Loe_loe_gue_gue

  • Uploaded by: Rujak
  • 0
  • 0
  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Loe_loe_gue_gue as PDF for free.

More details

  • Words: 11,007
  • Pages: 45
Loe Loe, Gue Gue Hancurnya Kerekatan Sosial, Rusaknya Lingkungan Kota Jakarta

Andi Rahmah Agus P. Sari Moekti H. Soejachmoen Bambang Susantono

Hak Cipta  Pelangi 2001 - 2004 Diijinkan untuk memproduksi ulang, menerjemahkan atau menyebarkan publikasi ini dengan mengutip sumbernya.

Diterbitkan oleh: Pelangi Jl. P. Antasari No. 10 Cipete Utara, Keb. Baru Jakarta 12150 Tel. (62-21) 7280-1172 (hunting) Fax (62-21) 7280-1174 Email: [email protected] http://www.pelangi.or.id

Design dan Tata Letak: Omar Sari

Pelangi Memulai debutnya di tahun 1990 sebagai “think-tank” informal untuk isu-isu pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan bagi gerakan LSM, pada tahun 1992 Pelangi berdiri secara resmi untuk menjaga kesinambungan pelayanannya. Pelangi berharap bisa menjembatani kesenjangan informasi teknis yang erat berhubungan dengan pengembangan berbagai kebijakan pemerintah yang akan berdampak pada hajat hidup masyarakat sipil di Indonesia.

Prakata Cetakan ke-2 Lagu minahasa “sapa suru datang Jakarta” dilantunkan sebagai pengantar pulang pada acara diskusi mengenai lingkungan dan pembangunan kota Jakarta pada acara ulang tahun Pelangi yang ke sembilan pada tahun 2001. Sebagai hadiah ulang tahun Pelangi, pada saat itu diluncurkan sebuah buku tipis yang merupakan telaah singkat atas kemajuan pembangunan berkelanjutan di Kota Jakarta. Temuan dari telaah tersebut adalah bahwa pembangunan berkelanjutan di Jakarta justru mengalami kemunduran. Indikator-indikator pembangunan berkelanjutan selain ekonomi – seperti kerekatan sosial dan kualitas lingkungan – justru semakin memburuk. Motto kehidupan Kota Jakarta, “loe-loe gue-gue”, mengedepankan individualisme yang disimpulkan sebagai penyebab utama hancurnya kerekatan sosial dan rusaknya lingkungan kota Jakarta. Oleh karena itu, buku tipis tersebut diberi judul “Loe Loe Gue Gue: Hancurnya Kerekatan Sosial, Rusaknya Lingkungan Kota Jakarta”. Tahun ini, 2004, isyu-isyu yang diangkat dalam buku tipis tersebut, ternyata masih sangat relevan. Tidak ada perbaikan yang berarti. Selain mulai dimanfaatkannya sistem angkutan umum cepat menggunakan bus (“busway”), tidak ada perbaikan yang berarti pada sektor angkutan umum. Walaupun keberanian pemerintah daerah untuk mulai memanfaatkan busway patut diacungi jempol, pendekatan yang cenderung “berorientasi proyek” menyebabkan banyak ketidaksempurnaan dalam pelaksanaannya. Tahun ini, masyarakat masih tetap cuek dengan sekitanya, dan kerekatan sosial semakin hancur, dan lingkungan semakin rusak. Lihat saja, daerah terbuka hijau tergantikan oleh gedung bertingkat dan shopping malls. Senayan, yang mestinya berfungsi sebagai paru-paru kota dengan ruang terbuka hijaunya, semakin lama semakin disesaki oleh shopping malls. Berlandaskan keprihatinan itulah, maka pada ulang tahun Pelangi ke duabelas ini buku tipis “Loe Loe Gue Gue” dicetak ulang, dengan maksud untuk kembali mengangkat permasalahan sosial dan lingkungan Kota Jakarta. Selain beberapa perbaikan, cetakan kedua ini telah dilengkapi dengan beberapa informasi yang lebih terkini, dan ditata dengan desain yang lebih baik ketimbang cetakan pertama. Atas diterbitkan kembalinya buku tipis ini, saya ingin mengucapkan terima kasih kepada Bambang Susantono, Andi Rahmah dan Moekti H. Soejachmoen (Kuki), serta rekan-rekan di Pelangi. Jakarta, 22 April 2004 Agus P. Sari Direktur Eksekutif

i

ii

Daftar Isi

Prakata Cetakan ke-2 .............................................................. i Prakata.................................................................................. 1 Pembangunan Berkelanjutan .................................................. 1 Kota dan Urbanisasi ............................................................... 3 Jakarta .................................................................................. 4 Mengukur Pembangunan Kota yang Lestari ............................. 6 Melirik Perkembangan Jakarta dan Wilayah Sekitarnya ........... 7 Interaksi Dinamis Penataan Ruang ....................................... 11 Dwi-wajah kota Jakarta ....................................................... 12 Transportasi: Memfasilitasi Mobilitas dan Akses .................... 13 Kualitas Sumberdaya Manusia .............................................. 17 Orang Jakarta Makin Cuek? .................................................. 19 Kualitas Lingkungan............................................................. 24 Lantas Apa? ......................................................................... 28 Catatan ............................................................................... 29 Sekilas Pelangi ..................................................................... 34

iii

Sapa suru datang Jakarta, sapa suru datang Jakarta, sandiri suka sandiri rasa, edo’e sayang … — lagu daerah Minahasa

Prakata Bagi banyak orang dari daerah lain, merantau ke Jakarta adalah harapan untuk sebuah kehidupan yang lebih baik. Walaupun demikian, setelah sampai di Jakarta, banyak yang justru kecewa, mengambil pekerjaan apa saja demi kelangsungan hidup hari itu. Lagu Minahasa di atas mencerminkan bagaimana kerasnya mencari kehidupan di Jakarta. Tulisan ini memberikan potret dari kehidupan dan pembangunan di Jakarta sebagai sebuah cerita dan rapor pembangunan berkelanjutan di tingkat lokal. Di sela-sela shopping malls, gedung-pencakar langit, jalan layang susun, dan pendar neon malam hari, masih ada cerita sedih mengenai “pembangunan” yang hanya menguntungkan segelintir masyarakat elit Jakarta. Masih ada masyarakat miskin perkotaan yang terlupakan, amuk massa, pencemaran udara yang menyesakkan nafas — sebuah potret Jakarta yang bersolek, Jakarta yang menghancurkan dirinya sendiri.

Pembangunan Berkelanjutan Sejak 1972, pada saat Presiden Indonesia dan kepala negara lainnya berkumpul di Stockholm, Swedia, istilah “pembangunan yang berwawasan lingkungan” mulai dipergunakan dengan luas. Tahun 1978, Komisi Brundtland1 menerbitkan sebuah buku yang hingga saat ini masih menjadi acuan utama dalam diskursus pembangunan berkelanjutan: Our Common Future (diterjemahkan ke Bahasa Indonesia sebagai Hari Depan Kita Bersama). Dalam buku tersebut, pembangunan berkelanjutan didefinisikan sebagai: pembangunan yang memenuhi kebutuhan masa kini tanpa mengurangi kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri.2 Penggodokan konsep pembangunan berkelanjutan ini adalah sebuah respons terhadap proses pembangunan yang melulu berorientasi pertumbuhan ekonomi, seperti yang sejak setelah perang dunia kedua dipromosikan oleh “agen-agen” pembangunan seperti Bank Dunia dan lembaga keuangan dunia

1

lainnya. Dengan pola pembangunan yang hanya berorientasi kepada pertumbuhan, maka penipisan sumberdaya alam yang dieksploitasi dan kerusakan lingkungan akibat pencemaran hanya dianggap sebagai “ekses” dari pembangunan, dan bukan merupakan masalah pembangunan itu sendiri. Semakin lama, semakin dirasakan bahwa kerusakan-kerusakan ini ternyata mengancam keberlanjutan dari pertumbuhan itu sendiri, karena sumberdaya alam, lingkungan, dan kerekatan sosial ternyata merupakan modal penyebab terjadinya pertumbuhan itu sendiri. Tengok saja Indonesia di masa krisis ini. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi sejak dimulainya Orde Baru ternyata sebagian besar berasal dari ekspor minyak, mineral, dan hasil hutan, yang pada waktunya nanti akan habis. Jika deposit minyak, mineral, dan hutan di Indonesia sudah habis, maka habis pulalah pertumbuhan ekonominya. Rusak kerekatan sosialnya, hancur pula ekonominya. Sejak akhir 1990an, lembaga-lembaga keuangan internasional seperti Bank Dunia mulai mengadopsi konsep pembangunan berkelanjutan ini.3 Dari definisi pembangunan berkelanjutan Komisi Brundtland, Bank Dunia mengajukan definisi pembangunan yang lebih aplikatif — terutama terhadap ilmu ekonomi sebagai “bahasa” yang dipergunakan oleh Bank Dunia — sebagai berikut: pembangunan yang mewariskan modal-modal pembangunan — sumberdaya manusia, kerekatan sosial, sumberdaya alam dan lingkungan, serta infrastruktur buatan manusia — kepada generasi berikutnya dengan jumlah yang sama sehingga mereka memiliki kesempatan membangun yang sama dengan generasi saat ini.4 Konsep pembangunan berkelanjutan ini, walau masih sangat ekonomistik, telah mengakui bahwa integritas dari keempat “modal pembangunan” ini harus tetap terjaga. Menuju ke masa depan, pembangunan itu sendiri tidak boleh berakibat pada pembodohan (menurunnya kualitas sumberdaya manusia), pemberontakan (menurunnya kualitas kerekatan sosial), penipisan sumberdaya alam, pencemaran lingkungan, atau rusaknya prasarana. Konsep ini diadopsi dan semakin disempurnakan oleh Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB). Pada tahun 1996, dengan dipandu oleh Komisi Pembangunan Berkelanjutan (Council for Sustainable Development), PBB menerbitkan sebuah pedoman untuk mengukur integritas dari modal pembangunan ini.5

2 - Loe Loe, Gue Gue

Di Indonesia, pegangan mengenai indikator pembangunan berkelanjutan dikembangkan oleh Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup, dan saat ini masih berupa konsep setengah matang. Di antaranya, indikator-indikator yang diusulkan adalah sebagai berikut. Indikator kualitas hidup yang terdiri dari kualitas hidup, pengembangan sumberdaya manusia, hak azasi manusia, serta kesetaraan gender, kondisi, kedudukan, dan hak perempuan. Indikator integritas sumberdaya yang dibagi menjadi sumberdaya alam dan sumberdaya buatan (prasarana), serta kondisi sumberdaya manusia dan sumberdaya sosial. Menariknya, ada juga indikator mengenai penyelenggaraan kepemerintahan yang baik, di mana kapasitas sektor swasta dan masyarakat sipil juga menjadi indikator pembangunan berkelanjutan.6

Kota dan Urbanisasi Urbanisasi adalah akibat logis dari pembangunan berbasis industri yang dianut oleh banyak negara-negara berkembang di dunia termasuk Indonesia. Bias perkotaan ini mengakibatkan ketidakmerataan hasil-hasil pembangunan. Bank Dunia memperkirakan bahwa 80 persen dari pertumbuhan ekonomi akan terjadi di kota-kota besar. 7 Urbanisasi memang sedang terjadi dengan skala yang sangat pesat di seluruh dunia. Jika pada tahun 1975 hanya sepertiga dari penduduk dunia tinggal di kota, pada tahun 2025 duapertiganya akan tinggal di kota-kota — Satu dekade yang akan datang, 3,3 miliar penduduk dunia akan tinggal di kotakota besar. 8 Ledakan ukuran kota-kota besar dunia juga mencengangkan — 27 juta orang tinggal di Tokyo, Jepang, 16,4 juta di Sao Paulo, Brazil, 15 juta di Bombay, India. Dampak dari ukuran kota-kota ini tentulah mengakibatkan tekanan besar pada lingkungannya. Di Indonesia, pembangunan perkotaan yang merupakan akibat dari industrialisasi dapat dilihat dari perkembangan kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, dan Medan, yang menjadi pusat-pusat industri sejak dulu. Dalam strategi pembangunan yang berbasis industrialisasi, baik substitusi impor maupun orientasi ekspor, sektor perdesaan dengan sistematik ditindas. Hal ini dilakukan untuk dua maksud: pertama, untuk menekan harga pangan serendah mungkin, dan, kedua, untuk mendorong urbanisasi. Penduduk desa yang datang berbondong-bondong ke kota adalah “buruh murah” untuk industrialisasi yang ada di kota-kota besar. Diharapkan, tersedianya buruh murah akan mendorong berkembangnya investasi di sektor industri, terutama yang labor-intensive.

3

Akibatnya, penduduk yang tinggal di kota-kota besar meningkat dengan pesat. Jika pada tahun 1990 pada saat penduduk Indonesia 180 juta sepertiganya — sekitar 55 juta — tinggal di kota, pada tahun 2020 diperkirakan setengah dari 250 juta penduduk Indonesia — 125 juta — tinggal di kota.9 Ini berarti bahwa selama 30 tahun, urbanisasi di Indonesia meningkat 300 persen, dengan rata-rata pertumbuhan pertahun setinggi 3,5 persen. Industrialisasi di Indonesia juga sangat terpusat di Pulau Jawa. Akibatnya, tingkat perpindahan penduduk dari pulau lain ke Jawa menjadi sangat tinggi. Akibatnya pula, urbanisasi terjadi paling banyak di Pulau Jawa — 7 dari 10 kota berpenduduk lebih dari 1 juta orang terdapat di Pulau Jawa.

Jakarta Seperti kota-kota besar dunia lainnya, Jakarta, ibukota Republik Indonesia, telah mengalami perkembangan dan pembangunan yang sangat pesat dalam beberapa dekade terakhir. Perkembangan yang terjadi meliputi perkembangan wilayah cakupan dan keterkaitannya dengan wilayah sekitar dalam hal ini Bogor, Tangerang, dan Bekasi (Botabek). 10 Karenanya, membicarakan Jakarta tidak dapat dilepaskan dari pembahasan wilayah sekitarnya. Jumlah penduduk di wilayah Jakarta, Bogor, Tangerang, dan Bekasi (Jabotabek) tumbuh dengan pesat, seiring dengan pesatnya pertumbuhan ekonomi. Dari sekitar 17 juta pada tahun 1990, penduduk Jabotabek meningkat dengan pesat hingga 21 juta pada tahun 2000, dengan rata-rata peningkatan setinggi 2 persen pertahun. Namun, jika dicermati lebih jauh, jumlah penduduk pada pusat kota ternyata justru mengalami penurunan dan bergeser ke daerah penyangga. Fenomena ini terjadi karena pola pembangunan kota yang memusatkan segala kegiatan perekonomian dan pemerintahan di pusat kota, sehingga peruntukan lahan berubah dari permukiman menjadi komersial dan perkantoran yang berarti pula berpindahnya penduduk Jakarta Pusat ke wilayah kota lainnya dan ke daerah penyangga. Tabel 1 berikut ini menunjukkan jumlah penduduk di wilayah Jabotabek selama 30 tahun terakhir.

4 - Loe Loe, Gue Gue

Wilayah

1971

1980

1990

2000

Jakarta Pusat

1.260.297

1.245.026

1.086.568

888.526

DKI Jakarta

4.546.492

6.503.227

8.259.504

8.363.722

Jabotabek

8.307.492

11.916.227

17.005.504

20.963.722

Tabel 1. Jumlah Penduduk di DKI Jakarta & Jabotabek 1970-2000 Sumber: Studi Master Plan Integrasi Transportasi di Jabotabek, 2001

Dari Tabel 1 di atas dapat dilihat bahwa kecenderungan tingkat pertumbuhan jumlah penduduk di DKI Jakarta pada dekade 1980-1990 sama dengan tingkat pertumbuhan penduduk Nasional, yaitu sebesar 2%. Tetapi trend di Jabotabek jauh melebihi tingkat pertumbuhan di DKI Jakarta, sementara itu, pertumbuhan di Kotamadya Jakarta Pusat justru negatif. Gambar 1 di bawah ini memperlihatkan trend pertumbuhan penduduk pada Tabel 1 dengan lebih jelas.

Gambar 1. Jumlah Penduduk di DKI Jakarta & Jabotabek 1970-2000 Sumber: Studi Master Plan Integrasi Transportasi di Jabotabek, 2001

Pertumbuhan penduduk ini sebagian besar diakibatkan oleh perpindahan dari daerah lain. Kemajuan ekonomi Jakarta yang sangat pesat menjadikannya

5

seperti bunga yang menarik kumbang. Lihat saja, pendapatan per kepala di Jakarta meningkat dengan pesat dari Rp 5,78 juta per orang pada tahun 1995 menjadi Rp 6,43 juta per orang pada tahun 1997, memperlihatkan rata-rata pertumbuhan sebesar hampir 6 persen. Krisis ekonomi yang melanda Indonesia sejak pertengahan tahun 1997 menyebabkan terjadinya penurunan pendapatan perkapita di Jakarta, menjadi 5.14 juta rupiah per orang. Ini semua telah mengantarkan Jakarta kepada posisinya sebagai salah satu dari 16 megakota (megacities) di negara-negara berkembang, atau dari 21 di seluruh dunia. Sementara Tokyo, Jepang, duduk di tingkat teratas dengan 27 juta, Jakarta cukup “bangga” dengan urutan ke-11 dengan 12 juta. Di koridorkoridor komersialnya, tidak ada yang menyangka bahwa Jakarta adalah bagian dari sebuah negara berkembang yang miskin. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi terlihat dari tumbuhnya gedung-gedung pencakar langit, jalan tol yang panjang dan lebar, dan mobil-mobil mengkilat ber-AC di ibukota Indonesia ini.11 Pertumbuhan penduduk dan kekayaannya mengantarkan Jakarta menjadi sebuah kota dengan prasarana yang membuat iri hati kota-kota besar lain di Indonesia. Sayangnya, investasi pada prasarana ini tidak dibarengi dengan investasi pada sisi kemanusiaan dan kemasyarakatannya. Kualitas pendidikan semakin memprihatinkan, tawuran terjadi antara kampung-kampung yang bertetangga dan antara murid-murid sekolah. Masyarakat kota tidak lagi mengindahkan hukum, tata tertib, maupun budi pekerti. Antri tidak lagi menjadi budaya, sementara tegur sapa ramah semakin terasa asing di telinga yang pekak dengan deru mesin mobil dan bis kota. Di jalan-jalan, antar anggota masyarakat yang satu dengan yang lainnya justru terjadi saling mencurigai. Manusia menjadi semakin terasing di masyarakatnya sendiri. Loe loe, gue gue.

Mengukur Pembangunan Kota yang Lestari Untuk mengetahui sejauh mana pembangunan telah dijalankan dengan cara yang berkelanjutan (sustainable), telah dikembangkan beberapa metodologi untuk mengukurnya, dengan melihat beberapa parameter yang dapat menunjukkan integritas dari “modal” pembangunan itu sendiri. Dari empat kelompok modal pembangunan berkelanjutan, ada 13 indikator yang dipergunakan sebagai proksi dari pengukur kemajuan pembangunan berkelanjutan di Jakarta, sebagai berikut.

6 - Loe Loe, Gue Gue

"Modal" pembangunan berkelanjutan

Indikator yang dipergunakan

Prasarana

• Panjang jalan (menurut luas kota, jumlah penduduk, jumlah kendaraan, dan jumlah perjalanan) • Prasarana kendaraan umum

Sumberdaya manusia

• Jumlah penduduk • Pendidikan • Pelayanan kesehatan

Kerekatan sosial

• • • • • •

Sumberdaya alam dan lingkungan

• Kualitas udara • Kualitas dan kuantitas air minum.

Tawuran pelajar Tawuran warga antarkampung Kewibawaan hukum Kewibawaan aparat hukum Jumlah tempat ibadah Kepemerintahan

Melirik Perkembangan Jakarta dan Wilayah Sekitarnya Dari sebuah kota pelabuhan pada jaman awal kemerdekaan, Jakarta berubah menjadi kota raksasa, pusat segala aktivitas industri, komersial, dan pemerintahan. Rancangan Umum Tata Ruang (RUTR) yang seharusnya menjadi pegangan rencana pengembangan kota selalu harus direvisi, karena apa yang terjadi di lapangan selalu berbeda dengan apa yang direncanakan. Jakarta berkembang tak terkendali secara informal. Ketimbang dibuka untuk umum, RUTR justru dijual kepada penawar tertinggi. Akibatnya, banyak kampungkampung penduduk asli yang tergusur, sementara mereka yang beruntung mendapatkan akses ke RUTR mengambil untung berlipat-ganda.12 Dalam sepuluh tahun terakhir, sarana fisik di Jakarta, Bogor, Tangerang, dan Bekasi (Jabotabek) memang telah mengalami perkembangan yang sangat pesat. Sarana permukiman merupakan sektor dengan laju peningkatan yang paling berarti. Dulu, Bunderan HI adalah pinggir kota Jakarta, di mana para pendatang ramah disalami oleh Tugu Selamat Datang, dan dipersilahkan singgah menginap di Hotel Indonesia, atau hotel-hotel lainnya di sepanjang Jalan Thamrin. Saat ini, bahkan tidak terasa lagi batas antara Jakarta dengan Bogor, Tangerang, dan Bekasi. Pengembangan daerah-daerah baru seperti Kebayoran Baru dan jalan utama yang menghubungkan antara Kebayoran Baru dengan pusat kota Jakarta, Jalan Sudirman, menjadi pusat pembangunan gedunggedung pencakar langit di sepanjang jalan utama pada tahun 1980 an.

7

Sebagian wilayah sekitar Jakarta — daerah-daerah Bogor, Tangerang, dan Bekasi yang langsung berbatasan dengan Jakarta — dikembangkan menjadi tempat pemukiman karyawan pemerintah dan militer, serta tempat permukiman masyarakat umum di sepanjang jalan arteri. Sarana permukiman mulai dibangun di daerah Baratdaya Jakarta, misalnya saja Bintaro Jaya, dan semakin menjamur ke arah Barat di daerah Tangerang dan sekitarnya, juga ke arah Timur di daerah Bekasi, serta ke arah Selatan di Depok.13 Pada pertengahan 1980an, terjadi “oversupply” area perkantoran. Gedung-gedung bertingkat di wilayah “segitiga emas” Sudirman-Gatot SubrotoKuningan kehilangan pasar. Sementara itu, wilayah permukiman berkembang dengan sangat lamban. Mengantisipasi pasar permukiman dalam kota yang semakin tinggi permintaannya, gedung-gedung hunian bertingkat (apartemen) mulai dibangun di wilayah “segitiga emas” dan sekitarnya. Di Bogor, Tangerang, dan Bekasi, perumahan umum skala besar — kota satelit — mulai berkembang.14 Di awal 1990an, pembangunan gedung-gedung perkantoran dan hunian bertingkat (apartemen) mencapai puncaknya di pusat kota. Pusat-pusat perbelanjaan (shopping mall) mulai bermunculan menjadi pusat berkumpul masyarakat. Terdesaknya taman-taman kota oleh pembangunan jalan, gedung, dan pusat-pusat komersial menjadikan shopping mall menjadi pusat berkumpul gaya baru. Di wilayah-wilayah pinggiran Jakarta yang merupakan koridor penyangga perluasan (sprawl) kota Jakarta, perubahan juga sangat terasa. Awal tahun 1990an memperlihatkan kecenderungan pembangunan gedung perkantoran di sekitar ring-road dengan tingkat hunian yang lumayan tinggi. Pembangunan apartemen juga berkembang di wilayah-wilayah penyangga ini. Perkembangan ini berlangsung hingga pertengahan tahun 1990an. Permintaan atas perumahan semakin meningkat, sementara pembangunan perumahan dalam kota yang sangat lamban dan prasarana transportasi yang sangat buruk antara pusat kota dan daerah sekitarnya menjadikan harga real estate di pusat kota menjadi tidak terjangkau. Masyarakat mulai melirik daerah-daerah pengembangan baru di pinggir kota — di Bogor, Tangerang, dan Bekasi — sehingga terjadi ledakan pengembangan kompleks perumahan skala besar berbagai ukuran.15 Pada pertengahan 1990an, pasar gedung-gedung perkantoran mencapai puncaknya, sementara pemasaran apartemen rusak total. Jumlah shopping mall justru semakin meningkat, sementara penggunaan wilayah multiguna mulai diperkenalkan. Karena kesuksesannya, pembangunan gedung-gedung

8 - Loe Loe, Gue Gue

perkantoran dan apartemen di wilayah penyangga di pinggiran Jakarta berlangsung terus. Sementara itu, di Bogor, Tangerang, dan Bekasi, terjadi ledakan “kota-kota baru”. Yang menarik untuk disimak adalah perkembangan wilayah-wilayah suburban (di Bogor, Tangerang, dan Bekasi). Daerah-daerah ini praktis sudah menjadi penyangga Jakarta sejak awal 1980an, dan perannya semakin penting dengan berjalannya waktu. Tabel 2 memperlihatkan gambaran perkembangan Jakarta dengan dukungan wilayah sekitarnya. Awal 1980-an Pusat kota dan wilayah perkantoran dan niaga serta terjadinya intensifikasi pemanfaatan lahan di wilayah pusat bisnis

Pembangunan gedung-gedung pencakar langit di sepanjang jalan utama

Pertengahan 1980-an Terjadinya 'oversupply' area perkantoran serta lambannya perkembangan industri permukiman Mulai dilakukannya pembangunan apartemen

Awal 1990-an

Pertengahan 1990-an

Terjadinya puncak Terjadinya 'overpembangunan gedung supply' wilayah perkantoran perkantoran walaupun beberapa gedung Puncak pembangunan perkantoran baru apartemen telah memperoleh pasar Mulai beroperasinya beberapa pusat Gagalnya pemasaran perdagangan apartemen Semakin meningkatnya jumlah pusat perdagangan Pembangunan wilayah multiguna (mix-use)

Pembangunan di wilayah sekitar koridor penyangga (termasuk 'inner & outer ring road')

Daerah sub-urban (wilayah sekitar: Bogor, Tangerang dan Bekasi)

Mulai dibangunnya gedung perkantoran dengan tingkat hunian tinggi Pembangunan apartemen Pembangunan sarana permukiman bagi karyawan pemerintah dan militer serta sarana permukiman umum di sekitar jalan arteri

Mulai Pembangunan yang berkembanganya sangat intensif dari bisnis permukiman berbagai jenis dan (real estate) berskala ukuran perumahan besar skala besar Terjadinya peningkatan permintaan permukiman yang sangat tinggi

Berlanjutnya pembangunan gedung perkantoran Berlanjutnya pembangunan apartemen Berkembangnya 'kotakota baru' di wilayah sekitar (BOTABEK) Permintaan akan permukiman tetap stabil

Table 2 Perkembangan tata-guna lahan di wilayah Jabotabek Sumber: Susantono, B. 1998. “Transportation and Land Use Dynamics in Metropolitan Jakarta”, dalam Berkeley Planning Journal 12:126-144.

9

Pembangunan di Jakarta memang terasa seperti berkembang tanpa kendali dan tanpa aturan. Semuanya berjalan dan berkembang dengan “alamiah”, “organik”, dan “informal”. Yang terjadi karena perkembangan “alamiah” ini justru penyimpangan pembangunan di lapangan dari pola peruntukan lahan yang telah ditetapkan, yang terlalu lazim dijumpai di Jakarta. Begitu banyak lahan ataupun daerah yang telah berubah fungsinya akibat ketidakmampuan pemerintah daerah dalam melakukan pengawasan pembangunan yang terjadi. Pembangunan berbagai prasarana dan sarana baru yang tidak diimbangi oleh pengawasan pembangunan kota yang konsisten dengan rancangannya, juga dapat menimbulkan pola pembangunan yang tidak terkendali. Berubahnya peruntukan lahan yang tidak mengacu kepada tata ruang yang ada telah terbukti dapat mengakibatkan kerusakan-kerusakan lingkungan yang pada akhirnya dapat merugikan kehidupan manusia dan merusak keseimbangan alam. Sebagai kebijakan yang memayungi pembangunan (the umbrella of development policies) semua sektor, Tata Ruang seharusnya bersifat holistik, komprehensif dan integral, dengan selalu memperhatikan kondisi dinamis dari komponenkomponen yang ada di dalamnya. Karena sifatnya sebagai payung kebijakan maka konsistensi antara tata ruang dan implementasi pembangunan yang merupakan derivasinya harus selalu dijaga. Pada kenyataannya, Rencana Umum Tata Ruang dan berbagai instrumen tata ruang turunannya yang berada pada tingkat regional dan lokal, tidak selalu dapat menjawab tuntutan dari perubahan pembangunan yang terjadi dengan cepat. Pola Tata Ruang yang ada selalu ketinggalan dengan pembangunan yang ada di lapangan.16 Ironisnya, pembangunan yang ada di lapangan umumnya tidak mereprentasikan rencana-rencana pembangunan yang diturunkan dari pola tata ruang yang ada. Berbagai penyimpangan pembangunan yang ada di lapangan disebabkan di antaranya oleh bentuk-bentuk korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) di masa pemerintahan yang lalu.17 Absennya pengawas pembangunan di daerah dan di kota yang selalu memegang teguh Rencana Tata Ruang yang ada di daerahnya, telah mengakibatkan tumbuh dan berkembangnya daerah-daerah yang menyimpang dari peruntukannya (land-use). Akibatnya maka banyak daerah yang bertumbuh secara “organik” dengan mengikuti kekuatan utama pasar yang ada (dominant market forces) tanpa mengindahkan keterkaitan, keselarasan dan keseimbangannya dengan daerah lainnya, serta tidak jarang mengabaikan daya dukung lingkungan yang ada.

10 - Loe Loe, Gue Gue

Interaksi Dinamis Penataan Ruang Penataan ruang memiliki aspek dinamis yang terkait dengan semua pelaku pembangunan di dalamnya. Implikasi yang terpenting harus diingat adalah kenyataan bahwa dibutuhkan penyesuaian-penyesuaian yang berkala (constant adjustments) atas kondisi riil pembangunan yang terjadi di lapangan dan konsistensinya dengan pola tata ruang yang ada. Walaupun secara teoritis ijin lokasi merupakan alat untuk selalu mengontrol tata ruang, pada kenyataannya praktek-praktek KKN telah menggerogoti efektifitas dari pemberian ijin lokasi ataupun ijin mendirikan bangunan. Hal ini mengakibatkan peraturan tentang tata guna lahan yang lazim disebut zoning (pengalokasian tata guna lahan) dianggap sebagai dokumen tertulis ketimbang dokumen yang diikuti oleh pelaku pembangunan. Sebuah penelitian Jabotabek Management Development Project (1993) menunjukkan bahwa begitu banyak pengembang yang tidak mematuhi ketentuan pengalokasian tata guna lahan yang ada.18 Peneliti lainnya bahkan menyatakan bahwa para pengembang besar cenderung untuk mempengaruhi perubahan peruntukan tata guna lahan.19 Kenyataan empiris yang terjadi di lapangan menunjukkan bahwa betapa fenomena banjir di beberapa daerah di Jakarta adalah merupakan akibat tidak berfungsinya kontrol atas tata guna lahan yang seharusnya diikuti. Pembangunan permukiman skala besar kebanyakan sangat mengubah pola hidrologis dan keseimbangan lingkungan baik mikro maupun makro (regional).20 Benar bahwa studi-studi analisa dampak lingkungan telah dilaksanakan, namun pelaksanaan rencana pengelolaan dan pemantauan lingkungannya (RKL dan RPLnya) kebanyakan diabaikan ataupun dilaksanakan tidak sesuai dengan yang dijanjikan. Terlebih apabila rencana tindak RKL dan RPL ini menyangkut institusi pemerintah yang biasanya tidak menyediakan anggaran untuk melaksanakannya. Walhasil, dari semua sisi baik itu swasta, pemerintah maupun masyarakatnya saling lempar dan tuding dalam menyikapi fenomena kerusakan lingkungan di daerahnya. Mengatasi semrawutnya pembangunan tidak dapat dilakukan oleh satu institusi tanpa melibatkan institusi lainnya, baik di pemerintahan, swasta ataupun di dalam masyarakat. Tanpa adanya interaksi dan partisipasi dinamis antar pelaku pembangunan maka pola tata ruang yang ada tidak akan pernah dapat diejawantahkan sesuai dengan yang telah direncanakan, dan akan semakin jauh menyimpang dari aspirasi dan tuntutan masyarakat. Karenanya, maka

11

koordinasi dan demokratisasi tata ruang merupakan prasyarat mutlak bagi terciptanya pembangunan berwawasan lingkungan yang holistik, efisien dan ekuitabel (merata dan berkeadilan) serta berkelanjutan.

Dwi-wajah kota Jakarta Sebagai akibat dari pola pembangunan kota yang terlalu ad-hoc ini maka bermunculanlah pola permukiman yang menunjukkan adanya dwi-wajah kota Jakarta: permukiman formal dan informal. Permukiman formal di Jakarta yang berupa real estate dan kawasan permukiman yang tertata rapi, tumbuh berdampingan dengan pola kampung tradisional ataupun kawasan kumuh di Jakarta. Terlepas dari kusutnya permasalahan di bidang properti saat ini, masyarakat berpenghasilan rendah di perkotaan di Indonesia sebagian besar mendapatkan tempat tinggalnya melalui proses-proses yang lazim disebut informal housing. Sebuah studi yang sangat komprehensif yang pernah dilakukan di Indonesia bahkan memperkirakan bahwa 85 persen penyediaan tempat tinggal baru dipasok melalui proses informal, di luar penyediaan rumah formal melalui para pengembang.21 Beberapa studi tentang perumahan lainnya di Jakarta juga menunjukkan bahwa disamping pembangunan perumahan berskala besar ataupun mega, daerah pinggiran Jakarta berkembang melalui proses pembangunan informal yang dilakukan dari dan oleh individu-individu dalam masyarakat.22 Sementara itu penguasaan tanah berskala besar dan mega di Jakarta dimungkinkan melalui praktek-praktek KKN di masa lalu antara pengembang dan penguasa. Beberapa pengembang dapat mengubah peruntukan tanah (zoning), dan mendapatkan ijin penguasaan suatu area berskala besar meskipun proses pembebasan tanah di daerah tersebut di mulai. Dari ijin penguasaan tanah yang diberikan, kurang lebih hanya 35 persen yang bisa dibebaskan dan dibangun. Karena hal ini maka tidak jarang kita lihat bahwa pembangunan yang dilakukan oleh pengembang tidak sempurna, misalnya adanya suatu “pulau” perumahan tradisional di tengah kompleks, ataupun bentuk kompleks perumahan yang tidak teratur. Tidak jarang juga timbul konflik antara para penduduk yang tidak mau dibebaskan dengan pengembang yang kebanyakan berada pada seputar issue akses dan prasarana umum.

12 - Loe Loe, Gue Gue

Transportasi: Memfasilitasi Mobilitas dan Akses Perkembangan pusat kota Jakarta sebagai daerah komersial yang dibarengi dengan perkembangan Bogor, Tangerang, dan Bekasi sebagai tempat tinggal memberikan pengaruh yang sangat besar kepada sistem transportasi. Mudahnya akses ke dan dari daerah Botabek telah mendorong semakin menjamurnya keberadaan kawasan permukiman yang juga dilengkapi dengan sarana pendukung lainnya sehingga pada akhirnya berkembang menjadi kota-kota satelit. Penyebaran pembangunan perkotaan (urban sprawl) ini berdampak terhadap perkembangan jumlah penduduk yang melakukan pergerakan setiap harinya. Diperkirakan sekitar 30 persen dari penduduk Jakarta pada jam kerja adalah mereka yang bertempat tinggal di wilayah Bogor, Tangerang, dan Bekasi, sehingga dapat dibayangkan tingginya kebutuhan dan permintaan akan sarana transportasi. Pembangunan jalan raya yang cukup intensif ternyata masih jauh tertinggal dibandingkan dengan laju perkembangan populasi kendaraan bermotor sebagai salah satu sarana pendukung mobilitas, sehingga semakin hari tingkat kemacetan semakin tinggi dan semakin menyebar di wilayah Jabotabek. Pada awal 1980an, sebagai prasarana penghubung dalam kota, jalan arteri mulai difungsikan, sementara jalan arteri penghubung Pusat-Selatan diperlebar. Kepadatan lalu-lintas mulai terasa di jalur-jalur jalan utama. Pengembangan jalan tol bebas hambatan dimulai dengan pembangunan jalan tol arah Selatan yang menghubungkan Jakarta dengan Bogor dan Ciawi (Jagorawi). Prasarana kereta api (commuting railway) listrik (KRL) Jakarta-Bogor mulai beroperasi pada awal 1980an ini. Pada pertengahan 1980an, dua arteri Pusat-Selatan diperlebar. Entah yang mana yang lebih dulu, pelebaran jalan dan kemacetan di jalan-jalan arteri tersebut, kepadatan lalu lintas sangat sering terjadi di arteriarteri utama. Jalan Tol arah Barat (Merak) mulai difungsikan. Jalur rel kereta ganda (dual-track) untuk KRL Jakarta-Bogor juga sudah mulai difungsikan.23 Pada awal 1990an, Arteri Timur-Barat mulai difungsikan, sementara pembangunan “fly-over” di beberapa pusat kemacetan telah membantu mengatasi kemacetan di beberapa persimpangan utama. Jalan tol arah Timur (Cikampek) mulai dioperasikan. Beberapa stasiun KRL di wilayah suburban diperbaiki dan direnovasi. Pada pertengahan 1990an, jaringan tol penunjang dalam kota mulai difungsikan untuk menghubungkan tol Barat dan Timur. Jalan tol penunjang ke arah selatan juga mulai difungsikan. Tetapi, kemacetan terjadi di pusat kota dan menyebar ke arteri-arteri utama penghubung Jakarta dengan

13

wilayah-wilayah Bogor, Tangerang, dan Bekasi. Di bawah ini adalah ringkasan perkembangan prasarana transportasi di wilayah Jabotabek. Antara tahun 1985 dan 1993, jumlah mereka yang pulang-pergi antara Jakarta dan wilayah sekitarnya (commuters) meningkat empat kali lipat, dari 68 ribu menjadi 280 ribu. Tiap tahunnya, rata-rata peningkatannya adalah 22 persen. Dengan mengasumsikan tiadanya perbaikan, kebutuhan mobilitas di Jakarta yang dilayani oleh mobil pribadi diperkirakan akan bertambah sekitar 56 persen pada tahun 2010, meningkat dari sekitar 50 persen pada tahun 1995.24 Meningkatnya kebutuhan atas mobilitas ini memang menuntut kemusykilan jumlah investasi untuk prasarana jalan. Benar bahwa dari segi kuantitas dan kualitas jalan-jalan di Jakarta masih ketinggalan dibandingkan dengan kota-kota lain di dunia. Jakarta hanya memiliki 0,5 meter jalan untuk tiap warganya, dibandingkan dengan Bangkok yang 0,6 meter per warga, atau Kuala Lumpur yang 1,5 meter per warga. Kota-kota utama di Eropa dan Amerika rata-rata memiliki panjang jalan 2,4 meter dan 2,5 meter per warga.25 Total panjang jalan di Jakarta meningkat rata-rata hingga 6 persen per tahun, tetapi jumlah kendaraan justru bertambah dengan kecepatan 9 persen per tahun antara 1989 dan 1994. Jumlah ini belum termasuk jumlah sepeda motor. Seperti mengisi sumur tanpa dasar, pertambahan kapasitas jalan raya tidak pernah bisa memenuhi pertambahan kendaraan yang justru lebih cepat lagi. Tidak heran kemacetan semakin lama semakin tidak tertahankan lagi. Pengadaan sarana transportasi umum yang diharapkan dapat mengakomodasi mobilitas suburban maupun intra-urban ternyata sangat jauh dari mencukupi, baik ditinjau dari segi jumlah maupun kualitasnya. Keberadaan sarana transportasi umum ini semakin terpuruk dengan tidak berdayanya aparat yang berwenang untuk melawan “mafia” yang ada dalam bisnis transportasi umum yang ada. Sebagai gambaran, jumlah trayek yang seharusnya terlayani karena telah adanya perusahaan/operator yang memiliki serta bertanggungjawab atas pelayanan transportasi umum di trayek tersebut. Tetapi pada kenyataannya di lapangan tidaklah demikian, trayek-trayek tersebut tidaklah dijalankan sementara operator lain pun tidak dapat beroperasi untuk melayani trayek yang sama. Data dari Dinas Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (DLLAJ) menyebutkan bahwa terdapat 9 rute/trayek bus PATAS-AC yang tidak terlayani, 23 trayek PATAS dan 57 trayek bus reguler. Sementara jumlah kendaraan yang diperlukan adalah 180 bus untuk PATAS-AC, 330 bus untuk PATAS dan 855 bus untuk bus reguler.26

14 - Loe Loe, Gue Gue

Awal 1980-an

Pertengahan 1980-an

Awal 1990-an

Pertengahan 1990-an

Jaringan jalan tol antar kota

Difungsikannya jalan tol arah Selatan (Bogor)

Difungsikannya jalan tol arah Barat (Merak)

Difungsikannya jalan tol arah Timur (Cikampek)

Ekspansi jalan tol arah Barat dan Timur

Jaringan jalan tol dalam kota dan jalan

Difungsikannya arteri Diperlebarnya dua dan diperlebarnya arteri Selatan-Pusat arteri penghubung Selatan-Pusat

Diperlebarnya arteri arah Timur dan Barat

Difungsikannya jalan tol penunjang ke arah Selatan

Kemacetan lalulintas

Kepadatan sedang di jalur utama

Kemacetan terjadi di arteri-arteri utama

Pembangunan 'flyover' telah membantu mengurangi kemacetan di beberapa persimpangan utama

Kemacetan telah menyebar dan terjadi di pusat kota, wilayah Botabek dan jalan-jalan arteri

Sistem perkeretaapian (KRL)

Difungsikannya KRL Jakarta-Bogor

Difungsikannya Renovasi beberapa sistem rel ganda stasiun di wilayah (double track) di jalur suburban KRL Jakarta-Bogor

Difungsikannya jalur atas (elevated railroad) di pusat kota Difungsikannya gerbong KRL baru

Tabel 3. Perkembangan pola transportasi di wilayah Jabotabek Sumber: Susantono, B. 1998. “Transportation and Land Use Dynamics in Metropolitan Jakarta”, dalam Berkeley Planning Journal 12:126-144.

Berdasarkan data tersebut di atas dan dengan asumsi bahwa tiap kendaraan memiliki kapasitas angkut 60 orang untuk tiap perjalanan dengan 10 perjalanan per hari, maka dapat dihitung jumlah masyarakat pengguna jasa angkutan umum yang tidak terakomodasi. Perhitungan ini hanya didasarkan atas jumlah trayek yang tidak terlayani oleh kendaraan bus besar, jika mempertimbangkan hal yang sama dengan kendaraan bus sedang dan kecil (angkutan kota) serta kualitas pelayanan trayek yang terlayani maka jumlah masyarakat pengguna yang terabaikan menjadi lebih tinggi lagi. Angkutan masal yang digunakan sebagian besar pelaku perjalanan di kota ini, baik angkutan jalan raya (bus) maupun angkutan jalan rel (Kereta Rel Listrik, KRL), kondisinya sangat menyedihkan. Sebagiannya disebabkan karena kebijakan pemerintah yang salah, 90 persen dari kebutuhan akan mobilitas di Jakarta dipenuhi oleh transportasi jalan raya, hanya 10 persen yang dipenuhi oleh KRL. Pada jam-jam sibuk, pemandangan penumpang yang bergantungan di

15

pintu bus karena tak ada tempat lagi untuk berdiri berjejalan di dalam bus, menjadi hal yang biasa di ruas-ruas jalan Jakarta. Keadaan yang jauh lebih buruk dialami penumpang KRL Jabotabek lintas tengah (Bogor –Jakarta). Kepadatan luar biasa terjadi pada jam sibuk pagi (06:30 – 8:00) dan jam sibuk sore yang lebih panjang (16:30 – 20:15). Faktor pembebanan lebih dari 250 persen pada jam-jam sibuk tersebut tentu saja menimbulkan penderitaan bagi pengguna jasa angkutan masal ini.27 Keadaan ini terpaksa harus diterima pengguna jasa KRL yang tidak memiliki pilihan lain karena keterbatasan anggaran untuk biaya transportasi dan alasan penetrasi KRL yang jauh lebih baik dibandingkan dengan angkutan umum di jalan raya, terlebih bagi mereka yang berasal dari Bogor dan sekitarnya. Dilihat dari sisi ekonomi pengoperasian KRL Jabotabekpun situasi ini sebenarnya sangat tidak menguntungkan. Banyaknya penumpang yang harus diangkut pada jam-jam sibuk membuat bogie KRL menanggung beban lebih besar dari beban maksimum yang direncanakan. Akibatnya, seperti yang diberitakan oleh harian Kompas pada bulan Maret 2001, badan KRL sering terlihat miring dan tidak stabil. Puncak dari kondisi ini adalah pada saat pantograph KRL Jabotabek tersangkut pada kawat traksi, sehingga terjadi percikan api dan menimbulkan kepanikan penumpang KRL. Karena panik, penumpang KRL yang berada di pintu berlomba untuk melompat dari KRL yang sedang melaju. Akibatnya, sekitar 35 orang penumpang mengalami cedera.28 Penumpang yang terpaksa harus menyabung nyawa dengan naik ke atas atap KRL juga menimbulkan masalah besar jika menyentuh pantograph yang terhubung dengan kawat traksi bertegangan 1.500 volt. Selain nyawa melayang, badan yang hangus terbakar ini juga mengakibatkan operasi KRL tertunda sekitar satu setengah jam. Makna dari berita Kompas di atas menunjukkan bahwa sampai saat ini masyarakat pengguna angkutan masal sama sekali tidak mendapatkan perlindungan, hingga ancaman terhadap keselamatan harta dan jiwanya selalu menghantui selama dalam perjalanan dari titik asal ke titik tujuan. Padahal, angkutan masal memiliki peran yang sangat strategis dalam sistem transportasi kota Jakarta. Jaringan Sistem angkutan masal yang andal — tepat waktu, baik kedatangan maupun keberangkatannya dengan tingkat pelayanan yang memadai — akan mendorong pengguna jalan berjalan kaki atau melakukan park & ride ke dan dari simpul (halte/stasiun) terdekat yang menghubungkan tempat asalnya menuju ke tempat tujuan. Berkurangnya penggunaan kendaraan pribadi akibat sistem transportasi masal yang baik dan penggunaan sistem transportasi tak bermesin adalah sebuah kondisi yang sangat kondusif untuk mengurangi beban

16 - Loe Loe, Gue Gue

pencemaran udara di atas Jakarta, mengurangi pemborosan penggunaan energi, dan meningkatkan produktifitas sebagai dampak pengurangan kehilangan waktu perjalanan. Pelayanan transportasi umum di Jakarta tidak hanya terbatas pada kendaraan bus dan sejenisnya, tetapi juga mencakup berbagai moda angkutan umum seperti misalnya bemo, bajaj, ojek dan becak serta delman untuk beberapa kawasan tertentu. Satu hal yang cukup menarik dan juga kontradiktif adalah tidak disertakannya moda angkutan umum tersebut dalam jenis angkutan umum di DKI Jakarta, padahal bemo dan bajaj misalnya, mereka menggunakan plat nomor kendaraan kuning yang berarti kendaraan umum yang sudah barang tentu wajib membayar retribusi — bahkan bajaj wajib menjalani uji kir. Dari hal ini terlihat tidak adanya koordinasi antara instansi yang berwenang dalam menangani transportasi umum dengan instansi yang berwenang untuk mengeluarkan perijinan kendaraan bermotor dan penarikan retribusinya. Hal lain yang tidak kalah menariknya adalah masalah becak. Masalah ini sudah menjadi “trade-mark”-nya Jakarta. Berdasarkan Perda No. 11/1988, dengan alasan sudah terlalu banyak jumlahnya dan mengakibatkan kekacauan lalulintas, becak dilarang beroperasi di wilayah DKI Jakarta. Tetapi pada tahun 2000, gugatan pengemudi becak untuk diizinkan beroperasi dimenangkan oleh pengadilan class action, dan atas keputusan pengadilan mereka diijinkan untuk beroperasi di wilayah permukiman di DKI Jakarta. Pada kenyataannya, di beberapa lokasi permukiman di DKI Jakarta saat ini becak tetap dilarang untuk beroperasi; bahkan lebih dari itu, di beberapa wilayah permukiman “perburuan” terhadap pengemudi becak masih terus dilakukan oleh petugas dari instansi terkait.29

Kualitas Sumberdaya Manusia Dalam hal pembangunan kualitas sumber daya manusia, relatif terhadap pertumbuhan jumlah penduduk, ternyata juga mengalami penurunan cukup tajam. Jumlah Sekolah Dasar pada tahun 1997 sebanyak 3.332, menjadi 3.179 pada tahun 2000. Dan murid SD berkurang dari 844.587 (1997) menjadi 834.753 orang pada tahun 2000. Jumlah Sekolah Menengah Pertama juga mengalami penurunan, dari 1.069 (1997) menjadi 1.044 pada tahun 2000, dengan jumlah siswa 428.173 (1997) yang berkurang menjadi 402.298 (2000). Kelihatannya banyak anak-anak putus sekolah pada saat krisis ekonomi melanda Indonesia sejak tahun 1997.

17

Dalih bahwa hal ini merupakan dampak dari pergeseran penduduk ke daerah penyangga sama sekali tidak dapat dibenarkan, karena pada kenyataannya pertumuhan penduduk DKI Jakarta selama sepuluh tahun terakhir masih di atas 0 (nol) persen. Dengan asumsi jumlah penduduk DKI Jakarta tetap selama sepuluh tahun terakhir pun seharusnya minimal jumlah anak usia sekolah tetap, jika pemerintah merasa masih terlalu sulit untuk meningkatkan pendidikan dari segi kuantitas maupun kualitasnya. Dari data perkembangan jumlah sekolah dan murid tersebut, tampaknya jumlah anak-anak putus sekolah pada saat krisis ekonomi melanda Indonesia sejak tahun 1997 cukup berarti. Keterkaitan antara persaingan bagi masyarakat berpenghasilan rendah dalam mengeluarkan uang antara membayar biaya sekolah yang tidak menjadi semakin murah dan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari yang juga tidak semakin murah melainkan semakin melambung harganya. Hasil wawancara dengan seorang pengemudi taksi di Jakarta pada akhir Maret yang lalu dapat menjadi gambaran betapa mahalnya biaya yang harus dikeluarkan untuk menyekolahkan anak di Jabotabek. Untuk anaknya yang duduk di bangku SD, pengemudi bersangkutan harus mengeluarkan biaya sekitar Rp.150.000 yang mencakup uang sekolah dan dana penunjang lainnya, termasuk transportasi dan uang jajan tetapi belum termasuk uang buku yang hampir diperlukan paling tidak empat bulan sekali. Sementara untuk anaknya yang duduk di bangku SLTP, ia harus mengeluarkan sekitar Rp.200.000 termasuk transportasi. Dapat kita bayangkan mengapa cukup banyak anak-anak yang pada akhirnya putus sekolah. Hal ini akan menjadi semakin parah jika sistem pendidikan termasuk pendanannya tidak diperbaiki. 30 Dilihat dari sisi pelayanan kesehatan yang diberikan kepada masyarakat, salah satu bidang yang sangat menentukan terhadap kualitas sumber daya manusia, ternyata tidak mengalami peningkatan. Bahkan untuk fasilitas pelayanan kesehatan bayi dan Balita menurun sangat tajam. Jika pada tahun 1989 terdapat kurang lebih 30 ribu kader Posyandu di DKI Jakarta, maka pada tahun 1999 jumlah ini menurun hinga 24 ribu kader. Padahal, dari sisi perkembangan anak, usia Balita merupakan usia paling penting dalam pembentukan jaringan otak yang menentukan tingkat kecerdasan anak hingga usia dewasa. Gambar 2 berikut menunjukkan jumlah beberapa fasilitas kesehatan yang ada di DKI Jakarta selama 10 tahun terakhir.

18 - Loe Loe, Gue Gue

Orang Jakarta Makin Cuek? Di Jakarta, meningkatnya kesenjangan sosial di masyarakat dan bertambahnya jumlah penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan Jumlah Fasilitas Pelayanan Kesehatan DKI Jakarta 800

700

1990 2000

600

500

400

300

200

100

0

Rumah Sakit

Tempat Bersalin

Puskesmas

Balai Pengobatan Umum

Balai Pengobatan Gigi

Laboratorium

Gambar 2. Jumlah Fasilitas Pelayanan Kesehatan di DKI Jakarta 1990-2000 Sumber: DKI Jakarta Dalam Angka 1991 & 2001

merupakan salah satu penyebab semakin meningkatnya kekerasan dan makin berkurangnya rasa kekeluargaan dalam masyarakat. Jumlah penduduk yang hidup dibawah garis kemiskinan di Jakarta mengalami fluktuasi. Setelah sempat membaik dengan terjadinya penurunan jumlah penduduk miskin dari sekitar 603 ribu jiwa (7,79%) pada tahun 1990 menjadi 497 ribu jiwa (5,65%) pada tahun 1996, jumlah penduduk miskin meningkat tajam akibat krisis ekonomi pada tahun 1998, yaitu sebesar hampir 861 ribu jiwa (8,95%).31 Semakin meluasnya wilayah rawan kerusuhan, perkelahian antar warga dan wilayah rawan terhadap terjadinya tindak kriminalitas menunjukkan kegagalan system pendidikan sosial budaya dan budi pekerti di masyarakat. Tabel 3 berikut menunjukkan wilayah-wilayah tidak aman di DKI Jakarta.

19

Perkelahian pelajar juga merupakan salah satu fenomena yang terjadi akibat gagalnya sistem pendidikan sosial budaya dan budi pekerti di masyarakat. Selama tahun 2000, Republika mencatat terjadi paling tidak 196 kali peristiwa perkelahian pelajar yang menyebabkan jatuhnya korban sebanyak 88 orang — 26 meninggal dunia, 21 luka berat, dan 41 luka ringan.32 Kota

Kawasan

Rawan terhadap Peristiwa

Jakarta Barat

Cengkareng Raya, Gajah mada,Glodok Kota, Jembatan Lima, Jln.Daan Mogot,Jln. Krendang

Kerusuhan

Jln. Mangga Dua,Kalideres, Kapuk Raya, Kyai Tapa Grogol, Pal Merah, Prmhn Kebun Jeruk, Roxi, Slipi, Tomang Glodok Tmn Sari, Jembatan Dua, Jembatan Merah, Jln. Daan Mogot, Jln. Kayi Tapa, Jl.Tubagus Angke, KS Tubun, Lampu Mrh Hayam Wuruk/Olimo, Perempatan Grogol

Kriminal

Lokasari / Mangga besar Raya, Perempatan Jembatan Lima, Perempatan Tomang, Simpang Empat Cengkareng, Slipi, Terminal Grogol Jakarta Pusat

20 - Loe Loe, Gue Gue

Batu Ceper, Gajah Mada Krekot, Jiung, Jln. Kramat Raya, Jln. Letjen Suprapto (Galur), Jln. Salemba, Kawai - Kawi, Kebun Kacang, Kemayoran Gempol, Kwini, Kwitang

Perkelahian Warga

Bendungan Hilir, Cempaka Putih, Cikini, Gunung Sahari, Hym Wuruk/Gjh Mada, Kramat Raya, Salemba Raya, Senen, Tanah Abang, Perempatan Rawasari

Kerusuhan

Kota

Jakarta Selatan

Jakarta Timur

Kawasan

Rawan terhadap Peristiwa

Matraman Dalam, Pasar Tanah Abang, Poncol

Perkelahian Warga

Ps. Senin, Lap. Banteng, Monas, Perempatan Coca Cola, Perempatan Galur , Perempatan Gunung Sahari, Perempatan Harmoni, Perempatan HI, Perempatan Pintu Air / Grogol, Perempatan Senen, Perempatan Taman Suropati, Perempatan Tugu Tani, Ps. Baru, Tanah Tinggi, Gajah Mada

Kriminal

Bintaro Plaza, Buncit Raya, Mampang Prapatan, Mayestik, Pancoran, Psr/Term. Blok M, Pasar Blok A, Pasar Cipulir, Pasar Minggu, Ps. Kebayoran Lama, Tebet/Dr. Supomo

Kerusuhan

CSW, Patung Pemuda, Perempatan Lenteng Agung, Perempatan Pancoran, Perempatan TB. Simatupang, Pertigaan Pondok Pinang, Pondok Labu, Terminal Lebak Bulus

Kriminal

DI. Panjaitan / Prumpung, Jln. Otista / Dewi Sartika, Kampung Melayu, Matraman Raya, Pasar Klender, Ps.Idk Kramat Jati, Ps. Jatinegara, Terminal Cililitan, Term. Kp. Rambutan, Term. Pulogadung, UKI Cawang

Kerusuhan

Perempatan TMII, Perempatan Cawang, Perempatan Cililitan, Perempatan Halim PK, Perempatan Kramat Jati, Perempatan Matraman,

Kriminal

21

Kota

Kawasan Perempatan Kramat Jati, Perempatan Matraman, Terminal Kp. Melayu, Terminal Kp. Rambutan, Terminal Pulogadung, Perempatan Jl. Pemuda

Rawan terhadap Peristiwa

Jakarta Utara

Cilincing / Marunda, Gunung Sahari Pademangan, Jln. Enggano, Kelapa Gading, Muara Baru, Pademangan, Pantai Indah Kapuk/Penjaringan, Pejagalan /Kamal, Pluit, Ps. Ikan, Ps.Pagi Mangga Dua, Semper, Sts. KA Tg. Priok

Kerusuhan

Cilincing Tanah Merdeka, Kp. Bahari / Teluk Gong, Kramat Tungak, Lampu Merah Hailai Ancol, Lampu Merah Mangga Dua, Pelabuhan Sunda Kelapa, Pelabuhan Tg. Priok, Perempatan Ancol, Perempatan Pluit, Perempatan Plumpang, Perempatan Yos Sudarso, Terminal KA dan Bus

Kriminal

Tabel 4. Daerah Rawan di Jakarta, Februari 1999 Sumber : Data Pusat Pengendalian Gangguan Sosial DKI, Februari 1999

Fenomena “loe loe, gue gue” di Jakarta disebabkan banyak faktor. Salah satu faktor penyebab adalah faktor buruknya sistem transportasi di Jakarta. Oleh karena itu lebih banyak orang memilih untuk memperpanjang waktu kerja di kantor atau menghabiskan waktu di kafe-kafe, daripada terjebak kemacetan di jalan raya. Akibatnya, hampir tidak ada waktu yang tersisa untuk berkumpul dan berbagi perhatian dengan keluarga, apalagi dengan masyarakat di sekitar tempat tinggalnya. Faktor lainnya adalah mahalnya harga rumah dan tanah yang mengakibatkan sebagian besar penduduk Jakarta hidup berpindah-pindah di

22 - Loe Loe, Gue Gue

rumah kontrakan. Pola hidup “nomaden” seperti ini menyebabkan mereka harus selalu beradaptasi dengan lingkungan sekitar. Di lain pihak, penduduk yang menetap di suatu lingkungan tertentu, membedakn perlakuannya terhadap warga yang tinggal di rumah kontrakan. Seperti dalam kegiatan warga, atau dalam pemilihan calon pengurus warga. Situasi ini membuat penduduk yang tinggal di rumah kontrakan lebih memilih untuk cuek dengan segala kegiatan warga di sekitar tempat tinggalnya.33 Meningkatnya fenomena “loe loe, gue gue” juga didorong oleh sikap aparat yang justru mempersulit mereka yang ingin membantu anggota masyarakat lain. Sebagai ilustrasi, seorang supir taksi menyatakan bahwa ia lebih memilih menghindari menolong korban kecelakaan lalu lintas ke rumah sakit karena pengalaman pahitnya dengan pihak berwajib. Bukannya mendapat pujian atau sekedar ucapan terima kasih, perlakuan yang diterima justru sangat menyulitkan posisinya. Jika tidak dituduh sebagai pelaku yang menyebabkan kecelakaan itu terjadi, ia harus bersedia menjadi saksi dengan kewajiban menjawab berbagai pertanyaan terkait dengan kecelakaan yang bukan menjadi tanggung jawabnya. Centang perentangnya wajah kota Jakarta, oleh banyak ahli perencana kota diyakini sebagai cerminan apa yang terjadi di dalamnya. Salah seorang pakar tata kota, Lewis Mumford (1895-1990) menyatakan bahwa kota merupakan panggung dari berbagai aksi sosial yang ada (“City is a theater of social action”, and everything else – art, politics, education, commerce –only serve to make the social drama … more richly significant).34 Hiruk pikuknya kehidupan politik yang mewarnai kehidupan sehari-hari kota Jakarta juga akan termanifestasikan pada wajah kota ini. Kevin Lynch (1991) dalam bukunya yang merupakan salah satu buku wajib bagi para pemerhati kota “Good City Form” menyatakan bahwa cities is an arena of conflict, kota merupakan sebuah arena konflik dari berbagai kepentingan dimana resultante yang ada akan mewarnai pembangunan kota tersebut35. Sementara itu, para ahli sosiologi perkotaan juga melihat kota di negara berkembang sebagaimana Jakarta, sebagai symbol dari ketidakadilan. Fenomena ketimpangan sosial ini ditunjukkan secara kontras, bagaikan sebuah panggung, pada kehidupan kota. Dalam skala kecil, berkurangnya kerekatan sosial di permukiman Jakarta merupakan akibat dari kekurangpekaan perencana kota dalam merancang dan membangun kotanya. Pelebaran jalan, walaupun pada satu sisi akan memperlancar arus lalu lintas, pada sisi lainnya ternyata

23

menghilangkan nilai-nilai sosial kewargaan. Jalan di permukiman di Jakarta, sebagaimana juga di banyak kota negara berkembang lainnya, merupakan tempat dimana interaksi sosial terjadi (the place of social interaction). Penelitian yang dilakukan oleh Allan Jacobs dan Donald Appleyard (1987) tentang interaksi penghuni dan lebar jalan memperlihatkan betapa akan terjadi pengurangan interaksi dengan makin diperlebarnya jalan permukiman. Itulah sebabnya maka kita tidak perlu heran melihat makin maraknya pertikaian antar warga yang hanya dibatasi oleh sebuah jalan saja.36 Jane Jacobs dalam bukunya yang sangat terkenal The Death and Life of Great American Cities secara tegas menyatakan bahwa dalam mendisain jalan tidak seharusnyalah digunakan parameter lalulintas saja, jauh lebih penting adalah kondisi sosial yang ada di daerah tersebut.37 Tanpa disadari oleh banyak orang, Jakarta meniru perkembangan kota-kota di negara maju dalam melakukan segregasi secara kontras. Kurangnya rasa aman bagi sebagian penduduk telah menyebabkan timbulnya gated community, komunitas yang secara semu dipisahkan dari sekitarnya melalui dinding-dinding tinggi ataupun pagar-pagar yang kokoh. Konflik antar warga di kawasan permukiman Pesona Kahyangan di Depok misalnya, merupakan bukti bahwa segregasi melalui penciptaan komunitas yang terisolir ini akan menimbulkan permasalahan sosial di kemudian hari. Edward Blakely, seorang professor dari Berkeley yang melakukan penelitian tentang gated community di Amerika Serikat, menemukan bahwa sistem sosial kemasyarakatan semu yang ada di dalam komunitas yang terisolirpun tidak akan berkembang dengan baik.38 Di sisi lain, tingkat kecemburuan dan konflik antara masyarakat sekitar dan masyarakat di dalam “tembok” akan semakin tinggi karena kemungkinan hilangnya tempattempat ataupun akses yang selama ini dianggap sebagai public goods. 39 Tak heran, semakin tebal saja mantra loe loe, gue gue di kalangan warganya.

Kualitas Lingkungan Perkembangan berbagai sektor lain sangat berdampak terhadap kualitas lingkungan di Jakarta dan wilayah sekitarnya. Dalam sepuluh tahun terakhir telah terjadi perubahan yang cukup berarti atas berbagai parameter lingkungan. Tidak ada yang lebih dibutuhkan manusia untuk hidup sehat kecuali udara dan air yang bersih. Tetapi, Jakarta ternyata memberikan kepada warganya udara yang menyesakkan nafas dan air yang beracun.

24 - Loe Loe, Gue Gue

Kualitas udara Jakarta dapat dilihat dari data pencemaran udara di Jakarta yang dikeluarkan oleh Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup (LH) pada tahun 1992 dan data dari Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah (Bapedalda) Jakarta tahun 1999. Data ini menunjukkan bahwa peningkatan konsentrasi debu, sulfur dioksida (SO2 ), Oksida Nitrogen (NOx), Hidrokarbon (HC), dan Karbon monoksida (CO) masing-masing sebesar 68 persen, 88 persen, 39 persen, 26 persen, dan 19 persen dalam waktu tersebut. Sementara itu, timbal yang juga dikenal sebagai timah hitam merupakan indikator utama bagi pencemaran udara dari aktivitas transportasi telah melampaui nilai baku mutu udara ambien nasional sebesar 1,0 µg/m3. Data resmi yang dikeluarkan oleh Bapedal menunjukkan bahwa selama perioda 1994 – 1998 konsentrasi timbal di Jakarta berkisar antara 0,2 hingga 1,8 µg/m3.40 Tingginya konsentrasi timbal di Jakarta tentu akan mengakibatkan akumulasi dalam darah termasuk dalam darah para ibu yang sedang hamill dan menyusui. Sebagai ilustrasi, studi yang dilakukan pada tahun 1988 di Surabaya terhadap para ibu hamil telah memberikan hasil yang mengejutkan. Kadar timbal dalam darah ibu hamil ternyata mencapai 42 µg/dL yang jauh melebih ambang batas yaitu 20 µg/dL. Demikian pula analisis yang dilakukan terhadap air susu mereka. Hasil yang diperoleh adalah 54 µg/dL yang berarti lebih dari 100 kali ambang batas yang diijinkan yaitu 0,5 µg/dL. Dapat dibayangkan apa yang terjadi dengan para ibu menyusui di Jakarta. Jadi selain memberikan makanan yang bergizi kepada bayinya sejak hari pertama, ibu-ibu ini telah meracuni bayi mereka sejak hari pertama kehidupannya – bahkan sejak masih berada di dalam kandungan. Akumulasi timbal dalam darah akan menurunkan tingkat kecerdasan anak dan menghambat perkembangan mentalnya. Jadi jika penghapusan timbal tidak segera diwujudkan, jangan harap generasi yang akan datang akan mampu bersaing dalam arena global – suatu hal yang saat ini menjadi kecenderungan dan akan semakin menjadi di masa nanti. Dampak pencemaran udara pada manusia meliputi kematian dan gangguan kesehatan. Estimasi biaya akibat dampak pencemaran udara pada manusia yang disebabkan oleh debu (PM10) sebesar lebih dari Rp 725 miliar atau lebih dari US$290 juta, sedangkan biaya kesehatan akibat timbal adalah sebesar hampir Rp 300 miliar atau sebesar hampir US$120 juta.41

25

Indikator pencemaran udara perkotaan yang lain adalah ozon permukaan yang merupakan hasil reaksi fotokimia di atmosfer bawah. Tingginya konsentrasi NOx dan Hidrokarbon total di wilayah DKI Jakarta serta intensitas radiasi matahari telah memacu terbentuknya ozon permukaan di kawasan penyangga – seperti Depok, Bogor dan bahkan Kepulauan Seribu. Pemantauan yang dilakukan oleh Kantor Pengkajian Perkotaan dan Lingkungan (KPPL) DKI Jakarta 42 pada tahun 1986 - 1987 konsentrasinya berkisar antara 2 hingga 15 µg/m3 dan data pengukuran oleh Bapedalda DKI Jakarta 43 memperlihatkan bahwa konsentrasi bulanan berkisar antara 4 hingga 21 µg/m3 di tahun 1998.44 Keberadaan ozon permukaan ini akan mengakibatkan terjadinya asap-kabut (smog) yang dapat kita lihat hampir setiap hari di Jakarta ini, selain itu ozon permukaan juga mengakibatkan iritasi pada mata dan juga memberikan gangguan akut terhadap kesehatan.45 Akibatnya, langit di atas Jakarta tidak lagi berwarna biru. Kualitas air di Jakarta juga semakin lama semakin mengkhawatirkan. Data yang dikeluarkan Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Jakarta menunjukkan bahwa PDAM Jakarta hanya mampu memenuhi 46 persen dari seluruh kebutuhan konsumsi air rumah tangga pada tahun 1999. Namun kinerja PDAM DKI Jakarta menurun sangat drastis pada tahun 2000, yang ditandai dengan penurunan jumlah kubikasi air yang terjual hingga hanya 50 persen dari penjualan pada tahun 1999. Hal ini juga terlihat dari distribusi yang tidak kontinyu, serta kualitas air yang buruk — warnanya kecoklatan atau kehitaman, berbau, dan rasanya aneh.46 Menurut pengamatan Pusat Penelitian Pengembangan Perkotaan dan Lingkungan 47 (P4L) Jakarta, sekitar 60 persen penduduk Jakarta menggunakan air tanah sebagai suplai air utama.48 Berdasarkan penelitian Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) tahun 1998, 100 persen dari 100 sampel sumur dangkal di kawasan permukiman seputar Jakarta-Bogor-Tangerang-Bekasi (Jabotabek) sudah tercemar terutama oleh limbah rumah tangga, yaitu bakteri coli tinja (e-coli), di samping zat kimia organik amonia dan nitrit.49 Indikator bahwa suatu sumur tercemar di antaranya ditemukannya pencemaran bakteri coli tinja antara 30 - 240.000 MPN per 100 ml, dan pencemaran deterjen 0,07 - 5 miligram per liter. Hasil pantauan terhadap kualitas air sumur gali di Jakarta menunjukkan bahwa sebagian besar contoh air yang diperiksa tercemar zat kimia (zat organik, amonia, nitrit, dan phenol) dan logam berat (kadmium dan merkuri).

26 - Loe Loe, Gue Gue

Keberadaan zat kimia dalam air tentu membahayakan orang yang mengkonsumsinya. Amonia dalam jumlah besar dapat terurai menjadi nitrit dan nitrat. Dalam tubuh, nitrit dari air minum akan bereaksi dengan haemoglobin, sehingga menghambat aliran oksigen dalam darah. Phenol dengan kadar tertentu bisa bersifat racun dalam tubuh. Sedangkan kadmium, meski dalam dosis kecil, dapat menimbulkan keracunan dan akumulasinya dalam jaringan tubuh akan mengganggu fungsi ginjal, lambung, dan merapuhkan tulang. Begitu pula merkuri, jika terakumulasi dalam tubuh, akan meracuni sel-sel tubuh, merusak ginjal, hati, dan saraf, serta menimbulkan cacat mental. Perubahan tata guna lahan kota — dengan lebih banyak lagi ruang-ruang terbuka yang saat ini ditutup beton — membuat daerah resapan air hujan kian berkurang, sehingga terjadi ketidakseimbangan masukan dan keluaran air tanah. Keadaan ini diperburuk lagi dengan eksploitasi air tanah secara besar-besaran yang sama sekali tak terkendali, sehingga menyebabkan penurunan muka air tanah yang diikuti oleh penurunan permukaan tanah dan terjadinya intrusi air laut. Bagi Jakarta, keadaan sudah mencapai tingkat yang sangat menyulitkan. Seluruh permukaan Jakarta pada saat ini hanya sanggup menyerap sekitar 800 juta m 3 air hujan. Persediaan itu berupa air hujan yang jatuh atau terserap ke dalam tanah bagian lapisan dangkal (760 juta m 3) dan bagian lapisan dalam (40 juta m 3). Sesungguhnya, lahan daerah resapan air hujan dapat tercukupi jika taman kota dipertahankan dengan luas sekitar 10 persen dari luas wilayah Jakarta, yaitu sekitar 66 kilometer persegi (km2). Saat ini, luas taman kota yang ada di wilayah Jakarta menyusut sangat drastis hingga hanya 32,5 km2.50 Perubahan tata guna lahan kota serta eksploitasi air tanah yang berlebihan telah memberikan dampak terhadap kualitas air tanah maupun terhadap kondisi permukaan tanah. Intrusi air laut yang terjadi pada air tanah ini telah mencapai kawasan Sarinah yang berjarak sekitar 7-8 km dari tepi laut. Sementara itu, penurunan permukaan tanah telah terjadi di berbagai lokasi di DKI Jakarta, misalnya saja penurunan sebesar 61 cm yang terjadi di wilayah Senayan III, Jakarta Selatan.51

27

Lantas Apa? Setelah memperhatikan dengan seksama perkembangan keempat kelompok indikator pembangunan berkelanjutan yang ada sejak pertemuan di Rio de Janeiro tahun 1992, ternyata Jakarta hanya berwajah cantik di luarnya, sementara dalamnya sangat keropos. Memang benar bahwa prasarana dan sarana fisik perkotaan Ibukota, dilihat dari panjang jalan, jumlah kendaraan umum, dan lain-lain mengalami peningkatan. Tetapi, tetap saja peningkatan ini tidak dapat memenuhi kebutuhannya yang meningkat jauh lebih pesat lagi. Perkembangan angkutan umum sangat terbelakang, menunjukkan tiadanya keberpihakan pengembang prasarana ini kepada masyarakat miskin perkotaan.52 Prasarana jalan umum yang dibiayai oleh uang rakyat justru lebih banyak dinikmati oleh kendaraan pribadi.53 Pengembangan sumberdaya manusia yang didengung-dengungkan ternyata tak lebih dari retorika. Berkurangnya sarana pengembangan diri – sekolah, perpustakaan, dan lain-lain – serta sarana kesehatan menyebabkan sumberdaya manusia Jakarta semakin merosot kualitasnya. Cara pandang “loe loe, gue gue” semakin menjadi penuntun kehidupan bermasyarakat di Jakarta. Kita menjadi semakin tak peduli dengan sesama warga. Tak peduli bahwa apapun tindakan kita akan berdampak pada warga masyarakat lainnya dan juga pada lingkungan. Kita menjadi semakin menutup diri, peduli hanya kepentingan diri sendiri. Budaya “loe loe, gue gue” ini merupakan sumber hancurnya kerekatan sosial di Jakarta. Akibat dari kehancuran kerekatan sosial ini adalah hilangnya saling percaya antar warga, serta antara warga kepada pemerintah, dan tidak kalah pentingnya adalah hilangnya rasa hormat dan penghargaan pada etika, aturan, dan hukum. Ini pula yang menyebabkan begitu mudahnya pencemaran lingkungan terjadi dan begitu sulitnya mereka yang mengakibatkan pencemaran ditindak menurut hukum yang berlaku. Kota yang hancur atau kota yang lestari? Kita sendiri yang memilih. Ini rumah kita sendiri.

28 - Loe Loe, Gue Gue

Catatan Komisi Lingkungan dan Pembangunan Dunia atau World Commission on Environment and Development. Disebut juga sebagai Komisi Brundtland karena diketuai oleh Gro Harlem Brundtland, Perdana Menteri Swedia.

1

2

Komisi Brundtland. 1987. Our Common Future (Hari Depan Kita Bersama).

Serageldin, Ismael. 1996. Sustainability and the Wealth of Nations [Keberlanjutan dan Kemakmuran Bangsa]. Washington, DC: Bank Dunia; Bank Dunia. 1995.

3

Monitoring Environmental Progress: A Report on Work in Progress [Memantau Kemajuan Lingkungan: Sebuah Laporan mengenai Kegiatan yang Sedang Berlangsung]. Washington, DC: Bank Dunia. 4

ibid.

Persatuan Bangsa-Bangsa. 1996. Indicators of Sustainable Development Framework and Methodologies [Kerangka Kerja dan Metodologi Pengukuran Pembangunan Berkelanjutan]. New York: PBB. 5

Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup. 2000. Indikator Pembangunan Berkelanjutan: Upaya Mencapai Kehidupan yang Makin Berkualitas. Jakarta: Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup dan Program Pembangunan PBB. 6

Divisi Kependudukan Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB). 1995. World Urbanization Prospects: The 1994 Revision [Prospek Urbanisasi Dunia: Revisi 1994]. New York: PBB. 7

8

Ibid.

9

Bank Dunia. 1994.

Indonesia Environment and Development: Challenges for the Future. Laporan No. 12083-IND, oleh the Environment Unit, Country Department III, East Asia and Pacific Region (March 21). Washington, DC: Bank Dunia. Dengan penerapan otonomi daerah, Depok telah berubah menjadi kota, sehingga kawasan yang dulu dikenal sebagai Jabotabek (Jakarta-BogorTangerang-Bekasi) sekarang menjadi Jabodetabek (Jakarta-Bogor-DepokTangerang-Bekasi). Di bagian-bagian lain dari tulisan ini perlu diingat bahwa istilah yang digunakan ‘Jabotabek’ maupun ‘kawasan penyangga Bogor, Tangerang dan Bekasi’ sebetulnya meliputi ‘Jabodetabek’ dan ‘kawasan penyangga Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi’ 10

29

Sari, Agus, dan Susantono, Bambang. 1999. The Blue Skies Initiatives: Voluntary Actions to Reduce Urban and Global Air Pollution in Jakarta, Indonesia [Inisiatif Langit Biru: Tindakan Sukarela untuk Mengurangi Pencemaran Udara Perkotaan dan Global di Jakarta, Indonesia]. Jakarta: Pelangi 11

Banyak kasus sengketa tanah yang terjadi di Jakarta dimana pemilik asli – yang pada umumnya penduduk lokal – dipaksa menjual tanahnya dengan harga murah kepada pengembang dengan ataupun tanpa memperoleh tanah pengganti. Di kemudian hari, pengembang dengan menambahkan beberapa fasilitas akan menjual tanah dengan harga yang berpuluh kali dari uang yang ia bayarkan kepada penduduk asli. Banyak kasus yang tersisa justru diperparah dengan hadirnya pihak ketiga yang menjadi perantara bagi keduanya – kasuskasus sengketa tanah di pengadilan negeri yang diakhiri dengan eksekusi hasil keputusan dalam bentuk pengusiran adalah bukti dari praktik ini.

12

Susantono, B. 1998. Transportation and Land Use Dynamics in Metropolitan Jakarta, dalam Berkeley Planning Journal 12:126-144. 13

14

ibid

15

ibid

16

ibid

Lihat misalnya tulisan oleh OB Server (1996). Corruption: A Major Problem for Urban Management: Some Evidence from Indonesia, Habitat International 20:23-41. 17

Ditjen Cipta Karya, Departemen PU. (1993). Jabotabek Management Development Project: Land Management Review 18

19

Ferguson dan Hoffman (1992)

Hal ini terbukti dengan terjadinya ‘banjir besar dan merata’ di seluruh DKI Jakarta pada awal tahun 2002. Ironis memang, bahkan kawasan paling elit sekalipun pada akhirnya mencicipi banjir yang sedikit-banyak disebabkan oleh menjamurnya permukiman mewah dengan perencanaan dan fasilitas umum yang tidak memadai 20

David Dowall dan Michael Leaf (1990). The Price of Land for Housing in Jakarta: An Analysis of the Effects of Location, Urban Infrastructure, and Tenure on Residential Plot Prices, Berkeley: Institute of Urban and Regional Development. 21

30 - Loe Loe, Gue Gue

lihat misalnya Michael Leaf (1991). Land Regulation and Housing Development in Jakarta, Indonesia: From Big Village to the Modern City, Unpublished Ph.D. Dissertation, Berkeley: University of California, juga oleh Lana Aksoro (1997). Unpublished Master Thesis, Boston: Massachusetts Institute of Technology 22

Susantono, Transportation and Land Use Dynamics in Metropolitan Jakarta, Berkeley Planning Journal 12:126-144, 1998 23

24

Sari, A. dan B. Susantono. 1999. Blue Skies.

25

Ibid.

Dinas Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (DLLAJ). 2001. Kebijakan Masa Depan Pengelolaan Angkutan Umum di DKI Jakarta dalam Rangka Perlindungan terhadap Lingkungan dan Peningkatan Pelayanan terhadap Masyarakat. Jakarta: Pemda DKI Jakarta (Maret 2001). 26

Diskusi Panel MTI-MASKA-BAPPENAS Tentang Angkutan KA Perkotaan, Pengembangan Angkutan KA Perkotaan & Upaya Peningkatan Pelayanan (30 September 1998) 27

28

Kompas, 20 Maret 2001.

Dalam perjalanannya, Pemda DKI Jakarta mengajukan banding ke pengadilan tinggi Jakarta. Pengajuan banding ini ternyata dimenangkan oleh Pemda DKI pada tahun 2001. Hal ini ditandai dengan kegiatan penertiban becak besarbesaran pada periode Agustus-September 2001 yang menelan biaya hingga 2,4 milyar rupiah. Namun demikian, upaya mendapatkan perlindungan hukum terhadap keberadaan becak di Jakarta dilakukan dengan mengajukan permohonan kasasi terhadap keputusan pengadilan tinggi oleh perwakilan pengemudi becak ke Mahkamah Agung. Setelah melalui masa yang cukup lama, pada tahun 2003 Mahkamah Agung memenangkan Pemda DKI Jakarta. Sejak saat itu becak menjadi moda transportasi ilegal dan dilarang beroperasi di seluruh wilayah Jakarta. 29

Perbaikan sistem pendidikan dan pendanaannya belum berlangsung hingga saat ini, bahkan sejak tahun ajaran 2001/2002 terjadi peningkatan biaya pendidikan yang rata-rata peningkatan per tahunnya adalah 10 persen. 30

Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta (DKI). 1999. Neraca Kualitas Lingkungan Hidup Daerah, Buku II, Rangkuman Deskriptif. Jakarta: DKI 31

32

Republika (Januari 2001).

31

33

Wawancara (2 April 2001).

Lewis Mumford. 1961. The City in History: Its Origins, Its Transformations, and Its Prospects. New York: Harcourt Brace. 34

Lynch, Kevin. (1990). A Good City Form. (Seventh Printing), Cambridge; The MIT Press

35

Allan Jacobs dan Donald Appleyard, Toward an Urban Design Manifesto, 1987. 36

37

Jacobs, Jane (1961). The Death and Life of American Cities.

Edward Blakeley and Mary Gail Sneider. 1995. “Gated Communities”, dalam Planner Magazine

38

Hal yang serupa juga terjadi pada tahun 2002 dan 2003 misalnya di kawasan Kebon Jeruk dimana warga lokal – yang pada umumnya memiliki tingkat kesejehteraan lebih rendah – melakukan penyerangan ke kawasan permukiman mewah

39

Wawancara dengan Sdr. Ahmad Safrudin, Koordinator Komite Penghapusan Bensin Bertimbal. 40

Shah, J. J., T. Nagpal. 1997. Urban Air Quality Management Strategy in Asia. 41

42

Ibid.

KPPL dan Bapedalda DKI Jakarta sekarang berubah nama menjadi Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup (BPLHD) DKI Jakarta 43

Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah DKI Jakarta, Laporan Lingkungan Jakarta Tahun 1998-1999 – Udara dan Kebisingan, 1999 44

45

Shah, J. J., T. Nagpal. 1997 (op cit.)

Soekirno dan Kusen Suseno, Tahun 2003, Warga Jakarta Bakal Kehausan!, Intisari, Juni 1999 46

Pusat Penelitian Pengembangan Perkotaan dan Lingkungan (P4L), sekarang berubah menjadi BPLHD DKI Jakarta

47

48

ibid

32 - Loe Loe, Gue Gue

49

ibid

50

ibid

51

ibid

Meskipun pada awal tahun 2004 telah dikembangkan sistem busway Transjakarta, tetapi masih sangat jauh dari kebutuhan masyarakat – apalagi masyarakat miskin perkotaan. Sistem ini harus dikembangkan di jalur-jalur lain dan harus diintegrasikan dengan sistem angkutan umum lain yang tersedia termasuk angkutan kereta api Jabotabek misalnya. 52

Suatu ironi yang harus diakui – masyarakat miskin justru memberikan subsidi kepada masyarakat kelas menengah ke atas yang memanfaatkan kendaraan pribadinya di jalan umum yang didanai oleh pajak. 53

33

Sekilas Pelangi Pelangi adalah sebuah lembaga penelitian independen yang aktif melakukan penelitian di bidang energi, kehutanan, transportasi, polusi udara, dan perubahan iklim untuk menuju pembangunan yang berkelanjutan. Pelangi memulai debutnya di tahun 1990 sebagai “think-tank” informal untuk isu-isu pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan bagi gerakan LSM. Pada 27 Maret 1992 Pelangi berdiri secara resmi untuk menjaga kesinambungan pelayanannya. Pelangi berharap bisa menjembatani kesenjangan informasi teknis yang erat berhubungan dengan pengembangan berbagai kebijakan pemerintah yang akan berdampak pada hajat hidup masyarakat sipil di Indonesia. Penelitian-penelitian yang dilakukan oleh Pelangi selalu dijaga kemandiriannya untuk mencerminkan kepeduliannya dalam mencari bentuk pembangunan yang berkeadilan sosial secara ekologis dan ekonomis. Sumberdaya Energi Kegiatan penelitian dan kampanye yang dilakukan Pelangi saat ini lebih mengarah pada kebijakan yang berkaitan dengan energi, terutama energi sekunder. Tidak berhenti hanya di sini, di masa yang akan datang, penelitian dan kampanye juga akan dilakukan berkaitan dengan sumberdaya energi yang terbarukan serta pemanfaatan energi yang bersih dan efisien. Saat ini, fokus utama penelitian Pelangi adalah mengenai isu restrukturisasi di sektor ketenagalistrikan, baik secara individual maupun dalam jaringan. Bekerja sama dengan World Resource Institute, Pelangi berhasil mengkontribusikan satu chapter mengenai proses restrukturisasi dalam sebuah buku yang akan segera diterbitkan oleh WRI. Kepentingan publik yang terancam oleh restrukturisasi sektor ketenagalistrikan juga tidak luput dari pandangan Pelangi. Bersama International Energy Inititatives (IEI) dan organisasi non-pemerintah (ornop) lain di 7 negara (Ghana, Thailand, South Africa, Pakistan, Brazil dan India), Pelangi melakukan penelitian mengenai bagaimana restrukturisasi sektor ketenagalistrikan dapat terus memenuhi kepentingan publik. Studi ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi penentuan kebijakan energi baik lokal maupun global.

34 - Loe Loe, Gue Gue

Diskusi mengenai isu ini juga dilakukan bersama dengan Energy Project, jaringan kerja ornop dari Afrika, Asia, Eropa Tengah, Eropa Timur dan Amerika Latin. Pada bulan Oktober 2001, Pelangi bersama-sama dengan Energy Project dan IIEE mengadakan roundtable workshop yang membahas mengenai restrukturisasi sektor ketenagalistrikan dan rancangan UU Ketenagalistrikan yang waktu itu menjadi wacana di DPR. Pelangi juga aktif melakukan lobby dan advokasi di sektor energi. Saat ini, Pelangi adalah anggota dari Koalisi Masyarakat Sipil untuk Masalah Ketenagalistrikan, koalisi yang aktif mengadvokasi pemerintah sehubungan dengan masalah ketenagalistrikan. Perubahan Iklim Pelangi terlibat secara aktif dalam berbagai event baik nasional maupun internasional mengenai perubahan iklim. Selama tahun 2000, Pelangi menjadi koordinator Global South Leadership Initiative (GSLI), yaitu suatu inisiatif negara-negara berkembang untuk mempersiapkan dirinya dalam berbagai negosiasi internasional mengenai perubahan iklim. Kegiatan yang dilakukan antara lain adalah dua lokakarya yang diikuti oleh perwakilan negara-negara berkembang baik yang berasal dari Asia, Afrika, maupun Amerika Latin. Dalam kedua lokakarya ini, bukan hanya perwakilan yang berasal dari ornop saja yang hadir tetapi juga negosiator yang ada dalam delegasi resmi dari berbagai negara tersebut. Dalam Conference of the Parties (COP-6) sesi ke-6 yang berlangsung di Den Haag, Pelangi memberikan masukan bagi delegasi resmi yang berupa tanggapan atas Proposal yang dikeluarkan oleh Jan Pronk sebagai Presiden COP-6. Pada kesempatan ini pula, GSLI mengeluarkan buku yang merupakan hasil kolaborasi berbagai negara di Asia dan Pasifik dengan judul “The Asia Pacific Region Speaks: Perspectives on Climate Change“. Selain itu, bersama dengan NET, Pelangi juga meluncurkan buku lain yang juga berisi perspektif negara berkembang yang berjudul “ Confronting Climate Change: Economic Priorities and Climate Protection in Developing Nations: A Climate of Trust Report”. Kegagalan COP-6 di Den Haag dan penarikan diri Amerika Serikat dari Protokol Kyoto mengakibatkan Pelangi harus bekerja lebih keras lagi demi menghindari gagalnya usaha dan negosiasi internasional yang telah berlangsung sejak tahun

35

1992. Dalam rangkaian COP-6 lanjutan di Bonn, Pelangi bersama dengan Heinrich-Boell Foundation telah melakukan lokakarya yang merupakan sesi nonnegosiasi antara negara-negara Uni Eropa dengan negara-negara anggota G-77 dan juga Cina. Peran dari workshop ini tidak dapat disangkal memberikan dukungan kepada negara-negara yang merupakan Party bagi UNFCCC untuk terus memperjuangkan Protokol Kyoto. Hasil yang dapat dikatakan memuaskan telah diperoleh dalam COP-6 lanjutan dengan adanya kesepakatan dari semua pihak untuk sesegera mungkin meratifikasi Protokol Kyoto bahkan tanpa Amerika Serikat. Dalam berbagai kegiatan ini, Pelangi secara langsung terlibat dalam negosiasi resmi dengan masuknya Agus Sari dalam delegasi Indonesia. Sementara itu, negosiasi juga dilakukan melalui jalur non-pemerintah dengan bergabung dalam Climate Action Network. Berkaitan dengan perubahan iklim, Pelangi juga terlibat secara aktif dalam berbagai studi mengenai Clean Development Mechanisms (CDM – Mekanisme Pembangunan Bersih) yang merupakan satu-satunya mekanisme dalam Protokol Kyoto yang melibatkan negara berkembang dalam pelaksanaannya. Satu di antara studi ini adalah National Strategy Studies (NSS) untuk sektor energi. Hasil studi ini bisa didownload di http://www.pelangi.or.id/program.php?pid=3. Studi ini antara lain menjelaskan potensi CDM di Indonesia, posisi Indonesia di dalam pasar karbon global, kerangka institusi nasional untuk implementasi CDM, project pipeline dan rekomendasi strategi untuk implementasi CDM. Selain itu bersama dengan 3 ornop di Brazil, Bangladesh dan Afrika Selatan, Pelangi tengah melakukan studi mengenai praktek penyiapan proyek bagi CDM. Studi ini yang dinamakan SSN (South South North) karena merupakan kerja sama antar negara-negara berkembang (south) dan antara negara-negara berkembang ini dengan negara maju (north), merupakan proyek eksperimen aplikasi mekanisme CDM dengan cara memfasilitasi 2 proyek pilot di masing-masing negara berkembang menjadi proyek CDM sampai pada tahap transaksi. Keterangan lebih lanjut bisa didapat di www.southsouthnorth.org. Dengan studi-studi, ini diharapkan mekanisme dalam pelaksanaan CDM bagi Indonesia dapat ditemukan dan pada saat yang bersamaan proses pengajuan kegiatan hingga pengakuannya serta institusi yang diperlukan dapat disusun. Pelangi juga mengembangkan sebuah model kuantitatif aplikasi dari mekanisme yang terdapat dalam Protokol Kyoto. Model ini sangat berguna untuk membantu melakukan analisa-analisa dari berbagai kebijakan dalam bidang perubahan iklim

36 - Loe Loe, Gue Gue

dan implementasi dari peraturan-peraturan yang diatur dalam Protokol Kyoto. Dalam model ini, diperlihatkan bagaimana keseimbangan yang terjadi dalam pasar karbon global sebagai implikasi dari pilihan-pilihan kebijakan yang diambil sehubungan dengan politik dalam perubahan iklim. Transportasi dan Pencemaran Udara Sebagai bagian dari kampanye Life After Oil, Pelangi secara aktif juga terlibat dalam penelitian dan kampanye mengenai sistem transportasi yang berkelanjutan (sustainable transport). Pemilihan isu transportasi sebagai bidang kajian Pelangi sangat erat kaitannya dengan kontribusi yang diberikan oleh sektor transportasi terhadap emisi gas rumah kaca baik di Indonesia, yang bersama dengan sektor energi telah menyumbangkan 25% dari total emisi, maupun di Jakarta sebesar 70%. Penelitian dan kampanye yang dilakukan adalah untuk mendukung program pemasyarakatan penggunaan kendaraan tidak bermotor dan berjalan kaki pada jarak perjalanan yang relatif pendek dan mendorong Pemda DKI untuk merealisasikan pembangunan infrastruktur untuk kendaraan tidak bermotor di beberapa ruas jalan di DKI Jakarta. Bersama dengan Infortrans (Indonesia NGO Forum for Sustainable Transport) dan SUSTRAN-Asia Pacific (Sustainable Transport Action Network for Asia and the Pacific), keduanya merupakan jaringan kerja untuk transportasi berkelanjutan di Indonesia dan Asia-Pasifik, Pelangi terlibat dalam melakukan uji lapangan bagi kartu penilaian tata pemerintahan yang baik bagi sektor transportasi. Salah satu upaya yang telah dilakukan Pelangi untuk mewujudkan sistem transportasi yang bersahabat, adalah dengan menyelenggarakan kegiatan diskusi Busway di kalangan pemerintah DKI Jakarta, Pemerintah Pusat, dan kalangan akademisi serta LSM, bersama dengan Institute for Transportation and Development Policy (ITDP) dan SUSTRAN-Asia Pacific. Kegiatan diskusi ini belakangan diakui banyak pihak sebagai salah satu faktor penting dalam mendukung keputusan legislative untuk menyetujui pembangunan BRT (Bus Rapid Transit) sebagai tulang punggung system transportasi di Jakarta. Kegiatan lain yang tidak kalah pentingnya adalah peran aktif dalam pembahasan draft Kepmen LH mengenai Baku Mutu Emisi Tipe Baru bagi kendaraan bermotor yang akan dipasarkan dan dioperasikan di Indonesia yang diselenggarakan oleh Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup.

37

Dari sisi dampak, selain dampak yang berupa perubahan iklim, Pelangi bekerja sama dengan KPBB (Komite Penghapusan Bensin Bertimbal) dan beberapa organisasi lain dalam melakukan kampanye udara bersih, termasuk di dalamnya adalah rencana untuk mengadakan dana khusus bagi penanganan pencemaran udara, yang akan dimulai dengan Jakarta. Dengan adanya dana khusus yang berasal dari masyarakat ini, diharapkan penanganan permasalahan udara dapat dilaksanakan lebih cepat, tepat dan terintegrasi. Bersama dengan Swisscontact, KPBB, Bapedal dan BPLHD DKI Jakarta, Pelangi terlibat aktif dalam pembentukan Forum Mitra Emisi Bersih, yaitu forum multi stakeholder yang bertujuan untuk melaksanakan strategi menurunkan emisi kendaraan yang lebih komprehensif. Saat ini Pelangi menjadi lead person dalam kelompok kerja transportasi di forum ini.

38 - Loe Loe, Gue Gue

More Documents from "Rujak"