LAPORAN PENDAHULUAN HALUSINASI I. KONSEP DASAR MEDIS A. DEFISINI Halusinasi adalah persepsi sensorik tentang suatu objek, gambaran dan pikiran yang sering terjadi tanpa adanya rangsangan dari luar yang dapat meliputi semua sistem penginderaan ; pendengaran, penglihatan, penciuman, perabaan atau pengecapan. (Cook dan Fotaine, 2012). Halusinasi adalah gangguan penyerapan/persepsi panca indera tanpa adanya rangsangan dari luar yang dapat terjadi pada sistem penginderaan dimana terjadi pada saat kesadaran individu itu penuh dan baik. Maksudnya rangsangan tersebut terjadi pada saat klien dapat menerima rangsangan dari luar dan dari individu. Dengan kata lain klien berespon terhadap rangsangan yang tidak nyata, yang hanya dirasakan oleh klien dan tidak dapat dibuktikan. (Wilson, 2010). Halusinasi adalah gangguan pencerapan (persepsi) panca indera tanpa adanya rangsangan dari luar yang dapat meliputi semua sistem penginderaan di mana terjadi pada saat kesadaran individu itu penuh/baik.
Individu
yang
mengalami
halusinasi
seringkali
beranggapan sumber atau penyebab halusinasi itu berasal dari lingkungannya, padahal rangsangan primer dari halusinasi adalah kebutuhan perlindungan diri secara psikologik terhadap kejadian traumatik sehubungan dengan rasa bersalah, rasa sepi, marah, rasa takut ditinggalkan oleh orang yang diicintai, tidak dapat mengendalikan dorongan ego, pikiran dan perasaannya sendiri. Pasien dengan halusinasi cenderung menarik diri, sering didapatkan duduk terpaku dengan pandangan mata pada satu arah tertentu, tersenyum atau berbicara sendiri, secara tiba-tiba marah atau menyerang orang lain, gelisah, melakukan gerakan seperti sedang me-
nikmati sesuatu. Juga keterangan dari pasien sendiri tentang halusinasi yang dialaminya (apa yang dilihat, didengar atau dirasakan). B. ETIOLOGI Menurut Mary Durant Thomas dalam Kusumawati F dan Hartono Y (2010), Halusinasi dapat terjadi pada klien dengan gangguan jiwa seperti skizoprenia, depresi atau keadaan delirium, demensia dan kondisi yang berhubungan dengan penggunaan alkohol dan substansi lainnya. Halusinasi dapat juga terjadi dengan epilepsi, kondisi infeksi sistemik dengan gangguan metabolik. Halusinasi juga dapat dialami sebagai efek samping dari berbagai pengobatan yang meliputi anti depresi, anti kolinergik, anti inflamasi dan antibiotik, sedangkan obatobatan halusinogenik dapat membuat terjadinya halusinasi sama seperti pemberian obat diatas. Halusinasi dapat juga terjadi pada saat keadaan individu normal yaitu pada individu yang mengalami isolasi, perubahan sensorik seperti kebutaan, kurangnya pendengaran atau adanya permasalahan pada pembicaraan. Penyebab halusinasi pendengaran secara spesifik tidak diketahui namun banyak faktor yang mempengaruhinya seperti faktor biologis, psikologis, sosial budaya, dan stressor pencetusnya adalah stress lingkungan, biologis, pemicu masalah sumber-sumber koping dan mekanisme koping. C. TANDA DAN GEJALA Menurut Mary Durant Thomas dalam Kusumawati F dan Hartono Y, (2010), tanda dan gejala halusinasi adalah sebagai berikut : 1. Berbicara, senyum dan tertawa sendirian. 2. Mengatakan mendengar suara, melihat, menghirup, mengecap dan merasa sesuatu yang tidak nyata. 3. Merusak diri sendiri, orang lain dan lingkungan.
4. Tidak dapat membedakan hal yang nyata dan hal tidak nyata, serta tidak mampu melakukan asuhan keperawatan mandiri seperti mandi, sikat gigi, berganti pakaian dan berhias yang rapi. 5. Sikap curiga, bermusuhan, menarik diri, sulit membuat keputusan, ketakutan, mudah tersinggung, jengkel, mudah marah, ekspresi wajah tegang, pembicaraan kacau dan tidak masuk akal, banyak keringat. D. RENTANG RESPON HALUSINASI Halusinasi merupakan salah satu respon maladaptif individu yang berada dalam rentang respon neurobiology. Ini merupakan respon persepsi paling maladaptif. Jika klien sehat persepsinya akurat, mampu mengidentifikasi dan menginterpretasikan stimulus berdasarkan informasi
yang
diterima
melalui
panca
indra
(pendengaran,
penglihatan, penghidu, pengecapan, dan perabaan), klien dengan halusinasi mempersepsikan suatu stimulus panca indra walaupun sebenarnya stimulus itu tidak ada. Diantara kedua respon tersebut adalah respon individu yang karena sesuatu hal mengalami kelainan persepsi yaitu salah mempersepsikan stimulus yang diterimanya yang disebut sebagai ilusi. Klien mengalami ilusi jika interpretasi yang dilakukannya terhadap stimulus panca indra tidak akurat sesuai stimulus yang diterima. Rentang Respon Neurobiologi
Respon Adaptif
Respon Maladaptif
1. Pikiran logis
Distorsi pikiran
2. Persepsi akurat
Ilusi
3. Emosi konsisten dengan
Menarik Diri
emosi
Waham/Delusi Halusinasi Sulit berespon dgn
pengalaman 4. Perilaku sesuai
Reaksi emosi >/<
Perilaku
disorganisasi 5. Berhubungan sosial
Menarik diri
Isolasi Sosial
E. JENIS-JENIS HALUSINASI JENIS
KARAKTERISTIK
HALUSINASI Pendengaran
70 Mendengar suara atau kebisingan, paling sering
%
suara orang. Suara berbentuk kebisingan yang kurang
jelas
sampai
kata-kata
yang
jelas
berbicara tentang klien, bahkan sampai pada percakapan lengkap antara dua orang yang mengalami halusinasi. Pikiran yang terdengar dimana klien mendengar perkataan bahwa klien disuruh untuk melakukan sesuatu kadang dapat membahayakan. Penglihatan 20%
Stimulus visual dalam bentuk kilatan cahaya, gambar geometris,gambar kartun,bayangan yang rumit
atau
kompleks.
Bayangan
bias
menyenangkan atau menakutkan seperti melihat monster. Penghidu
Membaui bau-bauan tertentu seperti bau darah, urin, dan feses umumnya bau-bauan yang tidak menyenangkan.
Halusinasi
penghidu
sering
akibat stroke, tumor, kejang, atau dimensia. Pengecapan
Merasa mengecap rasa seperti rasa darah, urin atau feses.
Perabaan
Mengalami nyeri atau ketidaknyamanan tanpa stimulus yang jelas. Rasa tersetrum listrik yang
datang dari tanah, benda mati atau orang lain. Cenesthetic
Merasakan fungsi tubuh seperti aliran darah di vena
atau
arteri,
pencernaan
makan
atau
pembentukan urine Kinisthetic
Merasakan pergerakan sementara berdiri tanpa bergerak.
F. FASE HALUSINASI Halusinasi yang dialami oleh klien biasanya berbeda intensitas dan keparahannya. Fase halusinasi terbagi empat: 1. Fase Pertama Pada fase ini klien mengalami kecemasan, stress, perasaan gelisah, kesepian. Klien mungkin melamun atau memfokukan pikiran pada hal yang menyenangkan untuk menghilangkan kecemasan dan stress. Cara ini menolong untuk sementara. Klien masih mampu mengotrol kesadarnnya dan mengenal pikirannya, namun intensitas persepsi meningkat. 2. Fase Kedua Kecemasan meningkat dan berhubungan dengan pengalaman internal dan eksternal, klien berada pada tingkat “listening” pada halusinasi. Pemikiran internal menjadi menonjol, gambaran suara dan sensasi halusinasi dapat berupa bisikan yang tidak jelas klien takut apabila orang lain mendengar dan klien merasa tak mampu mengontrolnya. Klien membuat jarak antara dirinya dan halusinasi dengan memproyeksikan seolah-olah halusinasi datang dari orang lain.
3. Fase Ketiga Halusinasi lebih menonjol, menguasai dan mengontrol klien menjadi terbiasa dan tak berdaya pada halusinasinya. Halusinasi memberi kesenangan dan rasa aman sementara. 4. Fase Keempat. Klien merasa terpaku dan tak berdaya melepaskan diri dari kontrol halusinasinya. Halusinasi yang sebelumnya menyenangkan berubah menjadi mengancam, memerintah dan memarahi klien tidak dapat berhubungan dengan orang lain karena terlalu sibuk dengan halusinasinya klien berada dalam dunia yang menakutkan dalam waktu singkat, beberapa jam atau selamanya. Proses ini menjadi kronik jika tidak dilakukan intervensi. II. KONSEP DASAR KEPERAWATAN A. PENGKAJIAN KEPERAWATAN Halusinasi merupakan salah satu gejala yang ditampakkan oleh klien yang mengalami psikotik, khususnya schizofrenia. Pengkajian klien dengan halusinasi demikian merupakan proses identifikasi data yang melekat erat dengan pengkajian respon neurobiologi lainnya seperti yang terdapat juga pada schizofrenia. 1. Faktor Predisposisi Beberapa faktor predisposisi yang berkontribusi pada munculnya respon neurobiologi seperti halusinasi antara lain: b. Faktor Genetik Telah diketahui bahwa genetik schizofrenia diturunkan melalui kromoson tertentu. Namun demikian kromoson yang keberapa yang menjadi factor penentu gangguan ini sampai sekarang masih dalam tahap penelitian. Diduga letak gen schizoprenia adalah kromoson nomor enam, dengan kontribusi genetik tambahan No. 4, 8, 5 dan 22 (Buchanan dan Carpenter, 2002). Anak kembar identik memiliki kemungkinan mengalami schizofrenia sebesar
50% jika salah satunya mengalami schizofrenia, sementara jika di zygote peluangnya sebesar 15 %, seorang anak yang salah satu orang tuanya mengalami schizofrenia berpeluang 15% mengalami schizofrenia, sementara bila kedua orang tuanya schizofrenia maka peluangnya menjadi 35 %. c. Faktor Neurobiologi. Ditemukan bahwa korteks pre frontal dan korteks limbiks pada klien schizofrenia tidak pernah berkembang penuh. Ditemukan juga pada klien schizofrenia terjadi penurunan volume dan fungsi otak yang abnormal. Neurotransmitter dopamin berlebihan, tidak seimbang dengan kadar serotonin. d. Studi Neurotransmitter Schizofrenia diduga juga disebabkan oleh ketidakseimbangan neurotransmitter dimana dopamin berlebihan, tidak seimbang dengan kadar serotonin. e. Teori virus Paparan virus influenza pada trimester ke-3 kehamilan dapat menjadi factor predisposisi schizofrenia. f. Psikologis. Beberapa kondisi pikologis yang menjadi factor predisposisi schizofrenia antara lain anak yang di pelihara oleh ibu yang suka cemas, terlalu melindungi, dingin dan tak berperasaan, sementara ayah yang mengambil jarak dengan anaknya. 5. Faktor presipitasi Faktor-faktor pencetus respon neurobiologis meliputi : a. Berlebihannya proses informasi pada system syaraf yang menerima dan memproses informasi di thalamus dan frontal otak. b. Mekanisme penghataran listrik di syaraf terganggu (mekanisme gateing abnormal)
c. Gejala-gejala pemicu kondisi kesehatan lingkungan, sikap dan perilaku seperti yang tercantum pada tabel dibawah ini ; Kesehatan
Nutrisi Kurang Kurang tidur Ketidak siembangan irama sirkardian Kelelahan infeksi Obat-obatan system syaraf pusat Kurangnya latihan Hambatan unutk menjangkau pelayanan kesehatan
Lingkungan
Lingkungan yang memusuhi, kritis Masalah di rumah tangga Kehilangan kebebasan hidup, pola aktivitas sehari-hari Kesukaran
dalam
berhubungan
dengan
orang lain Isoalsi social Kurangnya dukungan social Tekanan kerja ( kurang keterampilan dalam bekerja) Stigmasasi Kemiskinan Kurangnya alat transportasi Ktidak mamapuan mendapat pekerjaan Sikap/Perilaku
Merasa tidak mampu ( harga diri rendah) Putus asa (tidak percaya diri ) Mersa
gagal
(
kehilangan
motivasi
menggunakan keterampilan diri Kehilangan kendali diri (demoralisasi) Merasa punya kekuatan berlebihan dengan
gejala tersebut. Merasa malang ( tidak mampu memenuhi kebutuhan spiritual ) Bertindak tidak seperti orang lain dari segi usia maupun kebudayaan Rendahnya kemampuan sosialisasi Perilaku agresif Perilaku kekerasan Ketidak adekuatan pengobatan Ketidak adekuatan penanganan gejala. 6. Mekanisme Koping. Mekanisme koping yang sering digunakan klien dengan halusinasi adalah: a. Register, menjadi malas beraktifitas sehari-hari. b. Proyeksi, mencoba menjelaskan gangguan persepsi dengan mengalihkan tanggung jawab kepada orang lain atau sesuatu benda. c. Menarik diri, sulit mempercayai orang lain dan asyik dengan stimulus internal. d. Keluarga mengingkari masalah yang dialami klien 7. Perilaku Halusinasi
benar-benar
riil
dirasakan
oleh
klien
yang
mengalaminya, seperti mimpi saat tidur. Klien mungkin tidak punya cara untuk menentukan persepsi tersebut nyata. Sama halnya seperti seseorang mendengarkan suara-suara dan tidak lagi meragukan orang yang berbicara tentang suara tersebut. Ketidakmampuannya mempersepsikan stimulus secara riil dapat menyulitkan kehidupan klien. Karenanya halusinasi harus menjadi prioritas untuk segera
diatasi. Untuk memfasilitasinya klien perlu dibuat nyaman untuk menceritakan perihal halusinasinya. Klien
yang
mendapatkan
mengalami respon
halusinasi
negatif
ketika
sering
kecewa
mencoba
karena
menceritakan
halusinasinya kepada orang lain. Karenanya banyak klien enggan untuk menceritakan pengalaman-pengalaman aneh halusinasinya. Pengalaman halusinasi menjadi masalah untuk dibicarakan dengan orang
lain.
Kemampuan
untuk
memperbincangkan
tentang
halusinasi yang dialami oleh klien sangat penting untuk memastikan dan memvalidasi pengalaman halusinasi tersebut. Perawat harus memiliki ketulusan dan perhatian untuk dapat memfasilitasi percakapan tentang halusinasi. Respon klien terhadap halusinasi dapat berupa curiga, ketakutan, perasaan tidak aman, gelisah dan bingung, prilaku merusak diri, kurang perhatian, tidak mampu mengambil keputusan serta tidak dapat membedakan keadaan nyata dan tidak nyata. Menurut Rawlins dan Heacock, 1993 mencoba memecahkan masalah halusinasi berlandaskan atas hakekat keberadaan seorang individu sebagai mahkluk yang dibangun atas dasar unsur-unsur bio-psiko-sosiospiritual sehingga halusinasi dapat dilihat dari lima dimensi yaitu : a. Dimensi Fisik Manusia dibangun oleh sistem indera untuk menanggapi rangsang eksternal yang diberikan oleh lingkungannya. Halusinasi dapat ditimbulkan oleh beberapa kondisi fisik seperti kelelahan yang luar biasa, penggunaan obat-obatan, demam hingga delirium, intoksikasi alkohol dan kesulitan untuk tidur dalam waktu yang lama. b. Dimensi Emosional Perasaan cemas yang berlebihan atas dasar problem yang tidak dapat diatasi merupakan penyebab halusinasi itu terjadi. Isi dari
halusinasi dapat berupa perintah memaksa dan menakutkan. Klien tidak sanggup lagi menentang perintah tersebut hingga dengan kondisi tersebut klien berbuat sesuatu terhadap ketakutan tersebut. c. Dimensi Intelektual Dalam dimensi intelektual ini menerangkan bahwa individu dengan halusinasi akan memperlihatkan adanya penurunan fungsi ego. Pada awalnya halusinasi merupakan usaha dari ego sendiri untuk melawan impuls yang menekan, namun merupakan suatu hal yang menimbulkan kewaspadaan yang dapat mengambil seluruh perhatian klien dan tak jarang akan mengontrol semua prilaku klien. d. Dimensi Sosial Dimensi sosial pada individu dengan halusinasi menunjukkan adanya kecenderungan untuk menyendiri. Individu asyik dengan halusinasinya, seolah-olah ia merupakan tempat untuk memenuhi kebutuhan akan interaksi sosial, kontrol diri dan harga diri yang tidak didapatkan dalam dunia nyata. Isi halusinasi dijadikan sistem kontrol oleh individu tersebut, sehingga jika perintah halusinasi berupa ancaman, dirinya atau orang lain individu cenderung untuk itu. Oleh karena itu, aspek penting dalam melaksanakan
intervensi
keperawatan
klien
dengan
mengupayakan suatu proses interaksi yang menimbulkan pengalaman interpersonal yang memuaskan, serta mengusakan klien tidak menyendiri sehingga klien selalu berinteraksi dengan lingkungannya dan halusinasi tidak berlangsung. e. Dimensi Spiritual Manusia diciptakan Tuhan sebagai makhluk sosial, sehingga interaksi dengan manusia lainnya merupakan kebutuhan yang mendasar. Pada individu tersebut cenderung menyendiri hingga
proses diatas tidak terjadi, individu tidak sadar dengan keberadaannya dan halusinasi menjadi sistem kontrol dalam individu tersebut. Saat halusinasi menguasai dirinya individu kehilangan kontrol kehidupan dirinya. Perilaku klien yang mengalami halusinasi sangat tergantung pada jenis halusinasinya. Apabila perawat mengidentifikasi adanya tanda-tanda dan perilaku halusinasi maka pengkajian selanjutnya harus dilakukan tidak hanya sekedar mengetahui jenis halusinasi saja. Validasi informasi tentang halusinasi yang diperlukan meliputi : 1) Isi Halusinasi. Ini dapat dikaji dengan menanyakan suara siapa yang didengar, apa yang dikatakan suara itu, jika halusinasi audiotorik. Apa bentuk bayangan yang dilihat oleh klien, jika halusinasi visual, bau apa yang tercium jika halusinasi penghidu, rasa apa yang dikecap jika halusinasi pengecapan,dan apa yang dirasakan dipermukaan tubuh jika halusinasi perabaan. 2) Waktu dan Frekuensi. Ini dapat dikaji dengan menanyakan kepada klien kapan pengalaman halusinasi muncul, berapa kali sehari, seminggu, atau sebulan pengalaman halusinasi itu muncul. Informasi ini sangat penting untuk mengidentifikasi pencetus halusinasi dan menentukan bilamana klien perlu perhatian saat mengalami halusinasi. 3) Situasi Pencetus Halusinasi. Perawat perlu mengidentifikasi situasi yang dialami sebelum halusinasi muncul. Selain itu perawat juga bias mengobservasi apa yang dialami klien menjelang munculnya halusinasi untuk memvalidasi pernyataan klien.
4) Respon Klien Untuk
menentukan
sejauh
mana
halusinasi
telah
mempengaruhi klien bisa dikaji dengan apa yang dilakukan oleh klien saat mengalami pengalaman halusinasi. Apakah klien masih bisa mengontrol stimulus halusinasinya atau sudah tidak berdaya terhadap halusinasinya. Selain data tentang halusinasinya, perawat juga dapat mengkaji data yang terkait dengan halusinasi, yaitu : a) Bicara, senyum dan tertawa sendiri. b) Menarik diri dan menghindar dari orang lain. c) Tidak dapat membedakan nyata dan tidak nyata. d) Tidak dapat memusatkan perhatian/konsentrasi. e) Curiga, bermusuhan, merusak (diri sendiri, orang lain dan lingkungan) dan takut. f) Ekspresi muka tegang dan mudah tersinggung. B. DIAGNOSA KEPERAWATAN Klien yang mengalami halusinasi dapat kehilangan kontrol dirinya sehingga bisa membahayakan diri sendiri, orang lain dan lingkungan. Hal ini terjadi jika halusinasi sudah sampai pada fase IV, dimana klien mengalami panik dan perilakunya di kendalikan oleh isi halusinasinya. Klien benar-benar kehilangan kemampuan penilaian realitas terhadap lingkungan. Dalam situasi ini klien dapat melakukan bunuh diri (suicide), membunuh orang lain (homocide) dan merusak lingkungan. Selain masalah yang diakibatkan oleh halusinasi, klien biasanya juga mengalami masalah-masalah keperawatan yang menjadi penyebab munculnya halusinasi. Masalah itu antara lain harga diri rendah dan isolasi social (Stuart dan Laria, 2001). Akibat harga diri rendah dan kurangnya keterampilan berhubungan social , klien menjadi menarik diri dari lingkungan. Dampak selanjutnya lebih dominan di bandingkan
stimulus
eksternal.
Klien
selanjutnya
kehilangan
kemampuan
membedakan stimulus internal dengan stimulus eksternal. Ini memicu timbulnya halusinasi.
Dari masalah tersebut diatas dapat disusun pohon masalah sebagai berikut : Efek
Resiko perilaku kekerasan
C.P
Gangguan Persepsi Sensori : Halusinasi.
Defisit Perawatan
Diri
Etiologi
Isolasi Social
Intoleransi Aktifitas
Harga Diri Rendah Dari pohon masalah diatas dapat dirumuskan diagnosa keperawatan sebagai berikut : 1. Resiko perilaku kekerasan 2. Gangguan persepsi sensori: halusinasi 3. Isolasi sosial 4. Harga diri rendah 5. Defisit perawatan diri
1. Tujuan Asuhan Keperawatan Tujuan umum : a. Klien dapat mengenal, dan mengontrol halusinasi Tujuan itu dapat dirinci sebagai berikut : 1) Klien dapat membina hubungan salin percaya 2) Klien dapat mengenal halusinasinya 3) Klien dapat mengontrol halusinasinya. 4) Klien
mendapat
dukungan
keluarga
dalam
mengontrol
halusinasinya. 5) Klien dapat memanfaatkan obat untuk mengatasi halusinasinya.
2. Tindakan Keperawatan a. Tindakan
keperawatan
untuk
membantu
klien
mengatasi
masalahnya di mulai dengan membina hubungan saling percaya dengan klien. b. Setelah hubungan saling percaya terbina , intervensi keperawatan selanjutnya adalah membantu klien mengenali halusinasinya. c. Setelah klien mengenal halusinasinya selanjutnya klien dilatih bagaimana cara yang biasa terbukti efektif mengatasi atau mengontrol halusinasi. d. Obeservasi tanda halusinasi pada klien. e. Hindari untuk menyentuh pasien sebelum memberi isyarat kepadanya bahwa anda menerima diperlakukan yang sama. f. Suatu sikap menerima akan mendorong klien membagikan isi halusinasinya dengan anda. g. Jangan menguatkan halusinasi. Gunakan kata-kata “suara tersebut” dari pada kata-kata seperti “mereka” yang menyatakan validasi secara tidak langsung. h. Cobalah untuk menghubungkan waktu-waktu terjadinya kesaahan persepsi dengan waktu-waktu terjadinya ansietas. i. Cobalah untuk mengalihkan pasien dari kesalahan persepsi. Adapun cara yang efektif dalam memutuskan halusinasi adalah : 1. Menghardik halusinasi. 2. Berinteraksi dengan orang lain. 3. Beraktivitas secara teratur dengan menyusun kegiatan harian. 4. Memanfaatkan obat dengan baik. Keluarga perlu diberi penjelasan tentang bagaimana penanganan klien yang mengalami halusinasi sesuai dengan kemampuan keluarga. Hal ini penting karena keluarga adalah sebuah sistem dimana klien berasal dan halusinasi sebagai salah satu gejala psikosis dapat berlangsung lama
(kronis) sehingga keluarga perlu mengetahui cara perawatan klien halusinasi dirumah. Dalam mengendalikan halusinasi diberikan psikofarmaka oleh tim medis sehingga perawat juga perlu memfasilitasi klien untuk dapat menggunakan obat secara tepat. Prinsip lima benar harus menjadi focus utama dalam pemberian obat 3. EVALUASI KEPERAWATAN Asuhan keperawatan klien dengan halusinasi berhasil jika : 1. Klien mampu memisahkan antara kejadian-kejadian atau situasisituasi realita dan tidak realita. 2. Klien mampu tidak berespon terhadap persepsi sensori yang salah. 3. Klien
menunjukkan
kemampuan
mandiri
untuk
mengontrol
halusinasi 4. Mampu melaksanakan program pengobatan berkelanjutan 5. Keluarga mampu menjadi sebuah sistem pendukung yang efektif dalam membantu klien mengatasi masalahnya.
DAFTAR PUSTAKA Farida. K. (2011). Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Penerbit Salemba Medika: Jakarta. Kusumawati F, Hartono Y, (2010). Buku Ajar Keperawatan Jiwa, ed 1, Salemba Medika: Jakarta Yosep,I. (2007), Keperawatan Jiwa, Refika Aditama, Bandung Fattah N A, Pratiwi L (2005), Kumpulan Kuliah Psikiatri, Program Pendidikan Ners FK-UNHAS: Makassar Stuart, G.W. dan Sundeen, S.J. (2005). Principles and Practice of Psychiatric Nursing (5th ed) St louis :Mosby Year Book. Stuart, G.W. dan Laraia, M.T. (2001). Principles and Practice of Psychiatric Nursing (6th ed) St louis :Mosby Year Book. Townsend, M.C. (2006). Diagnosa Keperawatan Pada Keperawatan Psikiatri: Pedoman Untuk Pembuatan Rencana Keperawatan, EGC, Jakarta. Keliat, B. A. (2005), Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa, EGC Penerbit Buku Kedokteran, Jakarta.