Liberalisasi

  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Liberalisasi as PDF for free.

More details

  • Words: 4,874
  • Pages: 14
AGENDA RAKYAT MENGATASI KRISIS EKONOMI Jaringan Kerja Budaya | Maret 2001 Pengantar Indonesia sekarang berada dalam situasi ekonomi yang paling buruk dalam sejarahnya. Pemerintahan Abdurrahman Wahid, yang disebut sebagai pemerintahan demokratis pertama dalam puluhan tahun terakhir, belum mampu memperbaiki situasi porak-poranda yang diwariskan oleh rezim Orde Baru. Dengan nasehat dan tekanan dari lembaga keuangan internasional serta para `pakar ekonomi', pemerintah justru mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang jelas tidak menguntungkan rakyat. Misalnya saja Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau APBN. Tidak perlu menjadi ahli atau `pakar ekonomi' untuk tahu bahwa APBN yang disusun oleh pemerintah sekarang tidak adil. Salah satu sumber pendapatan negara adalah pajak yang dibayar rakyat. Dalam tahun anggaran 2001 pajak penghasilan diperkirakan jumlahnya mencapai Rp 54,22 trilyun atau 53% dari total pendapatan pajak. Apakah adil jika kemudian sebagian besar dana itu digunakan untuk pengeluaran yang tidak ada kaitannya dengan kepentingan rakyat? Dalam RAPBN itu dikatakan bahwa pembayaran hutang luar negeri akan sebesar Rp 54,62 trilyun. Artinya seluruh dana yang dikumpulkan susah payah dengan cara banting tulang oleh rakyat akan habis dalam sekejap untuk membayar hutang-hutang yang dibuat oleh rezim Soeharto, perusahaan keluarga dan kroninya di masa lalu. Sementara sektor pendidikan hanya akan menerima dana Rp 11,22 trilyun, yang hanya cukup untuk membayar gaji guru dan memperbaiki sebagian gedung sekolah yang rusak parah. Itulah gambaran nyata ekonomi kita sekarang. Sekarang ini pemerintah juga akan mengurangi subsidi di berbagai bidang, terutama BBM dan kebutuhan pokok, dan sisi lain mencari peluang apa saja untuk menaikkan pendapatannya. Semua langkah itu tertuang dalam kesepakatan dengan IMF (Dana Moneter Internasional), yang rupanya sekarang sudah menjadi menteri keuangan de facto di Indonesia. Akibatnya sudah jelas. Harga bahan pokok akan melonjak tinggi, yang pasti disusul oleh harga-harga lainnya. Makanan tidak terbeli dan orang semakin susah berpergian karena biaya transportasi semakin mahal saja. Dan semakin banyak anak-anak yang tidak bisa meneruskan sekolah karena pemerintah tidak punya uang untuk membiayai mereka. Dalam RAPBN 2001 terlihat bahwa dana kesejahteraan rakyat terus berkurang, karena pemerintah harus menyimpan uangnya untuk membayar hutang luar negeri dan menyuntik modal kepada bank serta perusahaan yang bangkrut. Hasil lain dari krisis adalah ditutupnya sejumlah besar perusahaan. Para pengusaha yang menikmati `kejayaan' Orde Baru selama bertahun-tahun mulai

angkat kaki ketika melihat pelindungnya kesulitan. Akibatnya banyak sekali orang dipecat dan menjadi pengangguran, yang menurut pemerintah sendiri sudah mencapai angka 19 juta orang. Para pengusaha beralasan bahwa krisis membuat mereka bangkrut dan tidak dapat melanjutkan kegiatannya di Indonesia. Padahal yang terjadi sesungguhnya, para pengusaha ini melarikan diri dari tanggung jawab membayar hutang dan menyerahkan semua urusan mereka kepada pemerintah. Sebagian uang mereka bawa ke tempat lain untuk membuka perusahaan baru, dan pemerintah tidak bisa berbuat apa-apa untuk mencegah apalagi menghukum mereka. Penderitaan pun berlipat-lipat, jutaan orang yang dipecat ini pun masih harus ikut menanggung beban hutang yang ditinggalkan oleh bekas majikan mereka. Mereka yang masih bertahan sebagai buruh atau pegawai pun tidak lebih baik nasibnya. Dalam dua tahun terakhir tingkat upah merosot drastis. Sekalipun jumlah uang yang diterima (upah nominal) itu bertambah, tapi daya belinya semakin merosot. Menurut Bank Indonesia, pada bulan Januari 1997 upah minimum buruh masih cukup untuk membeli 6,27 kilogram beras per hari. Tapi pada bulan Juni 1998, atau satu setengah tahun kemudian, upah yang sama hanya cukup untuk membeli 2,64 kilogram beras. Pada hari raya buruh dan pegawai kecil biasanya diharapkan mengirim uang ke kampung atau membawa oleh-oleh dari kota besar. Tapi kenyataannya, banyak buruh dan pegawai kecil yang tidak jadi pulang kampung karena tidak punya uang atau harus kerja lembur untuk bertahan hidup. Pemotongan dana kesejahteraan oleh pemerintah seperti disebutkan di atas, jelas akan membuat kehidupan buruh dan pegawai semakin berat saja. Jika melihat kebijakan ekonomi sekarang, masa depan bahkan semakin suram. Tingkat kemiskinan dan penderitaan diperkirakan akan semakin parah, sungguh terbalik dengan janji-janji para `pakar ekonomi', anggota DPR dan pejabat pemerintah yang mengatakan bahwa situasi sekarang sudah mulai membaik. Tentu saja, bagi mereka yang bergelimang jabatan dan harta krisis itu tidak terasa. Sayangnya gaji besar yang mereka terima tidak pernah dipakai untuk berjalan ke kampung-kampung dan melihat bahwa semakin banyak orang yang akan dipaksa bekerja 10-12 jam sehari dengan upah yang bahkan tak cukup untuk memenuhi kebutuhan paling dasar sekalipun. Terlepas dari janji-janji indah yang mereka berikan selama dua tahun terakhir, tidak ada pejabat atau ahli yang bisa menjamin bahwa kebijakan pemerintah sekarang akan membawa kesejahteraan. Mereka selalu berbicara bahwa kebijakan ekonomi sekarang memang merupakan `pil pahit' yang harus ditelan agar perekonomian sedikit lebih sehat. Tapi coba kita tanya kepada mereka, negeri mana di dunia yang bisa membaik keadaan ekonominya jika mengikuti kebijakan ekonomi seperti

diterapkan pemerintah sekarang? Pengalaman rakyat di Afrika dan Amerika Latin adalah pelajaran berharga. Pada tahun 1980-an puluhan negeri di kedua wilayah itu jatuh dalam perangkap hutang dan terpaksa mengikuti kebijakan `mengencangkan ikat pinggang' seperti Indonesia sekarang. Dana kesejahteraan dipotong, subsidi untuk rakyat dikurangi, karena pemerintah harus menanggung hutang rezim-rezim sebelumnya, baik yang dibuat oleh swasta maupun pemerintah sendiri. Dan para pemimpin yang baru dengan dukungan para `pakar' selalu mengatakan hal yang sama: "Rakyat harus bersabar, keadaan sekarang memang sulit, tapi ini semua hanya berlangsung sebentar. Ekonomi akan segera membaik dan kita semua akan hidup sejahtera." Di bawah bimbingan IMF dan Bank dunia pemerintah di masing-masing negeri merumuskan `strategi pembangunan baru' yang disebut `program penyesuaian struktural' (structural adjustment program). Tapi apa yang terjadi kemudian? Semua negeri yang mengikuti kebijakan ekonomi itu masih hidup dalam jeratan hutang yang bahkan lebih besar dan standar hidup rakyatnya semakin buruk saja. Sebenarnya istilah `pil pahit' itu sama sekali tidak tepat. Kebijakan `mengencangkan ikat pinggang' bukan hanya pahit rasanya, tapi juga membunuh. Kebijakan itu sama sekali bukan pil atau obat untuk menyembuhkan apapun. Para ahli ekonomi yang mendukung kebijakan itu mirip seperti dukun di zaman kuno yang bilang bahwa pengorbanan jiwa anak yang masih suci bisa membuat tanah lebih subur dan memanggil hujan. Tapi kita tahu pengorbanan jiwa tidak pernah membuat tanah subur dan membawa kemakmuran di zaman kuno, dan sekarang pun tidak. Dengan kata lain tidak ada kebijakan ekonomi yang membawa kemakmuran jika dimulai dengan penderitaan, apalagi kematian, bagi mayoritas rakyat. Ada juga pemerintah dan ahli ekonomi yang menyadari kelemahan program ekonomi mereka, tapi kemudian berdalih dan mengatakan "kita tidak punya pilihan lain".. Kata-kata itu mirip mantra yang terus diulang walau tak pernah terbukti ampuh. Apa yang mereka katakan itu sebenarnya bohong belaka. Tentu saja masih banyak alternatif bagi kita. Perekonomian itu bukan seperti organisme biologis yang mengikuti hukum-hukum alam. Perekonomian adalah buatan manusia, atau lebih tepatnya produk dari sebuah masyarakat. Dan karena itu kita bisa mengubahnya, dan jelas masih banyak pilihan yang tersedia bagi kita. Ucapan kaum elit dan para ahli bahwa kita tidak punya pilihan lain selain membuat rakyat semakin sengsara untuk `memetik hasilnya di masa datang', hanya menunjukkan kebangkrutan mereka secara intelektual dan tidak adanya komitmen pada kepentingan bersama. Sudah jelas bahwa kita tidak bisa berharap pada kaum elit untuk menyelesaikan masalah-masalah ekonomi

bangsa ini. Tak satupun partai politik di DPR yang punya rencana alternatif menghadapi krisis sekarang. Bahkan di tengah kesulitan seperti sekarang banyak pejabat yang masih tega mencuri dana anggaran untuk kepentingan pribadi. Tahun 2000 Badan Pemeriksa Keuangan menyatakan bahwa 95% dana BLBI yang diambil dari anggaran pemerintah ternyata bocor dan menguap entah ke mana. Karena itulah kita, sebagai warga biasa, harus punya rencana sendiri. Jika kita punya rencana yang jelas kita bisa menekan pemerintah untuk menjalankannya dan juga bertindak langsung sesuai kemampuan masing-masing. 1. Sita Kekayaan Soeharto dan Antek-anteknya Kekayaan Soeharto sendiri diperkirakan mencapai sekitar US$40 milyar, sementara jika digabung dengan kekayaan anak, keluarga, dan antek-anteknya, mungkin jumlahnya setara dengan total hutang luar negeri Indonesia. Terlalu banyak saksi dan bukti bahwa harta itu umumnya diperoleh dengan cara-cara tidak sah, mulai dari merampas tanah petani dengan kekerasan sampai pada manipulasi kredit yang akhirnya menciptakan hutang luar negeri yang luar biasa besar. Para pengusaha sendiri mengeluh bahwa dalam setiap proyek yang diserahkan penanganannya pada swasta, mereka harus menghadapi pengusaha keluarga Cendana. Setelah Soeharto mundur mulai dilakukan pemeriksaan terhadap keluarga Cendana dan antek-anteknya, tapi hanya terbatas pada kasus-kasus kecil seperti manipulasi yang dilakukan Hutomo Mandala Putra alias Tommy Soeharto, Siti Hardijanti Rukmana alias Tutut dan Bob Hasan. Soeharto sendiri diperiksa karena dianggap menyalahi aturan yayasan yang dikelolanya, bukan karena menggelapkan uang negara milyaran rupiah sebagai presiden. Sudah jelas bahwa hasil pemeriksaan itu takkan dapat menjangkau harta keluarga itu dan antek-anteknya yang tersebar di seluruh dunia. Pemerintah sebenarnya tidak perlu menunggu proses hukum dan pembuktian terlalu lama, karena sistem hukum memang dibuat sedemikian rupa pada masa kekuasaan Soeharto sehingga tidak mungkin dipakai untuk menangani kasus-kasus seperti itu. Lihat saja bagaimana para pengacara keluarga Soeharto `atas nama hukum' melakukan pembelaan, mencari setiap celah untuk melindungi klien dengan bermacam-macam alasan. Lalu kasus kaburnya Tommy Soeharto setelah divonis hukuman penjara, penolakan anggota keluarganya yang lain untuk diperiksa oleh polisi dan kejaksaan. Sudah jelas bahwa hanya tindakan drastis dari pemerintah dengan menyita seluruh aset keluarga Cendana yang dapat menyelesaikan persoalan itu, dan disusul kemudian dengan proses hukum terhadap setiap individu yang terlibat di dalamnya. Rakyat sementara itu sebenarnya sudah bergerak lebih dulu dengan menduduki dan mengambil alih dan menduduki

sejumlah aset keluarga Soeharto dan antek-anteknya. Masalahnya aksi-aksi itu, seperti dalam kasus peternakan Tapos di Bogor, masih berlangsung sporadis, spontan dan kadang dengan mudah berubah menjadi `kerusuhan' karena adanya provokasi yang ingin mengacaukan aksi seperti itu. Seharusnya ada kerjasama antara lembaga-lembaga yang selama ini mempelajari dan menelusuri masalah korupsi, baik dari pemerintah maupun LSM, dengan aksi-aksi rakyat yang diserukan mahasiswa dan sudah dijalankan oleh rakyat itu, menjadi sebuah gerakan sistematis dan non-kekerasan. Semua aset dan kekayaan yang diperoleh dengan cara tidak sah itu memang sepantasnya dijadikan milik negara dan pengelolaannya dilakukan bersama dengan rakyat. 2. Hentikan Korupsi dan Adili Para Pelaku Korupsi adalah masalah laten birokrasi negara selama puluhan tahun. Di masa Soeharto, korupsi merajalela dan warisannya terus dirasakan sampai sekarang. Arus reformasi yang konon bertujuan membersihkan birokrasi dari penyimpangan dan penyelewengan ternyata tidak berhasil.. Dalam tahun anggaran 1999/2000 Badan Pemeriksa Keuangan menemukan 929 buah penyimpangan dengan nilai Rp 166 trilyun atau 71% dari total realisasi anggaran yang diperiksa. Kasus terbesar adalah penyimpangan dalam penyaluran dana BLBI sebesar Rp 138 trilyun atau 95,78% dari keseluruhan dana yang disalurkan. Artinya kurang dari 5% dana yang sungguh-sungguh disalurkan sesuai dengan program kerja dan aturan yang berlaku. Selanjutnya masih ada kasus-kasus Yanatera Bulog, korupsi di yayasan-yayasan milik Markas Besar TNI dan Polri, serta komputerisasi administrasi SIM yang keseluruhannya mencapai Rp 5,2 trilyun. Artinya sekitar dua pertiga dari pengeluaran negara telah diselewengkan, entah masuk ke kantong pribadi para pejabat, atau untuk melunasi hutang dan mengatasi masalah-masalah yang ditinggalkan oleh rezim Orde Baru dan manipulasi lainnya. Saat ini proses pemeriksaan terhadap para pejabat yang melakukan kejahatan ini sangat lamban. Mereka yang terlibat dengan cepat bisa memindahkan uang yang dicuri ke bank-bank di luar negeri atau `menitipkannya' kepada rekening milik saudara dan kroninya. Gerak lambat pemerintah membuat mereka leluasa bergerak dan bahkan mengulangi kejahatan yang sama, seperti terbukti masih terus terjadi kebocoran dan penyimpangan sebanyak Rp 16,5 trilyun pada tahun anggaran selanjutnya. Sungguh mengenaskan bahwa jumlah sebanyak itu lenyap di tangan para birokrat sementara jutaan orang terpaksa hidup di bawah garis kemiskinan. Adalah kewajiban tiap warga negara untuk memerangi korupsi dan karena pemerintah terlihat lambat kita perlu juga memikirkan tindakan-tindakan langsung untuk memerangi dan mencegahnya. BPK seharusnya mengumumkan

daftar penyelewengan beserta nama departemen serta pejabat yang terlibat di dalamnya. Rakyat bisa langsung memberikan sanksi sosial seperti pengucilan dari pergaulan masyarakat, serta tuntutan terus-menerus agar para koruptor ini diadili. Jika pemerintah masih bersikap lamban, maka tidak ada salahnya jika dilakukan tindakan penyitaan aset yang jelas-jelas merupakan hasil korupsi, dan menjadikannya milik negara. DPR perlu didesak mengeluarkan undang-undang tentang hak warga negara melakukan penangkapan terhadap para koruptor, yang di negeri lain dikenal dengan sebutan `citizen arrest' (penangkapan oleh warga). Tanpa tindakan drastis semacam itu korupsi tidak akan mungkin dihentikan. Para `pakar ekonomi' pasti akan berteriak panik: "Itu tindakan anarkis!" dan meminta pemerintah menghentikannya. Tapi bagi kita itulah jalan terakhir, sebagai pemilik negeri ini, untuk menghentikannya karena pemerintah, apalagi para `pakar ekonomi' itu tidak bisa memberikan jalan keluar yang cepat dan jelas. 3. Batalkan Hutang Luar Negeri Jumlah hutang pemerintah kepada bank-bank asing sekarang sudah mencapai US$ 145 milyar atau sekitar 92% dari GDP. Cicilan hutang setiap tahunnya menghabiskan 45% dari total pendapatan pemerintah. Sudah jelas bahwa hutang itu takkan takkan mampu dibayar kembali oleh Indonesia, apalagi jumlahnya setiap tahun berlipat-lipat karena bunga pinjaman. Tapi pemerintah terus berusaha untuk membayar setiap dolar walau itu berarti mengorbankan kepentingan rakyat. Menurut pemerintah dan para ahli, jika kita tidak membayar hutang itu maka International Monetary Fund (IMF) dan bank-bank asing tidak mau meminjamkan uang mereka. Para pejabat di lembaga-lembaga keuangan internasional itu akan menyebut Indonesia tak bisa dipercaya dan bahkan berkhianat terhadap norma-norma internasional. Para kapitalis internasional akan menyebut kita kriminal karena tidak mau membayar hutang. Lalu semua investor akan menarik modal mereka dan perekonomian semakin ambruk. Ocehan seperti itu kita dengar setiap hari, tapi mari kita lihat apa fakta sesungguhnya. Sesungguhnya IMF dan bank-bank asing itulah yang kriminal karena memaksa pemerintah membayar kembali pinjaman yang dikucurkan pada masa kekuasaan rezim Soeharto. Para pejabatnya tahu persis bahwa pinjaman itu selalu bocor karena dicuri oleh para pejabat atau dialihkan kepada para kroni keluarga Soeharto untuk kepentingan mereka. Tapi setiap tahun lembaga-lembaga itu mengeluarkan laporan yang memuji kinerja ekonomi rezim Soeharto dan bahkan menggolongkannya sebagai salah satu `keajaiban Asia'.. Sikap itu dipertahankan selama puluhan tahun, dan tak sekali pun para pejabat IMF dan bank-bank asing itu mengeluh apalagi menghentikan pinjamannya

kepada rezim Soeharto Rakyat Indonesia sendiri tidak pernah diajak bicara ketika rezim Soeharto menerima pinjaman itu, apalagi ketika Soeharto dan antek-anteknya menghamburkan uang itu atau mencurinya dari kas negara. Memang mereka bicara dengan DPR, tapi tentu saja selama kekuasaan Soeharto lembaga itu saat itu tidak mungkin dijadikan ukuran, karena Golkar dan partai-partai tidak lain ikut menikmati banjir dana itu baik secara langsung atau `jalan belakang'. Boleh dibilang bahwa kalangan elit politik dan `pakar ekonomi' semasa Orde Baru ikut bertanggung jawab karena menjerumuskan republik ini ke dalam pusaran hutang yang mengerikan. Di bawah hukum internasional, hutang yang diberikan kepada pemerintah yang tidak mewakili rakyatnya disebut `odious debt' (hutang najis) dan masyarakat yang hidup di bawah pemerintahan seperti itu tidak perlu membayar hutang itu kembali. Pemerintah Gus Dur sekarang berhak menolak membayar hutang itu kembali. Bank-bank swasta di Jepang, Eropa dan Amerika Serikat yang meminjamkan uang mereka kepada Soeharto tahu persis apa resikonya. Tidak ada hukum di bawah kapitalisme yang memberi hak kepada pemilik bank untuk menuntut balik pinjaman yang bermasalah dan penuh resiko. IMF dengan begitu melawan hukum pasar bebas dengan menuntut negeri seperti Indonesia untuk membayar kembali hutang najis. Lembaga ini seperti centeng yang menjamin bank-bank swasta memperoleh kembali uang yang sebenarnya tidak berhak mereka dapat. Jika IMF dan bank-bank asing ingin menuntut pemerintah Gus Dur ketika menggunakan haknya untuk menolak membayar hutang, mari kita bawa perselisihan itu ke pengadilan internasional. Pemerintah Indonesia bisa menang dalam kasus itu, dan justru IMF serta bank-bank asing yang selama bertahun-tahun mendukung kediktatoran Soeharto dengan meminjamkan uang mereka akan menghadapi badai kritik dari seluruh penjuru dunia. Banyak dari kita yang mungkin belum pernah mendengar gerakan internasional untuk menghapus hutang negeri-negeri Dunia Ketiga yang mirip situasinya dengan Indonesia dan berhadapan dengan IMF serta bank-bank di negeri industri maju. Opini publik internasional tentunya akan berada di pihak Indonesia karena semua orang tahu betapa korup dan brutalnya rezim Soeharto selama 32 tahun. Jika mereka mengkritik rezim Soeharto dan berpihak pada rakyat yang menjadi korbannya, tentu mereka tidak akan mendukung lembaga-lembaga yang mendukung rezim Soeharto secara finansial dan akan membuat rakyat Indonesia menjadi korban kesekian kalinya dengan menagih hutang warisan Soeharto. Para ahli ekonomi pasti berteriak. "Tidak masuk akal! Kita akan hancur kalau menolak membayar hutang!" Itu

tidak benar. Perekonomian tidak akan lebih parah dari sekarang jika hutang itu tidak dibayar. Justru kebijakan `mengencangkan ikat pinggang' itulah yang akan menghancurkan hidup kita. IMF sudah mendesak pemerintah agar segera memberlakukan kebijakan itu sebagai prasyarat untuk menerima pinjaman. Dana yang mereka kucurkan tidak membawa keuntungan apapun karena persyaratannya begitu berat. Dan lebih penting lagi tidak satu sen pun dari uang `pinjaman' itu akan sampai ke tangan rakyat. IMF akan mengirim `pinjaman' itu kepada Bank Indonesia, yang akan langsung menyetornya kembali ke bank-bank di Jepang, Eropa dan Amerika Serikat sebagai pelunasan hutang. Untuk `jasa' IMF meminjamkan uang kepada pemerintah agar bisa melunasi hutang-hutang lama Soeharto, kita dipaksa menerima kebijakan `mengencangkan ikat pinggang' itu. Sangat tidak masuk akal bahwa kita harus menderita karena membayar hutang yang tak pernah kita rasakan manfaatnya. Mari kita lihat kenyataan secara jernih. IMF bukanlah `dewa penyelamat' yang prihatin terhadap ekonomi Indonesia. Lembaga itu dan bank-bank asing hanya mau mengeruk keuntungan dari kita. Dan tentunya, sebagai pemilik bank yang baik, mereka mau mengeruk keuntungan sebesar-besarnya. Mereka tidak tertarik pada perkembangan ekonomi Indonesia apalagi nasib rakyatnya. Karena itu kita harus menghimpun kekuatan untuk menentang kebijakan mereka yang merugikan. Kita tidak bisa bersikap mengikuti apa saja yang dikatakan IMF seperti yang dilakukan pemerintah Gus Dur sekarang. Kwik Kian Gie dan Rizal Ramli sama saja, keduanya hanya mengekor kepada keinginan IMF. Bahkan Kwik Kian Gie mengatakan pencapaian terbesar semasa menjadi menteri adalah penandatanganan letter of intent dengan IMF _ sebuah dokumen yang disusun oleh IMF sendiri! Dan ahli-ahli ekonomi sekarang bertindak seperti pengawas yang melihat apakah langkah-langkah pemerintah sudah cukup menyenangkan para pejabat IMF. Jika kita mengatakan pemerintah harus melawan IMF dan bank-bank asing, para ahli ekonomi akan melecehkan: "Kalian mau membuat Indonesia terasing dari perdagangan dunia dan kembali ke zaman Soekarno. Itu tidak mungkin!"Anggapan mereka salah sama sekali. Kita tidak mengatakan agar Indonesia menolak semua pinjaman. Usul kita agar Indonesia punya posisi tawar yang lebih kuat di hadapan bank-bank asing dan lembaga keuangan internasional. Tujuannya agar Indonesia bisa menyuarakan kepentingannya sendiri bukan mengekor kepada kepentingan IMF atau bank asing, dan berhenti bersembah-jongkok melayani tuntutan kriminal lembaga-lembaga itu. Indonesia seharusnya terlibat dalam pergaulan internasional dengan aturannya sendiri, bukan dengan aturan-aturan yang ditetapkan para lintah darat di Washington, London atau Tokyo. 4. Hentikan Penjarahan Uang Rakyat untuk Bayar Hutang

Swasta Kejahatan Orde Baru masih berlangsung sekalipun Soeharto sudah turun tahta. Selama 32 tahun diperkirakan para pengusaha swasta membuat hutang US$57,7 milyar dan sekarang jumlah luar biasa besar itu akan dibebankan kepada rakyat. Caranya sederhana saja. Perusahaan yang punya hutang luar biasa besar itu mengaku bangkrut, lalu menyerahkan semua urusan hutangnya kepada pemerintah. Aset-aset perusahaan yang tidak seberapa nilainya diserahkan kepada pemerintah, dan urusan dianggap selesai. PT Chandra Asri punya hutang sebesar US$600 juta kepada Bank Marubeni dan Japan Bank for International Cooperation. Pemiliknya kemudian mengaku bangkrut, dan tidak bisa mengembalikan pinjaman. Ia mendatangi pemerintah dan menyerahkan aset yang jika nilainya tidak sampai 10% dari hutangnya. Begitu pula dengan bank-bank yang bangkrut karena para pengusaha yang meminjam uang kepada mereka tidak dapat membayarnya kembali. Ada yang mengaku terus terang, dan ada juga yang lari begitu saja. Masalahnya tambah parah karena sebenarnya pemilik bank dan perusahaan itu sebenarnya dari lingkaran bisnis yang sama. Jadi prosesnya mirip sekali dengan kejahatan terencana. Para pengusaha, yang kebanyakan adalah kroni keluarga Cendana, membuka bank dan lembaga keuangan lainnya lalu mengajukan kredit kepada bank-bank asing. Dana yang dikucurkan kemudian mereka `pinjamkan' kepada para pengusaha kroni itu untuk dipakai apa saja. Ada yang menggunakannya untuk membuat usaha, tentunya dengan bantuan keluarga Soeharto, tapi ada juga yang mencurinya begitu saja untuk berfoya-foya. Waktu datang tagihan hutang, mereka tertawa saja, dan sekali lagi minta keluarga Soeharto turun tangan untuk `membereskan semua urusan'. Para direktur bank, terutama bank pemerintah, tidak berkutik dan akhirnya hanya bisa menyimpan kasus penyelewengan itu dalam lemari arsip. Tagihan pun membengkak dan akhirnya mencapai jumlah US$53,3 milyar. Dengan alasan krisis pemerintah kemudian didesak oleh lembaga-lembaga keuangan internasional mengambilalih hutang itu. Salah satu cara adalah dengan membentuk Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) yang bertugas menjadi tukang tadah perusahaan bangkrut dan aset-aset milik pengusaha swasta yang masih tersisa. Jelas bahwa nilainya tidak sama dengan jumlah uang yang mereka pinjam, dan seluruh beban itu akhirnya dibebankan kepada rakyat. Untuk membayar bunga hutang luar negeri itu saja pemerintah tahun 2001 ini akan mengeluarkan Rp 77,4 trilyun atau 26% dari total pengeluaran. Angka ini jauh melampaui misalnya dana untuk pendidikan yang hanya sebesar Rp 11,2 trilyun atau 3% dari total anggaran. Rupanya pemerintah merasa lebih penting menalangi hutang para kroni Orde Baru daripada membenahi sistem pendidikan yang

porak-poranda. Sejauh ini para pengamat dan `pakar' ekonomi tidak pernah mempersoalkan masalah ini, dan bahkan membungkusnya dengan konsep-konsep yang terdengar hebat seperti `restrukturisasi perbankan', `penyehatan ekonomi' dan seterusnya. Tidak pernah terpikir dalam benak mereka bahwa seharusnya bank-bank asing yang meminjamkan uang mereka kepada para pengusaha swasta _ yang mereka tahu persis tidak akan menggunakan uang pinjaman itu dengan baik _ menagih sendiri hutang itu. Pemerintah sekarang, apalagi rakyat, tidak pernah terlibat dalam urusan hutang-piutang itu, dan karena itu tidak punya kewajiban apa pun untuk menanggungnya. Kita, sebagai warga biasa, punya hak untuk menuntut pemerintah menghentikan proses pengambilalihan hutang itu. 5. Hentikan Penjualan Aset Publik Kepada Perusahaan Multinasional Pada tahun 1945 para pendiri republik menggariskan soal perekonomian Indonesia sebagai berikut: "Pada dasarnya, perusahaan yang besar-besar yang menguasai hidup orang banyak, tempat beribu-ribu orang menggantungkan nasibnya dan nafkah hidupnya, mestilah di bawah kekuasaan Pemerintah. Adalah bertentangan dengan keadilan sosial, apabila baik-buruknya perusahaan itu serta nasib beribu-ribu orang yang bekerja di dalamnya diputuskan oleh berapa orang partikulir (swasta - ed) saja, yang berpedoman dengan keuntungan semata-mata". Namun yang terjadi sekarang adalah kebalikannya. Semua perusahaan negara yang diperoleh dan dibangun susah-payah selama 20 tahun pertama kemerdekaan, dalam waktu singkat diambilalih oleh militer dan kemudian menjadi lahan korupsi, kolusi dan manipulasi, sehingga meninggalkan hutang luar biasa besar. Rezim Orde Baru menjadikannya tambang emas untuk memperkaya para pejabat, keluarga dan komplotan kroni di sekeliling mereka. Ketika krisis mulai melanda sekitar pertengahan tahun 1997, Soeharto pernah berkomentar bahwa, "kalau kita tidak bisa mendapat bantuan dari negara-negara lain, kita bisa menjual 160 BUMN yang dimiliki, untuk membayar hutang luar negeri." IMF pada saat itu memujinya, karena di belakangnya ada segerombolan investor yang siap menyergap aset-aset murah dari pemerintah serta seluruh jaringan usahanya yang dibangun selama bertahun-tahun. Kurang dari 24 jam setelah Soeharto menyampaikan pidatonya, Tanri Abeng yang waktu itu menjabat sebagai Menteri BUMN mengumumkan rencana pemerintah menjual 12 perusahaan negara untuk mendapatkan Rp 15 trilyun. Termasuk di antaranya perusahaan-perusahaan yang selama ini dikuasai oleh keluarga Soeharto dan menjadi sarang hutang. Dengan langkah itu ada dua hal yang dicapai: menutupi kekurangan dana untuk membayar hutang, dan

sekaligus "memutihkan" hutang-hutang yang dibuat para pejabat BUMN itu sendiri. Tindakan kriminal ini berlangsung terus sampai sekarang. Di tengah kepanikan mencari dana untuk membayar hutang yang semakin menumpuk, pemerintah menjual perusahaan dan milik publik kepada investor asing. Gagasan menjual perusahaan milik negara sebenarnya sudah terjadi sejak zaman Soeharto yang ingin menyelamatkan diri dari jerat hutang. Sekitar 40% saham Telkom sudah dijual kepada George Soros, sementara PAM dijual kepada perusahaan Thames yang bermarkas di London. Di Jakarta puluhan gedung sudah berpindah tangan, begitu pula dengan bank-bank dan perusahaan jasa keuangan. Perusahaan kayu yang semula didominasi oleh birokrat dan pengusaha kroni Orde Baru sekarang diambilalih dan dilelang kepada perusahaan dari Jepang dan Kanada, tentunya setelah `memutihkan' semua hutang dan masalah yang mereka ciptakan. Di samping itu pemerintah juga gencar menjual saham-saham perusahaan negara, seperti PT Indosat, PT Aneka Tambang dan PT Timah ke bursa saham di Wall Street, New York. Di zaman Gus Dur, kebijakan pemerintah tidak bergeser jauh dari kebijakan itu. Kwik Kian Gie yang waktu itu menjabat sebagai Menko Ekuin, memaksa BPPN untuk mengobral aset-aset yang dikelolanya untuk memenuhi target setoran Rp 18,9 trilyun. Akibat utama dari penjualan aset-aset milik negara ini adalah diserahkannya `hajat hidup orang banyak' kepada perusahaan asing. Perusahaan swasta yang mengambilalih aset-aset itu tidak segan mengurangi atau bahkan menghapus pelayanan dan produk yang dianggap tidak menguntungkan. Akibatnya pelayanan akan semakin mahal dan tidak terjangkau oleh rakyat biasa. Di samping itu juga ada masalah manajemen dan buruh. Perusahaan negara biasanya dikenal boros karena memberi pekerjaan kepada puluhan ribu orang. Di mata perusahaan asing yang semata-mata memikirkan keuntungan, jumlah pegawai itu kadang dinilai tidak efisien, sehingga pengambilalihan senantiasa diikuti pemecatan massal terhadap puluhan ribu pegawai. Tapi sebaliknya perusahaan ini menarik keuntungan dari disiplin dan upah rendah yang ditetapkan dalam BUMN. Penjualan perusahaan ini adalah langkah putus asas pemerintah untuk mendapatkan dana secepat sekaligus sebanyak mungkin. Tidak disadari bahwa perusahaan negara, betapa pun korup dan tidak efisiennya adalah milik rakyat serta dibuat untuk kepentingan publik. Para `pakar ekonomi' yang mendukung liberalisasi dan juga sebagian `demokrat' memuji langkah itu karena dianggap menyelesaikan masalah korupsi yang memang laten di BUMN dan perusahaan milik negara. Tidak dibayangkan bahwa perusahaan-perusahaan itu adalah modal utama bagi negeri ini untuk tumbuh sebagai perekonomian yang merdeka. Dengan penjualan besar-besaran seperti itu kita sebenarnya akan

dilontarkan kembali ke zaman kolonial, di mana hampir seluruh penyelenggaraan kehidupan sosial-ekonomi ada di tangan asing. Pemerintah sesungguhnya tidak bisa menjual perusahaan milik rakyat begitu saja. Seharusnya dilakukan reorganisasi perusahaan besar-besaran dengan memecat pimpinan yang korup, memberantas manipulasi yang merajalela. Caranya tidak lain dengan memperbesar kekuatan buruh dan pegawai dalam mengelola serta memiliki perusahaan tersebut. Masyarakat juga seharusnya terlibat dalam menentukan perkembangan perusahaan negara, dan dilibatkan melalui mekanisme tertentu. Kontrol secara langsung oleh rakyat harus diperkuat dan dilembagakan, sehingga kemungkinan penyelewengan diperkecil, dan akhirnya diberantas sama sekali. 6. Hentikan Penjarahan Sumber Daya Alam Salah satu sebab yang membuat Indonesia miskin adalah keuntungan dari sumber daya alam yang tak ternilai _ seperti minyak, emas dan nikel _ selama ini dimonopoli oleh perusahaan multinasional dan antek-anteknya di dalam negeri. Pemerintah memberi izin kepada perusahaan asing untuk menggali minyak dan sumber mineral lainnya lalu menarik pembayaran bagi hasil. Kita tahu bahwa bagi hasil itu sangat kecil. Rezim Soeharto tidak pernah mengurus pajak bagi perusahaan asing itu dengan baik, karena para pejabatnya sudah mendapat banyak uang hasil sogokan. Para pejabat ini lebih sibuk mengisi kantongnya sendiri daripada mencari pemasukan bagi kas negara. Pemerintah juga tidak peduli jika perusahaan-perusahaan asing itu secara sistematis merusak lingkungan hidup, mencemari tanah dan air. Pemerintah tidak peduli jika perusahaan multinasional itu bekerjasama dengan aparatnya untuk mengusir penduduk dari tanah yang mau dijadikan pertambangan atau penebangan kayu. Dan semua orang tahu bahwa militer hanya menjadi penjaga bagi perusahaan-perusahaan itu, merampas tanah dari tangan rakyat dan menebar teror dan intimidasi jika rakyat berani memprotes. Selama masa kekuasaan Soeharto, hutan menjadi sasaran utama. Setelah mengeluarkan UU Pokok Kehutanan tahun 1967, pendapatan dari sektor itu meningkat dari US$6 juta pada tahun 1966 menjadi US$574 juta pada tahun 1974, dan lima tahun kemudian Indonesia mengekspor kayu senilai US$2,1 milyar dan menjadi produsen kayu tropis terbesar di dunia dengan menguasai 41 persen dari pasaran dunia. Untuk menjalankan bisnis ini pemerintah mengeluarkan sekitar 600 izin kepada para pengusaha kroni yang bersekutu dengan perusahaan multinasional untuk menebangi hutan di seluruh Nusantara, terutama Sumatera dan Kalimantan. Sekarang pemerintah Indonesia, mengikuti nasehat IMF, mau mempromosikan perluasan ekspor minyak kelapa sawit. Akibatnya sudah jelas. Semakin banyak hutan di

Sumatera dan Kalimantan yang akan dibabat karena perkebunan kelapa sawit perlu tanah luas, dan pemerintah terlibat langsung di dalam penghancuran sumber daya secara massal ini. Pemerintah Indonesia harus segera menghentikan ini. Mereka harus menuntut pembayaran royalti lebih tinggi dan menghalangi perusahaan multinasional mengancam keselamatan rakyat yang tinggal di wilayah konsesi mereka. Pemerintah juga harus mengembangkan perusahaan domestik, publik maupun swasta yang mampu menggantikan posisi perusahaan multinasional tersebut, dan membuat perencanaan sistematis untuk menjaga kelangsungan lingkungan hidup dan rakyat yang hidup di dalamnya. Rakyat harus dilibatkan dalam setiap rencana itu secara sungguh-sungguh, bukan hanya melalui DPR atau lembaga `perwakilan' lainnya yang mudah disuap oleh kepentingan bisnis. Banyak sekali contoh keberhasilan penanganan sumber daya alam yang berlandaskan pada kekuatan rakyat dan terarah pada kepentingan rakyat pula. Untuk itu rakyat harus berhimpun agar dapat menyusun dan melaksanakan rencana-rencana kerja yang jelas untuk kepentingan bersama. Buku dan Artikel Adams, Patricia, Odious Debts (London, 1991). www.probeinternational.org Bachriadi, Dianto. Merana di Tengah Kelimpahan: Pelanggaran HAM Pada Industri Pertambangan di Indonesia (Jakarta, 1998) Hanlon, Joseph. Warisan Hutang Rezim Diktator (Yogyakarta, 2000) McNally, David. Against the Market (London, 1998) Naiman, Robert and Neil Watkins, "A Survey of the Impacts of IMF Structural Adjustment in Africa" (April 1999). www.cepr.net Patnaik, Prapat, "Capitalism in Asia at the End of the Millenium," Monthly Review, July-August 1999; www.monthlyreview.org Petras, James, "The New Revolutionary Peasantry: The Growth of Peasant-led Opposition to Neoliberalism," Z Magazine (October 1998); www.mstbrazil.org Scipes, Kim, "Global Economic Crisis, Neoliberal Solutions, and the Philippines," Monthly Review (December 1999). www.monthlyreview.org Sen, Amartya. Demokrasi Bisa Memberantas Kemiskinan (Bandung, 2000) Stiglitz, Joseph, "What I learned at the world

economic crisis," New Republic, 17 April 2000. www.tnr.com/041700/stiglitz041700.html Suhendar, Endang dan Ifdhal Kasim, Tanah Sebagai Komoditas: Kajian Kritis Atas Kebijakan Pertanahan Orde Baru (Jakarta, 1996) United Nations Development Program, Human Development Report 2000. www.undp.org/hdro Weisbrot, Mark, "Globalization for Whom?" (1998). www.cepr.net Wibawanto, Agung. Siasat Buruh di Bawah Represi (Yogyakarta, 1998) Wood, Ellen Meiksins. The Origin of Capitalism (NewYork, 1998) Website Jubilee 2000 (www.jubilee2000uk.org) Gerakan ini bertujuan menghapus hutang luar negeri dari negara-negara termiskin di dunia. Multinational Monitor (www.essential.org/monitor/monitor.html) Sebuah majalah yang mengangkat akibat dari kekuasaan perusahaan multinasional di seluruh dunia. ZNET (www.lbbs.org) Sebuah jaringan Internet yang menyediakan bermacam bahan, artikel dan laporan dari seluruh dunia Monthly Review (www.monthlyreview.org) Majalah bulanan yang memuat pemikiran progresif tentang kapitalisme dan alternatif-alternatif untuk mengubahnya. Forum Sosial Dunia, Brasil (www.forumsocialmundial.org.br) Sebuah forum yang dibentuk di Porto Alegre, Brasil, dengan menghadirkan kalangan intelektual, aktivis dan perwakilan gerakan sosial menentang neoliberalisme dari seluruh dunia. ~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~ Lenyapnya perikemanusiaan dalam kegalauan sosial yang busuk, berarti pula tipisnya kepribadian, bukan saja sebagai bangsa, tetapi juga sebagai individu. Dan bangsa atau nasion yang begitu mudah menanggalkan perikemanusiaan dengan sendirinya mudah pula tersasar dalam perkembangan sejarah.

Related Documents