Urgensi Belajar dalam Al-Qur’an Oleh: Fawziah
Abstrak Belajar merupakan sesuatu yang penting dalam kehidupan manusia. Belajar sudah harus dimulai dan dilakukan sejak anak masih dini. Bukan semata untuk transfer ilmu pengetahuan, tapi belajar juga merupakan proses perubahan perilaku menjadi lebih baik melalui pembiasaan latihan dan pengalaman. Dalam Islam, wahyu pertama yang turun adalah Iqra’, yaitu perintah untuk membaca ayat-ayat Allah baik yang tertulis (qauliyah) maupun yang tidak tertulis (kauniyah). Tujuan belajar dalam Islam agar manusia bisa melaksanakan peran dan fungsinya, yaitu; (i) sebagai Abdullah (hamba Allah) untuk menyembah dan beribadah kepada Allah dan (ii) sebagai khalifatullah fil ardh (wakil Allah di muka bumi). Dalam Islam, hasil belajar berupa ilmu pengetahuan tidak bisa dilepaskan dari aspek moral. Moral dan pengetahuan keduanya harus menjadi perilaku dalam keseharian. Ada beberapa metode pembelajaran dalam Al-Qur’an yang bisa dipelajari oleh manusia di antaranya melalui proses berpikir, meniru, dan melatih (trial and eror). Sumber belajar dalam Al-Qur’an bisa didapatkan dalam bentuk kisah-kisah nabi, dialog-dialog, perumpamaan-perumpamaan, dan lainnya. Itu semua merupakan bentuk dan sumber belajar yang bisa digunakan oleh manusia untuk mendapatkan ilmu pengetahuan. A. Mukaddimah Dalam situasi perubahan yang semakin cepat, masyarakat mengalami perkembangan secara terus menerus. Sebuah pengetahuan baru datang silih berganti. Dari sisi nilai dan norma sosial, norma dan nilai lama masih ada, sudah muncul nilai-nilai baru yang akan menggantikan nilai-nilai lama yang dianggap tidak relevan. Mereka yang tidak mengikuti dinamika perkembangan informasi dan ilmu pengetahuan, akan tergilas dan tertinggal kemajuan zaman. Dunia masa depan hanya akan dikuasasi oleh mereka yang mengendalikan informasi dan pengetahuan baru. Untuk mengejar ketertinggalan, manusia harus terus menerus belajar dan mempelajari semua semua hal baru yang berkembang disekitarnya. Belajar dalam Islam merupakan sesuatu yang sangat urgen dan harus dilakukan terus menerus (long live education for all), sejak dari buaian sampai 1
masuk liang kubur. Dalam Islam, belajar merupakan hal yang wajib baik untuk laki-laki maupun perempuan, anak maupun dewasa. Hal ini menekankan betapa belajar merupakan kebutuhan hidup. Belajar juga tidak dibatasi pada formalitas (sekolah) tapi juga secara non formal melalui pembelajaran, latihan, pengalaman dan sebagainya. Islam juga mendorong kepada umatnya untuk belajar kepada siapapun dan dari manapun, lintas agama, lintas etnis dan budaya. Selama itu membawa perkembangan kemajuan pada ilmu pengetahuan, maka disitulah umatnya didorong untuk belajar. Bahkan Nabi Muhammad SAW sendiri mendorong umatnya untuk belajar sampai ke negeri china (uthlubul ilma walaw bis shin). Dalam Al-Qur’an, banyak terdapat ayat-ayat yang mendorong dan mengajak umat Islam untuk melakukan aktifitas belajar, menggunakan akal dan berpikir dalam memahami realitas proses peristiwa alam yang terjadi. Semua ayat-ayat kebesaran Allah tidak hanya yang terulis (teks) tapi juga yang tidak tertulis berupa alam dunia dan seisinya yang merupakan sumber ilmu pengetahuan. Manusia yang mau menggunakan akal pikiran untuk merenungi dan memikirkan proses pergantian siang dan malam, penciptaan langit dan bumi, akan terdorong untuk memperoleh sumber pengetahuan yang pada akhirnya mengantarkan mereka menjadi seorang intelektual. Di sisi lain, pengetahuan sebagai hasil proses belajar tidak bisa dilepaskan dari aspek moral, karena pada dasarnya ilmu harus memiliki basis moral sehingga tidak membawa kerusakan. Makalah ini bertujuan untuk mengupas tentang belajar dari segi teori dan tujuannya, aspek moral dalam belajar, serta belajar dalam perspektif Islam. Ada beberapa definisi dan teori yang digunakan baik menurut kacamata barat maupun dalam perspektif Islam. Hal ini dilakukan agar ada satu perspektif yang lebih komprehensif dalam melihat persoalan belajar. B. Belajar: Definisi, Teori dan Tujuan Belajar merupakan bagian proses penting dalam sebuah aktifitas pendidikan. Sesungguhnya, belajar tidak hanya sekedar proses perubahan tingkah laku seperti menghafal atau mengumpulkan sebuah fakta, tapi juga juga melibatkan aspek kognitif (menghasilkan pengetahuan). Menurut Muhibbin, proses perubahan yang hanya sekedar menghasilkan tingkah laku dan menimbulkan kematangan tanpa melibatkan aspek kognitif, maka itu tidaklah dinamakan belajar seperti keadaan gila, mabuk, lelah, stress, jenuh dan lainnya1. Pandangan ini sejalan dengan pendapat beberapa ahli yang mendefiisikan pengertian belajar mencakup fisik dan kognitif dan dilakukan secara terus menerus. Seperti pandangan Skinner yang dikutip Barlow dalam 1
Muhibbin Syah, 2017, Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru, Bandung, Remaja Rosdakarya, hlm: 90
2
Educational Psychology; The Teaching Learning Process yang mendefinisikan belajar sebagai proses adaptasi atau penyesuaian tingkah laku dan berlangsung secara progresif. Progresif yang dimaksud adalah adanya perubahan kearah yang lebih baik.2 Skinner merumuskan adanya tiga kondisi yaitu: (i) adanya kesempatan atau peristiwa yang menimbulkan proses belajar, (ii) respon si pelajar, (iii) konsekuensi berupa respon baik berupa hadiah atau hukuman (reward or punishment). Untuk menentukan apakah proses perubahan perilaku itu menimbulkan pengaruh dari sisi kognitif atau tidak, menurut skinner guru harus harus memperhatikan dua hal penting, yaitu pemilihan stimulus dalam proses belajar anak, yaitu (i) pemilihan stimulus yang bersifat diskriminatif, dan (ii) penggunaan penguatan (reinforce), yaitu untuk memperkuat proses perubahan perilaku anak dalam menghasilkan nilai kognitif.3 Reinforcement atau penguat merupakan konsekuensi untuk meningkatkan durasi sebuah prilaku. Ada dua sifat penguat (reinforce) yang bisa menguatkan perilaku, yaitu penguat positif dan negatif. Penguat positif bermakna adanya peningkatan frekuensi atau durasi dari sebuah perilaku sebagai akibat adanya penguatan. Contoh; bagi guru, pertanyaan siswa atau nilai ujian yang bagus bisa menjadi reinforce positif. Sedangkan reinforce negatif, yaitu penguat yang tidak memberikan dampak untuk meningkatkan durasi perubahan, yang terjadi justru hanya proses pemindahan atau penghindaran suatu peningkatan stimuli. Reinforce justru menjadi penghambat bukan untuk menaikkan atau meningkatkan durasi perubahan. Sedangkan hukuman (punishment) sebagai konsekuensi buruk terhadap perubahan memiliki dua bentuk, yaitu pertama, presentation punishment yaitu sebuah hukuman dalam bentuk mengurangi perilaku. Contoh: nilai ujian jelek, maka (punishment) nya tidak boleh menonton televisi. Hukuman ini akan memberikan efek atau dampak bagi anak untuk mendorong lebih rajin belajar sehingga dia terhindar dari hukuman. Kedua, removal punishment yaitu memberikan hukuman untuk memindahkan sesuatu untuk mengurangi perilaku. Contoh seorang siswa yang tidak mengerjakan PR, ia dimina menulis dua puluh halaman penuh yang berisi janji untuk tidak melakukannya. Dalam hal ini, hukuman perilaku menulis dua puluh halaman (punishment presentation) di gunakan untuk mengurangi perilaku kebiasaan tidak meengerjakan PR. Melalui penguatan dan hukuman (reward and punishment), bisa ketemukan adanya kemiripan antara reinforcement negative dan punishment. Perbedaan antara keduanya, yaitu karena dalam reinforce negative, ada 2 3
Muhibbin, Syah. Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru... hlm: 88 Saiful Sagala, 2005, Konsep dan Makna Pembelajaran, Bandung, Alfabeta, hlm: 14
3
sesuatu yang ditambahkan atau diperoleh. Sedangkan dalam punishment, ada yang perubahan yang dikurangi atau dihilangkan. Penguatan negatif meningkatkan terjadinya suatu perilaku, dan hukuman menurunkan terjadinya perilaku.4 Sejalan dengan itu, Arthur T. Jersild dalam Saiful Sagala, mendefinisikan belajar sebagai upaya untuk memodifikasi perilaku melalui pengalaman dan pelatihan (modification of behaviour through experience and training). Jadi menurutnya, proses belajar itu akan membawa perubahan tingkah laku karena ia melalui proses berpengalaman dan pelatihan. Seorang anak yang sedang belajar, akan terus menerus mengalami proses perubahan dari sisi tingkah laku melalui berpengalaman berinteraksi dengan lingkungannya.5. Sedangkan Wingkel, melengkapi pandangan Arthur TJ bahwa proses belajar tidak hanya sekedar proses interaksi dengan lingkungna melalui proses berpengalaman dan pelatihan, akan tetapi proses belajar itu sendiri bersifat silent (tidak kelihatan). Menurut Wingkel, kegiatan belajar adalah kegiatan mental yang tidak bisa disaksikan dan dinilai orang luar. Seseorang tidak bisa menilai dan mengamati proses bahwa seseorang sedang belajar hanya dengan melihatnya dari luar semata. Proses belajar juga harus dilihat bagaimana orang itu menampakkan hasil dan kemampuan yang diperoleh selama proses belajar.6 Jadi, kalau Arthur T Jersild lebih melihat belajar dari sisi proses, maka wingkel melihat belajar dari sisi hasil dari proses berupa kemampuan baik aspek kognitif (pengetahuan) maupuan behaviour (perubahan kearah lebih baik) Menurut winkel, orang yang belajar juga harus ada bekasnya berupa perubahan perilaku dan pengetahuan. Proses perubahan perilaku tanpa ada hasil yang baik dan tidak berdampak terhadap aspek kogntif, tidak dinamakan belajar. Di sini, Winkel selain menekankan proses juga menekankan hasil berupa perubahan dalam pengetahuan dan pengalaman. Bagi winkel, ada empat perubahan yang dianggap tidak menjadi bagian dari proses belajar, yaitu perubahan akibat kelelahan fisik, perubahan akibat mengkonsumsi obat, perubahan akibat penyakit parah atau trauma fisik dan perubahan akibat pertumbuhan fisik jasmani. Keempat perubahan tersebut bukan bagian dari proses belajar karena tidak menghasilkan perubahan pada sisi kognitif yaitu tidak adanya pengetahuan baru, tidak menimbulkan perubahan kejiwaan baru, dan tidak mempengaruhi perubaha tingkah laku7 Ada 6 (enam) ciri-ciri sebuah perubahan termasuk kategori belajar, yaitu: (i) perubahan yang dilakukan secara sadar. Artinya individu yang melakukan 4 Fadhilah Suralaga, 2010, Psikologi Pendidikan, Ciputat, Lemlit UIN Syarif Hidayatullah, hlm: 58-59 5 Saiful Sagala, Saiful Sagala, 2005, Konsep dan Makna Pembelajaran ... hlm: 12 6 W.S. Wingkel, 2014, Psikologi Pengajaran, Yogyakarta: Sketsa, hlm: 58 7 Saiful Bahri Djamarah, 2015, Psikologi Belajar, Jakarta: Rhineka Cipta, hlm: 14
4
perubahan itu menyadari bahwa dirinya telah mengalami perubahan melalui proses belajar. Misalnya, ia menyadari bahwa dirinya menjadi tambah pintar, tambah pengetahuan, tambah pengalaman, tambah keterampilan, serta ada perubahan sikap dan perilaku. (ii) perubahannya bersifat fungsional. Artinya perubahan yang terjadi dalam individi bersifat terus menerus, tidak statis serta berfungsi dan bermanfaat bagi lingkungan sosialnya atau bermanfaat kelangsungan kehidupan berikutnya. (iii) perubahan bersifat aktif dan positif. Bersifat aktif artinya perubahan individu terjadi karena atas inisiatif atau upaya individu itu sendiri. Bersifat positif, artinya perubahan itu membawa hasil yang lebih baik ketimbang sebelumnya. (iv) perubahan memiliki tujuan atau terarah. Artinya perubahan yang terjadi memiliki tujuan yang akan dicapai. Ada target atau sasaran yang lebih jelas dan terukur. Misalnya orang belajar mengetik. Maka sasaran atau targetnya adalah ia bisa mengetik secara lebih baik dan lebih cepat. Ukurannya jelas yaitu tidak ada kesalahan dalam hasi ketikan. (v) perubahan tidak bersifat sementara. Dalam proses belajar, maka perubahan yang diharapkan bersifat tetap dan permanen, tidak hilang begitu saja ketika proses belajar selesai. (vi) perubahan mencakup keseluruhan aspek tingkah laku. Misalya seorang anak yang belajar naik sepeda. Maka hasil perubahannay tidak semata anak menjadi lebih mahir bermain sepeda, tapi juga memahami dan mngerti cara kerja sepeda, jenis jenis sepeda, pengetahuan tentang alat sepeda, cita cita untuk memiliki sepeda, kebiasaan membersihkan sepeda dan lainnya.8 Beberapa pendapat lain juga hampir serupa seperti pendapat Cronbach dalam Educational Psychology dalam Suryabrata (2007) yang mendefeinisikan belajar sebagai proses perubahan perilaku yang menghasilkan sebuah pengalaman (learning is shown by change in behaviour as a result of experience). Sedangkan Harold Spears menyatakan bahwa belajar adalah proses mengamati, membaca, meniru, mencoba sesuatu, mendengar dan mengikuti secara langsung (learning is t observe, to read, to imitative, to try something themselves, to listen dan follow direction). Dari beberapa pendapat di atas intinya menyimpulkan bahwa belajar sebagai sebuah proses perubahan perilaku, dilakukan dengan sengaja dan ada kecakapan atau pengetahuan baru yang didapatkan.9 Adapun teori teori yang belajar yang biasa digunakan dalam melihat sebuah proses belajar, di antaranya Teori Koneksionisme Edward Thorndike, Teori Belajar Sosial Kogntifi, , Teori Asosisasi dair Sarbond. Teori Koneksionisme yang dikembangkan oleh Edward Thorndike (1879-1949) seorang psikolog dari Amerika. Ia merupakan psikolog pertama yang melakukan eksperimen belajar pada seekor hewan yaitu kucing, yang 8 9
Saiful Bahri Djamarah, Psikologi Belajar... hal 16 Sumadi Suryabrata, 2007, Psikologi Pendidikan, Jakarta: Rajawali Press, hlm:
5
kemudian dibukukan dalam karyanay yang terkenal Animal Inteligence ( Kecerdasan Hewan). Ia melakukan uji coba dalam kucing yang dimasukkan dalam kotak dalam kondisi lapar. Ia juga memasukkan kucing dalam kondisi kenyang ke dalam kotak. Yang kedua tentang makanan. Terhadap kucing yang lapar dan dimasukkan dalam kotak, ia meletakkan makanan diluar. Dari dua percobaan terlihat, kucing lapar akan memperlihakan reaksi berupa upaya untuk keluar dari kotak dengan cara mencakar atau menggigi palang penutup. Ia melakukannay berkali kali dengan berbagai cara, hingga tanpa sengaja ia menginjak palang yang kemudian bisa membuka pintu penutup kotak. Pada percobaan berikutnya, kucing itu kembali di masukkan kotak dan ia kembali melakuan hal yang sama untuk bisa keluar. Pada percobaan ketiga, sudah mulai berkurang gerakan kucing karena ia sudah mulai tahu pijakan yang harus diinjak sehingga bisa memudahkan untuk keluar. Untuk kucing dalam kondisi kenyang, ia tidak berupaya untuk keluar karena tidak berhubungan dengan kebutuhannya (tidak lapar) Dari percobaan itu, Edward Thorndike menyimpulkan bahwa proses belajar terjadi jika respon mengandung efek tertentu terhadap lingkungan. Prinisip teori koneksionisme melihat hukum efek (effect law). Jika efeknya baik dan menyenangkan, maka proses belajar terjadi dengan baik dan menyenangkan. Jika respon tidak baik dan tidak menyenangkan, maka proses belajar menjadi melemah. Pandangan Thorndike disebut dengan teori koneksionsime karena ia mencoba menghubungkan dan mengaitkan antara Stimulus and Respon (SR). kalau asosiasi antara S dan R tepat, akan menghasilan proses belajar yang kuat. Kalau asosiasi S dan R tidak tepat, maka proess belakar akan melemah. Hal ini karena sebagai konsekuensi tindakan organisme. Selain menghasilkan hukum dampak (law of effect) , teori koneksionisme juga menghasilkan dua hokum yang lain yaitu; (i) Hukum kesiapan ( law of readiness) dimana respon atas stimulus didukung oleh kesiapan (readiness) untuk bereaksi atau bertindak, maka hasilnya menjadi lebih memuaskan. (ii) Hukum latihan (law of exercise) dalam arti jika S dan R lebih sering dipraktikkan atau digunakan, maka hubungan itu akan semakin kuat. Untuk itu perlu ada reward terhadap S dan R yang dianggap berhasil10. Teori koneksionisme Thorndike melalui uji coba kepada hewan, juga memiliki kemiripan dengan Teori Conditioning yang dikembangkna oleh Ivan Pavlov melalui penelitiannya yaitu uji coba kepada hewan anjing. Disebut Conditioning (pengkondisian) karena memang perilaku diciptakan atau dikondisikan sebelumya. Misalnya orang yang sedang berkendara motor, akan berhenti ketika lampu lalu lintas berwarna merah dan akan berjalan ketika sudah berwarna hijau. Untuk ibu ibu hamil yang mengidam buah buahkan, 10
Fadhilah Suralaga, 2010, Psikologi Pendidikan... hlm: 52-53
6
akan otomatis keluar air liurnya ketika melihat buah buah asam. Keluar air liur ini terjadi secara refleks, tidak sengaja atau terjadi karena reflek secara bersyarat. Jadi kondisi ini diciptakan sebagai syarat untuk memunculkan sebuah reflek11. Kedua teori diatas memiliki kesamaan yaitu sama sama mengandalkan stimulus dan respon (SR). Dalam teori conditioning, stimulus itu memang dibuat secara sengaja untuk menimbulkan respon secara reflek. Dari sisi kelemahan, pendekatan koneksionisme lebih mengedepankan pendekatan mekanistik, kaku dan agak formal. Respon muncul jika terjadi stimulus. Akibatnya kurang ada kepekaan senstifitas karena selalu mengandalkan stimulus untuk menimbulkan respon. Koneksionisme juga lebih mengedepankan pembelajaran yang terpusat kepada guru (teacher oriented), sehingga membuat siswa menjadi lebih pasif serta lebih mengedepankan materi, dimana anak didik perlu banyak banyak di masukkan materi pengetahuan baru sehingga anak menjadi lebih punya banyak pengetahuan (intelektualistik). Demikian juga dengan teori kondisioning sama dengan teori koneksionisme, juga memiliki beberapa kelemahan yaitu adanya perbedaan antara yang di laboratorium dengan keadaan yang sebenarnya, antara das seing (idealitas) dengan das sollen (realitas) tidak sama. Subyektifitas individu pribadi (interes, kepentingan, cita cita, minat emosi) dapat mempengaruhi proses dan hasil eksperimen. Respon yang muncul juga sangat mungkin dipengaruhi oleh stimulus yang mungkin tidak dikenal atau tidak direncanakan dulu. Ada beberapa hal proses belajar yang tidak mungkin bisa dijelaskan dengan hanya menggunakan pendekatan teori kondisi karena persoalan belajar terlalu kompleks.12 Teori Belajar Sosial Kognitif dikembangkan oleh Albert Bandura. Teori ini termasuk bagian dari teori perilaku (behaviour theory). Teori ini juga dikenal dengan nama teori belajar pengamatan (observational learning). Prinsip utama dalam teori ini adalah (i) siswa belajar melalui pengamatan terhadap orang lain. (ii) belajar merupakan proses internal, tidak selalu terlihat malah terkadang terefleksikan oleh perilaku siswa. Orang luar mungkin tidak bisa mengamati dan menilai seseorang sedang melakukan belajar, tapi hal itu bisa diketahui melalui perilaku anak yang memperlihatkan adanya perubahan dari sisi pengetahuan dan kemampuan. (iii) perilaku diarahkan untuk mencapai sebuah tujuan. Pandangan teori ini berangkat dari sebuah hipotesa bahwa perilaku, lingkungan serta kejadian kejadian internal yang terjadi pada pembelajar, mempengaruhi persepsi dan aksi yang merupakan hubungan saling 11 12
Saiful Bahri Djamarah, Psikologi Belajar... hlm: 26 Saiful Bahri Djamarah, Psikologi Belajar... hlm: 27
7
berpengaruh. Artinya lingkungan sosial menjadi bagian penting dari proses perubahan terhadap kognisi seseorang. Pandangan pada teori ini menimbulkan apa yang disebut sebagai determinisme resiprokal (ketergantungan yang saling mempengaruhi). Ada 6 (enam) determinisme resiprokal dalam sebuah proses belajar yaitu; Pertama; Kognisi yang mempengaruhi perilaku. Contohnya. Siswa berpikir merumuskan sebuah strategi (strategi kognisi) dalam menyelesaikan masalah dalam bentuk perubaha tingkah laku. Kedua; Perilaku mempengarui kognisi. Artinya proses perilaku belajar yang membuatnya dapat memperoleh pengetahuan baru Ketiga; lingkungan mempengaruhi perilaku. Sekolah dimana tempat siswa belajar mengembangkan program percontohan untuk mendukung keterampilan belajar, yang bisa membantu siswa dalam membuat catatan, mengelola waktu dan mengerjakan ujian. Keempat; perilaku mempengarui lingkungan. Perilaku siswa yang mengalam proses perubahan berdampak terhadap kondisi lingkungan sekitarnya. Kelima; Kognisi mempengaruhi lingkungan. Temuan temuan dalam bidang pengetahuan bisa digunakan untuk merubah dan memperbaiki kondisi lingkukngan sekitar. dan Keenam; Lingkungan mempengaruhi kognisi. Kondisi lingkugan sekolah tempat siswa belajar dapat menjadi sumber pengetahuan bagi siswa dalam mempelajari sebuah pengetahuan baru baik sosial humaniora maupun eksakta13. Dari pandangan beberapa ahli tentang teori belajar, bisa disimpulkan bahwa belajar bukan semata proses fikiran atau kerja otak, tapi juga kerja yang sifatnya non otak tapi bukan kerja fisik, yaitu membentuk sebuah perilaku melalui pembiasaan, pelatihan untuk membentuk sebuah pengetahuan sebagai tujuan dari belajar. Selain pengetahuan, Menurut Winkel, tujuan belajar untuk menghasilkan perubahan dalam pengetahuan pemahaman, keterampilan, nilai dan sikap yang bersifat secara relative konstan dan berbekas.14 C. Aspek Moral Dalam Belajar Belajar tidak sekedar transfer ilmu pengetahuan, atau sekedar perubahan perilaku sebelum dan sesudah proses. Akan tetapi belajar juga harus memperhatikan sisi etika dan moralitas. Karena dalam belajar, etika dan moral harus selalu menjadi panduan dan tuntunan. Etika dan moralitas dalam belajar merupakan sesuatu yang tidak terpisah. Proses belajar sebagian bagian dari pendidikan tidak hanya mendidik anak untuk pintar (kognisi) tapi juga agar anak didik menjadi lebih beretika, bermoral dan berakhlak. Proses belajar yang hanya mengedepankan kecerdasan intelektual (pengetahuan) tapi mengabaikan kecerdasan emosional (akhlak/moral), maka proses belajar tersebut masih belum utuh, hanya sebagian saja. UU No 20 tahu 2003 tentang 13 14
Fadhilah Suralaga, 2010, Psikologi Pendidikan.... Hlm: 65-66 W.S. Wingkel, 2014. Psikologi Pengajaran... hlm: 59
8
Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) juga menegaskan bahwa tujuan pendidikan adalah untuk mencetak manusia selain berilmu juga beriman bertakwa dan berakhlak mulia. Hal ini menegaskan bahwa pendidikan tidak bisa dilepaskan antara kecerdasan intelektual dan kecerdasan emosional. Urgensi moral sangat ditekankan karena misi utama diutusnya Nabi Muhammad SAW untuk menyempurnaka akhlak yang mulia (innama bu’itstu li utammima makarim al akhlaq). Disini sangat jelas sekali bahwa akhlak dan moral sangat penting dalam proses belajar. Moral tidak hanya penting bagi pendidik (guru) tapi juga penting bagi anak didik (siswa). Keduanya (guru dan murid) juga harus sama sama mengedepankan moralitas dalam belajar. Menurut Thomas Lickona dalam bukunya Education for Character How Our Schools Can Teach Respect and Responsibility menyatakan bahwa pendidikan nilai nilai moral perlu ditanamkan kepada siswa dalam proses belajar. Alasannya karena pendidikan memiliki dua tujuan sekaligus yaitu cerdasa dan perilaku berbudi15. Pandangan Thomas Lickona ini memiliki relevansi terkait dengan kondisi dan situasi dengan kehidupan anak anak pelajar di Kota New York yang identic dengan tindakan tindakan kekerasan, tidak bermoral, vandalisme dan lainnya. Urgensi moralitas dalam pendidikan tidak lepas dari kondisi dunia pelajar saat ini yang rentan dengan tindakan dan aksi aksi kekerasan. Menurunnya gejala moralitas dalam dunia pendidikan, menurut Thomas Lickona tidak lepas dari perkembangan dunia barat dimana sejak tahun 1960-an telah mucul dan mulai merebak sikap individualisme, yaitu: berupa penghargaan, penghormatan dan kewenangan terhadap hak hak yang bersifat individual. Termasuk subyetktifitas dan rasa memiliki yang lebih individualis. Ada beberapa tren negatif yang terjadi di kalangan remaja sehingga perlunya penanaman moralitas dalam proses pengajaran di antaranya banyaknya tindakan dan kekerasan anarkhi pelajar sepertia tawuran pelajar, fenomena narkoba pelajar, tindakan bullying, kriminalitas pelajar, kematangan seksual yang terlalu dini dan penyimpangannya, penggunaan bahasa yang tidak sopan dan lainnya.16 Urgensi moral dalam proes pengajaran karena masa usia psikologis anak ketika dalam proses pembelajaran berada pada masa transisi dimana ia sudah mulai meningggalkan masa kanak kanak masuk masa remaja. Masa transisi biasanya akan diikuti dengan proses menuju kematangan secara emosi. Disinilah seorang anak terkadang memilki kegamangan, mudah terpengaruh dan mudah meniru hal hal yang kurang baik dilingkungan sekitarnya. Lawrence Kohlbergh membagi 3 tahap perkembangan moral pada anak, yaitu 15
Thomas Lickona, 1991, Mendidik untuk Membentuk Karakter, Jakarta: Bumi Aksara, hlm: 7 16 Thomas Lickona, Mendidik untuk Membentuk Karakter... hlm: 23-27
9
pra konvensional, konvensional dan pasca konvensional. Penanaman moral anak pada usia prakonvensional yaitu sekitar usia kanak kanak, tentu perbeda intervensi pendekatan moral untuk anak anak usia pasca konvensional (usia 13 tahun). Hal ini karena usia pasca konvensional dimana anak menjadi lebih mandiri dan otonom dalam menentukan dan merumuskn nilai moral anak17. Menurut Thomas Lickona membagi tiga komponen yang harus terpenuhi dalam pendidikan moral disekolah yaitu pengetahuan tentang moral (moral knowing), perasaan moral (moral feeling) dan tindakan atau perilaku yang bermoral (moral action or moral behaviour). Pengetauan moral mencakup pentingnya kesadaran moral, pengetahuan nilai moral, penentuan perspektif moral, pemikiran moral, pengambilan keputusan dan pengetahuan pribadi. Pengetahuan moral diperoleh melalui proses pembelajaran dan pengajaran baik disekolah maupun di lingkungan keluarga dan masyarakat. Perasaan moral (moral feeling) mencakup hati nurani, harga diri, empati, mencintai hal yang baik, kendali diri dan kerendahan hati. Perasaan moral berasal dari subyektifitas individu sebagai akibat dari pengetahuan moral yang dimilikinya, Adapun tindakan atau perilaku moral (moral action or moral behaviour) kompetensi, keinginan, dan kebiasaan. Tindakan moral ini merupakan hasil atau output dari pengetahuan moral dan perasaan moral yang dimilikinya. Seseorang akan memiliki tindakan bermoral jika ia memiliki pengetahuan moral dan perasaan moral. 18 Dalam pandangan Thomas Lickona, Ada dua nilai pendidikan moral dasar yang wajib ada perlu ditanamkan kepada anak dalam proses pendidikan di sekolah, yaitu sikap hormat dan bertanggung jawab. Rasa hormat berarti menunjukkan sikap penghargaan terhadap diri sendiri, orang lain maupun lingkungan sosial yang saling menjaga satu sama lain. Adapun sikap tanggung jawab sebagai kelanjutan dari rasa hormat, yaitu setelah kita menghargai dan menghormati mereka, maka selanjutnya adalah kita bertanggung jawab untuk memberikan perhatian dan kepedulian dalam arti positif, untuk saling melindungi satu sama lain. Rasa tanggun jawab berarti aktif memberikan respon terhadap apa yang mereka ingin. Urgensi kedua nilai moral tersebut (rasa hormat dan tanggung jawab) diberikan kepada anak didik disekolah, alasannya karena kedua nilai tersebut mewakili dasar moralitas yang berlaku secara universal, baik sebagai individu maupun sebagai bagian warga masyarakat. Kedua nilai moral tersebut sangat diperlukan dengan alasan untuk pengembangan jiwa yang sehat, kepedulian akan hubungan personal, untuk mewujudkan sebuah masyarakat yang humanis dan demokratis, serta dunia yang adil dan damai. 17 Fatma Laila Khairun Nida, 2013. Intervensi Perkembangan Teori Moral Lawrence Kohlbergh dalam Dinamika Pendidikan Karakter, Jurnal Eduakasi, Penelitian Pendidikan Islam STAIN Kudus 18 Thomas Lickona, Mendidik untuk Membentuk Karakter... hlm: 84-85
10
Meski demikian, bukan berarti Thomas Lickona mengabaikan nilai moral lainnya. Menurutnya, nilai-nilai moral lain seperti kejujuran, keadilan, toleransi, kebijaksanaan, kedisiplinan juga penting untuk diajarkan kepada anak didik. Sedangkan nilai moral lainnya selain dua hal diatas adalah sikap kejujuran, keadilan, toleransi, kebijaksaan dan kedisiplinan, dan lainnya19. Nilai nilai tersebut juga sangat penting untuk diajarkan dan menjadi bagian tidak terpisahkan dari dua nilai aspek moral utama yang pertama diatas; rasa hormat dan tanggung jawab. Jika kedua sikap tersebut ada, maka nilai moral lainnya akan mengikutinya. Aspek moral dalam belajar tidak hanya dimiliki oleh peserta didik (murid) tapi juga harus dimiliki oleh pendidik (guru). Pendidik dan peserta didik harus sama sama mengedepankan dan memiliki nilai moral dalam proses belajar. Moral tidak hanya menjadi materi yang diajarkan, tapi moral juga harus menjadi ruh, habitus dan nilai yang melekat dalam semua perilaku siswa dan guru. Beberapa nilai moral yang perlu dimiliki oleh peserta didik diantaranya; berperilaku sopan terhadap guru baik ucapan maupun tingkah laku selama dikelas maupun diluar kelas, focus memperhatikan materi pelajaran yang diajarkan guru, menaati semua perintah dan larangan guru, mengamalkan ilmu yang didapat dari guru, tidak meremehkan dan merendahkan guru diihadapan orang lain. Sedangkan nilai moral yang perlu dimiliki oleh pendidik (guru) diantaranya; guru harus bertindak sesuai normal agama, sosial dan budaya yang berlaku. Guru juga harus berakhlak dan bisa menjadi teladan bagi muridnya, harus bisa mengontrol dan mengendalikan emosinya tidak melakukan tindakan bullying atau kekerasan yang mengakibatkan gangguan fisik dan psikis. Guru juga harus menampilkan diri sebagai sosok yang stabil tidak emosional, berwibawa, arif, bijaksana, bertanggungjawab dan menjunjung tinggi kode etik guru.20 D. Belajar dalam Perspektif Psikologi dan Islam Wahyu pertama yang diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad adalah perintah membaca (iqra’). Allah tidak memerintahkan manusia dalam wahyu pertamanya untuk menyembah-Nya. Hal ini memperlihatkan betapa aktifitas intelektual, yaitu kegiatan pembelajaran lebih penting dan ketimbang kegiatan ibadah. Alasannya karena dari kegiatan intelektual, yaitu membaca akan didapat banyak pengetahuan. Karena membaca sebagai jendela ilmu pengetahuan, akan memberikan informasi berbagai macam pengetahuan termasuk pengetahuan tentang agama, yang didalamnya berisikan tentang hukum-hukum, sejarah, kisah kisah, aturan soal ibadah dan lainnya.
19 20
Thomas Lickona, Mendidik untuk Membentuk Karakter.... hlm: 74 Marzuki, (Makalah), Etika Moral dalam Pembelajaran, FIS, UNY
11
Istilah Iqra’ yang bermakna bacalah, sebuah kata perintah yang berarti wajib. Artinya Allah mewajibkan kepada seluruh manusia untuk Iqra’, membaca tidak hanya yang tertulis (qauliyah) tapi juga yang tidak tertulis berupa fenomena alam (kauniyah) berupa kejadian, perisitiwa, kisah kisah dan seluruh alam jagat raya merupakan ayat ayat Allah yang perlu dilakukan Iqra’, membaca dan menganalisa, mempelajari sehingga kita bisa mendapatkan ilmu pengetahuan didalamnya. Allah menyuruh manusia untuk membaca semua tanda tanda kekuasaanya merupakan sebuah ilmu pengetahuan yang sangat besar. Semuanya harus dibaca, dipelajari, dipahami dalam konteks ketuhanan. Firman Allah;
ْ اِ ْق َرأ٢علَق َ س َ ان ِم ْن َ َ َخل١ ق َ َِي َخل ْ اِ ْق َرأْ ِبا َ اْل ْن ِْ ق ْ س ِم َر ِبكَ الَّذ َ س ٥ان َما لَ ْم َي ْعلَ ْم َ ٤علَّ َم ِبا ْلقَلَ ِم َ ِي َ اْل ْن ِ ْ علَّ َم ْ الَّذ٣ َو َربُّكَ ْاْلَك َْرم
Bacalah dengan menyebut nama Tuhan-mu yang terlah menciptakan. Dia yang menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah dan Rabb-Mu adalah yang Maha Pemurah. Yang telah mengajarkanmu dengan kalam. Dia telah mengajari manusia apa yang tidak ia ketahui. (Q.S. Al-Alaq 1-5) Jadi, dengan aktifitas intelektualitas, yaitu membaca, maka sesungguhnya Allah telah mengajarkan banyak hal didunia ini hal hal yang awalnya tidak diketahui manusia, menjadi lebih banyak yang diketahui. Perintah membaca (iqra’) yang dikaitikan dengan nama ketuhanan (bismirabbika) bermakna agar pembacaan manusia terhadap fenomena ilmu pengetahuan harus dibaca dalam konteks ketuhanan, yaitu untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT, menambah keimanan dan ketakwaan. Inilah hakikat mempelajari ilmu pengetahuan dalam Islam agar kita semakin beriman, dekat kepada Tuhan, bukan malah sebaliknya menjauhkan dari Tuhan. Hal ini karena pada hakekatnya Allah-lah yang tetap Maha Berkuasa, Maha Pandai karena Allah-lah yang menciptakan kita manusia. Ayat diatas yang memerintahkan kepada kita untuk membaca dalam konteks Ketuhanan (bismirabbika) yang kemudian dilanjutkan dengan penjelasan bahwa Allah-lah yang menciptakan manusia dari segumpal darah dan mengajarkan manusia banyak hal yang sebelumnya tidak diketahi, bermakna bahwa agar manusia tetap menyadari kekurangan dan kelemahan dirinya, karena masih adanya Dzat yang lebih besar dan lebih berkuasa dari dirinya. Tujuannya agar manusia yang belajar ilmu pengetahuan (iqra) tidak lupa akan Tuhannya, sadar akan keterbatasan dan kekurangan dirinya sehingga dia harus berendah hati dan tidak sombong dengan ilmu yang dimilikinya karna pada hakekatnya ilmu manusia itu sangat sedikit, sedangkan ilmu Allah sangat banyak. 12
Menurut Ustman Najati dalam bukunya Psikologi dalam Al-Qur’an, menyebutkan bahwa dalam Al-Quran proses belajar sudah dilakukan oleh manusia dalam proses hidup kesehariannya. Pengajaran tersebut dilakukan oleh Allah SWT kepada hamba-Nya yang bernama Adam AS, tatkala di usir oleh Allah SWT dari Surga dan diturunkan ke bumi. Dalam surat alBaqarah ayat 31-33 disebutkan
َ س َمآ َء كلَّ َها ث َّم ع ََر علَى ا ْل َم ٰلئِ َك ِة فَقَا َل أ َ ْنبِئ ْونِ ْي َ ضه ْم َ َو ْ َعلَّ َم ٰا َد َم ْاْل ٰ آء ٰهؤ ََل ِء ا ِْن ك ْنت ْم قَال ْوا س ْب ٰحنَكَ َْل ِع ْل َم لَنَآ اِ َّْل٣١ ص ِدقِ ْي َن ِ س َم ْ َ بِا س َمآئِ ِه ْۚ ْم َ َما ْ َ قَا َل ٰ ٰٓي ٰادَم ا َ ْن ِبئْه ْم ِبا٣٢ علَّ ْمتَنَ ۗا اِنَّكَ ا َ ْنتَ ا ْلعَ ِل ْيم ا ْل َح ِك ْيم َ س َمآئِ ِه ْۙ ْم قَا َل اَلَ ْم أ َق ْْل لَّك ْم ِِإنِ ْٰٓي ا َ ْعلَم ت ِ س ٰم ٰو ْ َ فَلَ َّمآ ا َ ْنبَاَه ْم ِبا َّ َب ال َ َغ ْي ْۙ ِ َو ْاْلَ ْر ٣٣ ض َوا َ ْعلَم َما ت ْبد ْو َن َو َما ك ْنت ْم تَكْتم ْو َن Dan Dia mengajarkan kepada adam seluruh nama nama, kemudian Dia mengemukakan kepada para malaikat seraya berfirman,’ beritahukanlah kepada-Ku nama nama ini semua sekirana kalian benar. Para malaikat berkata;’ Mahasuci engkau kami tidak memiliki pengetahuan selain apa yang telah engkau ajarkan kepada kami. Sesungguhnya engkau Maha Tahu lagi Maha Bijaksana. Allah berfirman; Hai Adam, beritahukanlah kepada mereka ikhwal nama nama tersebut. Ketika Adam memberitahukan kepada para Malaikat nama nama tersebut, Allah berfirman;” Bukankah sudah aku katakan kepadamu, Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui hal hal yang ghaib yang ada di Langit dan di Bumi. Aku pun Mengetahui segala apa yang kalian tampakkan dan segala apa yang kalian sembunnyikan. Dalam ayat ini dijelaskan bahwa dalam Islam, manusia pertama kali belajar tentang bahasa. Dalam ayat diatas diterangkan Allah SWT mengajarkan kepada Adam beberapa nama nama bahasa, kata kata yang melambangkan beberapa konsep tertentu. Itulah sebabnya dalam ayat diatas disebutkan ; Dan Dia mengajarkan kepada Adam seluruh nama nama’. Seluruh nama nama yang dimaksud adalah Dia mengajari Adam nama nama yang melambangkan konsep-konsep. 21. Dengan keunggulan dan kemampuan menguasai bahasa (konsep konsep) inilah yang akhirnya membuat Adam menjadi lebih unggul ketimbang makhluq lainnya, sehingga Allah menyuruh kepada semua malaikat untuk sujud menyembah
21
Muhammad Utsman Najati, 2005, Psikologi dalam Al-Quran: Terapi Qurani dalam Penyembuhan Gangguan Kejiwaan, Bandung, Pustaka Setia, hlm: 254
13
Adam. Dan atas alasan itulah kemudian Allah mengangkat adam sebagai khalifah di muka bumi Dengan demikain, belajar dalam Islam menduduk porsi dan posisi yang sangat penting. Karena belajar adalah fondasi dasar dari ilmu pengetahuan. Belajar tidak hanya dikelas, tidak hanya membaca buku tapi juga belajar bisa dimana saja dan kapan saja, karena pada hakekatnya semua proses yang dijalani dalam kehidupan manusia adalah belajar. Kehidupan manusia pada dasarnay adalah Universitas Ilmu Pengetahuan jika kita benar benar mau mengambil manfaatnya. Alam dan lingkungan sekitar dimana kita hidup,tinggal dan berinteraksi merupakan ayat ayat ilmu pengetahuan (ayat kauniyah) yang perlu kita ambil hikmah dan pelajaran didalamnya. Semuanya bertujuan sebagai bekal manusia dalam rangka menjadi Abdullah (hamba Allah) untuk menyembah dan beribadah kepada-Nya, serta dalam rangka menjadi khalifatullah (wakil Allah di muka bumi). Utsman Najati juga menjelaskan adanya 3 (tiga) model atau bentuk belajar dalam al-Qur’an. Pertama; meniru (imitation). Proses meniru dalam belajar karena memang pada awalmnya manusia pada fase awal kehidupannya belajar dari hasil meniru orang lain. Al-Quran menceritakan bagaimana proses manusia belajar dengan meniru dari kasus Qabil anak Nabi Adam. Dimana Qabil ketika itu belajar meniru perilaku burung gagak yang menggali tanah untuk menguburkan bangkai burung gagak yang mati setelah habis bertarung dengannya. Qabil mengamati apa yang dilakukan burung gagak tersebut, untuk kemudian menirunya. Dari hasil mengamati dan meniru inilah, qabil bisa belajar mendapatkan ilmu pengetahuan baru yakni cara membuat liang lahat untuk menguburkan saudaranya. (QS. AlMaidah, ayat; 31) Ada banyak ayat ayat al Quran yang menekankan pentingnya manusia supaya meneladani, meniru dan mengikuti apa yang orang lain lakukan atau ajarkan. Bahkan rasulullah sendiri merupakan suri tauladan yang wajib dan layak ditiru oleh umatnya (uswatun hasanah). Termasuk dalam hal ini adalah gerakan dan tata cara nabi melakukan ibadah shalat, agar ditiru dan dipedomani oleh umat nya. Kedua; belajar melalui proses pengalaman trial and eror. Artinya dalam prose belajar, tidak sekedar teori atau baca buku, tapi juga perlu praktek lapangan. Jika terjadia kesalahan atau kekeliruan, itu hal biasa untuk kemudian bisa dijadikan bahan evaluasi dalam pembelajaran agar tidak mengulang kesalahan yang sama. Nabi Muhammad bahkan memberikan kebebasan kepada umatnya untuk banyak melakukan percobaan trial and eror dalam urusan urusan keduniawian. Hal ini karena doktrin ajaran agama dalam kitab suci tidak semuanya memberikan penjelasan detil pada soal soal urusan duniawi. Nabi Muhammad 14
bersabd;” antum a’lamu bi umuuri dunyakum (kamu lebih tahu urusan dunia) Alasannya karena kehidupan dunia sangat dinamis, sehingga manusia diberikan kebebasan untuk menentukannya. Islam hanya memberikan rambu rambu pedoman yaitu sepanjang hal itu tidak bertentangan dengan hokum hukum Allah yang lain. Ketiga; belajar melalui proses berpikir. Belajar adalah proses mendayagunakan dan memaksimalkan kemampuan intelektual otaknya melalui aktifitas bepikir. Aktifitas berpikir seperti berdialog, bertanya, berkonsulltasi akan mendorong munculnya ilmu pengetahuan yang baru. Banyak ayat ayat al-Quran yang mendorong kepada umatanya untuk senantiasa bepikir dan berpikir. Seringkali ayat ayat al-Quran ketika menjelaskan fenomena kejadian alam, proses penciptaan manusia, cerita terhadap kisah kisah masa lalu selalu diakhir dengan seruan seruan intelektual, mengajak manusia untuk selalu berpikir seperiti ungkapan afala ta’qilun, afala tatafakkarun, afala tatadzakkarun. Tujuannya agar manusia bisa mengambil intisari pengetahuan dari sebuah peristiwa atau kejadian22 Abdurrahman an-Nahlawi dalam bukunya Ushulut Tarbiyatis Islamiyah wa Asalibuha menjelaskan bahwa tujuan belajar dalam Islam adalah sesuai dengan tujuan diciptakannya manusia dimuka bumi yaitu untuk beribadah kepad Allah. Sebagaimana dijelaskan dalam surat AdDzariyat ayat 56:
س ِِإ َّْل ِليَ ْعبد ْو ِن َ اْل ْن ِ ْ َو َما َخلَ ْقت ا ْل ِج َّن َو
Dan tidaklah aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku Makna ibadah tidak semata aktifitas ritual shalat lima waktu, akan tetapi makna ibadah adalah keseluruhan aktifitas kehidupan yang dijalani manusia yang mampu mendekatkan diri dan membawa ketundukan kepada-Nya23. Jadi tujuan akhir pendidkan dalam Islam adalah untuk merealisasikan ibadah baik dalam konteks individu maupun kemasyarakatan dalam kehidupan sosial umat manusia. Ilmu sebagai hasil proses belajar yang didapatkan dalam semua aktifitas harus bermakna dan bernnilai ibadah yakni mendekatkan diri kepada Allah, membawa kita kepada sikap rendah hati karena adanya sebuah kesadaran bahwa ilmu yang kita dapatkan dari Allah ini masih sangat sedikit. Ada banyak ilmu 22 Muhammad Utsman Najati, Psikologi dalam Al-Quran: Terapi Qurani dalam Penyembuhan Gangguan Kejiwaan... hlm: 258-264 23 Abdurrahman An-Nahlwai, 1989, Prinsip Prinsip dan Metoda Pendidikan Islam: Dalam Keluarga, Sekolah dan Masyarakat, Bandung: CV Diponegoro, hlm: 162
15
Allah diluar sana yang masih belum kita ketahui, sehingga tidak ada alasan untuk tetap menyombongkan diri kepada sesama manusia. Belajar selain bertujuan mewujudkan misi manusia sebagai Abdullah (hamba Allah untuk menyembah dan beribadah kepada Allah) dan khalifatullah fil Ardh (wakil Allah dimuka bumi), juga harus mampu mewujudkan cita cita dan tujuan Islam yang membawa kebaikan bagi seluruh alam semesta. Hal ini sesuai dengan visi kerasulan sejak zaman Nabi Adam alaihissalam sampai dengan Nabi Muhammad SAW yaitu mewujudkan ajaran Islam yang rahmatan lil alamin (membawa kebaikan universal, rahmata dan kebaikan bagi seluruh alam semesta)
س ْل ٰنكَ ِإِ َّْل َر ْح َمةً ِل ْل ٰعلَ ِم ْي َن َ و َما أَ ْر Dan tidaklah kami mengutusmu (wahai Muhammad) melainkan agar engkau menjadi rahmat bagi alam semesta (QS Al. Anbiya; 107) Imam al-Ghazali, salah seoranga ulama sufi terkemuka dalam kitabnya yang terkenal Ihya Ulumiddin mengemukakan bahwa belajar sangat penting dalam Islam. Islam mengajarkan pentingnya belajar sejak masak kanak kanak. Lingkungan sosiallah yang selama ini banyak memberikan warna dan pengaruh dalam membentuk karakter anak ketika dewasa kelak. Menurut Imam Ghazali, sesuai dengan hadits Rasulullah bahwa seorang anak pada dasarnya dalam kondisi fitrah (suci), keluarga dan lingkungannlah yang akan banyak berpengaruh memberikan warna ketika dewasa kelak apakah ia akan menjadi Yahudi, Nasrani atau Majusi. Oleh sebab itu proses pendidikan melalui pembiasaan pembelajaran terhadap nilai nilai kebaikan, perlu diajarkan dan ditanamkan sejak dini. Pandangan Imam Ghazali tentang tujuan pendidikan sangat bersifat sufistik. Al-Ghazali sangat menekankan pentingnya hati dalam tujuan pendidikan yaitu untuk mendekatkan diri kepada Allah. Tujuan pendidikan semata untuk mencari ridha Allah, bukan untuk mencari materi, kedudukan dan jabatan. Tujuan belajar yang bukan untuk mencari ridha Allah, hanya akan menimbulkan rasa dengki, iri hati, kebencian dan permusuhan. Rumusan yang sangat sufistik ini berangkat dari pandangan al-Ghazali dalam melihat dunia. Menurutnya, dunia ini bukanlah tujuan tapi hanya transit semata. Dunia tidak kekal, hanya sementara sebagai tempat transit kita untuk menuju keabadian yaitu alam akhirat. Meski demikian bukan berarti al-Ghazali menafikan adanya dunia. Tidak sama
16
sekali. Al-Ghazali hanya menekankan bahwa dunia hanya sebagai alat, bukan tujuan akhir24. Untuk mewujudkan tujuan tersebut, Imam Ghazali mensyaratkan beberapa kriteria tertentu yang harus dimiliki oleh seorang pendidik (guru) harus seorang yang memiliki rasa cinta dalam mengajar, tidak terlalu mengharapkan imbalan materi, kalaupun mengharap upah maka itu bukan tujuan utama dan pertama. Guru juga harus bisa menjadi contoh atau teladan bagi muridnya. Dalam mengajar, guru juga harus memperhatikan perkembangan kemampuan intelektual muridnya. Guru juga harus mampu memberikan motivasi dan dorongan semangat belajar kepada muridnya. Sedangkan untuk muridnya, al-Ghazali mensyaratkan perlunya murid memiliki nilai moralitas dalam belajar (rendah hati, sungguh sungguh, saling menyayangi sesame murid). Murid juga tidak hanya mempelajari satu ilmu pengetahuan saja, tapi ilmu yang lain. Ada banyak metode pendidikan dalam Islam yang baik yang terjdapat dalam al-Qur’an maupun Hadits yang bisa diterapkan untuk mendapatkan ilmu pengetahuan dalam rangka kita untuk beribadah kepada Allah, melaksanakan tugas tugas sebagai wakil Allah dimuka bumi (khalifatullah fil ardh), maupun untuk mencapai ridha Allah (mardhatilah). An-Nahlawi mencatat ada 7 metoda pendidkan dalam al-Quran yaitu; Pertama; metode hiwar (percakapan) Qurani dan Nabawi, dimana al-Qur’an banya menggunakan bentuk bentuk dialog atau percakapan seperti yang terjadi pada kisah kisah nab sebelum Muhammad dan juga pada zaman Nabi Muhammad SAW, baik yang sifatnya deskriptif, qishasi (kisah kisa), jadali (debat atau dialektis). Seperti Debat Nabi Ibrahim berdebat dengan kaumnya soal penghancuran berhala, dialog Nabi Musa dalam Mencari Tuhannya, dan lainnya. Model hiwari ini memiliki banyak pesan pesan yang bisa langsung diserap oleh pembacanya. Kedua; mendidk dengan kisah kisah Qurani dan Nabawi, seperti kisah Nabi Yusuf, Kisah Nabi Ibrahim, Kisah Nabi Luth, Kisah Nabi Adam dan lainnya. Ketiga; mendidik dengan amtsal (perumpamaan) dengan menggunakan perumpamaan nama hewan seperti nyamuk untuk (QS al-Baqarah; 26), laba laba untuk perumpamaan orang yang mengambil pelindung selain Allah yaitu sangat rapuh kayak sarang laba laba (QS. AL-Ankabut: 41), lalat untuk perumpamaan terhadap orang yang menyeru selain Allah tidak ada kekuasaan mencniptakan mahkluk sejenis lalat meskipun kecil sekalipun (QS Al Haj: 73), keledai/ khimar untuk perumpamaan orang yang membawa kitab tapi tidak pernah membacanya sehingga tetap bodoh (QS. Al- Jumuah ayat 5) dan beberapa contoh lainnya 24
Abuddin Nata, 2005, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Gaya Media Pratama,
hlm:213
17
Keempat; belajar dengan model contoh atau keteladanan. Seperti contoh keteladanan Nabi Ayyub atas segala cobaan yang dideritanya, keteladanan atas Nabi Yunus yang harus dimakan ikan, Keteladanan Nabi Ibrahim yang harus dihukum dibakar karena mempertahankan prinsip keimanan. Kelima.; belajar dengan model latihan dan pengamalan. Belajar dengan model ini misalnya tentang ayat ayat perintah melakukan amar makruf nahi mungkar, maka itu tidak cukup hanya dengan membaca tapi juga perlu praktik. Keenam; pelajaran dan nasehat (ibrah wal mauidah) yaitu perintah agar kita mampu mengambil ibrah dan pelajaran dari semua kisah, certa, pengalaman yang terjadi dimasa lalu untuk dijadikan pelajaran di masa sekarang. Tujuannya agar tidak mengulang kejadian dulu pada masa sekarang. Ketujuh; belajar melalui kabar gembira dan kabar ketakutan/ ancaman (targhib wa tarhib). Al-Quran seringkali menggunakan kalimat targhib dan tarhib, kabar gembira dan harapan seperti janji surga, kesenangan, kenikmatan akhirat berupa janji kehidupan surge, bidadari yang cantik, keindahan surge dengan sungai sungai yang mengalir didalamnya yang itu semua dijanjikan untuk mereka yang berimann dan bertakwa. Sedangkan tarhib berupa kabar ketakutan, ancaman, siksa neraka dan hal hal menakutkan lainnya untuk mereka yang melanggar aturan Allah, tidak beriman atau kafir terhadap ayat ayat Allah.25 E. Simpulan Berdasarkan uraian di atas, ada beberapa hal yang bisa disimpulan, yaitu: a) Belajar sebagai aktifitas pikir (olah otak) dan juga aktifitas fisik (perilaku) harus memiliki dampak terhadap bertambanya pengetahuan dan pengalaman. Perilaku yang tidak membawa perubahan kearah yang baik dan tidak mengandung unsur nilai pengetahuan, tidak dsebut belajar akan tetapi Cuma kebiasaan biasa atau aktifitas fisik yang tidak bernilai belajar. Proses belajar yang menghasilkan pengetahuan didapatkan dari pelatihan dan pengalaman. b) Belajar tidak bisa dilepaskan dari aspek moral karena dalam belajar ada nilai nilai perilaku dan kebaikan yang ditanamkan. Moral menjadi penting dalam proses pembelajaran tidak hanya bagi murid tapi juga bagi guru c) Aspek morallitas dalam belajar menurut Islam sangat penting karena semua ilmu pengetahuan pada hakekatnya milik Allah, dan tujuan belajar bukan semata untuk mendapatkan ilmu, tapi juga untuk bisa
25
Abdurrahman An-Nahlwai, Prinsip Prinsip dan Metoda Pendidikan Islam: Dalam Keluarga, Sekolah dan Masyarakat... hlm. 282-413
18
mendekatkan diri kepada Allah, mengabdi beribadah kepada-Nya, dan untuk melaksanakan tugas sebagai khalifah-Nya di muka bumi d) Dalam Islam, belajar merupakan tugas pokok dan kewajiban setiap muslim, baik laki maupun peremmpuan. Belajar dalam Islam berlangsung sepanjang waktu sejak dalam buaian sampai masuk kubur. e) Wahyu pertama dalam al-Qur’an adalah Iqra (bacalah) yaitu perintah manusia untuk membaca ayat ayat Allah yang tekstual (qauliyah) maupun yang kontekstual (kauniyah). f) Urgensi belajar dalam Al-Qur’an juga ditegaskan melalui proses pengajaran Allah kepada Nabi Adam AS melalui pembelajaran bahasa, untuk mengenal konsep dan nama nama yang ada sehingga Adam menjadi manusia yang lebih unggul ketimbang dan sempurna ketimbang Makhluk Allah lainnya (jin dan malaikat)
19
Daftar Pustaka An-Nahlwai, Abdurrahman. 1989. Prinsip Prinsip dan Metoda Pendidikan Islam: Dalam Keluarga, Sekolah dan Masyarakat. Bandung: CV Diponegoro Djamarah, Saiful Bahri. 2015. Psikologi Belajar. Jakarta: Rhineka Cipta. Lickona, Thomas. 1991. Mendidik Untuk Membentuk Karakter. Jakarta: Bumi Aksara. Marzuki, (Makalah) Etika Moral dalam Pembelajaran. FIS, UNY Nida, Fatma Laila Khairun. 2013. Intervensi Perkembangan Teori Moral Lawrence Kohlbergh Dalam Dinamika Pendidikan Karakter, Jurnal Eduakasi, Penelitian Pendidikan Islam STAIN Kudus Najati, Muhammad Utsman. 2005. Psikologi dalam Al-Quran: Terapi Qurani dalam Penyembuhan Gangguan Kejiwaan. Bandung: Pustaka Setia. Nata, Abuddin. 2005. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Gaya Media Pratama Syah, Muhibbin. 2017. Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru. Bandung: Remaja Rosdakarya. Sagala, Saiful. 2005. Konsep dan Makna Pembelajaran. Bandung: Alfabeta. Suralaga, Fadhilah. 2010. Psikologi Pendidikan. Ciputat: Lemlit UIN Syarif Hidayatullah. Wingkel, W.S. 2014. Psikologi Pengajaran: Yogyakarta: Sketsa Suryabrata, Sumadi. 2007. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Rajawali Press.
20