Lp Ckr.doc

  • Uploaded by: Made Suryawan
  • 0
  • 0
  • April 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Lp Ckr.doc as PDF for free.

More details

  • Words: 9,014
  • Pages: 30
LAPORAN PENDAHULUAN CIDERA KEPALA RINGAN (CKR) 1.

Konsep Dasar Penyakit A. Definisi Cedera kepala merupakan proses dimana terjadi trauma langsung atau deselerasi terhadap kepala yang menyebabkan kerusakan tengkorak dan otak (Pierce & Neil. 2008). Cidera kepala ringan adalah cidera karena tekanan atau kejatuhan benda tumpul yang dapat menyebabkan hilangnya fungsi neurology sementara atau menurunnya kesadaran sementara,mengeluh pusing nyeri kepala tanpa adanya kerusakan lain (Ardiansyah,2012) Cidera kepala ringan adalah trauma kepala dengan GCS : 15 (sadar penuh) tidak ada kehilangan kesadaran,mengeluh pusing dan nyeri kepala, hematoma, abrasi, dan laserasi (Mansjoer,2010). Dari beberapa pengertian cidera kepala ringan merupakan trauma pada kulit kepala, tengkorak, dan otak yang terjadi baik secara langsung ataupun tidak langsung pada kepala yang dapat mengakibatkan hilangnya fungsi neurology sementara atau penurunan kesadaran sementara. B. Anatomi Fisiologi

Gambar 1. Anatomi kepala 1. Tengkorak Tulang tengkorak menurut, Evelyn C Pearce (2008) merupakan struktur tulang yang menutupi dan melindungi otak, terdiri dari tulang kranium dan tulang muka. Tulang kranium terdiri dari 3 lapisan :lapisan luar, etmoid dan lapisan dalam. Lapisan luar dan dalam merupakan struktur yang kuat sedangkan etmoid merupakan struktur yang menyerupai busa. Lapisan dalam membentuk rongga/fosa; fosa anterior didalamnya terdapat lobus frontalis, fosa tengah

berisi lobus temporalis, parientalis, oksipitalis, fosa posterior berisi otak tengah dan sereblum.

Gambar 2. Lapisan cranium 2. Meningen Pearce, Evelyn C. (2008) otak dan sumsum tulang belakang diselimuti meningia yang melindungi syruktur saraf yang halus itu, membawa pembulu darah dan dengan sekresi sejenis cairan, yaitu: cairan serebrospinal yang memperkecil benturan atau goncangan. Selaput meningen menutupi terdiri dari 3 lapisan yaitu: a. Dura mater Dura mater secara konvensional terdiri atas dua lapisan yaitu lapisan endosteal dan lapisan meningeal. Dura mater merupakan selaput yang keras, terdiri atas jaringan ikat fibrisa yang melekat erat pada permukaan dalam dari kranium. Karena tidak melekat pada selaput arachnoid di bawahnya, maka terdapat suatu ruang potensial ruang subdural yang terletak antara dura mater dan arachnoid, dimana sering dijumpai perdarahan subdural. Pada cedera otak, pembuluh-pembuluh vena yang berjalan pada permukaan otak menuju sinus sagitalis superior di garis tengah atau disebut Bridging Veins, dapat mengalami robekan dan menyebabkan perdarahan subdural. Sinus sagitalis superior mengalirkan darah vena ke sinus transversus dan sinus sigmoideus. Laserasi dari sinussinus ini dapat mengakibatkan perdarahan hebat. Hematoma subdural yang besar, yang menyebabkan gejala-gejala neurologis biasanya dikeluarkan melalui pembedahan. Petunjuk dilakukannya pengaliran perdarahan ini adalah: 1) sakit kepala yang menetap 2) rasa mengantuk yang hilang-timbul 3) linglung 4) perubahan ingatan 5) kelumpuhan ringan pada sisi tubuh yang berlawanan. Arteri-arteri meningea terletak antara dura mater dan permukaan dalam dari kranium ruang epidural. Adanya fraktur dari tulang kepala dapat menyebabkan laserasi pada arteri-arteri ini dan menyebabkan perdarahan epidural. Yang paling sering mengalami cedera adalah arteri

meningea media yang terletak pada fosa media fosa temporalis. Hematoma epidural diatasi sesegera mungkin dengan membuat lubang di dalam tulang tengkorak untuk mengalirkan kelebihan darah, juga dilakukan pencarian dan penyumbatan sumber perdarahan. b. Selaput Arakhnoid Selaput arakhnoid merupakan lapisan yang tipis dan tembus pandang. Selaput arakhnoid terletak antara pia mater sebelah dalam dan dura mater sebelah luar yang meliputi otak. Selaput ini dipisahkan dari dura mater oleh ruang potensial, disebut spatium subdural dan dari pia mater oleh spatium subarakhnoid yang terisi oleh liquor serebrospinalis. Perdarahan sub arakhnoid umumnya disebabkan akibat cedera kepala. c. Pia mater Pia mater melekat erat pada permukaan korteks serebri. Pia mater adalah membrana vaskular yang dengan erat membungkus otak, meliputi gyri dan masuk kedalam sulci yang paling dalam. Membrana ini membungkus saraf otak dan menyatu dengan epineuriumnya. Arteri-arteri yang masuk kedalam substansi otak juga diliputi oleh pia mater. 3. Otak Menurut Ganong, (2009) otak terdiri dari 3 bagian, antara lain yaitu: a. Cerebrum

Gambar 3. Lobus-lobus Otak

Serebrum atau otak besar terdiri dari dari 2 bagian, hemispherium serebri kanan dan kiri. Setiap henispher dibagi dalam 4 lobus yang terdiri dari lobus frontal, oksipital, temporal dan pariental. Yang masing-masing lobus memiliki fungsi yang berbeda, yaitu: 1) Lobus frontalis Lobus frontalis pada korteks serebri terutama mengendalikan keahlian motorik misalnya menulis, memainkan alat musik atau mengikat tali sepatu. Lobus frontalis juga mengatur ekspresi wajah dan isyarat tangan. daerah tertentu pada lobus frontalis bertanggung jawab terhadap aktivitas motorik tertentu pada sisi tubuh yang berlawanan. Efek perilaku dari kerusakan lobus frontalis bervariasi, tergantung kepada ukuran dan lokasi

kerusakan fisik yang terjadi. Kerusakan yang kecil, jika hanya mengenai satu sisi otak, biasanya tidak menyebabkan perubahan perilaku yang nyata, meskipun kadang menyebabkan kejang. Kerusakan luas yang mengarah ke bagian belakang lobus frontalis bisa menyebabkan apati, ceroboh, lalai dan kadang inkontinensia. Kerusakan luas yang mengarah ke bagian depan atau samping lobus frontalis menyebabkan perhatian penderita mudah teralihkan, kegembiraan yang berlebihan, suka menentang, kasar dan kejam. 2) Lobus parietalis Lobus parietalis pada korteks serebri menggabungkan kesan dari bentuk, tekstur dan berat badan ke dalam persepsi umum. Sejumlah kecil kemampuan matematikan dan bahasa berasal dari daerah ini. Lobus parietalis juga membantu mengarahkan posisi pada ruang di sekitarnya dan merasakan posisi dari bagian tubuhnya. Kerusakan kecil di bagian depan lobus parietalis menyebabkan mati rasa pada sisi tubuh yang berlawanan. Kerusakan yang agak luas bisa menyebabkan hilangnya kemampuan untuk melakukan serangkaian pekerjaan keadaan ini disebut ataksia dan untuk menentukan arah kiri-kanan. Kerusakan yang luas bisa mempengaruhi kemampuan penderita dalam mengenali bagian tubuhnya atau ruang di sekitarnya atau bahkan bisa mempengaruhi ingatan akan bentuk yang sebelumnya dikenal dengan baik misalnya, bentuk kubus atau jam dinding. Penderita bisa menjadi linglung atau mengigau dan tidak mampu berpakaian maupun melakukan pekerjaan sehari-hari lainnya. 3) Lobus temporalis Lobus temporalis mengolah kejadian yang baru saja terjadi menjadi dan mengingatnya sebagai memori jangka panjang. Lobus temporalis juga memahami suara dan gambaran, menyimpan memori dan mengingatnya kembali serta menghasilkan jalur emosional. Kerusakan pada lobus temporalis sebelah kanan menyebabkan terganggunya ingatan akan suara dan bentuk. Kerusakan pada lobus temporalis sebelah kiri menyebabkan gangguan pemahaman bahasa yang berasal dari luar maupun dari dalam dan menghambat penderita dalam mengekspresikan bahasanya. Penderita dengan lobus temporalis sebelah kanan yang nondominan, akan mengalami perubahan kepribadian seperti tidak suka bercanda, tingkat kefanatikan agama yang tidak biasa, obsesif dan kehilangan gairah seksual.

4) Lobus Oksipital Fungsinya untuk visual center. Kerusakan pada lobus ini otomatis akan kehilangan fungsi dari lobus itu sendiri yaitu penglihatan. b. Cereblum Terdapat dibagian belakang kranium menepati fosa serebri posterior dibawah lapisan durameter. Cereblum mempunyai aski yaitu; merangsang dan menghambat serta mempunyai tanggunag jawab yang luas terhadap koordinasi dan gerakan halus. Ditambah mengontrol gerakan yang benar, keseimbangan posisi dan mengintegrasikan input sensori. c. Brainstem Batang otak terdiri dari otak tengah, pons dan medula oblomata. Otak tengah midbrain/ ensefalon menghubungkan pons dan sereblum dengan hemisfer sereblum. Bagian ini berisi jalur sensorik dan motorik, sebagai pusat reflek pendengaran dan penglihatan. Pons terletak didepan sereblum antara otak tengah dan medula, serta merupakan jembatan antara 2 bagian sereblum dan juga antara medula dengan serebrum. Pons berisi jarak sensorik dan motorik. Medula oblomata membentuk bagian inferior dari batang otak, terdapat pusatpusat otonom yang mengatur fungsi-fungsi vital seperti pernafasan, frekuensi jantung, pusat muntah, tonus vasomotor, reflek batuk dan bersin. 4. Syaraf-Syaraf Otak Ardiansyah, (2012) Nervus kranialis dapat terganggu bila trauma kepala meluas sampai batang otak karena edema otak atau pendarahan otak. Kerusakan nervus yaitu: a. Nervus Olfaktorius (Nervus Kranialis I) Saraf pembau yang keluar dari otak dibawa oleh dahi, membawa rangsangan aroma (bau-bauan) dari rongga hidung ke otak. b. Nervus Optikus (Nervus Kranialis II) Mensarafi bola mata, membawa rangsangan penglihatan ke otak. c. Nervus Okulomotorius (Nervus Kranialis III) Bersifat motoris, mensarafi otot-otot orbital (otot pengerak bola mata) menghantarkan serabut-serabut saraf para simpati untuk melayani otot siliaris dan otot iris. d. Nervus Trokhlearis (Nervus Kranialis IV) Bersifat motoris, mensarafi otot-otot orbital. Saraf pemutar mata yang pusatnya terletak dibelakang pusat saraf penggerak mata. e. Nervus Trigeminus (Nervus Kranialis V) Sifatnya majemuk (sensoris motoris) saraf ini mempunyai tiga buah cabang. Fungsinya sebagai saraf kembar tiga, saraf ini merupakan saraf otak besar, sarafnya yaitu: 1) Nervus oftalmikus: sifatnya sensorik, mensarafi kulit kepala bagian depan kelopak mata atas, selaput lendir kelopak mata dan bola mata.

2) Nervus maksilaris: sifatnya sensoris, mensarafi gigi atas, bibir atas, palatum, batang hidung, ronga hidung dan sinus maksilaris. 3) Nervus mandibula: sifatnya majemuk (sensori dan motoris) mensarafi otot-otot pengunyah. Serabut-serabut sensorisnya mensarafi gigi bawah, kulit daerah temporal dan dagu. f. Nervus Abducens (Nervus Kranialis VI) Sifatnya motoris, mensarafi otot-otot orbital. Fungsinya sebagai saraf penggoyang sisi mata g. Nervus Fasialis (Nervus Kranialis VII) Sifatnya majemuk (sensori dan motori) serabut-serabut motorisnya mensarafi otot-otot lidah dan selaput lendir ronga mulut. Di dalam saraf ini terdapat serabut-serabut saraf otonom (parasimpatis) untuk wajah dan kulit kepala fungsinya sebagai mimik wajah untukmenghantarkan rasa pengecap. h. Nervus Akustikus (Nervus Kranialis VIII) Sifatnya sensori, mensarafi alat pendengar, membawa rangsangan dari pendengaran dan dari telinga ke otak. Fungsinya sebagai saraf pendengar. i. Nervus Glosofaringeus (Nervus Kranialis IX) Sifatnya majemuk (sensori dan motoris) mensarafi faring, tonsil dan lidah, saraf ini dapat membawa rangsangan cita rasa ke otak. j. Nervus Vagus (Nervus Kranialis X) Sifatnya majemuk (sensoris dan motoris) mengandung saraf-saraf motorik, sensorik dan parasimpatis faring, laring, paru-paru, esofagus, gaster intestinum minor, kelenjar-kelenjar pencernaan dalam abdomen. Fungsinya sebagai saraf perasa. k. Nervus Aksesorius (Nervus Kranialis XI) Saraf ini mensarafi muskulus sternokleidomastoid dan muskulus trapezium, fungsinya sebagai saraf tambahan l. Nervus Hipoglosus (Nervus Kranialis XII) Saraf ini mensarafi otot-otot lidah, fungsinya sebagai saraf lidah. Saraf ini terdapat di dalam sumsum penyambung. C. Etiologi Rosjidi (2009), penyebab cedera kepala antara lain: 1. Kecelakaan, jatuh, kecelakaan kendaraan bermotor atau sepeda,dan mobil. 2. Kecelakaan pada saat olah raga. 3. Cedera akibat kekerasan. 4. Benda tumpul , kerusakan terjadi hanya terbatas pada daerah dimana dapat merobek otak. 5. Benda tajam, kerusakan terjadi hanya terbatas pada daerah dimana dapat merobek otak, misalnya tertembak peluru atau benda tajam. D. Manifestasi Klinis Gejala-gejala yang ditimbulkan tergantung pada besarnya dan distribusi cedera otak. 1. Cedera kepala ringan menurut Sylvia A (2010) a. Kebingungan saat kejadian dan kebinggungan terus menetap setelah cedera. b. Pusing menetap dan sakit kepala, gangguan tidur, perasaan cemas.

c. Kesulitan berkonsentrasi, pelupa, gangguan bicara, masalah tingkah laku Gejala-gejala ini dapat menetap selama beberapa hari, beberapa minggu atau lebih lama setelah konkusio cedera otak akibat trauma ringan. 2. Cedera kepala sedang, Diane C (2012) a. Kelemahan pada salah satu tubuh yang disertai dengan kebinggungan atau bahkan koma. b. Gangguan kesedaran, abnormalitas pupil, awitan tiba-tiba defisit neurologik, perubahan TTV, gangguan penglihatan dan pendengaran, disfungsi sensorik, kejang otot, sakit kepala, vertigo dan gangguan pergerakan. 3. Cedera kepala berat , Diane C (2012) a. Amnesia tidak dapat mengingat peristiwa sesaat sebelum dan sesudah terjadinya penurunan kesehatan. b. Pupil tidak aktual, pemeriksaan motorik tidak aktual, adanya cedera terbuka, fraktur tengkorak dan penurunan neurologik. c. Nyeri, menetap atau setempat, biasanya menunjukan fraktur. d. Fraktur pada kubah kranial menyebabkan pembengkakan pada area tersebut E. Patofisiologi Cedera memang peranan yang sangat besar dalam menentukan berat ringannya konsekuensi patofisiologis dari suatu kepala. Cedera percepatan aselerasi terjadi jika benda yang sedang bergerak membentur kepala yang diam, seperti trauma akibat pukulan benda tumpul, atau karena kena lemparan benda tumpul. Cedera perlambatan deselerasi adalah bila kepala membentur objek yang secara relatif tidak bergerak, seperti badan mobil atau tanah. Kedua kekuatan ini mungkin terjadi secara bersamaan bila terdapat gerakan kepala tiba-tiba tanpa kontak langsung, seperti yang terjadi bila posisi badan diubah secara kasar dan cepat. Kekuatan ini bisa dikombinasi dengan pengubahan posisi rotasi pada kepala, yang menyebabkan trauma regangan dan robekan pada substansi alba dan batang otak. Berdasarkan patofisiologinya, kita mengenal dua macam cedera otak, yaitu cedera otak primer dan cedera otak sekunder. Cedera otak primer adalah cedera yang terjadi saat atau bersamaan dengan kejadian trauma, dan merupakan suatu fenomena mekanik. Umumnya menimbulkan lesi permanen. Tidak banyak yang bisa kita lakukan kecuali membuat fungsi stabil, sehingga sel-sel yang sedang sakit bisa mengalami proses penyembuhan yang optimal. Cedera primer, yang terjadi pada waktu benturan, mungkin karena memar pada permukaan otak, laserasi substansi alba, cedera robekan atau hemoragi karena terjatuh, dipukul, kecelakaan dan trauma saat lahir yang bisa mengakibatkan terjadinya gangguan pada seluruh sistem dalam tubuh. Sedangkan cedera otak sekunder merupakan hasil dari proses yang berkelanjutan sesudah atau berkaitan dengan cedera primer dan lebih merupakan

fenomena metabolik sebagai akibat, cedera sekunder dapat terjadi

sebagai kemampuan autoregulasi serebral dikurangi atau tak ada pada area cedera. Cidera kepala terjadi karena beberapa hal diantanya, bila trauma ekstra kranial akan dapat menyebabkan adanya leserasi pada kulit kepala selanjutnya bisa perdarahan karena mengenai pembuluh darah. Karena perdarahan yang terjadi terus- menerus dapat menyebabkan

hipoksia, Hiperemi peningkatan volume darah pada area

peningkatan permeabilitas kapiler, serta vasodilatasi arterial, semua menimbulkan peningkatan isi intrakranial, dan akhirnya peningkatan tekanan intrakranial (TIK), adapun, hipotensi (Ardiansyah, 2012). Namun bila trauma mengenai tulang kepala akan menyebabkan robekan dan terjadi perdarahan juga. Cidera kepala intra kranial dapat mengakibatkan laserasi, perdarahan dan kerusakan jaringan otak bahkan bisa terjadi kerusakan susunan syaraf kranial tertama motorik yang mengakibatkan terjadinya gangguan dalam mobilitas (Herdman, 2012) F. Pathway (Terlampir) G. Komplikasi Kemunduran pada kondisi pasien mungkin karena perluasan hematoma intrakranial, edema serebral progresif, dan herniasi otak. a. Edema serebral dan herniasi Edema serebral adalah penyebab paling umum peningkatan TIK pada pasien yang mendapat cedera kepala, puncak pembengkakan yang terjadi kira kira 72 jam setelah cedera. TIK meningkat karena ketidakmampuan tengkorak untuk membesar meskipun peningkatan volume oleh pembengkakan otak diakibatkan trauma.. b. Defisit neurologik dan psikologik Pasien cedera kepala dapat mengalami paralysis saraf fokal seperti anosmia (tidak dapat mencium bau bauan) atau abnormalitas gerakan mata, dan defisit neurologik seperti afasia, defek memori, dan kejang post traumatic atau epilepsy. c. Komplikasi lain secara traumatic : 1) Infeksi sitemik (pneumonia, ISK, sepsis) 2) Infeksi bedah neurologi (infeksi luka, osteomielitis, meningitis, ventikulitis, abses otak) 3) Osifikasi heterotropik (nyeri tulang pada sendi sendi) d. Komplikasi lain: 1) Peningkatan TIK 2) Hemorarghi 3) Kegagalan nafas 4) Diseksi ekstrakranial

Komplikasi dari cidera kepala menurut Smeltzer (2013) ialah: 1. Higroma Subdural Merupakan pengumpulan cairan likuor yang terbungkus oleh kapsul dibawah durameter. 2. Pneumatokel Traumatika Pneumatokel ekstracanial adalah pengumpulan udara dibawah periosteum akibat adanya fraktur tulang tengkorak. 3. Meningokel Traumatika Spuriosa Keadaan ini ditimbulkan oleh fraktur tengkorak dan robeknya durameter sehingga likuor bebas mengalir keluar serta berkumpul dijaringan lemak ekstracranial. 4. Prolap Serebri Prolaps serebri terjadi akibat adanya fraktur tulang tengkorak yang terbuka sehingga korteks serebri keluar dari tengkorak. 5. Ostitis – Osteomielitis Ostitis – osteomielitis merupakan infeksi tulang sebagai kejadian komplikasi sekunder dari hidung atau sinus paranasal (frontal). 6. Meningitis – Encefalitis Umumnya terjadi pada trauma kapitis dengan luka yang terbuka disamping komplikasi sekunder dari focus : hidung, mastoid, atau sinus paranasal. 7. Abses Subdural – Abses Otak Abses subdural – abses otak sering merupakan komplikasi lanjut dari cedera kapala yang terbuka. 8. Epilepsi Pasca Traumatika Mekanisme secara pasti masih belum jelas. Diduga kajadian ini disebabkan oleh perdarahan korteks serebri yang kemudian meninggalkan perlekatan, jaringan parut, atrofi, nekrosis, dan sisa lainnya. 9. Sindrom Pasca Concusi Sindrom pasca concusi merupakan kumpulan gejala yang timbul setelah 2 – 3 minggu pasca trauma kapitis. Mengingat tidak adanya kelainan organik yang tampak pada kasus-kasusnya maka sindrom ini sering dikenal dengan istilah neurosa pasca trauma atau neurosa renten. H. Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan penunjang yang dalam cidera kepala menurut Rosjidi (2009) ,yaitu: a. Scan CT (tanpa/denga kontras) Mengidentifikasi adanya sol, hemoragik, menentukan ukuran ventrikuler, pergeseran jaringan otak. b. MRI Sama dengan scan CT dengan atau tanpa kontras. c. Angiografi serebral Menunjukan kelainan sirkulasi serebral, seperti pengeseran jaringan otak akibat edema, perdarahan, trauma d. EEG Untuk memperlihatkan keberadaan atau berkembangnya gelombang patologis. e. Sinar X

Mendeteksi adanya perubahan struktur tulang (fraktur), pergeseran struktur dari garis tengah (karena perdarahan, edema), adanya fragmen tulang. f. BAER ( Brain Auditory Evoked Respons) Menentukan fungsi korteks dan batang otak. g. PET (Positron Emission To mography) Menunjukan perubahan aktifitas metabolisme pada otak. h. Fungsi lumbal, CSS Dapat menduka kemungkinan adanya perdarahan subarachnoid. i. GDA (Gas Darah Artery) Mengetahui adanya masalah ventilasi atau oksigenasi yang akan dapat meningkatkan TIK. j. Kimia /elektrolit darah Mengetahui ketidak seimbangan

yang

berperan

dalam

peningkatan

TIK/perubahan mental. k. Pemeriksaan toksikologi Mendeteksi obat yang mungkin bertanggung jawab terhadap penurunan kesadaran. l. Kadar antikonvulsan darah Dapat dilakukan untuk mengetahui tingkat terapi yang cukup fektif untuk mengatasi kejang. I. Penatalaksanaan Kegawatan Penanganan kasus-kasus cedera kepada diunit gawat darurat / emergensi didasarkan pada patokan pemantauan dan penanganan terhadap “5 B” menurut Sylvia A (2010) yakni: 1. Breathing Perlu diperhatikan mengenai frekwensi dan jenis pernafasan penderita. Adanya obstruksi jalan nafas perlu segera dibebaskan dengan tindakan-tindakan suction, intubasi, tracheostomi. Oksigenisasi yang cukup atau hiperventilasi bila perlu, merupakan tindakan yang berperan penting sehubungan dengan edema cerebri yang terjadi. 2. Blood Mencakup pengukuran tekanan darah dan pemeriksaan laboratorium darah (Hb, leukosit). Peningkatan tekanan darah dan denyut nadi menandakan adanya syok hipovolemik akibat perdarahan (yang kebanyakan bukan dari kepala / otak) dan memerlukan tindakan tranfusi. 3. Brain Langkah awal penilaian keadaan otak ditekankan terhadap respon-respon mata, motorik, dan ferbal (GCS). Perubahan respon ini merupakan implikasi perbaikan / perburukan cedera kepala tersebut, dan bila pada pemantauan menunjukkan adanya perburukan kiranya perlu pemeriksaan lebih mendalam pupil (ukuran, bentuk, dan reaksi terhadap cahaya) serta gerakan-gerakan bola mata (refleks, okulosefalik, okulo vestibuler, deviasi konjugat, nistagmus). 4. Bladder

Kandung kemih perlu selalu dikosongkan (pemasangan kateter) mengingat bahwa kandungan kemih yang penuh merupakan suatu rangsangan untuk mengedan sehingga tekanan intra cranial cenderung lebih meningkat. 5. Bowel Usus yang penuh juga cenderung untuk meninggikan tekanan intra cranial. Pada prakteknya dengan memperhatikan hal-hal di atas, cedera kepala ditangani sesuai dengan tingkat-tingkat gradisi klasifikasi klinisnya. 2.

Konsep Dasar Asuhan Keperawatan Gawat Darurat a. Pengkajian Keperawatan Gawat Darurat 1) Pengkajian Primer a) Airway Kepatenan jalan napas, apakah ada sekret, hambatan jalan napas. b) Breathing Pola napas, frekuensi pernapasan, kedalaman pernapasan, irama pernapasan, tarikan dinding dada, penggunaan otot bantu pernapasan, pernapasan cuping hidung. c) Circulation Frekuensi nadi, tekanan darah, adanya perdarahan, kapiler refill. d) Disability Tingkat kesadaran, GCS, adanya nyeri. Tingkat Kesadaran -

Kualitatif dengan : a. Compos Mentis Reaksi segera dengan orientasi sempurna, sadar akan sekeliling , orientasi baik terhadap orang tempat dan waktu. b. Apatis Terlihat mengantuk saat terbangun klien terlihat acuh tidak acuh terhadap lingkungannya. c. Confuse Klien tampak bingung, respon psikologis agak lambat. d. Samnolen Dapat dibangunkan jika rangsangan nyeri cukup kuat, bila rangsangan hilang, klien tidur lagi. e. Soporous Coma Keadaan tidak sadar menyerupai koma, respon terhadap nyeri masih ada, biasanya inkontinensia urine, belum ada gerakan motorik sempurna. f. Koma Keadaan tidak sadar, tidak berespon dengan rangsangan.

- Kuantitas dengan GCS a. Mata (eye) - Selalu menutup mata dengan rangsangan nyeri - Membuka mata dengan rangsangan nyeri - Membuka mata dengan perintah - Membuka mata spontan

1 2 3 4

b. Motorik (M) - Tidak berespon dengan rangsangan nyeri - Eksistensi dengan rangsangan nyeri - Fleksi lengan atas dengan rangsangan nyeri - Fleksi siku dengan rangsangan nyeri - Dapat bereaksi dengan rangsangan nyeri - Bergerak sesuai perintah c. Verbal (V) - Tidak ada suara - Merintih - Dapat diajak bicara tapi tidak mengerti - Dapat diajak bicara tapi kacau - Dapat berbicara, orientasi baik e) Exposure Suhu, lokasi luka.

1 2 3 4 5 6 1 2 3 4 5

2) Pengkajian Sekunder a. Identitas klien Nama, umur, jenis kelamin, tempat tanggal lahir, golongan darah, pendidikan terakhir, agama, suku, status perkawinan, pekerjaan, TB/BB, alamat b. Identitas Penanggung jawab Nama, umur, jenis kelamin, agama, suku, hubungan dengan klien, pendidikan terakhir, pekerjaan, alamat. c. Riwayat kesehatan : 1) Riwayat kesehat saat ini Tingkat kesadaran/GCS (< 15), konvulsi, muntah, dispnea / takipnea, sakit kepala, wajah simetris / tidak, lemah, luka di kepala, paralise, akumulasi sekret pada saluran napas, adanya liquor dari hidung dan telinga dan kejang 2) Riwayat penyakit dahulu Riwayat penyakit dahulu dengan sistem persarafan maupun penyakit sistem sistemik lainnya. 3) Riwayat penyakit keturunan Penyakit keluarga terutama yang mempunyai penyakit menular. d. Diagnosa Keperawatan 1) Ketidakefektifan pola nafas b/d obstruksi trakeobronkial, neurovaskuler, kerusakan medula oblongata neuromaskuler. 2) Nyeri akut b/d cedera psikis, alat traksi. 3) Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d melemahnya otot yang digunakan untuk mengunyah dan menelan. 4) Hambatan mobilitas fisik b/d perubahan persepsi sensori dan kognitif, penurunan kekuatan dan kelemahan. 5) Risiko ketidakefektifan Perfusi Jaringan Otak b/d edema serebral dan peningkatan tekanan intrakranial 6) Risiko infeksi b/d dengan jaringan trauma, kerusakan kulit kepala. e. Intervensi

NO 1

DIAGNOSA/MASALAH KOLABORASI

TUJUAN (NOC)

INTERVENSI (NIC)

Ketidakefektifan pola nafas NOC NIC Definisi: Inspirasi dan/atau Outcome untuk mengukur Intervensi keperawatan yang ekspirasi yang tidak memberi penyelesaian dari diagnosis disarankan untuk menyelesaikan 1. Status pernafasan masalah: ventilasi adekuat. a. Frekuensi pernafasan Manajemen Jalan Nafas Batasan karakteristik dapat dipertahankan atau 1. Buka jalan nafas dengan teknik 1. Bradipnea 2. Dispnea ditingkatkan pada skala 5 chin lift atau jaw thrust, 3. Takipnea (tidak ada deviasi dari sebagaimana mestinya 4. Penurunan tekanan ekspirasi kisaran normal) 2. Posisikan pasien untuk 5. Penurunan tekanan inspirasi b. Irama pernafasan dapat memaksimalkan ventilasi 6. Pernafasan cuping hidung dipertahankan atau 3. Identifikasi kebutuhan aktual/ 7. Ortopnea ditingkatkan pada skala 5 potensial pasien untuk 8. Pola nafas abnormal (mis. (tidak ada deviasi dari memasukkan alat membuka Irama, frekuensi, kisaran normal) jalan nafas kedalaman) c. Kedalaman inspirasi 4. Lakukan fisioterapi dada, 9. Penggunaan otot bantu dapat dipertahankan atau sebagaimana mestinya pernafasan 5. Buang secret dengan ditingkatkan pada skala 5 10. Perubahan ekskursi dada memotivasi pasien untuk (tidak ada deviasi dari Faktor yang berhubungan melakukan batuk atau menyedot kisaran normal) 1. Ansietas d. Suara auskultasi nafas lendir 2. Nyeri dapat dipertahankan atau 6. Motivasi pasien untuk bernafas 3. Obesitas pelan, dalam, berputar dan 4. Hiperventilasi ditingkatkan pada skala 5 5. Keletihan batuk (tidak ada deviasi dari 6. Keletihan otot pernafasan 7. Gunakan teknik yang kisaran normal) 7. Cedera medulla spinalis menyenangkan untuk e. Kepatenan jalan nafas 8. Deformitas dinding dada memotivasi bernafas dalam dapat dipertahankan atau 9. Deformitas tulang kepada anak-anak (misal: ditingkatkan pada skala 5 10. Gangguan neurologis (mis. meniup gelembung, meniup (tidak ada deviasi dari Trauma kepala, gangguan kincir, peluit, harmonica, balon) kisaran normal) kejang) 8. Intruksikan bagaimana agar bisa f. Saturasi oksigen dapat 11. Posisi tubuh yang dipertahankan atau melakukan batuk efektif menghambat ekspansi paru ditingkatkan pada skala 5 Terapi oksigen 12. Sindrom hipoventilasi (tidak ada deviasi dari 1. Bersihkan mulut, hidung, dan kisaran normal) sekresi trakea dengan tepat g. Penggunaan otot bantu 2. Pertahankan kepatenan jalan nafas dapat nafas dipertahankan atau 3. Siapkan peralatan oksigen dan ditingkatkan pada skala 5 berikan melalui sistem (tidak ada) humidifier h. Retraksi dinding dada dapat dipertahankan atau 4. Berikan oksigen tambahan ditingkatkan pada skala 5 seperti yang diperintahkan (tidak ada) 5. Monitor aliran oksigen i. Dispneu saat istirahat 6. Amati tanda-tanda hipoventilasi dapat dipertahankan atau induksi oksigen ditingkatkan pada skala 5 7. Anjurkan pasien mendapatkan (tidak ada) oksigen tambahan sebelum j. Gangguan kesadaran perjalanan udara atau perjalanan dapat dipertahankan atau ke dataran tinggu dengan cara ditingkatkan pada skala 5 yang tepat (tidak ada) k. Suara nafas tambahan Monitor pernafasan dapat dipertahankan atau 1. Monitor kecepatan irama, ditingkatkan pada skala 5 kedalaman dan kesulitan (tidak ada) bernafas l. Pernafasan cuping 2. Catat gerakan dada, catat hidung dapat ketidaksimetrisan, penggunaan dipertahankan atau otot-otot bantu nafas, dan ditingkatkan pada skala 5 retraksi pada otor (tidak ada)

supraclaviculas dan intercosta Monitor suara nafas tambahan seperti ngorok, mengi 4. Monitor pola nafas (misalnya, bradipneu, takipneu, hiperventilasi, pernafasan kusmaul, pernafasan 1:1, apneustik, respirasi biot, dan pola ataxic) 5. Palpasi kesimetrisan ekspirasi paru 6. Monitor kelemahan otot-otot diafragma dengan pergerakan parasoksikal 7. Auskultasi suara nafas setelah tindakan NIC Intervensi keperawatan yang disarankan untuk menyelesaikan masalah: 3.

2

Nyeri akut Definisi: Pengalaman sensori dan emosional yang tidak menyenangkan yang muncul akibat kerusakan jaringan yang actual atau potensial atau digambarkan dalam hal kerusakan sedemikian rupa (International Association for the Study of Pain): awitan yang tiba-tiba atau lambat dari intensitas ringan hingga berat dengan akhir yang dapat diantisipasi atau diprediksi dan berlangsung <6 bulan. Batasan karakteristik: 1. Bukti nyeri dengan menggunakan standar daftar periksa nyeri untuk pasien yang tidak dapat mengungkapkannya (mis., Neonatal Infant Pain Assessment Checklist for Senior with Limited Ability to Communicate) 2. Diaphoresis 3. Dilatasi pupil 4. Eksspresi wajah nyeri (mis., mata kurang bercahaya, tampak kacau, gerakan mata berpencar atau tetap pada satu fokus, meringis) 5. Fokus menyempit (mis., persepsi waktu, proses berfikir, penurunan interaksi dengan orang dan lingkungan) 6. Focus pada diri sendiri 7. Keluhan tentang intensitas menggunakan standar skala nyeri (mis., skla WongBaker FACES, skala analog visual, skla penilaian nomerik) 8. Keluhan tentang karakteristik nyeri dengan menggunakan standar instrument nyeri (mis., McGill Pain Questionnaire,

NOC Outcome untuk mengukur penyelesaian dari Diagnosis 1. Kontrol nyeri: a. Mengenali kapan nyeri terjadi dapat dipertahankan atau ditingkatkan pada skala 5 (secara konsisten menunjukkan) b. Menggambarkan faktor penyebab dapat dipertahankan atau ditingkatkan pada skala 5 (secara konsisten menunjukkan) c. Menggunakan tindakan pengurangan nyeri tanpa analgesic dapat dipertahankan atau ditingkatkan pada skala 5 (secara konsisten menunjukkan) d. Mengenali apa yang terkait dengan gejala nyeri dapat dipertahankan atau ditingkatkan pada skala 5 (secara konsisten menunjukkan) e. Melaporkankan nyeri yang terkontrol dapat dipertahankan atau ditingkatkan pada skala 5 (secara konsisten menunjukkan) 2. Tingkat nyeri: a. Nyeri yang dilaporkan dapat dipertahankan atau ditingkatkan pada skala 5 (tidak ada) b. Panjang episode nyeri dapat dipertahankan atau ditingkatkan pada skala 5

Pemberian analgetik 1. Tentukan lokasi, karakteristik, kualitas dan keparahan nyeri sebelum mengobati pasien 2. Cek perintah pengobatan meliputi obat, dosis, dan frekuensi obat analgesik yang diresepkan 3. Cek adanya riwayat alergi obat 4. Evaluasi kemampuan pasien untuk berperan serta dalam pemilihan analgetik, rute dan dosis dan keterlibatan pasien, sesuai kebutuhan 5. Pilih analgesik atau kombinasi analgesik yang sesuai ketika lebih dari satu diberikan 6. Tentukan pilihan obat analgesik (narkotik, non narkotik, atau NSAID), berdasarkan tipe dan keparahan nyeri 7. Tentukan analgesik sebelumnya, rute pemberian, dan dosis untuk mencapai hasil pengurangan nyeri yang optimal 8. Pilih rute intravena daripada rute intramuskular, untuk injeksi pengobatan nyeri yang sering, jika memungkinkan 9. Berikan analgesik sesuai waktu paruhnya, terutama pada nyeri yang berat Pengurangan kecemasan 1. Gunakan pendekatan yang tenang dan meyakinkan 2. Nyatakan dengan jelas harapan terhadap perilaku klien 3. Pahami situsi krisis yang terjadi

Brief Pain Inventory) Laporan tentang perilaku nyeri/ perubahan aktivitas (mis., anggota keluarga, pemberi asuhan) 10. Mengekspresikan perilaku (mis., gelisah, merengek, menangis, waspada) 11. Perilaku distraksi 12. Perubahan pada parameter fisiologis (mis., tekanan darah, frekuensi jantung, frekuensi pernapasan, saturasi oksigen, dan entidalkarbon dioksida) 13. Perubahan posisi untuk menghindari nyeri 14. Perubahan selera makan 15. Putus asa 16. Sikap melindungi nyeri 17. Sikap tubuh melindungi Faktor yang berhubungan: 1. Agens cedera biologis (mis., infeksi, iskemia, neoplasma) 2. Agens cedera fisik (mis., abses, amputasi, luka bakar, terpotong, mengangkat berat, prosedur bedah, trauma, olahraga berlebihan) 3. Agens cedera kimiawi (mis., luka bakar, kapsaisin, metilen klorida, agens mustard). 9.

(tidak ada) c. Mengerang dan menangis dapat dipertahankan atau ditingkatkan pada skala 5 (tidak ada) d. Ekpresi nyeri wajah dapat dipertahankan atau ditingkatkan pada skala 5 (tidak ada) e. Mengelurkan keringat dapat dipertahankan atau ditingkatkan pada skala 5 (tidak ada) f. Kehilangan nafsu makan dapat dipertahankan atau ditingkatkan pada skala 5 (tidak ada) g. Berkeringat berlebih dapat dipertahankan atau ditingkatkan pada skala 5 (tidak ada) h. Ketegangan otot dapat dipertahankan atau ditingkatkan pada skala 5 (tidak ada) i. Mual dapat dipertahankan atau ditingkatkan pada skala 5 (tidak ada)

pada perspektif klien 4. Berada di sisi klien untuk meningkatkan rasa aman dan mengurangi ketakutan 5. Dorong keluarga untuk mendampingi klien dengan cara yang tepat 6. Berikan objek yang menunjukkan perasaan aman 7. Dengarkan klien 8. Puji/kuatkan perilaku yang baik secara tepat 9. Berikan aktivitas pengganti yang bertujuan untuk mengurangi tekanan 10. Dukung penggunaan mekanisme koping yang sesuai 11. Instruksikan klien untuk menggunakan teknik relaksasi 12. Kaji untuk tanda verbal dan non verbal kecemasan

Pemberian obat 1. Pertahankan aturan dan prosedur yang sesuai dengan keakuratan dan keamanan pemberian obat-obatan 2. Pertahankan lingkungan yang bisa memaksimalkan keamanan dan efektifitas pemberian obatobatan 3. Hindarti interupsi ketika menyiapkan, memverifikasi dan memberikan obat 4. Ikuti prosedur lima benar dalam pemberian obat 5. Monitor kemunhkinan adanya aloergi terhadap obat, interaksi dan kontraindikasi, termasuk obat-obatan di luar konter dan obat-obatan herbal 6. Catat alergi yang dialami klien sebelum pemberian obat dan tahan obat-obatan jika diperlukan 7. Catat tanggal kadaluarsa obat terter pada obat Manajemen nyeri 1. Lakukan pengkajian nyeri komprehensif yang meliputi lokasi, karakteristik, onset/durasi, frekuensi, kualitas, intensitas atau beratnya nyeri dan faktor pencetus 2. Observasi adanya petunjuk nonverbal mengenai ketidaknyamanan terutama pada mereka yang tidak dapat berkomunikasi secara efektif 3. Pastikan perawatan analgetik bagi pasien dilakukan dengan pemantauan yang ketat

4. Gunakan strategi komunikasi terapeutik untuk mengetahui pengalaman nyeri dan sampaikan penerimaan pasien terhadap nyeri 5. Gali pegetahuan dan kepercaaan pasien mengenai nyeri 6. Berikan informasi mengenai nyeri, seperti penyebab nyeri, berapa lama nyeri akan drasakan, dan antisipasi dari ketidaknyamanan akibat prosedur 7. Ajarkan prinsip-prinsip manajemen nyeri 8. Dorong pasien untuk memonitor nyeri dan menangani nyerinya dengan cepat Manajemen lingkungan 1. Ciptakan lingkungan yang aman bagi pasien 2. Indentifikasi kebutuhan keselamatan pasien berdasarkan fungsi fisik dan kognitif serta riwayat di masa lalu 3. Singkirkan bahaya lingkungan 4. Singkirkan benda-benda bahaya dari lingkungan 5. Lindungi pasien dengan pegangan pada sisi/bantalan di sisi ruangan,yang sesuai 6. Dampingi pasien selama tidak ada kegiatan bangsal, dengan tepat 7. Sediakan tempat tidur dengan ketinggian yang rendah 8. Letakkan benda yang sering digunakan dalam jangkauan pasien Pengaturan posisi 1. Tempatkan pasien diatas matras/tempat tidur terapeutik 2. Berikan matras yang lembut 3. Dorong pasien untuk terlibat dalam perubahan posisi 4. Tempatkan pasien dalam posisi terapeutik yang sudagh dui rancang 5. Masukkan posisi tidur yang diinginkan ke dalam rencana perawatan jika tidak ada kontraindikasi 6. Tinggikan bagian tubuh yang terkena dampak 7. Posisikan pasien untuk mengurangi dyspnea (misalnya, posisi semi fowler) 8. Dorong latihan ROM aktif dan pasif 9. Jangan menempatkan pasien pada posisi yang bisa meningkatkan nyeri 10. Jangan menempatkan bagian

tubuh yang diamputasi pada posisi fleksi 11. Balikkan tubuh pasien dengan menggunakan tehnik gelinding dan guling/log rol trcnique 12. Balikkan pasien yang tidak sadar setiap 2 jam atau sesuai dengan jadwal 13. Gunakan alat yang tepat dalam menyokong anggota tubuh paisen Terapi relaksasi 1. Gambarkan rasionalisasi dan manfaat relaksasi serta jenis relaksasi yang tersedia (misalnya, musik, meditasi, bernafas dengan ritme, relaksasi rahang dan relaksasi otot progresif) 2. Uji penurunan tingkat energi saat ini, ketidakmampuan untuk konsentrasi atau gejala yang mengiringi yang mungkin mempengaruhu kemampuan kognitif ntuk berfokus pada tehnik relaksasi 3. Tentukan apakah ada intervensi relaksasi dimasa lalu yang sudah memberikan manfaat 4. Ciptakan lingkungan yang tenang dan tanpa distraksi dengan lampu yang redup dan suhu lingkungan yang nyaman 5. Dorong klien untuk mengambil posisi yang nyaman dengan pakaian longgar dan mata tertutup 6. Gunakan suara yang lembut dengan irama yang lambat untuk setiap kata 7. Dorong klien untuk mengulang praktik teknik relaksasi 8. Antisipasi kebutuhan relaksasi 9. Berikan informasi tertulis mengenai persiapan dan keterlibatan di dalam tehnik relaksasi Monitor tanda-tanda vital 1. Monitor tekanan darah, nadi suhu, dan status pernafasan dengan tepat 2. Catat gaya dan fluktuasi yang luas pada tekanan darah 3. Monitor tekanan darah saat pasien berbaring, duduk, dan berdiri sebelum dan setelah perubahan posisi 4. Monitor tekan darah pasien setelah minum obat 5. Auskultasi tekanan darah di kedua lengan dan bandingkan 6. Monitor irama dan tekanan jantung 7. Monitor suara paru-paru

8. Monitor pola nafas abnormal 9. Monitor warna kulit, suhu dan kelembaban 10. Identifikasi kemungkinan penyebab perubahan tandatanda vital 3

Ketidakseimbangan Nutrisi : Kurang dari Kebutuhan Tubuh Definisi : asupan nutrisi tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan metabolik Batasan Karakteristik : 1. Bising usus hiperaktif 2. Cepat kenyang setelah makan 3. Diare 4. Gangguan sensasi rasa 5. Kelemahan otot pengunyah 6. Kelemahan otot untuk menelah 7. Berat badan 20% atau lebih di bawah rentang berat badan ideal 8. Ketidakmampuan memakan makanan 9. Kram abdomen 10. Kurang minat pada makanan 11. Membrane mukosa pucat 12. Penurunan berat badan dengan asupan makanan adekuat 13. Sariawan rongga mulut 14. Tonus otot menurun Faktor Yang Berhubungan : 1. Faktor biologis 2. Faktor ekonomi 3. Gangguan psikososial 4. Ketidakmampuan makan 5. Ketidakmampuan mencerna makanan 6. Ketidakmnampuan mangabsorbsi nutrient 7. Kurang asupan makanan

NOC Outcome untuk mengukur penyelesaian dari diagnosis : 1. Status nutrisi a. Asupan nutrisi dapat dipertahankan atau ditingkatkan pada skala 5 (tidak menyimpang dari rentang normal) b. Asupan makan dapat dipertahankan atau ditingkatkan pada skala 5 (tidak menyimpang dari rentang normal) c. Asupan cairan dapat dipertahankan atau ditingkatkan pada skala 5 (tidak menyimpang dari rentang normal) d. Energi dapat dipertahankan atau ditingkatkan pada skala 5 (tidak menyimpang dari rentang normal) e. Rasio berat badan/tinggi badan dapat dipertahankan atau ditingkatkan pada skala 5 (tidak menyimpang dari rentang normal) f. Hidrasi dapat dipertahankan atau ditingkatkan pada skala 5 (tidak menyimpang dari rentang normal) Outcome tambahan untuk mengukur batasan karakteristik : 1. Status nutrisi : energy a. Stamina dapat dipertahankan atau ditingkatkan pada skala 5 (tidak menyimpang dari rentang normal) b. Kekuatan cengkram tangan dapat dipertahankan atau ditingkatkan pada skala 5 (tidak menyimpang dari rentang normal) c. Bentuk tonus dapat dipertahankan atau

NIC Manejemen diare 1. Tentukan riwayat diare 2. Ambil tinja untuk pemerinkasaan kultur dan sensitifitas bila diare berlanjut 3. Evaluasi profil pengobatan terhadap adanya efek samping pada gastrointentinas 4. Ajari pasien cara penggunaan obat antidiare secara tepat 5. Instruksikan pasien atau anggota keluarga untuk mencatat warna, volume, frekuensi, dan konsistensi tinja 6. Evaluasi kandungan nutrisi dari makanan yang sudah di konumsi sebelumnya 7. Berikan makanan dalan porsi kecil dan lebih seringserta tingkatkan porsi secara bertahap 8. Anjurkan pasien menghindari makanan pedas dan yang menimblkan gas dalam perut 9. Monitor tandan dan gejala diare 10. Amati turgor kulit secara berkala 11. Ukur diare/output pencernaan 12. Timbang pasien secara berkala 13. Instruksikan diet rendah serat, tinggi protein, tinggi kalori sesuai kebutuhan 14. Lakukan tindakan untuk mengistirahatkan perut (misalnya, nutrisi oral, diet cair) Manajemen cairan 1. Timbang berat badan tiap hari dan monitor status pasien 2. Hitung atau timbang popok dengan baik 3. Jaga intake/asupan yang akurat dan catat output [pasien] masuk kateter urin 4. Monitor status hidrasi (misalnya,membrane mukosa lembab, denyut nadi adekuat, dan tekanan darah ortostatik) 5. Monitor hasil laboratorium yang relevan dengan retensi cairan (misalnya; peningkatan berat jenis, peningkatan BUN, Penurunan hematocrit, dan peningkatan kadar osmolalitas urun) 6. Monitor status hemodinamika, termasuk CVP, MAP, PAP, dan PCWP, jika ada 7. Monitor tanda-tanda vital pasien

ditingkatkan pada skala 5 (tidak menyimpang dari rentang normal) d. Peyebuhan jaringan dapat dipertahankan atau ditingkatkan pada skala 5 (tidak menyimpang dari rentang normal) 2. Status nutrisi: asupan makanan & cairan a. Asupan makanan secara oral dapat dipertahankan atau ditingkatkan pada skala 5 (sepenuhnya adekuat) b. Asupan cairan secara oral dapat dipertahankan atau ditingkatkan pada skala 5 (tidak menyimpang dari rentang normal) c. Asupan cairan intravena dapat dipertahankan atau ditingkatkan pada skala 5 (tidak menyimpang dari rentang normal) d. Asupan nutrisi parenteral dapat dipertahankan atau ditingkatkan pada skala 5 (tidak menyimpang dari rentang normal).

8. Monitor indikasi kelebihan cairan/retensi (misalnya,cracles,elevasi CVP atau tekana kapiler paru yang terganjal, edema, distensi vena leher, dan asites) 9. Monitor perubaha berat badan pasiensebelum dan sesudah dialysis 10. Kaji lokasi dan luasnya edema, jika ada 11. Monitor makanan/cairan yang dikonsumsi dan hitung asupan kalori harian 12. Berikan terapi IV, seperti yang ditentukan 13. Monitor status gizi 14. Berikan cairan dengan tepat Monitor cairan 1. Monitor asupan dan pengeluaran 2. Cek kembali asupan dan pengeluaran 3. Monitor membran mukosa, turgor kulit dan respon haus 4. Tentukan jumlah dan jenis intake/ asupan cairan serta kebiasaan eleminasi 5. Tentukan faktor-faktor resiko yang mungkin menyebabkan ketidakseimbangan cairan Manajemen nutrisi 1. Tentukan status gizi pasien dan kemampuan [pasien] untuk memenuhi kebutuhan gizi 2. Tentukan apa yang menjadi preferensi makanan bagi pasien 3. Instruksikan pasien mengenai kebutuhan nutrisi (yaitu: mebahas pedoman diet dan piramida mkanan) 4. Tentukan jumlah kalori dan jenis nutrisi yang dibutuhkan untuk memenuhi persyaratan gizi 5. Berikan pilihan makanan sambil menawarkan bimbingan terhadap pilihan [makanan] yang lebih sehat, jika diperlukan 6. Ciptakan lingkungan yang optimal pada saat mengkonsumsi makan (misalnya, bersih, berventilasi, santai, dan bebas dari bau yang menyengat) 7. Lakukan atau bantu pasien terkait dengan perawatan mulut sebelum makan 8. Beri obat-obatan sebelum makan (misalnya, penghilang rasa sakit, antiemetik), jika diperlukan 9. Pastikan mkanan disajikan dengan cara yang menarik dan

pada suhu yang paling cocok untuk konsumsi secara optimal 10. Anjurkan untuk keluarga membawa makanan favorit pasien sementara [pasien] berada di rumah sakit atau fasilitas perawatan, yang sesuai 11. Bantu pasien membuka kemasan makanan, memotong makanan, dan makan, jika diperlukan Monitor nutrisi 1. Timbang berat badan 2. Monitor pertumbuhan dan perkembangan 3. Lakukan pengukuran antropometrik pada komposisi tubuh 4. Monitor kecenderungan turun dan naiknya berat badan 5. Identifikasi perubahan berat badan terakhir 6. Monitor turgor kulit dan mobilitas 7. Identifikasi anormalitas kulit 8. Monitor adanya mual muntah 9. Identifikasi abnormalitas eleminasi bowel 10. Monitor diet dan asupan kalori 11. Identifikasi perubahan nafsu makan dan aktifitas akhir-akhir ini Monitor tanda-tanda vital 1. Monitor tekanan darah, nadi suhu, dan status pernafasan dengan tepat 2. Catat gaya dan fluktuasi yang luas pada tekanan darah 3. Monitor tekanan darah saat pasien berbaring, duduk, dan berdiri sebelum dan setelah perubahan posisi 4. Monitor tekan darah pasien setelah minum obat 5. Auskultasi tekanan darah di kedua lengan dan bandingkan 6. Monitor irama dan tekanan jantung 7. Monitor suara paru-paru 8. Monitor pola nafas abnormal 9. Monitor warna kulit, suhu dan kelembaban 10. Identifikasi kemungkinan penyebab perubahan tandatanda vital Manejemen saluran cerna 1. Catat buang air besar terakhir 2. Monitor buang air besar termasuk frekuensi, konsistensi, bentuk, volum, dan warna, dengan cara yang tepat 3. Monitor bising usus 4. Laporkan peningkatan frekuensi dan/atau bising usus bernada tinggi

5. Laporkan berkurangnya bising usus 6. Monitor adanya tanda dan gejala diare, konstipasi, dan impaksi 7. Evaluasi inkontinensia fekal sepenuhnya 8. Catat masalah BAB yang sudah ada sebelumnya, BAB rutin, dan penggunaan laksatif 9. Ajarkan pasien mengenai makanan-makanan tertentu yang membantu mendkung keteraturan usus 10. Anjurkan anggota pasien.keluarga untuk mencatat warna, volume, frekuensi, dn konsistensi tinja 11. Masukkan supositoria rektal, sesuai kebutuhan 12. Memulai program latihan saluran cerna, dengan cara yang tepat 13. Mendorong peburuhan asupan makanan pembentuk gas, yang sesuai 14. Instruksikan pasien mengenai makanan tinggi serat, dengan cara yang tepat 15. Berikan caran hangan setelah makan, dengan cara yang tepat Pemasangan infuse 1. Verifikasi instruksi untuk terapi IV 2. Beritahukan pasien mengenai prosedur 3. Pertahankan teknik aseptik dengan seksama 4. Identifikasi apakah pasien alergi terhadap obat, yodium, atau plester 5. Pasang infus di lengan pasien yang berlawanan dengan fistula arteriovenosa atau lintasan, atau kondisi kontraindikasi kanulasi (misalnya, lymphedema, mastektomi, lymphehectomy, terapi radiasi) 6. Anjurkan pasien untuk memegang ekstremitas lebih rendah dari jantung untuk memaksimalkan aliran darah ketempat yang sesuai 7. Minta pasien untuk membuka dan menutup tangan be berapa kali 8. Masukkan jarum sesuai dengan instruksi pabrik, gunakan hanya jarum dengan aspek-aspek pencegahan cedera benda tajam Terapi intravena 1. Verifikasi perintah untuk terapi (IV) 2. Lakukan [prinsip] lima benar

sebelum memulai infus atau pemberian pengobatan (misalnya, benar obat, dosis, pasien, cara, dan frekuensi) 3. Seleksi dan siapkan IV pompa infus, sesuai indikasi 4. Berikan cairan IV pada suhu ruang, kecuali jika diperintahkan (berbeda) 5. Berikan pengobatan IV, sesuai yang diresepkan, dan monitor untuk hasilnya 6. Monitor kecepatan aliran intravenadan area intravena selama [pemberian] infus 7. Lakukan pengecekan pada area IV sesuai protokol di institusi 8. Lakukan perawatan pada area IV sesuai protokol di institusi 9. Monitor tanda vital 10. Catat asupan dan output dengan tepat 4

Hambatan mobilitas fisik Definisi: keterbatasan dalam bergerak fisik satu atau lebih ekstremitas secara mandiri dan terarah. Batasan karakteristik: 1. Dispnea setelah beraktivitas 2. Gangguan sikap berjalan 3. Gerakan lambat 4. Gerakan spastik 5. Gerakan tidak terkoordinasi 6. Instabilitas postur 7. Kesulitan membolak balik posisi 8. Keterbatasan rentang gerak 9. Ketidaknyamanan 10. Melakukan aktivitas lain sebagai pengganti pergerakan (mis., meningkatkan perhatian pada aktivitas orang lain, mengendalikan perilaku, focus pada aktivitas sebelum sakit) 11. Penurunan kemampuan melakukan keterampilan motorik halus 12. Penurunan kemampuan melakukan keterampilan motorik kasar 13. Penurunan waktu reaksi 14. Tremor akibat gerak Faktor yang berhubungan: 1. Agens farmaseutikal 2. Ansietas 3. Depresi 4. Disuse

Outcome Untuk Mengukur Penyelesaian dari Diagnosis: 1. Ambulasi a. Berjalan dengan langkah yang efektif dapat dipertahankan atau ditingkatkan pada skala 5 (tidak terganggu). b. Berjalan dengan pelan dapat dipertahankan atau ditingkatkan pada skala 5 (tidak terganggu). c. Berjalan dengan kecepatan sedang dapat dipertahankan atau ditingkatkan pada skala 5 (tidak terganggu). d. Berjalan mengelilingi kamar dapat dipertahankan atau ditingkatkan pada skala 5 (tidak terganggu). Outcome Tambahan Untuk Mengukur Batasan Karakteristik: 1. Kemampuan berpindah a. Berpindah dari satu permukaan ke permukaan lain sambil berbaring dapat dipertahankan atau ditingkatkan pada skala 5 (tidak terganggu). b. Berpindah dari tempat tidur ke kursi dapat dipertahankan atau ditingkatkan pada skala 5 (tidak terganggu).

Intervensi Keperawatan yang Disarankan untuk Menyelesaikan Masalah: Perawatan Tirah Baring: 1. Jelaskan alas an diperlukannya tirah baring 2. Ajarkan latihan ditempat tidur, dengan cara yang tepat 3. Tempatkan matras atau kasur terapeutik dengan cara yang tepat Peningkatan Mekanika Tubuh 1. Kaji komitmen pasien untuk belajar dan menggunakan postur tubuh yang benar 2. Kolaborasikan dengan fisioterapis dalam mengembangkan peningkatan mekanika tubuh, sesuai indikasi 3. Edukasi pasien tentang pentingnya postur tubuh yang benar untuk mencegah kelelahan, ketegangan dan injuri. 4. Bantu pasien/keluarga untuk mengidentifikasi latihan postur tubuh yang sesuai. Terapi Latihan: Ambulasi 1. Beri pasien pakaian yang tidak mengekang 2. Sediakan tempat tidur berketinggian rendah, yang sesuai 3. Bantu pasien untuk duduk disisi tempat tidur untuk memfasilitasi penyesuaian sikap tubuh

5. Fisik tidak bugar 6. Gangguan fungsi kognitif 7. Gangguan metabolisme 8. Gangguan muskuloskeletal 9. Gangguan neuromuskular 10. Gangguan sensoriperseptual 11. Gaya hidup kurang gerak 12. Indeks massa tubuh di atas persentil ke-75 sesuai usia 13. Intoleransi aktivitas 14. Kaku sendi 15. Keeganan memulai pergerakan 16. Kepercayaan budaya tentang aktivitas yang tepat 17. Kerusakan integritas struktur tulang 18. Keterlambatan perkembangan 19. Kontraktur 20. Kurang dukungan lingkungan (mis., fisik atau sosial) 21. Kurang pengetahuan tentang nilai aktivitas fisik 22. Malnutrisi 23. Nyeri 24. Penurunan kekuatan otot 25. Penurunan kendali otot 26. Penurunan ketahanan tubuh 27. Penurunan massa otot 28. Program pembatasan gerak.

5

Risiko ketidakefektifan Perfusi Jaringan Otak Definisi: rentan mengalami penurunan sirkulasi jaringan otak yang dapat mengganggu kesehatan. Faktor risiko:

Outcome yang Berkaitan dengan Faktor yang Berhubungan atau Outcome Menengah: 1. Tingkat kecemasan a. Perasaan gelisah dapat dipertahankan atau ditingkatkan pada skala 5 (tidak ada). b. Otot tegang dapat dipertahankan atau ditingkatkan pada skala 5 (tidak ada). c. Wajah tegang dapat dipertahankan atau ditingkatkan pada skala 5 (tidak ada). d. Rasa takut yang disampaikan secara lisan dapat dipertahankan atau ditingkatkan pada skala 5 (tidak ada). e. Rasa cemas yang disampaikan secara lisan dapat dipertahankan atau ditingkatkan pada skala 5 (tidak ada). f. Peningkatan tekanan darah dapat dipertahankan atau ditingkatkan pada skala 5 (tidak ada). 2. Tingkat nyeri: a. Nyeri yang di laporkan dapat dipertahankan atau ditingkatkan pada skala 5 (tidak merasakan nyeri). b. Ekspresi nyeri wajah dapat dipertahankan atau ditingkatkan pada skala 5 (tidak ada).

NOC Outcome untuk menilai dan mengukur kejadian aktual dari diagnosis 1. Perfisi jaringan a. Aliran darah melalui pembuluh darah hepar dapat dipertahankan atau ditingkatkan pada skala 5

4. Bantu pasien untuk berdiri dan ambulasi dengan jarak tertentu 5. Bantu pasien untuk membangun pencapaian yang realistis untuk ambulasi jarak. 6. Terapkan/sediakan alat bantu seperti tongkat, walker, atau kursi roda. Peningkatan latihan 1. Gali pengalaman individu sebelumnya mengenai latihan. 2. Gali hambatan untuk melakukan latihan. 3. Dukung ungkapan perasaan mengenai latihan atau kebutuhan untuk melakukan latihan 4. Dukung individu untuk memulai dan melanjutkan latihan 5. Damping individu saat mengembangkan program latihan untuk memenuhi kebutuhan 6. Lakukan latihan bersama individu jika diperlukan 7. Informasikan kepada individu mengenai manfaat kesehatan dan efek fisiologis latihan 8. Instruksikan individu terkait tipe, aktifitas fisik yang sesuai dengan derajat kesehatannya, kolaborasi dengan dokter. 9. Monitor kepatuhan individu terhadap program latihan. Manajemen nyeri 1. Lakukan pengkajian nyeri (P,Q,R,S,T) 2. Mengobsevasi ekspresi dari non verbal pasien. 3. Mengajarkan pasien manajemen nyeri. 4. Bantuan perawatan diri: tranfer 5. Gali kemampuan pasien untuk memindahkan diri 6. Bantu pasien untuk melalukan perawatan diri: kebersihan diri. 7. Intruksikan indipidu untuk belajar berpindah,misalkan dari tempat tidur ke toilet. NIC Manajemen edema serebral 1. Monitor adanya kebingungan, perubahan pikiran, keluhan pusing, pingsan 2. Monitor status neurologi dengan ketat dan bandingkan dengan nilai normal

1. Agens farmaseutikal 2. Arterosklerosis aortik 3. Baru terjadi infark miokardium 4. Diseksi arteri 5. Embolisme 6. Endokarditis infektif 7. Fibrilasi atrium 8. Hiperkolesterolemia 9. Hipertensi 10. Kardiomiopati dilatasi 11. Katup prostetik mekanis 12. Koagulasi intravaskular diseminata 13. Koagulopati (mis., anemia sel sabi) 14. Masa protrombin abnormal 15. Masa tromboplastin parsial abnormal 16. Miksoma atrium 17. Neoplasma otak 18. Segmen ventrikel kiri akinetik 19. Sindrom sick sinus 20. Stenosis karotid 21. Stenosis mitral 22. Terapi trombolitik 23. Tumor otak (mis., gangguan serebrovaskular, penyakit neurologis, trauma, tumor)

(tidak ada deviasi dari kisaran normal) b. Aliran darah melalui pembuluh darah ginjal dapat dipertahankan atau ditingkatkan pada skala 5 (tidak ada deviasi dari kisaran normal) c. Aliran darah melalui saluran pembuluh darah gastrointestinal dapat dipertahankan atau ditingkatkan pada skala 5 (tidak ada deviasi dari kisaran normal) d. Aliran darah melalui pembuluh darah jantung dapat dipertahankan atau ditingkatkan pada skala 5 (tidak ada deviasi dari kisaran normal) e. Aliran darah melalui pembuluh darah cerebral dapat dipertahankan atau ditingkatkan pada skala 5 (tidak ada deviasi dari kisaran normal) f. Aliran darah melalui pembuluh perifer dapat dipertahankan atau ditingkatkan pada skala 5 (tidak ada deviasi dari kisaran normal) 2. Perfusi jaringan: serebral a. Tekanan intrakarnial dapat dipertahankan atau ditingkatkan pada skala 5 (tidak ada deviasi dari kisaran normal) b. Tekanan darah sistolik dapat dipertahankan atau ditingkatkan pada skala 5 (tidak ada deviasi dari kisaran normal) c. Tekanan darah diastolik dapat dipertahankan atau ditingkatkan pada skala 5 (tidak ada deviasi dari kisaran normal) d. Hasis serebral angiogram dapat dipertahankan atau ditingkatkan pada skala 5 (tidak ada deviasi dari kisaran normal) e. Sakit kepala dapat dipertahankan atau ditingkatkan pada skala 5 (tidak ada deviasi dari kisaran normal)

3. 4.

Monitor tanda-tanda vital Monitor karakteristik cairan serebrospinal: warna, kejernihan, konsistensi 5. Catat cairan serebrospinal 6. Monitor CVP, PAWP, dan PAP, sesuai kebutuhan 7. Monitor TIK dan CPP 8. Analisa pola TIK 9. Monitor status pernapasan: frekuensi, irama, kedalaman pernapasan, PaO2, PCO2, pH, bikarbonat 10. Biarkan TIK kembali ke nilai normal diantara aktivitas keperawatan 11. Monitor TIK pasien dan respon neurologi terhadap aktivitas perawatan 12. Kurangi stimulus dalam lingkungan pasien 13. Rencanakan asuhan keperawatan untuk memberikan periode istirahat 14. Berikan sedasi, sesuai kebutuhan 15. Catat perubahan pasien dalam berespon terhadap stimulus 16. Berikan anti kejang, sesuai kebutuhan 17. Berikan pelunak feses 18. Posisikan tinggi kepala tempat tidur 30 derajat atau lebih 19. Hindari penggunaan PEEP 20. Dorong keluarga/orang yang penting untuk bicara pada pasien 21. Hindari cairan IV hipotonik 22. Batasi suksion kurang dari 15 detik 23. Monitor nilai-nilai laboratorium: osmolalitas serum dan urin, natrium, kalium 24. Monitor intake dan output 25. Pertahankan suhu normal 26. Lakukan tindakan pencegahan terjadinya kejang 27. Titrasi barbiturat untuk mencapai supresi EEG sesuai yang diperintahkan Pengaturan hemodinamik 1. Lakukan penilaian komprehensif terhadap status hemodinamika (yaitu, memeriksa tekanan darah, denyut jantung,denyut nadi, tekana vena jugularis, tekanan vena sentral attium kiri dan kanan tekanan ventrikel dan tekanan arteri pulmonalis) dengan tepat 2. Gunakan beberapa parameter

f. Kegelisahan dapat dipertahankan atau ditingkatkan pada skala 5 (tidak ada deviasi dari kisaran normal) g. Kecemasan yang tidak dijelaskan dapat dipertahankan atau ditingkatkan pada skala 5 (tidak ada deviasi dari kisaran normal) h. Muntah dapat dipertahankan atau ditingkatkan pada skala 5 (tidak ada deviasi dari kisaran normal) i. Kognisi terganggu dapat dipertahankan atau ditingkatkan pada skala 5 (tidak ada deviasi dari kisaran normal) j. Penurunan tingkat kesadaran dapat dipertahankan atau ditingkatkan pada skala 5 (tidak ada deviasi dari kisaran normal) k. Reflek saraf terganggu dapat dipertahankan atau ditingkatkan pada skala 5 (tidak ada deviasi dari kisaran normal)

untuk menentukan status klinis pasien ( yaitu nani proporsional dianggap sebagai parameter definitive) 3. Berikan pemeriksaan fisik berkala pada populasi berisiko (missal pasien gagal jantung) 4. Kurangi kecemasan dengan memberikan informasi yang akurat dan perbaiki setiap kesalah pahaman 5. Pertimbangkan status volume (yaitu, apakah pasien hipovolemi atau berada pada rentang cairan yang seimbang) 6. Monitor adanya tanda dan gejala masalah status volume 7. Lakukan auskultasi pada paru untuk mencari tau apa ada bunyi atau suara tambahan lainnya 8. Lakukan auskultasi pada jantung Monitor tekanan intra kranial (TIK) 1. Bantu menyisipkan perangkat pemantauan TIK 2. Berikan informasi kepada pasien dan keluarga/orang penting lainnya 3. Kalibrasi transduser 4. Buat tingkat transduser eksternal sampai ke titik referensi anatomi konsisten 5. Cek sistem lampu di perangkat alat medis 6. Atur alarm pemantau 7. Rekam pembacaan tekanan TIK 8. Monitor kualitas dan karakteristik gelombang TIK 9. Monitor tekanan aliran darah otak 10. Monitor pasien TIK dan reaksi perawatan neurologis serta rangsang lingkungan 11. Monitor jumlah, nilai, dan karakteristik pengeluaran cairan serebrospinal (CSF) 12. Monitor intake dan output 13. Pertahankan strerilitas sistem pemantauan 14. Monitor tekanan selang untuk gelembung udara, puing-puing atau darah beku 15. Monitor suhu dan jumlah WBC 16. Berikan antibiotik 17. Letakkan kepala dan leher pasien dalam posisi netral, hindari fleksi pinggang yang belebihan 18. Sesuaikan kepala tempat tidur untuk mengoptimalkan perfusi serebral 19. Berikan ruang untuk perawatan agar meminimalkan elevasi TIK 20. Monitor tingkat CO2 dan

pertahankan dalam parameter yang ditentukan 21. Jaga tekanan arteri sistemik dalam jangkauan tertentu 22. Beritahu dokter untuk meningkatkan TIK yang tidak bereaksi sesuai paraturan perawatan Monitor neurologi 1. Pantau ukuran pupil, bentuk, kesimetrisan dan reaktivitas 2. Monitor tingkat kesadaran 3. Memonitor tingkat orientasi 4. Monitor kecenderungan Skala Koma Glasgow 5. Monitor ingatan saat ini, rentang perhatian, ingatan di masa lalu, suasana perasaan, afek dan perilaku 6. Monitor tanda-tanda vital: suhu, tekanan darah, denyut nadi, dan respirasi 7. Monitor refleks kornea 8. Monitor refleks batuk dan muntah 9. Monitor bentuk otot, garakan motorik, gaya berjalan, dan proprioception 10. Monitor kekuatan pegangan 11. Monitor terhadap adanya tremor 12. Monitor kesimetrisan wajah 13. Monitor tonjolan lidah 14. Monitor respon cara berjalan 15. Monitor respon terhadap stimuli: verbal, taktil, dan [respon] bahaya 16. Monitor perbedaan terhadap tajam/tumpul atau panas/dingin 17. Monitor paresthesia: mati rasa dan kesemutan 18. Monitor indera penciuman 19. Monitor pola berkeringat 20. Monitor respon Babinski 21. Monitor respon Cushing 22. Monitor balutan drainase kraniotomi/laminectomy 23. Monitor respon terhadap obat 24. Beri jarak kegiatan keperawatan yang diperlukan yang bisa meningkatkan tekanan intrakranial 25. Beritahu dokter mengenai perubahan kondisi pasien 26. Mulailah melakukan tindakan pencegahan sesuai peraturan, jika perlu

Pencegahan kejang 2. Bantu menyisipkan perangkat pemantauan TIK 3. Berikan informasi kepada pasien dan keluarga/orang penting lainnya 4. Kalibrasi transduser 5. Buat tingkat transduser eksternal sampai ke titik referensi anatomi konsisten 6. Cek sistem lampu di perangkat alat medis 7. Atur alarm pemantau 8. Rekam pembacaan tekanan TIK 9. Monitor kualitas dan karakteristik gelombang TIK 10. Monitor tekanan aliran darah otak 11. Monitor pasien TIK dan reaksi perawatan neurologis serta rangsang lingkungan 12. Monitor jumlah, nilai, dan karakteristik pengeluaran cairan serebrospinal (CSF) 13. Monitor intake dan output 14. Pertahankan strerilitas sistem pemantauan 15. Monitor tekanan selang untuk gelembung udara, puingpuing atau darah beku 16. Monitor suhu dan jumlah WBC 17. Berikan antibiotik 18. Letakkan kepala dan leher pasien dalam posisi netral, hindari fleksi pinggang yang belebihan 19. Sesuaikan kepala tempat tidur untuk mengoptimalkan perfusi serebral 20. Berikan ruang untuk perawatan agar meminimalkan elevasi TIK 21. Monitor tingkat CO2 dan pertahankan dalam parameter yang ditentukan 22. Jaga tekanan arteri sistemik dalam jangkauan tertentu 23. Beritahu dokter untuk meningkatkan TIK yang tidak bereaksi sesuai paraturan perawatan Monitor tanda-tanda vital 1. Monitor tekanan darah, nadi suhu, dan status pernafasan dengan tepat 2. Catat gaya dan fluktuasi yang luas pada tekanan darah 3. Monitor tekanan darah saat pasien berbaring, duduk, dan berdiri sebelum dan setelah perubahan posisi 4. Monitor tekan darah pasien

setelah minum obat 5. Auskultasi tekanan darah di kedua lengan dan bandingkan 6. Monitor irama dan tekanan jantung 7. Monitor suara paru-paru 8. Monitor pola nafas abnormal 9. Monitor warna kulit, suhu dan kelembaban 10. Identifikasi kemungkinan penyebab perubahan tandatanda vital 6

Resiko infeksi Definisi : rentan mengalami invasi dan multiplikasi organisme patogenik yang dapat menganggu kesehatan. Factor resiko: 1. Kurang pengetahuan untuk menghindari pemajanan 2. Malnutrisi 3. Obesitas 4. Penyakit kronis 5. Prosedur invasive 6. Gangguan integritas kulit Pertahanan tubuh primer tidak adekuat: 1. Gangguan peristaltic 2. Merokok 3. Perubahan pH sekresi 4. Stasis cairan tubuh Pertahanan tubuh sekunder tidak adekuat: 1. Imunosupresi 2. Leukopenia 3. Penurunan hemoglobin 4. Supresi inflamasi 5. Vaksinasi tidak adekuat Pemajanan terhadap pathogen Lingkungan Meningkat: 1. Terpajan pada wabah

NOC 1. Kontrol resiko a. Mengidentifikasi factor resiko pada skala 5 (secara konsisten menunjukkan) b. Mengenali factor resiko individu pada skala 5 secara konsisten menunjukkan c. Monitor factor resiko di lingkungan pada skala 5 (secara konsisten menunjukkan) d. Memonitor factor resiko individu pada skala 5 (secara konsisten menunjukkan) e. Mengembangkan strategi yang efektif dalam mengontrol resiko pada skala 5 (secara konsisten menunjukkan) f. Mengenali perubahan status kesehatan pada skala 5 (secara konsisten menunjukkan) g. Pembentukan bekas luka pada skala 5 (tidak ada) h. Bau busuk pada skala 5 (tidak ada) i. Kemerahan pada skala 5 (tidak ada) j. Nyeri pada skala 5 (tidak ada)

NIC Kontrol Resiko 1. Bersihkan lingkungan dengan baik setelah dipakai pasien lain 2. Pertahankan teknik isolasi 3. Batasi pengunjung bila perlu 4. Instruksikan pada pengunjung untuk mencuci tangan saat berkunjung dan setelah berkunjung meninggalkan pasien 5. Gunakan sabun antimikrobia untuk cuci tangan 6. Cuci tangan setiap sebelum dan setelah tindakan keperawatan 7. Gunakan baju, sarung tangan sebagai pelindung 8. Pertahankan lingkungan aseptic selama pemasangan alat 9. Ganti letak IV perifer dan line central dan dressing sesuai dengan petunjuk umum 10. Pastikan teknik perawatan luka yang tepat 11. Gunakan kateter intermitten untuk menurunkan infeksi kandung kencing 12. Tingkatkan intake nutrisi 13. Berikan terapi antibiotic bila perlu infection protection (proteksi terhadap infeksi) 14. Monitor tanda dan gejala infeksi sistemik dan local 15. Monitor hitung granulosit, WBC 16. Monitor kerentanan terhadap infeksi 17. Batasi pengunjung 18. Pertahankan teknik asepsis pada pasien yang beresiko 19. Inspeksi kulit dan membrane mukosa terhadap kemerahan, panas, drainase 20. Inspeksi kondisi luka/insisi bedah 21. Dorong masukan nutrisi yang cukup 22. Dorong masukan cairan 23. Dorong istirahat

f. Evaluasi Menurut Nursalam (2011) evaluasi keperawatan terdiri dari dua jenis yaitu: 1. Evaluasi formatif Evaluasi ini disebut juga evaluasi berjalan dimana evaluasi dilakukan sampai dengan tujuan tercapai. 2. Evaluasi somatif Merupakan evaluasi akhir dimana dalam metode evaluasi ini menggunakan SOAP.

DAFTAR PUSTAKA Ardiansyah, M. (2012). Medikal Bedah Untuk Mahasiswa. Yogyakarta: Diva Press. Arief Mansjoer.(2010). Kapita Selekta Kedokteran, edisi 4. Jakarta : Media Aesculapius. Diane C .(2012). Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta : EGC Ganong, W. F. (2009). Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 22. Jakarta: EGC. Herdman, T. H. (2012). Diagnosis Keperawatan: Definisi dan Klasifikasi. Jakarta: EGC.

Nursalam. (2011). Proses Dan Dokumentasi Keperawatan, Konsep Dan Praktek. Jakarta: Salemba Medika Price & Wilson. (2008). Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi 6. Vol. 2. Jakarta: EGC Rosjidi, C. H. (2009). Asuhan Keperawatan Klien dengan Cedera Kepala. Yogyakarta: Ardana Media.

Sylvia .(2010). Patofisiologi: Konsep Klinis Proses- Proses Penyakit. Ed.6. Jakarta: EGC

Smeltzer, S. C. (2013). Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah. Edisi 8. Jakarta: EGC

Related Documents

Lp
August 2019 105
Lp
November 2019 101
Lp
May 2020 74
Lp
October 2019 102
Lp
October 2019 96
Lp Pneumoia.docx
December 2019 0

More Documents from "imam masrukin"