penyelesaian dari berbagai keragaman stimuli sebuah stimulus yang penting bagi seseorang pada saat-saat tertentu. Dengan perkataan lain dapat dikatakan bahwa perhatian bersinonim dengan persepsi selektif (webb, 1975: 130). Bahwa menyimak adalah suatu proses mendengarkan bunyi baik bunyi nonbahasa dan bunyi bhasa dengan penuh pemahaman, perhatian, apresiasi, serta interprestasi, dengna menggunakan aktivitas telinga dalam menangkap pesan yang di dengarkan untuk memperoleh informasi dan memahami isi yang di sampaikan bunyi tersebut.

B. Proses Menyimak Pemahaman menyimak menjadi lebih mudah apabila penyimak mengetahui konteks wacana yang disimaknya. Hal tersebut memungkinkan peserta didik menggunakan pengetahuan yang telah mereka miliki Untuk menafsirkan dan memahami materi yang mereka sinar yang ada pada diri penyimak sangat berperan dalam proses menyimak. Menyimak yang berhasil adalah mereka yang memanfaatkan baik pengetahuan yang ditangkap dari wacana yang disimak maupun pengetahuan yang telah mereka miliki yang berhubungan dengan materi yang disimak. Dalam tahap mendengar, penyimak berusaha menangkap pesan pembicara yang sudah diterjemahkan dalam bentuk bunyi bahasa. Untuk menangkap bunyi bahasa itu diperlukan telinga yang peka dan perhatian terpusat. Adapun faktor penting dalam menyimak adalah keterlibatan penyimak dalam berinteraksi dengan pembicara. Kegiatan menyimak perlu disesuaikan dengan kemampuan anak bagi anak-anak yang tergolong rendah kemampuannya dalam menyimak setelah menyimak teks yang sama dengan yang disimak oleh anak-anak yang lain anak-anak tersebut dapat diberi tugas membuat ringkasan informasi yang mereka simak anak-anak yang kemampuan menyimak nya rendah diberi tugas menyebutkan jumlah pembicaraan atau jumlah kata-kata kunci.

106

C. Faktor Pengaruh Perhatian Menyimak Kita harus mencoba memahami faktor-faktor yang dapat mempengaruhi perhatian kita untuk menyimak. Kita harus memperhitungkan pengalaman, pembawaan, sikap dan motivasi yang dapat menunjang penyimakan yang baik sebelum kita menelaah aneka metode bagi peningkatan keterampilan ini. 1. Faktor pengalaman, pengalaman yang dimaksud dapat berasal dari pembicara ataupun dari penyimak. Setiap orang tentu menaruh perhatian terhadap pembicaraan yang disajikan oleh orang yang banyak pengalaman dan banyak pengetahuan. pengalaman masa lalu itu mengajarkan dia untuk tidak dua kali kehilangan tongkat. Oleh sebab itu, kalau ada pembicara yang akan menyampaikan suatu pesan dia selalu memberikan perhatian besar. 2. Faktor pembawaan, seseorang pun turut berperan Apakah perhatiannya untuk menyimak sesuatu itu besar atau tidak. Ada orang yang berpembawaan baik dan ada pula yang jelek orang yang berpembawaan baik dapat menyesuaikan diri pada situasi dan kondisi, sedangkan orang yang berpembawaan jelek justru sebaliknya. baik pembawaan pembicara maupun pembicaraan menyimak turut menentukan taraf perhatian seseorang untuk menyimak. 3. Faktor sikap, tidak boleh kita abaikan terhadap perhatian menyimak. sikap terbuka memang sangat dibutuhkan dalam kegiatan menyimak. sebaiknya, sikap tertutup atau sikap curiga akan mengurangi minat atau perhatian seseorang untuk menyimak pembicaraan seseorang. 4. Faktor motivasi, dorongan atau alasan sangat menentukan besar atau tidaknya perhatian seseorang untuk menyimak ceramah, kuliah, khotbah, atau pembicaraan yang dibawakan oleh seseorang pembicara. Biarpun seandainya terdapat banyak gangguan atau kendala fisik atau mental, Tetapi kalau ada motivasi besar, perhatian menyimak sesuatu tetap besar. 5. Faktor jenis kelamin, dapat menentukan kadar Perhatian untuk menyimak. minat dan perhatian pria dan wanita memperlihatkan perbedaan, walaupun tidak dapat disangkal adanya persamaan. Ada hal-hal khusus yang menarik perhatian wanita ada pula hal-hal khusus yang lebih menarik perhatian pria tema bahan pembicaraan dapat berbeda kalau para menyimak terdiri dari

107

kaum wanita saja atau terdiri dari pria saja ataupun campuran. Memang harus diingatkan bahwa ada hal-hal yang tidak pantas disimak oleh kaum pria dan wanita. jadi dengan singkat dapat kita katakan bahwa faktor kelayakan ini tidak boleh diabaikan.

D. Hubungan Menyimak dengan Berbicara Peristiwa menyimak diawali dengan mendengarkan bunyi bahasa secara langsung atau melalui rekaman audio, telepon, atau televisi. Bunyi bahasa yang ditangkap oleh telinga kita Identifikasi jenis dan pengelompokannya menjadi suku kata, kata, frase, Klausa, kalimat, dan wacana. Bunyi bahasa yang diterima kemudian ditafsirkan maknanya, dinilai kebenarannya agar dapat diputuskan diterima tidaknya. Dapat dikatakan bahwa menyimak merupakan proses yang mencakup kegiatan mendengar bunyi bahasa mengidentifikasi menafsirkan menilai dan mereaksi terhadap makna yang termuat pada wacana. Lisan merupakan proses interaksi yang ditopang oleh alat komunikasi yang disebut bahasa yang dimiliki dan dipahami bersama secara sederhana menyimak merupakan proses memahami Pesan yang disampaikan melalui bahasa lisan sebaliknya berbicara adalah Proses penyampaian pesan dan menggunakan bahasa lisan. Dengan menyimak kita menerima informasi dari seseorang. Peristiwa berbicara selalu dibarengi dengan peristiwa menyimak atau peristiwa menyimak pasti ada dalam peristiwa berbicara. Dalam kegiatan komunikasi keduanya secara fungsional tidak terpisahkan, komunikasi lisan tidak akan terjadi jika kedua kegiatan itu, yaitu berbicara dan menyimak tidak berlangsung sekaligus dan tidak saling melengkapi. Menyimak dan berbicara merupakan kegiatan komunikasi dua arah yang dilakukan secara langsung antara berbicara dan menyimak terdapat hubungan yang sangat erat. Karena menyimak merupakan sebuah proses penerimaan pesan dimana seseorang mampu memakai bentuk-bentuk bahasa tertulis sehingga pesan yang disampaika dapat diterima secara utuh. E. Penyusunan Bahan Pembelajaran Menyimak dan Berbicara 1. Bahan Pembelajaran Menyimak

108

Tujuan utama pembelajaran menyimak adalah melatih siswa memahami bahasa lisan. Hal ini perlu disesuaikan dengan karakteristik peserta didik. Secara umum, bahan pembelajaran menyimak dapat menggunakan bahan pembelajaran membaca, menulis, kosakata, karya sastra, bahan yang pendidik susun sendiri atau diambil dari media cetak. Setelah menyampaikan bahan pembelajaran, pendidik secara langsung dapat mengadakan tanya jawab tentang isi materi yang sudah disampaikannya atau menugasi peserta didik untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang sudah disiapkan lebih dahulu. Pertanyaan yang baik harus disusun secara sistematis, mengingat fakta, mengingat nama orang, nama tempat, urutan kejadian dan hal-hal lain yang secara eksplisit disebutkan dalam teks lisan, memahami kosakata baru, memahami arti kata, ungkapan, dan sebagainya dalam hubungan kalimat. 2. Bahan Pembelajaran Berbicara Tujuan utama pembelajaran berbicara di SD melatih siswa dapat berbicara dalam bahasa Indonesia yang baik dan benar. Untuk mencapai tujuan tersebut dapat menggunakan bahan pembelajaran membaca dan menulis, kosakata, dan sastra sebagai bahan pembelajaran berbicara. Untuk memantau kemajuan siswa dalam berbicara guru dapat melakukan ketika siswa sedang melaksanakan kegiatan diskusi kelompok tanya jawab dan sebagainya

F. Tujuan Menyimak Seperi yang sudah tertera pengertian menyimak berarti mendengarkan dan memaknai serta bisa menyimpulkan apa yang telah disampaikan dari sang pembicara melalui bahasa lisan atau ujaran. Tujuan seseorang menyimak sesuatu itu beraneka ragam sebenarnya, antara lain; 1. Ada orang menyimak dengan tujuan agar dia dapat memperoleh pengetahuan dari bahan ajar ujaran pembicara; dengan kata lain, dia menyimak untuk belajar. 2. Ada orang yang menyimak dengan pendekatan pada penikmatan terhadap sesuatu dari materi yang diujarkan atau yang diperdengarkan atau

109

dipagelarkan (terutama sekali dalam bidang seni); pendeknya, dia menyimak untuk menikmati keindahan audial. 3. Ada orang yang menyimak dengan maksud agar dia dapat menilai sesuatu yang dia simak itu (baik-buruk, indah-jelek, tepat-ngawur, logis-tak logis, dan lain-lain); singkatnya, dia menyimak untuk mengevaluasi. 4. Ada orang yang menyimak agar dia dapat menikmati serta menghargai sesuatu yang disimaknya itu (misalnya, pembicaraan cerita, pembacaan puisi, musik, dan lagu, dialog, diskusi panel, dan perdebatan); pendek kata, orang itu menyimak untuk mengapresiasi materi simakan. 5. Ada

orang

yang

mengkomunikasikan

menyimak ide-ide,

dengan

maksud

gagasan-gagasan,

agar ataupun

dia

dapat

perasaan-

perasaannya kepada orang laindengan lancer dan tepat. 6. Ada pula orang yang menyimak dengan maksud dan tujuan agar dia dapat membedakan bunyi-bunyi dengantepat; mana bunyi yang membedakan arti (distingitif), mana bunyi yang tidak membedakan arti; biasanya, ini terlihat nyata

pada

seseorang

yang

sedang

belajar

bahasa

asing

yang

asyikmendengarkan ujaran pembicara asli. 7. Ada orang yang menyimak dengan maksud agar dia dapat memecahkan masalah secara kreatif dan analisis, sebab dari pembicara dia mungkin memperolehbanyak masukan berharga. 8. Selanjutnya, ada lagiorang yang tekun menyimak pembiacara untuk meyakinkan dirinya terhadap suatu masalah atau pendapat yang selama ini dia ragukan; dengan perkataan lain dia menyimak secara persuasif (disarikan dari: Logan [et all], 1972:42; Shrope, 1979: 261). Dari pemaparan diatas dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya “menyimak” itu dapat kita pandang dari berbagai segi, misalnya sebagai sarana, sebagai suatu keterampilan berkomunikasi, sebagai seni, sebagai proses, sebagai response, dan sebagai pengalaman kreatif. Dan untuk proses pembelajaran menyimak pada SD kelas rendah, sebenarnya harus sudah ditanamkan sejak diawal, perserta didik harus dibiasakan menyimak apa yang sedang disampaikan oleh guru nya walaupun memang kelas rendah sebenarnya masih susah untuk membuatnya bisa menyimak dengan baik proses

110

pembelajaran dikelas tetapi tidak menutup kemungkinan bahwa itu hal yang tidak bisa dilakukan. Sebagai pendidik dan calon pendidik pun juga sudah seharusnya menguasai segala strategi pembelajaran di kelas agar peserta didik dapat menyimak dan memahami dengan cepat apa yang disamaikan oleh gurunya. Semisal, membuat media pembelajaran yang menarik, membuat games ditengah proses pembelaaran berlangsung, menanyakan apa saja yang peserta didik sukai, dan sebagainya. Peserta didik khususnya di SD memang tidak bisa secara instan memaknai apa yang telah disampaikan oleh guru ataupun lawan bicara nya harus dengan berbagai tahapan agar dapat menyimak apa yang telah didengar sebelumnya. Berikut ada pula tahap-tahap menyimak yang dilakukan terhadap kegiatan menyimak pada siswa Sekolah Dasar, Ruth G. Strickland menyimpulkan adanya 9 tahap menyimak, mulai dari yang tidak berketentuan sampai pada yang amat bersungguh-sungguh, kesembilan tahap iu, dapat dilukiskan sebagai berikut: Tahap-tahap menyimak 1. Menyimak berkala, yang terjadi pada saat-saat sang anak merasakan keterlibatan langsung dalam pembiacaraan mengenai dirinya. 2. Menyimak dengan perhatiian dangkal, karena sering mendapat gangguan dengan

adanya

selingan-selingan

perhatiankepada

hal-hal

diluar

pembicaraan. 3. Setengah menyimak, karena terganggu oleh kegiatan menunggu kesempatan untuk mengekspresikan isi hati ini merupakan penjaringan pasif yang sesungguhnya. 4. Menyimak sekali-kali, menyimpan sebentar-sebentar apa yang disimak, perhatian secara seksama berganti dengan keasyikan lain; hanya memperhatikan kata-kata sang pembicara yang menarik hatinya saja. 5. Menyimak

serapan,

karena

sang anak

keasyikan

menyerap

atau

mengabsorpsi hal-hal yang kurang penting, hal ini merupakan penjaringan pasif yang sesungguhnya.

111

6. Menyimak asosiatif, hanya mengingat pengalaman-pengalaman pribadi secara konstan yang mengakibatkan sang penyimak benar-benar tidak memberikan reaksi terhadap pesan yang disampaikan sang pembicara. 7. Menyimak dengan reaksi berkala terhadap pembicara dengan membuat komentar ataupun mengajukan pertanyaan. 8. Menyimak secara saksama, dengan sungguh-sungguh mengikuti jalan pikiran sang pembicara.Menyimak secara aktif, untuk mendapatkan serta menemukan pikiran, pendapat dan gagasan sang pembicara (Strickland, 1957: (Dawson [et all], 1963: 154)

Ada pakar lain yang mengemukakan adanya 7 tahapan dalam menyimak; 1. Isolasi: pada tahap ini sang penyimak mencatat aspek individual kata lisan dan memisahkan-misahkanatau mengalokasikan bunnyi-bunyi, ideie, faktafakta, organisasi-organisasi khusus, begitupula stimulus-stimulus lainnya. 2. Identifikasi: sekali stimulus tertentu telah dapat dikenal maka suatu makna atau identitas pun diberikan kepada setiap butir yang berdikari itu. 3. Integrasi: kita mengintegrasikan atau meyatupadukan sesuatu yang kita dengar dengan informasi lain yang telah kita simpan dan rekam dalam otak kita. 4. Inspeksi: informasi baru yang telah kita terima dikontraskan dan dibandingkan dengan segala informasi yang telah kita miliki mengenai hal tersebut. 5. Interpretasi: kita secara aktif mengevaluasi sesuatu yang kita dengar menelusuri darimana datangnya semua itu kita punmulai menolak dan menyetujui serta mengakui dan mempertimbangkan informasi tersebut. 6. Interpolasi: selama tidak ada ppesan yang membawa makna dalam dan memberi informasi, tanggung jawabkitalah untuk menyediakan serta memberikan data dan ide penunjang dari latarbelakang pengetahuan dan pengalaman kita sendiri. 7. Intropeksi: berupaya

dengan cara merefleksikanan menguji informasi baru, kita untuk

mempersionalisasikan

informasi

menerapkannya pada situasi kita sendiri (Hunt,1981: 18-9)

tersebut

dan

112

Kita mengetahui bahasa dalam pendidikan formal di sekolah. Kita para guru dan calon guru, membimbing kegiatan menyimak snak-anak didik kita sehingga daya simak mereka dapat bersifat selektif, bertujuan, tepat, kritis dan kreatif, seperti juga kita dapat membimbing mereka dalam pertumbuhan dan peningkatan keterampilan membaca, menulis dan berbicara. Oleh karena itu, kita pun perlu mengetahui jenis-jenis menyimak, tujuan, serta cirinya masingmasing.

F. Ragam Menyimak Dalam pembicaraan terlebih dahulu telah dikemukakan bahwa tujuan menyimak adalah memperoleh informasi, menangkap isi, serta memahami makna komunikasi yang hendak disampaikan sang pembicara melalui ujaran. Ini merupakan tujuan umum. Di samping tujuan umum terdapat pula tujuan khusus yang menyebabkan adanya aneka ragam menyimak diantaranya: 1. Menyimak Ekstensil Menyimak ekstensil adalah sejenis kegiatan menyimak mengenai halhal yang lebih umum dan lebih bebas terhadap suatu ujaran, tidak perlu di bawah bimbingan langsung dari seorang guru. Penggunaan yang paling dasar islah menangkap atau mengingat kembali bahan yang telah dikenal atau diketahui dalam suatau lingkungan yang baru dan suasana yang baru. Menyimak ekstensif dapat pula memberi kesempatan dan kebebasan bagi para siswa mendengar dan menyimak butir-butir kosa kata dan strukturstruktur yang masih asing atau baru.

2. Menyimak Sosial Pengalaman menunjukan bahwa anak kecil umumnya mempunyai sedikit alasan untuk tidak menyimak secara tekun dan sungguh-sungguh terhadap suatu hal cukup sang anak mempunyai jenis pilihan menyimak secara acak (random) waktu dia mengobrol dengan temen-temen sebayanya pada kegiatan bermain dia menyimak secara kebetulan. Menyimak secara kebetulan seperti itu sangat penting sepanjang hidup kita dan dapat

113

dikatakan mempunyai beberapa fase: menyimak social, menyimak sekunder, dan menyimak esteti.

3. Menyimak Sekunder Menyimak sekunder adalah sejenis kegiatan menyimak secara kebetulan dan secara ekstensif. Berikut ini ada dua contoh: a. Menyimak pada musik yang mengiring ritme-ritme atau tari-tarian rakya di sekolah dan acara-acar radio yang terdengar sayup-sayup sementara kita menulis surat pada seorang teman di rumah. b. Sambil menikmati musik kita beradaptasi, berpartisipasi dalam kegiatan tertentu di sekolah seperti melukis, hasta karya tanah liat, membuat sketsa dan latihan menulis indah.

4. Menyimak Estetik Menyimak estetik ataupun yang disebut menyimak apresiatif adalah fase terakhir dan kegiatan termasuk ke dalam menyimak secara kebetulan dan menyimak secara ekstensif, mencakup: a. Menyimak musik, puisi, membaca bersama, atau drama radio dan rekaman-rekaman. b. Menikmati cerita, puisi, teka-teki, gemerincing irama dan lakon-lakon yang dibicarakan atau dicerikatakan oleh guru, siswa dan aktor.

5. Menyimak Pasif Cara yang seolah-olah tidak memerlukan upaya bagi anak-anak dan sejumlah penduduk pribumi mempelajari Bahasa asing dapat disebut sebagai menyimak pasif, menyimak pasif adalah penyerapan suatu ujaran tanpa upaya sadar yang biasanya menandai upaya-upaya kita pada saat belajar dengan kurang teliti, tergesa-gesa, menghapal luar kepala, berlatih santai, serta menguasai suatu Bahasa. Sebenarnya otak kita ‘bukan main’ aktifnya dalam menguasai, mendaftarkan, bunyi-bunyi, bau-bauan, bentukbentuk dan rupa-rupa, walaupun kita seolah-olah mengarahkan perhatian pada hal lain, bahkan pada saat kita tidur nyenyak.

114

6. Menyimak Intensif Menyimak ekstensif lebih diarahkan pada kegiatan menyimak secara lebih bebas dan lebih umum serta perlu dibawa bimbingan langsung para guru, menyimak intensif diarahkan pada suatu kegiatan yang jauh lebih diawasi, dinkontrol suatu hal tertentu. Dalam hal ini diharuslah diadakan suatu pembagian penting sebagai berikut: a. Menyimak Intensif ini terutama sekali dapat diarahkan sebagai bagian dari program pengajaran Bahasa, atau b. Terutama sekali dapat diarahkan pada pemahaman serta pengertian secara umum. Jelas bahwa dalam butiran kedua ini makna Bahasa secara umum sudah diketahui oleh para siswa.

7. Menyimak Keritis Menyimak kritis adalah sejenis kegiatan menyimak berupa pencarian kesalahan atau kekeliruan bahkan juga butir-butir yang baik dan benar dari ujaran seseorang pembicara dengan alasan-alasan yang kuat dapat diterima oleh akal sehat. Pada umumnya menyimak keritis lebih cenderung meneliti letak kekurangan, kekeliruan, dan ketidaktelitian yang terdapat dalam ujaran atau pembicaraan seseorang. Anak-anak kita perlu belajar mendengarkan dan menyimak secara kritis atas segala ucapan atau informasi lisan untuk memperoleh kebenaran. Kegiatan-kegiatan menyimak secara kritis yaitu: a) Memperhatikan kebiasaan-kebiasaan ujaran yang tepat, kata, pemakaian kata, dan unsur-unsur kalimatnya. b) Menentukan alasan mengapa? c) Memahami aneka makna petunjuk konteks. d) Membedakan fakta dari fantasi, yang relevan dari yang tidak relevan. e) Membuat keputusan-keputusan. f) Menarik kesimpulan-kesimpulan. g) Menentukan jawaban bagi masalah tertentu. h) Menentukan informasi baru atau informasi tembahan bagi suatu topik. i) Menafsirkan, menginterpretasikan ungkapan, Bahasa yang belum umum atau belum lazim dipakai.

115

j) Bertindak objektif dan evaluative untuk mentukan keaslian, kebenaran, atau adanya prasangka atau kecerobohan, kekurangtelitian Dalam kegiatan menyimak kritis seyogyanya para penyimak mempunyai konsep. Empat konsep penting dalam menyimak kritis, yaitu: 1) Penyimak harus yakin bahwa sang pembicara telah mendukung serta mendokumentasikan masalah-masalah yang mereka kemukakan. 2) Menyimak mengharap agar sang pembicara mengemukakan masalahmasalah khusus, 3) Penyimak mengharap sang pembicara mendemontrasikan keyakinannya pada suatu topik tertentu. 4) Menyimak harus percaya dan menuntut dengan tegas agar sang pembicara bergerak dari hal-hal umum ke hal-hal yang khusus.

8. Menyimak Konsentratif Menyimak konsentratif sering juga disebut listening atau menyimak sejenis

telaah

kegiatan-kegiatan

yang

tercakup

dalam

menyimak

konsentratif ini yaitu: a) Mengikuti petunjuk-petunjuk yang terdapat dalam pembicaraan. b) Mencari dan merasakan hubungan-hubungan, seperti kelas, tempat, dan waktu. c) Mendapatkan atau memperoleh butiran-butiran informasi. d) Memperoleh pemahaman dan pengertian yang mendalam. e) Merasakan serta menghayati ide-ide sang pembicara. f) Mencari dan mencatat fakta-fakta penting.

9. Menyimak Kreatif Menyimak kreatif adalah sejenis kegiatan dalam menyimak yang dapat mengakibatkan kesenangan rekonstruksi imajinatif para menyimak terhadap bunyi, penglihatan, gerak, serta perasaan-perasaan yang dirasakan atau dirangsang oleh sesuatu yang disimaknya. Menyimak kreatif mencangkup kegiatan-kegiatan:

116

a) Menghubungkan atau mengasosiasikan makna-makna dengan segala jenis pengalaman menyimak b) Membangun imajinasi c) Menyesuaikan imajinasi dengan pikiran untuk menciptakan karya baru dalam tulisan, lukisan, dan pementasan. d) Mencapai penyelesaian serta sekaligus menguji hasil penyelesaian tersebut.

10. Menyimak Eksplorasif Menyimak eksplorasi, menyimak yang bersifat menyelidiki, atau exploratory listening adalah sejenis kegiatan menyimak intensif dengan maksud dan tujuan menyelidiki sesuatu lebih terarah dan lebih sempit.

11. Menyimak Interogatif Menyimak interogatif adalah sejenis kegiatan menyimak intensif yang menuntut lebih banyak konsentrasi dan seleksi, pemusatan perhatian dan pemilihan butir-butir dari ujaran pembicara karena menyimak akan mengajukan banyak pertannyaan. Dalam kegiatan menyimak introgatif penyimak

mempersempit

serta

mengarahkan

perhatiannya

pada

pemerolehan informasi dengan cara mengintrogasi atau menanyai pembicara. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh penyimak dalam kegiatan menyimak introgatif dapat mencangkup apa, siapa, mengapa, di mana, ke mana, untuk apa, benarkah.

12. Menyimak Selektif Menyimak selektif hendaknya tidak menggantikan menyimak pasif, tetapi justru melengkapinya. Mengapa kita harus melengkapi menyimak pasif itu dengan menyimak selektif, kerena jarang sekali mendapatkan kesempatan untuk berpartisipasi secara sempurna. Disarankan urutan prosedur sebagai berikut.

117

a) Nada suara, Apakah turun atau naik ataupun tetap mendatar, jelas merupakan slah satu dari hal-hal pertama yang harus diperhatikan oleh seorang anak mengenai suatu Bahasa baru. b) Bunyi-bunyi asing Bagi seseirang menyimak secara selektif pada aneka variasi nada suatu Bahasa yang biasanya memakan waktu paling sedikit seminggu atau lebih, bunyi-bunyi asing tertentu, baik konsonsn maupun vocal tentu sangat menarik perhatian. c) Bunyi-bunyi yang bersamaan Setelah menyimak secara selektif pada bunyi-bunyi yang asing, kita hendaknya milai mengarahkan perhatian pada perangkat-perangkat bunyi yang bersamaan. Bila kita terus menyimak perangkat bunyi yang bersamaan baik konsonsn maupun vocal Bahasa mempunyai bunyi-bunyi yang beraneka ragam. d) Kata-kata dan frasa-frasa Salah satu dari frasa yang paling penting dalam menyimak kata-kata slektif ialah mencoba memahami makana yang dikandungnya.

F. Teknik Pengajaran Menyimak Teknik atau cara pengajaran menyimak di Sekolah Dasar dapat dilakukan secara variatif untuk menghindari kesan yang monoton terhadap strategi mengajar guru di Sekolah Dasar. Selain itu, melalui penggunaan teknik menyimak yang beragam menjadikan pembelajaran lebih menarik bagi siswa. Adapun beberapa teknik menyimak yang dapat digunakan guru dalam proses belajar mengajar di Sekolah Dasar, di antaranya adalah sebagai berikut: 1. Teknik Ulang-Ucap (Menirukan) Teknik ini biasa digunakan guru pada siswa yang belajar bahasa permulaan, baik belajar bahasa ibu maupun bahasa asing. Teknik ini digunakan untuk memperkenalkan bunyi bahasa dengan dengan pengucapan atau lafal yang tepat dan jelas oleh guru.

118

Dengan teknik ini, pertama-tama guru mengucapkan kata-kata yang sederhana, seperti “mata”, misalnya, kemudian guru memperjelas kata tersebut dengan cara mendemonstrasikannya; guru menggunakan jari tangannya untuk menunjuk salah satu bagian wajahnya, yaitu mata. Langkah kedua, guru mengucapkan kata “mata” dengan jelas dan keras, siswa diminta menyimaknya dengan baik, kemudian menirukan apa yang diucapkan guru. Langkah ketiga, guru memberikan latihan ekstensif dengan mengulang kata-kata yang sudah dikenalkan, kemudian menambah kosa kata serta mengenalkan struktur kalimat kepada siswa sampai siswa dapat mengucapkan kata-kata dengan tepat, dan akhirnya menggunakan kata itu dalam struktur yang sederhana.

2. Teknik Informasi Beranting Guru memberi informasi kepada salah seorang siswa kemudian informasi tersebut disampaikan kepada siswa di dekatnya; begitu seterusnya, informasi disampaikan secara beranting. Siswa yang menerima informasi terakhir, mengucapkan keras-keras informasi tersebut di hadapan teman-temannya. Dengan demikian, kita tahu apakah informasi itu tetap sama dengan sumber pertama atau tidak. Jika tetap sama, berarti daya simak siswa sudah cukup baik, akan tetapi, bila informasi pertama berubah setelah beranting, ini berarti daya simak siswa masih kurang. Contoh: Informasi: Andi membeli mie bersama Rani tadi pagi.

3. Teknik Satu Mulut Satu Kelas Guru membacakan sebuah wacana yang dapat berupa artikel atau cerita di hadapan siswa, dan siswa diminta menyimak baik-baik. Sebelum siswa menyimak, guru memberi penjelasan tentang apa-apa yang pernah disimak. Setelah guru selesai membacakan, guru dapat meminta siswa, misalnya: a. Menceritakan kembali isi materi yang disimaknya. b. Menyebutkan urutan ide pokok dari apa yang disimak.

119

c. Menyebutkan tokoh atau pelaku cerita dari apa yang disimaknya. d. Menemukan makna yang tersurat dari apa yang disimaknya. e. Menemukan makna yang tersirat dari apa yang disimaknya. f. Menemukan ciri-ciri atau gaya bahasa yang digunakan dalam wacana yang dibacakan. g. Menilai isi dari apa yang disimaknya. Pertanyaan-pertanyaan yang disampaikan guru kepada siswa tentu saja harus disesuaikan dengan tujuan yang telah dirumuskan. Dalam penggunaan teknik ini, guru dituntut untuk dapat membaca dengan baik sesuai dengan jenis wacana yang dibacanya. Oleh karena itu, guru perlu menyiapkan benar-benar bahan bacaan dan cara membacanya, jangan sampai siswa mengalami kesulitan memahami isi yang disimaknya hanya karena pembacaan yang kurang siap.

4. Teknik Satu Rekaman Satu Kelas Guru terlebih dahulu menyiapkan rekaman melalui kaset (tape recorder), CD, ataupun laptop yang berisi ceramah, pembacaan puisi, pidato, cerita/dongeng, drama, dan sebagainya. Kemudian guru memberi petunjuk-petunjuk sebelum kaset di putar tentang hal-hal yang perlu disimak. Setelah itu guru memutar rekaman yang telah disiapkan sebelumnya (dongeng, misalnya). Siswa diminta menyimak baik-baik. Rekaman dapat diputar ulang bila siswa belum dapat mengikuti tentang apa yang diputar. Kemudian siswa diberikan tugas menjawab pertanyaanpertanyaan untuk menguji pemahamannya terhadap rekaman yang disimaknya, seperti: a. Apa tema dari dongeng yang anak-anak simak? b. Siapa yang menjadi tokoh dalam dongeng tersebut? c. Bagaimana watak dari tokoh tersebut? d. Sebutkan amanat yang terdapat dalam dongeng tersebut!

120

5. Teknik Parafrase Dalam penggunaan teknik ini, guru terlebih dahulu menyiapkan sebuah puisi untuk disimak oleh siswa. Setelah itu, guru membacakan puisi yang telah disiapkan dengan jelas. Kemudian setelah siswa selesai menyimak, siswa secara bergiliran disuruh menceritakan kembali isi puisi yang telah disimaknya dengan kata-kata sendiri. Dalam menerapkan teknik ini, guru harus menyesuaikan dengan perkembangan kebahasaan siswa, agar dalam pelaksanaannya dapat berjalan sesuai tujuan.

6. Teknik Simak Bebas Libat Cakap Teknik ini senada dengan teknik simak libat cakap

yang

mementingkan keterlibatan penyimak dalam pembicaraan. Penyimak di sini hanya berlaku sebagai pemerhati yang penuh minat, tekun menyimak apa yang disampaikan oleh pembicara sehingga penyimak dapat memahami isi pembicaraan, tujuan pembicaraan, menganalisis apa yang dibicarakan, serta akhirnya menilai isi pembicaraan.

G. Perilaku Menyimak Perilaku menyimak ada dua tipe perilaku dalam kegiatan menyimak yaitu, menyimak faktual dan menyimak empatik setiap tipe perilaku menyimak ini terutama kepentingan atau manfaatnya terdapat dalam kegiatan berbicara di muka umum atau dalam public speaking. 1. Menyimak Faktual Penguasaan yang mantap terhadap teknik-teknik menyimak faktual ini justru memudahkan penyimak untuk menangkap serta memahami faktafakta konsep-konsep serta Informasi yang disampaikan pembicara melalui otak dan pikiran manusia hanya dapat memproses sejumlah fakta tertentu dalam waktu tertentu selama kita tetap ingin bervariasi mau tak mau kita harus memanfaatkan otak kita memilih serta mengorganisasikan semua

121

masukan yang kita terima dari para pembicara dalam hal ini otak kita merupakan komputer yang memindahkan serta mengubah materi dan membuatnya logis masuk akal dan mudah dipahami kalau kita mempergunakan otak kita dengan cara ini pada prinsipnya kita tidak mempraktikkan menyimak faktual yang juga dikenal sebagai menyimak untuk mengingat pada saat ini menyimak kita mencoba menangkap ide-ide pokok gagasan gagasan penting pembicara diantaranya. a. Memusatkan perhatian pada pesan-pesan orang lain, dan b. Berusaha mendapatkan fakta-fakta. Perlu kita sadari benar bahwa menyimak faktual menuntut empat keterampilan khusus yaitu: 1) Kita harus melibatkan diri secara total pada situasi komunikasi. 2) Kita harus menguasai seni atau kiat pembuatan catatan yang tepat. 3) Kita harus mencari serta menganalisis sarana sarana penunjang yang diutarakan oleh sang pembicara. 4) Kita harus mencari pola organisasi dan struktur keseluruhan sang pembicara. Menyimak faktual ini merupakan suatu keterampilan dengan aneka penerapan yang tidak terbatas kegunaannya bagi setiap situasi komunikasi sangat berguna misalnya bagi para wartawan, guru, mahasiswa, hakim, reporter, lembaga, konsumen, para juri dan sebagainya. Dalam diskusi konferensi penataran seminar simposium kegunaan keterampilan menyimak faktual ini sangat terasa sekali bagi para partisipan seluruhnya. Telah kita perbincangkan serta sepintas mengenai pengertian kegunaan serta keterampilan yang dituntut dalam kegiatan menyimak faktual. Terutama mengenai 4 keterampilan khusus yang dituntut dari para penyimak yaitu: 1) Penyimak harus mencari pola organisasi dan struktur keseluruhan. 2) Penyimak harus melibatkan diri secara total. 3) Harus mencari dan menganalisis sarana penunjang. 4) Penyimak harus menguasai seni mencatat tepat guna.

122

2. Menyimak Empatik Menyimak empatik dapat menolong kita untuk memahami sikap psikologi dan emosional pembicara dan bagaimana sikap tersebut mempengaruhi menyimak empatik ini dapat juga disebut menyimak aktif atau menyimak pemahaman setiap pesan berisi dua bagian yaitu, materi faktual dan perasaan atau sikap pembicara terhadap isi tersebut dengan kegiatan menyimak demi pemahaman seseorang dapat menyerap serta memahami pembicara. Ada beberapa perilaku yang dituntut dalam kegiatan menyimak empatik diantaranya: a. Memperhatikan isyarat isyarat non verbal b. Menempat kan diri pada posisi orang lain, dan c. perhatian pada pesan bukan pada penampilan.

Ada beberapa cara untuk melakukan menjadi penyimak yang baik diantaranya: 1) Buatlah catatan-catatan mental dari butir-butir utama. 2) Pikirkan dan renungkanlah kemungkinan adanya cara-cara lain untuk menunjang ide-ide utama sang pembicara. 3) Cari dan dapatkanlah cara-cara yang telah dipakai oleh pembicara untuk mengorganisasikan atau memberi struktur terhadap penampilannya.

H. Mengapa Orang Tidak Menyimak Orang tua Sering menasehati anaknya dengarkanlah dulu baik-baik sebelum kamu kerjakan, peribahasa pun ada pula yang berbunyi listening may be golden yang bermakna menyimak itu mungkin bernilai emas artinya dari menyimak itu mungkin sekali kita memperoleh hal-hal yang bernilai tinggi berharga dan berguna karena sudah terasa sebagai suatu hal yang terlalu biasa sering orang melupakan fungsi menyimak ini, kita hidup bermasyarakat dalam masyarakat terdapat hubungan timbal balik antar sesama anggota nya memberi dan menerima mendengarkan dan didengarkan serta menyimak dan disimak ada beberapa contohnya diantaranya:

123

1. Para pekerja pada industri para karyawan di kantor-kantor perlu menyimak petunjuk atasan mereka baik-baik. 2. Para pedagang dan pelayan toko harus menyimak keinginan para pembeli dan para pelanggan agar dagangan mereka laris. 3. Pada rumah tangga atau keluarga makan yang baik dan simpati jelas dapat menolong seorang suami untuk lebih memahami istri atau sebaliknya dan orang tua lebih memahami anak-anak mereka. 4. Di sekolah para siswa haruslah menjadi penyimak yang baik mereka harus menyimak pelajaran yang diberikan oleh guru dengan baik dan cermat agar dapat memahaminya. 5. Sebaiknya guru pun perlu menyimak keluhan-keluhan serta masalahmasalah yang dikemukakan oleh para siswa agar dapat diatasi dengan baik. Kalau memang begitu pentingnya menyimak. Mengapa masih ada juga orang yang tidak menyimak? kita perlu mengetahui sebab-sebabnya agar dapat dihindari bila perlu, mengapa orang tidak menyimak jawabannya yang final serta memuaskan tidak akan dapat diabaikan kalau orang tidak menyimak itu berarti bahwa pesan ataupun informasi yang hendak disampaikan oleh pembicara tidak mencapai sasaran tidak sampai kepada penerima memang ada beberapa sebab yang dapat membuat orang tidak menyimak antara lain a. Orang berada dalam keadaan capek. b. Orang berada dalam keadaan tergesa-gesa. c. Orang berada dalam keadaan bingung pikiran sedang kacau. d. Pembicaraan yang tidak sesuai. Ada beberapa orang termasuk kedalam golongan tipe-tipe orang yang tidak menyimak: a. Tipe menyerap tipe bunga karang. b. Tipe orang berdikari. c. Tipe seniman ingatan. d. Tipe orang tidak tergoda oleh pribadi tertentu. e. Tipe orang yang menyukai bunyi alamiah. f. Tipe estetikus luar biasa. g. Tipe siap tempur.

124

Demikianlah telah kita kemukakan beberapa sebab yang turut mengakibatkan orang tidak menyimak hal-hal itu jelas merugikan dari kegiatan menyimak kita mungkin memperoleh keuntungan sebagai berikut: a. Kita dapat mempelajari sesuatu. b. Kita mungkin memperoleh suatu kesempatan melalui kegiatan menyimak tersebut. c. Hal itu dapat membuat kita menjadi suatu pribadi yang lebih baik dan berpandangan lebih luas. Hendaknya kita jangan lupa bahwa martabat manusia mengandung suatu nilai dan makna oleh karena itu tentu saja kemartabatan itu menuntut kita untuk lebih banyak menyimak pandangan gagasan ide serta konsep orang lain apa lagi orang terkemuka dan arif kebijaksanaan kita akan rugi kalau tidak memperoleh dan memanfaatkan harta yang berharga itu atau kesempatan yang ada.

BAB VII PEMBELAJARAN BERICARA DI KELAS RENDAH

F. Pengertian Berbicara Berbicara merupakan kegiatan menyampaikan pesan melalui bahasa lisan. Berbicara adalah kemampuan mengucapkan bunyi-bunyi artikulasi atau kata-kata untuk mengekspresikan, menyatakan serta menyampaikan pikiran, gagasan, dan perasaan, Tarigan dalam (Haryadi, 1996: 54). Berbicara sering dianggap sebagai alat manusia yang paling penting bagi kontrol sosial karena berbicara merupakan suatu bentuk perilaku manusia yang memanfaatkan faktor-faktor fisik, psikologis, neurologis, dan linguistik secara luas. Faktorfaktor tersebut merupakan indikator keberhasilan berbicara. Jadi tingkat kemampuan berbicara seseorang tidak hanya ditentukan dengan mengukur penguasaan faktor linguistik saja atau faktor psikologis, tetapi dengan mengukur semua faktor tersebut secara menyeluruh. Dapat dikatakan bahwa berbicara merupakan suatu sistem tanda-tanda yang dapat didengar dan yang kelihatan yang memanfaatkan sejumlah otot dan jaringan otot tubuh manusia demi maksud dan tujuan gagasan-gagasan atau ide-ide yang dikombinasikan. Kegiatan berbicara merupakan kegiatan berbahasa yang bersifat produktif artinya kegitan yang menyampaikan pesan, pemikiran, gagasan, dan perasaan melalui bahasa lisan. Rancangan media pembelajaran disesuaikan dengan tujuan pembelajaran, jenis tugas, dan respon yang diharapkan untuk dikuasai siswa setelah pembelajaran berlangsung, dan konteks pembelajaran termasuk karakteristik siswa. Media dalam proses pembelajaran adalah segala sesuatu yang dapat dipergunakan untuk menyalurkan pesa, merangsang pikiran, perasaan, perhatian, dan kemauan siswa, sehingga dapat terdorong untuk terlibat dalam proses pembelajaran. Penggunaan media yang tepat tentunya akan memaksimalkan hasil belajar siswa dan sesuai dengan yang diharapkan. Hal ini didukung oleh pendapat Bretz (Martinis, 2005: 154) membagi media menjadi tiga macam yaitu media suara, media bentuk visual, dan media gerak. Media bentuk visual dibedakan menjadi tiga yaitu gambar visual, garis (grafis dan symbol verbal). Salah satu media gambar yang dapat

125

126

digunakan untuk siswa adalah gambar seri. Gambar seri ini adalah kumpulan dari beberapa gambar yang menceritakan suatu kejadian atau peristiwa yang menarik yang disusun secara acak, atau berurut untuk dijaikan sebuah cerita. 1. Proses Berbicara Kegiatan berbicara dilakukan untuk mengadakan hubungan sosial dan untuk melaksanakan suatu layanan. Dalam proses belajar berbahasa di sekolah, anak-anak mengembangkan kemampuan secara vertikal. Mereka sudah dapat mengungkapkan pesan secara lengkap meskipun belum sempurna. Ellis dalam Roffi’uddin (1998: 12) mengemukakan adanya tiga cara untuk mengembangkan secara vertikal dalam meningktakn kemampuan berbicara : a. Menirukan pembicaraan orang lain b. Mengembangkan bentuk-bentuk ujaran yang telah dikuasai c. Mendekatkan atau menyejajarkan dua bentuk ujaran, yaitu bentuk ujaran sendiri yang belum benar dan ujaran orang dewasa yang sudah benar. Berikut ini proses pembelajaran berbicara dengan berbagai jenis kegiatan, yaitu percakapan berbicara estetik, berbicara untuk menyampaikan informasi atau untuk mempengaruhi, dan kegiatan dramatik (Tompkinss dan Hoskisson dalam Rofi’uddin, 1998: 12) 1) Percakapan Siswa mempelajari strategi dan keterampilan untuk melakukan sosialiasi dan percakapan dengan teman-temannya ketika berpartisipsi dalam kelompok kecil. Berikut ini merupakan langkah-langkah dalam melakukan percakapan : a) Memulai percakapan. Untuk memulai percakapan, seorang siswa secara sukarela untuk membuka pembicaraan. Guru menyampaikan petanyan

yang

didiskuikan,

kemudian

seorang

murid

mulai

percakapan dengan mengulangi pertanyaan tersebut, sedangkan anggota kelompok menanggapinya. b) Menjaga berlangsungnya percakapan. Siswa secara bergiliran menyampaikan

komentar

atau

mengajukan

pertanyaan.

Lewt

percakapan, siswa menuju pada tercapainya suatu tujuan. Tujuan

127

tersebut dapat berupa penyelesaian suatu tugas, menginterpretasikan buku yang telah mereka baca, atau menanggapi pertanyaan guru. c) Mengakhiri percakapan. Pada akhir percakapan, siswa seharusnya sudah dapat mencapai suatu persetujuan, sudah menjawab semua pertanyaan

atau

melaksanakan

tugas

dengan

baik.

Murid

menghasilkan sesuatu dari suatu ercakapan, misalnya berupa kumpulan catatan hasil percakapan.

2) Berbicara Estetik a) Memilih cerita. Hal yang paling penting dalam memilih cerita adalah memilih cerita yang menarik. Pertimbangan lainnya : (a) cerita tersebut sederhana, dengan alur cerita yang jelas, (b) memiliki awal, pertengahan, dan akhir yang jelas, (c) tema cerita jelas, (d) jumlah pelaku cerita tidak banyak, (e) cerita mengandung dialog, (f) cerita menggunakan gaya bahasa perulangan, (g) cerita menggunakan bahasa yang mengandung keindahan. b) Menyiapkan diri untuk bercerita. Siswa hendaknya membaca kembali dua atau tiga kali cerita yang akan diceritakan untuk memahami perwatakan pelaku-pelakunya dan dapat menceritakan secara urut. c) Menambahkan

barang-barang

yang

diperlukan.

Siswa

dapat

menggunakan beberapa teknik untuk membuat ceritanya lebih hidup. Siswa dapat menggunakan gambar-gambar yng ditempelkan di papan planet, boneka, dan benda-benda yang menggambarkan pelaku binatang atau barang-barang yang diceritakan agar cerita lebih menarik. d) Bercerita atau mendongeng. Kegiatan mendongeng dapat dilakukan dalam kelompok-kelompok kecil sehingga penggunaan waktunya dapat efisien.

3) Berbicara untuk Menyampaikan Informasi atau Mempengaruhi Empat macam bentuk kegiatan yang masuk jenis kegiatan ini adalah melaporkan secara lisan, melakukan wawancara, dan berdebat.

128

Pengumpulan informasi dilakukan dengan membaca berbagai sumber, ntara lain buku, majalah, surat kabar, ensiklopedia, almanak, dan atlas. Dalam emnyajikan informasi, siswa sebaiknya tidak membawa catatan.

4) Kegiatan Dramatik Bermain drama merupakan media bagi sisw untuk menggunakan bahasa verbal dan nonverbal dalam onteks yang bermakna. Kegiatan drama memiliki kekuatan sebagai suatu teknik pembelajaran bahasa karena melibatkan siswa dalam kegiatan berpikir logis dan kreatif, memberikan pengalaman belajar secara aktif, dan memadukan empat keterampilan berbahasa.

G. Batasan dan Tujuan Berbicara Ujaran (speech) merupakan suatu bagian yang integral dari keseluruhan personalitas atau kepribadian, mencerminkan lingkungan sang pembicara, kontak-kontak sosial, dan pendidikannya. Aspek-aspek lain, seperti cara berpakaian atau mendandani pengantin, adalah bersifat eksternal, tetapi ujaran sudah bersifat inheren, pembawaan. Berbicara itu lebih darpada hanya sejedar pengucapan bunyi-bunyi atau kata-kata. Tujuan utama berbicara adalah untuk berkomunikasi.

Agar

dapat

menyampaikan

pikiran

secara

efektif,

seyogianyalah sang pembicara memahami makna segala sesuatu yang ingin dikomunikasikan.

H. Hubungan Berbicara dengan Menyimak Peristiwa menyimak diawali dengan mendengarkan bunyi Bahasa secara langsung atau melalui rekaman radio, telepon, atau televise. Bunyi Bahasa yang ditangkap oleh telinga kita diidentifikasi jenis dan pengelompokkannya menjadi suku kata, kata, frase, klausa, kalimat, wacana. Jeda dan intonasi pun ikut diperhatikan oleh penyimak. Bunyi Bahasa yang diterima kemudian ditafsirkan maknanya, dinilai kebenarannya agar dapat diputuskan diterima tidaknya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa menyimak merupakan proses

yang

mencakup

kegiatan

mendengarkan

bunyi

Bahasa,

129

mengidentifikasi, menafsirkan, menilai, dan mereaksi terhadap makna yang termuat pada wacana lisan. Menyimak dan berbicara merupakan proses interaksi yang ditopang oleh alat komunikasi yang disebut Bahasa yang dimiliki dan dipahami bersama. Secara sederhana dapat kita katakan, bahwa menyimak merupakan proses memahami pesan yang disampaikan melalui Bahasa lisan. Sebaliknya, berbicara adalah proses penyampaian pesan dengan menggunakan Bahasa lisan. Pesan yang diterima oleh penyimak bukanlah wujud aslinya melainkan berupa bunyi Bahasa yang kemudian dialihkan menjadi bentuk semula yaitu ide atau gagasan yang sama seperti yang dimaksud oleh si pembicara. Dari hal tersebut kita temukan adanya kaitan antara menyimak dengan berbicara. Berdasarkan jenis Bahasa yang digunakan, menyimak dan berbicara termasuk keterampilan berbahasa lisan. Dengan berbicara seorang menyampaikan informasi melalui ujaran. Dengan menyimak kita menerima informasi dari seseorang. Pada kenyatannya peristiwa berbicara selalu dibarengi dengan peristiwa menyimak. Atau peristiwa menyimak pasti ada dalam peristiwa berbicara. Dalam kegiatan komunikasi keduanya secara fungsional tidak terpisahkan. Dengan demikian, komunikasi lisan tidak akan terjadi jika kedua kegiatan itu, yaitu berbicara dan menyimak, tidak berlangsung sekaligus dan tidak saling melengkapi. Menyimak dan berbicara merupakan kegiatan komunikasi dua arah yang dilakukan secara langsung (face to face communication) antara berbicara dan menyimak terdapat hubungan yang sangat erat, Dawson dalam Tarigan dan Tarigan menjelaskan sebagai berikut: 1. Ujaran (speech) dipelajari melalui menyimak dan meniru (imitasi); oleh karena itu, model atau contoh yang disimak atau yang direkam anak sangat penting dalam penguasaan serta kecakapan berbicara. 2. Kata-kata yang dipelajari kemudian dipakai anak ditentukan stimuli yang ditemuinya dalam kehidupan. 3. Ujaran anak mencerminkan pemakaian Bahasa dirumah dan tempat masyarakatnya hidup; misalnya: ucapan, intonasi, kosakata, penggunaan kata, dan pola-pola kalimat.

130

Anak yang lebih kecil lebih dapat memahami kalimat-kalimat panjang daripada kalimat-kalimat yang diucapkannya. 1. Meningkatkan keterampilan menyimak berarti membantu meningkatkan kualitas berbicara seseorang. 2. Suara merupakan faktor penting dalam meningkatkan penggunaan kata anak; oleh karena itu akan tertolong kalau anak menyimak ujaran yang baik dari para guru, rekaman-rekaman yang bermutu, cerita-cerita yang bermutu tinggi, dan lain-lain. 3. Berbicara dengan bantuan alat peraga akan menghasilkan pemahaman informasi yang lebih baik bagi penyimak. Umumnya anak menggunakan Bahasa yang didengarnya atau disimaknya. Kaitannya dengan kegiatan menyimak di kelas-kelas tinggi SD/MI, maka jenis kegiatan menyimak harus beragam. Beragam baik dari segi penyajiannya maupun bahan yang dijadikan padanannya. Sebagaimana diungkapkan Nambiar

dalam

Sarumpaet

(1998)

bahwa

pengajaran

Bahasa

yang

menggunakan berbagai sumber bacaan dan bahan pelajaran lebih berhasil daripada yang hanya menggunakan satu atau dua bahan (dalam bentuk yang sama). Tuntutan yang berkenaan dengan kemampuan menyimak dan berbicara bagi siswa SD/MI di kelas-kelas tinggi ini diantaranya: a. Siswa mampu menerima informasi dan memberi tanggapan dengan tepat tentang berbagai hal secara lisan. b. Siswa mampu menyerap pengungkapan perasaan orang lain secara lisan dan tertulis serta memberi tanggapan secara tepat. c. Siswa mampu menyerap pesan, gagsan, dan pendapat orang lain dari berbagai sumber. d. Siswa memperoleh kenikmatan dan manfaat mendengarkan. e. Siswa mampu memanfaatkan unsur-unsur kebahasaan karya sastra dalam berbicara dan menulis. Untuk mencapai tujuan tersebut Kurikulum 1994 telah memberikan rambu-rambu, yakni pembelajaran Bahasa Indonesia diarahkan untuk meningkatkan kemampuan berkomunikasi dengan menggunakan Bahasa

131

Indonesia baik secara lisan maupun tertulis. Pelaksanannya di kelas pembelajarannya harus terintegrasi antara komponen kebahasaan, pemahaman dan penggunaan, dengan memfokuskan pada salah satu komponen dan memperhatikan prinsip-prinsip pengajaran antara lain mudah-sukar, dekat-jauh, sederhana-rumit, konkret menuju abstrak. Keempat aspek keterampilan berbahasa harus mendapatkan porsi yang seimbang. Konteks atau tema digunakan untuk pengembangan dan perluasan pembendaharaan kata serta pemersatu kegiatan berbahasa. Selanjutnya pembelajaran kosakata dilakukan dalam konteks wacana yang dipadukan dengan kegiatan pembelajaran, baik pada keterampilan berbahasa maupun sastra. Pembelajaran sastra diarahkan untuk mempertajam perasaan penalaran , dan daya khayal, serta kepekaan terhadap masyarakat, budaya, dan lingkungan hidup. Strategi pengajaran berbicara, jika kita terapkan Model Ellis dan Siclair (1989) pada pembelajaran berbicara maka ternyata bahwa: a. Personal strategies yang digunakan adalah: 1) Menemukan

kesempatan

praktik

latihan

(self-management

dan

cooperation) 2) Memimpin/mengarahkan percakapan mental imajineri (auditory representation). b. Risk taking yang digunakan adalah: 1) Penggunaan teknik-teknik keraguan untuk menyediakan waktu berpikir dalam suatu percakapan (self-management dan organizational planning); 2) Latihan (advance pre-paration); 3) Bertahan pada kosa Bahasa sendiri (organizational planning dan selfevaluation). c. Getting organized yang dipakai adalah: 1) Pengorganisasian sumber; 2) Pengorganisasian materi; 3) Pengorganisasian waktu. Strategi pokok yang diajarkan bagi kegiatan berbicara untuk berbagai tugas, adalah:

132

a. Substitution: Para instruktur menyuruh para pembelajar memakai sinonim, paraphrase, dan gerak-gerik untuk menjelaskan artinya dalam tugas penceritaan kembali suatu teks. b. Cooperation: Sang instruktur menyuruh para pembelajar bekerja dalam kelompok mengenai penugasan berbicara dan mendorong mereka saling menolong satu sama lain mengerjakan tugas ini. c. Self-evalution: Para instruktur memberi kesempatan kepada para pembelajar untuk mengecek seberapa baik mereka membuat keefektifan komunikatif mereka.

I. Strategi Pembelajaran Berbahasa Lisan dan Penerapannya 2. Strategi Meningkatkan dan Mengembangkan Kemampuan Menyimak Faktor penting dalam menyimak adalah keterlibatan penyimak dalam berinteraksi dengan pembicara. Berikut strategi pembelajaran guru harus memenuhi kriteria berikut. Relevan dengan tujuan pembelajaran : a. Menantang dan merangsang siswa untuk belajar b. Mengembangkan kreativitas siswa secara individual maupun secara kelompok c. Memudahkan siswa memahami pelajaran d. Mengarahkan aktivitas siswa kepada tujuan yang telah ditetapkan e. Mudah diterapkan dan tidak menuntut peralatan yang rumit f. Menciptakan suasana belajar mengajar yang menyenangkan Berbagai strategi dapat digunakan untuk meningkatkan kemampuan menyimak. Guru dapat memberikan cerita yang tidak terlalu panjang di kelas. Namun, sebelum membaca, guru harus mendiskusikan etika atau sopan santun dalam menyimak dan perbedaan antara kritik yang konstruktif atau negatif. Diskusi tersebut hendaknya menekankan harapan agar muridmurid saling menghormati dan membina kesetiakawanan.

133

3. Mengembangkan Pembelajaran Menyimak di SD a. Simak - ulang ucap. Teknik ini digunakan untuk memperkenalkan bunyi bahasa dengan mengucapkan atau lafal yang tepat dan jelas. b. Simak - tulis (dikte). Guru mengucapkan bunyi bahasa tertentu seperti fonem, kata, kalimat, idiom, semboyan, kata-kata mutiara, dengan jelas dan intonasi yang tepat. c. Simak - kerjaan. Guru mengucapkan bunyi bahasa tertentu seperti fonem, kata, kalimat, idiom, semboyan, kata-kata mutiara, dengan jelas dan intonasi yang tepat. d. Simak -terka. Guru menyusun deskripsi suatu benda atau mainan siswa yang paling disukai atau gambar foto tanpa menyebutkan mana bedanya. e. Memperluas kalimat. Guru menyebutkan sebuah kalimat kemudian mengucapkan kata atau kelompok kata lain, kemudian siswa melengkapi kata-kata yang telah diucapkan guru dengan kata lain yang sesuai yang hasilnya kata-kata tersebut menjadi sebuah kalimat yang untuk dan lebih luas. f. Menyelesaikan cerita. Guru memperdengarkan suatu cerita sampai selesai. Setelah siswa selesai menyimak, guru menyuruh seseorang untuk menceritakan kembali dengan kata-kata sendiri. g. Membuat rangkuman. Guru menyiapkan bahan simakan yang cukup panjang. Materi itu disampaikan secara lisan kepada siswa dan siswa menyimak. Setelah selesai siswa disuruh membuat rangkuman. h. Permainan

untuk

meningkatkan

keterampilan

menyimak

(Bisik

Berantai). Suatu pesan dapat dilakukan secara berantai. Mulai dari guru membisikan pesan kepada siswa pertama dan dilanjutkan kepada siswa berikutnya sampai siswa terakhir. i. Mendengarkan cerita. Tujuan dalam kegiatan ini siswa dapat memaknai dengan cermat, cepat, dan tepat tentang cerita yang didengarnya. j. Mendengarkan berantai. Tujuannya agar siswa dapat memahami informasi yang di bisikan oleh temannya dengan cermat, cepat, dan tepat.

134

k. Guru sebagai penyimak. Diharuskan seorang guru menyimak pertanyaan murid dengan baik. l. Partisipasi kelompok. Kelompok dapat diarahkan untuk mencapai tujuan pembelajaran khusus secara langsung dan dapat menolong anak-anak meningkatkan keterampilan tertentu.

4. Strategi Meningkatkan dan Mengembangkan Kemampuan Berbicara Berikut merupakan kegiatan kegiatan untuk melatih keterampilan berbicara sebagai berikut : a. Menyampaikan informasi. Tujuan kegiatan ini untuk menolong anakanak mengembangkan rasa percaya diri dalam berbicara dengan orang lain. b. Berpartisipasi dalam diskusi. Diskusi memberikan kesempatan kepada siswa untuk berinteraksi dengan siswa-siswa yang lain dan guru, mengekspresikan pikiran secara lengkap, mengajukan berbagai pendapat, dan mempertimbangkan perubahan pendapat siswa. c. Menghibur ( menyajikan pertanyaan). Siswa dapat menyajikan pertunjukan untuk teman-temannya. d. Sandiwara boneka. Di dalam kelas anak-anak dapat menggunakan boneka atau mereka dapat membuat boneka kemudian mengarang cerita yang sesuai. e. Bercerita atau membaca puisi secara kor. Cerita atau puisi yang digunakan harus yang menarik bagi anak-anak, yang mudah dipahami secara lisan, dan yang mudah dihafalkan. f. Cerita merangkai tujuan. Siswa dapat melanjutkan cerita yang disampaikan temannya dengan tepat dan dalam lingkup topi yang sama. g. Menerangkan obat/makanan/minuman/benda lainnya. Dalam hal ini siswa dapat menjelaskan sesuatu secara rumput dan benar. Syifa menerangkan sebuah benda yang sudah mereka kenal dalam waktu singkat mereka menerangkan mengenai karakter benda tersebut.

135

5. Mengembangkan Pembelajaran Berbicara di SD Untuk sampai pada taraf terampil, maka mengajarkan berbicara harus dipelajari dan dilatihkan. Jika metode dikaitkan dengan pengalaman belajar, makan metode berfungsi sebagai sarana mewujudkan pengalaman belajar yang telah dirancang menjadi kenyataan dalam pelaksanaan pengajaran pokok bahasa tertentu. Metode pengajaran berbicara menurut Djogo Tarigan (1990), sebagai berikut : a. Ulang - ucap. Model ucapan adalah suara guru atau rekaman suara guru, model ucapan yang di perdengarkan kepada siswa harus dipersiapkan dengan teliti. b. Lihat-ucapan. Guru memperlihatkan kepada siswa benda tertentu kemudian siswa menyebutkan benda tersebut. c. Memerikan. Memerikan berarti menjelaskan, Menerangkan, melukiskan, atau mendeskripsikan sesuatu dengan kata-kata sendiri. d. Menjawab pertanyaan e. Bertanya f. Pertanyaan menggali g. Melanjutkan h. Menceritakan kembali i. Percakapan j. Parafrase k. Reka cerita gambar l. Bermain peran m. Wawancara n. Memperlihatkan dan bercerita (Show and Tell)

6. Strategi Pembelajaran Berbahasa Lisan dan Penerapannya Melalui Kegiatan Bercerita dan Dramatisasi Kreatif Agar strategi yang dipilih dan diterapkan dapat mencapai sasaran nya perlu diperhatikan beberapa prinsip yang melandasi pembelajaran berbahasa lisan seperti berikut ini :

136

a. Pengajaran keterampilan berbahasa lisan harus mempunyai tujuan yang jelas yang diketahui oleh guru dan siswa b. Pengajaran keterampilan berbahasa lisan disusun dari yang sederhana ke yang lebih kompleks sesuai dengan tingkat perkembangan bahasa siswa. c. Pengajaran keterampilan berbahasa lisan harus mampu menumbuhkan partisipasi aktif terbuka pada diri siswa. d. Pengajaran keterampilan berbahasa lisan harus benar-benar mengajar bukan menguji. Beberapa strategi pembelajaran berbahasa lisan yang dapat diterapkan di sekolah dasar adalah sebagai berikut : bermain tebaktebakan. Bermain tebak-tebakan dapat dilaksanakan dengan berbagai cara. Cara yang sederhana, guru mendeskripsikan secara lisan suatu benda tanpa menyebut nama bendanya. Tube siswa menerka nama benda itu.

J. Penyusunan Bahan Pembelajaran Menyimak dan Berbicara 1. Bahan Pembelajaran Menyimak Tujuan utama pembelajaran menyimak adalah melatih siswa memahami bahasa lisan. Hal ini perlu di sesuaikan dengan karakteristik peserta didik. Secara umum, bahkan pembelajaran menyimak dapat menggunakan bahan pembelajaran membaca, menulis, kosakata, Kary sastra, bahan yang pendidik susun sendiri atau di ambil dari media cetak. Teknik penyajiannya dapat dibacakan langsung oleh pendidik atau melalui alat perekam suara. Setelah menyampaikan bahan pembelajaran, pendidik secara langsung dapat mengadakan tanya jawab tentang isi materi yang sudah di sampaikannya atau menugasi peserta didik untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang sudah disisipkan lebih dulu. Pertanyaan yang baik harus disusun secara sistematis, mengingat fakta, mengingat nama orang, nama tempat, urutan kejadian dan hal-hal lain yang secara eksplisit disebutkan dalam teks lisan, memahami kosakata baru, memahami arti kata, ungkapan dan sebagainya dalam hubungan kalimat, menarik kesimpulan. Mengidentifikasi isi persoalan, meramalkan kejadian selanjutnya, membuat

137

interpretasi efektif, dan sebagainya. Ya-tidak atau alternatif = 1 2 3, dengan kata tanya 4 5 6. Pada penjelasan di atas tampak ada dua jenis pertanyaan dan 3 jenis perilaku siswa yang kita pancing secara keseluruhan, ada 6 pertanyaan, yaitu pertanyaan 1-3 merupakan jenis pertanyaan ya-tidak atau alternatif dan pertanyaan 4-6 jenis pertanyaan yang menggunakan kata tanya, misalnya apa, mengapa, bagaimana, dan lain sebagainya. Pertanyaan 1-3 termasuk pertanyaan yang relatif mudah ( di berikan di kelas rendah ), sedangkan macam pertanyaan 4-6 termasuk golongan pertanyaan yang sukar ( diberikan di kelas tinggi ). Gradasi kesukaran sudah di urutkan, makin besar nomor pertanyaan makin sukar atau makin kecil Nomor pertanyaan makin mudah. Dari pembicaraan di muka dapatlah kita petik butir-butir pokok yang ada kaitannya dengan upaya untuk membuat bahan dimakan yang akan di sajikan oleh seorang pembicara sehingga menarik perhatian para penyimak. Butir pertama

= Tema harus up-to-date

Butir kedua

= Tema terarah dan sederhana

Butir ketiga

=Tema

dapat

menambah

pengalaman

dan

pemahaman Butir keempat

= Tema bersifat sugesti dan evaluative

Butir kelima

= Tema bersifat motivating

Butir keenam

= Pembicara harus dapat menghibur

Butir ketujuh

= Bahasa sederhana mudah di mengerti

Butir kedelapan

= Komunikasi dua arah

2. Bahan Pembelajaran Berbicara Tujuan utama pembelajaran berbicara di SD melatih siswa dapat berbicara dalam bahasa Indonesia dengan baik dan benar. Untuk mencapai tujuan tersebut, guru dapat menggunakan bahasa pembelajaran membaca atau menulis, kosakata, dan sastra sebagai bahan pembelajaran berbicara. Misalnya menceritakan pengalaman yang mengesankan, menceritakan

138

kembali cerita yang pernah dibaca atau di denger, mengungkapkan pengalaman pribadi, bertanya jawab berdasarkan bacaan, bermain peran, berpidato, dan lain sebagainya. Untuk memantau kemajuan siswa dalam berbicara, guru dapet melakukannya ketika siswa sedang melaksanakan kegiatan diskusi kelompok, tanya jawab, dan sebagainya. Pengamatan guru terhadap aktivitas berbicara para siswanya dapat di rekam dengan menggunakan format yang telah di persiapkan sebelumnya faktor-faktor yang di amati adalah lafal kata, intonasi kalimat, kosakata, tata bahasa, kefasihan berbicara, dan pemahaman.

BAB VIII PEMBELAJARAN SASTRA DI KELAS RENDAH

A. Pengertian Sastra dan Hakikatnya Sastra (Sansekerta: shastra) merupakan kata serapan dari bahasa Sansekerta "Sastra", yang berarti Teks yang mengandung instruksi atau pedoman, dari kata dasar "Sas" yang berarti instruksi atau ajaran dan "Tra" yang berarti Alat atau sarana. Dalam bahasa Indonesia kata ini biasa digunakan untuk merujuk kepada "kesusastraan" atau sebuah jenis tulisan yang memiliki arti atau keindahan tertentu. Sastra merupakan bagian dari kesenian yang dapat memberikan kesenangan hiburan kebahagiaan pada diri manusia. Manusia selalu ingin Menikmati keindahan yang pernah dirasakannya dengan mewujudkan keindahan itu dalam bentuk, seperti: seni tari yang mewujudkan keindahan gerak tubuh manusia, seni rupa yang mewujudkan keindahan bentuk benda dan susunannya, dan seni sastra yang mewujudkan keindahan dalam bentuk bahasa. Dalam sastra unsur perasaan lebih tinggi. Sastra berhubungan dengan penciptaan dan ungkapan pribadi (ekspresi). Jiwa sastra berupa pikiran, perasaan dan pengalaman manusia. Sebuah karya sastra akan menjadikan pembacanya lebih kaya akan pengalaman dan pengetahuan, hati akan bergetar dan jiwa akan diliputi kesegaran. Keindahan sastra terletak pada pengelolaan bahan pokoknya melalui bahasa. Bahasa sastra mempunyai ciri khas yang berbeda dengan bahasa sehari-hari misalnya; dalam bahasa sehari-hari orang akan berkata "hari sudah senja". Akan tetapi sastrawan mungkin akan mengatakan "matahari tenggelam di balik bukit-bukit". Di sekolah dasar koma pembelajaran sastra dimaksudkan untuk meningkatkan kemampuan siswa mengapresiasi karya sastra. Kegiatan mengapresiasi sastra berkaitan dengan latihan mempertajam perasaan penalaran daya khayal serta kepekaan terhadap masyarakat budaya dan lingkungan hidup. Pengembangan kemampuan bersastra di sekolah dasar dilakukan dalam berbagai jenis dan bentuk melalui kegiatan mendengarkan

139

140

berbicara membaca dan menulis. Adapun pemilihan bahan ajar tersebut dapat dicari pada sumber-sumber yang relevan (Depdiknas,2003). Pembelajaran sastra di SD adalah pembelajaran sastra anak. Sastra anak adalah karya sastra yang secara khusus dapat dipahami oleh anak-anak dan berisi tentang dunia yang akrab dengan anak-anak, yaitu anak yang berusia antara 6 sampai 13 tahun. Sifat sastra anak adalah imajinasi semata bukan berdasarkan pada fakta. Unsur imajinasi ini sangat menonjol dalam sastra anak. Hakikat sastra anak harus sesuai dengan dunia dan alam kehidupan anak-anak yang khas milik mereka dan bukan milik orang dewasa. Sastra anak bertumpu dan bermula pada penyajian nilai dan imbauan tertentu yang dianggap sebagai Pedoman tingkah laku dalam kehidupan. Sastra anak berfungsi sebagai media pendidikan dan hiburan, membentuk kepribadian anak, serta menuntun kecerdasan emosi anak. Pendidikan dalam sastra anak memuat amanat tentang moral, pembentukan kepribadian anak, mengembangkan imajinasi dan kreativitas, serta memberi pengetahuan keterampilan praktis bagi anak. Fungsi hiburan dalam sastra anak dapat membuat anak merasa bahagia atau senang membaca, senang dan gembira mendengarkan cerita ketika dibacakan atau dideklamasikan, dan mendapatkan kenikmatan atau kepuasan batin sehingga menuntun kecerdasan emosi nya. Pengajaran sastra di sekolah dasar (SD) diarahkan terutama pada proses pemberian pengalaman bersastra. Siswa diajak untuk mengenal bentuk dan isi sebuah karya sastra melalui kegiatan mengenal dan mengakrabi cipta sastra sehingga tumbuh pemahaman dan sikap menghargai cipta sastra sebagai suatu karya yang indah dan bermakna. Karya sastra anak yang merupakan jenis bacaan cerita anak-anak merupakan bentuk karya sastra yang ditulis untuk konsumsi anak-anak. Sebagaimana karya sastra pada umumnya, bacaan sastra anak-anak merupakan hasil kreasi imajinatif yang mampu menggambarkan dunia rekaan, menghadirkan pemahaman dan pengalaman keindahan tertentu. Anak usia SD pada jenjang kelas menengah dan akhir sebagai pembaca sastra telah mampu menghubungkan

dunia

pengalamannya

dengan

dunia

rekaan

yang

141

tergambarkan dalam cerita. Hubungan interaktif antara pengalaman dengan pengetahuan kebahasaan merupakan kunci awal dalam memahami dan menikmati bacaan cerita anak-anak. Bacaan tersebut ditinjau dari cara penulisan, bahasa, dan isinya juga harus disesuaikan dengan tingkat perkembangan dan readiness anak. Secara konseptual, sastra anak-anak tidak jauh berbeda dengan sastra orang dewasa (adult literacy). Keduanya sama berada pada wilayah sastra yang meliputi kehidupan dengan segala perasaan, pikiran dan wawasan kehidupan. Yang membedakannya hanyalah dalam hal fokus pemberian gambaran kehidupan yang bermakna bagi anak yang diurai dalam karya tersebut. Sastra (dalam sastra anak-anak) adalah bentuk kreasi imajinatif dengan paparan bahasa tertentu yang menggambarkan dunia rekaan, menghadirkan pemahaman dan pengalaman tertentu, dan mengandung nilai estetika tertentu yang bisa dibuat oleh orang dewasa ataupun anak-anak. Apakah sastra anakmerupakan sastra yang ditulis oleh orang dewasa yang ditujukan untuk anak-anak atau sastra yang ditulis anak-anak untuk kalangan mereka sendiri tidaklah perlu dipersoalkan. Huck (1987) mengemukakan bahwa siapapun yang menulis sastra anak-anak tidak perlu dipermasalahkan asalkan dalam penggambarannya ditekankan pada kehidupan anak yang memiliki nilai kebermaknaan bagi mereka. Sastra anak-anak adalah sastra yang mencerminkan perasaan dan pengalaman anak-anak melalui pandangan anak-anak (Norton, 1993). Namun demikian, dalam kenyataannya, nilai kebermaknaan bagi anak-anak itu terkadang dilihat dan diukur dari perspektif orang dewasa.

B. Nilai Sastra bagi Anak Sastra dapat mengembangkan wawasan anak menjadi perilaku insani. Melalui karya sastra yang luas dapat membuat anak mengerti dunia. Anak dapat membayangkan dan merasakan keindahan serta anak dapat merasakan kesadaran mengenai kehidupan orang lain, bahkan bangsa lain sekalipun. Sastra mengembangkan imajinasi anak untuk memikirkan alam, insan, pengalaman, atau gagasan dengan berbagai cara. Sastra dapat memberikan

142

pengalaman seolah-olah si anak sendiri yang mengalaminya. Seperti petualangan, perjuangan dalam menghadapi rintangan. Bagi seorang calon pendidik dikelas rendah sangatlah penting mengetahui nilai-nilai apa saja yang akan diberikan pada anak lewat karya sastra. Huck dan dkk. (1987) mengemukakan bahwa nilai sastra anak secara garis besar dapat dibedakan ke dalam dua kelompok, yaitu nilai personal (personal value) dan nilai pendidikan (education value) dengan masing-masing dapat dirinci menjadi subkategori. Nurgiantoro (2005: 37) menguraikan nilai personal meliputi perkembangan emosional, perkembangan intelektual, perkembangan imajinasi, pertumbuhan rasa social, pertumbuhan rasa etis dan religious. Sedangkan nilai pendidikan meliputi eksplorasi dan penemuan, perkembangan bahasa, perkembangan nilai keindahan, penanaman wawasan multicultural, dan penanaman kebiasaan membaca.

C. Pembelajaran Sastra bagi Pendidikan Anak SD Karya sastra merupakan pembelajaran yang cocok untuk diberikan. Karena telah diketahui oleh kita bahwa dengan membaca karya sastra hati bisa merasakan sesuatu yang menyenangkan dan membahagiakan. Selain itu, karya sastra juga memberikan nilai-nilai dan pengetahuan lainnya yang belum pernah diketahui oleh anak-anak seperti pengetahuan bagaimana sebaiknya mereka berinteraksi dengan sesama. 1. Membantu Perkembangan Bahasa Anak Melalui menyimak atau membaca karya sastra, secara sadar ataupun tidak sadar pemerolehan bahasa anak akan meningkat. Bertambahnya kosa kata maka akan meningkatkan pula keterampilan berbahasa anak. 2. Membantu Perkembangan Kognitif Siswa Sastra mempunyai hubungan erat dengan penalaran dan pikiran anak-anak. Semakin anak terampil berbahasa, maka akan semakin terampil pula mereka berfikir. Penalaran yang dikembangkan melalui media sastra antara lain; membandingkan,

mengklasifikasikan,

mengkritik, dan menerapkan.

menghipotesis,

merangkum,

143

3. Perkembangan Kepribadian Sastra mempunyai peranan penting dalam perkembangan kepribadian anak. Tokoh-tokoh dalam karya sastra secara tidak sadar akan mendorong atau mempengaruhi anak-anak mengendalikan berbagai emosi, misalnya: benci, cemas, takut, bangga, angkuh, sombong, dan lainnya. Disini guru harus pintar-pintar memilih bacaan untuk anak yang didalamnya terdapat pesan, kesan moral bagi anak. 4. Perkembangan Sosial Istilah sosialisasi mengacu pada suatu proses yang digunakan untuk anakanak dalam membentuk perilaku, norma-norma, dan motivasi, yang selalu dipantau serta dinilai oleh keluarga dan kelompok budaya mereke. Ada tiga proses yang sangat berpengaruh dalam sosialisasi dunia anak-anak. Dalam perkemabngannya anak akan melakukan sesuatu sesuai dengan keinginan mereka, untuk itu dalam pembelajaran sastra pada anak yang harus dilakukan yaitu: pertama, proses hadiah dan hukuman. Orangtua/orang dewasa kerap kali memberikan hadiah kepada anak atas perilaku yang baik. Sebaliknya, mereka memberikan hukuman atas perilaku yang tidak baik. Hal ini bermakna, anak disuruh melakukan halhal yang baik dan melarang melakukan hal-hal yang tidak baik Kedua,, proses imitasi/peniruan. Anak-anak meniru/menyontoh perilaku atau respon orang dewasa atau teman sebaya. Pada masa ini anak belajar tentang perilaku yang diterima dalam masyarakat. Ketiga, proses identifikasi. Proses ini menuntut ikatan emosional dengan model-model yang ada. Anak-anak menginginkan agar pikiran, perasaan, dan sifat-sifat mereka sama dengan model yang disukai. Karena itu dalam karya sastra yang dipilih untuk anak SD hendaknya menampilkan tokoh model yang dapat membawa anak –anak kearah yang lebih baik.

144

D. Pentingnya Pembelajaran Sastra di Kelas Rendah Pembelajaran sastra sangat penting dalam perkembangan manusia, bukan hanya penting sebagai sesuatu yang “terbaca” melainkan juga sebagai sesuatu yang memotivasi seseorang untuk berbuat. Melalui sebuah karya sastra, pembaca belajar dari pengalaman oranglain untuk direfleksikan dalam menghadapi masalah dalam kehidupan. Pembelajaran sastra yang selama ini dilakukan di sekolah digabung dengan pelajaran Bahasa Indonesia atau yang sering disebut dengan “ Bahasa dan Sastra Indonesia”. pendapat Huck dkk. (1987) bahwa pembelajaran sastra di SD harus memberi pengalaman pada murid yang akan berkontribusi pada empat tujuan (1) menumbuhkan kesenangan

pada

buku,

(2)

menginterpretasi

bacaan

sastra,

(3)

mengembangkan kesadaran bersastra, dan (4) mengembangkan apresiasi. a) Sastra Menunjukkan Kebenaran Hidup Dari karya sastra ,orang akan belajar banyak tentang pengalaman hidup, persoalan dengan aneka ragamnya dan bagaimana cara menghadapinya. b) Sastra untuk Memperkaya Rohani Dalam membaca sastra maka siswa sehharusnya dapat menemukan pesan dan kesan yang bermakna bagi dirinya sendiri. c) Sastra Melampaui Batas Bangsa dan Zaman Karya sastra Mahabarata dan Ramayana menceritakan kejadian beberapa ratus tahun yang lalu. Namun cerita tersebut masih tetap hidup sampai saat ini. Berarti jelas sastra mampu melampaui zaman. d) Sastra Memiliki Santun Berbahasa Dalam karya sastra begitu kaya dengan kata-kata yang tersusun secara tepat dan mempesona. Dengan itu guru mampu menanamkan pendidikan karakter kepada siswa melalui pembelajaran karya sastra. e) Sastra menjadikan manusia berbudaya Di dalam sastra terdapat gambaran kebiasaan manusia bergaul dengan kebenaran, keindahan, dan kebaikan.

145

f) Menumbuhkan Kesenangan terhadap Buku Salah satu tujuan utama pembelajaran sastra di SD ialah memberi kesempatan kepada anak untuk memperoleh pengalaman dari bacaan, serta masuk dan terlibat di dalam suatu buku. Pembelajaran sastra harus membuat anak merasa senang membaca, membolak-balik buku, dan gemar mencari bacaan.

E. Manfaat Sastra Anak-Anak Sebagai sebuah karya, sastra anak-anak menjanjikan sesuatu bagi pembacanya yaitu nilai yang terkandung di dalamnya yang dikemas secara intrinsik maupun ekstrinsik. Oleh karena itu, kedudukan sastra anak menjadi penting bagi perkembangan anak. Sebuah karya dengan penggunaan bahasa yang efektif akan membuahkan pengalaman estetik bagi anak. Penggunaan bahasa yang imajinatif dapat menghasilkan responsi-responsi intelektual dan emosional dimana anak akan merasakan dan menghayati peran tokoh dan konflik yang ditimbulkannya, juga membantu mereka menghayati keindahan, keajaiban, kelucuan, kesedihan dan ketidakadilan. Anak-anak akan merasakan bagaimana memikul penderitaan dan mengambil resiko, juga akan ditantang untuk memimpikan berbagai mimpi serta merenungkan dan mengemukakan berbagai masalah mengenai dirinya sendiri, orang lain dan dunia sekitarnya (Huck, 1987). Pengalaman bersastra di atas akan diperoleh anak dari manfaat yang dikandung sebuah karya sastra lewat unsur intrinsik di dalamnya yakni; (1) memberi kesenangan, kegembiraan, dan kenikmatan bagi anak-anak, (2) mengembangkan imajinasi anak dan membantu mereka mempertimbangkan dan memikirkan alam, kehidupan, pengalaman atau gagasan dengan berbagai cara, (3) memberikan pengalaman baru yang seolah dirasakan dan dialaminya sendiri, (4) mengembangkan wawasan kehidupan anak menjadi perilaku kemanusiaan, (5)menyajikan dan memperkenalkan anak terhadap pengalaman universal dan (6) meneruskan warisan sastra. Selain nilai instrinsik di atas, sastra anak juga bernilai ekstrinsik yang bermanfaat untuk perkembangan anak

146

terutama dalam hal (1) perkembangan bahasa, (2) perkembangan kognitif, (3) perkembangan kepribadian, dan (4) perkembangan sosial. Sastra yang terwujud untuk anak-anak selain ditujukan untuk mengembangkan imajinasi, fantasi dan daya kognisi yang akan mengarahkan anak pada pemunculan daya kreativitas juga bertujuan mengarahkan anak pada pemahaman yang baik tentang alam dan lingkungan serta pengenalan pada perasaan dan pikiran tentang diri sendiri maupun orang lain.

F. Tahapan Pembelajaran Sastra di Sekolah Rendah Beberapa tahapan dalam pelaksanaan proses pembelajaran sastra, diantaranya : 1. Tahap Penikmatan Tahap ini diawali sejak masa anak umur 3-7 tahun. Anak sekolah dasar diajak menikmati atau mendengarkan cerita, puisi, syair, lagu drama anakanak dsb. Dengan itu maka timbul rasa senang dan cinta terhadap karya sastra pada diri sang anak. 2. Tahap Penghargaan Pada tahap ini aanak diajak setengah aktif, bagaimana menimbulkan rasa kekaguman terhadap karya sastra dengan cara menampilkan tokoh idola sang anak. Pemberian rasa pujian ketika sang anak mampu menjawab pertanyaan yang merupakan umpan balik dari karya sastra yang dinikmatinya. 3. Tahapan Pemahaman Pemahaman disini ditekankan pada unsur intrinsik dan ekstrinsik karya sastra , guru harus mampu mengukur tingkat pemahaman anak tentang arya sastra yang dibacakan. 4. Tahap Penghayatan Pada tahap ini siswa diajak menganalisis tema dan berdiskusi tentang nilainilai yang terkandung dalam suatu karya sastra dengan cara mengkritik atau membandingkannya. 5. Tahap Implikasi

147

Tahap Implikasi yaitu tahap dimana anak diberikan kesempatan mengimplikasikan kreatifitas dalam bidang sastra, sesuai dengan minatnya masing-masing.

G. Bentuk-bentuk Karya Sastra Anak 1. Sastra Anak SD di Kelas Rendah Sastra anak SD kelas rendah terdiri atas berbagai genre atau tipe dan dapat berbentuk lisan maupun tulisan, contohnya : 2. Syair lagu, Nyanyian Anak Syair lagu atau tembang tidak lain adalah puisi. Puisi yang dilagukan ini mengandung karya seni/ berbagai unsur keindahan yang menggunakan Bahasa sebagai media. Contohnya: Pu kame-eme Belalang kupu-kupu Siang makan nasi, Kalau malam minum susu

Itulah salah satu paralisme dan pengulangan kata. Baik berupa pengulangan bunyi atau kata. 3. Puisi Tembang Dolanan Puisi tembang dolanan mengandung makna yang berkaitan dengan adat-istiadat, budi pekerti, sopan santun, moral serta unsur kejenakaan yang terkait dengan kondisimasyarakat setempat. Contohnya puisi tembang dolanan “Gundul-gundul pacul”. 4. Cerita Lisan Budaya bercerita kepada anak merupakan budaya universal, yaitu budaya yang turun menurun. Dari cerita yang diberikan, si anak akan mendapatkan berbagai pendidikan, seperti nilai moral, perbuatan baik dan buruk. Maka dari itu sebagai seorang guru, harus mampu memilih cerita yang mengandung pesan moral, disiplin, yang dikemas dalam cerita anak. 5. Sastra Anak Kelas Tinggi

148

Sastra SD kelas tinggi maksudnya adalah jenis-jeis karya sastra yang baik untuk anak kelas IV, V dan VI SD. Adapun jenis-jenis nya sebagai berikut: a. Cerita Fiksi Cerita Fiksi merupakan cerita yang berisi misteri kehidupan yang berhubungan dengan kehidupan anak. Tokoh fiksi boleh siapa saja, namun masih berkisar tentang kehidupan si anak. Fiksi anak mencakup beberapa aspek antara lain, emosi, moral, perasaan, dan pikiran yang dapat dipahami oleh anak-anak usia SD. b. Novel dan Cerpen Novel dan cerpn ada persamaan dan perbedaannya. Persamaannya adalah sama-sama dibangun oleh unsur intrinsikyang sama (alur, latar, tema dsb). Perbedaannya terletak pada pengembangan cerita. Cerpen bias selesai jika dibaca beberapa menit saja. Namun sebuah novel berbicara mendetail sehingga membutuhkan waktu yang lebih lama. Cerpen biasanya dimuat dalam berbagai surt kabar atau majalah namun sebuah novel terbit menjadi sebuah buku. c. Fiksi Realistik Fiksi Realistik menampilkan model kehidupan anak secara nyata. Cerita fiksi relalistik menampilkan model kehidupan sehari-hari seorang anak. d. Fiksi Fantasi Cerita Fantasi adalah cerita yang dikembangkan dengan menghadirkan sebuah dunia lain di samping dunia realitas. Cerita fantasi adalah cerita yang menampilkan tokoh, alur, karakter yang kebenarannya diragukan. Contoh : Film Harry Potter, Kartun Doraemon, dll. e. Fiksi Historis Fiksi Historis merupakan sebuah cerita yang mengungkapkan tentang peristiwa- peristiwa yang laur biasa di masa lalu.

Dalam cerita ini

disajikan fakta sejarah yang diramu dengan imajinasi. Contoh: cerita Pangeran Diponegoro. f. Komik Sastra Anak

149

Komik adalah cerita yang bertekanan pada gerak dan tindakan yang ditampilkan lewat urutan gambar yang dibuat secara khas dengan paduan kata-kata.

Selain itu berikut merupakan bentuk-bentuk sastra lama sebagai materi pembelajaran. 1. Prosa Lama a. Dongeng Dongeng adalah prosa cerita yang isinya bersifat khayalan atau hanya ada di dalam fantasi pengarang. Dongeng dibedakan menjadi : 1) Fabel: Fabel merupakan cerita yang isinya mengani dunia binatang. Dimana binatang tersebut ditampilkan dapat berpikir, berbicara, bereaksi dsb. Dongeng tentang kehidupan binatang ini dimaksudkan menjadi teladan bagi kehidupan manusia pada umumnya. 2) Farabel: Farabel adalah dongeng tentang binatang atau bendabenda lain yang mengandung nilai pendidikan. Binatang atau benda-benda lain merupakan perumpamaan atau lambing-lambang saja. 3) Legenda: legenda merupakan sebuah dongeng yang dihubungkan dengan keajaiban alam, terjadinya suatu tempat dan setengah mengandung unsur sejarah. 4) Mite: Mite adalah dongeng yang berhubungan dengan cerita jin, peri, roh halus, dewa dsb yang berhubungan dengan kepercayaan animism. 5) Sage : Sage adalah dongeng yang mengandung unsur sejarah meskipun tidak keseluruhan. Selalu ada ketegangan antara dunia manusia dan dunia gaib.

b. Hikayat

150

Kata Hikayat berasal dari Bahasa Arab yang berarti cerita. Hikayat adalah cerita yang panjang yang sebagian isinya mungkin terjadi sungguh-sungguh, tetapi di dalamnya terdapat hal yang tidak masuk akal dan penuh keajaiban. Ciri- ciri hikayat : a. Berisi kisah-kisah kehidupan lingkungan istana. b. Banyak peristiwa yang berhubungan dengan nilai-nilai Islam. c. Tidak ada pembagian baba tau judul. d. Peristiwa sering kali tidak logis dsb. c. Tambo Tambo merupakan cerita tentang tentang kejadian atau asal usul keturunan raja.

2. Puisi Lama a. Mantra Mantra adalah kata-kata yang mengandung hikmat dan kekuatan gaib. Mantra sering diucapkan oleh dukun atau pawang. b. Bidal Bidal adalah pepatah atau peribahasa dalam sastra melayu lama yang kebanyakan berisi sindiran, peringatan, nasihat dan sejenisnya. Yang termasuk kategori Bidal adalah : 1) Ungkapan, yaitu kiasan tentang keadaan atau kelakuan yang dinyatakan dengan sepatah atau beberapa patah kata. 2) Peribahasa, yaitu kalimat lengkap yang mengungkapkan keadaan atau kelakuan seseorang dengan mengambil perbandingan alam sekitar. 3) Tamsil, yaitu seperti perumpamaan tetapi diikuti bagian yang menjelaskan. 4) Ibarat, yaitu seperti perumpamaan dan tamsil tetapi diikuti bagian yang menjelaskan yang berisi perbandingan dengan alam. 5) Pepatah, yaitu kiasan tetap yang dinyatakan dalam kalimat selesai.

151

6) Pameo, yaitu ucapan yang terkenal yang diulang-ulang dan berfungsi sebagai semboyan atai pemacu semangat. c. Pantun Pantun merupakan puisi lama yang terikat oleh syarat-syarat tertentu ( jumlah baris, jumlah suku kata, kata, persajakan, dan isi). d. Gurindam Gurindam adalah puisi lama yang terdiri dari dua baris satu bait dan kedua liriknya merupakan kalimat majemuk yang selalu berhubungan

menurut

hubungan

sebab-akibat.

Baris

pertama

merupakan syaratnya sedangkan baris kedua merupakan jawabannya. e. Syair Kata syair bersal dari Bahasa Arab “syu’ur” yang artinya perasaan.syair timbul setelah terjadinya pengaruh kebudayaan Islam. Puisi ini terdiri atas empat baris sebait, berisi nasihat, dongeng dan sebagaian besar berisi cerita.

BAB IX PENILAIAN BAHASA INDONESIA DI KELAS RENDAH

B. Hakikat Penilaian Penilaian atau disebut juga Assasment dapat didefinisikan sebagai suatu proses untuk menganbil keputusan dengan menggunakan informasi yang di peroleh melalui pengukuran hasil belajar, baik yang menggunakan instrumen tes maupun non tes. Dikemukakan oleh Asmawi, Zainul dan Agus Mulyana (2007: 7) bahwa asesmen (Penilaian) adalah memberikan nilai tentang kualitas sesuatu. Hal senada dikemukakan oleh Nana Sudjana (1990: 3) asesmen atau penilaian adalah proses memberikan atau menentukan nilai kepada objek tertentu berdasarkan suatu kriteria tertentu. Pada hakikatnya, penilaian adalah suatu proses atau kegiatan yang sistematis dan berkesinambungan untuk mengumpulkan informasi tentang proses dan hasil belajar siswa dalam rangka untuk membuat keputusan berdasarkan kriteria pertimbangan tertentu (Arifin, 2012). Beliau juga menjelaskan bahwa penilaian harus dipandang sebagai salah satu faktor penting yang sangat menentukan keberhasilan proses dan hasil belajar, bukan hanya sebagai yang digunakan untuk menilai hasil belajar. Penilaian harus dapat menginformasikan kepada guru untuk meningkatkan kemampuan mengajarnya dan membantu siswa mencapai perkembangan belajarnya secara maksimal. Implikasinya adalah kegiatan penilaian harus dilakukan sebagai cara atau teknik yang mendidik sesuai dengan prinsip pembelajaran. Tiga istilah yang sering digunakan dalam dunia pendidikan serta tidak jarang pula sering dikacaukan pemakaiannya atau disamakan begitu saja pengertiannya.

Ketiga

istilah

tersebut

adalah

Penilaian

(Evaluation),

Pengukuran (Measurement) dan Tes (Test). 1. Penilaian Penilaian sebagai suatu proses untuk mengetahui apakah suatu kegiatan, proses suatu kegiatan, keluaran suatu program telah sesuai dengan tujuan atau kriteria yang telah ditentukan (Tuckman dalam Nurgiyantoro,

152

153

2010 : 6). Untuk dapat memberikan penilaian secara tepat, kita memerlukan data-data tentang kemampuan peserta didik. Data kemampuan yang dimaksud biasanya diwujudkan dalam bentuk skor atau angka-angka. Untuk mendapatkan data skor tersebut, kita memerlukan prosedur penilaian atau kegiatan yang berupa pengukura. Melalui pengukuran tingkat kemampuan peserta didik yang diwujudkan dalam angka.

2. Pengukuran Hanya pada bagian atau alat penilaian saja yang selalu berhubungan dengan data-data kuantitatif, misalnya berupa skor-skor peserta didik (Tuckman dalam Nurgiyantoro, 2010 : 6). Untuk mendapatkan informasi tentang kemampuan peserta didik yang berwujud data-data angka lewat pengukuran tersebut, diperlukan cara dan alat yang sesuai dengan tujuan pengukuran dan apa yang akan diukur. Cara dan alat yang dilakukan dapat bermacam-macamsalah satunya adalah dengan tes. Dan data yang diperoleh melalui pengamatan, pemberian angket, wawancara, penugasan, portopolio dan lain-lain. Pengukuran (measurement) adalah proses pemberian angka atau usaha memperoleh deskripsi numerik dari suatu tingkatan bila seorang siswa telah mencapai karakteristik tertentu.” Hasil penilaian dapat berupa nilai kualitatif (pernyataan naratif dalam kata-kata) dan nilai kuantitatif (berupa angka). Pengukuran berhubungan dengan proses pencarian atau penentuan nilai kuantitatif tersebut. Tes adalah cara penilaian yang dirancang dan dilaksanakan kepada siswa pada waktu dan tempat tertentu serta dalam kondisi yang memenuhi syarat-syarat tertentu yang jelas (Depdiknas, 2006).

3. Tes Tes merupakan sebuah intrumen atau prosedur yang sistematis untuk mengukur suatu sampel tingkah laku, misalkan untuk menjawab pertanyaan “Seberapa baik atau tinggi kinerja seseorang” yang jawabannya berupa angka pengukuran dipihak lain, merupakan proses untuk memperoleh

154

deskripsi angka (Skor) yang menunjukkan tingkat capaian seseorang dalam suatu bidang tertentu, misalkan jawaban “Seberapa banyak”. Tes diartikan sebagai suatu pertanyaan atau tugas atau seperangkat tugas yang direncanakan untuk memperoleh informasi ten-tang atribut pendidikan atau psikologik tertentu dan setiap butir pertanyaan atau tugas tersebut mempunyai jawaban atau ketentuan yang dianggap benar, dan apabila tidak memenuhi ketentuan tersebut, maka jawaban Anda dianggap salah, (Zainul, A. dan Mulyana, A., 2007: 3). Dari pengertian tersebut di atas, karakteristik tes yaitu, (1) tes dapat berbentuk pertanyaan, (2) tes dapat berbentuk tugas yang harus dikerjakan oleh peserta tes, (3) tes digunakan untuk memperoleh informasi tentang atribut pendidikan atau psikologik, (4) tes menghendaki adanya jawaban atau cara mengerjakan yang benar. Penilaian dan pengukuran merupakan satu kesatuan yang saling memerlukan. Pengukuran terbatas dan hanya berkaitan dengan hal-hal yang bersifat kuantitatif dan tidak ada deskripsi atau penjelasan yang bersifat kualitatif. Penilaian di pihak lain,berurusan dengan aspek kualitatif dan kuantitatif. Aspek kuantitatif pada penilaian perolehan melalui bantuan pengukuran yang salah satunya lewat tes, sedangkan aspek kualitatifnya berupa antara lain penafsiran dan pertimbangan terhadap data kuantitatif hasil pengukuran tersebut.

G. Fungsi dan Tujuan Penilaian Penilaian berfungsi sebagai alat untuk mengetahui seberapa berhasilkah proses belajar mengajar yang terjasi. Selain itu, juga sebagai perbaikan dalam melakukan proses belajar mengajar yang dilakukan oleh guru dan siswa. Dan juga sebagai laporan kemauan belajar siswa yang diberikan kepada orang tuga agar orang tuanya mengetahui hasil belajar anaknya dalam bentuk raport yang biasanya diberikan pada akhir semester. Adapun fungsi penilaian lain yang mencakup lebih luas adalah sebagai berikut: 1. Penilaian membantu siswa merealisasikan dirinya untuk mengubah atau mengembangkan perilakunya.

155

2. Penilaian membantu siswa mendapatkan kepuasan atas apa yang telah dikerjakannya. 3. Penilaian membantu guru untuk menetapkan apakah metode mengajar yang digunakannya telah memadai. 4. Penilaian membantu guru membuat pertimbangan administrasi (Cronbach, 1954 dalam Hamalik, 2002 : 204) Sedangkan tujuan dari penilaian adalah mendeskripsikan hasil belajar siswa sehingga dapat diketahui kelebihan dan kekurangan siswa dalam proses pembelajaran tersebut. Selain itu juga dapat mengetahui keberhasilan proses pendidikan dan pengajaran di sekolah, disini dapat terlihat berhasil tidaknya guru dalam melaksanakan proses belajar mengajar. Apabila hasilnya kurang baik pan balik bagi perbaikan proses belajar mengajar.

H. Keterkaitan Antara Penilian dan Proses Pembelajaran Ada keterkaitan dan ketergantungan anatara pembelajaran (Teaching), belajar (Learning), serta penilaian (Evaluation). Keadaan tersebut terlihat dari proses pelaksanaan dan pembelajaran (Grounlund, 1985 : 6-8) proses pembelajaran difasilitasi oleh guru agar peserta didik dapat belajar secara maksimalmenguasai berbagai kompetensi yang di belajarkan . Agar capaian hasil belajar peserta didik di ketahui perlu adanya kerja penilaian. Namun, proses penilaian yang baik adalah di lakukan sepanjang dan bersamaan dengan proses pembelajaran. Saling ketergantungan tersebut dapat di lihat dalam langkah proses pemebelajaran, sebagai berikut: a. Penentuan tujuan pembelajaran Langkah pertama aktivitas pembelajaran dan penilaian dimulai dari penentuan tujuan atau kompetensi apa yang diinginkan peserta didik lewat pelaksanaan pembelajaran kejelasan tujuan memberikan arah yang pasti terhadap pelaksanaan pembelajaran dan penilaiian b. Penjajagan pengetahuan awal Ketika tujuan pembelajaran pasti telah di tentukan, biasanya diperlukan penjajagan pengetahuan awal peserta didik dalam kaitannya dengan tujuan

156

tersebut. Pemahaman terhadap pengetahuan awal peserta didik akan membantu dalam hal penentuan strategi atau langkah salanjutnya secara tepat.

c. Penilaian pencapaian pembelajaran Penilaian pencapaian pembelajaranMerupakan langkah ahir dari rangkaian proses pembelajaran. d. Pemanfaatan hasil penilaian Ada banyak manfaat yang di ambil dari penilaian pencapaian pembelajaran. Manfaat yang pertama tentu saja adalah untuk memnentukan prestasi belajar peserta didik dan sebagai penilaian pelaksanan pembelajaran itu sendiri. Yang kedua mencakup bebrapa aspek mulai dari penetapan tujuan (kompetensi), bahan ajar, metode dan strategi, media dan lain-lain juga sampai model penilaian. Selain itu juga untuk menfaatkan untuk laporan ke berbagai pihak yang trtkait.

I. Karakteristik Penilaian Siswa Sekolah Dasar 1. Bentuk-Bentuk Karakteristik Siswa Sekolah Dasar a. Mereka secara ilmiah memiliki rasa ingin tahu yang sangat kuat dan tertarik akan dunia sekita yang mengelilingi merka sendiri. b. Meeka senang bermain dan bergembira/riang. c. Mereka suka mengatur dan dirinya untuk menangani berbagai hal yang di haadapinya, emang ekplorasi suatu situasi dan mencobakan usaha-usaha baru dan tidak pernah mau diatur oleh orang lain. d. Mereka belajar dengan cara mengikuti atau berinisitif dari temannya atau orang lain. e. Adanya yang minat terhadap kehidupan yang praktis sehari-hari yang kongkrit. f. Amat relistik, ingintau dan ingin belajar.

157

g. Menjelang ahir-ahir ini telah ada minat terhadap hal-hal mata pelajaran yang khusus. h. Pada umumnya anak terhadap tugas-tugasnya dengan bebas dan berusaha menyelesaikan sendirinya . i. Pada masa ini anak memandang nilai atau angka nilai rapot sebgai ukuran yang tepat mengenai prestasi sekolah. j. Anak pada masa ini gemar membentuk kelompok sebaya biasanya untuk bermain bersama-sama.

2. Penilain dalam Kurikulum 2013 memiliki karakteristik sebagai berikut: a. Belajar tuntas Asumsi yang digunakan dalam belajar tuntas adalah peserta didik dalam mencapai kompetisi yang di tentukan asslkan pesertadidik mendapatkan bantuan yang tepat dan di beri waktu sesuai degan yang di butuhkan. Peserta didik yang belajar lambat perlu diberi waktu yang lebih lama untuk di beri materi yang sama, dibnadingkan peserta didik pada umumnya. Untuk

kompetensi

keterampilan (KI-3

pada

kategori

dan

pengetahuan

dan

dan KI-4) peserta didik tidak di perkrnanan

mengerjakan pekerjaan atau kompetensi berikutnya

sebelum mampu

menyelesaikan pekerjaan dengan prosedur yang benar dan potensi baik. b. Otentik Dalam kaiatannya dengan asmen, dikenal dengan penilaian otentik. penilaian otentik (outhentic assessment) merupakan cerminan nyata dari kodisi pembelajaran siswa. Penilaian ontentik harus mencerminkan dunia nyata buakan dunia sekolah, tidak hanya mengukur apa yang di ketahui oleh peserta didiktetapi lebih menekankan apa yang dapat dilakukan oleh peserta didik. Berikut contoh-contoh tugas ontentik: 1) Pemecahan masalah matematika 2) Melaksanakan percobaan

158

3) Bercerita 4) Menulis laporan 5) Berpidato 6) Membaca puisi 7) Membuat peta perjalanaan c. Berkesinambungan Penilaian berkesinambungandimaksudkan sebagai penilaian yang di lakukan secara terus menerus dan berkelanjutan selama pembelajaran berlangsung . Tujuannya adalah untuk mendapatkan gambaran yang utuh mengenai

perkembangan

hasil

belajar

peserta

didik,

mematau

proses,kemajuan dan perbaikan hasil untuk terus menerus dalam penilaian proses dan berbagai jenis ulangan secara berkelannjutan( ulangan harian, ulanagan tengah semester, ulangan akhir semester). d. Menggunakan teknik penilaian yang bervariasi Teknik penilaian yang dipilih dapat berupa tertulis, lisan,produk, portofolio, unjuk kerja, projek pengamatan dan penilaian diri. e. Berdasarkan acuan kriteria Kemampuan peserta didik tidak tidak di bnadingkan dengan kelompoknya tetapi dibandingakan kriteria yang di tetapkan, misalnya ketentuan minimal, yang ditetapkan oleh satuan pendidikan masingmasing. Penilaian didasarkan padaukuran pencapaian kometensi yang di tetapkan. Kemampuan peserta didik tidak dibandingan terhadap kriteria yang di tetapkan, misalnya ketentuan belajar minimal (KKM), yang di tetapkan

oleh

satuan

pendidikan

masing-masingdengan

mempertimbangkan karaktristik kompetensi dasar yang akan dicapai, daya dukung (sarana dan guru), dan karakteristik peserta didik. KKM diperlukan agar guru mengetahui kompetensi yang sudah dan belum di kuasai secara tuntas. Guru mengetahui sedini mungkin kesulitan peserta didik, sehingga pencapaian kompetensi yang kurang optimal dapat di perbaiki.

159

J. Jenis-Jenis Penilaian Penilaian pembelajaran bahasa Indonesia dilaksankan melalui berbagai cara, yaitu tes tertulis (paper and pencil test), penilaian hasil kerja siswa melalui kumpulan hasil kerja (karya) siswa (portofolio), penilaian produk, penilaian proyek, dan penilaian unjuk kerja (performance) siswa. 1. Penilaian Tertulis Penilaian tertulis biasanya diadakan untuk waktu yang terbatas dan dalam kondisi tertentu.Dari berbagai alat penilaian tertulis, alat penilaian jawaban benar-salah, isian singkat, dan menjodohkan merupakan alat yang hanya menilai kemampuan berpikir rendah, yaitu kemampuan mengingat (pengetahuan). Alat pilihan ganda dapat digunakan untuk menilai kemampuan mengingat dan memahami. Pilihan ganda mempunyai kelemahan, yaitu siswa tidak mengembangkan sendiri jawabannya tetapi cenderung hanya menerka jawaban yang benar. Hal ini menimbulkan kecenderungan

siswa

tidak

belajar

memahami

pelajaran

tetapi

menghafalkan soal dan jawabannya. Alat penilaian ini kurang dianjurkan pemakainnya karena tidak menggambarkan kemampuan siswa yang sesungguhnya. Bentuk penilaian tertulis ini untuk kegiatan pembelajaran bahasa, hanya digunakan untuk menilai hal-hal yang terkait dengan pengetahuan bahasa. Hanya sedikit yang menggunakan bentuk ini, yang diajarkan dalam bahasa Indonesia ialah keterampilan berbahasa, sehingga bila yang ditanyakan hanya seputar kemampuan mengingat dan pemahaman, akan siasia. Kalaupun akan menggunakan bentuk ini, soal harus dibuat sedemikian rupa sehingga tetap yang diujikan mencakup kemampuan keterampilan.

2. Penilaian Kinerja (Performance) Pada kurikulum tercantum banyak hasil belajar yang menggambarkan proses, kegiatan, atau unjuk kerja. Untuk menilai hasil belajar tersebut, dubutuhkan pengamatan terhadap siswa ketika melakukannya. Penilaian kinerja adalah penilaian berdasarkan hasil pengamatan penilai terhadap

160

aktivitas siswa sebagaimana yang terjadi. Penilaian dilakukan terhadap kinerja, tingkah laku, atau interaksi siwa. Cara penilaian ini lebih otentik daripada tes tertulis karena apa yang dinilai lebih mencerminkan kemampuan sisiwa yang sebenarnya semakin sering guru mengamati unjuk kerja siswa, semakin terpercaya hasil penilaian kemampuan siswa. Penilaian dengan cara ini lebih tepat digunakan untuk menilai kemampuan siswa dalam berpidato, pembacaan puisi, diskusi, pemecahan masalah, partisipasi siswa dalam diskusi kelompok kecil, membaca nyaring, bermain drama, kemampuan bertanya, kemampuan berbicara lafal dan intonasi, dan proses mendengarkan atau menyimak. Penilaian kinerja, memerlukan alat penilaian. Alat ini harus disusun sedemikian rupa sehingga dapat benar-benar menjaring kinerja yang dilakukan siswa.

3. Penilaian Produk (Hasil Kerja) Penilaian hasil kerja atau produk merupakan penilaian kepada siswa dalam mengontrol proses dan memanfaatkan/ menggunakan bahan untuk menghasilkan sesuatu, kerja praktik yang dikerjakan siswa. Untuk pembelajaran bahasa, bentuk penilaian produk ini diantaranya membuat puisi, cerpen, dan sewaktu-waktu siswa harus membuat kelengkapan bermain peran, baju, topeng, atau properti lainnya. Atau siswa harus membuat alat peraga untuk pembelajaran membaca permulaan.

4. Penilaian Portofolio Portofolio merupakan kumpulan hasil karya (hasil kerja) seorang siswa dalam satu periode tertentu. Kumpulan karya ini menggambarkan tarap kemampuan /kompetensi yang telah dicapai seorang siswa. Dengan demikian, portofolio dapat memperlihatkan perkembangan kemajuan belajar siswa. Perkembangan tersebut tidak dapat terlihat dari hasil pengujian. Kumpulan karya siswa itu merupakan refleksi perkembangan berbagai kompetensi. Portofolio menurut Tierney dkk ( 1991:41) adalah “ Systematic collections by both students and teachers.” Atau koleksi atau kumpulan

161

sistematik karya yang dikembangkan oleh siswa dan guru. Karya yang dikumpulkan bisa berupa gambar, karangan, puisi, dan sebagainya. Kumpulan karya tersebut dapat dipakai sebagai dasar untuk menelaah usaha, perbaikan, proses, dan pencapaian kemampuan siswa. Melalui refleksi terhadap koleksi-koleksi karya siswa, guru dan siswa dapat bekerjasama untuk menentukan kekuatan-kekuatan dan kemajuan-kemajuan siswa. Karya puisi, cerpen, ilustrasi puisi, kliping puisi atau cerpen, atau tulisan tegak bersambung siswa kelas rendah dapat dijadikan portofolio. Dengan portofolio, guru dan siswa secara kolaboratif dapat bekerja sama untuk meneliti dan melihat kelebihan atau keunggulan-keunggulan karya puisi atau cerepn siswa bahkan tulisan siswa selama satu semester. Apa kelebihan siswa dalam karangannya atau apa kekurangan siswa dalam karangan yang telah dibuatnya. Penilaian pendidikan sebagai proses pengumpulan dan pengolahan informasi untuk mengukur pencapaian hasil belajar peserta didik mencakup penilaian otentik, penilaian diri, penilaian berbasis portofolio, ulangan, ulangan harian, ulangan tengah semester, dan ulangan akhir semester yang diuraikan sebagai berikut: a. Model Penilaian Berdasarkan Jenisnya 1) Penilaian Otentik Merupakan penilaian yang dilakukan secara komprehensif untuk menilai aspek sikap, pengetahuan, keterampilan mulai dari masukan (input), proses, sampai keluaran (output), pembelajaran. Penilaian otentik bersifat alami, apa adanya, tidak dalam suasana tertekan. Jhon Mueller membandingkan penilaian tradisional dengan penilaian otentik sebagai berikut : PENILAIAN TRADISIONAL

PENILAIAN OTENTIK

Memilih suatu tanggapan

Mengerjakan tugas

Buatan

Dunia nyata

Mengingat/mengenali

Konstruksi/penerapan

162

Struktur oleh guru

Struktur oleh siswa

Bukti tidak langsung

Bukti langsung

Penilaian otentikmenggunakan format penilaian, antara lain daftar cek (check list), jurnal, catatan bacaan harian, portofolio, video dari permainan peran, diskusi yang di rekam dalam audio-tapes, kuesioner evaluasi diri, pengamatan guru, catatan secara anekdot untuk menilai berbagai kinerja siswa. Format-format ini dapat menunjukan apakah para siswa benar-benar mengerjakan sesuatu dibandingkan mengingat sesuatu. (Gaith, 19988). 2) Penilaian diri Merupakan teknik penilaian dengan cara meminta peserta didik untuk mengemukakakan kelebihan dan kekurangan dirinya berkaitan dengan kompetensi yang menjadi tujuan pembelajaran. 3) Penilaian berbasis portofolio Merupakan

penilaian

yang

dilaksanakan

untuk

menilai

keseluruhan entitas proses belajar peserta didik termasuk penugasan perseorangan dan/atau kelompok di dalam dan/atau du luar kelas dalam kurun waktu tertentu. Portofolio digunakan oleh guru dan peserta didik untuk memantau secara terus menerus perkembangan pengetahuan dan keterampilan peserta didiik dalam bidang tertentu. Dengan demikian penilaian portofolio memberikan gambaran secara menyeluruh tentang proses dan pencapaian hasil belajar peserta didik. 4) Ulangan Merupakan proses yang dilakukan untuk mengukur pencapaian kompetensi peserta didik secara berkelanjutan dalam proses pembelajaran, untuk memantau kemajuan dan perbaikan hasil belajar peserta didik. 5) Ulangan harian Merupakan kegiatan yang dilakukan secara periodic untuk menilai kompetensi peserta didik setelah menyelesaikan satu sub-

163

tema. Ulangan harian terintegrasi dengan proses pembelajaran lebih untuk mengukur aspek pengetahuan, dalam bentuk tes tulis, tes lisan, dan penugasan. 6) Ulangan tengah semester Merupakan kegiatan yang dilakukan oleh pendidik untuk mengukur pencapaian kompetensi peserta didik setelah melaksanakan 8-9 minggu kegiatan pembelajaran. 7) Ulangan akhir semester Merupakan kegiatan yang di lakukan oleh pendidik untuk mengukur pencapaian kompetensi peserta didik di akhir semester.

b. Model Penilaian Berdasarkan Aspeknya 1) Sikap Penilaian sikap dilakukan melalui kegiatan observasi, penilaian diri, penilaian antar teman, dan jurnal. 2) Pengetahuan Penilaian aspek pengetahuan bersumber dari test ulis, tes lisan, dan penugasan. 3) Keterampilan Penilaian praktik adalah penilaian yang menuntut respons berupa keterampilan melakukan suatu aktivitas atau perilaku sesuai dengan tuntutan kompetensi. Pada penilaian praktik menuntut siswa untuk melakukan suatu tugas pada situasi yang sesungguhnya yang mengaplikasikan pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan. Misalnya tugas memainkan alat music, menggunakan mikroskop, menyanyi, bermain peran, menari.

K. Alat Penilaian Bahasa Secara umum dapat dikatakan bahwa alat yang dipergunakan untuk melakukan suatu kegiatan itu baik, peluang untukmendapatkan hasil yang baik dan cukup besar. Sebaliknya, jika alat yang di pergunakan kurang dapat di

164

pertanggung jawabkan tipis kemungkinan mendapatkan hasil yang diharapkan. Pernyataan tersebut juga berlaku untuk alat yang di pergunakan dalam kegiatan penilaian. Secara garis besar, alat penilaian dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu tes dan non tes. Baik teknik tes maupun non tes, keduanya dapat dipergunakan untuk mendapatkan informasi atau data-data penilaian tentang subjek belajar yang dinilai secara berhasil guna jika dipakai secara tepat. Pemilihan secara tepat terhadap kedua jenis alat tersebut tidak dapat dipisahkandari tujuan penilaian itu sendiri dan jenis informasi yang di harapkan. Kedua jenis alat penilaian yang dimaksud dibawah ini akan dibahas di sertai dengan contoh secukupnya, antara lain : 1. Kuesioner Kuesioner (questionnaire) atau angket merupakan serangkaian (daftar) pertanyaan tertulis yang ditujukan kepada peserta didik (dalam penelitian : responden)

mengenai

masalah-masalah

tertentu,

yang

bertujjuan

mendapatkan tanggapan dari peserta didik (responden) tersebut. Angket dapat bersifat terbuka, tertutup, atau gabungan keduanya. 2. Tes Tertulis Tes tertulis adalah suatu teknik penilaian yang menuntut jawaban secara tertulis, baik berupa pilihan atau isian. Tes yang jawabannya berupa pilihan meliputi pilihan ganda, benar-salah, menjodohkan, sedanngkan tes yang jawabannya berupa isian berbentuk isian singkat atau uraian. Tes tertulis lebih banyak digunakan oleh guru untuk melakukan penilaian. 3. Observasi Observasi atau pengamatan adalah teknik penilaian yang dilakukan dengan menggunakan indera secara langsung. Observasi di lakukan dengan menggunakan pedoman observasi yang berisi sejumlah indicator perilaku yang akan diamati. Misalnya tingkah laku siswa di dalam kelas pada waktu mengikuti pelajaran. 4. Penugasan

165

Penugasan adalah suatu teknik penilaian yang menuntut peserta didik melakukan kegiatan tertentu diluar kegiatan pembelajaran di kelas. Penugasan dapat di berikan dalam bentuk individual atau kelompok. Penugasan ada yang berupa pekerjaan rumah atau berupa proyek. Pekerjaan rumah adalah tugas yang harus di selesaikan peserta didik diluar kegiatan kelas, mislnya menyelesaikan soal-soal dan melakukan latihan. Proyek adalah suatu tugas yang melibatkan kegiatan perancangan, pelaksanaan, dan pelaporan secara tertulis maupun lisan dalam waktu tertentu dan umumnya menggunakan data lapangan. 5. Tes Lisan Tes lisan dilaksanakan melaluinkomunikasinlangsung tatap muka antara peserta didik dengan seseorang atau beberapa penguji. Pertanyaan dan jawaban diberikan secara lisan dan spontan. Tes jenis ini memerlukan daftar pertanyaan dan pedoman penskoran. Tes lisan ini dapat mengetahui secara langsung sampai sejauh mana kemampuan dalam menyerap pelajaran yang telah diberikan. 6. Jurnal Jurnal mrupakan catatan pendidikan selama proses pembelajaran yang berisi informasi kekuatan dan kelemahan peserta didik yang berkaitan dengan kinerja ataupun sikap peserta didik yang di paparkan secara deskriptif. 7. Penilaian Antarteman Penilaian antar teman merupakan teknik penilaian dengan cara meminta peserta didik untuk mengemukakan kelebihan atau kekurangan temannya dalam berbagai hal. Untuk itu perlu ada pedoman penilaian antar teman yang memuat indikator perilaku yang dinilai.

BAB X PENGEMBANGAN MEDIA BAHASA INDONESIA

F. Pengertian Media Bahasa di Kelas Rendah Menurut Heinich, dkk (dalam Winataputra, 2005) yang dikutip oleh Suprani (2018: 268) kata media berasal dari bahasa latin, merupakan bentuk jamak dari “medium” yang secara harfiah berarti “perantara” yaitu perantara sumber pesan dengan penerima pesan. Kegiatan belajar mengajar pada hakikatnya merupakan proses komunikasi. Dalam proses komunikasi ini, guru berperan sebagai komunikator yang akan menyampaikan pesan atau bahan ajar kepada siswa sebagai penerima pesan. Agar pesan atau bahan ajar yang disampaikan guru dapat diterima oleh siswa maka diperlukan wahana penyaluran yaitu dengan menggunakan media pengembangan. Sejalan dengan Heinich, Gagne (1970) menyatakan bahwa media adalah berbagai jenis komponen dalam lingkungan siswa yang dapat merangsangnya untuk belajar. Sementara itu Briggs (1970) berpendapat bahwa media adalah segala alat fisik yang dapat menyajikan pesan serta merangsang siswa untuk belajar buku, film, kaset, film bingkan adalah contoh-contohnya. Asosiasi Pendidikan Nasional

(National

Education Association/NEA) memiliki

pengertian yang sedikit berbeda, bahwa media adalah bentuk-bentuk komunikasi baik tercetak maupun audio visual serta peralatannya. Media hendaknya dimanipulasi, dapat dilihat, didengar dan dibaca. Apa pun batasan yang diberikan, ada persamaan di antara batarasan tersebut yaitu bahwa media adalah segala sesuatu yang dapat digunakan untuk menyalu.rkan pesan dari pengirim ke penerima sehingga dapat merangsang pikiran, perasaan, perhatian dan minat serta perhatian siswa sedemikian rupa sehingga proses belajar terjadi (dalam Arief, 2014: 6-7). Suparno (1987: 1) mengatakan bahwa media pembelajaran adalah suatu alat yang dipakai sebagai saluran untuk menyampaikan pesan, yakni pesan yang tekandung dalam materi pembelajaran. Dalam perspektif yang sedikit berbeda Darma (1983) memberi istilah media sebagai alat peraga, yaitu alat

166

167

bantu yang digunakan guru dalam mengkomunikasikan materi pelajaran kepada siswanya. Dengan demikian dapat dipahami betapa pentingnya penggunaan media dalam setiap proses pembelajaran dilihat dari aspek didaktis-psikologis lebih-lebih pada pembelajaran di kelas rendah. Artinya, pembelajaran dengan menggunakan media dapat menyederhanakan masalah terutama dalam menyampaikan hal-hal yang baru dan asing bagi siswa (dalam Kadek, 2017). Maka dapat disimpulkan bahwa media adalah segala alat yang dapat membuat merangsang siswa untuk melakukan suatu kegiatan pembelajaran. Sedangkan, pengembangan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah proses, cara, perbuatan mengembangkan. Sejalan dengan teori tersebut, Abdul Majid (2005: 24) mengemukakan bahwa pengembangan adalah suatu proses mendesain pembelajaran yang logis, dan sistematis dalam rangka untuk menetapkan segala sesuatu yang akan dilaksanakan dalam proses kegiatan belajar dengan memperhatikan potensi dan kompetensi peserta didik. Dengan demikian, media pengembangan bahasa merupakan sesuatu atau alat yang digunakan untuk menyampaikan pesan dari pengirim pesan (guru) kepada penerima pesan (siswa), sehingga dapat merangsang pikiran, perasaan dan perhatian siswa untuk tercapainya tujuan pendidikan (Suprani, 2018).

G. Manfaat Media Dalam Proses Pengembangan Bahasa di Kelas Rendah Manfaat media dalam proses pengembangan bahasa di kelas rendah adalah sebagai berikut : 1. Pengajaran

akan

lebih

menarik

perhatian

siswa

sehingga

dapat

menumbuhkan motivasi belajar. 2. Bahan pengajaran akan lebih jelas maknanya sehingga dapat lebih mudah untuk dipahami oleh para siswa untuk menguasai sebuah materi. 3. Metode pengajaran akan lebih bervariasi, tidak semata-mata komunikasi verbal mealui penuruturan kata-kata oleh guru sehingga guru tidak kehabisan tenaga.

168

4. Siswa lebih giat melakukan kegiatan belajar sebab tidak hanya mendengarakan uraian guru, tetapi juga aktivitas lain seperti mengamati, melakukan dan mendemonstrasikan. Adapun manfaat media pengembangan bahasa dikelas rendah menurut para ahli : 1. Menurut Kemp dan Dayton dalam bukunya AzharArsyad (2002: 21) manfaat media adalah : a. Penyampaian pembelajaran menjadi lebih baku. b. Pembelajaran bisa lebih menarik. c. Pembelajaran menjadai lebih interaktif dengan di terapkannya teori belajar dan prinsip-prinsip sikologis yang diterima dalam hal partisipasi siswa, umpan balik dan pengetahuan. d. Lama waktu pembelajaran yang diperlukan dapat dipersingkat karena kebanyakan

media

hanya

memerlukan

waktu

singkat

untuk

mengantarkan pesan dan pelajaran dalam jumlah yang cukup banyak dan kemungkinan mudah diserap oleh siswa. e. Kualitas hasil belajar dapat ditingkatkan bagaimana integrasi kata dan gambar sebagai media pembelajaran dapat mengkomunikasikan elemenelemen pengetahuan dengan cara yang terorganisasiskan dengan baik spesifik dan jelas. f. Pembelajaran dapat diberikan kapan dan dimana di inginkan atau diperlukan

terutama

jika

media

pembelajaran

dirancang

untuk

penggunaaan secara individu. g. Sikap positif siswa terhadap apa yang mereka pelajari dan terhadap proses belajar dapat di tingkatkan. h. Peran guru dapat berubah ke arah yang lebih positif: beban guru untuk menjelaskan yang berulang-ulang mengenai isi pelajaran dapat dikurangi bahkan dihilangkan sehingga ia dapat memusatkan perhatian kepada aspek lain dalam proses belajar mengajar.

2. Menurut Sudjana, dkk. (2002: 2) menyatakan manfaat media adalah :

169

a. Pengajaran akan lebih menarik perhatian siswa sehingga dapat menimbulkan motivasi. b. Bahan pelajaran akan lebih jelas maknanya sehingga dapat lebih dipahami. c. Metode mengajar akan lebih bervariasi. d. Siswa akan lebih banyak melakukan kegiatan belajar.

3. Menurut Encylopedia of Educational Resach dalam Hamalik yang dikutip Azhar Arsyad (2002: 25) merincikan manfaat media sebagai berikut : a. Meletakan dasar-dasar yang konkrit

untuk berpikir, oleh karena itu

mengurangi verbalisme. b. Memperbesar perhatian siswa. c. Meletakan dasar-dasar yang penting untuk perkembangan belajar, oleh karena itu membuat pembelajaran lebih mantap. d. Memberikan pengalaman nyata yang dapat menumbuhkan kegiatan berusaha sendiri dikalanagan siswa. e. Menumbuhkan pemikiran yang teratur, terutama melalui gambar hidup. f. Membuat tumbuhnya pengertian yang dapat membuat perkembangan kemampuan berbahasa. g. Memberikan pengalaman yang tidak mudah diperoleh dengan cara lain, dan membantu efesien dan keragaman yang banyak dalam belajar. Dari beberapa pendapat para ahli tersebut, maka secara umum manfaat media dalam pembelajaran untuk pengembangan bahasa dikelas rendah adalah untuk memperjelas penyajian pesan agar tidak terlalu bersifat verbalistik, mengatasi keterbatasan ruang, waktu, dan daya indera. Penggunaan media pendidikan secara tepat dan bervariasi dapat mengatasi sikap pasif anak didik, karena pembelajaran dengan menggunakan media dapat menimbulkan kegairahan belajar, memungkinkan interaksi lebih langsung antara anak didik dengan lingkungan dengan kenyataan, dan memungkinkan anak didik belajar sendiri-sendiri menurut kemampuan dan minatnya.

170

H. Fungsi Media Dalam Proses Pengembangan Bahasa di Kelas Rendah Menurut Prof. Suprani dalam bukunya yang berjudul Pembelajaran Bahasa Indonesia di Kelas Rendah Sekolah Dasar (2018: 273) mengemukakan bahwa fungsi media dalam proses pengembangan bahasa adalah sebagai alat bantu mengajar, yakni sebagai penunjang penggunaan metode mengajar yang dipergunakan guru, dan apapun fungsi pengembangan media secara luas yaitu: 1. Sebagai penyaji stimulus atau informasi yang berguna untuk meningkatkan keserasian penerimaan informasi. 2. Memperjelas penyajian pesan agar tidak terlalu verbalitis. 3. Untuk mengatasi keterbatasan ruang, waktu, dan daya indra. 4. Membuat konkret konsep-konsep yang abstrak. 5. Memperhatikan gerakan-gerakan yang cepat atau lambat. 6. Membantu pemahaman siswa. 7. Membantu guru dalam mengajar. 8. Membawa dunia ke dalam kelas. 9. Melatih keterampilan siswa. 10. Memperkenalkan suatu proses dengan media. 11. Belajar inovatif 12. Mengenal teknologi pendidikan. 13. Meningkatkan motivasi belajar siswa.

I. Kriteria Umum dan Khusus Dalam Memilih Media Pengembangan Bahasa di Kelas Rendah Media pembelajaran merupakan salah satu sarana untuk membantu meningkatkan efektivitas proses belajar mengajar. Kriteria pemilihan media harus dikembangkan sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai, kondisi dan keterbatasan yang ada dengan mengingat kemampuan dan sifat-sifat khasnya (karakteristik) media yang bersangkutan. Dalam hubungan ini Dick dan Carey (Arif S. Sadiman, dkk., (1990: 86) menyebutkan bahwa di samping kesesuaian dengan tujuan perilaku dipertimbangkan dalam pemilihan media, yaitu:

171

1. Ketersediaan sumber setempat, artinya bila media yang bersangkutan tidak terdapat pada sumber-sumber yang ada, maka harus dibeli atau dibuat sendiri. 2. Ketersediaan dana, tenaga dan fasilitasnya. 3. Faktor yang menyangkut keluwesan, kepraktisan dan ketahanan media yang bersangkutan untuk waktu yang lama. 4. Efektivitas biayanya dalam jangka waktu yang panjang. Adapun menurut Azhar Arsyad (2002: 8) kriteria pemilihan media adalah: 1. Sesuai dengan tujuan yang dicapai media dipilih berdasarkan tujuan instruksional yang telah ditetapkan dan secara umum mengacu kepada salah satu atau gabungan dari dua atau tiga ranah kognitif, afektif dan psikomotor. 2. Tempat untuk mendukung isi pelajaran yang sifatnya fakta, konsep, prinsip atau generalisasi. 3. Praktis, luwes, dan bertahan lama 4. Guru terampil menggunakannya. 5. Pengelompokan

sasaran,

kesesuaian

dengan

sarana

belajar

yaitu

karakteristik atau kondisi anak dan tujuan pembelajaran. 6. Mutu teknis yaitu kesesuaian antara situasi dan kondisi anak. Menurut Nana Sujana dan Rivai (2002: 4-5) dalam memilih media pembelajaran harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut : 1. Ketepatan dengan tujuan pengajaran artinya media pengajaran dipilih atas dasar tujuan instruksional yang telah ditetapkan. 2. Dukungan terhadap isi bahan pelajaran artinya bahan pelajaran yang sifatnya fakta, prinsip konsep dan generalisasi sangat memerlukan bantuan media agar mudah dipahami anak. 3. Kemudahan memperoleh media artinya media yang diperlukan mudah diperoleh, setidak-tidaknya mudah dibuat oleh guru pada waktu mengajar. 4. Ketrampilan guru dalam menggunakannya artinya apapun jenis media yang diperlukan, syarat utama guru harus dapat menggunakannya dalam proses pengajaran. Nilai dan manfaat bukan pada medianya tetapi dampak

172

penggunaannya oleh guru pada saat terjadinya interaksi belajar siswa dengan lingkunganya. 5. Tersedia waktu untuk menggunakannya artinya media tersebut dapat bermanfaat bagi siswa selama pengajaran berlangsung. 6. Sesuai dengan taraf berfikir siswa artinya makna yang terkandung didalamnya dapat dipahami oleh siswa. Menurut Suprani (2018: 274-277) Kriteria pemilihan media pembelajaran secara umum adalah sebagai bentuk kesesuaian dengan tujuan, kesesuaian dengan materi, kesesuaian dengan karakteristik dengan gaya belajar siswa, kesesuain dengan kondisi lingkungan, fasilitas dan waktu yang tersedia, adapun penjelasan dari setiap kriteria umum sebagai berikut: a. Kesesuaian dengan tujuan (instructional goals) perlu dikaji tujuan pembelajaran apa yang ingin dicapai dalam suatu kegiatan pembelajaran. Kemudian bisa dianalisis media apa saja yang cocok guna mencapai tujuan tersebut, b. Kesesuaian dengan materi pembelajaran (instructional content) yaitu bahan atau kajian apa yang akan diajarkan pada program pembelajaran tersebut. Pertimbangan lainnya dari bahan atau pokok bahasan tersebut sampai sejauhmana keadaan yang harus dicapai, dengan demikian kita bisa mempertimbangkan media apa yang sesuai dengan menyampaikan bahan tersebut. c. Kesesuaian dengan karakteristik pembelajaran atau siswa, dalam hal ini media haruslah familiar dengan karekteristik siswa atau guru, yaitu mengkaji sifat-sifat dan ciri-ciri media yang akan digunakan. Hal lainnya karakteristik siswa, baik secara kuantitatif (jumlah) atau pun kualitatif (kualitas), ciri dan kebiasaan lain terhadap media yang akan digunakan. d. Kesesuaian dengan teori, pemilihan media ini harus didasarkan fanatisme guru terhadap suatu media yang dianggap paling bagus, namun didasarkan atas teori yang dianggap yang sesuai. Pemilihan media harus merupakan bagian integral dari keseluruhan proses pembelajaran yang fungsinya untuk meningkatkan efisien dan efektiitas pembelajaran.

173

e. Kesesuaian dengan belajar siswa, kriteria ini didasarkan atas kondisi psikologis siswa, bahwa siswa belajar dipengaruhi pula oleh gaya belajar siswa. f. Kesesuaian dengan kondisi lingkungan, fasilitas pendukung, dan waktu yang tersedia, bagaimana pun bagusnya sebuah media apabila tidak didukung oleh fasilitas waktu yang tersedia akan kurang efektif. Media juga terkait dengan user atau penggunaannya dalam hal ini guru, jika guru tidak memiliki kemampuan untuk menggunakan media tersebut dengan baik maka akan sia-sia, begitu juga fasilitas lainnya. g. Adapun enam kriteria khusus dalam memilih media pembelajar yang dapat dirumuskan dalam kata ACTION yaitu: 1) Acces (akses) artinya media yang diperlukan dapat tersedia, mudah, dan dapat dimanfaatkan. 2) Cost (biaya) artinya media yang akan dipilih atau digunakan, pembiayaanya dapat dijangkau. 3) Technology (teknologi) artinya media yang akan digunakan apakah teknologinya tersedia dan mudah menggunakannya. 4) Interactivy (interaktivitas) artinya media yang akan dipilih dapat memunculkan komunikasi dua arah atau interaktiitas, sehingga siswa akan terlibat (aktif) baik secara fisik, intelektual dan mental. 5) Organization (organisasi) artinya dapat memilih media pembelajaran untuk pengembangan bahasa tersebut, secara organisatoris mendapat dukungan dari pemimpin sekolah (ada unit organisasi seperti pusat sumber belajar yang mengelola). 6) Noveity (kebaruan) artinya media yang dipilih tersebut memiliki nilai kebaruan, sehingga memiliki daya Tarik bagi siswa yang belajar.

J. Jenis-Jenis Penggunaan Media Pengembangan Bahasa di Kelas Rendah Ada beberapa macam media yang sering digunakan dalam pelaksanaan pembelajaran. Menurut Hastuti (1997: 177) yang dikutip kembali oleh Suprani (2018: 277-279) media pembelajaran dapat dibedakan menjadi dua yaitu media

174

visual yang tidak diproyeksikan dan media visual yang diproyeksikan. Media visual yang tidak diproyeksikan seperti gambar diam, misalkan lukisan, gambar, foto, dan lain-lain. Sedangkan yang termasuk media visual yang diproyeksikan yaitu media menggunakan alat proyeksi layar dan ada beberapa alat yang sering digunakan dalam media pengembangan bahasa di kelas rendah di antaranya yaitu: 1. Media Audio Media audio berfungsi untuk menyalurkan pesan ke penerima pesan. Media audio berkaitan erat dengan indra pendengar. Contoh media audio yaitu: pemutaran rekaman suara di laboratorium bahasa, radio, dan lain-lain. 2. Media Visual Media visual yaitu media yang mengadakan indra penglihatan. Contoh media visual di antaranya: gambar, lukisan, dan foto. 3. Media Audio Visual Media audio visual merupakan media yang mampu menampilkan suara dan gambar. Contoh media audio visual: penayangan video. 4. Media Serbaneka Media serbaneka merupakan suatu media yang disesuaikan dengan daerah, di sekolah atau lokasi lain atau di masyarakat yang dapat dimanfaatkan sebagai media pengajaran. Contoh media serbaneka di antaranya: papan tulis, media tiga dimensi, realita, dan sumber belajar pada masyarakat. Adapun klasifikasi macam-macam media pembelajaran (Silabus.org): 1. Media Audio Media audio berfungsi untuk menyalurkan pesan audio dari sumber pesan ke penerima pesan. Media audio berkaitan erat dengan indra pendengaran. Contoh media yang dapat dikelompokkan dalam media audio di antaranya: radio, tape recorder, telepon, laboratorium bahasa, dan lain-lain. 2. Media Visual Media visual yaitu media yang mengandalkan indra penglihatan. Media visual dibedakan menjadi dua yaitu: (1) media visual diam; dan (2) media visual gerak.

175

a) Media visual diam contohnya foto, ilustrasi, flashcard, gambar pilihan dan potongan gambar, film bingkai, film rangkai, OHP, grafik, bagan, diagram, poster, peta, dan lain-lain. b) Media visual gerak contohnya gambar-gambar proyeksi bergerak seperti film bisu dan sebagainya. 3. Media Audio Visual Media audio visual merupakan media yang mampu menampilkan suara dan gambar. Contoh media audio visual seperti film, televisi, video, dan gambar bersuara. 4. Media Serbaneka Media serbaneka merupakan suatu media yang disesuaikan dengan potensi di suatu daerah di sekitar sekolah atau di lokasi lain atau di masyarakat yang dapat dimanfaatkan sebagai media pengajaran. Contoh media serbaneka di antaranya: papan tulis, media tiga dimensi, realia, dan sumber belajar pada masyarakat. a) Papan yang termasuk dalam media ini di antaranya: papan tulis, papan bulletin, papan flannel, papan magnetik, papan listrik, dan papan paku. b) Media tiga dimensi di antaranya: model, mock up, dan diorama. c) Realia adalah benda nyata seperti apa adanya atau aslinya. Contoh pemanfaatan realia misalkan guru membawa kelinci, burung, ikan atau dengan mengajak siswanya langsung ke kebun sekolah atau ke pertenakan sekolah. d) Sumber belajar pada masyarakat di antaranya dengan karya wisata dan berkemah. Contoh media pembelajaran bahasa Indonesia SD di kelas rendah 1) Media Audio Dalam pembelajaran bahasa Indonesia SD kelas rendah guru dapat menggunakan media pembelajaran audio yaitu media yang berhubungan dengan indra pendengaran, seperti dengan mendengarkan dan menyanyikan sebuah lagu anak “Dua Mata Saya”. Dengan media audio tersebut siswa

176

mempelajari mata pelajaran bahasa Indonesia dengan bernyanyi. Dan dengan media tersebut siswa juga dapat mengenal anggota tubuhnya. 2) Media Visual Dalam pembelajaran bahasa Indonesia SD kelas rendah guru dapat menggunakan media pembelajaran visual yaitu media yang berhubungan dengan indra penglihatan. Salah satu contohnya yaitu dengan menampilkan gambar seekor kancil dan buaya, lalu siswa diperintahkan untuk membaca kisah tentang “Si Kancil dan Buaya”. 3) Media Audio Visual Dalam pembelajaran bahasa Indonesia SD kelas rendah guru dapat mengugunakan media pembelajaran audio visual yaitu media yang menampilkan gambar dan suara yang berhubungan dengan indra penglihatan dan pendengaran. Salah satu contoh media audio visual pada saat pembelajaran bahasa Indonesia yaitu dengan menampilkan sebuah video animasi yang berhubungan dengan materi yang akan dijelaskan oleh guru. 4) Media Serbaneka Dalam pembelajaran bahasa Indonesia SD kelas rendah guru dapat menggunakan media pembelajaran serbaneka yaitu media yang disesuaikan dengan potensi suatu daerah baik di sekolah atau di lokasi tertentu. Contohnya yaitu membuat alat peraga animasi hewan dalam pembelajaran story telling “Si Tikus dan Si Singa”.

177

DAFTAR PUSTAKA

Suprani. 2018. Pembaelajaran Bahasa Indonesia di Kelas Rendah Sekolah Dasar. Medan: Harapan Cerdas. Dardjowidjojo, Soenjono. 2003. Psikolinguistik: Pengantar Pemahaman Bahasa Manusia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Chaer, Abdul. 2003. Psikolinguistik: kajian teoritik. Jakarta: Rineka Cipta. Rosidin, Odien. 2015. Percikan Linguistik. Serang: Untirta Press. ----------. 2009. Psikolinguistik: kajian teoritik. Jakarta: Rineka Cipta. https://eprints.uny.ac.id/9285/3/bab%202-05205241048.pdf. diakses pada tanggal 11 Februari 2019. https://m.cnnindonesia.com/nasional/fokus/ahok-tersangka-penistaan-agama3390/all. diakses pada tanggal 13 Februari 2019. https://id.m.wikipedia.org/wiki/Aksi_Bela_Islam.

diakses

pada

tanggal

13

Februari 2019. https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-379966601. diakses pada tanggal 13 Februari 2019. Sudaryanto (2018) TIGA FASE PERKEMBANGAN BAHASA INDONESIA (1928—2009): KAJIAN LINGUISTIK HISTORIS.

AKSIS Jurnal

Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Volume 2 Nomor 1, Juni 2018 eISSN: 2580-9040 eDahar, Ratna Wilis. 2011. Teori-Teori Belajar dan Pembelajaran. Bandung: Erlangga. https://id.wikipedia.org/wiki/Teori_Belajar_Behavioristik. diakses pada tanggal 12 Februari 2019. https://id.wikipedia.org/wiki/Edward_Lee_Thorndike. diakses pada tanggal 12 Februari 2019. https://id.wikipedia.org/wiki/Koneksionisme. diakses pada tanggal 12 Februari 2019. https://id.wikipedia.org/wiki/Ivan_Pavlov. diakses pada tanggal 12 Februari 2019.

178

https://id.wikipedia.org/wiki/John_Broadus_Watson. diakses pada tanggal 12 Februari 2019. https://id.wikipedia.org/wiki/B.F._Skinner. diakses pada tanggal 12 Februari 2019. https://id.wikipedia.org/wiki/Clark_Leonard_Hull.

diakses

pada

tanggal

12

Februari 2019. https://id.wikipedia.org/wiki/Psikologi#Psikologi_pendidikan.

diakses

pada

tanggal 12 Februari 2019. https://en.wikipedia.org/wiki/Robert_M._Gagne. diakses pada tanggal 12 Februari 2019. Suyono dan Hariyanto. 2014. Belajar dan Pembelajaran. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Subadiyono. (2014). PEMBELAJARAN MEMBACA. Palembang: Noer Fikri Offset. Yuliana, Rina. (2017). PEMBELAJARAN MEMBACA PERMULAAN DALAM TINJAUAN TEORI ARTIKULASI PENYERTA. Halaman 345-347. file:///C:/Users/USER/Downloads/2205-4812-1-SM%20(1).pdf . diakses pada 15 Februari 2019. Akhadiah, Sabarti, dkk. 1993. BAHASA INDONESIA III. Jakarta: Proyek Pembinaan

Tenaga

Kependidikan.

Departemen

Pendidikan

dan

Kebudayaan. http://file.upi.edu/Direktori/FPBS/JUR._PEND._BHS._DAN_SASTRA_INDON ESIA/196008091986012-YETI_MULYATI/Modul_MMP.pdf. https://core.ac.uk/download/pdf/12351379.pdf. Tarigan, Henry Guntur. Menyimak Sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa. Bandung: Angkasa. Eprints.uny.ac.id https://www.google.com/http://repositoryradenintan.ac.id/219/11/Strategi_Menyi mak_Umi_Hijriyah.pdf. Tarigan, Henry Guntur. 1979. Berbicara Sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa. Bandung: Angkasa.

179

Tarigan, Henry Guntur. 1991. Strategi Pengajaran Dan Pembelajaran Bahasa. Bandung: Angkasa. Djuanda, Dadan. Pembelajaran Sastra di SD Dalam Gamitan Kurikulum 2013. vol 1 no 2 Hal (191-200). Emzir dan Salfur Rohman. 2015. Teori dan Penggajaran Sastra. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. https://media.neliti.com>publications Djuanda, Dadan. 2010. Penilaian dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia di Sekolah Dasar. UPI Kampus Sumedang. Kurniawan, Heru. 2015. PEMBELAJARAN KREATIF BAHASA INDONESIA (KUTIKULUM 2013). Jakarta: Prenadamedia Group --------.

2012.

Indonesia

peringkat

ke-11

Negara

Pembajak

Software.

Kompas.com https://tekno.kompas.com/read/2012/07/11/08124476/indonesia.peringkat.k e-11.negara.pembajak.software pada 11 Februari 2019. Dana, Kadek Handika. 2017. Pentingnya Media dalam Meningkatkan Kualitas Pembelajaran Siswa di Sekolah Dasar. Artikel hhtps://www.researchgate.net/publication/315111340_PENTINGNYA_M EDIA_DALAM_MENINGKATKAN_KUALITAS_PEMBELAJARA_SI SWA_DI_SEKOLAH_DASAR. diakses pada tanggal 14 Februari 2018. eprints.uny.ac.id/7759/3/bab%202%20-%2008103249021.pdf https://silabus.org/macam-macam-media-pembelajaran/amp/ kbbi.web.id

Related Documents

Makalah
June 2020 40
Makalah
July 2020 39
Makalah
October 2019 94
Makalah
July 2020 62
Makalah
November 2019 85
Makalah
October 2019 95

More Documents from ""

Makalah Fix-2.docx
June 2020 17