Makalah Aik (pernikahan).docx

  • Uploaded by: Acandra22
  • 0
  • 0
  • December 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Makalah Aik (pernikahan).docx as PDF for free.

More details

  • Words: 3,793
  • Pages: 17
BAB I

PENDAHULUAN A. Latar Belakan Manusia sebagai makhluk sosial tidak bisa terlepas dari ketergantungan dengan orang lain.Manusia memiliki naluri untuk hidup bersama dan melestarikan keturunannya .ini diwujudkan dengan pernikahan. Sebagaimana kebutuhan lain nya dalam kehidupan ini, kebutuhan biologis sebenarnya juga harus dipenuhi. Agama islam juga telah menetapkan bahwa stu-satunya jalan untuk memenuhi kebutuhan biologis manusia adalah hanya dengan pernikahan. Pernikahan yang menjadi anjuran Allah dan Rasull-Nya ini merupakan akad yang sangat kuat untuk mentaati perintahAllah dan melaksanakannya merupakan ibadah. Pernikahan yang telah diatur sedemikian rupa dalam agama dan Undangundang ini memiliki tujuan dan hikmah yang sangat besar bagi manusia sendiri. Tak lepas dari aturan yang diturunkan oleh Allah, pernikahan memiliki berbagai macam hukum dilihat dari kondisi orang yang akan melaksanakan pernikahan. Dalam makalah ini akan menjelaskan pengertian pernikahan, tujuan dan hikmah pernikahan, hukum pernikahan, syarat-syarat pernikahan, serta hal-hal yang dilarang dalam pernikahan.

B. Rumusan masalah 1. Apa yang dimaksud dengan pernikahan? 2. Apa sajakah tujuan dan hikmah dari pernikahan? 3. Jelaskan hukum dalam pernikahan? 4. Apa sajakah syarat-syarat dalam pernikahan? 5. Jelaskan hal-hal yang dilarang dalam pernikahan? 6. Apasajakah kewajiban suami terhadap isteri, isteri terhadap suami dan orang tua terhadap anak? 7. Sebutkan sebab-sebab putusnya pernikahan? 8. Sebutkan dan jelaskan apa yang di maksud dengan rujuk dan syarat rujuk?

1

C. Tujuan 1. Untuk mengetahui maksud dari pernikahan 2. Untuk mengetahui tujuan dan hikmah dalam perrnikahan 3. Untuk mengetahui hukum dari pernikahan 4. Untuk mengetahui apa saja syarat- syarat dalam pernikahan 5. Untuk mengetahui hal-hal yang dilarang dalam pernikahan 6. Untuk mengetahui kewajiban suami terhadap isteri, isteri terhadap suami dan orang tua kepada anak 7. Untuk mengetahui sebab-sebab putusnya pernikahan 8. Untuk mengetahui maksud dari rujuk dan syarat-syarat rujuk

2

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Nikah Perkataan nikah berasal dari bahasa arab ‫ نكا ًحا – ينكح – نكح‬yang berarti berkumpul atau bersetubuh. Kata ini dalam bahasa Indonesia sering disebut juga dengan perkataan kawin atau perkawinan. Kata kawin adalah terjemahan kata nikah dalam bahasa Indonesia. Kata menikahi berarti mengawini dan menikahkan sama dengan kata mengawinkan yang berarti menjadikan bersuami. Dengan demikian istilah pernikahan mempunyai arti yang sama dengan kata perkawinan. Perkataan nikah dan kawin keduanya sama terkenal dikalangan masyarakat Indonesia. Dalam Fiqih Islam perkataan yang sering dipakai adalah nikah atau ziwaj yang juga banyak terdapat dalam dalam Al Quran, kedua kata tersebut mempunyai persamaan yaitu sama-sama berarti berkumpul. Pengertian nikah atau ziwaj secara bahasa syariah mempunyai pengertian secara hakiki dan pengertian secara majasi. Pengertian nikah atau ziwaj secara hakiki adalah bersenggama (wathi’) sedang pengertian majsinya adalah akad, kedua pengertian tersebut diperselisihkan oleh kalangan ulama’ fiqih karena hal tersebut berimplikasi pada penetapan hukum peristiwa yang lain, misalnya tentang anak hasil perzinaan namun pengertian yang lebih umum dipergunakan adalah pengertian bahasa secara majasi, yaitu akad. Al-Qadhli Husain mengatakan bahwa arti tersebut adalah yang paling shahih. Ada yang mengatakan bahwa pengertian bahasa dari kata nikah dan ziwaj adalah musytarak (mengandung dua makna) antara wathi’ dan akad dan keduanya merupakan makna hakiki. Pengertian nikah atau perkawinan secara fiqhiyah atau istilah syar’iyyah terdapat bermacam-macam pandangan. 1. Hasby Ash-Shiddiqie memberikan pengertian, bahwa perkawinan adalah melakukan akad antara laki-laki dengan perempuan atas kerelaan dan kesukaan kedua belah pihak oleh seorang wali dari pihak perempuan menurut sifat yang ditetapkan syara’ untuk menghalalkan cara percampuran antara keduanya dan untuk menjadikan yang seorang condong kepada seorang lagi dan menjadikan masing-masing daripadanya sekutu (teman hidup) bagi yang lain. 2. Menurut Idris Ramulya, perkawinan menurut islam adalah suatu perjanjian suci yang kuat dan kokoh untuk hidup bersama secara sah antara seorang

3

laki-laki dengan seorang perempuan membentuk keluarga yang kekal, santun menyantuni, kasih mengasihi, aman, tentram, bahagia dan kekal. 3. Prof. Subekti, SH. Memberikan pengertian perkawinan sebagai pertalian yang sah antara seorang lelaki dan seorang perempuan untuk waktu yang lama. Pemberian pengertian dari para pakar (ulama’) terhadap nikah atau perkawinan diatas berbeda-beda, namun yang disepakati adalah bahwa perkawinan atau nikah adalah akad yang menghalalkan hubungan antara seorang laki-laki dan perempuan. Kebanyakan para ulama’ salaf (periode awal) memberikan pengertian nikah dengan makna sekitar pemberian hak milik mut’ah (menikmati wanita) dan menjadikan halal bagi si laki-laki untuk menikmatinya. Ini terlihat dari definisi nikah yang pertama dan kedua, namun menurut syari’ah islam maksud dan tujuan esensial dari pernikahan bukan sekedar itu, tetapi yang lebih utama adalah menyambung nasab dan menjaga naluri kemanusiaan, kedua belah pihak mendapatkan pemenuhan kebutuhan psikologis dan biologis yang merupakan karunia Allah kepada manusia. Dalam undang-undang perkawinan No 1 tahun 1974, pengertian perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan yang Maha Esa. Pengertian ini menjelaskan bahwa perkawinan tidaklah semata sebagai ikatan lahir saja atau ikatan batin saja, akan tetapi mencakup keduanya. Pengertian tersebut sudah merupakan arti dan tujuan perkawinan. Arti perkawinan adalah ikatan lahir dan batin antara pria dan wanita sebagai suami istri, sedang tujuannya adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan yang Maha Esa. Ikatan lahir berarti ikatan formil, yakni hubungan hokum antara pria dan wanita sebagai suami istri, dan ikatan batin merupakan ikatan non-formil yang tidak dapat dilihat, namun sangat mempengaruhi terbentuknya keluarga bahagia, tentram dan kekal yang berarti seumur hidup dan tidak boleh diputuskan begitu saja.

B. Tujuan dan Hikmah Pernikahan 1. Tujuan Pernikahan Kompilasi Hukum Islam merumuskan bahwa tujuan pernikahan adalah untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah,mawaddah, dan warahmah yaitu: rumah tangga yang tentram, penuh kasih saying, serta bahagia lahir dan batin.

4

Rumusan ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam QS. Ar-Ruum(30) ayat 21 yang artinya: “Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia yang menciptakan untukmu istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadany, dan jadikan-Nya diantaramu rasa dan kasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” Tujuan pernikahan tidak hanya terbatas pada hal-hal yang bersifat biologis yang menghalalkan hubungan seksual antara kedua belah pihak, tetapi lebih luas, meliputi segala aspek kehidupan rumah tangga, baik lahiriah maupun batiniah. Sesungguhnya pernikahan itu ikatan yang mulia dan penuh barakah. Allah SWT mensyari’atkan untuk keselamatan hambanya dan kemanfaatan bagi manusia, agar tercapai maksud-maksud yang baik dan tujuan-tujuan yang mulia. Dan yang terpenting dari tujuan pernikahan ada 2 yaitiu : 1. Mendapatkan keturunan atau anak Dianjurkan dalam pernikahan tujuan pertamanya adalah untuk mendapatkan keturunan yang shaleh, yang menyembah pada Allah dan mendo’akan pada orang tuanya. Jadi inilah salah satu dari tujuan pernikahan. 2. menjaga diri dari yang haram Tidak diragukan lagi bahwa yang terpenting dari tujuan nikah adalah memelihara dari perbuatan zina dan semua perbuatan-perbuatan keji, serta tidak semata-mata memenuhi syahwat saja. Memang bahwa memenuhi syahwat itu merupakan sebab untuk bias menjaga diri, akan tetapi tidaklah terwujud iffah (penjagaan) itu kecuali dengan tujuan dan niat. Maka tidak benar memisahkan dua perkara yang satu dengan lainnya,karena manusia bila mengarahkan semua keinginannya untuk memenuhi keinginannya untuk memenuhi syahwatnya denagn menyadarkan pada pemuasan nafsu atau jima’ yang berulang-ulang dan tidak ada niat memelihara diri dari zina.Oleh karena itu, maka harus ada bagi laki-laki dan perempuan tujuan mulia dari perbuatan bersenangsenang yang mereka lakukan itu, yaitu tujuannya memenuhi syahwat denagn cara yang halal agar hajat mereka terpenuhi, dapat memelihara diri, dan berpaling dari yang haram. 2. Hikmah Pernikahan Sejalan dengan tujuannya, perkawinan memiliki sejumlah hikmah bagi orang yang melakukannya. Dalam ensiklopedi Tematis Dunia Islam, serta menurut Sayid Sabiq, ulama fikih kontemporer dalam bukunya Fiqh as-Sunnah, mengemukakan sebagai berikut:

5

A. Dapat menyalurkan naluri seksual dengan cara sah dan terpuji. Bagi manusia naluri tersebut sangat kuat dank eras serta menuntut adanya penyaluran yang baik. Jika tidak, dapat mengakibatkan kegoncangan dalam kehidupannya. Dengan perkawinan, kehidupan manusia menjadi segar dan tentram serta terpelihara dari perbuatan keji dan rendah B. Memelihara dan memperbanyak keturunan dengan terhormat, sehingga dapat menjaga kelestarian hidup umat manusia. C. Naluri keibuan dan kebapakan akan saling melengkapi dalam kehidupan rumah tangga bersama anak-anak D. Melahirkan organisasi dengan pembagian tugas/tanggung jawab tertentu,serta melatih kemampuan bekerjasama E. Terbentuknya tali kekeluargaan dan silaturrahmi antar keluarga

C. Hukum Dalam Pernikahan Berdasarkan syariat islam dan tuntunan cara pernikahan yang benar maka hukum pernikahan dapat digolongkan dalam lima kategori yaitu wajib, sunnah, haram, makruh dan mubah. Hukum pernikahan tersebut dikategorikan berdasarkan keadaan dan kemampuan seseorang untuk menikah. Sebagaimana dijabarkan dalam penjelasan berikut ini 1. Wajib Pernikahan dapat menjadi wajib hukumnya jika seseorang memiliki kemampuan untuk membangun rumah tangga atau menikah serta ia tidak dapat menahan dirinya dari hal-hal yang dapat menjuruskannya pada perbuatan zina. Orang tersebut wajib hukumnya untuk melaksanakan pernikahan karena dikhawatirkan jika tidak menikah ia bisa melakukan perbuatan zina yang dilarang dalam islam (baca zina dalam islam). Hal ini sesuai dengan kaidah yang menyebutkan bahwa: “Apabila suatu perbuatan bergantung pada sesuatu yang lain, maka sesuatu yang lain itu pun wajib” 2. Sunnah Berdasarkan pendapat para ulama, pernikahan hukumnya sunnah jika seseorang memiliki kemampuan untuk menikah atau sudah siap untuk membangun rumah tangga akan tetapi ia dapat menahan dirinya dari sesuatu yang mampu menjerumuskannya dalam perbuatan zina.dengan kata lain, seseorang hukumnya sunnah untuk menikah jika ia tidak dikhawatirkan melakukan perbuatan zina jika ia tidak menikah. Meskipun demikian, agama islam selalu menganjurkan umatnya untuk menikah jika

6

sudah memiliki kemampuan dan melakukan pernikahan sebagai salah satu bentuk ibadah. 3. Haram Pernikahan dapat menjadi haram hukumnya jika dilaksanakan oleh orang yang tidak memiliki kemampuan atau tanggung jawab untuk memulai suatu kehidupan rumah tangga dan jika menikah ia dikhawatirkan akan menelantarkan istrinya. Selain itu, pernikahan dengan maksud untuk menganiaya atau menyakiti seseorang juga haram hukumnya dalam islam atau bertujuan untuk menghalangi seseorang agar tidak menikah dengan orang lain namun ia kemudian menelantarkan atau tidak mengurus pasangannya tersebut, adapun mahram atau wanita yang haram dinikahi sebagai berikut: 1. Mahram karena nasab Golongan wanita yang haram dinikahi dalam islam adalah wanita yang terikat dengan hubungan nasab atau keturunan. Berdasarkan surat An Nisa ayat 23 maka wanita yang tidak boleh dinikahi berdasarkan nasab meliputi      



Ibu, nenek dan seterusnya ke atas baik dari jalur laki-laki maupun wanita Anak perempuan (putri), cucu perempuan dan seterusnya ke bawah baik dari jalur laki-laki maupun wanita Saudara perempuan sekandung, seayah atau seibu Saudara perempuan bapak (bibi), saudara perempuan kakek (bibi orang tua) dan seterusnya ke atas baik sekandung, seayah atau seibu Saudara perempuan ibu (bibi), saudara perempuan nenek (bibi orang tua) dan seterusnya ke atas baik sekandung, seayah atau seibu Putri saudara perempuan (keponakan) sekandung, seayah atau seibu, cucu perempuannya dan seterusnya ke bawah baik dari jalur laki-laki maupun wanita Putri saudara laki-laki sekandung, seayah atau seibu (keponakan), cucu perempuannya dan seterusnya ke bawah baik dari jalur laki-laki maupun wanita Dan pihak laki-laki yang tidak boleh menikahi wanita tersebut adalah diantaranya:

     

Ayah kandung, Kakek dari jalur ayah maupun dari jalur ibu dan seterusnya keatas (kalau ada buyut), Saudara kandung laki-laki, Anak kandung, cucu dan seterusnya kebawah (kalau ada cicit), Saudara laki-laki kandung ayah (yaitu paman dari jalur ayah), Saudara laki-laki kandung ibu (paman dari jalur ibu),

7

   

Saudara laki-laki kandung kakek, Saudara kandung laki-laki nenek, Anak laki-laki dari saudara kandung laki-laki/perempuan (yaitu keponakan laki-laki), Cucu saudara kandung dan seterusnya kebawah. 2. Mahram karena pernikahan Golongan wanita kedua yang tidak boleh dinikahi adalah golongan wanita atau mahram atas dasar hubungan pernikahan dan sifatnya sementara yang berarti jika hubungan pernikahan tersebut berakhir perceraian, sifat mahramnya pun bisa berubah. Berdasarkan surat An Nisa ayat 23 golongan wanita ini termasuk

   

Istri bapak (ibu tiri), istri kakek dan seterusnya ke atas Istri anak, istri cucu atau menantu dan seterusnya ke bawah Ibu mertua, ibunya dan seterusnya ke atas Anak perempuan istri dari suami lain (rabibah) , cucu perempuan istri baik dari keturunan rabibah maupun dari keturunan rabib, dan seterusnya ke bawah maka pihak pria yang tidak boleh menikahinya termasuk

     

Ayah suami (mertua), Kakek dari suami, Anak laki-laki dari suami (anak tiri), Suami dari anak (menantu), Suami ibu (ayah tiri), Suami nenek (kakek tiri). 3.Mahram karena persusuan Golongan wanita ketiga yang haram dinikahi adalah wanita yang menyususi seseorang dan akibatnya menimbulkan hukum bahwa suami, anak dan saudara lelaki tersebut haram menikahi anak tersebut jika anak tersebut perempuan, dan jika anak tersebut laki-laki maka ia haram menikahi wanita yang menyusuinya serta semua yang terikat nasab dengan wanita yang menyusuinya. Hal ini juga disebutkan dalam surat An Nisa ayat 23 yakni “Dan (diharamkan atas kalian) ibu-ibu kalian yang telah menyusukan kalian dan saudara-saudara perempuan kalian dari penyusuan.”. Adapun ketentuan menyusui adalah sebagai berikut:



Menyusui sebelum anak berusia dua tahun َ‫ضا َعة‬ ِ ‫ض ْعنَ أ َ ْو ََلدَه َُّن َح ْولَي ِْن ك‬ َّ ‫َاملَي ِْن ۖ ِل َم ْن أ َ َرادَ أ َ ْن يُتِ َّم‬ َ ‫الر‬ ِ ‫َو ْال َوا ِلدَاتُ ي ُْر‬

8

“Para ibu hendaklah menyusukan anaknya selama 2 tahun penuh bagi siapa yang hendak menyempurnakan penyusuannya.” (Al-Baqarah 233) 

Tidak dikarenakan kelaparan Dan Hadits ‘Aisyah radhiallahu ‘anha muttafaqun ‘alaihi bahwa rasul bersabda “bahwa tidak mengharamkan suatu penyusuan kecuali yang membelah (mengisi) usus dan berlangsung sebelum penyapihan.”



Menyusui lebih dari lima kali Selain itu, hal yang perlu diperhatikan adalah seorang wanita boleh menyusui seorang anak dan dianggap sebagai mahram jika menyusuinya lebih dari lima kali. Penyusuan tersebut haruslah membuat sang anak kenyang, dan tidak mau lagi disusui.

D. Makruh Pernikahan maksruh hukumnya jika dilaksanakan oleh orang yang memiliki cukup kemampuan atau tanggung jawab untuk berumahtangga serta ia dapat menahan dirinya dari perbuatan zina sehingga jika tidak menikah ia tidak akan tergelincir dalam perbuatan zina. Pernikahan hukumnya makruh karena meskipun ia memiliki keinginan untuk menikah tetapi tidak memiliki keinginan atau tekad yang kuat untuk memenuhi kewajiban suami terhadap istri maupun kewajiban istri terhadap suami. E. Mubah Suatu pernikahan hukumnya mubah atau boleh dilaksanakan jika seseorang memiliki kemampuan untuk menikah namun ia dapat tergelincir dalam perbuatan zina jika tidak melakukannnya. Pernikahan bersifat mubah jika ia menikah hanya untuk memenuhi syahwatnya saja dan bukan bertujuan untuk membina rumah tangga sesuai syariat islam namun ia juga tidak dikhwatirkan akan menelantarkan istrinya.

D. Syarat-syarat Pernikahan Syarat bakal suami   

Islam Lelaki yang tertentu Bukan lelaki mahram dengan bakal isteri

9

    

Mengetahui wali yang sebenar bagi akad nikah tersebut Bukan dalam ihram haji atau umrah Dengan kerelaan sendiri dan bukan paksaan Tidak mempunyai empat orang isteri yang sah dalam satu masa Mengetahui bahawa perempuan yang hendak dikahwini adalah sah dijadikan isteri Syarat bakal isteri

      

Islam Perempuan yang tertentu Bukan perempuan mahram dengan bakal suami Bukan seorang khunsa Bukan dalam ihram haji atau umrah Tidak dalam idah Bukan isteri orang Syarat wali

        

Islam, bukan kafir dan murtad Lelaki dan bukannya perempuan Baligh Dengan kerelaan sendiri dan bukan paksaan Bukan dalam ihram haji atau umrah Tidak fasik Tidak cacat akal fikiran,gila, terlalu tua dan sebagainya Merdeka Tidak ditahan kuasanya daripada membelanjakan hartanya

* Sebaiknya bakal isteri perlulah memastikan syarat WAJIB menjadi wali. Sekiranya syarat wali bercanggah seperti di atas maka tidak sahlah sebuah pernikahan itu. Sebagai seorang mukmin yang sejati, kita hendaklah menitik beratkan hal-hal yang wajib seperti ini. Jika tidak di ambil kira, kita akan hidup di lembah zina selamanya. Syarat-syarat saksi        

Sekurang-kurangya dua orang Islam Berakal Baligh Lelaki Memahami kandungan lafaz ijab dan qabul Dapat mendengar, melihat dan bercakap Adil (Tidak melakukan dosa-dosa besar dan tidak berterusan melakukan dosa-dosa kecil)

10



Merdeka

Syarat ijab    



Pernikahan nikah ini hendaklah tepat Tidak boleh menggunakan perkataan sindiran Diucapkan oleh wali atau wakilnya Tidak diikatkan dengan tempoh waktu seperti mutaah(nikah kontrak e.g.perkahwinan(ikatan suami isteri) yang sah dalam tempoh tertentu seperti yang dijanjikan dalam persetujuan nikah muataah) Tidak secara taklik(tiada sebutan prasyarat sewaktu ijab dilafazkan)

Syarat qabul       

Ucapan mestilah sesuai dengan ucapan ijab Tiada perkataan sindiran Dilafazkan oleh bakal suami atau wakilnya (atas sebab-sebab tertentu) Tidak diikatkan dengan tempoh waktu seperti mutaah(seperti nikah kontrak) Tidak secara taklik(tiada sebutan prasyarat sewaktu qabul dilafazkan) Menyebut nama bakal isteri Tidak diselangi dengan perkataan lain

Walimah Walimah merupakan salah satu tahapan dalam pernikahan yang terdapat pada ajaran agama islam. Pengertian walimah pernikahan dalam islam adalah sebuah acara yang dilakukan sebagai ucapan rasa syukur setelah diadakannya acara akad nikah. Dalam acara walimah, para mempelai pengantin beserta keluarga menyiapkan jamuan makan bagi para tamu undangan, kerabat, dan sanak saudara.

E. Hal-hal yang dilarang dalam pernikahan 1. Nikah Syghar Pernikahan dengan menyebutkan sarat yang dilarang agama semisal nikahkan putrimu dengan aku lalu aku akan menikahkan kamu dengan putriku. 2. Nikah tahlil Pernikahan yang telah disetting dan terkesan mengakali hukum, misalnya seorang suami menceraikan istri supaya istrinya tersebut dapat menikah

11

dengan mantan suami dahulu yang telah mentalak 3. Walaupun pernikahannya setelah masa iddah dan sarat rukunnya terpenuhi. 3. Nikah mut’ah Kawin kontrak adalah nama lain, yakni mensetting pernikahan sesuai perjanjian awal hanya untuk tujuan bersenang-senang. Bila waktu kontrak habis maka dilakukan perceraian. 4. Nikah yang calon isterinya masih dalam masa iddah Ada perbedaan lamanya masa iddah. Masa iddah bagi seorang permpuan setelah berpisah dengan suami dengan sebab perceraian atau ditinggal mati ialah 4 bulan sepuluh hari. Ada juga yang tiga bulan tergantung kondisi perempuan tersebut. 5. Pernikahan dengan beda agama Dihukumi haram dalam islam karena allah berfirman lebih baik menikah dengan hamba sahaya yang islam dari pada seorang perempuan musrik begitu juga sebaliknya. Apabila seorang calaon mempelai bersedia pindah agama islam maka diperbolehkan. 6. Pernikahan dengan wanita yang diharamkan dalam nasab atau masih ada ikatan darah keluarga atau karena sebab pernikahan.

7. Menikah dengan saudara sepersusuan. 8. Menikah dengan istri yang telah ditalak 3 oleh suami. Boleh menikah lagi asalkan sang istri telah menikah denga orang lain dan kemudian bercerai dengan sebab selain nikah tahlil yang telah dijelaskan diawal. 9. Menikah saat ihram. Diharamkan oleh hadist nabi bahwasanya orang yang sedang beribadah ihram dilarang melamar ataupun menikah.

F. Kewajiban suami terhadap isteri, isteri terhadap suami dan orangtua terhadap anak a. kewajiban suami terhadap isteri i. Memberikan kebutuhan pokok antara lain; sadang, pangan, dan papan. ii. Bergaul dengan isteri secara baik-baik; memelihara tata karma dalam pergaulan kemanusiaan. iii. Member nafkah bathin. iv. Tidak boleh membuka rahasia isteri kepada orang lain. v. Memperkuat kekeluargaan. vi. Memelihara keluarga dalam keimanan

12

vii. Suami wajib adil terhadap isteri-isterinya. b. Kewajiban isteri terhadap suami -Taat dan patuh kepada suami -Isteri menjaga nama baik suami -tidak memasukkan seseorang kedalam rumah tanpa seizing suami -Menghormati suami -Jangan meminta sesuatu melebihi kemampuan suami -Amanat terhadap harta dan ikhlas memelihara anak c. Kewajiban orang tua terhadap anak -Menyambut kelahiran dan aqiqah -Radha’ah (menyusui) -Hadhanah (mendidik dan memelihara anak) G. Sebab-sebab putusnya pernikahan a. b. c. d. e. f. g. h.

Kematian Syiqaq Talak Nusyuz Khulu’ Fasakh Zhihar Li’an

H. Rujuk Rujuk adalah mengembalikan ikatan dan hukum perkawinan secara penuh setelah terjadi talak raj’i. Yang dilakukan oleh mantan suami terhadap mantan istrinya dalam masa Iddah. Hak mantan suami merujuk mantan istrinya yang ditalak raj’i ditegaskan dalam firman Allah swt : ‫ص ََل ًحا‬ ْ ِ‫َوبُعُولَت ُ ُه َّن أ َ َح ُّق بِ َر ِده َِّن فِي َٰذَلِكَ إِ ْن أَ َرادُوا إ‬ Artinya : “Dan para suami mereka berhak lebih kembali kepada mereka dalam (masa) itu, jika mereka menghendaki perbaikan.” (QS. AlBaqarah:228) Firman Allah diatas memberi hak kepada mantan suami merujuk kembali kepada mantan istrinya yang ditalak raj’i selama mantan suami bermaksud untuk islah. Dengan demikian kebolehan mantan suami merujuk kembali mantan istrinya tergantung pada niat atau maksudnya. Adapan syaratsyarat rujuk antara lain:

13

a. Istri dengan syarat: 1. Sudah digauli oleh suaminya, jika belum digauli kemudian ditalak, maka jatuh talak ba’in sughra, maka istri tidak boleh dirujuk oleh mantan suaminya. 2. Talak yang dijatuhkan adalah talak raj’i bukan talak ba’in, khuluk dan fasakh. 3. Masih dalam masa iddah. b. Suami dengan syarat: 1. Baligh 2. Sehat Akalnya 3. Atas kemauan sendiri (tidak dipaksa) c. Shighat (ucapan) Rujuk Shighat ini bisa dengan terang-terangan dan bisa pula dengan sindiran. dengan terang-terangan misalnya, “saya ingin rujuk denganmu”. Dengan kata-kata sindiran misalnya “Saya pegang kembali engkau”, “Saya bersatu kembali denganmu”, dan kata-kata yang lain. Akan tetapi rujuk dengan kata-kata kiasan harus dibarengi dengan niat merujuk. Sebab kalau tidak maka rujuknya tidak sah. d. Saksi Allah Swt berfirman yang artinya: َّ ‫ي َعدْ ٍل ِم ْن ُك ْم َوأ َ ِقي ُموا ال‬ َ‫ش َهادَة‬ ْ ‫ارقُوه َُّن ِب َم ْع ُروفٍ َوأ َ ْش ِهد ُوا ذَ َو‬ ِ َ‫فَإِذَا َبلَ ْغنَ أ َ َجلَ ُه َّن فَأ َ ْم ِس ُكوه َُّن ِب َم ْع ُروفٍ أ َ ْو ف‬ ِ‫ِ َّلِل‬ Artinya : “Maka bila mereka telah mendekati akhir iddahnya, maka rujuklah (kembali kepada) mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil diantara kamu dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah.” (QS At-Talaq: 2)

14

BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN Perkawinan atau nikah menurut bahasa ialah berkumpul dan bercampur. Menurut istilah syarak pula ialah ijab dan qabul (‘aqad) yang menghalalkan persetubuhan antara lelaki dan perempuan yang diucapkan oleh kata-kata yang menunjukkan nikah, menurut peraturan yang ditentukan oleh Islam. Persoalan perkawinan adalah persoalan yang selalu aktual dan selalu menarik untuk dibicarakan, karena persoalan ini bukan hanya menyangkut tabiat dan hajat hidup manusia yang asasi saja tetapi juga menyentuh suatu lembaga yang luhur dan sentral yaitu rumah tangga. Luhur, karena lembaga ini merupakan benteng bagi pertahanan martabat manusia dan nilai-nilai ahlaq yang luhur dan sentral. Perkawinan bukanlah persoalan kecil dan sepele, tapi merupakan persoalan penting dan besar. ‘Aqad nikah (perkawinan) adalah sebagai suatu perjanjian yang kokoh dan suci. Rumah tangga yang ideal menurut ajaran Islam adalah rumah tangga yang diliputi Sakinah (ketentraman jiwa), Mawaddah (rasa cinta) dan Rahmah (kasih sayang), Allah berfirman: “Artinya : Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu hidup tentram bersamanya. Dan Dia (juga) telah menjadikan diantaramu (suami, istri) rasa cinta dan kasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benarbenar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir”. Dalam rumah tangga yang Islami, seorang suami dan istri harus saling memahami kekurangan dan kelebihannya, serta harus tahu pula hak dan kewajibannya serta memahami tugas dan fungsinya masing-masing yang harus dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab. Sehingga upaya untuk mewujudkan perkawinan dan rumah tangga yang mendapat keridla’an Allah dapat terealisir. Akan tetapi mengingat kondisi manusia yang tidak bisa lepas dari kelemahan dan kekurangan, sementara ujian dan cobaan selalu mengiringi kehidupan manusia, maka tidak jarang pasangan yang sedianya hidup tenang, tentram dan bahagia mendadak dilanda “kemelut” perselisihan dan percekcokan.

15

B. KRITIK DAN SARAN Berdasarkan apa yang telah saya jelaskan dalam makalah mengenai pernikahan ini pasti ada kekurangan maupun kelebihannya. Mudah-mudahan makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan dapat menambah wawasan pembaca mengenai pernikahan berdasarkan Islam. Adapun kritik maupun saran dapat disampaikan ke penulis agar dapat memperbaiki makalah ini baik dari segi penulisan, materi, maupun tata bahasa yang disampaikan. Penulis mengharapkan pembaca dapat mengambil manfaat dari makalah yang telah dibuat.

16

DAFTAR PUSTAKA

https://www.keluargasamawa.com/hukum-dan-pengertian-walimahpernikahan-dalam-islam/ http://iusyusephukum.blogspot.com/2016/04/sebab-sebab-putusnyaperkawinan-dalam.html https://www.muslimpintar.com/hukum-rukun-dan-syarat-rujuk/ http://rezkirasyak.blogspot.com/2012/10/makalah-pendidikan-agamaislam.html http://islammakalah.blogspot.com/p/blog-page_27.html http://suhendraaw.blogspot.com/2015/05/makalah-pernikahan-dalamislam.html http://tugassekolahnurfa.blogspot.com/2015/10/makalah-pernikahan-danpercerayan.html

17

Related Documents

Makalah Aik 4.docx
October 2019 15
Makalah Aik 4 Fix.docx
December 2019 34
Aik.
October 2019 34
137527459-makalah-aik-4.docx
December 2019 15

More Documents from "indira"

Tugas Theodolit.docx
December 2019 2
Bab I (hand Bor).docx
December 2019 17