LAPORAN PENDAHULUAN HEPATIC ENCELOPATY
A. Tinjauan Anatomi Fisiologi Hepar Hati adalah kelenjar terbesar di dalam tubuh, yang terletak di bagian teratas dalam rongga abdomen sebelah kanan di bawah diafragma. Hati secara luas dilindungi iga – iga. Hati terbagi dalam dua belahan utama, kanan dan kiri. Permukaan atas terbentuk cembung dan terletak di bawah diafragma. Permukaan bawah tidak rata dan memperlihatkan lekukan, fisura tranfersus. Permukaannya dilintasi berbagai pembuluh darah yang masuk keluar hati. Fisura longitudinal memisahkan belahan kanan dan kiri di permukaan bawah, sedangkan ligament falsiformis melakukan hal yang sama dipermukaan atas hati. Selanjutnya hati dibagi- bagi dalam empat belahan (kanan, kiri, kaudata, dan kuadrata). Dan setiap belahan atau lobus terdiri atas lobules. Lobules ini berbentuk polyhedral (segibanyak) san terdiri atas sel hati berbentuk kubus, dan cabang – cabang pembuluh darah diikat bersama oleh jaringan hati. Hati mempunyai dua jenis persediaan darah, yaitu yang datang melalui arteri hepatika dan yang melalui vena porta. Arteri hepatika yang keluar dari aorta dan memberikan seperlima darahnya kepada hati, darah yang mempunyai kejenuhan oksigen 95 sampai 100 persen. Vena porta yang terbentuk dari vena lienalis dan vena mesenterika superior, menghantarkan empat perlima darahnya ke hati, darah ini mempunyai kejenuhan oksigen hanya 70 persen sebab beberapa oksigen telah diambil limpa dan usus. Darah vena porta ini membawa kepada hati zat makanan yang telah diabsorbsi mukosa usus halus. Vena hepatika mengembalikan darah dari hati ke vena cava inferior. Di dalam vena hepatika tidak terdapat katub. Saluran empedu terbentuk dari penyayatan kapiler- kapiler empedu yang mengumpulkan empedu dari sel hati. Maka terdapat empat pembuluh darah utama yang menjelajahi seluruh hati, dua yang masuk, yaitu arteri hepatika dan vena porta, dan dua yang keluar, yaitu vena hepatika dan saluran empedu.
Gambar 1. Anatomi Hepar
B. Pengertian Berikut merupakan beberapa definisi menurut beberapa tokoh, diantaranya: Ensefalopati Hepatik adalah suatu sindrom neuropsikiatri, mempunyai spektrum klinik yang luas, dapat timbul akibat penyakit hati yang berat, baik akut maupun yang menahun ditandai adanya gangguan tingkah laku, gejala neurologik, astriksis, berbagai derajat gangguan kesadaran sampai koma, dan kelainan elektro ensefalografi (Blei., 2010). Ensefalopati Hepatik (HE) merupakan sindrom neuropsikiatrik yang terjadi pada penyakit hati. Definisi tersebut menyiratkan bahwa spektrum klinis ensefalopati hepatik sangat luas, karena di dalamnya juga termasuk pasien hepatitis fulminan serta pasien sirosis dalam stadium Ensefalopati Hepatik Subklinis (EHS) (Budihusodo., 2011). Ensefalopati hepatik adalah suatu kompleks suatu gangguan susunan saraf pusat yang dijumpai yang mengidap gagal hati. Kelainan ini ditandai oleh gangguan memori dan perubahan kepribadian (Corwin., 2010). Ensefalopati hepatik (ensefalopati sistem portal, koma hepatikum) adalah suatu kelainan dimana fungsi otak mengalami kemunduran akibat zat-zat racun di dalam darah, yang dalam keadaan normal dibuang oleh hati (Stein 2012). Ensefalopati hepatik merupakan sindrom neuropsikiatrik pada penderita penyakit hati berat. Sindrom ini ditandai oleh kekacauan mental, tremor otot dan flapping tremor yang dinamakan asteriksis (Price et al., 2010). Ensefalopati Hepatik adalah suatu sindrom neuropsikiatri sekunder karena penyakit hati akut (misal hepatitis fulminan akut, hepatitis toksik, dan perlemakan hati akut pada kehamilan) atau penyakit hati kronis (misal sirosis hati). Pada sirosis hati ensefalopati hepatic (EH) disebut juga ensefaloporto sistemik.
Ensefalopati Hepatik (koma hepatic) merupakan sindrom neuropsikiatri pada penderita penyakit hati berat. Sindrom ini ditandai oleh kekacauan mental, tremor otot, dan flapping tremor yang disebut sebagai asteriksis. Perubahan mental diawali dengan perubahan kepribadian, hilang ingatan, dan iritabilitas yang dapat berlanjut hingga kematian akibat koma dalam. Ensefalopati Hepatik yang berakhir dengan koma adalah mekanisme kematian yang terjadi pada sepertiga kasus sirosis yang fatal.
C. Penyebab Bahan-bahan yang diserap kedalam aliran darah dari usus, akan melewati hati, dimana racun-racunnya dibuang tetapi pada ensefalopati hepatik, yang terjadi adalah: 1. Racun-racun ini tidak dibuang karena fungsi hati terganggu. 2. Telah terbentuk hubungan antara sistem portal dan sirkulasi umum (sebagai akibat dari penyakit hati), sehingga racun tidak melewati hati. 3. Pembedahan by pass untuk memperbaiki hipertensi portal (shunt system portal) juga akan menyebabkan beberapa racun tidak melewati hati.apapun penyebabnya, akibatnya adalah sampainya racun di otak dan mempengaruhi fungsi otak. 4. Bahan apa yang bersifat racun terhadap otak, secara pasti belum diketahui, tetapi tingginya kadar hasil pemecahan protein dalam darah,misalnya ammonia,tampaknya memegag peranan yang penting. Pada penderita penyakit hati menahun, ensefalopati biasanya dipicu oleh: a. Infeksi akut. b. Pemakaian alkohol. c. Terlalu banyak makan protein, yang akan meningkatkan kadar hasil pemecahan protein dalam darah. d. Perdarahan pada saluran pencernaan, misalnya pada varises esofageal, juga bisa menyebabkan bertumpuknya hasil pemecahan protein, yang secara langsung bisa mengenai otak. e. Obat-obat tertentu, terutama obat tidur, obat pereda nyeri dan diuretic (azotemia, hipovolemia). f. Obstipasi meningkatkan produksi, absorbsi ammonia dan toksin nitrogen lainnya.
D. Klasifikasi Klasifikasi ensefalopati hepatik yang banyak dianut adalah :
1. Menurut cara terjadinya a. Ensefalopati hepatik tipe akut : Timbul tiba-tiba dengan perjalanan penyakit yang pendek, sangat cepat memburuk jatuh dalam koma, sering kurang dari 24 jam. Tipe ini antara lain hepatitis virus fulminan, hepatitis karena obat dan racun, sindroma reye atau dapat pula pada sirosis hati. b. Ensefalopati hepatik tipe kronik : Terjadi dalam periode yang lama, berbulan-bulan sampai dengan bertahuntahun. Suatu contoh klasik adalah ensefalopati hepatik yang terjadi pada sirosis hepar dengan kolateral sistem porta yang ekstensif, dengan tanda-tanda gangguan mental, emosional atau kelainan nueurologik yang berangsur-angsur makin berat. 2. Menurut faktor etiologinya a. Ensefalopati Hepatik Primer / Endogen Terjadi tanpa adanya faktor pencetus, merupakan tahap akhir dari kerusakan sel-sel hati yang difus nekrosis sel hati yang meluas. Pada hepatitis fulminan terjadi kerusakan sel hati yang difus dan cepat, sehingga kesadaran terganggu, gelisah, timbul disorientasi, berteriak-teriak, kemudian dengan cepat jatuh dalam keadaan koma, sedangkan pada sirosis hepar disebabkan fibrosi sel hati yang meluas dan biasanya sudah ada sistem kolateral, ascites. Disini gangguan disebabkan adanya zat racun yang tidak dapat dimetabolisir oleh hati. Melalui sistem portal / kolateral mempengaruhi susunan saraf pusat. b. Ensefalopati Hepatik Sekunder / Eksogen Terjadi karena adanya faktor-faktor pencetus pada pederita yang telah mempunyai kelainan hati. Faktor-faktor antara lain adalah: 1) Gangguan keseimbangan cairan, elektrolit dan PH darah : a) Dehidrasi / hipovolemia b) Parasintesis abdomen c) Diuresis berlebihan 2) Pendarahan gastrointestinal 3) Operasi besar 4) Infeksi berat 5) Intake protein berlebihan 6) Konstipasi lama yang berlarut-larut 7) Obat – obat narkotik/ hipnotik
8) Pintas porta sistemik, baik secara alamiah maupun pembedahan 9) Azotemia
E. Manifestasi klinik. Spektrum klinis ensefalopati hepatik sangat luas yang sama sekali asimtomatik hingga koma hepatik. Simptom yang acap kali dijumpai pada ensefalopati hepatik klinis antara lain perubahan personalitas, iritabilitas, apati, disfagia, dan rasa mengantuk disertai tanda klinis seperti asteriksis, iritabilitas, gelisah, dan kehilangan kesadaran (koma). Manifestasi klinis ensefalopati hepatik biasanya didahului oleh dekompensasi hati dan adanya faktor pencetus yang berupa keadaan amoniaagenik seperti makan protein berlebih, perdarahan gastrointestinal atau program obat sedatif. Manifestasi ensefalopati hepatik adalah gabungan dari ganguan mental dan neurologik. Gambaran klinik ensefalopati hepatik
sangat bervariasi, tergantung
progresivitas penyakit ini, penyebab, dan ada tidaknya berdasarkan status mental, adanya asteriksis, serta kelainan EEG (Electro Encephalogram), manifestasi neuropsikiatri pada EH dapat dibagi atas stadium. Di luar itu terdapat sekelompok pasien yang asimtomatik, tetapi menunjukkan adanya kelainan pada pemeriksaan EEG dan / atau psikometrik. Contoh uji piskometrik yang populer ialah NCT (Number Conection Test). Kelompok inilah yang digolongkan sebagai ensefalopatia hepatik subklinis atau laten (EHS). Para peneliti mendapatkan bahwa proporsi EHS jauh lebih besar daripada ensefalopati hepatik klinis (akut maupun kronik), yaitu mencapai 70-80% dari seluruh kasus sirosis hati dengan hipertensi portal (Budihusodo., 2001). Gejala dan tanda klinis ensefalopati hepatik dapat timbul sangat cepat dan berkembang menjadi koma bila terjadi gagal hati pada penderita hepatitis fulminan. Pada penderita sirosis, perkembangan berlangsung lebih lambat dan bila ditemukan pada stadium dini masih bersifat reversible. Perkembangan ensefalopati hepatik menjadi koma biasanya dibagi dalam 4 stadium. Adapun stadium – stadium Ensefalopati hepatik menurut gejala klinis antara lain : 1. Stadium 1 (prodromal) Terdapat gangguan stasus mental, sedikit perubahan kepribadian dan tingkah laku, termasuk penampilan yang tidak terawatt baik, pandangan mata kosong, bicara tidak jelas, tertawa sembarangan, pelupa, dan tidak mampu memusatkan pikiran, penderita mungkin cukup rasional, hanya terkadang tidak kooperatif atau sedikit kurang ajar, afektif hilang, eufori, depresi, apati. Tingkat kesadaran somnolen, tidur lebih banyak dari bangun, letargi. Tanda-tandanya:
a. Asteriksis : gangguan motorik yang di tandai dengan penyimpangan intermiten dari postur. b. Kesulitan bicara c. Kesulitan menulis d. EEG (elektroensefalografi) (+) 2. Stadium 2 (Impending koma atau koma ringan) Terdapat gangguan mental semakin berat, flapping tremor (tangan bergetar), pengendalian sfingter kurang, kebingungan, disorientasi, mengantuk, dan asteriksis. 3. Stadium 3 (Stupor) Terjadi kebingungan yang nyata dengan perubahan tingkah laku yang mencolok, penderita dapat tidur sepanjang waktu, bangun hanya dengan rangsangan, asteriksis, fetor hepatik, lengan kaku, hiperreflek, klonus, grasp dan sucking reflek. 4. Stadium 4 (koma) Penderita masuk ke dalam tingkat kesadaran koma sehingga muncul refleks hiperaktif dan tanda babinsky yang menunjukkan adanya kerusakan otak lebih lanjut. Napas penderita akan mengeluarkan bau apek yang manis (fetor hepatikum). Fetor hepatikum merupakan tanda prognosis yang buruk dan intensitas baunya sangat berhubungan dengan derajat kesadarannya, dan tonus otot hilang.
F. Patofisiologi Ensefalopati hepatik merupakan suatu bentuk intosikiasi otak yang disebabkan oleh isi usus yang tidak di metabolisme oleh hati. Keadaan ini dapat terjadi bila terdapat kerusakan sel hati akibat nekrosis, atau adanya pirau (patologis atau akibat pembedahan) yang memungkinkan adanya darah porta mencapai sirkulasi sistemik dalam jumlah besar tanpa melewati hati. Metabolit yang bertanggung jawab atas timbulnya ensefalopati hepatik tidak diketahui dengan pasti. Mekanisme dasar tampaknya adalah karena intosikasi otak oleh hasil pemecahan metabolisme protein oleh bakteri dalam usus. Hasil-hasil metabolisme ini dapat memintas hati karena adanya penyakit pada sel hati. Ensefalopati hepatik pada penyakit hati kronik biasanya dipercepat oleh keadaan seperti perdarahan saluran cerna, asupan protein berlebihan, pemberian diuretik, parasentesis, hipokalemia, infeksi akut, pembedahan, azotemia dan pemberian morfin, sedatif, atau obat-obatan yang mengandung ammonia.
Ensefalopati hepatik tidak disebabkan oleh salah satu faktor tunggal, melainkan oleh beberapa faktor yang sekaligus berperan bersama. Sebagian besar menunjukkan bahwa terdapat hubungan sirkulasi porto sistemik yang langsung tanpa melalui hati, serta adanya kerusakan dan gangguan faal hati yang berat. Kedua keadaan ini menyebabkan bahan-bahan toksik yang berasal dari usus tidak mengalami metabolisme di hati, dan selanjutnya tertimbun di otak (blood brain barrier), yang memudahkan masuknya bahanbahan toksik tersebut ke dalam susunan saraf pusat. Secara garis besar ada dua teori yang mendasarinya yaitu Teori Amonia dan neurotransmitter palsu. Amonia merupakan zat yang sering di libatkan dalam patoganesis ensefalopati hepatik. Metabolit lain yang dapat berperan pada ensefalopati hepatic meliputi mercaptans, short chain fatty acid, neurotransmitter palsu. Kadar berlebihan dari gama amino butyric acid (GABA), yaitu suatu penghambat transmitter di sistem saraf pusat merupakan faktor penting terjadinya penurunan kesadaran yang terlihat pada ensefalopati hepatik. Kenaikan kadar GABA di sistem saraf pusat merupakan refleksi dari kegagalan hati untuk mengeluarkan GABA yang berasal dari usus. Beberapa bahan toksik yang diduga berperan pada ensefalopati hepatik, yaitu: 1. Ammonia Ammonia berasal dari penguraian nitrogen oleh bakteri dalam usus, di samping itu dihasilkan oleh ginjal, jaringan otot perifer, otak dan lambung. Secara teori ammonia mengganggu faal otak karen dapat mempengaruhi metabolisme otak melalui siklus peningkatan sintesis glutamin dan ketoglutarat, kedua bahan ini mempengaruhi siklus kreb sehingga menyebabkan hilangnya molekul ATP yang diperlukan untuk oksidasi sel. 2. Asam amino neurotoksik (triptofan, metionin, dan merkaptan) Triptopan dan metabolitnya serotonin bersifat toksis terhadap sistem saraf pusat (SSP). Metionin dalam usus mengalami metabolisme oleh bakteri menjadi merkaptan yang toksis terhadap SSP. Di samping itu merkaptan dan asam lemak bebas akan bekerja sinergistik mengganggu detoksifikasi ammonia di otak, dan bersama-sama ammonia menyebabkan timbulnya koma. 3. Gangguan keseimbangan asam amino Asam Amino Aromatik (AAA) meningkat pada ensefalopati hepatik karena kegagalan deaminasi di hati dan penurunan asam amino rantai cabang (AARC) akibat katabolisme protein di otot dan ginjal yang terjadi hiperinsulinemia pada penyakit hati kronik.
4. Asam lemak rantai pendek Pada ensefalopati hepatik terdapat kenaikan kadar asam lemak rantai pendek seperti asam butirat, valerat, oktanoat, dan kaproat, diduga sebagai salah satu toksin serebral penyebab ensefalopati hepatik. 5. Neurotramsmitter palsu Neurotrasmitter palsu yang telah diketahui adalah Gamma Aminobutyric Acid (GABA), oktapamin, histamin, feniletanolamin, dan serotonin. GABA bekerja secara sinergis dengan benzodiasepine membentuk suatu kompleks, menempati reseptor ionophore chloride di otak, yang disebut reseptor GABA/BZ. Pengikatan reseptor tersebut akan menimbulkan hiperpolarisasi sel otak, di samping itu juga menekan fungsi korteks dan subkorteks, rangkaian peristiwa tersebut menyebabkan kesadaran dan koordinasi motorik terganggu. 6. Glukagon Peningkatan AAA pada ensefalopati hepatik mempunyai hubungan erat dengan tingginya kadar glukagon. Peninggian glukagon turut berperan atas peningkatan beban nitrogen. Karena hormon ini melepas asam amino aromatis dari protein hati untuk mendorong terjadinya glukoneogenesis. 7. Perubahan sawar darah otak Pembuluh darah otak dalam keadaan normal tidak permeabel terhadap berbagai macam substansi. Terdapat hubungan kuat antara endotel kapiler otak, ini merupakan sawar yang mengatur pengeluaran bermacam-macam substansi dan menahan beberapa zat essensial seperti neurotrasmitter asli.
G. Patways
H. Pemeriksaan Penunjang 1. Hematologi a. Hemoglobin, hematokrit, hitung lekosit-eritrosit-trombosit, hitung jenis lekosit. b. Jika diperlukan : faal pembekuan darah. 2. Biokimia darah
a. Uji faal hati : trasaminase, billirubin, elektroforesis protein, kolestrol, fosfatase alkali. b. Uji faal ginjal : Urea nitrogen (BNU), kreatinin serum. c. Kadar amonia darah. d. Atas indikasi : HbsAg, anti-HCV,AFP, elektrolit, analisis gas darah. 3. Urin dan tinja rutin 4. EEG (Elektroensefalografi) dengan potensial picu visual (visual evoked potential) merupakan suatu metode yang baru untuk menilai perubahan dini yang halus dalam status kejiwaan pada sirosis. 5. CT Scan pada kepala biasanya dilakukan dalam stadium ensefalopatia yang parah untuk menilai udema otak dan menyingkirkan lesi structural (terutama hematoma subdura pada pecandu alkohol). 6. Pungsi lumbal, umumnya mengungkapkan hasil-hasil yang normal, kecuali peningkatan glutamin. Cairan serebrospinal dapat berwarna zantokromat akibat meningkatnya kadar bilirubin. Hitung sel darah putih cairan spinal yang meningkat menunjukan adanya infeksi. Edema otak dapat menyebabkan peningkatan tekanan.
I. Penatalaksanaan Langkah
pengobatan
ensefalopati
hepatik
dipusatkan
pada
mekanisme
penyebabnya. Yang paling penting adalah mencari faktor pencetus, seperti pendarahan saluran cerna atau terapi diuretik yang berlebihan, dan memberikan pengobatan korektif. 1. Ensefalopati hepatik tipe akut a. Tindakan umum 1) Penderita stadium III-IV perlu perawatan suportif yang intensif, yaitu dengan memperhatikan posisi berbaring, bebaskan jalan nafas, pemberian oksigen, pasang kateter forley. 2) Pemantauan kesadaran, keadaan neuropsikiatri, system kardiopulmunal dan ginjal keseimbangan cairan, elektrolit serta asam dan basa. 3) Pemberian kalori 2000 kal/hari atau lebih pada fase akut bebas protein gram/hari (peroral, melalui pipa nasogastrik atau parental). b. Tindakan khusus 1) Mengurangi pemasukan protein a) Diet tanpa protein untuk stadium III-IV
b) Diet rendah protein (nabati 20 gram/hari) untuk stadium I-II. Segera setelah fase akut terlewati, intake protein mulai ditingkatkan dari beban protein kemudian ditambahkan 10 gram secara bertahap sampai kebutuhan maintanance (40-60 gram/hari). 2) Mengurangi populasi bakteri kolon (urea splitting organism). a) Laktulosa peroral untuk stadium I-II atau pipa nasogastrik untuk stadium IIIIV, 30-50 cc tiap jam, diberikan secukupnya sampai terjadi diare ringan. b) Lacticol (Beta Galactoside Sorbitol), dosis : 0,3-0,5 gram/hari. c) Pengosongan usus dengan lavement 1-2x/hari: dapat dipakai katartik osmotic seperti MgSO4 atau laveman, yaitu dengan memakai larutan laktulosa 20% atau larutan neomisin 1% sehingga didapat pH = 4 d) Antibiotika : neomisisn 4x1-2gram/hari, peroral, untuk stadium I-II, atau melalui pipa nasogastrik untuk stadium III-IV. Rifaximin (derifat rimycin), dosis : 1200 mg per hari selama 5 hari dikatakan cukup efektif. 3) Obat-obatan lain a) Penderita koma hepatikum perlu mendapatkan nutrisi parenteral. Sebagai langkah pertama dapat diberikan cairan dektrose 10% atau maltose 10%, karena kebutuhan karbohidrat harus terpenuhi lebih dahulu. Langkah selanjutnya dapat diberikan cairan yang mengandung AARC (comafusin hepar) atau campuran sedikit AAA dalam AARC (aminoleban) : 1000 cc/hari. Tujuan pemberian AARC adalah untuk mencegah masuknya AAA ke dalam sawar otak, menurunkan katabolisme protein, dan mengurangi konsentrasi ammonia darah. Cairan ini banyak dibicarakan akhir-akhir ini. b) L-dopa : 0,5 gram peroral untuk stadium I-II atau melalui pipa nesogastrik untuk stadium III-IV tiap 4 jam. c) Hindari pemakaian sedatva atau hipnotika, kecuali bila penderita sangat gelisah dapat diberikan diimenhidrimat (dramamine) 50 mg i.m: bila perlu diulangi tiap 6-8 jam. Pilihan obat lain, yaitu fenobarbital, yang ekskresinya sebagian besar melalui ginjal. d) Vitamin K 10-20 mg/hari i.m atau peroral atau pipa nasogastrik. 4) Pengobatan radikal Exchange
tranfusio,
plasmaferesis,
transpalantasi hati. 2. Ensefalopati hepatik tipe kronik
dialysis,
charcoal
hemoperfusion,
Prinsip-prinsip penatalaksanaan ensefalopati hepatik tipe kronik adalah sebagai berikut: a. Diet rendah protein, maksimal 1 gram / kg berat badan terutama protein nabati. b. Hindari konstipasi, dengan memberikan laktulosa dalam dosis secukupnya (2-3 x 10 cc/hari). c. Bila gejala ensefalopati meningkat, ditambah neomisin 4x1 gram/hari. d. Bila timbul aksaserbasi akut, sama seperti ensefalopati hepatik tipe akut. e. Perlu pemantauan jangka panjang untuk penilaian keadaan mental dan neuromuskulernya. f. Pembedahan elektif : colon by pass, transplantasi hati, khususnya untuk ensefalopati hepatik kronik stadium III-IV.
J. Fokus pengkajian keperawatan 1. Pengkajian a. Keluhan Utama Biasanya keluarga atau orang terdekat melaporkan bahwa adanya peubahan kepribadian dan penurunan mental. b. Riwayat Kesehatan. 1) Riwayat Penyakit Sekarang Tanyakan sejak kapan pasien mengalami keluhan seperti yang ada pada keluhan utama dan tindakan apa yang dilakukan untuk menanggulanginya. 2) Riwayat Penyakit Dahulu Tanyakan pada pasien apakah pernah mengalami penyakit hati seperti sirosis hati, infeksi hati, atau apakah pasien sering mengkonsumsi alcohol sebelumnya. 3) Riwayat Penyakit Keluarga Apakah ada keluarga pasien yang pernah menderita penyakit seperti yang di derita pasien sekarang.
c. Riwayat Aktifitas Sehari-hari Data dasar tergantung pada penyebab dan beratnya kerusakan atau gangguan hati. 1) Aktivitas a) Kelemahan b) Kelelahan c) Malaise
2) Sirkulasi a) Bradikardi ( hiperbilirubin berat ) b) Ikterik pada sklera kulit, membran mukosa 3) Eliminasi a) Urine gelap b) Diare feses warna tanah liat 4) Makanan dan Cairan a) Anoreksia b) Berat badan menurun c) Mual dan muntah d) Peningkatan oedema e) Asites 5) Neurosensori a) Peka terhadap rangsang b) Cenderung tidur c) Letargi d) Asteriksis 6) Nyeri / Kenyamanan a) Kram abdomen b) Nyeri tekan pada kuadran kanan c) Mialgia d) Atralgia e) Sakit kepala f) Gatal ( pruritus ) 7) Keamanan a) Demam b) Urtikaria c) Lesi makulopopuler d) Eritema e) Splenomegali f) Pembesaran nodus servikal posterior 8) Seksualitas, Pola hidup atau perilaku meningkat resiko terpajan d. Pemeriksaan Fisik 1) Status kesehatan umum : keadaan umum lemah, tanda-tanda vital.
2) Kepala : normo cephalic, simetris, pusing, benjolan tidak ada, rambut tumbuh merata dan tidak botak, rambut berminyak, tidak rontok. 3) Mata: alis mata, kelopak mata normal, konjuktiva anemis (+/+), pupil isokor sclera agak ikterus (-/ -), reflek cahaya positif, tajam penglihatan menurun. 4) Telinga : sekret, serumen, benda asing, membran timpani dalam batas normal. 5) Hidung: deformitas, mukosa, secret, bau, obstruksi tidak ada, pernafasan cuping hidung tidak ada. 6) Mulut dan faring : bau mulut, stomatitis (-), lidah merah merah mudah, kelainan lidah tidak ada. 7) Leher : simetris, kaku kuduk tidak ada. 8) Thoraks : a) Paru: gerakan simetris, retraksi supra sternal (-), retraksi intercoste (-), perkusi resonan, rhonchi -/-, wheezing -/-, vocal fremitus dalam batas normal. b) Jantung: batas jantung normal, bunyi s1 dan s2 tunggal, gallop (-), mumur (), capillary refill time 2 – 3 detik. 9) Abdomen : nyeri pada kuadran kanan atas. 2. Diagnosa Keperawatan a. Perubahan perfusi jaringan serebral b.d proses peradangan, peningkatan TIK (Tekanan Intra Karnial) b. Resiko Injuri : Jatuh b.d aktivitas kejang, penurunan kesadaran dan status mental c. Kerusakan mobilitas fisik b.d kelemahan umum, defisit neurologic
K. Fokus Intervensi Keperawatan N o 1
DIAGNOSA KEPERAWATA
Tujuan
Intervensi
N Perubahan perfusi jaringan serebral b.d proses peradangan,
NOC : Circulation status Neurologic status
NIC : 1. Monitor status neurologi setiap 2 jam: tingkat
Data Pendukung : Perubahan kesadaran Perubahan tanda vital Kelemahan motorik Perubahan nilai AGD
Tujuan: Ketidakefektifan perfusi jaringan serebral dapat teratasi
2. 3.
Kriteria Hasil : Mempertahankan tingkat 4. kesadaran dan orientasi Tanda vital dalam batas 5. normal. Tidak terjadi defisit neurologi. 6.
2
Resiko Injuri : Jatuh b.d aktivitas kejang, penurunan kesadaran dan status mental Data Pendukung: Penurunan kesadaran Aktivitas kejang Perubahan status mental
3
Kerusakan mobilitas fisik b.d kelemahan umum, defisit neurologic
NOC : Risk kontrol
kesadaran, pupil, reflex, kemampuan motorik, nyeri kepala, kaku kuduk Monitor tanda vital dan temperature setiap 2 jam Kurangi aktivitas yang dapat menimbulkan peningkatan TIK: batuk, mengedan, muntah, menahan nafas Berikan waktu istirahat yang cukup dan kurangi stimulus lingkungan Tinggikan posisi kepala 30 – 45° pertahankan kepala pada posisi netral, hindari fleksi leher Kolaborasi dalam pemberian Diuretik osmotic,steroid, antibiotic
NIC :
1. Kaji status neurologi setiap 2 jam Tujuan: Klien tidak mengalami injuri 2. Pertahankan keamanan pasien seperti penggunaan Kriteria Hasil : penghalang tempat tidur, Mempertahankan tingkat kesiapan suction, spatel, kesadaran dan orientasi oksigen Kejang tidak terjadi 3. Catat aktivitas kejang dan Injuri tidak terjadi. tinggal bersama pasien selama kejang 4. Kaji status neurologik dan tanda vital setelah kejang 5. Orientasikan pasien ke lingkungan 6. Kolaborasi dalam pemberian obat anti kejang
NOC : NIC : Joint Movement : Active 1. Kaji kemampuan mobilisasi Mobility level 2. Alih posisi pasien setiap 2 jam Tujuan:
Gangguan mobilitas fisik Data Pendukung : teratasi Kriteria Hasil : Pasien dapat Pasien mempertahankan mengatakan mobilisasinya secara lemah, tangan optimal dan kaki tidak dapat Integritas kulit utuh digerakkan Tidak terjadi kontraktur Kekuatan otot kurang Kontraktur,
3. Lakukan massage bagian tubuh yang tertekan 4. Lakukan ROM passive 5. Monitor Tromboemboli, konstipasi 6. Konsul pada ahli fisioterapi jika diperlukan
DAFTAR PUSTAKA
Alfarisi. 2010. Definisi dan Klasifikasi Efusi Pleura. Diakses pada tanggal 8 April 2012 pada
http://doc-alfarisi.blogspot.com/2011/05/definisi-dan-klasifikasi-efusi-
pleura.html Doenges, Marilynn E. 2010. Rencana Asuhan Keperawatan. Edisi -3. Jakarta : EGC
Brunner & Suddart, 2010, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, Vol 3, Edisi 8, Penerbit RGC, Jakarta. Price, Sylvia A. 2012. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Jakarta : EGC Smeltzer C Suzanne. 2011. Buku Ajar Keperawatan Medical Bedah, Brunner and Suddarth’s, Ed 8 Vol 1. Jakarta: EGC. Wilkinson M, Judith. 2010. Buku Saku Diagnosis Keperawatan. Jakarta : EGC
E. Pathway
Hepatitis Virus
Alkohol
Kolestatis Kronik Toksis dari
B dan C
Sirosis hati
obat
Peradangan sel hepar
Hepatoma
Inflamasi pada hepar
Percabangan pembuluh hepatik dan aliran darah pada aorta
Kapula hati merenggang
Gangguan metabolisme vitamin Sintesis vitamin A, B kompleks, B12 melalui hati menurun
Hepatomegali Hipertensi portal Perasaan tidak nyaman di abdomen
Nyeri
Anoreksia
Gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi
Asites
Ekspansi paru terganggu
Pola nafas tidak efektif
Gangguan pembentukan empedu
Lemak tidak dapat diemulsikan dan tidak dapat diserap oleh usus
Peristaltic meningkat
Diare
Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit
Produksi eritrosit menurun
Anemia
Penurunan kekuatan dan ketahanan otot
Defisit perawatan diri