Makalah-fiqih-mawaris.docx

  • Uploaded by: Irfan Dhoni Kurniawan
  • 0
  • 0
  • December 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Makalah-fiqih-mawaris.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 2,882
  • Pages: 16
i

DAFTAR ISI Daftar Isi .......................................................................................................... i BAB I PENDAHULUAN ................................................................................1 A. Latar Belakang ....................................................................................1 B. Rumusan Masalah...............................................................................1 C. Tujuan ..................................................................................................1 BAB II PEMBAHASAN .................................................................................2 A. Pengertian Penghalang Warisan .......................................................2 B. Halangan Mendapat Warisan ............................................................2 C. Orang-Orang Yang Mendapatkan Harta Waris Dari Golongan Laki-Laki dan Prempuan..................................................................11 BAB III PENUTUP .......................................................................................13 A. Kesimpulan ........................................................................................13 DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................14

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Hukum Kewarisan Islam di dasarkan kepada beberapa ayat Alquran.Sebagian dari ayat-ayat kewarisan ini sudah begitu jelas dan pasti.Di antara ayat-ayat tersebut ada yang masih memerlukan penjelasan dari Nabi, baik

dalam penjelasan arti,

pembatasan

maksud dan perluasan

makna.Penjelasan Nabi ini terdapat dalam Sunah Nabi atau Hadis.Hukum kewarisan Islam yang didasarkan kepada wahyu Allah dan Sunah Nabi adalah ajaran agama atau fiqh tentang kewarisan harus dijadikan pedoman bagi umat Islam dalam menyelesaikan masalah harta peninggalan orang yang telah meninggal. Hukum kewarisan Islam merupakan bagian dari hukum keluarga yang memegang peranan sangat penting,

bahkan menentukan dan

mencerminkan sistem dan bentuk hukum yang berlaku dalam masyarakat. Himpunan aturan-aturan hukum yang mengatur tentang siapa ahli waris atau badan hukum mana yang berhak mewarisi harta peninggalan.Bagaimana kedudukan masing-masing ahli waris serta berapa perolehan masingmasing secara adil dan sempurna.Tetapi dalam makalah ini lebih spesifik membahas tentang penghalang dalam mewarisi.

B. Rumusan Masalah 1. Apa pengertian penghalang warisan? 2. Apa saja halangan mendapat warisan? 3. Siapa saja orang yang berhak menerima waris dari pihak laki laki? 4. Siapa saja orang yang berhak menerima waris dari pihak perempuan?

C. Tujuan 1. Untuk mengetahui pengertian penghalang warisan. 2. Untuk mengetahui halangan mendapat warisan. 3. Untuk mengetahui orang yang berhak menerima waris pihak laki laki.

2

4. Unruk mengetahui orang yang berhak menerima waris pihak perempuan.

3

BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian Penghalang Warisan Penghalang kewarisan adalah keadaan atau pekerjaan yang menyebabkan seseorang yang seharusnya mendapat bagian warisan menjadi tidak mendapatkan haknya. Penghalang pewarisan tersebut adalah pembunuhan, berlainan agama, perbudakan, dan berlainan agama.1

B. Halangan Untuk Mendapatkan Warisan Halangan untuk menerima warisan atau disebut mawani ‘al-irs adalah hal-hal yang menyebabkan gugurnya hak ahli waris untuk menerima warisan dari harta peninggalan al-muwarris. Adapun hal-hal yang dapat menghalangi tersebut, yang disepakati Ulama ada tiga, yaitu: 1. Pembunuhan, 2. Perbudakan, 3. Berbeda negara, dan yang tidak disepakati adalah 4. Berlainan negara.

1. Pembunuhan Pembunuhan yang dilakukan ahli waris terhadap al-muwarris menyebabkannya tidak dapat mewarisi harta peninggalan orang yang diwarisinya. Demikian kesepakatan mayoritas (Jumhur) Ulama. Golongan Khawarij yang memisahkan diri dari Ali ibn Abi Thalib dan Muawiyah menentang pendapat ini. Alasan mereka, ayat-ayat al-Qur’an tidak mengecualikan si pembunuh. Ayat-ayat mawaris hanya memberi petunjuk umum. Oleh karena itu keumuman ayat-ayat tersebut harus diamalkan.2 Dasar hukum yang melarang si pembunuh mewarisi harta peninggalan si mati adalah sabda Rasulullah saw, di antaranya: a. Riwayat Ahmad dari ibn Abbas: ‫قال رسول هللا صلى هللا عليه وسلم من قتل قتيال فإ نه الير ثه وإن لم يكن له وارث غيره وإن‬

1

Prof. Dr. Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, Eds. Pertama, Cet ke-4, Hlm. 194.Jakarta:Kencana, 2012. 2 Muhammad Abd al-Rahim, al-Muhadarat fi al-Miras al-Muqaran, Kairo: tt, hlm. 48.

4

‫كان له والده اوولده فليس لقاتل ميراث‬ “Rasulullah saw, bersabda: “Barangsiapa membunuh seorang korban, maka ia tidak dapat mewarisinya, walaupun korban tidak mempunyai ahli waris selain dirinya sendiri. (Begitu juga) walaupun korban itu adalah orang tuanya atau anaknya sendiri. Maka bagi pembunuh tidak berhak menerima warisan.” (Riwayat Ahmad). b. Riwayat al-Nasa’i: ‫ليس للقا تل من الميراث شيء‬ “Tidak ada hak bagi pembunuh sedikitpun untuk mewarisi”. Persoalannya, mengingat banyak jenis dan macam pembunuhan yang mana yang menghalangi si pembunuh untuk mewarisi korban. Para ulama berbeda penda`pat dalam masalah ini. Ulama madzhab Hanafiah menjelaskan bahwa pembunuhan yang menjadi penghalang mewarisi adalah: 1. Pembunuhan yang dapat diqisas, yaitu pembunuhan yang dilakukan secara sengaja, direncanakan dan menggunakan peralatan yang dapat menghilangkan nyawa orang lain, seperti pedang, golok, atau bendak tajam lainnya. 2. Pembunuhan yang hukumannya berupa kafarat, yaitu: Pembunuhan mirip sengaja (syibh al-‘amd), seseorang sengaja memukul

atau

menganiaya

orang

lain

tanpa

disertai

niat

membunuhnya. Tetapi tiba-tiba orang yang dipukul meninggal dunia. Pembunuhannya dikenakan kafarat. Menurut Imam Abu Yusuf dan Muhammad al-Syaibani, pembunuhan

mirip

sengaja

dikategorikan

sengaja,

dengan

menitikberatkan pada kematian korban, jadi bukan teknis memukul atau menganiaya yang dilihat. Pemahaman ini membawa implikasi terhadap jenis hukumannya, karena tidak lagi kafarat tetapi berubah menjadi qisas. 3. Pembunuhan khilaf (qatl al-khata’). Ini dapat dibedakan pada dua, pertama, khilaf maksud. Misalnya seseorang menembakkan peluru pada sasaran yang dikira binatang dan mengenai sasaran, lalu mati.

5

Ternyata yang terkena sasaran adalah manusia. Kedua, khilaf tindakan, seperti seseorang menebang pohon, tiba-tiba mengenai yang melihatnya dari bawah hingga tewas. Abd al-Qadir Audah dalam buku al-Tasyri’ al-Jina’I al-Islamy memberi contoh, seseorang melepaskan tembakan pada suatu sasaran dengan maksud latihan, tetapi mengenai keluarganya. Kekeliruan ini terletak pada tindakannya yaitu tidak mengenai sasaran yang dimaksud dan justru mengenai sasaran lain yang berakibat keluarganya meninggal dunia.3 4. Pembunuhan dianggap khilaf (al-jar majra al-khata’) Contohnya, seseorang membawa beban, tanpa disengaja beban tersebut menimpa saudaranya hingga tewas. Dalam hal ini si pembawa beban tadi dikenakan hukuman kafarat. Lebih lanjut Ulama Hanafiah mengatakan bahwa pembunuhan yang tidak mengahalangi hak seseorang untuk mewarisi ada empat, yaitu: 1. Pembunuhan tidak langsung (tasabbub. 2. Pembunuhan karena hak, seperti algojo yang diserahi tugas membunuh si terhukum. 3. Pembunuhan oleh orang yang tidak cakap melakukan perbuatan hukum. 4. Pembunuhan karena uzur, seperti pembelaan diri.4 Ulama madzhab Malikiyah menyatakan bahwa pembunuhan yang menjadi pengahalang mewarisi adalah: 1. Pembunuhan sengaja. 2. Pembunuhan mirip sengaja. 3. Pembunuhan tidak langsung yang disengaja. Sementara pembunuhan yang tidak menjadi penghalang mewarisi adalah:

Abd al-Qadir Audah, al-Tasyri’ al-Jina’I al-Islamy, Mesir: Dar al-Fikr al-Araby, tanpa tahun, hlm. 84. 4 Fatchur Rahman, op. cit,.,hlm. 89. 3

6

1. Pembunuhan karena khilaf. 2. Pembunuhan oleh orang yang tidak cakap melakukan perbuatan hukum. 3. Pembunuhan yang dilakukan karena hak, seperti algojo melkasanakan hukuman qisas, dan 4. Pembunuhan karena uzur. Ulama madzhab Syafi’iyah menyatakan secara mutlak bahwa semua jenis pembunuhan merupakan pengahalang mewarisi.Di sini mereka tidak membedakan pembunuhan, apakah yang dilakukan secara langsung maupun tidak langsung, beralasan atau tidak beralasan. Jadi seorang algojo misalnya, yang melakukan tembakan terhadap terhukum yang masih ada hubungan keluarga, maka ia tidak berhak mewarisi harta peninggalan si terhukum, kendatipun tidak ahli waris lainnya. Dasar hukum yang digunakan adalah keumuman sabda rasulullah saw, riwayat al-Nasa’i seperti dikutip terdahulu. Selain itu diperkuat lagi, bahwa tindakan maker pembunuhan dengan segala macam tipenya itu memutuskan tali perwalian.Di mana justru perwalian itu sendiri menjadi dasar saling mewarisi. Dengan demikian, tindakan pembunuhan itulah yang mewujudkan adanya pengahalang (mawani’) untuk dapat mewarisi.5 Ulama

Hanabilah

mengemukakan

pendapat

yang

lebih

realistis.Yaitu pembunuhan yang diancam hukuman qisas, kafarat dan diyatlah yang dapat menjadi penghalang mewarisi bagi ahli waris. Rinciannya adalah: 1. Pembunuhan sengaja. 2. Pembunuhan mirip sengaja. 3. Pembunuhan yang dianggap khilaf. 4. Pembunuhan khilaf. 5. Pembunuhan tidak langsung, dan 6. Pembunuhan oleh orang yang tidak cakap melakukan perbuatan hukum.

5

Ibid.,hlm. 91.

7

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa mayoritas ulama berpendapat bahwa jenis pembunuhan adalah menjadi penghalang mewarisi, kecuali pembunuhan yang hak yang dibenarkan oleh syariat Islam.Seperti algojo yang melaksanakan hukuman qisas, atau hukuman bunuh lainnya. Persoalan lain yang muncul sehubungan dengan masalah ini perlu kiranya dipertimbangkan. Banyak cara ditempuh si pembunuh untuk merealisasikan niat jahatnya. Seseorang bias saja melakuakan pembunuhan dengan meminjam tangan orang lain, atau menggunakan racun misalnya. Dalam kasus seperti ini, tentu tidak mudah menentukan siapa pelaku pembunhan itu.Oleh karena itu, peran hakim dalam menemukan kebenaran materril

menjadi

tumpuan

terakhir

untuk

menentukan

jenis

pembunuhan.Apakah berakibat menjadi penghalang mewarisi atau tidak. 2. Berlainan Agama Berlainan agama yang menjadi pengahalang mewarisi adalah apabila antara ahli waris dan al-muwarris salah satunya beragama Islam, yang lain bukan Islam.Misalnya ahli waris beragama Islam, muwarrisnya beragama Kristen atau sebalinya.Demikian kesepakatan mayoritas ulama.Jadi, apabila ada orang meninggal yang beragama Budha, ahli warisnya beragama Hindu di antara mereka tidak ada halangan untuk mewarisi.Begitu juga tidak termasuk dalam pengertian berbeda agama, orang-orang Islam yang berbeda madzhab, satu bermadzhab Sunny dan lainnya Syi’ah. Dasar hukumnya adalah hadits Rasulullah saw, riwayat Imam Bukhari dan Muslim: ‫ال يرث المسلم الكافروالالكافر المسلم‬ “Orang Islam tidak mewarisi harta orang kafir, dan orang kafir tidak mewarisi harta orang Islam”. Hadits riwayat Ashab al-Sunan (penulis kitab-kitab al-sunan) 6 berikut: ‫اليتوارث اهل الملتين شتى‬ 6

Yaitu Imam Abu Dawud, al-Tirmidzi, al-Nasa’I, dan Ibn Majah

8

“Tidak dapat saling mewarisi antara dua orang pemeluk agama yang berbeda-beda”. Ini diperkuat dengan keumuman ayat 141 surah al-Nisa’ sebagai berikut: ‫ولن يجعل هللا للكفرين على المؤ منين سبيال‬ “Dan Allah sekali-kali tidak akan memberikan suatu jalan bagi orangorang kafir (untuk menguasai orang mukmin)”. Nabi saw, sendiri mempraktekkan pembagian warisan, di mana perbedaan agama menjadi penghalang mewarisi, ketika paman beliau, Abu Thalib orang yang cukup berjasa dalam perjuangan Nabi swa, meninggal sebelum masuk Islam, oleh Nabi harta warisannya hanya dibagikan kepada anak-anaknya yang masih kafir, yaitu, ‘Ugail dan Thalib. Sementara anaknya-anaknya yang telah masuk Islam, Ali dan Ja’far, tidak diberi bagian. Penjelasan di atas dapat dipahami bahwa yang menjadi pertimbangan apakah antara ahli waris dan muwarris berbeda agama adalah pada saat muwarris meninggal.Karena pada saat itu hak warisan itu mulai berlaku. Jadi misalnya ada seorang muslim meninggal dunia, terdapat ahli waris anak laki-laki kafir, kemudian seminggu setelah masuk Islam, meski warisan belum dibagi, anak tersebut tidak berhak mewarisi peninggalan si mati. Dan bukan saat pembagian warisan dijadikan pedoman.Demikian kesepakatan mayoritas Ulama. Imam Ahmad ibn Hanbal dalam salah satu pendapatnya mengatakan bahwa apabila seorang ahli waris masuk Islam sebelum pembagian warisan, maka ia tidak terhalang untuk mewarisi. Alasannya, karena status berlainan agama sudah hilang sebelum harta warisan dibagi. Pendapat Imam Ahmad di atas sejalan dengan pendapat golongan madzhab Syi’ah Imamiyah.Pertimbangannya sebelum harta dibagi, hartaharta tersebut belum menjadi hak ahli waris yang saat-saat kematian muwarris telah memeluk Islam. Namun pendapat terakhir ini, agaknya sulit diikuti, karena besar kemungkinan, kecenderungan seseorang untuk menguasai harta warisan akan dengan mudah mengalahkan agama yang

9

dipeluknya, dan menyalahgunakan agama Islam sebagai upaya memperoleh harta warisan. Walaupun pada saat kematian muwarris, ia masih berstatus kafir, sebelum harta dibagi, ia memeluk Islam untuk tujuan mendapatkan warisan. Mayoritas Ulama mengajukan alasan apabila yang menjadi ketentuan hak mewarisi adalah saat pembagian warisan, tentu akan muncul perbedaan pendapat tentang mengawalkan atau mengakhirkan pembagian warisan.7 Pemahaman yang dapat diambil dari kasus pembagian warisan Abu Thalib, adalah bahwa perbedaan agama yang sama-sama bukan Islam tidak menjadi penghalang.Hakikatnya antara agama-agama selain Islam adalah satu, yaitu agama yang sesat.Demikian pendapat Ulama-ulama Hanafiyah, Syafi’iyah dan Abu Dawus al-Zahiry. Dasar hukumnya firman Allah Swt: ‫فما ذابعدالحق اال الضلل‬ “…maka tidak ada sesudah kebenaran itu, melainkan kesesatan…” (QS. Yunus:32) Imam Malik dan Ahmad mengemukakan pendapat bahwa perbedaan agama yang sama-sama bukan Islam tetap menjadi penghalang mewarisi. Dasarnya adalah, masing-masing agama mereka mempunyai syariat sendiri-sendiri, seperti diisyaratkan firman Allah Swt: ‫لكل جعلنامنكم شرعة ومنهاجا‬ “Bagi setiap umat di antara kamu, Kami jadikan suatu peraturan dan tata cara (sendiri-sendiri)…” (QS. al-MAidah: 48). Mengenai orang murtad orang yang keluar dari agama Islam para Ulama memandang mereka mempunyai kedudukan hukum sendiri.Hal ini karena orang murtad dipandang telah memutuskan tali (silah) syari’ah dan melakukan kejahatan agama.8Karena itu, meskipun dalam isyarat al-Qur’an mereka dikategorikan sebagai orang kafir, para Ulama menyatakan bahwa harta warisan orang murtad tidak diwarisi oleh siapapun, termasuk ahli warisnya yang sama-sama murtad. Harta peninggalannya dimasukkan ke

7 8

Fatchur Rahman, op, cit., hlm. 98. Muslich Maruzi, Pokok-pokok Ilmu Waris, Semarang: Mujahidin, 1981, hlm. 16.

10

Baiat al-mal sebagai harta fai’ (rampasan) dan digunakan untuk kepentingan umum. Imam Hanafi member ketentuan, apabila si murtad memiliki harta yang diperoleh ketika masih memeluk Islam, dapat diwarisi oleh ahli-ahli warisnya yang muslim. Selebihnya, dimasukkan ke baiat al-mal.Sudah barang tentu hal ini dapat dilakukan jika dapat dipisah-pisahkan harta mana yang diperoleh ketika Muslim dan mana yang diperoleh setelah murtad.Apabila tidak bias dipisah-pisahkan, maka sebaiknya semua kekayaannya dimasukkan ke baiat al-mal. 3. Perbudakan Perbudakan menjadi penghalang mewarisi, bukanlah karena status kemanusiaannya, tetapi semata-mata karena status formalnya sebagai hamba sahaya (budak). Mayoritas ulama sepakat bahwa seorang budak terhalang untuk menerima warisan karena ia dianggap tidak cakap melakukan perbuatan hukum. Firman Allah menunjukkan: ‫ضرب هللا مثال عبدا مملو كااليقدر على شىء‬ “Allah telah membuat perumpamaan (yakni) seorang budak (hamba sahaya) yang dimiliki yang tidak dapat bertindak terhadap sesuatu apapun…” (QS. al-Nahl: 75). Islam sangat tegas tidak menyetujui adanya perbudakan, sebaliknya sangat menganjurkan agar setiap budak hendaknya dimerdekakan.Pada hakikatnya perbudakan tidak sejalan dengan nilai-nilai kemanusiaan (humanisme) dan rahmat yang menjadi ide dasar ajaran Islam.Melalui sanksi-sanksi hukum pelaku pelanggaran atau kejahatan, memerdekakan budak merupakan salah satu alternative hukum.Ini dimaksud agar secepatnya perbudakan dihapuskan dari muka bumi. Seorang hamba sahaya secara yuridis dipandang tidak cakap melakukan perbuatan hukum.Hak-hak keberadaannya berada pada tuannya. Oleh karena itu ia tidak bias menerima warisan dari tuannya. Lebih dari itu, hubungan

kekerabatan

dengan

saudara

atau

keluarganya

sendiri

terputus.Ahmad Muhammad al-Jurjawy mengemukakan bahwa budak itu tidak dapat mewarisi harta peninggalan tuannya apabila tuannya

11

meninggal.Karena budak itu sendiri statusnya sebagai “harta” milik tuannya.Sebagai “harta” tentu tidak bias memiliki, tetapi dimiliki, dan yang memiliki hanyalah yang berstatus sebagai tuannya. Begitu pula apabila ia sebagai muwarris, tidak bias mewariskan hartanya sebelum ia merdeka. Misalnya ada seorang budak mukatab yaitu budak yang berusaha membebaskan dirinya sendiri dengan kesanggupan membayar angsuran sejumlah uang, atau melalui pekerjaan, menurut pejanjian yang telah disepakati antara ia dengan tuannya, meskipun statusnya sebagai budak tidak penuh, tidak bias mewariskan kekayaan yang ditinggalkannya. 4. Berlainan Negara Pengertian Negara adalah suatu wilayah yang ditempati suatu bangsa yang memiliki angkatan bersenjata sendiri, kepala Negara tersendiri, dan memiliki kedaulatan sendiri dan tidak ada ikatan kekuasaan dengan Negara asing. Maka dalam konteks ini, Negara bagian, tidak dapat dikatakan sebagai Negara yang berdiri sendiri, karena kekuasaan penuh berada di Negara federal. Adapun berlainan Negara yang menjadi penghalang mewarisi adalah apabila di antara ahli waris dan muwarrisnya berdomisili di duan Negara yang berbeda kriterianya seperti tersebut di atas. Apabila dua Negara sama-sama muslim, menurut para Ulama, tidak menjadi pengahalang mewarisi. Malahan, mayoritas Ulama mengatakan, meskipun

Negara

berbeda, apabila antara ahli waris dan muwarrisnya non muslim, tidak berhalangan bagi mereka untuk saling mewarisi. Dalam pada itu Imam Abu Hanifah dan sebagian madzhab Hanbilah menyatakan bahwa antara mereka yang berlainan Negara dan sama non muslim terhalang untuk saling mewarisi. Dasar hukum yang dijadikan landasan mayoritas Ulama, antara muwarris dan ahli waris yang berbeda Negara yang sama-sama muslim tidak terhalang haknya mewarisi adalah sabda Nabi saw: ‫اذالمسلمان جعل احدهماعلى اخيه السالح فهما على حرق جهنم فإذاقتل احدهماصاحبه‬ ‫دخالهاجميعا فقلنايارسول هللا هذاالقاتل فمابال لقتول؟ قال انه قدارادقتل صاحبه‬

12

“Apabila dua orang muslim seorang (mengajak perang saudaranya) dengan membawa pedang, maka keduanya telah beradu di tepi Jahanam.Apabila salah seorang membunuh kawannya, kedua-duanya sama-sama masuk neraka. Kami bertanya, “Ya RAsulullah saw ini adalah untuk si pembunuh, lalu bagaimana si terbunuh? Beliau menjawab: “Sesungguhnya ia juga menginginkan membunuh kawannya.””(Riwayat Imam Bukhari). Antara Negara yang sama-sama muslim pada hakikatnya adalah satu, meskipun kedaulatan, angkatan bersenjata dan kepala negaranya sendiri-sendiri. Negara hanya semata-mata sebagai wadah perjuangan, yang masing-masing di antara mereka terikat oleh satu persaudaraan, yaitu ukhuwah Islamiyah. Jadi yang lebih prinsip tampaknya adalah soal beda agama anatar ahli waris dan muwarrisnya. Meskipun berbeda Negara, jika tidak ada perbedaan agama, tidak ada halangan. C. Orang-Orang Yang Mendapatkan Harta Waris Dari Golongan LakiLaki dan Prempuan Secara ringkas, jumlah orang-rang yang mendapatkan bagian harta peninggalan baik laki laki maupun perempuaan itu, ada tujuh belas orang. Sedangkan jumlah hitungan secara rinci, semuanya ada dua puluh lima orang yaitu sebagai berikut: 1. Anak laki-laki. 2. Cucu laki-laki dari laki-laki kebawah, selama dari jalur laki-laki. 3. Ayah. 4. Kakek (ayahnya ayah) keatas, selama dari jalur laki-laki. 5. Saudara laki-laki secara umum, yaitu : a. Sekandung. b. Se-ayah. c. Se-ibu. 6. Anak laki-lakinya saudara laki-laki, terdiri dari: a. Sekandung. b. Se-Ayah. 7. Saudara laki-lakinya ayah terdiri dari: a. Sekandung. b. Se-Ayah. 8. Anak laki-lakinya saudara laki-laki ayah, terdiri dari: a. Sekandung. b. Se-Ayah. 9. Suami.

13

10. Nenek/ (ibu ayah atau ibunya ibu) keataas, dengan syarat tidak diselingi seorang laki-laki diantara dua orang perempuan, misalnya: a. Ibu Ibunya Ibu. b. Ibu Ibunya anak laki-lakinya ayah. 11. Anak Perempuannya anak laki-laki kebawah, selama dari jalur laki-laki secara murni. 12. Ibu. 13. Anak perempuaan. 14. Istri. 15. Budak laki-laki yang telah dimerdekakan. 16. Budak perempuaan yang telah dimerdekakan. 17. Saudara perempuaan secara mutlak dan umum,yaitu: a. Sekandung. b. Se-Ayah. c. Se-Ibu.

14

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan 1. Penghalang warisan adalah keadaan atau pekerjaan yang menyebabkan seseorang yang seharusnya mendapat bagian warisan menjadi tidak mendapatkan haknya. 2. Penghalang warisan ada empat: 

Pembunuhan: Pembunuhan yang dialkukan ahli waris terhadap almuwarris menyebabkannya tidak dapat mewarisi harta peninggalan orang yang diwarisinya.



Berlainan agama: Berlainan agama yang menjadi pengahalang mewarisi adalah apabila antara ahli waris dan al-muwarris salah satunya beragama Islam, yang lain bukan Islam.



Perbudakan: Perbudakan menjadi penghalang mewarisi, bukanlah karena status kemanusiaannya, tetapi semata-mata karena status formalnya sebagai hamba sahaya (budak). Mayoritas ulama sepakat bahwa seorang budak terhalang untuk menerima warisan karena ia dianggap tidak cakap melakukan perbuatan hukum.



Berlainan agama: Pengertian Negara adalah suatu wilayah yang ditempati suatu bangsa yang memiliki angkatan bersenjata sendiri, kepala Negara tersendiri, dan memiliki kedaulatan sendiri dan tidak ada ikatan kekuasaan dengan Negara asing. Maka dalam konteks ini, Negara bagian, tidak dapat dikatakan sebagai Negara yang berdiri sendiri, karena kekuasaan penuh berada di Negara federal.

15

DAFTAR PUSTAKA Maruzi, Muslich, 1981, Pokok-Pokok Ilmu Waris, Semarang: Mujahidin Prodjodikoro, Wiryono, 1991, Hukum Warisan di Indonesia, Bandung: Sumur Bandung Rofiq, Ahmad. 1998. Fiqh Mawaris, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada Salman, Otje. Mustofa Haffas, 2002, Hukum Waris Islam, Bandung: PT Refika Aditama Usman, Suparman. Yusuf Somawinata, 1997, Fiqh Mawaris, Jakarta: Gaya Media.

More Documents from "Irfan Dhoni Kurniawan"

Fiqh Mawaris.docx
November 2019 27
Makalah-fiqih-mawaris.docx
December 2019 14
Report.docx
December 2019 8