Makalah Farmakologi Umum Idk Ii.docx

  • Uploaded by: Rahim
  • 0
  • 0
  • December 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Makalah Farmakologi Umum Idk Ii.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 6,041
  • Pages: 26
MAKALAH FARMAKOLOGI UMUM (ILMU DASAR KEPERAWATAN II)

Disusun Oleh: Kelompok 6

1. ATIKA MIFTAHUL JANNAH(1811311014) 2. NURUL IZZAH LUBIS (1811311030) 3. FARAZ ARSYA DUTA (1811312010) 4. PUTRI SUHAINI (1811312028) 5. HASFIRA DWI CITRA (1811312046) 6. AZZURA RISNAIRAJ (1811313014)

PROGRAM STUDI S1 ILMU KEPERAWATAN FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS ANDALAS 2018/2019

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena dengan pertolongan-Nya kami dapat menyelesaikan makalah Ilmu Dasar Keperawatan 2 yang berjudul “Farmakologi Umum”. Kami mengucapkan terima kasih kepada Ibu dan teman-teman yang sudah membantu kami dalam menyelesaikan makalah ini dengan baik. Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini. Akhir kata, kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga Tuhan Yang Maha Esa senantiasa meridhai segala usaha kita.

Padang, Maret 2019

Kelompok 6

i

DAFTARISI Kata Pengantar ............................................................................................................................i Daftar isi ........................................................................................................................................ii BABI Pendahuluan 1.1 LatarBelakang ..........................................................................................................1 1.2 RumusanMasalah ....................................................................................................1 1.3 Tujuan ........................................................................................................................1 1.4 Manfaat 1 ......................................................................................................... 1

BABII Pembahasan 2.1 Penggolongan Obat-obatan,dll .............................................................................2 2.2Efek samping obat dll ..............................................................................................11

BAB III PENUTUP 3.1 Kesimpulan ...............................................................................................................22 3.2 Saran ...........................................................................................................................22 DAFTARPUSTAKA...................................................................................................................23

ii

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG Salah satu tugas terpenting seorang perawat/bidan adalah member obat yang aman dan akurat kepada klien. Obat merupakan alat utama terapi untuk mengobati klien yang memiliki masalah. Obat bekerja menghasilkan efek terapeutik yang bermanfaat. Walaupun obat menguntungkan klien dalam banyak hal, beberapa obat dapat menimbulkan efek samping yang serius atau berpotensi menimbulkan efek yang berbahaya bila kita memberikan obat tersebut tidak sesuai dengan anjuran yang sebenarnya.

Seorang perawat/bidan juga memiliki tanggung jawab dalam memahami kerja obat dan efek samping yang ditimbulkan oleh obat yang telah diberikan, memberikan obat dengan tepat, memantau respon klien, dan membantu klien untuk menggunakannya dengan benar dan berdasarkan pengetahuan.

1.2 RUMUSAN MASALAH 1. Bagaimana Konsep Faramkologi secara umum? 2. Apa saja penggolongan obat-obatan? 3. Bagaimana efek samping dari obat?

1.3 TUJUAN PENULISAN 1.Untuk mengetahu tentang faramkologi secara umum 2.Untuk mengetahui apa saja penggolongan obat-obatan 3.Untuk mengetahui efek samping obat

1.4 MANFAAT PENULISAN -Agar memahami dan mengetahui materi farmakologi umum -Menambah pengetahuan tentang ilmu farmakologi

1

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Penggolongan Obat,Farmakodinamika, Farmamokinetik,Indikasi dan Kontraindikasi obat A. PENGGOLONGAN OBAT



Obat Bebas

Obat bebas adalah obat OTC (over the counter) atau obat yang dijual secara bebas di pasaran. Artinya, Kamu bisa sangat mudah dan bebas menemukan dan membeli obat ini, tanpa harus menggunakan resep dokter. Obat yang tergolong dalam kategori bebas adalah obat yang memiliki efek samping rendah serta kandungan bahan-bahan yang relatif aman. Namun meski tidak memerlukan pengawasan dokter, Kamu tetap harus memenuhi petunjuk dan dosis yang tertera di kemasan ketika mengonsumsinya.

Obat bebas biasanya memiliki gambar lingkaran berwarna hijau dan bergaris tepi hitam. Simbol tersebut tertera di kemasan obat. Kebanyakan obat bebas adalah obat -obat untuk mengobati penyakit ringan, seperti batuk, flu, atau demam. Obat bebas juga bisa berupa vitamin atau suplemen nutrisi. Contoh obat bebas adalah parasetamol.

 Obat Bebas Terbatas Obat bebas terbatas memiliki kesamaan dengan obat bebas, yaitu keduanya dijual bebas di pasaran. Namun, obat bebas terbatas termasuk obat yang lebih keras ketimbang obat bebas, meski obat dalam golongan ini juga bisa dikonsumsi tanpa resep dari dokter. Dalam jumlah tertentu, obat ini masih bisa dijual di apotek mana saja.

2

Obat jenis bebas terbatas juga memiliki simbol tertentu di kemasannya, yaitu lingkaran biru bergaris tepi hitam. Tidak hanya itu, pada kemasan obat bebas terbatas juga tertulis peringatan-peringatan seperti:      

P1: Awas! Obat Keras! Baca Aturan Pakainya. P2: Awas! Obat Keras! Baca Aturan Pakainya. P3: Awas! Obat Keras! Hanya untuk Bagian Luar Tubuh. P4: Awas! Obat Keras! Hanya untuk Dibakar. P5: Awas! Obat Keras! Tidak Boleh Ditelan. P6: Awas! Obat Keras! Obat Wasir, Jangan Ditelan.

Obat bebas terbatas bisa digunakan untuk mengobat penyakit dari yang tergolong ringan hingga serius. Kalau Kamu belum sembuh juga, meski sudah mengonsumsi obat dengan golongan bebas terbatas, lebih baik berhenti mengonsumsinya dan periksakan diri ke dokter.

Obat Keras Obat keras sudah termasuk obat yang tidak bisa dibeli bebas di apotek tanpa resep dokter, meski dijual legal di apotek. Tanpa resep dokter dan jika pemakaiannya tidak sesuai, dikhawatirkan obat ini bisa memperparah penyakit, meracuni tubuh, bahkan menyebabkan kematian. Simbol obat keras yang ada di kemasan obat adalah lingkaran merah bergaris tepi hitam dan terdapat huruf K di dalamnya.

Pada umumnya, banyak obat-obat tertentu yang termasuk dalam golongan ini, seperti: *Obat generik. *Obat Wajib Apotek (OWA). *Psikotropika. *Obat yang mengandung hormon, seperti obat penenang atau obat diabetes. *Antibiotik, seperti tetrasiklin, penisilin, ampisilin, sefalosporin. Untuk psikotropika, obat-obatan jenis ini memengaruhi susunan sistem saraf pusat, sehingga bisa menimbulkan perubahan pada mental dan perilaku orang yang mengonsumsinya. Maka dari obat psikotropika hanya bisa dikonsumsi di bawah pengawasan dokter.

Bahkan, psikotropika juga dibagi menjadi 4 golongan berdasarkan bahaya dampaknya pada tubuh manusia. Psikotropika golongan I adalah obat yang tidak boleh digunakan untuk terapi. Psikotropika golongan I hanya boleh dipakai untuk keperluan 3

ilmu pengetahuan, karena memiliki potensi yang kuat untuk menyebabkan ketergantungan pada penggunanya. Lain dari psikotropika golongan I, psikotropika golongan II bisa digunakan untuk pengobatan maupun untuk kepentingan ilmu pengetahuan. Namun, psikotropika golongan II tetap memiliki potensi kuat untuk menyebabkan ketergantungan. Psikotropika golongan III lebih banyak digunakan untuk pengobatan, meski obat jenis ini juga bisa dimanfaatkan untuk keperluan ilmu pengetahuan. Risiko ketergantungan pada psikotropika golongan III cenderung rendah. Selain itu, sama sepe rti golongan III, risiko ketergantungan psikotropika golongan IV juga rendah. Psikotripika golongan IV banyak digunakan untuk pengobatan maupun keperluan ilmu pengetahuan. Karena bersifat keras, psikotropika dan obat keras berada di dalam kategori yang sama. Keduanya juga memiliki simbol yang sama. Contoh obat keras adalah loratadine, pseudoeedrin, bromhexin HCL, alprazolam, clobazam. Sementara itu, contoh obat psikotropika adalah ekstasi, phenobital, sabu-sabu, diazepam. 

Obat Narkotika

Narkotika adalah obat-obatan yang bisa berasal dari tanaman maupun tidak. Narkotika juga bisa berupa sintesis atau semi sintesis. Sama seperti psikotropika, narkotika menimbulkan efek ketergantungan, khususnya jenis yang bisa mengurangi rasa sakit, nyeri, dan tingkat kesadaran. Obat narkotika hanya boleh dijual di apotek, namun harus di bawah resep dokter. Obat narkotika memiliki simbol lambang palang merah yang tertera di kemasannya.

Mirip dengan psikotropika, narkotika juga memiliki golongan-golongan tertentu. Narkotika golongan I hanya digunakan untuk ilmu pengetahuan, namun tidak bisa digunakan untuk pengobatan. Pasalnya, golongan I memiliki risiko ketergantungan yang tinggi. Untuk narkotika golongan II, bisa digunakan untuk pengobatan dan kepentingan ilmu pengetahuan. Namun, biasanya dokter hanya memberi resep narkotika golongan II sebagai pilihan terakhir dalam pengobatan. Pasalnya, golongan II juga bisa menyebabkan kertegantungan yang kuat. Sementara itu, narkotika golongan III bisa digunakan untuk kepentingan ilmu pengetahuan dan pengobatan karena memiliki risiko yang ringan untuk menyebabkan ketergantungan. Contoh obat narkotika adalah opium, ganja, dan heroin. Untuk golongan II, contohnya tebakon, morfina, dan peptidina. Sementara untuk golongan III, contohnya adalah kodeina, nikokodina, dan nikodikodina.

4

B. FARMAKODINAMIK DAN FARMAKOKINETIK 

Farmakodinamik

Farmakodinamik adalah cabang ilmu yang mempelajari efek biokimiawi dan fisiologi obat, serta mekanisme kerjanya. Tujuan mempelajari, meneliti efek utama obat, mengetahui interaksi obat dengan sel, dan mengetahui urutan peristiwa serta spectrum efek dan respon yang terjadi. Mekanisme kerja obat, efek obat timbul karena interaksi obat dengan respetor pada suatu sel organisme, yang mencetuskan perubahan biokimiawi dan fisiologi yang merupakan respon khas untuk obat tersebut. Obat tidak menimbulkan suatu fungsi baru, tetapi hanya memodulasi fungsi yang sudah ada. Setiap komponen makromolekul fungsional dapat berperan sebagai reseptor obat, tetapi sekelompok reseptor obat tertentu juga berperan sebagai ligan endogen (hormon, neurotransmiter). Subtansi yang efeknya menyerupai senyawa endogen disebut agonis. Sebaliknya, senyawa yang tudak punya aktivitas intrinsik tetapi menghambat secara kompetitif efek suatu agonis di tempat ikatan agonis disebut antagonis. Contoh obat/zat agonis kuat: morfin, meperidin, fentanil, heroin. Agonis sedang: propoksifen, kodein. Campuran agonis-antagonis: pentasozin, buprenorfin. Agonis: nalokson dan naltrekson.



Farmakokinetik

Farmakokinetik adalah ilmu yang mempelajari proses yang dilalui obat atau tahapan perjalanan obat di dalam tubuh. Farmakokinetik dalam arti luas membahas tentang perubahan – perubahan sepanjang waktu jumlah obat dan metabolit yang tinggal di dalam berbagai komponen tubuh. Meliputi tahap, absorbsi, distribusi, biotransformasi(metabolisme) dan ekskresi obat (eliminasi), baik pada manusia atau hewan. Tujuannya meramalkan efek perubahan-perubahan dalam takaran, rejimen takaran, rute pemberian, dan keadaan fisiologis pada penimbunan dan disposisi obat. 2 pokok parameter farmakokinetik: 1. Bersihan (clearance) Bersihan (clearance) yaitu ukuran kemampuan tubuh untuk menghilangkan obat (eliminasi). Terbagi: a) Eliminasi dengan kapasitas terbatas (Capacity Limited Elimination) 5

Obat yang menunjukkan eliminasi dengan kemampuan terbatas. Bersihan bervariasi tergantung konsentrasi obat yang dicapai. Misalnya: fenitoin, etanol. b) Eliminasi tergantung aliran darah (Flow Dependent Elimination) Eliminasi obat tergantung besarnya aliran darah yang masuk ke organ eliminasi, obatnya disebut high extraction(seluruhnya dihilangkan dari darah oleh organ eliminasi). 2. volum distribusi Volum distribusi adalah ukuran dari ruangan dalam tubuh yang tersedia untuk diisi obat. Efek obat menurut perjalanan waktu; 1) efek segera (immediate effects) Umunya efek obat berhubungan langsung dengan konsentrasi plasma. Obat yang memiliki waktu paruh pendek dapat diberikan satu kali sehari saja dan masih dapat mempertahankan efeknya selama satu hari. 2) efek lambat (delayed effect) Efek obat yang tertunda lebih lama khususnya obat yang memerlukan waktu beberapa jam atau beberapa hari sebelum efek terlihat karena pembalikan yang lambat daripada suatu subtansi fisiologik yang diperlukan untuk ekspresi efek obat tersebut. 3) efek kumulatif Toksinitas ginjal dari antibiotik aminoglikosida lebih besar dibandingkan dengan dosis intermiten. Tahap Farkamakokineitik;



Absorbsi Obat

Absorpsi merupakan proses penyerapan obat dari tempat pemberian ke dalam aliran darah, menyangkut kelengkapan dan kecepatan proses, pemberian obat harus mencapai bioavaibilitas yang menggambarkan kecepatan dan kelengkapan absorpsi sekaligus metabolisme obat sebelum mencapai sirkulasi sistemik, karena beberapa jenis obat dimetabolisme oleh enzim didinding usus pada pemberian oral atau dihati pada lintasan pertamanya. Ada beberapa obat yang berikatan kuat dengan protein sehingga menunda lewatnya ke jaringan sekitarnya.



Distribusi Obat 6

Setelah diabsorpsi obat akan didistribusi secara reversible keseluruh tubuh melalui sirkulasi darah dan masuk ke intersitium (cairan ekstrasel) dan sel – sel jaringan, karena selain tergantung dari aliran darah, permeabilitas kapiler, derajat ikatan obat tersebut dengan protein plasma atau jaringan, dan hidrofobisitas. Distribusi obat dapat dibedakan menjadi 2 fase berdasarkan penyebaran didalam tubuh, yaitu : 1. Distribusi fase pertama Terjadi segera setelah penyerapan, yaitu ke organ yang perfusinya sangat baik, seperti jantung, hati, ginjal dan otak. 2. Distribusi fase kedua Mencakup jaringan yang perfusinya tidak sebaik organ pada fase pertama, misalnya pada otot, visera, kulit dan jaringan lemak.



Biotransformasi (metabolisme) Obat

Biotransformasi atau lebih dikenal dengan metabolisme obat, adalah proses perubahan struktur kimia obat yang terjadi dalam tubuh dan dikatalisis oleh enzim. Pada proses ini molekul obat diubah menjadi lebih polar atau lebih mudah larut dalam air dan kurang larut dalam lemak, sehigga lebih mudah diekskresi melalui ginjal. Hati adalah tempat metabolisme obat, tetapi obat tertentu bisa mengalami biotransformasi di dalam jaringan lain (beberapa obat diberikan dalam bentuk senyawa tidak aktif (pro-drug) dan harus dimetabolisme menjadi senyawa aktifnya). Kinetik dari metabolisme terbagi 2: 1.Kinetik First-Order Sebagian besar transformasi obat di katalisis oleh enzim. Enzim yang berperan dalam biotransformasi obat dibedakan berdasar letak dalam sel, yaitu Enzim Mikrosom terdapat dalam reticulum endoplasma halus dan Enzim Non Mikrosom. Kedua Enzim Mikrosom dan Enzim Non Mikrosom, aktifitasnya ditentukan oleh faktor genetik, sehingga kecepatan metabolisme obat antar individu bervariasi. 2.Kinetik zero-order Enzim mengalami kejenuhan oleh suatu konsentrasi obat bebas yang tinggi dan kecepatan metabolisme tetap konstan sepanjang waktu.

7

Reaksi Metabolisme Obat: ginjal tidak dapat mengeliminasi obat yang lipofilik karena obat tersebut menembus membran sel dan diabsorbsi kembali dalam tubulus distal. Obat yang larut dalam lipid pertama-tama harus di metabolisme dalam hati yang menggunakan dua set reaksi, disebut fase I dan fase II. Reaksi metabolik dapat mengubah: obat yang aktig menjadi kurang aktif atau tidak aktif, dan prodrug.



Ekskresi Obat

Obat dikeluarkan dari tubuh melalui berbagai organ ekskresi dalam bentuk metabolit hasil biotransformasi atau dalam bentuk asalnya. Obat atau metabolit polar lebih cepat diekskresi daripada obat larut lemak, kecuali yang melalui paru. Aplikasi Farmakokinetika: 1. Bidang farmakologi Farmakokinetika dapat menerangkan mekanisme kerja suatu obat dalam tubuh, khususnya untuk mengetahui senyawa yang mana yang sebenarnya bekerja dalam tubuh; apakah senyawa asalnya, metabolitnya atau kedua-duanya. Data kinetika obat dalam tubuh sangat penting untuk menentukan hubungan antara kadar/jumlah obat dalam tubuh dengan intensitas efek yang ditimbulkannya. Dengan demikian daerah kerja efektif obat (therapeutic window) dapat ditentukan. 2. Bidang farmasi klinik a) Untuk memilih route pemberian obat yang paling tepat. b) Dengan cara identifikasi farmakokinetika dapat dihitung aturan dosis yang tepat untuk setiap individu (dosage regimen individualization). c) Data farmakokiketika suatu obat diperlukan dalam penyusunan aturan dosis yang rasional. d) Dapat membantu menerangkan mekanisme interaksi obat, baik antara obat dengan obat maupun antara obat dengan makanan atau minuman. 3. Bidang toksikologi Farmakokinetika dapat membantu menemukan sebab-sebab terjadinya efek toksik dari pemakaian suatu obat.

8

C.INDIKASI DAN KONTRAINDIKASI OBAT Pada pemberian obat kloramfenikol 

Indikasi Kloramfenikol hampir tidak digunakan lagi karena toksisitasnya yang kuat,

resistensi dan tersedianya obat-obat lain yang lebih efektif. Bila tidak ada pilihan lain kloramfenikol digunakan untuk demam tifoid (Salmonella typhi), meningitis (H. influenza), infeksi anaaerob khususnya abses otak. Kloramfenikol terkadang digunakan secara topikal untuk mengobati infeksi mata karena mempunyai spektrum kerja yang luas. 

Kontraindikasi dikontraindikasikan pada neonatus, pasien dengan gangguan hati, dan pasien

yang hipersensitif terhadap kloramfenikol.

Pada pemberian obat streptomisin dan kanamisin 

Indikasi Streptomisin dan kanamisin digunakan untuk tuberkulosis, pes, tularemia secara

intramuskuler. Gentamisin digunakan untuk sepsis dan pneumonia yang resisten terhadap obat-obat lain secara intramuskular, meningitis secara intratekal, dan tobramisin untuk pseudomonas. Gentamisin, tobramisin, framisetin, dan neomisin digunakan secara topikal. 

Kontraindikasi Antibiotik golongan aminoglikosida dikontraindikasikan pada pasien usia lanjut

dan pasien yang menderita gangguan ginjal.

Pada pemberian obat intramuscular (IM) 

indikasi : bisa dilakukan pada pasien yang tidak sadar dan tidak mau bekerja sama karena

tidak memungkinkan untuk diberikan obat secara oral, bebas dari infeksi, lesi kulit, jaringan parut, tonjolan tulang, otot atau saras besar di bawahnya. 

kontra indikasi : Infeksi, lesi kulit, jaringan parut, tonjolan tulang, otot atau saraf besar di bawahnya.

9

Pada pemberian obat intravena secara tidak langsung (IV) 

indikasi : bisa dilakukan pada pasien yang tidak sadar dan tidak mau bekerja sama karena

tidak memungkinkan untuk diberikan obat secara oral dan steril. 

kontra indikasi : tidak steril, obat yang tidak dapat larut dalam air, atau menimbulkan endapan

dengan protein atau butiran darah.

Pada pemberian obat intravena secara langsung (IV) 

indikasi : bisa dilakukan pada pasien yang tidak sadar dan tidak mau bekerja sama karena

tidak memungkinkan untuk diberikan obat secara oral dan steril. 

kontra indikasi : tidak steril, obat yang tidak dapat larut dalam air, atau menimbulkan endapan

dengan protein atau butiran darah. Pada pemberian obat Subcutan (SC) 

Indikasi : bisa dilakukan pada pasien yang tidak sadar dan tidak mau bekerja sama, karena

tidak memungkinkan diberikan obat secara oral, bebas dari infeksi, lesi kulit, jaringan parut, tonjolan tulang, otot atau saras besar di bawahnya, obat dosis kecil yang larut dalam air. 

Kontra indikasi : obat yang merangsang, obat dalam dosis besar dan tidak larut dalam air

Pada pemberian obat Intracutan (IC) 

Indikasi : Bisa dilkakukan pada pasien yang tidak sadar, tidak mau bekerja sama karena

tidak memungkinkan untuk diberikan obat secara oral, tidak alergi. Lokasinya yang ideal adalah lengan bawah dalam dan pungguang bagian atas. 

Kontra Indikasi : Luka, berbulu, alergi, infeksi kulit 10

2.2 Efek Samping Obat,Interaksi Obat,cara pemberian dan penghitungan dosis,,Obat-Obatan tradisional,Toxicologi Obat A. EFEK SAMPING OBAT Menurut definisi Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO 1970) efek samping suatu obat adalah segala sesuatu khasiat yang tidak diinginkan untuk tujuan terapi yang dimaksudkan pada dosis yang dianjurkan. Pengertian efek samping adalah setiap efek yang tidak dikehendaki yang merugikan atau membahayakan pasien (adverse reactions) dari suatu pengobatan. Efek samping tidak mungkin dihindari/dihilangkan sama sekali, tetapi dapat ditekan atau dicegah seminimal mungkin dengan menghindari faktor-faktor risiko yang sebagian besar sudah diketahui. Jadi, efek samping adalah efek yang tidak diharapkan terjadi dalam suatu obat atau pengobatan.  Masalah Efek Samping Obat Beberapa contoh efek samping misalnya: 1.Reaksi alergi akut karena penisilin (reaksi imunologik), 2.Hipoglikemia berat karena pemberian insulin (efek farmakologik yang berlebihan) 3.Osteoporosis karena pengobatan kortikosteroid jangka lama (efek samping karena penggunaan jangka lama) 4.Hipertensi karena penghentian pemberian klonidin (gejala penghentian obat - withdrawal syndrome) 5.Fokomelia pada anak karena ibunya menggunakan talidomid pada masa awal kehamilan (efek teratogenik), dan sebagainya. Masalah efek samping obat dalam klinik tidak dapat dikesampingkan begitu saja oleh karena kemungkinan dampak negatif yang terjadi, misalnya: 1.Kegagalan pengobatan 2. Timbulnya keluhan penderitaan atau penyakit baru karena obat (drug-induced disease atau iatrogenic disease), yang semula tidak diderita oleh pasien 3.Pembiayaan yang harus ditanggung sehubungan dengan kegagalan terapi, memberatnya penyakit atau timbulnya penyakit yang baru tadi (dampak ekonomik). 4.Efek psikologik terhadap penderita yang akan mempengaruhi keberhasilan terapi lebih lanjut misalnya menurunnya kepatuhan berobat. Efek samping adakalanya tidak dapat dihindarkan, misalnya rasa mual pada penggunaan digoksin, ergotamin, atau estrogen dengan dosis yang melebihi dosis normal. Kadang efek samping merupakan kelanjutan efek utama sampai tingkat yang tidak diinginkan, misalnya 11

rasa kantuk pada fenobarbital, bila digunakan sebagai obat epilepsi. Bila efek samping terlalu hebat dapat dilawan dengan obat lain misalnya obat antimual (meklizine, proklorperazin) atau obat anti mengantuk (kofein, amfetamin). Tidak semua efek samping dapat dideteksi secara mudah dalam tahap awal, kecuali kalau yang terjadi adalah bentuk-bentuk yang berat, spesifik dan jelas sekali secara klinis. 

Pembagian Efek Samping Efek samping obat dapat dikelompokkan/diklasifikasi dengan berbagai cara, misalnya berdasarkan ada/tidaknya hubungan dengan dosis, berdasarkan bentuk-bentuk manifestasi efek samping yang terjadi, dan sebagainya. Namun mungkin pembagian yang paling praktis dan paling mudah diingat dalam melakukan pengobatan adalah sebagai berikut: Efek samping yang dapat diperkirakan, terbagi atas: 1.

Aksi farmakologik yang berlebihan Terjadinya efek farmakologik yang berlebihan (disebut juga efek toksik) dapat disebabkan karena dosis relatif yang terlalu besar bagi pasien yang bersangkutan. Keadaan ini dapat terjadi karena dosis yang diberikan memang besar, atau karena adanya perbedaan respons kinetik atau dinamik pada kelompok-kelompok tertentu, misalnya pada pasien dengan gangguan faal ginjal, gangguan faal jantung, perubahan sirkulasi darah, usia, genetik dsb., sehingga dosis yang diberikan dalam takaran lazim, menjadi relatif terlalu besar pada pasien-pasien tertentu. Selain itu efek ini juga bisa terjadi karena interaksi farmakokinetik maupun farmakodinamik antar obat yang diberikan bersamaan, sehingga efek obat menjadi lebih besar. Efek samping jenis ini umumnya dijumpai pada pengobatan dengan depresansia susunan saraf pusat, obat-obat pemacu jantung, antihipertensi dan hipoglikemika/antidiabetika. Beberapa contoh spesifik dari jenis efek samping ini misalnya: a. Depresi respirasi pada pasien-pasien bronkitis berat yang menerima pengobatan dengan morfin atau benzodiazepin. b. Hipotensi yang terjadi pada stroke, infark miokard atau kegagalan ginjal pada pasien yang menerima obat antihipertensi dalam dosis terlalu tinggi. c. Bradikardia pada pasien-pasien yang menerima digoksin dalam dosis terlalu tinggi. d. Palpitasi pada pasien asma karena dosis teofilin yang terlalu tinggi. e. Hipoglikemia karena dosis antidiabetika terlalu tinggi. f. Perdarahan yang terjadi pada pasien yang sedang menerima pengobatan dengan warfarin, karena secara bersamaan juga minum aspirin. Semua pasien mempunyai risiko untuk mendapatkan efek samping karena dosis yang terlalu tinggi ini, dan upaya pencegahan dapat dilakukan dengan memberikan perhatian khusus terhadap kelompok-kelompok pasien dengan risiko tinggi tadi (penurunan fungsi ginjal, penurunan fungsi hepar, bayi dan usia lanjut). Selain itu riwayat pasien dalam pengobatan yang mengarah ke kejadian efek samping juga perlu diperhatikan. 12

2.

Respons karena penghentian obat Gejala penghentian obat (=gejala putus obat, withdrawal syndrome) adalah munculnya kembali gejala penyakit semula atau reaksi pembalikan terhadap efek farmakologik obat, karena penghentian pengobatan. Contoh yang banyak dijumpai misalnya: a. Agitasi ekstrim, takikardi, rasa bingung, delirium dan konvulsi yang mungkin terjadi pada penghentian pengobatan dengan depresansia susunan saraf pusat seperti barbiturat, benzodiazepin dan alkohol. b. Krisis Addison akut yang muncul karena penghentian terapi kortikosteroid, c. Hipertensi berat dan gejala aktivitas simpatetik yang berlebihan karena penghentian terapi klonidin d. Gejala putus obat karena narkotika, Reaksi putus obat ini terjadi, karena selama pengobatan telah berlangsung adaptasi pada tingkat reseptor. Adaptasi ini menyebabkan toleransi terhadap efek farmakologik obat, sehingga umumnya pasien memerlukan dosis yang makin lama makin besar (sebagai contoh berkurangnya respons penderita epilepsi terhadap fenobarbital/fenitoin, sehingga dosis perlu diperbesar agar serangan tetap terkontrol). Reaksi putus obat dapat dikurangi dengan cara menghentikan pengobatan secara bertahap misalnya dengan penurunan dosis secara berangsur-angsur, atau dengan menggantikan dengan obat sejenis yang mempunyai aksi lebih panjang atau kurang poten, dengan gejala putus obat yang lebih ringan. 3.

Efek samping yang tidak berupa efek farmakologik utama Efek-efek samping yang berbeda dari efek farmakologik utamanya, untuk sebagian besar obat umumnya telah dapat diperkirakan berdasarkan penelitian-penelitian yang telah dilakukan secara sistematik sebelum obat mulai digunakan untuk pasien. Efek-efek ini umumnya dalam derajad ringan namun angka kejadiannya bisa cukup tinggi. Sedangkan efek samping yang lebih jarang dapat diperoleh dari laporan-laporan setelah obat dipakai dalam populasi yang lebih luas .  Efek samping yang tidak dapat diperkirakan, Terbagi atas: 1. Reaksi alergi Alergi obat atau reaksi hipersensitivitas merupakan efek samping yang sering terjadi, dan terjadi akibat reaksi imunologik. Reaksi ini tidak dapat diperkirakan sebelumnya, seringkali sama sekali tidak tergantung dosis, dan terjadi hanya pada sebagian kecil dari populasi yang menggunakan suatu obat. Reaksinya dapat bervariasi dari bentuk yang ringan seperti reaksi kulit eritema sampai yang paling berat berupa syok anafilaksi yang bisa fatal. 2.

Reaksi karena faktor genetic Pada orang-orang tertentu dengan variasi atau kelainan genetik, suatu obat mungkin dapat memberikan efek farmakologik yang berlebihan. Efek obatnya sendiri dapat diperkirakan, namun subjek yang mempunyai kelainan genetik seperti ini yang mungkin sulit 13

dikenali tanpa pemeriksaan spesifik (yang juga tidak mungkin dilakukan pada pelayanan kesehatan rutin). 3.

Reaksi idiosinkratik Istilah idiosinkratik digunakan untuk menunjukkan suatu kejadian efek samping yang tidak lazim, tidak diharapkan atau aneh, yang tidak dapat diterangkan atau diperkirakan mengapa bisa terjadi. Untungnya reaksi idiosinkratik ini relatif sangat jarang terjadi. 

Faktor-faktor Pendorong Terjadinya Efek Samping Obat Setelah melihat uraian di atas, maka kemudian dapat diidentifikasi faktor-faktor apa saja yang dapat mendorong terjadinya efek samping obat. Faktor-faktor tersebut ternyata meliputi: 1. Faktor bukan obat Faktor-faktor pendorong yang tidak berasal dari obat antara lain adalah: a.Intrinsik dari pasien, yakni umur, jenis kelamin, genetik, kecenderungan untuk alergi, penyakit, sikap dan kebiasaan hidup. b.Ekstrinsik di luar pasien, yakni dokter (pemberi obat) dan lingkungan, misalnya pencemaran oleh antibiotika.

a. b. c. d.

2. Faktor obat Intrinsik dari obat, yaitu sifat dan potensi obat untuk menimbulkan efek samping. Pemilihan obat Cara penggunaan obat Interaksi antar obat



Upaya Pencegahan dan Penanganan Efek Samping Obat Masing-masing obat mempunyai keunggulan dan kekurangan masing-masing, baik dari segi manfaat maupun kemungkinan efek sampingnya. Satu hal yang perlu diperhatikan adalah, jangan terlalu terpaku pada obat baru, di mana efek-efek samping yang jarang namun fatal kemungkinan besar belum ditemukan. Sangat bermanfaat untuk selalu mengikuti evaluasi/penelaahan mengenai manfaat dan risiko obat, dari berbagai pustaka standard maupun dari pertemuan-pertemuan ilmiah. Selain I tu penguasaan terhadap efek samping yang paling sering dijumpai atau paling dikenal dari suatu obat akan sangat bermanfaat dalam melakukan evaluasi pengobatan. 1.

Upaya pencegahan Agar kejadian efek samping dapat ditekan serendah mungkin, selalu dianjurkan untuk melakukan hal-hal berikut: a.Selalu harus ditelusur riwayat rinci mengenai pemakaian obat oleh pasien pada waktuwaktu sebelum pemeriksaan, baik obat yang diperoleh melalui resep dokter maupun dari pengobatan sendiri b. Gunakan obat hanya bila ada indikasi jelas, dan bila tidak ada alternatif non-farmakoterapi c. Hindari pengobatan dengan berbagai jenis obat dan kombinasi sekaligus

14

d. Berikan perhatian khusus terhadap dosis dan respons pengobatan pada: anak dan bayi, usia lanjut, dan pasien-pasien yang juga menderita gangguan ginjal, hepar dan jantung. Pada bayi dan anak, gejala dini efek samping seringkali sulit dideteksi karena kurangnya kemampuan komunikasi, misalnya untuk gangguan pendengaran e.Perlu ditelaah terus apakah pengobatan harus diteruskan, dan segera hentikan obat bila dirasa tidak perlu lagi f. Bila dalam pengobatan ditemukan keluhan atau gejala penyakit baru, atau penyakitnya memberat, selalu ditelaah lebih dahulu, apakah perubahan tersebut karena perjalanan penyakit, komplikasi, kondisi pasien memburuk, atau justru karena efek samping obat 2.

Penanganan efek samping Dengan melihat jenis efek samping yang timbul serta kemungkinan mekanisme terjadinya, pedoman sederhana dapat direncanakan sendiri, misalnya seperti berikut ini: a. Segera hentikan semua obat bila diketahui atau dicurigai terjadi efek samping. Telaah bentuk dan kemungkinan mekanismenya. Bila efek samping dicurigai sebagai akibat efek farmakologi yang terlalu besar, maka setelah gejala menghilang dan kondisi pasien pulih pengobatan dapat dimulai lagi secara hati-hati, dimulai dengan dosis kecil. Bila efek samping dicurigai sebagai reaksi alergi atau idiosinkratik, obat harus diganti dan obat semula sama sekali tidak boleh dipakai lagi. Biasanya reaksi alergi/idiosinkratik akan lebih berat dan fatal pada kontak berikutnya terhadap obat penyebab. Bila sebelumnya digunakan berbagai jenis obat, dan belum pasti obat yang mana penyebabnya, maka pengobatan dimulai lagi secara satu-persatu. b. Upaya penanganan klinik tergantung bentuk efek samping dan kondisi penderita. Pada bentuk-bentuk efek samping tertentu diperlukan penanganan dan pengobatan yang spesifik. Misalnya untuk syok anafilaksi diperlukan pemberian adrenalin dan obat serta tindakan lain untuk mengatasi syok. Contoh lain misalnya pada keadaan alergi, diperlukan penghentian obat yang dicurigai, pemberian antihistamin atau kortikosteroid (bila diperlukan), dan lain-lain. B.

INTERAKSI OBAT

Interaksi obat terjadi jika efek suatu obat (index drug) berubah akibat adanya obat lain (precipitant drug), makanan, atau minuman. Interaksi obat dapat menghasilkan efek yang memang dikehendaki (Desirable Drug Interaction), atau efek yang tidak dikehendaki (Undesirable/Adverse Drug Interactions = ADIs) yang lazimnya menyebabkan efek samping obat dan/atau toksisitas karena meningkatnya kadar obat di dalam plasma, atau sebaliknya menurunnya kadar obat dalam plasma yang menyebabkan hasil terapi menjadi tidak optimal. Sejumlah besar obat baru yang dilepas di pasaran setiap tahunnya menyebabkan munculnya interaksi baru antar obat akan semakin sering terjadi. 15

Mekanisme terjadinya interaksi-obat Mekanisme interaksi obat dapat melalui beberapa cara, 1.Interaksi farmasetik: Interaksi farmasetik atau disebut juga inkompatibilitas farmasetik bersifat langsung dan dapat secara fisik atau kimiawi, misalnya terjadinya presipitasi, perubahan warna, tidak terdeteksi (invisible), yang selanjutnya menyebabkan obat menjadi tidak aktif. Contoh: interaksi karbcnisilin dengan gentamisin terjadi inaktivasi; fenitoin dengan larutan dextrosa 5% terjadi presipitasi; amfoterisin B dengan larutan NaCl fisiologik, terjadi presipitasi. 2.Interaksi farmakokinetik: Interaksi dalam proses farmakokinetik, yaitu absorpsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi (ADME) dapat meningkatkan ataupun menurunkan kadar plasma obat.6 Interaksi obat secara farmakokinetik yang terjadi pada suatu obat tidak dapat diekstrapolasikan (tidak berlaku) untuk obat lainnya meskipun masih dalam satu kelas terapi, disebabkan karena adanya perbedaan sifat fisikokimia, yang menghasilkan sifat farmakokinetik yang berbeda. Contohnya, interaksi farmakokinetik oleh simetidin tidak dimiliki oleh H2-bloker lainnya; interaksi oleh terfenadin, aztemizole tidak dimiliki oleh antihistamin non-sedatif lainnya. 3. Inter aksi farmakodinamik: Interaksi farmakodinamik adalah interaksi antara obat yang bekerja pada sistem reseptor, tempat kerja atau sistem fisiologik yang sama sehingga terjadi efek yang aditif, sinergistik, atau antagonistik, tanpa ada perubahan kadar plasma ataupun profil farmakokinetik lainnya. Interaksi farmakodinamik umumnya dapat diekstrapolasikan ke obat lain yang segolongan dengan obat yang berinteraksi, karena klasifikasi obat adalah berdasarkan efek farmakodinamiknya. Selain itu, umumnya kejadian interaksi farmakodinamik dapat diramalkan sehingga dapat dihindari sebelumnya jika diketahui mekanisme kerja obat.6' Contoh interaksi obat pada reseptor yang bersifat antagonistik misalnya: interaksi antara Pbloker dengan agonis-p2 pada penderita asma; interaksi antara penghambat reseptor dopamin (haloperidol, metoclo-pramid) dengan levodopa pada pasien parkinson. Beberapa contoh interaksi obat secara fisiologik serta dampaknya antara lain sebagai berikut: interaksi antara aminogliko-sida dengan furosemid akan meningkatkan risiko ototoksik dan nefrotoksik dari aminoglikosida; Pbloker dengan verapamil menimbulkan gagal jantung, blok AV, dan bradikardi berat; benzodiazepin dengan etanol meningkatkan

16

C. CARA PEMBERIAN OBAT DAN PERHITUNGAN DOSIS OBAT Cara Pemberian Obat 

Oral ; - paling cocok untuk obat yang diberikan sendiri - obat harus tahan terhadap lingkungan asam dlm menembus lapisan usus sebelum memasuki aliran darah.

lambung dan harus



Sublingual; - obat ditarok dibawah lidah (bila perlu dikunyah halus dulu). - absorpsinya baik melalui selaput lendir setempat kedalam vena lidah yg sgt banyak di lokasi ini. - obat langsung masuk ke peredaran darah tanpa melalui hati - cara ini dipakai bila efek yg pesat dan lengkap diinginkan misal: pd serangan angina, asma atau migrain - obat mudah diberikan sendiri - krn tidak melalui lambung, sifat kelabilan dlm asam dan permeabilitas usus tdk perlu dikhawatirkan - hanya obat yg bersifat lipofil saja yg dapat diberikan dgn cara ini - kurang praktis digunakan terus menerus krn dpt merangsang mukosa mulut.  Rektal - adalah pemberian obat melalui rektum (dubur) - cocok untuk obat yg merangsang atau diuraikan oleh asam lambung - biasanya sediaan dalam bentuk supposittoria - untuk pasien yang tidak sadar/ muntah2x/ yang terlampau sakit untuk menelan, ada kalanya untuk efek lokal yang cepat, misalnya laksan, wasir. - banyak obat tdk diabsorpsi lengkap di rektum, misal tetrasiklin, kloramfenikol dan sulfonamida (hanya 20%), maka sebaiknya diberikan dosis yg melebihi dosis oral dan digubakan pd rektum kosong. - kekurangannya: dapat menimbulkan peradangan bila digunakan terus menerus.  Injeksi -Pemberian scr parenteral (berarti; diluar usus) biasanya dipilih bila diinginkan cepat, kuat -Untuk obat yg merangsang atau dirusak getah lambung atau tdk diabsorpsi usus -Untuk pasien yg tidak sadar atau tidak mau bekerja sama. -Kekurangannya: mahal, nyeri dan sukar digunakan sendiri, bahaya terkena infeksi kuman (hrs steril), dan bahaya merusak pembuluh atau syaraf jika tidak tepat dlm memilih tempat suntikan Ada 4 jenis injeksi; 17

-Subcutan (hipodermal); Obat disuntikkan dibawah kulit dan menembus dinding kapiler u memasuki aliran darah. Cocok untuk obat yg melarut baik dalam air atau minyak. Efeknya tidak secepat i.v atau i.m. Mudah dilakukan sendiri contoh; insulin pada pasien diabetes. -Intramuskular (IM): yaitu injeksi di dalam otot, obat yg terlarut bekerja dalam waktu 10-30 menit, obat masuk melalui dinding kapiler, kecepatan absorpsinya bergantung pada formulasi obat preparat yang larut dalam minyak diabsorpsi dg lambat, sdgkan preparat yg larut dalam air diabsorpsi dengan cepat -Intravena (IV): obat disuntikkan langsung ke dalam darah, menghasilkan efek yg tercepat: dalam waktu 18 detik yaitu waktu satu peredaran darah, obat sudah tersebar ke seluruh jaringan, tetapi lama kerja obat biasanya singkat, berguna pd situasi darurat. Tidak untuk obat yang tdk larut dlm air atau yg menimbulkan endapan dgn protein atau butiran darah. -Implantasi subkutan memasukkan obat yang berbentuk pellet steril (tablet silindris kecil) ke bawah kulit, dengan tujuan efek sistemis lama, contoh obat antihamil. Penghitungan Dosis Obat  Perhitungan Dosis Berdasarkan Umur • Tidak akurat karena tdk mempertimbangkan sangat beragamnya bobot dan ukuran anak2 dlm satu kelompok usia • Obat bebas untuk pediatrik : dosis dikelompokkan atas usia, spt : 2-6thn; 6-12thn; diatas 12thn. Bila kurang dari 2thn, dinyatakan dg : atas pertimbangan dokter • Persamaan yg digunakan : Rumus Young (anak dibawah 8 tahun) Rumus Dilling (anak diatas 8 tahun) Rumus Cowling Rumus Fried (khusus untuk bayi)  Berdasarkan Bobot • Dosis lazim obat umumnya dianggap sesuai untuk individu berbobot 70kg (154pon) • Rasio antara jumlah obat yg diberikan dan ukuran tubuh mempengaruhi konsentrasi obat di tempat kerjanya • Oleh karena itu, dosis obat mungkin perlu disesuaikan dari dosis lazim untuk pasien kurus atau gemuk yg tidak normal • Persamaan : Rumus Clark (AS) Rumus Thremick-Fier (Jerman) Rumus Black (Belanda)

18

 Berdasarkan Luas Permukaan Tubuh • Disebut jg dg rumus BSA (Body Surface Area) • Paling akurat karena mempertimbangkan tinggi dan bobot pasien dg menggunakan rumus Du Bois dan Du Bois • Terutama digunakan untuk : Pasien kanker yg menerima kemoterapi Pasien pediatrik pada semua usia anak2, kecuali bayi prematur dan bayi normal yg fungsi hati dan ginjalnya blm sempurna shg memerlukan penilaian tambahan dlm pengaturan dosis D. OBAT-OBATAN TRADISIONAL Pengertian obat tradisional Obat tradisional sejak zaman dahulu memainkan peran penting dalam menjaga kesehatan, mempertahankan stamina dan mengobati penyakit. Oleh karena itu obat tradisional masih berakar kuat dalam kehidupan masyarakat hingga saat ini (Soedibyo, 1998). Menurut Undang-Undang RI No. 23 (1992) obat tradisional didefinisikan sebagai bahan atau ramuan bahan yang berupa bahan tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan sarian (galenik) atau campuran dari bahan tersebut yang secara turun-temurun telah digunakan untuk pengobatan berdasarkan pengalaman. Berdasarkan penggunaan dan pengakuan obat tradisional pada sistem pelayanan kesehatan, menurut WHO ada 3 sistem yang dianut oleh negara-negara di dunia, yaitu: a. Sistem integratif. Secara resmi obat tradisional diakui dan telah diintegrasikan dalam sistem pelayanan kesehatan nasional. Ini berarti obat tradisional telah menjadi komponen dari kebijakan obat nasional, ada sistem registrasi produk dan regulasi. Obat tradisional digunakan di rumah sakit dan sistem asuransi kesehatan, ada penelitian dan pengembangan serta pendidikan tentang obat tradisional. Negara yang menganut sistem integratif ini antara lain ialah RRC, Korea Utara dan Vietnam. b. Sistem inklusif. Mengakui obat tradisional tetapi belum mengintegrasikan pada sistem pelayanan kesehatan. Sistem inklusif ini dianut oleh negara sedang berkembang seperti Nigeria dan Mali maupun negara maju seperti Kanada dan Inggris. Dewasa ini Indonesia juga tergolong negara yang menganut sistem inklusif karena penggunaan obat tradisional belum diintegrasikan dalam sistem pelayanan kesehatan nasional. Demikian pula sistem asuransi kesehatan di Indonesia menolak klaim penggunaan obat tradisional. c. Sistem toleran. Sistem pelayanan kesehatan berbasis kedokteran modern tetapi penggunaan beberapa obat tradisional tidak dilarang oleh undang-undang. 

Penggunaan obatan tradisional

Dalam penggunaan obat tradisional juga memiliki aturan-aturan yang harus diperhatikan agar terhindar dari bahaya toksik, baik dalam pembuatannya maupun penggunaannya, yaitu sebagai berikut 19

a. Ketepatan bahan. c. Ketepatan waktu penggunaan. e. Ketepatan cara penggunaan.

b. Ketepatan dosis. d. Ketepatan telaah Informasi. f Keamanan obat tradisional.

E.TOXICOLOGI OBAT Bagian toksikologi ini mencakup : Uji obat yang potensial terhadap toksisitas atau keamanannya dalam fase praklinik Pada pengujian praklinik, senyawa yang diuji mula – mula disaring secara farmakologi (to screen= menyaring ), yakni sejumlah percobaan pada hewan untuk memperoleh suatu profil kerja suatu obat secra spesifik. Pada pengujian ini khususnya meneliti tentang : 1. Ditentukan kerja utamanya serta spektrum kerja kualitatif dan kuantitatif. 2. Dijelaskan tempat kerja dan mekanisme kerja. 3. Ditentukan pengaruh berbagai fungsi organ dan juga kespesifikasian dan keselektifan organ. 4. Diuji apakah dapat diterima tubuh secara lokal dan umum. 5. Diamati efek samping toksik. Efek samping ( yang tak diingini ) dari obat, kombinasi obat dan kosmetik pada penggunaan sesuai petunjuk serta.  Keracunan Akut dan Kronis pada penggunaan obat berlebih. Efek akut dapat menimbulkan akibat berapa kerusakan syaraf,kerusakan sistem pencernaan,kerusakan sistem kardiovaskuler,kerusakan sistem pernapasan,kerusakan pada kulit, dan kematian. Sementara itu, efek kronis dapat menimbulkan efek karsinogenik (pendorong terjadinya kanker)efek mutagenik (pendorong mutasi sel tubuh),efek teratogenik (pendorong terjadinya cacat bawaan) dan kerusakan sistem reproduksi. Faktor-faktor yang mempengaruhi reaksi toksis yaitu : 1. 2. 3. 4. 5.

Sifat fisiko kimia bahan Dosis, cara dan kecepatan penambahan Kecepatan absorbsi,distribusi,biotransformasi dan ekskresi bahan Spesies yang diberikan Berbagai variabel lain yang mempengaruhi reaksi sistem biologis rute masuknya racun  Melalui saluran cerna (ingestion)  Melalui saluran nafas/paru (inhalation)  Melalui kulit (tropikal)  Parental (IM,IV,SC,IP)

20

Tempat kerja bahan toksis : 1. Lokal,kulit,mukosa saluran nafas,mukosa saluran cerna 2. Sistemik : sirkulasi => sel/jaringan

Toksikologi dapat didefinisikan sebagai kajian tentang halukat dan mekanisme efek berbahaya (efek toksik) berbagai bahan kimia terhadap makhluk hidup dan sistem biologi lainnya. Apabila zat kimia dikatakan beracun (toksik), maka kebanyakan diartikan sebagai zat yang berpotensial memberikan efek berbahaya terhadap mekanisme biologi tertentu pada suatu organisme. Sifat toksik dari suatu senyawa tertentu oleh : dosis, konsentrasi racun di reseptor “tempat kerja”, sifat zat tersebut, kondisi bioorganisme atau sistem bioorganisme, paparan terhadap organisme dan bentuk efek yang ditimbulkan. Sedangkan toksisitas merupakan sifat relatif dari suatu zat kimia, dalam kemampuannya menimbulkan efek berbahaya atau penyimpanan mekanisme biologi pada suatu organisme.

Berdasarkan atas waktu terjadinya reaksi toksis dibagi atas: 1. Reaksi toksis akut Apabila gejala yang membahayakan individu terjadi segera setelah pemberian bahan (24 jam atau kurang ) 2. Reaksi toksik kronis Terjadi karena pemberian berulang suatu dahan dimana pemasukan melebihi kecepatan eliminasi - Bisa terjasi pada pemberian obat dengan waktu paruh panjang / beberapa hari / minggu – atau bulan - Bisa juga terjadi pada pemberian bahn secara terus menerus walaupun ekskresinya cepat Setiap pemerian bahan  kerusakan ringanKERACUNAN KRONIS

21

BAB III PENUTUP

3.1 KESIMPULAN Obat dapat diberikan dengan berbagai cara disesuaikan dengan kondisi pasien, diantaranya : sub kutan, intra kutan, intra muscular, dan intra vena. Dalam pemberian obat ada hal-hal yang perlu diperhatikan, yaitu indikasi dan kontra indikasi pemberian obat. Sebab ada jenis-jensi obat tertentu yang tidak bereaksi jika diberikan dengan cara yang salah.

3.2 SARAN Setiap obat merupakan racun yang yang dapat memberikan efek samping yang tidak baik jika kita salah menggunakannya. Hal ini tentunya dapat menimbulkan kerugian bahkan akibatnya bisa fatal. Oleh karena itu, kita sebagai perawat kiranya harus melaksanakan tugas kita dengan sebaik-baiknya tanpa menimbulkan masalah-masalah yang dapat merugikan diri kita sendiri maupun orang lain.

22

DAFTAR PUSTAKA -Anief M, 2007, Apa yang Diketahui tentang Obat. Yogyakarta: GADJAH MADA UNIVERSITY PRESS. -Dwi, F.Y. 2010. Efek samping obat. Jakarta: Hilal Ahmar. -Ikawati, Z. 2010. Cerdas mengenali obat. Yogyakarta: Kanisius -Ganiswara, S.G., Setiabudi, R., Suyatna, F.D., Purwantyastuti, Nafrialdi (Editor).1995. Farmakologi dan Terapi. Edisi 4.. Bagian Farmakologi FK UI: Jakarta -Katzung.1989.Farmakologi Dasar dan Klinik Edisi 3.EGC: Jakarta -Lamid, Sofyan. Farmakologi Umum I. EGC: Jakarta -Mycek.2001.Farmakologi Ulasan Bergambar.Widya Medika : Jakarta

23

Related Documents


More Documents from "Selvi Agustin"