Makalah Fiqh Sosial

  • Uploaded by: nurrufaida
  • 0
  • 0
  • August 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Makalah Fiqh Sosial as PDF for free.

More details

  • Words: 2,669
  • Pages: 10
MAZHAB QAULI DAN MAZHAB MANHAJI Dosen pengampu : Tutik Nurul Janah, SHI. MH

Disusun Oleh : Nama : Nur Rufaida (17.21.00051) Kelas : PS IV A

PROGRAM STUDI PERBANKAN SYARIAH INSTITUT PESANTREN MATHOLI’UL FALAH TAHUN AJARAN 2019

A. PENDAHULUAN Fiqh dalam pengertian ilmu tentang hukum-hukum Syariat yang bersifat praktis (amaliyah), telah menjadi warna dasar budaya muslim. Sejak awal pertumbuhannya, Fiqh telah berkembang sedemikian cepat sehingga melampaui cabang-cabang ilmu lainnya. Jika dalam tradisi Kristen Theologi terlihat begitu dominan, maka dalam Islam Fiqhlah yang sangat dominan mewarnai pola kehidupan. Inilah yang kemudian memunculkan citra bahwa kehidupan masyarakat Islam itu sangat legalistik. Karenanya tidak salah jika kita ingin melihat perilaku budaya masyarakat Islam, Fiqh adalah “jendela” yang tepat untuk digunakan. Pengembalian Fiqh agar tetap berjalan sesuai dengan prinsip etika dapat dilakukan dengan cara mengintegrasikan maqasid al-Syari’ah ke dalam proses pengembangan kerangka teoritik Fiqh. Dalah konteks ini, berarti hikmah hukum harus diintegrasikan ke dalam ‘illat hukum sehingga diperoleh suatu produk hukum yang bermuara pada kemaslahatan umum. Untuk tujuan pengembangan Fiqh, para mujtahid masa lalu sebenarnya sudah cukup menyediakan landasan kukuh sebagaimana tergambar dalam kaidah-kaidah ushuliyah maupun fiqhiyah. Secara qauli pengembangan Fiqh bisa diwujudkan dengan melakukan kontekstualisasi kitab kuning atau dengan cara pengembangan contoh-contoh aplikasi kaidah-kaidah Ushul al-Fiqh maupun Qawa’id al-Fiqhiyah. Sedangkan secara manhaji, bisa dilakukan dengan cara pengembangan teori masalik al-‘illat agar Fiqh yang dihasilkan sesuai dengan maslahat al-‘amanah. Maka dalam hal ini, maka perlu diketahui bahwa dalam perubahan pola bermadhab dari bermadhab qouli ( tekstual ) kepola bermadhab manhaji ( metodologis ) perlu dijelaskan dan dipahami agar tidak terjadi kesalah pahaman. Sebagai gamabarannya akan dijelaskan tentang pengertian, perbandingan, beserta contoh-contohnya dan akan ditutup dengan penutup. B. RUMUSAN MASALAH 1) Mengetahui prinsip dasar dari Fiqh Sosial yang kedua (mazhab qauli dan mazhab manhaji) C. PEMBAHASAN 

Beralih dari Mazhab Qauli ke Manhaji

Ciri kedua fiqh sosial adalah beralih dari mazhab qauli (tekstual) menuju mazhab manhaji (metodologis). Mazhab qauli adalah mengikuti produk pemikiran para ulama, baik para imam mazhab atau para pengikutnya. Sedangkan mazhab manhaji adalah mengikuti metode para ulama dalam menetapkan hukum, bukan produk pemikirannya. Mazhab Qauli adalah mengikuti fiqh, sedangkan mazhab manhaji adalah mengikuti ushul fiqh sebagai metode istinbath hukum. Bermazhab secara manhaji adalah keputusan fenomenal Musyawarah Nasional (MUNAS) NU di Lampung pada tahun 1992. Bermazhab secara manhaji adalah pilihan yang tidak terelakkan karena masalah-masalah keagamaan yang mengemuka semakin meningkat dan kompleks. Masyarakat tidak hanya menuntut jawaban permasalahan, tapi juga rumusan penyikapannya sebagai sebuah relalitas sosial. Misalnya, jika suatu hal hukumnya adalah haram, bagaimana solusinya? Tuntutan masyarakat ini harus dijawab dengan tuntas menggunakan mazhab manhaji. Dalam mazhab ini, yang dipertimbangkan tidak hanya aqwal(opini-opini),tapi merumuskan kembali realitas sosial di hadapan prinsip-prinsip maqasidus syariah dan maslahah ‘ammah. Keberhasilan mendialogkan teori dengan realitas sosial akan mengantar hukum islam pada eksistensi dan substansialnya di hadapan masyarakat.1 

Madzhab Qauli dalam Fiqh Sosial Selama ini mazhab qauli selalu dikedepankan dalam istilah hukum, terutama

dikalangan ulama sunni, khususnya NU, dalam tradisi bahtsul masail yang dilakukan oleh ulama-ulama NU ketika menjawab masail waqi’iyah selalu dilakukan penelusuran terhadap teks-teks fiqh dari kitab-kitab kuning yang dianggap mu’tabar. Perdebatan yang berlangsung biasanya juga dalam rangka mempertahankan satu nash atas nash yang lain yang hendak dijadikan sebagai cantolan hukum. Pemaknaan mazhab qauli sebagaimana dalam tradisi bahsul masa’il NU itu, dalam pandangan Kiai Sahal adalah salah satu bentuk dari model mazhab qauli. Hal itu sebagaimana penjelasannya dalam buku Nuansa Fiqh Sosial yang penulis kutip diatas. Mazhabi qauli menurut Kiai Sahal dapat pula diaplikasikan melalui pengembangan contohcontoh kaedah ushuliyah maupun fiqhiyah. Makna yang kedua ini kurang populer dikalangan Ulama NU. 1

Jamal Ma’mur Asmani, Mengembangkan Fikih Sosial KH. MA Sahal Mahfudh, (Jakarta : PT Elex Media Komputindo,2015),hlm.23-24

Ada kekhawatiran dan kehati-hatian yang cukup tinggi dari para ulama untuk menghukumi satu kasus dengan menggunakan kaidah fiqhiyah atau ushuliyah. Misalnya dalam kaedah “Dar” al-mafasid muqaddamun ala jalb al-mashalih” (menolak kerusakan harus didahulukan daripada menarik kemaslahatan). Ulama sangat hati-hati dalam memaknai mafsadah dan maslahah dalam kehidupan riil. AlSuyuthi mencontohkan kebolehan berbohong ketika dapat menghindarkan seseorang dari fitnah. Contoh semacam itu yang terus diinternalisasikan kepada anak-anak santri selanjutnya. Guru atau Kiai enggan mengembangkan pada contoh-contoh aplikatif dalam kehidupan sekarang, karena kehati-hatiannya. Penulis sendiri pernah memiliki pengalaman cukup pahit ketika hendak menggunakan kaedah di atas untuk menghentikan praktek poligami di masyarakat yang telah terbukti banyak merugikan perempuan dan anak. Pendapat penulis itu ditolak mentah-mentah oleh salah satu ulama ahli ushul fiqh, yang juga guru penulis, Dr. Masyuri Naim, rahimahullah. Menurutnya pendapat penulis terlalu berani karena dalil poligami telah ditegaskan dalam nash Al-qur’an. Padahal jika kita gunakan kaedah diatas, kita bisa analisis dengan jelas. Poligami yang disyariatkan oleh Al-quran memang ditujukan untuk menciptakan kemaslahatan. Tetapi dalam realitasnya, praktek poligami juga menimbulakn kerusakan-kerusakan yang tidak terhitung jumlahnya. Jika kita terapkan kaedah diatas, cita-cita merealisasikan maslahah dalam poligami haruslah dihentikan demi menolak kerusakan yang terjadi akibat poligami. Pendekatan ini pula yang digunakan oleh Muhammad Abduh ketika melarang poligami di Mesir. Dua mana qauli yang ditegaskan oleh Kiai Sahal itulah yang dijadikan pola bermazhab qauli dalam fiqh sosial. Jika mazhab qauli tidak bisa dilakukan, maka harus dilanjutkan pada langkah berikutnya, yakni mazhab manhaji.2 

Mazhab Manhaji dalam Fiqh Sosial Mazhab manhaji adalah langkah kedua ketika mazhab qauli tidak lagi bisa

menjawab permasalahan. Kiai Sahal sebagaimana telah penulis singgung menjelaskan mazhab manhaji dengan pengembangan masalik al-illah. “sedangkan secara manhaji pengembangan teori masalik ala-illat agar fiqh yang dihasilan sesuai dengan maslahat al-‘ammah” penjelasan itu, menurut penulis, menyiratkan beberapa hal penting. 2

Umdah el Baroroh, Tutik Nurul Janah, Fiqh Sosial Masa Depan Fiqh Indonesia, (Pati : PUSAT FISI IPMAFA,2018),cetakan kedua,hlm.72-73

Pertama,

adanya

pengakuan

yang

mutlak

terhadap

ijtihad

sebagi

upaya

pengembangan masalik al-illat. Kedua menggabungkan antara kebbutuhan ijtihad dengan kewajiban merealisasikan kemaslahatan. Sementara itu cara yang ditawarkan oleh Kiai Sahal kala itu adalah dengan melalui pengembangan masalik al-illat. Ini artinya, Kiai Sahal ingin menegaskan bahwa ijtihad untuk menjawab permasalah dilakukan dengan metode qiyas. Qiyas adalah menganalogikan hukum kasus baru dengan hukum kasus lama yang terdapat nashnya dalam al-quran atau hadis karena adanya kesamaan illat.dalam metode qiyas dibutuhkan empat pilar yang menjadi sandaran utamanya, yaitu ashl (nash),hukum ashl, far’(kasus baru), dan illat. Dengan demikian illat menjadi salah satu pilar penting yang dibutuhkan untuk menemukan hukum far’ atau kasus baru. Tanpa adanya illat tidak mungkin dilakukan qiyas. Tetapi penggunaan masalik al-illah sebagai implementasi mazhab manhaji oleh Kiai Sahal, menurut penulis, bukanlah berarti membatasi. Hal ini sangat penting untuk kita garis bawahi. Pengembangan masalik al-illat adalah wasilah untuk mencapai ghayah (tujuan). Sementara tujuannya sendiri adalah merealisasikan maslahah ammah. Maslahah sendiri merupakan tujuan utama dari penerapan syaria’at (maqasid syariah). Yujuan syariah menurut AL-Ghazali ada lima, yaotu menjaga kebutuhan agama,jiwa akal,keturunan,dan harta. Lima tujuan diatas dikelompokkan menjadi tiga tingkatan,primer,sekunder,tersier. Meskipun maslahah telah disepakati oleh para ulama sebagai maqashid syariah,tetapi mereka berselisih ketika menjadikannya sebagai salah satu sumber penentuan hukum. Salah satu ulama yang menghindari untuk menggunakan maslahah sebagai sumber hukum adalah imam syafi’i. Ia hanya mengakui empat sumberhukum dalam Islam, yaitu Al-quran ,hadis, ijma’, qiyas. Qiyas dalam mazhab imam syafi’i menjadi satusatunya ladang pengembang ijtihad. Segala persoalan yang tidak ditemukan dalam nash Al-quran,hadis,maupun hasil ijtima’ ulama, maka akan diselesaikan melalui qiyas. Oleh karena itu ulama Syafi’iyah dengan segala upaya memperluas jangkauan wilayah qiyas, yaitu dengan mengembangkan masalik al-illah. Yang dimaksud masalik al-illah adalah jalan atau cara menemukan alasan(illat) yang digunakan dalam penetapan hukum. Cara menemukan illat itu dapat melalui beberapa tahap. Pertama, adalah melalui nash atau teks Al-quran maupun hadis,baik secara sharih(jelas) maupun melalui isyarat. Kedua, melalui ijtima’ ulama. Ketiga, melalui ijtihad dengan

melihat kesesuaiannya (al-munasabah) atau melalalui verifikasi atau uji coba (al-sabr wa al-taqsim). Disinilah wilayah penegmbangan masalil al-illah itu dimaksud. Tantangan fiqh sosial sejak awal adalah menjawab problematika umat sepanjang zaman. Syangnya . umat Islam masih dihadapkan pada dikotomi ilmu pengetahuan, yakni ilmu agama dan umum. Persoalan yang berkaitan dengan agama seringkali dianggap monopoli agama. Bidang ilmu pengetahuan umum tak berhak ikut campur dalam memberikan pertimbangan, apalagi ikut memutuskan. Begitu pula sebaliknya. Ilmu umum juga sering tidak peduli dengan apa yang ada dalam ilmu agama. Karena merasa bukan bidang garapnya. Akibat dari dualisme ini, umat Islam seringkali terjebak pada dikotomi-dikotomi permasalahan yang merugikan. Bahkan sringkali produk-produk hukum akibat dikotomi keilmuan semacam itu menjadi bahan olok-olok masyarakat. Oleh karena itu, cara pandang seperti itu harus segera dihentikan. Dengan demikian rumusan metodologi fiqh sosial dalam istinbath hukum ada dua. Pertama, mazhab qauli. Mazhab qauli dilakukan melalui kontekstualisasi teks-teks fiqh dan pengembangan aplikasi kaedah-kaedah ushuliyah dan fiqhiyah. Kedua adalah mazhab manhaji. Penerapan mazhab manhaji dilakukan melalui tiga tahap, yaitu pengembangan masalik al-illah, keterbukaan pada metode ijtihad mazhab lain, serta temuan-temuan ilmu sosial,sains,teknologi dan lain-lain.3 

Pengembangan Mazhab Qauli Pengembangan pemikiran fikh secara qauli dilakukan dengan melakukan

kontekstualisasi kitab kuning atau melalui pengembangan contoh-contoh aplikasi dari kaidah ushul fiqh dan kaidah fiqh. Adapun pengembangan aplikasi kaidah ushul fiqh da kaidah fiqh sangat relevan untuk merespon persoalan-persoalan kontemporer, baik dalam bidang politik,ekonomi,kesehatan, dan lain-lain. Misalnya kaidah ‘al-daf’u aula min al-raf’i, mencegah (menolak) lebih utama daripada mengobati. Dalam kitab AlAsybah wa An-Nadhair Imam Suyuthi mencontoh penggunaan air musta’mal. Kaidah ini bisa dikembangkan dalam masalah kesehatan, yaitu menolak penyakit dengan daya kebal dan daya tangkal yang kuat lebih utama,lebih ampuh,lebih efektif daripada menyembuhkan penyakit yang sudah terlanjur menempel di badan manusia. Dalam hal kesehatan ibu dan anak,imunisasi pemberian ASI dan makanan bergizi harus mendapatkan perhatian serius dalam kerangka menciptakan generasi 3

Umdah el Baroroh, Tutik Nurul Janah, Fiqh Sosial Masa Depan Fiqh Indonesia, (Pati : PUSAT FISI IPMAFA,2018),cetakan kedua,hlm.73-78

yang sehat. Dengan aplikasi kaidah diatas dapat diambil pemahaman bahwa melahirkan generasi yang sehat merupakan perintah agama. Contoh lain dari aplikasi kaidah idza ta’aradha mafsadatami ru’iya a’dhamuhuma dhararan bi irtikabi akhaffihimina, jika ada dua kerusakan bertentangan maka dijaga kerusakan yang paling besar bahayanya dengan memilih kerusakan yang paling ringan bahayanya. Dalam konteks lokalisasi, fiqh sosial membenarkan pilihan lokalisasi prostitusi daripada embiarkan prostitusi berjalan disemua tempat yang mengakibatkan bahayanya yang lebih besar. Dengan menglokalisir penyakit ini, pemerintah bisa memantau pekembnagan lokalisasi dan mengamankan daerah lain dari penyakit berbahaya ini. Dalam Islam, zina adalah larangan, namun bagi masalah sosial prostitusi tidak mudah dihilangkan. Oleh karena itu fiqh sosial memberi solusi untuk masalah ini yaitu dengan menglokalisir prostitusi agar daerah yang belum terkena penyakit ini tidak tertularkan.4 

Pengembangan Mazhab Manhaji Berbeda dengan fikh qauli,pemngembangan pemikiran fikh secara manhaji

dilakukan dengan pengembangan teori masalikul illat supaya fikh yang dilahirkan relevan dengan kemaslahatan umum (maslahah ‘ammah). Dalam mazhab Syafi’i, maslahah tidak populer, karena maslahah sudah tercover dalam qiyas (analaogi) yang mengandung ‘illat (legal reasoning). Dalam konteks qiyas ini, hukum tidak boleh bergantung kepada maslahahah yang tidak tegas rumusan dan ukurannya. Misalnya dalam masalah qashr (meringkas jumlah rakaat) yang diperbolehkan dengan ‘illat safar (bepergian) yang lebih konkret daripada musyaqqah (kesulitab) yang terjadi dalam bepergian. Masyaqqah sangat relatif karena berkaitan dengan banyak hal, antara lain keadaan fisik, dan kesadaran seseorang. Dalam situasi teetentu, ‘illat ini dinilai tidak adil, seperti orang sehat yang melakukan perjalanan jauh lewat pesawat tanpa merasakan masyaqqah tapi diperbolehkan qashr, sementara orang tua yang baru beberapa kilo meter berjalan tidak diperbolehkan qashr meskipun ia merasakan masyaqqah. Hal ini bisa dimaklumi karena hukum diperuntukkan untuk umum. Jika masyaqqah dialami sesorang sebelum mencapai syarat diperbolehkan qashr, maka ia akan memperolleh kemudahan (rukhsah) dari jalan yang lain. Contoh lainnya adalah zakat yang ‘illatnya adalah sudah mencapai satu ukuran tertentu 4

Jamal Ma’mur Asmani, Mengembangkan Fikih Sosial KH. MA Sahal Mahfudh, (Jakarta : PT Elex Media Komputindo,2015),hlm.24-26

(nishab), sehingga seorang muzakki (orang yang mengeluarkan zakat) hanya berpikir untuk memberikan zakatnya ketika sudah mencapai satu nishab tanpa berpikir tujuan utama zakat untuk menciptakan keadilan sosial ekonomi. Qiyas yang sering menghilangkan subtansi hukumyang menjadi hikmah hukum, yaitu mendatangkan kemaslahatan dan mencegah kerusakan hamba di dunia dan di akhirat. Hal inilah yang kemudian mendorong

Kiai Sahal untuk

mnegembangkan teori masalikul iilah yang menggabungkan pemahaman qiyasi murni dengan

maqasidus

syariah

(tujuan

aplikasi

syariah)

yaitu

menjaga

agama,jiwa,akal,harga,harga diri, dan keturunan. Menjaga lima hal fundamental inilah yang

menjadi

indikator

kemaslahatan

umum,

baik

yang

bersifat

dharuriyyat(primer),hajiyat(sekunder),dan tahsiniyyat(komplementer).5 

Dinamika Qauli dan Manhaji dalam NU Pergeseran pola bermazhab dari qauli ke manhaji dicanangkan oleh Kiai Sahal

tidak lepas dari dinamika pemikiran keagamaan yang terjadi dalam Nahdlatul Ulama. Secara organisasi kaum tradisional, NU mengalami pencerahan pemikiran. Peran para tokoh NU sangat kuat memengaruhi paradigma berpikir kader-kader muda, termasuk dalam menyikapi at-turast (warisan pemikiran) yang termaktub dalam khazanah kitab kuning yang selalu menjadi referensi utama dalam pengambilan hukum dalam forum Bahtsul Masail, forum paling ilmiah NU dalam mengkaji persoalan-persoalan aktual dalam perspektif hukum Islam. Dinamika pemikiran ini,khususnya dalam Munas NU di Lampung tahun 1992 tida lepas dari peran aktif para pembaharu dalam tubuh Nahdlatul Ulama sejak tahun 1987, seperti KH. MA. Sahal Mahfudh, KH Ahmad Shiddiq, KH Imron Hamzah, KH Abdurrahman Wahid, Masdar Farid Mas’udi, dan lain-lain yang menggelar halaqah pemikiran NU di berbagai tempat. Mulai dari gedung PBNU, Pesantren Watu Congol Muntilan Magelang, dan Pesantren Krapyak Yogyakarta, yang kemudian hasilnya menjadi keputusan Munas Lampung yang fenomenal. Meskipun demikian, sampai Muktamar di Makassar tahun 2010,bermazhab secara manhaji masih dibatasi pada aplikasi qawaid ushuliyyah dan qawaid fiqihiyyah dan dimantabkan dengan kutipan Ayat Al-quran dan hadis dalam kitab-kitab tafsir atau syarah hadis serta kajian perbandingan mazhab. Pemikiran Kiai Sahal yang ingin 5

Jamal Ma’mur Asmani, Mengembangkan Fikih Sosial KH. MA Sahal Mahfudh, (Jakarta : PT Elex Media Komputindo,2015),hlm.26-27

mengembangkan teori masalikul ‘illah yang berpija pada maqasidus syariah belum mendapat legimitasi formal dari NU.6 

Ijtihad Jama’i Bermazhab secara manhaji lebih efektif dialkukan secara kolektif. Cara ini

dikenal dengan nama ijtihad jama’i atau ijtihad kolektif, yaitu ijtihad yang melibatkan ulama dari berbagai disiplin ilmu yang berbeda untuk menetapkan ijtihad dalam satu atau beberapa masalah. Di era sekarang ijtihad fardi (individu) sangat sulit jika melihat kompetensi yang harus dikuasai sangat berat sehingga peluang ijtihad jama’i sangat terbuka. Ijtihad jama’i dilakukan dengan beberapa prinsip. Prinsip pertama adalah kolektivitas yang dibnagun dengan niat dan iktikad untuk mencari ridho Allah. Kedua,keputusan yang diambil tidak untuk kepentingan pribadi atau berdasarkan hawa nafsu. Ketiga, menggali hukum betul-betul secara kolektif,tidak secara individu. Keempat, identifikasi masalah dan solusi yang dilahirkan berdasarkan kajian kolektif dengan mempertimbangan seluruh didiplin ilmu dari para pakar-pakar. Kelima, individuindividu yang tergabung benar-benar orang yang ahli di bidangnya sesuai dengan persoalan yang dikaji. Ijtihad jama’i ini menjadi jembatan dari tuntutan publik yang sangat mendesak untuk mengetahui keputusan hukum-hukum masalah baru dan kelangkaan ulama yang menguasai semua ilmu ijtihad. Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama yang melahirkan fatwa-fatwa hukum, Dewan Syariah Nasional (DSN) Majlis Ulama Indonesia yang melahirkan fatwa-fatwa, khususnya di bidang ekonomi syariah, forum-forum seminar,diskusi,simposium, dan lain-lain yang membahas masalah-masalah keumatan dan kebangsaan adalah salah satu upaya untuk menggalakkan ijtihad jama’i yang harus terus didorong untuk menumbuhkan semangat keilmuan multidisiplin. Integrasi dan interkoneksi menjadi keharusan di era sekarang agar terjadi bangunan pemikiran hukum yang utuh. Forum-forum ilmiah ini harus terus didorong untuk menggerakkan semangat belajar dan bepikir bagi kemslahatan umat dan menghindari kemalasan intelektual yang berujung pada stagnasi,degradrasi, dan apologi.7 D. PENUTUP 6

Jamal Ma’mur Asmani, Mengembangkan Fikih Sosial KH. MA Sahal Mahfudh, (Jakarta : PT Elex Media Komputindo,2015),hlm.27-30 7 Jamal Ma’mur Asmani, Mengembangkan Fikih Sosial KH. MA Sahal Mahfudh, (Jakarta : PT Elex Media Komputindo,2015),hlm.30-31

Dengan gambaran di atas, jelas upaya apa pun yang dilakukan untuk tujuan pengembangan Fiqh menurut kita (para pengembang) memiliki wawasan tentang dimensi etika dan formal legalistik Fiqh. Penempatan kedua dimensi ini harus dilakukan secara proporsional agar pengembangan Fiqh benar-benar sejalan dengan fungsinya, yakni sebagai pembimbing sekaligus pemberi solusi atas permasalahan kehidupan praktis, baik bersifat individual maupun sosial. Fiqh sosial bertolak dari pandangan bahwa mengatasi masalah sosial yang kompleks dipandang sebagai perhatian utama syari’at Islam. Pemecahan problem sosial berarti merupakan upaya untuk memenuhi tanggungjawab kaum muslimin yang konsekuen atas kewajiban mewujudkan kesejahteraan atau kemaslahatan umum (almaslahah al-‘ammah). Kemaslahatan umum secara sederhana dapat dirumuskan sebagai kebutuhan nyata masyarakat dalam suatu kawasan tertentu untuk menunjang kesejahteraan lahiriyahnya. Keperluan itu boleh berdimensi dlauriyah atau keperluan dasar (basic need) yang menjadi sarana pokok untuk mencapai keselamatan agama, akal pikiran, jiwa, raga, nasab (keturunan) dan harta benda, maupun keperluan hajiyah (sekunder) dan keperluan yang berdimensi takmiliyah atau pelengkap (supplementary).

DAFTAR PUSTAKA Jamal Ma’mur Asmani. 2015. Mengembangkan Fikih Sosial KH. MA Sahal Mahfudh. Jakarta : PT Elex Media Komputindo Umdah el Baroroh, Tutik Nurul Janah. 2018. Fiqh Sosial Masa Depan Fiqh Indonesia. Pati : PUSAT FISI IPMAFA

Related Documents


More Documents from "eva"

Makalah Fiqh Sosial
August 2019 31