GAMBARAN KEPATUHAN TERAPI PASIEN EPILEPSI DI PUSKESMAS SUNGAI PINANG KABUPATEN HULU SUNGAI SELATAN
LAPORAN TUGAS AKHIR
OLEH NPM
: ANAWATI : 11023172004
PROGRAM STUDI D3 FARMASI FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH BANJARMASIN 2018
1
GAMBARAN KEPATUHAN TERAPI PASIEN EPILEPSI DI PUSKESMAS SUNGAI PINANG KABUPATEN HULU SUNGAI SELATAN
LAPORAN TUGAS AKHIR
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Kelulusan Pada Program Studi D3 Farmasi
OLEH NPM
: ANAWATI : 11023172004
PROGRAM STUDI D3 FARMASI FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH BANJARMASIN 2018
2
i
ii
PROGRAM STUDI D3 FARMASI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH BANJARMASIN LTA, Juli 2018 Anawati 11023172004 Gambaran Kepatuhan Terapi Pasien Epilepsi di Puskesmas Sungai Pinang Kabupaten Hulu Sungai Selatan ABSTRAK Latar belakang: Pasien epilepsi harus mengonsumsi obat jangka panjang, sehingga diperlukan kepatuhan dan pola hidup yang sehat agar terapinya berhasil. Dalam prakteknya, masalah terapi epilepsi antara lain meliputi ketidakpatuhan dalam meminum obat, penderita bosan dalam meminum obat, serangan yang tidak kunjung hilang setelah minum obat, harga obat yang mahal, kewajiban pasien yang selalu kontrol teratur, dan adanya efek samping yang muncul karena pengobatan. Kepatuhan menjadi masalah utama terapi pada penyakit epilepsi memerlukan waktu yang tidak sebentar dan kedisiplinan dalam menjalani pengobatan. Tujuan: dari penulisan yang dilakukan adalah untuk mengetahui gambaran kepatuhan terapi pasien epilepsi di Puskesmas Sungai Pinang Kabupaten Hulu Sungai Selatan. Metode: Pengambilan data dilakukan dengan melakukan kunjungan rumah ke pasien dengan cara wawancara menggunakan kuesioner yang diisi oleh pasien sendiri, orang tua atau pengasuh pasien serta dilakukan tinjauan ulang rekam medis. Penilitian ini dilakukan di Puskesmas Sungai Pinang Kabupaten Hulu Sungai Selatan. Pemilihan sampel dilakukan dengan metode sampling jenuh dimana seluruh anggota populasi dijadikan sampel dan didapatkan 10 orang penyandang epilepsi. Hasil: Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebanyak 90% pasien epilepsi yang berobat di Puskesmas Sungai Pinang tidak patuh terhadap pengobatan. Kata Kunci: Epilepsi, Kepatuhan Terapi Daftar Rujukan : 10 (2002-2014)
iii
KATA PENGANTAR Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh Puji syukur Kehadiran Allah Swt atas segala Rahmat dan KaruniaNya sehingga Laporan Tugas Akhir ini dapat terselesaikan . Laporan Tugas Akhir ini merupakan salah satu syarat memperoleh gelar D3 Farmasi, untuk Mahasiswa Rekognisi Pembelajaran Lampau (RPL) D3 Farmasi Fakultas Farmasi Universitas Muhammadiyah Banjarmasin. Sholawat serta salam semoga tercurah atas Nabi Kita Muhammad Saw, yang termulia dari para Nabi dan Rasul dan semoga tercurah atas keluarga, sahabat, dan para pengikut hingga akhir zaman. Penghargaan yang setinggi-tingginya dan kata terimakasih penulis persembahkan kepada kedua orang tua tercinta (Almarhum/almarhummah), suami, adik, anak dan semua teman-teman yang tak henti-hentinya memberi do’a dan motivasi serta dukungannya baik moril maupun material, terimakasih tiada kata yang pantas untuk mengungkapkan betapa besar cinta dan kasih sayang yang telah kalian berikan. Mereka adalah semangat bagi penulis untuk menyelesaikan Laporan Tugas Akhir ini. Semoga Allah SWT senantiasa memberikan rahmat dan perlindungan kepada kita semua, Amin. Penulis tak lupa menyampaikan terimakasih yang sebesar-besarnya sebagai ungkapan kebahagiaan kepada: 1.
Bapak Prof. Dr.H. Ahmad Khairuddin,M.Ag. selaku Rektor. Universitas Muhammadiyah
Banjarmasin
yang
telah
memberikan
kesempatan
menyelesaikan Studi di Universitas Muhammadiyah Banjarmasin. 2.
Ibu Risya Mulyani,M.SC.,Apt. selaku Dekan Fakultas Farmasi Universitas Muhammadiyah Banjarmasin
3.
Ibu Sri Rahayu,M,Farm.,Apt. selaku Kaprodi D3 Farmasi Universitas Muhammadiyah Banjarmasin
4.
Ibu Nita Triadisti,M.Farm.,Apt. selaku Pembimbing I, yang telah dengan sabar memberikan banyak masukan dan meluangkan waktunya untuk membimbing penulisan Laporan Tugas Akhir ini iv
5.
Bapak Andika,M.Farm.,Apt. selaku Pembimbing II yang telah dengan sabar memberikan banyak masukan dan meluangkan waktunya untuk membimbing penulisan Laporan Tugas Akhir ini
6.
Bapak Muhammad Fardiyannor, M.Sc., Apt. selaku Penguji 3 yang bersedia meluangkan waktunya dalam Laporan Tugas Akhir ini.
7.
Bapak-bapak dan Ibu-ibu dosen pengajar yang dengan ikhlas membagi ilmunya serta seluruh staf D3 Farmasi Fakultas Farmasi Universitas Muhammadiyah Banjarmasin.
8.
Universitas Muhammadiyah Banjarmasin
9.
Rekan, teman seperjuangan mahasiswa Rekognisi Pembelajaran Lampau (RPL)
D3
Farmasi
Fakultas
Farmasi
Universitas
Muhammadiyah
Banjarmasin , yang telah saling membantu dan telah berjuang bersama dari awal sampai akhir Penulis menyadari bahwa
Laporan Tugas Akhir ini masih banyak
kekurangan dan kelemahan. Namun besar harapan kiranya dapat bermanfaat bagi penulis selanjutnya, khususnya di bidang Farmasi dan semoga bernilai ibadah disisi Allah SWT, amin Ya Rabbal Alamin. Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Sungai Pinang
Juli 2018
Penulis
Anawati NPM 11023172004
v
DAFTAR ISI
PERSETUJUAN PEMBIMBING ........................................................ PENGESAHAN LAPORAN TUGAS AKHIR ................................... ABSTRAK ........................................................................................... KATA PENGANTAR ......................................................................... DAFTAR ISI ........................................................................................ DAFTAR TABEL ................................................................................ DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................
Halaman i ii iii iv vi vii viii
BAB 1 PENDAHULUAN ................................................................... 1.1 Latar Belakang ................................................................... 1.2 Rumusan Masalah .............................................................. 1.3 Tujuan Penulisan Laporan Tugas Akhir ............................. 1.4 Manfaat Penulisan .............................................................. BAB 2 TINJAUN PUSTAKA ............................................................. 2.1 Pengertian Epilepsi ............................................................. 2.2 Patofisiologi ....................................................................... 2.3 Klasifikasi Kejang Dan Tipe Epilepsi ................................ 2.4 Tata Laksana Terapi ........................................................... 2.5 Kajian Teoritis .................................................................... BAB 3 TINJAUAN KASUS................................................................ 3.1 Puskesmas Sungai Pinang .................................................. 3.2 Gambaran Kasus ................................................................ BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN................................................ 4.1 Hasil ................................................................................... 4.2 Pembahasan ........................................................................ BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN ............................................... 5.1 Kesimpulan......................................................................... 5.2 Saran ...................................................................................
1 1 2 2 2 3 3 3 4 5 9 13 13 13 16 16 17 20 20 20
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................... LAMPIRAN .........................................................................................
22 23
vi
DAFTAR TABEL Halaman Tabel 2.1.
Penatalaksanaan Terapi Epilepsi Berdasarkan Jenis Epilepsinya.....................................................................................
8
Tabel 4.1.1. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Umur ..................... 16 Tabel 4.1.2. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Pendidikan Terakhir .......................................................................................... 16 Tabel 4.1.3. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin ....... 17 Tabel 4.1.4. Distribusi Kepatuhan Terapi Pasien Epilepsi ................................ 17
vii
DAFTAR LAMPIRAN
Hal Lampiran 1 : Surat Keterangan Permohonan Bimbingan LTA .........................23 Lampiran 2 : Lembar Konsultasi Pembimbing 1 ..............................................24 Lampiran 3 : Lembar Konsultasi Pembimbing 2 ..............................................25 Lampiran 4 : Lembar Persetujuan Menjadi Responden ....................................27 Lampiran 5 : Lembar Persetujuan Menjadi Responden ....................................28 Lampiran 6 : Lembar Persetujuan Menjadi Responden ....................................29 Lampiran 7 : Lembar Persetujuan Menjadi Responden ....................................30 Lampiran 8 : Lembar Persetujuan Menjadi Responden ....................................31 Lampiran 9 : Lembar Kuesioner .......................................................................32 Lampiran 10 : Lembar Kuesioner .......................................................................33 Lampiran 11 : Lembar Kuesioner .......................................................................34 Lampiran 12 : Lembar Kuesioner .......................................................................35 Lampiran 13 : Lembar Kuesioner .......................................................................36 Lampiran 14 : Data Pasien dari Wawancara dengan Kuesioner .........................37 Lampiran 15 : Dokumentasi Wawancara dengan Pasien Epilepsi ......................38
viii
BAB I PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang Epilepsi menurut World Health Organization ( WHO ) merupakan gangguan kronik otak yang menunjukkan gejala berupa serangan yang berulang yang terjadi akibat adanya ketidaknormalan kerja sementara, sebagian, atau seluruh jaringan otak karena cetusan listrik pada neuron (sel sarap ) pada rangsangan yang berlebihan, disebabkan tepatnya muatan listrik abnormal sel-sel otak (Gofir, 2006 ) Obat yang diberikan kepada pasien epilepsi tidak menyembuhkan terapi hanya mengendalikan, mengurangi bahkan mengendalikan serangan. Tujuan dari pengobatan epilepsi adalah bebas kejang. Pasien epilepsi harus mengonsumsi obat jangka panjang, sehingga diperlukan kepatuhan dan pola hidup yang sehat agar terapinya berhasil. Dalam prakteknya, masalah terapi epilepsi antara lain meliputi ketidakpatuhan dalam meminum obat, penderita bosan dalam meminum obat, serangan yang tidak kunjung hilang setelah minum obat, harga obat yang mahal, kewajiban pasien yang selalu kontrol teratur, dan adanya efek samping yang muncul karena pengobatan. Kepatuhan menjadi masalah utama terapi pada penyakit epilepsi memerlukan waktu yang tidak sebentar dan kedisiplinan dalam menjalani pengobatan. Hal ini memerlukan strategi dan pendekatan yang kompleks dan
pemberian
obat
antiepelipsi
jangka
panjang
dengan
segala
konsekuensinya, yang menuntut kedisiplinan penderita untuk mematuhi pengobatan (Andarini, 2007) Kurangnya tingkat kepatuhan merupakan masalah yang serius. Kegagalan dalam meminum obat secara teratur sesuai resep dapat berakibat terjadinya resistensi obat, reaksi obat, peningkatan morbiditas dan mortilitas, serta mengurangi kualitas hidup. Rendahnya kepatuhan juga berdampak pada penetapan keputusan terapi obat dokter. Hal
1
tersebut
2
berpotensi menyebabkan kenaikan dosis atau penghentian pengobatan karena pengobatan sebelumnya dipercaya tidak efektif (DiMatteo dkk, 2002). Kepatuhan merupakan masalah utama karena terapi pada pasien epilepsi membutuhkan waktu jangka panjang yang lama, bahkan bisa seumur hidup. Berdasarkan latar belakang yang telah dibahas di atas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian mengenai “Gambaran Kepatuhan Terapi Pasien Epilepsi di Puskesmas Sungai Pinang Kabupaten Hulu Sungai Selatan”
1.2.Rumusan Masalah Dari paparan di atas dapat dirumuskan permasalahan, yaitu bagaimana
Gambaran Kepatuhan Terapi Pasien Epilepsi di Puskesmas
Sungai Pinang Kabupaten Hulu Sungai Selatan?
1.3.Tujuan Penulisan Laporan Tugas Akhir Untuk mengetahui Gambaran Kepatuhan Terapi Pasien Epilepsi di Puskesmas Sungai Pinang Kabupaten Hulu Sungai Selatan
1.4.Manfaat Penulisan 1.4.1. Menambah pengetahuan tentang kepatuhan minum obat pasien epilepsi 1.4.2. Dapat digunakan sebagai referensi untuk mengetahui kepatuhan pasien dalam meminum obat epilepsi sehingga dapat digunakan sebagai bahan evaluasi terhadap pelayanan Farmasi kepada pasien 1.4.3. Dapat digunakan sebagai acuan referensi penulis berikutnya.
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pengertian Epilepsi Epilepsi didefinisikan sebagai kondisi neurologis yang dikarakterisir dengan kekambuhan kejang tak beralasan yang dapat dipicu oleh berbagai penyebab tertentu. Adanya kejang epilepsi merupakan manifestasi klinis dari aktivitas syaraf yang berlebihan dan abnormal di dalam konteks serebral. Manifestasi klinik kejangnya sangat bervariasi tergantung dari daerah otak fungsional yang terlibat (Ikawati, 2014). Kejang adalah suatu manifestasi umum dan tidak spesifik dari adanya cedera neurologis, dan hal ini tidak mengherankan karena fungsi utama dari otak adalah transmisi impuls listrik. Kemungkinan seseorang dalam seumur hidupnya mengalami kejang minimal 1 kali adalah sekitar 9%, dan kemungkinan seumur hidup menerima diagnosa epilepsi hampir 3%. Namun demikian, prevalensi epilepsi aktif hanya sekitar 0,8% (Ikawati, 2014).
2.2. Patofisiologi (Ikawati, 2014). Kejang adalah manifestasi paroksimal dari sifat listrik di bagian korteks otak. Kejang dapat terjadi ketika terjadi ketidakseimbangan yang tiba-tiba antara kekutan eksitatori / pemicuan dan inhibisi / penghambatan dalam jaringan neuron kortikal. Ketidakseimbangan bisa terjadi karena kurangnya transmisi inhibitori, misalnya terjadi pada keadaan setelah pemberian antagonis GABA, atau selama penghentian pemberian agonis GABA (alkohol, benzodiazepin); atau meningkatnya aksi eksitatori, misalnya meningkatnya aksi glutamat atau aspartat. Untuk mendiagnosa dan memastikan jenis kejang, diperlukan kemampuan diagnosa yang cermat, yang meliputi beberapa pemeriksaan, antara lain:
3
4
2.2.1
Wawancara riwayat kejang pasien, termasuk apa yang terjadi sebelum, selama, dan setelah serangan kejang
2.2.2
Electroencephalography (EEG)
2.2.3
Magnetic resonance imaging (MRI)
2.2.4
Computed tomography (CT) scanning.
2.3. Klasifikasi Kejang Dan Tipe Epilepsi (Ikawati, 2014) Berdasarkan tanda klinik dan data EEG (Electroencephalography), kejang dibagi menjadi 2.3.1
Kejang umum (generalized seizure), yaitu kejang yang terjadi aktivasi terjadi pada kedua hemisfere otak secara bersama-sama, terdiri dari Tonic-clonic, Absense, Myoclonic, Atonic, Clonic, Tonic, dan Infnatile Spasm.
2.3.2
Kejang parsial/focal, adalah kejang yang terjadi jika aktivasi dimulai dari daerah tertentu dari otak.
2.3.3
Unclassified seizure Semua jenis kejang yang tidak dapat di klarifikasi karena ketidaklengkapan data atau tidak dapat dimasukkan dalam kategori klasifikasi yang tersebut di atas.
2.3.4
Status epilepticus ada beberapa variasi status epileptikus. Status epileptikus didefinisikan sebagai kejang terus menerus selama 30 menit. Definisi lain dari status epileptikus adalah kejang terjadi terus menerus selama 5 menit atau lebih atau kejadian kejang 2 kali atau lebih tanpa pemulihan kesadaran di antara dua kejadian tersebut. Status epileptikus merupakan kondisi darurat yang memerlukan pengobatan
secara
tepat
untuk
meminimalkan
neurologic permanen maupun kematian.
kerusakan
5
2.4. Tata Laksana Terapi (Ikawati, 2014) Farmakoterapi epilepsi sangat individual dan membutuhkan titrasi dosis untuk mengoptimalisasi terapi obat antiepilepsi (maksimal dalam mengontrol kejang dengan efek samping yang minimal). Sekitar 50-70% pasien dapat diterapi dengan obat antiepilepsi tunggal. 2.4.1 Tujuan terapi Tujuan terapi epilepsi adalah untuk mengontrol atau mengurangi frekuensi kejang dan memastikan kepatuhan pasien terhadap pengobatan, dan memungkinkan pasien dapat hidup dengan normal. Khusus untuk status epileptikus, terapi sangat penting untuk menghindarkan pasien dari kegawatan akibat serangan kejang yang berlangsung lama.
2.4.2 Sasaran terapi Keseimbangan neurotransmitter GABA di otak.
2.4.3 Strategi terapi Strategi terapi epilepsi adalah mencegah atau menurunkan lepasnya muatan listrik syaraf yang berlebihan melalui perubahan pada kanal ion atau ketersediaan neurotransmiter, dan atau mengurangi penyebaran pacuan dari fokus serangan dan mencegah cetusan serta putusnya fungsi agregasi normal neuron.
2.4.4 Terapi Nonfarmakologi Terapi non-farmakologi untuk epilepsi meliputi: 2.4.4.1 Pembedahan Merupakan opsi pada pasien yang tetap mengalami kejang meskipun sudah mendapat lebih dari 3 agen antikonvulsan, lesi epileptik yang menjadi pusat abnormalitas epilepsi.
6
2.4.4.2 Diet ketogenik Diet ketogenik adalah diet tinggi lemak, cukup protein, dan rendah karbohidrat, yang akan menyediakan cukup protein untuk pertumbuhan, tetapi kurang karbohidrat untuk kebutuhan metabolisme tubuh. Dengan demikian tubuh akan menggunakan lemak sebagai sumber energi, yang pada gilirannya akan menghasilkan senyawa keton. Mekanisme aksi diet ketogenik sebagai anti epilepsi masih belum diketahui secara pasti, namun senyawa keton ini diperkirakan berkontribusi terhadap pengontrolan kejang. Adanya senyawa keton secara kronis akan memodifikasi siklus asam trikarboksilat untuk meningkatkan sintesis GABA di otak, mengurangi pembentukan reactive oxygene species (ROS), dan meningkatkan produksi energi dalam jaringan otak. Selain itu, beberapa aksi penghambatan syaraf lainnya adalah peningkatan asam lemak tak jenuh ganda
yang selanjutnya
akan menginduksi
ekspresi
neuronal protein uncoupling (UCPs), meng-up regulasi banyak gen yang terlibat dalam metabolisme energi dan biogenesis mitokondria. Efek-efek ini lebih lanjut akan membatasi pembentukan ROS dan meningkatkan produksi energi, mengaktifkan metabolisme K(ATP) saluran dan hiperpolarisasi syaraf. Berbagai efek ini secara bersamasama diduga berkontribusi terhadap peningkatan ketahanan syaraf terhadap picuan kejang. 2.4.4.3 Stimulasi nerves vagus (Vagus nerves stimulation, VNS) Mekanisme aksi anti kejang dari VNS pada manusia belum diketahui, tetapi penelitian pada hewan menunjukkan bahwa VNS memiliki beberapa aksi. Studi klinis pada manusia menunjukkan neurotransmiter
bahwa inhibisi
VNS dan
mengubah eksiratori
konsentrasi pada
cairan
7
serebrospinal, dan mengaktifkan area-area tertentu dari otak yang menghasilkan atau mengatur aktivitas korteks melalui peningkatan aliran darah. Secara keseluruhan, dalam penelitian
VNS,
persentase
pasien
yang
mencapai
pengurangan frekuensi kejang sampai 50% atau lebih berkisar antara 23% sampai 50%. 2.4.5 Terapi Farmakologi Obat-obat anti epilepsi yang ada sekarang ini dapat dibagi dalam 3 kategori berdasarkan mekanisme aksinya 2.4.5.1 Obat-obat yang bekerja dengan meningkatkan inaktivasi kanal Na+. Obat-obat
yang meningkatkan inaktivasi
kanal
Na+
memiliki mekanisme aksi menurunkan kemampuan syaraf untuk menghantarkan muatan listrik. Contoh: fenitoin, karbamazepin, lamotrigin, okskarbazepin, asam valproat. 2.4.5.2 Obat-obat yang bekerja dengan meningkatkan transmisi inhibitori GABAergik a.
Obat-obat yang merupakan agonis reseptor GABA bekerja dengan meningkatkan transmisi inhibitori dengan mengaktifkan kerja reseptor GABA. Contoh: benzodiazepin dan barbiturat.
b.
Obat-obat yang bekerja dengan menghambat GABA transaminase sehingga konsentrasi GABA meningkat. Contoh: vigabatrin.
c.
Obat-obat yang bekerja dengan menghambat GABA transporter sehingga memperlama aksi GABA. Contoh: tiagabin
d.
Obat-obat yang dapat meningkatkan konsentrasi GABA pada cairan cerebrospinal pasien (diperkirakan dengan menstimulasi pelepasan GABA dari non-vesicular pool). Contoh: gabapentin.
8
2.4.5.3 Obat-obat yang menurunkan nilai ambang arus ion Ca2+ Obat-obat dalam golongan ini memiliki mekanisme aksi dengan menghambat kanal ion Ca2+ tipe T. Arus Ca2+ kanal tipe T merupakan arus pacemaker dalam neuron thalamus yang bertanggung jawab terjadinya letupan kortikal ritmik serangan kejang. Contoh: etosuksimid. 2.4.6 Penatalaksanaan Terapi Penatalaksanaan terapi pada pasien dengan epilepsi tergantung pada jenis epilepsinya, adverse drug reaction obat yang spesifik terhadap pasien dan kondisi pasien. Tabel berikut ini menunjukkan pilihan obat pada pasien berdasarkan jenis epilepsinya. Tabel 2.1 Penatalaksanaan Terapi Epilepsi Berdasarkan Jenis Epilepsinya Tipe kejang Kejang parsial Simple Partial Complex partial Secondarily generalized
Kejang umum Tonic-clonic Tonic Clonic Absence
Terapi lini pertama
Terapi lini kedua
Karbamazepin Fenitoin Valproat Lamotrigin
Vigabatrin Klobazam Fenobarbital Asetazolamid Gabapentin Topiramat
Valproat Karbamazepin Fenitoin Lamotrigin Ethosuksimid Valproat
Vigabartin Klobazam Fenobarbital
Atypical absence Atonic
Valproat Klonazepam Klobazam
Myoclonic
Valproat Klonazepam
Klonazepam Lamotrigin Asetazolamid Phenobarbital Lomatrigin Karbamazepin Fenitoin Asetazolamid Fenobarbital Azetazolamid
9
2.5 Kajian Teoritis 2.5.1. Teori Kepatuhan Menurut kamus besar Bahasa Indonesia (1990) patuh adalah suka menurut (perintah, dan sebagainya) taat ( kepada perintah, aturan dan sebagainya), berdisiplin. Kepatuhan dapat didifinisikan sebagai tingkat ketepatan perilaku seorang individu dengan nasehat medis atau kesehatan istilah ketidakpatuhan pasien memberi kesan bahwa pasien bersalah karena pengunaan obat yang tidak tepat (Siregar, 2006) Cara meningkatkan kepatuhan antara lain: memberikan informasi kepada pasien akan menfaat dan pentinnya kepatuhan untuk mencapai keberhasilan pengobatan, memberikan keyakinan kepada pasien akan efektivitas obat dalam penyembuhan, memberikan informasi resiko ketidakpatuhan, adanya dukungan dari pihak keluarga, teman, dan orang disekitarnya untuk selalu mengingatkan pasien agar teratur minm obat demi keberhasilan pengobatan. Faktor-faktor yang mendukung kepatuhan pasien menurut Niven(2008), faktor yang mendukung sikap patuh pasien, diantaranya: 2.5.1.1 Pendidikan Pendidikan pasien dapat meningkatkan kepatuhan sepanjang pendidikan tersebut merupakan pendidikan yang aktif, seperti penggunaan buku dan lain-lain 2.5.1.2 Akomodasi Suatu usaha harus dilakukan untuk memahami ciri kepribadian pasien yang dapat mempengaruhi patuh pasien yang lebih mandiri, harus dilibatkan secara aktif dalam program pengobatan sementara pasien yang tingkat ansietasnya tinggi harus diturunkan terlebih dahulu. Tingkat ansietas yang terlalu tinggi atau rendah, akan membuat kepatuhan pasien berkurang.
10
2.5.1.3 Modifikasi faktor lingkungan dan sosial Membangun dukungan social dari keluarga dan teman-teman sangat penting, kelompok pendukung dapat dibentuk untuk membantu
memahami
kepatuhan
pengobatan, seperti pengurangan
terhadap
program
berat badan, contoh
merokok, menurunkan konsumsi alcohol 2.5.1.4 Perubahan Model Terapi Program pengobatan dapat dibuat sesederhana mungkin dan pasien terlibat aktif dalam pembuatan program tersebut. 2.5.1.5 Meningkatkan Interaksi Profesional Kesehatan dengan Pasien Adalah suatu yang penting untuk memberikan umpan balik pada pasien setelah memperoleh informasi tentang diagnosa. 2.5.1.6 Pengetahuan Pengetahuan merupakan hasil tahu dan ini terjadi setelah orang melakukan pengindraan terhadap suatu objek tertentu, dan pengalaman dari penelitian terbukti bahwa perilaku yang diterima oleh pengetahuan akan lebih langgeng dari pada perilaku yang tidak didasari oleh pengatahuan (Notoatmodjo, 2007). 2.5.1.7 Usia Semakin dewasa seseorang, maka cara berpikir semakin matang dan baik 2.5.1.8 Dukungan Keluarga Keluarga adalah unit terkecil mesyarakat yang terdiri atas 2 orang atau lebih, adanya ikatan persaudaraan atau pertalian darah, hidup dalam satu rumah tangga berinteraksi satu sama lain, dukungan dari keluarga berupa, misalkan, mengingatkan pasien kapan harus minum obat, kapan istirahat, menyiapkan obat yang harus diminum obat pasien, memberi motivasi, dll.
11
Ada beberapa faktor terkait dengan ketidakpatuhan menurut Siregar (2006) diantaranya: 1) Penyakit Sikap kesakitan pasien dalam beberapa keadaan, dapat berkontribusi pada ketidakpatuhan. Pasien dengan gangguan psikiatri, kemauan untuk bekerjasama, demikian juga terhadap pengobatan mungkin dirusak oleh kesakitan, dan individu ini membuat tidak patuh dari pada pasien. 2) Regimen Terapi a. Terapi Multi Obat makin banyak jenis dan jumlah obat yang digunakan pasien, makin tinggi resiko ketidakpatuhan b. Frekuensi Pemberian Pemberian obat pada jangka waktu yang sering, membuat ketidakpatuhan lebih mungkin. c. Durasi dari Terapi berbagai studi menunjukkan bahwa tingkat ketidakpatuhan menjadi lebih besar, apabila periode pengobatan lama d. Efek Merugikan Efek obat yang tidak menyenangkan, cukup menyusahkan pada sejumlah pasien. Oleh karena itu, memungkinkan pasien untuk menghindari kepatuhan. e. Pasien Asimtomatik (Tidak ada Gejala) atau gejala sudah reda dapat dimengerti adalah sulit meyakinkan pasien, tentang nilai terapi obat, apabila pasien tidak mengalami gejala sebelum mulai terapi atau dalam keadaan lain dimana pasien
merasa
telah
sembuh
sementara
pengobatan
memerlukan pengobatan lebih lama, jika terapi dihentikan, memberikan kontribusi pada ketidakpatuhan.
12
f. Harga Obat ketidakpatuhan sering
terjadi dengan penggunaan obat
yang relatif mahal g. Pemberian konsumsi Obat Walau pasien secara penuh bermaksud patuh pada instruksi, ada kemungkinan ia kurang hati-hati menerima kuantitas obat yang salah disebabkan pengukuran obat yang tidak benar atau penggunaan alat ukur yang tidak tepat. h. Rasa Obat Masalah kepatuhan berkaitan dengan rasa obat-obatan tidak terbatas pada anak-anak. Keberatan terhadap rasa pada sediaan-sediaan
obat sering diajukan, sejumlah pasien
menghentikan penggunaan obat karena alasan rasa.
BAB III TINJAUAN KASUS 3.1. Puskesmas Sungai Pinang Puskesmas Sungai Pinang merupakan salah satu unit pelaksana teknis Dinas Kesehatan Kabupaten Hulu Sungai Selatan dalam hal ini Puskesmas Sungai Pinang berperan menyelenggarakan sebagian dari tugas Operasional
Teknis
Dinas Kesehatan Kabupaten Hulu Sungai Selatan dan
merupakan unit pelaksanaan tingkat pertama serta ujung tombak pelayanan kesehatan di Indonesia. Puskesmas Sungai Pinang terletak di Kecamatan Daha Selatan, yang memiliki wilayah kerja 6 desa dengan kondisi daerah berupa sungai dan rawa. Puskesmas Sungai Pinang memiliki luas wilayah 109 km2 dari 1.703 km2 luas wilayah kecamatan yang ada di Kabupaten hulu Sungai Selatan, dengan luas wilayah: Sebelah utara
: Puskesmas Negara Kec.Daha Utara
Sebelah selatan
: Kecematan Kelumpang
Sebalah Barat
: Puskesmas Bajayau, Kec. Daha Barat
Sebelah Timur
: Puskesmas Bayanan, Kec. Daha Selatan
Jumlah penduduk di wilayah kerja Puskesmas Sungai Pinang tahun 2017 adalah 15.368 jiwa tersebar di 6 desa di wilayah kerja Puskesmas Sungai Pinang. 3.2. Gambaran Kasus Pasien epilepsi di Puskesmas Sungai Pinang berjumlah 10 orang, terdiri dari 5 orang berjenis kelamin perempuan dan 5 orang lainnya berjenis kelamin
laki-laki, usia mulai 11 tahun sampai dengan 55 tahun. Pasien
epilepsi di Puskesmas Sungai Pinang diberikan obat anti epilepsi, yaitu Carbamazepin 200 mg, fenitoin 100 mg, fenitoin 30 mg, Diazepam 2 mg, dan penobarbital 30 mg, atau kombinasi obat tersebut. Dengan interval waktu
13
14
minum obat sebanyak 2x sehari tablet/kapsul atau 1x sehari 1 tablet/kapsul biasanya obat diberikan selama 10 hari atau 15 hari. Penulis bekerja di Puskesmas Sungai Pinang sejak bulan maret 2014, untuk keperluan laporan obat harian dan bulanan, penulis juga menulis laporan harian tersendiri untuk obat-obat tertentu (obat jiwa dan obat epilepsi) karena pemakaiannya yang memerlukan waktu yang panjang dan perlu penanganan khusus juga karena ada termasuk obat psikotropika di dalamnya. Penulis bila menerima obat jiwa dan obat epilepsi selalu mencatat dibuku khusus yang berisi tanggal pengambilan, hari, nama pasien, umur pasien, alamat pasien, nama obatnya, dosis pemberian, dan jumlah obatnya, yang menunjukkan berapa hari pemberian obat, biasanya 10 hari atau 15 hari. Disini tak jarang penulis temukan selisih hari dalam pengambilan obat. Dari beberapa pasien epilepsi di wilayah kerja Puskesmas Sungai Pinang sebagian besar telat mengambil obat dari waktu yang ditentukan, serta lupa untuk meminumnya, ada juga yang apabila kondisi sudah membaik mereka tidak melanjutkan pengobatan, sehingga tidak sesuai dengan anjuran dari dokter, hanya sebagian kecil pasien yang benar-benar mengikuti terapi sesuai dengan anjuran dokter. Misalkan pasien datang pada tanggal 1 dan di beri obat sebanyak 30 biji dengan dosis 2 kali sehari 1 tablet atau kapsul, untuk 15 hari seharusnya pasien mengambil kembali obat tanggal 14 atau 15 sebelum obat habis, pasien mengambil setelah lewat beberapa hari, jadi penulis bertanya kenapa baru mengambil obatnya, alasan sibuk, dan merasa kondisi membaik juga karena biaya ini untuk 1 orang pasien yang ternyata alamat sebenarnya bukan wilayah Puskemas Sungai Pinang melainkan di wilayah Puskemas Bajayau (Tanjung selor Pangambang, yang jarak nya ke puskesmas lebih dekat dibandingkan ke Puskesmas Bajayau menempuh perjalanan dengan perahu kurang lebih 1,5 jam), penulis tahu setelah melakukan tanya jawab dengan mendatangi langsung ke rumah pasien yang ternyata pasien adalah keponakannya mengambil obat sekalian ke pasar. Dokter Puskesmas Sungai Pinang dan tenaga kesehatan lain sudah sering mengingatkan tentang
15
perlunya kepatuhan terapi, untuk penyakit apapun. Dalam menjalani terapi kepatuhan merupakan sikap menjaga dan mematuhi
dosis regemin dari
tenaga kesehatan terhadap suatu penyakit, prinsip utama dari kapatuhan ini sendiri yaitu tidak hanya kepatuhan dalam berapa banyak obat perharinya tetapi bagaimana pengobatan yang benar dilakukan sesuai prosedur. Pasien dikatakan patuh jika dalam pengobatan mengikuti anjuran dari dokter dan tenaga kesehatan lainnya. Ketidakpatuhan dapat di definisikan tidak minum obat sesuai dosis (terlalu banyak/terlalu sedikit) tidak mengikuti jadwal minum obat, tidak minum obat sesuai waktu yang di anjurkan dll.
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil Setelah dilakukan kunjungan rumah terhadap 10 orang pasien epilepsi dengan menggunakan lembar kuesioner. Partanyaan ditujukan kepada keluarga dan pasien sendiri. Maka dapat dijelaskankan sfisifikasi responden sebagai berikut:
Tabel 4.1.1. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Umur No 1 2 3 4 5
Umur Pasien ( Tahun ) 11-20 21-30 31-40 41-50 51-60 Jumlah
Jumlah Pasien 4 4 1 1 10
Persentase ( % ) 40% 40% 10% 10% 100%
Berdasarkan tabel 4.1.1. pasien penderita epilepsi terbanyak pada kisaran umur 11-20 sebanyak 4 orang (40%), umur 21-30 tahun sebanyak 4 orang (40%), Umur 31-40 tahun sebanyak 1 orang (10%) dan umur 51-60 tahun sebanyak 1 orang (10%). Tabel 4.1.2.
No 1 2 3
Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Pendidikan Terakhir
Pendidikan Terakhir Rendah (tidak sekolah, SD, SMP) Menengah (SMA) Tinggi (D1, D2, D3, S1, dan S2) Jumlah
Jumlah 10
Persentase (%) 100
10
100%
Berdasarkan Tabel 4.1.2. diatas pendidikan terakhir pasien epilepsi semuanya berpendidikan rendah yakni 100%.
16
17
Tabel 4.1.3. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin No 1 2
Jenis Kelamin Laki-Laki Perempuan Jumlah
Jumlah 5 5 10
Persentase (%) 50% 50% 100%
Berdasarkan Tabel 4.1.3. diatas jenis kelamin pasien epilepsi 5 orang laki-laki dan 5 orang perempuan. Tabel 4.1.4. Distribusi Kepatuhan Pasien Epilepsi No 1 2
Kategori Patuh Tidak Patuh Jumlah
Frekuensi 1 9 10
Persentase (%) 10 % 90 % 100%
Berdasarkan Tabel 4.1.4. diatas sebagian besar pasien epilepsi tidak patuh dengan terapi yang diberikan dokter yakni 9 orang (90%).
4.2. Pembahasan Puskesmas Sungai Pinang merupakan salah satu dari 21 Puskesmas yang ada di kabupaten Hulu Sungai selatan. Setelah dilakukan kunjungan kerumah pasien dan melakukan tanya jawab dengan pasien dan keluarga dengan kuesioner yang berisi pertanyaan-pertanyaan yang menggambarkan data-data yang diinginkan penulis, untuk mengetahui Gambaran Kepatuhan Terapi Pasien Epilepsi di Puskesmas Sungai Pinang Kabupaten Hulu Sungai selatan. Menurut Niven (2012 ) kepatuhan berasal dari kata patuh yang berarti disiplin dan taat. kepatuhan pasien adalah sejauh mana Perilaku pasien sesuai dengan ketentuan yang diberikan oleh profesional kesehatan . setiap individu pasti menginginkan kondisi badan yang sehat, disamping itu manusia juga tidak bisa menolak jika harus mengalami sakit. Manusia ketika sakit akan berusaha untuk mengatasi sakit yang diderita dengan berbagai macam cara kepatuhan pasien berpengaruh terhadap kesembuhan individu atau pasien.
18
Tabel 4.1.1.Menunjukan persentasi pasien epilepsi di wilayah kerja Puskesmas Sungai Pinang sebanyak 4 orang di usia 11 -20 tahun, 4 orang di usia 21-30 tahun, 1 orang di usia 31-40 tahun, dan 1 orang di usia 51-60. Tabel 4.1.2. Karakteristik pasien berdasarkan pendidikan terakhir dari hasil kuesioner, semua pasien berada pada tingkat pendidikan rendah (hanya 2 orang yang lulus SD, sisanya tidak sekolah dan kelas 5 SD berhenti sekolah). Bahkan ayah dan ibu pasien rata-rata tidak lulus SD, satu orang yang lulus SD dan dua orang yang lulus SMP. Tingkat pendidikan memiliki korelase dengan pola pikir dan perilaku seseorang sehingga sedikit atau banyak mempengaruhi pengetahuan terhadap sesuatu hal atau masalah. Karena pendidikan pasien epilepsi dan orang tuanya yang relatif rendah
sehingga
mengakibatkan
kurangnya
pengetahuan
mengenai
pentingnya minum obat epilepsi sesuai dengan yang dianjurkan oleh dokter karena pendidikan yang relatif rendah juga berimbas kemasalah ekonomi yang menyebabkan penebusan jumlah obat yang tidak sesuai dengan yang ditentukan oleh dokter, atau menggantinya dengan OAE yang lebih murah biaya transportasi tersendiri, juga masih ditemukan adanya dukungan keluarga yang kurang pada penderita epilepsi, yakni kurang nya perhatian dan kontrol dan rutinitas minum obat. Tabel 4.1.3. menunjukan persentasi pasien epilepsi di wilayah kerja Puskesmas Sungai Pinang sebanyak 5 orang berjenis kelamin laki-laki dan 5 orang berjenis kelamin perempuan. Tabel 4.1.4. menunjukan persentasi hasil dari kuesioner mengenai kepatuhan pasien epilepsi mengikuti terapi pengobatan. Hasil dari jawaban 6 pertanyaan yang penulis berikan kepada 10 orang penderita epilepsi didapat sebanyak 90% pasien epilepsi yang berobat di Puskesmas Sungai Pinang dikategorikan tidak patuh. Ketidakpatuhan ini dikarenakan berbagai sebab, antara lain karena pasien bosan meminum obat, kadang karena efek obat pasien tidur terus dan orang tuanya tidak ingin membangunkan, pasien kurang menyadari pentingnya dari penjelasan dokter dan tenaga kesehatan karena
19
terlalu banyak intruksi yang harus diingat oleh pasien. Karena kepatuhan merupakan faktor terpenting dalam mencapai keberhasilan terapi kepatuhan perlu dinilai dengan teliti. Tingkat kepatuhan yang rendah meningkatkan resiko kegagalan terapi dan progesivitas penyakit, serta ikut berperan dalam timbulnya resistensi (dep kes, 2004). Lebih dari 70% penyandang epilepsi dapat mencapai bebas kejang dengan terapi Obat Anti Epilepsi optimal namun ketidakpatuhan terhadap pengobatan dapat menyebabkan kejang tidak terkontrol, timbulnya efek samping obat, serta munculnya morbiditas psikis dan fisik (Packham, 2009). Selain dari mempengaruhi kejang, ketidakpatuhan pengobatan juga mempengaruhi
sudden
enexpected
death
in
epilepsy
(SUDEP),
kecenderungan perawatan di rumah sakit dan meningkatkan perawatan di rumah sakit dan biaya kesehatan (Davis et al, 2008). Ketidak patuhan dalam terapi epilepsi menyebabkan serangan berulang yang ditandai dengat mengompol, pandangan kosong, tangan yang bergerak-gerak sendiri, sesak napas, terlihat bingung, pingsan, yang pada akhirnya memperparah penyakit epilepsi. Serangan berulang akibat ketidakpatuhan dalam menjalani pengobatan dapat berakibat fatal, bisa menyebabkan jaringan otak rusak sehingga menyulitkan terapi, bahkan memperparah kondisi sehingga berisiko membahayakan pasien. Ketidak patuhan pengobatan akan menurunkan plastisitas otak dan bagi anak penderita epilepsi akan mengalami gangguan tumbuh kembang dan mental.
BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan Dari hasil kunjungan rumah ke-10 pasien epilepsi di wilayah kerja Puskesmas
Sungai
Pinang
dapat
ditarik
kesimpulan,
persentasi
ketidakpatuhan pasien dalam terapi sebesar 90 %.
5.2. Saran 5.2.1. Pasien a. Meningkatkan kepatuhan minum obat sesuai dengan jadwal yang telah ditetapkan oleh dokter. b. Meningkatkan kepatuhan jadwal kontrol rutin minimal 6 bulan berturut-turut untuk memantau keefektifan terapi dan adanya kemungkinan efek samping obat.
5.2.2. Bagi Masyarakat Kepatuhan minum obat epilepsi perlu ditingkatkan lagi, yang bukan hanya menjadi tanggung jawab penderita epilepsi, melainkan perlunya kerjasama yang baik antara pemerintah, tenaga kesehatan, masyarakat maupun keluarga penderita epilepsi supaya tujuan terapi tercapai.
5.2.3. Bagi Keluarga Pasien a. Melalukan pengawasan kepada pasien agar pasien patuh minum obat sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan oleh dokter. b. Memberikan
dukungan
moril
kepada
pasien
agar
dapat
meningkatkan kesadaran penderita untuk patuh dalam pengobatan. c. Melakukan evaluasi perkembangan penyakit pasien epilepsi dan mengkondisikan agar mereka teratur minum obat sesuai dengan ketentuan dari dokter.
20
21
d. Segera konsultasi dengan dokter atau petugas kesehatan bila pasien tidak mau minum obat dan ada efek samping obat e. Mempertahankan kondisi rumah yang nyaman bagi pasien epilepsi dan mepertahankan hubungan timbal balik antara keluarga dan fasilitas kesehatan
5.2.4. Bagi petugas kesehatan a. Agar tetap memberikan penyuluhan tentang penyakit epilepsi dan akibatnya jika tidak patuh minum obat dan memperoleh kesembuhan. b. Hendaknya memberikan pengetahuan mengenai epilepsi serta informasi mengenai obat epilepsi dalam setiap pelayanan kefarmasian untuk meningkatkan kepatuhan pasien meminum obat epilepsi. c. Perlu dilakukan edukasi kepada pasien atau keluarga pasien tentang arti pentingnya kepatuhan minum obat dan kontrol rutin untuk meningkatkan
keefektifan
terapi
epilepsi
dan
pemantauan
kemungkinan adanya efek samping obat. d. Pencatatan data dalam Rekam Medis diharapkan agar lebih lengkap, termasuk jadwal kontrol rutin pasien selama pengobatan epilepsi, efek samping obat, dan ada tidaknya penyesuaian dosis.
5.2.5. Peneliti Selanjutnya Mengkaji faktor-faktor lain yang mempengaruhi kepatuhan minum obat pada pasien epilepsi sehingga hasilnya dapat digunakan untuk menunjang keberhasilan pengobatan sehingga diperoleh hasil yang diharapkan.
DAFTAR PUSTAKA
Andarini. (2007). Hubungan Kepatuhan Pengobatan dengan Remisi Epilipsi pada Anak. Laporan Penelitian Akhir. IP Saraf FK UGM, Yogyakarta Davis KL, Candrilli SD, Edin HM. 2008. Prevalence and cost of nonadherence with antiepileptic drugs in adult managed care population. Epilepsia, 49 (3): 446-454. Dimatteo, dkk (2002). The Psychology Of Health Ilness and Medical. Universita Sumatera Utara Gofir. (2006). Obat Anti Epilepsi. Yogyakarta Penerbit Pustaka Cendikia Press Ikawati, (2014). Farmakoterapi Penyakit Sistem Syaraf Pusat. Yogyakarta: Bursa Ilmu. Niven, (2008). Psikologi Kesehatan Pengantar untuk Perawat dan Profesional Kesehatan Lain. Jakarta: Buku Kedokteran EGC. Niven, (2012). Psikologi Kesehatan Pengantar untuk Perawat dan Profesional Kesehatan Lain. Jakarta: Buku Kedokteran EGC. Notoatmodjo. (2007). Promosi Kesehatan Ilmu dan Seni. Jakarta: Rineka Cipta Packham B. 2009. How to improve compaliance with epilpetic drugs. Prescriber, 20 (3): 12- 20. www.prescriber.co.uk. Siregar. (2006). Farmasi Klinik Teori dan Penerapan. Jakarta: Buku Kedokteran EGC.
22
LAMPIRAN
22
23
Lampiran 1
: Surat Keterangan Permohonan Bimbingan LTA
24
Lampiran 2
: Lembar Konsultasi Pembimbing 1
25
Lampiran 3
: Lembar Konsultasi Pembimbing 2
26
27
Lampiran 4
: Lembar Persetujuan Menjadi Responden
28
Lampiran 5
: Lembar Persetujuan Menjadi Responden
29
Lampiran 6
: Lembar Persetujuan Menjadi Responden
30
Lampiran 7
: Lembar Persetujuan Menjadi Responden
31
Lampiran 8
: Lembar Persetujuan Menjadi Responden
32
Lampiran 9
: Lembar Kuesioner
33
Lampiran 10 : Lembar Kuesioner
34
Lampiran 11 : Lembar Kuesioner
35
Lampiran 12 : Lembar Kuesioner
36
Lampiran 13 : Lembar Kuesioner
37
Lampiran 14 : Data Pasien dari Wawancara dengan Kuesioner
1.
Nama Alamat Pasien N Sungai Pinang
2.
S.N
Tanjung Selor
14
Kelas 2 SD
√
3.
A.W
Banua Hanyar
15
SD
√
4.
H
Jl. Inpres RT 01 RW 02
20
Kelas 2 SD
√
5.
Z
Sungai Pinang
21
Kelas 4 SD
√
6.
F
Habirau
24
Kelas 5 SD
√
7.
A.R
Jl. Pandai Besi Desa Sungai Pinang
25
-
√
8.
R
Jl. Mawar Desa Sungai Pinang
26
Kelas 5 SD
√
9.
D.R
Jl Satria Desa Tumbukan Banyu
35
-
√
Jl. Musyawarah Desa Tumbukan Banyu
55
SD
√
No
10. H.M
Umur tahun 11
Pendidikan terakhir Kelas 1 SD
Patuh
Tidak Patuh
√
38
Lampiran 15 : Dokumentasi Wawancara dengan Pasien Epilepsi
NAMA PASIEN UMUR
: FAHMI : 24 Tahun
NAMA PASIEN : ABDUL WADUD UMUR : 15 Tahun
NAMA PASIEN UMUR
: HAMIDAH : 21 Tahun
NAMA PASIEN : NADA UMUR : 11 Tahun
39
NAMA PASIEN : H. MUHAMMAD UMUR : 55 Tahun
NAMA PASIEN : RINI UMUR : 26 Tahun
NAMA PASIEN : AHMAD RIZKI UMUR : 25 Tahun
NAMA PASIEN : ZAINUDDIN UMUR : 21 Tahun
40
NAMA PASIEN : DAHA RAYANI UMUR : 35 Tahun
NAMA PASIEN : SITI NURHALIZA UMUR : 14 Tahun