Longing For God (merindukan Allah)-sample.pdf

  • Uploaded by: zakai
  • 0
  • 0
  • November 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Longing For God (merindukan Allah)-sample.pdf as PDF for free.

More details

  • Words: 5,676
  • Pages: 28
L ONGING

FOR

G OD

Merindukan Allah: Tujuh Jalan Devosi Kristen oleh Richard J. Foster & Gayle D. Beebe Original published by InterVarsity Press as

Longing for God: Seven Path of Christian Devotion Richard J. Foster & Gayle D. Beebe Copyright © 2009 by Gayle D. Beebe Translated and printed by permission of InterVarsity Press P.O. Box 1400, Downers Grove, IL 60515-1426, USA Alih Bahasa: Paul Hidayat Editor: Milhan K. Santoso Penata Letak: Milhan K. Santoso Hak cipta terjemahan Indonesia: Literatur Perkantas Jawa Timur Tenggilis Mejoyo KA-10, Surabaya 60292 Telp. (031) 8413047, 8435582; Faks. (031) 8418639 E-mail: [email protected] www.perkantasjatim.org Literatur Perkantas Jatim adalah sebuah divisi yang bergerak di bidang literatur di bawah naungan Persekutuan Kristen Antar Universitas (Perkantas) Jawa Timur. Perkantas Jawa Timur adalah sebuah kegerakan siswa dan mahasiswa yang melayani beberapa sekolah dan beberapa universitas di Jawa Timur. Perkantas Jatim adalah bagian dari Perkantas Indonesia. Perkantas sendiri adalah anggota dari kegerakan International Fellowship of Evangelical Students (IFES). Untuk informasi lebih lanjut mengenai kegiatan yang ada secara lokal maupun regional di Jawa Timur dapat menghubungi melalui e-mail: [email protected], atau mengunjungi Website Perkantas Jatim di www.perkantasjatim.org

Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT) ISBN: 978-979-1338-30-1 Cetakan Pertama: November 2009

Hak cipta dilindungi undang-undang. Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Literatur Perkantas Jawa Timur.

Untuk istriku, Pam,

Dan untuk anak-anak kami, Anna, Elizabeth dan Richard. “Carilah maka kamu akan mendapat, apabila kamu mencari Dia dengan segenap hatimu.” -Gayle

Daftar Isi Berdiri di dalam sebuah tradisi tidak membatasi kebebasan pengetahuan, tetapi memungkinkan itu terjadi. H A N S G E O R G G A DA M E R , T RU T H A N D M E T H O D

Kata Pendahuluan...................................................................................... . 11 Introduksi: Menemukan Ulang Tujuh Jalan Devosi Kristen............................. 15 JALAN PERTAMA: Pengaturan

Kasih Kita kepada Allah secara Benar....... 21

Origen dari Alexandria: Pencarian akan Persekutuan Abadi dengan Allah...... 24 Agustinus dari Hippo: Mengasihi Allah dengan Tubuh, Akal Budi dan Hati......... 31 Bernard dari Clairvaux: Kerinduan akan Allah dan Pendakian Kasih yang Murni. 41 Blaise Pascal: Pengaturan Tubuh, Akal Budi dan Hati secara Benar................. 50 JALAN KEDUA: Kehidupan

Rohani sebagai Perjalanan............................. 61

Evagrius dari Ponticus: Dari Pemikiran yang Mematikan ke Kebajikan Saleh.... 65 George Herbert: Menenun Hidup Menjadi Sesuatu yang Berarti.................. 78 John Bunyan: Jalan Musafir kepada Allah............................................... 92

Thomas Merton: Menemukan Tempat Kediaman Kita dengan Allah.............. 99 JALAN KETIGA: Penemuan



Kembali Pengetahuan akan Allah yang

Hilang dalam Kejatuhan.................................................. 107 Thomas Aquinas: Belajar Mengasihi dan Mengenal Allah Lebih Penuh..........111 Martin Luther: Bertumbuh dalam Kemerdekaan Kasih Allah......................122 John Calvin: Mengenal Allah dan Mengenal Diri Sendiri..........................136

JALAN KEEMPAT: Keintiman

dengan Yesus Kristus................................... 147

Francis dari Assisi: Dunia adalah Biara Kita..........................................150 St. Bonventura: Kepenuhan Hidup dalam Kristus....................................159 Thomas à Kempis: Meniru Kristus......................................................169 Ignatius dari Loyola: Dipimpin oleh Misteri Kristus.................................178 JALAN KELIMA: Pengaturan

Benar atas Pengalaman Kita akan Allah...... 189

Julian dari Norwich: Dalam Rangkulan Kebaikan Allah...........................194 George Fox: Belajar Mengikuti Terang Kristus dalam Hati.........................208 John Wesley: Peran Pengalaman Religius Kita dalam Mengenal Allah............217 Friedrich Schleiermacher: Memberi Arti bagi Pengalaman Kita akan Allah...230 JALAN KEENAM: Aksi

dan Kontemplasi.................................................... 239

John Cassian: Menyeimbangkan Kehidupan Aktif dan Kontemplatif..............241 Benedict dari Nursia: Belajar Hidup dengan Aturan................................254 Gregory yang Agung: Menghidupi Kehidupan Aktif secara Kontemplatif........264 JALAN KETUJUH: Pendakian

Ilahi............................................................. 277

Peudo-Dionysius: Mengasihi Allah melalui Tiga Jalan...............................279 Awan Ketidaktahuan: Anak Panah Kasih yang Rindu..............................290 Teresa dari Avila: Memasuki Kediaman Kristus.......................................303 John of the Cross: Menerangi Malam yang Gelap....................................317 Kesimpulan................................................................................................ 327

Lampiran 1: Pengaruh Pra-Kristen terhadap Persekutuan Kita dengan Allah.......333 Lampiran 2: Para perempuan Kristen dan Spiritualitas..................................347 Lampiran 3: Kontribusi Gereja Ortodoks Timur..........................................367 Ucapan Terima Kasih................................................................................. 384 Catatan...................................................................................................... 385

Kata Pendahuluan

Buku ini membahas tentang berbagai jalan yang telah membuat banyak individu dan komunitas menjadi hidup untuk Allah. Seringkali kebangunan rohani ini menciptakan suatu kerinduan hati yang tak henti akan hadirat Allah yang menetap.Tigapuluh tahun yang lalu kebangunan tersebut terjadi dalam diri saya. Waktu itu saya mahasiswa tahun pertama di George Fox College, yang terletak di Newberg, Oregon. Richard Foster mengajar di perguruan tinggi tersebut, sambil menggembalakan sebuah Gereja Para Sahabat (Friends Church) setempat dan menulis buku Celebration of Discipline. Ketika saya mengambil kelas yang diajar oleh Richard itulah awalnya saya membaca Celebration masih dalam bentuk naskah awal. Waktu itu saya sudah masuk dalam lingkungan Kristen cukup lama, namun baru pertama kali itu saya membaca sesuatu yang sedemikian menyeluruh dan teratur tentang bagaimana kita dapat memahami dan mengalami kemajuan dalam persekutuan kita dengan Allah. Dapat Anda bayangkan, betapa asyiknya saat itu. Berbagai penemuan yang saya alami semasa periode menentukan tersebut masih terus mempengaruhi saya sampai hari ini. Kemudian saya meneruskan studi di Princeton Theological Seminary, di sana saya sangat dipengaruhi oleh Dr. Dioegenes Allen. Waktu itu beliau sedang menekuni karirnya sebagai Stuart Professor dalam bidang filsafat. Ketika saya masuk ke Princeton di awal 1980an, Dr. Allen mengintegrasikan filsafat, teologi dan sejarah gereja menjadi suatu sintesis yang sangat menarik perhatian yang pernah saya temukan. Ia memaparkan tentang tata dan pola kedalaman persekutuan kita dengan Allah sambil menyediakan dukungan kokoh kredibilitas intelektual terhadap Kekristenan. Keduanya telah memainkan peran menentukan dalam perjalanan

12

M ERINDUKAN A LLAH

rohani saya. Segala sesuatu yang kini saya pahami tentang persekutuan dengan Allah pada awalnya dibangkitkan oleh pengaruh kehidupan dan pemikiran mereka. Karena kedua mereka menggali sangat dalam dari para tokoh gereja, adalah penting untuk kita mengikuti bimbingan dari wawasan mereka sementara kita berusaha untuk mengalami kemajuan dalam kehidupan rohani kita sendiri. Beberapa waktu yang lalu, di awal perjalanan rohani saya, saya mulai membaca Alkitab setiap hari, mempraktikkan berbagai disiplin dasar kehidupan rohani, dan bertumbuh dalam pengetahuan serta pengertian saya tentang kehidupan ini. Tetapi saya ditantang oleh sahabat-sahabat dekat saya yang tidak menerima keyakinan iman saya. Sikap mereka yang umumnya acuh dan sewaktu-waktu menunjukkan sikap bermusuhan akhirnya membangkitkan pencarian selama lima tahun tentang integritas intelektual Kekristenan. Saya ingin tahu secara pribadi entah iman saya dapat bertahan di arena ide-ide atau tidak. Saya juga masih terus dihantui oleh pertanyaan, “benarkah iman Kristen ini? Apakah hidup dengan Allah ini hanya sebuah permainan atau justru ia merupakan hakikat dasar dan substansi alam semesta ini? Betapa sukacitanya saya, ketika pencarian saya itu terjawab. Dengan keyakinan bahwa persekutuan dengan Allah bukan saja berarti, tetapi juga benar adanya dan memuaskan kebutuhan terdalam saya, sementara saya membaca terus literatur yang diperkenalkan oleh Richard Foster dan Diogenes Allen, keyakinan saya akan kehidupan Kristen makin dikuatkan. Waktu saya di seminari, saya menyadari bahwa hakikat dari kehidupan Kristen adalah bertanya dan mencari jawaban dari pertanyaan-pertanyaan penting yang dipikirkan oleh para pencari yang jujur: Apakah arti hidup ini? Bagaimana mungkin Allah yang mengasihi mengijinkan adanya penderitaan? Mengapa Allah yang baik mengijinkan begitu banyak kejahatan? Adakah bukti bahwa Allah ada? Apakah Yesus satu-satunya jalan ke Allah? Jika memang demikian, apakah peran dari agama-agama lain? Pada tahun 1992, Richard dan saya berjumpa lagi dan mulai mengajar bersama di sebuah perguruan tinggi di Southern California. Waktu itu kami membuat suatu mata kuliah berjudul “Sejarah dan Praktik Spiritualitas Kristen.” Interaksi di sekitar ide dan sesi dalam mata kuliah

Kata Pendahuluan

13

itulah yang menjadi bahan dasar dari buku ini. Sesaat sesudah Natal tahun 2005, saya sedang dalam perjalanan dengan keluarga saya ketika Richard menelpon saya. Waktu itu ia sedang menonton pertandingan bola sambil menjalani pemulihan dari operasi. Akhirnya percakapan kami menyentuh ke topik buku ini dan kami setuju untuk memikirkannya lebih lanjut dan mendoakan. Keesokan paginya Richard menelpon saya kembali dan mengutarakan bahwa kami sebaiknya melakukan proyek ini, dan kami langsung memulainya. Butuh waktu tiga tahun lamanya untuk kami menyeleaikan tugas ini. Dalam buku ini kami berusaha menggabungkan pengertian tentang teks inti dengan gaya interaktif yang dapat menolong Anda menggunakannya untuk perjalanan rohani Anda. Sementara kami memeriksa ulang, saya mendapatkan bahwa bagian “Refleksi dan Respons” yang Richard tulis sangat penting artinya. Lebih dari apapun, kami sama berharap bahwa buku ini akan membawa Anda lebih dekat ke hati Allah. Gayle Beebe

Introduksi Menemukan Tujuh Jalan Devosi Kristen

Melintas waktu dan sepanjang sejarah, kasih Allah telah menyentuh tak terbilang banyaknya manusia. Seringkali perjumpaan tersebut membangkitkan suatu kerinduan rohani di dalam kita dan kita mulai mencari kasih Allah itu lebih penuh serta mengalami terus kehadirannya dalam kehidupan kita. Entah pendekatan atau jalan mana yang kita ambil, hadirat Allah yang kita alami dalam untaian momen-momen kehidupan kita menciptakan suatu kerinduan akan hadirat Allah yang berkesinambungan dan tanpa henti. Tetapi sejarah menyatakan bahwa kerinduan kita akan kasih-Nya ini jarang terpenuhi sepenuhnya. Mengapa kerinduan itu kini tertidur? Jawabnya secara singkat: gangguan. Dalam bukunya Confessions, Agustinus menyatakan, “Hati kami gelisah sampai mereka beristirahat di dalamMu.” Anda sadar, meski kita membutuhkan Allah, awalnya kita tidak merindukan Dia. Kita merindukan banyak hal lain – hal-hal yang penting untuk kehidupan tentunya, tetapi juga hal-hal yang kita temukan sebagai hal yang menarik perhatian. Maka hanya ketika Allah menjamah kita dengan kasih-Nya barulah kita mengerti sifat hidup ini secara baru dan dalam. Seperti halnya dengan banyak hal lain, demikian pun kapasitas kita untuk menerima dan merespons kasih Allah perlu dikembangkan. Sebagai contoh, meskipun kita memiliki kemampuan untuk membaca dan menulis, perlu banyak usaha dan bantuan agar kita dapat mengembangkan kemampuan tersebut. Sebagian orang tidak pernah belajar membaca dan menulis sebab mereka tidak pernah memiliki kesempatan untuk belajar. Demikian juga halnya, ada tak terhitung banyaknya orang yang memiliki kapasitas untuk menerima dan merespons kasih Allah namun

16

M ERINDUKAN A LLAH

kurang kesempatan untuk melakukannya. Satu masalah kunci yang harus kita hadapi kini ialah fakta bahwa lingkungan budaya modern telah berkembang makin bermusuhan terhadap iman Kristen. Berbagai perguruan tinggi dan lembaga penelitian telah menyingkirkan iman sebagai cara pandang yang usang dan tidak relevan tentang dunia ini. Lingkungan budaya modern tidak mendorong pertimbangan apapun tentang Allah, apalagi menganjurkan orang yang mengalami kerinduan akan Allah agar memberikan peluang bagi keinginan tersebut untuk bertumbuh.

Mencari Pusat Nilai Sementara kita melangkah makin jauh ke dalam milenium baru ini, ada banyak spekulasi tentang apa yang akan dibawa oleh waktu yang masih tersisa. Mungkin kita akan menemukan bagaimana akal budi, otak dan pribadi saling terhubung; mungkin kita akan menemukan penjelasan ilmiah tentang asal mula kehidupan; atau, sesuatu yang sangat kita harapkan, yaitu kita boleh menemukan serta menyetujui tentang sasaran puncak yang seharusnya dikejar oleh kehidupan kita sebagai manusia. Semua spekulasi ini dipenuhi dengan pengharapan bahwa entah bagaimana kita akan menemukan suatu pusat nilai yang akan menyediakan arti, tujuan dan arah hidup yang amat sangat kita perlukan. Di inti terdalamnya, pencarian akan suatu pusat nilai menyatakan desakan dahsyat yang kini sedang melanda seisi dunia. Pada masa kini sedang tumbuh semacam kesadaran, seperti yang tercermin dalam sejumlah literatur penting, bahwa kita telah sedemikian luasnya menghancurkan pusat utama arti dan nilai sampai kita hanya memiliki sedikit saja sisa sumber untuk menumbuhkan dan menopang kehidupan kita bersama.1 Pada saat yang sama cukup banyak penulis yang menyuarakan usaha pencarian kekayaan sumber-sumber rohani yang pernah membimbing kita secara moral, menunjang kita secara rohani dan memuaskan kerinduan terdalam kita akan Allah.2 Semua karya ini berpusat pada perhatian tentang proses pembentukan kerohanian. Pembentukan kerohanian Kristen adalah suatu proses yang ditetapkan Allah yang membentuk keseluruhan pribadi sampai kita mengambil sifat dan keberadaan diri Kristus sendiri. Ketika kita terbuka dan responsif

Introduksi

17

kepada proses ini, sisi yang terlihat dari kehidupan kita menjadi ungkapan dari pembentukan hati kita. Pembentukan rohani menyangkut dimensi tersembunyi kehidupan setiap manusia, yaitu ruang yang Allah berikan kepada kita untuk menjadi pribadi yang kita inginkan. Dari ruang tersembunyi ini kita membuat berbagai pilihan yang memanfaatkan sumber-sumber pengertian, emosi dan kehendak yang tersedia untuk kita. Dalam hal inilah kita melatih hati nurani kita di hadapan Allah dan memprakarsai relasi-relasi dengan sesama kita. Di dalam ruang tersembunyi inilah, karakter kita mengalami pembentukan serta di sini jugalah Allah menjumpai kita dan kita memilih untuk mengikuti Dia. Bagaimana ini dapat terjadi? Bagaimana kita dapat dibentuk sedemikian rupa sehingga kehidupan kita menjadi ungkapan dari roh Kristus sendiri? Kita hanya perlu memasuki persekutuan dengan Allah, yaitu suatu relasi yang komunikatif dan membebaskan dimana kehidupan kita menjadi terbuka kepada pengaruh Roh Kudus. Roh berprakarsa di dalam kita dan membimbing kita dalam suatu proses tanpa akhir dimana kita dibentuk ke dalam keserupaan dengan Kristus. Ada banyak praktik kerohanian yang mendukung proses ini: ibadah publik dan pribadi, studi, berdoa, membaca dan menghafal Alkitab, merenungkan tindakan Allah dalam alam dan sejarah, serta pelayanan kepada orang lain. Disiplin kerohanian lainnya seperti praktik menyendiri, berdiam diri dan berpuasa juga mempermudah pembentukan kerohanian. Tetapi berbagai kegiatan tersebut dapat juga menjadi salah sasaran dan beban sampai membunuh kehidupan yang sedang kita cari. Semua disiplin kerohanian memerlukan perhatian supaya menghasilkan pertumbuhan dan kemajuan. Apabila dipakai secara tepat, berbagai disiplin tersebut menolong kita makin dewasa secara rohani sehingga kita dapat merespons berbagai keadaan hidup dengan pikiran dan perasaan Kristus. Setiap kita harus mengembangkan pembentukan ini dengan cara yang paling sesuai dengan keadaan kita, tetapi kita akan maju pesat apabila menggali hikmat dari jalan-jalan yang telah lebih dahulu dirintis oleh orang lain.

Mengapa Buku Ini? Buku ini ditulis dengan dua tujuan. Yang pertama adalah menjelaskan

18

M ERINDUKAN A LLAH

ketujuh jalan utama yang telah dikembangkan sepanjang sejarah Kekristenan. Secara singkat, tujuh jalan itu adalah: • Kehidupan rohani sebagai pengaturan akan kasih kita kepada Allah secara benar • Kehidupan rohani sebagai perjalanan • Kehidupan rohani sebagai penemuan kembali pengenalan akan Allah yang hilang dalam Kejatuhan • Kehidupan rohani sebagai hubungan intim dengan Yesus Kristus • Kehidupan rohani sebagai pengaturan pengalaman kita akan Allah secara benar • Kehidupan rohani sebagai tindakan dan perenungan • Kehidupan rohani sebagai tanjakan secara ilahi (peningkatan kerohanian) Para penulis tertentu telah dipilih karena cara mereka menyaksikan Kristus telah bertahan sepanjang zaman dan membimbing banyak orang. Jalan-jalan tersebut akan diuraikan secara rinci dalam pasal-pasal berikut. Tujuan kedua lebih banyak bersifat pribadi: kami ingin Anda mengalami kebangunan dan bertumbuh dalam pengenalan, pengertian dan komitmen kepada Allah, serta menggumuli kedalaman dan kekayaan yang dipaparkan oleh para penulis tersebut. Buku-buku tentang spiritualitas yang diterbitkan masa kini cenderung ke dua ekstrim: entah mere-ka menyajikan kehidupan rohani secara analitis dengan mengambil jarak, atau mereka menggambarkannya sebagai suatu bidang sempit yang terdiri hanya atas pengalaman emosional yang mustahil untuk ditiru. Kedua pendekatan ekstrim semacam itu gagal terhubung dengan sumber kehidupan. Sasaran kami dengan buku ini adalah menolong Anda menemukan sumber kehidupan yang tak akan habis di dalam Allah dan agar Anda ambil bagian dalam realitas ini. Dengan menyajikan tujuh jalan yang berbeda, kami mengambil posisi menentang kecenderungan kontemporer untuk memeras begitu banyak ragam tulisan tentang spiritualitas ke dalam satu orientasi yang terlalu disederhanakan yang telah membuat iman Kristen mengalami kesulitan

Introduksi

19

besar. Sebaliknya, kami menekankan bahwa paling sedikit ada tujuh jalan utama tentang hidup bersama Allah, semuanya ini dengan perantaraan pribadi dan karya Yesus Kristus. Pada keadaan tertentu satu jalan akan kita rasakan sebagai hal yang sangat menolong. Sesudah selang waktu cukup lama, kemungkinan besar kita akan mengalami semua jalan tersebut. Memang demikian seharusnya yang terjadi. Kita diciptakan untuk mengalami hidup bersama Allah dalam beragam cara berbeda. Sementara kita melanjutkan perjalanan rohani kita, selang beberapa waktu kita terbentuk ke dalam gambar dan rupa Kristus. Tiap pasal menguraikan satu jalan khusus yang diwujudkan oleh beberapa orang penulis rohani klasik khusus yang menerangi pengertian kita tentang kehidupan Kristen. Tidak ada satu pendekatan pun yang sepenuhnya cukup untuk setiap orang karena kita berbeda kebutuhan, pengalaman, masalah, temperamen dan tempat dalam hidup ini. Kita juga mengambil manfaat lebih dari hanya satu pendekatan sepanjang perjalanan kita. Sebagai contoh, ketika kita memikirkan tentang kredibilitas intelektual Kekristenan, penting bahwa kita mengusahakan pengaturan kasih kita kepada Allah secara tepat dan penemuan kembali pengenalan akan Allah yang hilang dalam Kejatuhan. Tetapi pada kesempatan lain, seperti waktu kita mengalami perjumpaan dahsyat dengan Allah, kita perlu memperhatikan pengaturan pengalaman kita akan Allah secara benar. Judul Longing for God (Merindukan Allah) mengacu pada ajaran terkenal dari Agustinus yaitu karena kita telah diciptakan untuk mengalami kepenuhan hidup dalam Allah, semua kegiatan kita dalam kehidupan, bahkan perbuatan dosa, berasal dari kerinduan kita akan Allah. Jalan-jalan yang dipaparkan dalam buku ini dimaksudkan untuk mengarahkan kita kepada Allah sehingga kita dapat memuaskan kerinduan yang senantiasa menggelora itu dan bukan menyengsarakannya dengan sumber-sumber yang tidak tepat atau yang menyimpang.

Banyak Saksi Bagaikan Awan Banyak dari kita yang tidak melihat suatu pola untuk kehidupan kita atau mengerti tujuan di balik pengalaman-pengalaman perseorangan kita. Kita menjalani sebagian besar kehidupan kita dalam kegelapan, tanpa

20

M ERINDUKAN A LLAH

memiliki cukup pengertian sebagaimana yang kita inginkan, meskipun sewaktu-waktu kita sempat melihat secara sekilas adanya desain utama dari Allah. Tetapi kita juga memiliki hak istimewa untuk menikmati banyak perkara yang tidak dialami oleh orang-orang dari zaman terdahulu. Kita memiliki kisah warna-warni kehidupan para tokoh dalam Perjanjian Lama dan Baru, termasuk kisah kehidupan Yesus sendiri. Kita tahu kisah-kisah kehidupan para orang kudus penting yang hidup sepanjang dua ribu tahun sejarah Kekristenan. Sebagaimana dicatat oleh Surat Ibrani, “kita mempunyai banyak saksi, bagaikan awan yang mengelilingi kita” (Ibr. 12:1), suatu gambaran yang menunjuk kepada awanawan manifestasi kehadiran Allah yang memimpin umat Israel di padang gurun. Dengan cara ini kita dapat bergerak maju dalam kehidupan kita sebagai umat Allah, sambil percaya bahwa meskipun kita tidak selalu mengerti mengapa terjadi sesuatu atau melihat tangan Allah yang membimbing dan memelihara kita, kita tetap dapat hidup berdasarkan janji-janji yang akan tergenapi di masa mendatang. Ketika mempelajari para tokoh besar alkitab, kita sebagai anak-anak Allah, membangun keyakinan yang serupa dalam hidup kita bersama Allah. Dalam setiap zaman, para orang kudus Kristen telah menumbuhkan persekutuan mereka dengan Allah dengan menggunakan Alkitab, perenungan teologis dari orang lain, kapasitas berpikir manusia, berbagai sumber budaya dari masa mereka dan berbagai disiplin rohani. Melalui perenungan mereka, para orang kudus itu bersaksi tentang karya Roh Kudus dan, apabila kita mempelajarinya, itu pun akan membimbing kehidupan rohani kita. Di atas segalanya, kami berharap bahwa buku ini akan memikat hati dan akal budi generasi orang percaya baru. Dengan demikian, kami percaya bahwa ini akan memungkinkan generasi ini untuk mencari dan mendapatkan “hidup yang sejati” (1Tim. 6:19 IBIS).

J A L A N P E RTA M A

P ENGATURAN K ASIH K ITA K EPADA A LLAH S ECARA B ENAR Aku berdoa, supaya kamu bersama-sama dengan segala orang kudus dapat memahami… kasih Kristus,… sekalipun ia melampaui segala pengetahuan. EFESUS 3:18-19

Pengaturan kasih secara benar merupakan suatu kebutuhan mendesak pada masa kini. Sifat hakiki manusia adalah untuk mengasihi dan mencari kasih, tetapi Eros, atau kasih romantis, membanjiri kehidupan kita dan menyebabkan hidup mustahil mendapatkan keseimbangan serta kepuasan. Nafsu tanpa kekang, keserakahan tanpa pertimbangan dan pengejaran kuasa tanpa kenal kasihan tengah menghancurkan kapasitas kita untuk memberi dan menerima kasih. Akibatnya, hukum kasih – atau menurut Yakobus “hukum kerajaan,”– jelas absen dan merupakan kebutuhan sangat mendesak. Inilah sebabnya Allah berulang kali memanggil kita kepada kasihNya. Alkitab dipenuhi oleh tak terhitung contoh pengajaran ini. “Kasihilah sesamamu seperti dirimu sendiri” (Im. 19:18), “Kasihilah Tuhan Allahmu dengan segenap hatimu, dengan segenap jiwamu, dengan segenap kekuatanmu” (Ul. 6:5), dan “Ia baik! Bahwasanya untuk selamalamanya kasih setia-Nya” (2Taw. 5:13) – ini hanya sebagian kecil dari banyak bagian Alkitab yang berbicara tentang kasih Allah. Untuk memperdalam pengertian kita, Allah berulang kali mengarahkan kita kepada Yesus sebagai pewujudan termulia dari kasih-Nya. Per-

22

M ERINDUKAN A LLAH

hatikanlah pengajaran Yesus berikut ini: “Kamu telah mendengar firman: Kasihilah sesamamu manusia dan bencilah musuhmu. Tetapi Aku berkata kepadamu: Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu. Karena dengan demikianlah kamu menjadi anak-anak Bapamu yang di sorga, yang menerbitkan matahari bagi orang yang jahat dan orang yang baik dan menurunkan hujan bagi orang yang benar dan orang yang tidak benar” (Mat. 5:43-45). Lalu, “Ada seorang datang kepada Yesus, dan berkata: “Guru, perbuatan baik apakah yang harus kuperbuat untuk memperoleh hidup yang kekal?... Hormatilah ayahmu dan ibumu dan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri” (Mat. 19:16,19). Dalam kesempatan lain, Yesus menyimpulkan hidup kita dengan Allah sebagai berikut: “Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu. Itulah hukum yang terutama dan yang pertama. Dan hukum yang kedua, yang sama dengan itu, ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri” (Mat. 22:37-39).

Sifat Kasih Paulus memperluas pengajaran Yesus ini dalam paparannya terindah dan paling terkenal tentang kasih dalam 1 Korintus 13. Di sini dan dalam bagian lain ia menekankan sifat kasih agape, suatu istilah yang dipakai lebih dari seratus kali dalam Alkitab. Penekanan ini mencerminkan kerinduan Paulus dan orang Kristen mula-mula untuk membedakan kasih penuh pengorbanan diri yang bersumber dalam Allah dengan kasih penuh pementingan diri yang menjadi ciri khas Eros. Kasih itu sabar; kasih itu murah hati; ia tidak cemburu. Ia tidak memegahkan diri dan tidak sombong. Ia tidak melakukan yang tidak sopan dan tidak mencari keuntungan diri sendiri. Ia tidak pemarah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain. Ia tidak bersukacita karena ketidakadilan, tetapi karena kebenaran. Ia menutupi segala sesuatu, percaya segala sesuatu, mengharapkan segala sesuatu, sabar menanggung segala sesuatu. Kasih tidak berkesudahan (1Kor. 13:4-8)

Untuk menolong kita mengerti intisari pengajaran Paulus ini, kita dapat mengganti kata “kasih” dengan “seorang yang mementingkan diri sendiri” dan membalikkan kata kerjanya. Kira-kira seperti ini: “Seorang

Jalan Pertama

23

yang mementingkan diri sendiri tidak sabar; seorang yang mementingkan diri sendiri tidak murah hati; ia cemburuan. Ia memegahkan diri dan sombong. Ia melakukan yang tidak sopan dan mencari keuntungan diri sendiri. Ia pemarah dan menyimpan kesalahan orang lain. Ia bersukacita karena ketidakadilan, tidak karena kebenaran. Ia tidak menutupi segala sesuatu, tidak percaya segala sesuatu, tidak mengharapkan segala sesuatu, tidak sabar menanggung segala sesuatu.” Alangkah tajam bedanya! Pembalikan ini sekaligus melukiskan secara dramatis bahwa kasih agape Allah jauh melampaui kapasitas yang kita miliki sebagai manusia. Kita tidak dapat mengusahakan sendiri jenis kasih sempurna ini yang hanya berasal dari dalam Allah. Bagaimana kita harus mengerti sifat dan maksud kasih Allah ini? Banyak sekali teologi telah dibangun dalam usaha untuk menjawab pertanyaan ini. Allah sendiri memberitahukan secara sederhana bahwa sifatNya paling baik dikenal sebagai kasih yang murni. Allah adalah kasih agape dan kasih agape adalah Allah (1Yoh. 4:16). Tidak ada jalan lebih cepat dan tepat untuk mengerti Allah daripada mengalami kasih ilahi ini. Karena hal yang mendasar dari sifat manusia adalah mengasihi dan mencari kasih, maka tujuan utama persekutuan kita dengan Allah adalah belajar mengasihi sedemikian rupa sampai seluruh kerinduan hati kita – baik yang kodrati maupun yang adikodrati – terpuaskan. Mengasihi Allah secara benar akan menata semua kasih yang wajar ada dalam keberadaan manusia. Kini kita akan beralih kepada para tokoh yang dapat menolong kita mengatur kasih kita akan Allah secara benar.

Origen dari Alexandria Pencarian akan Persekutuan Abadi dengan Allah Jika kita memeriksa Alkitab akan kita temukan… bahwa ada empat puluh dua tingkat dalam kepergian umat Israel dari Mesir; dan, selanjutnya, kedatangan Tuhan ke dunia ini ditelusuri melalui empat puluh dua generasi. TA F S I R A N K I TA B K I D U N G AG U N G

Salah seorang yang paling awal menguraikan tentang pengaturan kasih kita kepada Allah dengan benar adalah Origen dari Alexandria (185254). Sejak awal kehidupannya Origen mengokohkan dirinya sebagai seorang yang mementingkan kebajikan, dan ia tumbuh menjadi seorang yang menekankan tentang konsekuensi dalam teologi dan menulis semua segi dari prinsip-prinsip pertama ke hermeneutik lalu ke iman akan Allah.1 Cara ia menggunakan Alkitab dan keunggulannya dalam hermeneutik biblika terkenal keasliannya dan legendaris. Dengan memadukan filsafat Philo, eksegesis rabi Hillel dan iman Kristennya pada Allah, Origen membuat eksegesis biblika dari sekolah Alexandria mempengaruhi secara segar.2 Ia tidak membiarkan ada pertanyaan yang tak terjawab dan ia adalah seorang pembela iman Kristen yang tak kenal lelah. Ia menghadapi banyak tantangan, termasuk antara lain dua pemeriksaan teologis dan pertengkaran dengan otoritas gereja, namun ia bertahan dalam hal membuat salah satu kontribusi paling orisinal dan kreatif tentang spiritualitas Kristen. Origen bekerja terus menerus untuk mengungkap prinsip yang mengatur semua realitas. Dalam pencariannya itu ia mengidentifikasi tujuan tertinggi dari hidup manusia adalah mengalami persekutuan yang intim dan berkesinambungan dengan Allah. Yang harus berkuasa atas hidup bukanlah kehendak kita melainkan kehendak kita berpartisipasi dengan

Origen dari Alexandria

25

kehendak Allah dalam melakukan kehendak Allah di bumi ini.

Empat Puluh Dua Tingkat Dalam keseluruhan tulisannya Origen dengan jelas dan meyakinkan mengkomunikasikan kerinduannya agar orang Kristen memulai proses peningkatan rohani itu. Ia melihat kehidupan rohani sebagai mengalami tingkat-tingkat kemajuan. Perspektif ini jelas terlihat dalam keseluruhan tulisannya tetapi sangat kuat dalam tiga karya pentingnya: Tentang Doa, Tafsiran Kidung Agung, dan Homili 27 tentang Bilangan. Dalam salah satu tafsirannya yang mengesankan, ia membandingkan empat puluh dua kemah umat Israel di padang gurun (Bil. 33) dengan empat puluh dua tempat yang kita alami dalam perjalanan kita menuju persekutuan intim bersama Allah.3 Seperti halnya Israel bergumul dalam usaha menuju ke Tanah Perjanjian, kita harus berusaha mengenal Allah jika kita ingin mengalami kemajuan dalam kehidupan rohani kita dan mengenali pembentangan nasib kekal kita. “Inilah tempat-tempat persinggahan orang Israel,” menurut Bilangan 33:1, “setelah mereka keluar dari tanah Mesir.” Origen menenun catatan historis itu dengan makna Kristologis, dengan memperhatikan bahwa dalam Matius 1:1-18, Tuhan dan Juruselamat datang ke dunia ini melalui empat puluh dua generasi.4 Origen berpendapat bahwa empat puluh dua tingkat ini mewakili juga perjalanan jiwa dari dunia ke surga. Sementara kita bergerak dari satu tingkat ke tingkat berikutnya, kita mendapatkan pengertian dan menumbuhkan berbagai kebajikan baru yang menguatkan kita untuk sisa perjalanan berikutnya. Tiap tingkat juga mengandung berbagai pencobaan tersendiri. Apabila kita menyerah pada pencobaan tersebut akan menyebabkan disorientasi dalam perjalanan kita, namun bila kita menaklukkannya akan membuat kita lebih dekat pada Allah.5 Origen menyoroti apa yang kita pelajari pada tiap tingkat. Sebagai contoh, ketika persekutuan kita dengan Allah berada dalam tingkat padang gurun Mesir, kita membutuhkan pengetahuan akan hukum Allah, iman yang teguh dan buah pekerjaan yang menyenangkan Allah. Kita memerlukan kebajikan tersebut yang ditumbuhkan melalui penghancuran kesombongan, hawa nafsu, keinginan yang tak ter-

26

M ERINDUKAN A LLAH

kendali dan kebodohan – inilah yang memungkinkan kita keluar dari Mesir.6 Setiap kebajikan kita peroleh melalui latihan dan kerja keras.7 Berbagai kebajikan ini kelak akan membawa kita ke Elim, dimana duabelas mata air dan tujuh puluh pohon korma menyediakan penyegaran (Bil. 33.9-11). Maksud Origen ialah bahwa jika kita bertahan dalam pencobaan dan menumbuhkan kebajikan, kita akan memasuki tempat-tempat yang menyenangkan. Tetapi akhir perjalanan dan penyempurnaan segala sesuatu tidak terletak di dalam kenikmatan yang terdapat di dalamnya. Ketibaan jiwa di Elim mengacu ke tingkat kedewasaan rohani yang dapat membedakan arti dari berbagai roh.8 Mulai dari tingkat ini jiwa telah menguasai keserakahan, kesombongan, kemarahan, kebanggaan, ketakutan, ketidaktetapan dan rasa malu, serta menyadari bahwa hidup keseharian hanyalah suatu tingkat untuk mengungkapkan berbagai keadaan rohani.9 Ketika akhirnya kita tiba di tujuan, kita kemudian dapat mendorong mereka yang mengikuti kita, mirip dengan alegori tentang gua yang diceritakan Plato.10 Ketika kita telah menyelesaikan perjalanan kita dan berhasil mengatasi semua pencobaan di dalamnya, kita siap untuk melewati terowongan terakhir dari dunia ke surga. Pada saat itu kita menghampiri sungai Allah dan masuk ke dalam arus hikmat-Nya. Pada akhirnya, keempatpuluh dua tingkat ini mengidentifikasi bagaimana memulai, bagaimana mengalami kemajuan dan bagaimana mengakhiri hidup kita bersama Allah. Tingkat-tingkat ini mengajarkan kita untuk mempolakan kehidupan rohani kita.

Tiga Tingkat Meskipun tidak ada ringkasan yang dapat menyediakan suatu catatan lengkap tentang bagaimana seseorang harus berpikir, ada pola umum yang menonjol yang membimbing pengertian kita. Untuk melengkapi pendekatannya kepada Allah, Origen menggunakan tiga tingkat struktur pemikiran neo-Platonik untuk memperlihatkan bagaimana setiap aspek persekutuan kita dengan Allah saling berhubungan.11 Hasilnya, ia menawarkan salah satu bentuk terawal pola pengaturan kasih kita secara benar agar kita dapat mengenal Allah.

27

Origen dari Alexandria

Tabel 1.1. Pengaturan Kerohanian menurut Origen Tingkat

Aturan

Kitab dlm Alkitab

Prinsip Pertimbangan

Sasaran

Jenis Kehidupan

III

Roh

Kidung Agung

Apatheia

Kesatuan

Kontemplatif

II

Jiwa

Pengkhotbah

Jasmani

Iluminasi

AktifKontemplatif

I

Tubuh

Amsal

Etika

Penyucian

Aktif

Di tingkat terendah, kita menemukan Allah melalui lima indra kita. Fokus kita adalah tubuh dan kitab yang mengarahkan kita di sini adalah Amsal Salomo. Kita membaca Alkitab secara harfiah dan historis di tingkat ini, dan kita menerima pengetahuan moral yang menghasilkan pengertian etis jika kita komit kepada persekutuan dengan Allah secara lebih dalam.12 Di tingkat kedua, kita menemukan Allah melalui Alkitab. Jenis pengetahuan yang kita terima adalah pencerahan dan instrumen dalam diri kita untuk menangkap pengetahuan itu adalah jiwa, yang mencakup juga kapasitas memori, kecerdasan dan kehendak. Di tingkat ini, kitab yang penting adalah Pengkhotbah. Pembacaan kita dibimbing oleh penafsiran secara gramatika dan pengertian kita didasari atas ilmu-ilmu alami. Sementara kita mempelajari berbagai proses alami, kita beroleh terang ke dalam jalan-jalan Allah. Hasilnya adalah hidup yang telah menerima pencerahan berdasarkan kombinasi kasih yang aktif dan perenungan kontemplatif.13 Di tingkat tertinggi, kita menjumpai Allah melalui persekutuan yang tanpa henti dengan-Nya. Pengetahuan yang kita terima di sini adalah pengetahuan surgawi yang kita capai melalui instrumen roh. Membaca Kidung Agung di tingkat rohani merupakan hal teramat penting, dan pembelajaran kita dibimbing oleh filsafat. Sasaran rohani yang kita perlu capai adalah “apatheia,” yaitu suatu keadaan nirrasa yang sepenuhnya terbenam di dalam Tritunggal dan tidak lagi dikendalikan oleh keinginan. Sasaran dari tingkat ini adalah memasuki kesatuan dengan Allah melalui kontemplasi, dan hidup yang dihasilkan adalah kasih yang murni serta aktif.

28

M ERINDUKAN A LLAH

Ketika kita mengatur kehidupan kita secara benar, menurut Origen, jiwa kita menumbuhkan kasih yang benar akan Allah sambil kita bergerak maju dari realitas dunia jasmani yang berwujud ke realitas rohani yang tidak dapat diraba. Tantangan terbesar yang harus kita hadapi bukan kekurangan iman tetapi daya tarik dahsyat keinginan-keinginan mementingkan diri sendiri. Dahsyatnya keinginan tersebut menciptakan suatu kekuatan dalam sifat kodrati manusia yang membuatnya mustahil dielakkan. Satu-satunya cara keluputan didapatkan dengan jalan berpaling kepada Allah, mulai meniru Kristus dan maju dari tingkat realitas terendah ke realitas tertinggi persekutuan abadi dengan Allah. Jangkauan terjauh pengaruh Origen adalah cara ia menggambarkan bagaimana nasib kita terkait dengan daya dalam keinginan kita. Berbeda dari para pemikir Kristen lain sesudahnya yang juga dipengaruhi oleh pandangan Yunani, Origen tidak melihat kehidupan iman semata sebagai kontemplasi tentang misteri-misteri Allah. Untuk Origen, iman Kristen mulai dan berakhir dengan meniru Yesus dan kontemplasi tentang Allah yang lahir dari peniruan tersebut. Dengan meniru Kristus, kita meningkat ke tingkat lebih tinggi dan tidak berusaha untuk memuaskan keinginan-keinginan sementara. Tetapi keinginan sementara memiliki kekuatan untuk merayu. Jika kita tidak dibebaskan dari daya tariknya, kasih ilahi yang seharusnya mengendalikan kita menjadi tidak teratur dan kita berusaha untuk mencapainya dengan jalan yang tidak memuliakan Allah. Origen juga menekankan suatu kebenaran yang terlupakan: yaitu, bahwa kita saling membutuhkan satu sama lain. Komunitas iman menguatkan dan menopang komitmen-komitmen kehidupan kita. Origen mengajarkan bahwa pencarian mistik selalu mengakar ke kehidupan dan pengajaran gereja. Gereja bukanlah belenggu yang menghalangi kebebasan orang beriman, melainkan tubuh dan pengantin perempuan Kristus yang hidup dalam relasi dinamis dengan budaya yang sedang berlangsung. Posisi Origen ini menentang spiritualitas kontemporer, dimana jalan yang dominan di abad ke duapuluh satu ini bersifat individualistik. Origen menegaskan bahwa meskipun iman selalu mulai dari dalam kita, ia tumbuh dan berkembang melalui interaksi dengan komunitas lebih luas. Tidak ada orang Kristen yang tanpa komunitas. Entah kita mendapat-

Origen dari Alexandria

29

kannya dalam sebuah kelompok terdiri dari dua-tiga orang atau pelayanan jutaan orang di seluas dunia, kita memerlukan suatu komunitas untuk mengasuh dan menopang kita.

R E F L E K S I DA N R E S P O N S Origen tidak habis-habisnya menggelitik saya. Pelajaran darinya sedemikian kreatif; Salah satu usaha teologi sistematik paling awal adalah tulisannya de principiis. Karya sastranya melimpah. Meski kebanyakan karyanya telah hilang, apa yang tersisa untuk kita cukup untuk membuat kita menyadari bahwa ia adalah ahli dalam tulis menulis. Kepopulerannya sebagai guru dan pengkhotbah melegenda; Mamaea, ibu dari Kaisar Alexander Severus, memanggilnya ke Antiokhia untuk mengajar dia dan masih banyak lagi. Origen mengingatkan saya bahwa kita tidak pernah tamat dalam kehidupan rohani. Persekutuan dengan Allah selalu bertumbuh, senantiasa mendalam, semakin menjadi. Betapa pentingnya hal ini untuk masa kini. Sekarang ini, dengan perkecualian segelintir orang saja, kita tidak memiliki suatu teologi pertumbuhan rohani yang sifatnya serius. Banyak orang yang secara obsesif hanya fokus kepada surga waktu mereka meninggal, dan kebanyakan telah mengabaikan pentingnya pembentukan karakter ke keserupaan dengan Kristus. Tetapi kini ada seorang yang terus menerus mengingatkan kita bahwa ada lebih banyak hal tersedia untuk kita: lebih banyak kasih, kuasa, wawasan, sukacita, damai sejahtera. Kita dapat bertumbuh. Kita dapat belajar. Kita dapat mengalami kemajuan. Singkatnya, Origen mengundang kita ke dalam pengalaman kasih Allah yang menakjubkan, ekspansif dan senantiasa berkembang. Hal lain yang membuat saya menyukai Origen, yaitu penekanannya pada persekutuan yang intim dan berkesinambungan dengan Allah. Inilah dia seorang dari abad ketiga yang memberitahu saya bahwa tujuan hidup tertinggi adalah jatuh cinta pada Yesus berulang-ulang kali.Tidak ada yang lebih penting, lebih sentral dan yang lebih menentukan daripada itu. Pertanyaan kunci dari semua ini tentu saja, ialah, Bagaimana? Bagaimana kita bertumbuh? Bagaimana kita masuk ke dalam persekutuan yang intim dan terus menerus dengan Allah? Jawabnya sederhana: dengan mempraktikkan. Kita menjalani berbagai eksperimen hidup kese-

30

M ERINDUKAN A LLAH

harian yang melaluinya kita belajar untuk bersekutu dengan Allah. Dan bahan yang tersedia dari pengalaman hari lepas hari ini adalah wadah dimana eksperimen tersebut berlangsung. Hidup bersama Allah ini bukannya membutuhkan waktu, melainkan memenuhi segala waktu kita. Ketika kita bekerja, kita bekerja bersama Allah. Dalam pekerjaan kita belajar bagaimana memberkati mereka yang mengutuk kita, bagaimana menangis bersama mereka yang menangis dan bersuka bersama mereka yang bersukacita, bagaimana kehadiran kita dapat menjadi sebuah sukacita bagi orang lain. Dan eksperimen tersebut begitu banyak dan beragam: “Hari ini, Tuhan, ajar aku entah dengan cara bagaimana untuk memberkati setiap orang yang kutemui. Perlihatkan kepadaku betapa tingginya nilai setiap individu. Isilah akal budiku dengan ide-ide baru yang kreatif dan perlihatkan kepadaku bagaimana menghancurkan dilema kuasa-kuasa keji.” Hal yang sama dapat kita doakan juga tentang rumah tangga, keluarga, dan waktu bersama tetangga serta sahabat. Saya yakin Anda telah menangkap idenya. Tuhan yang kukasihi, dalam beberapa hari mendatang ini, sudikah Tuhan mengajarkan kami pandangan Origen tentang pengaturan kasih secara benar? Sebagian besar waktu kami hidup di bawah pengaruh tubuh. Bukan berarti bahwa distorsi seksualitas manusia paling mempengaruhi kami. Bukan itu, tetapi kebiasaan kami memandang orang lain berdasarkan hal-hal lahiriah yang tak berkaitan dengan kesejatian mereka. Atau bagaimana kami begitu kuatir tentang kesan ketika kami berjumpa orang lain.Tuhan, kami sungguh ingin untuk hidup di tingkat ketiga dalam penggambaran yang Origen buat, tingkat roh. Kiranya kasih ilahi menjadi semakin riil untuk kami hari ini… dan setiap hari. Kiranya kami ingin lebih mengalami kasih ilahi. Kiranya kami ingin mencari lebih banyak kasih ilahi. Kiranya kami ingin mengasihi-Mu lebih lagi. Tolong Tuhan, ubahkan keinginan kami. Kami ingin tumbuh dalam kasih bersama-Mu sebagaimana kami jatuh cinta kepada-Mu. Tunjukkan kami jalan itu. Amin.

Related Documents


More Documents from "PaulGallagher"