Lia

  • November 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Lia as PDF for free.

More details

  • Words: 2,298
  • Pages: 6
Indonesia Tower, The Tower of Power Semestinya pemerintah sudah menyusun regulasi yang mengatur tentang pembangunan serta pengelolaan menara BTS. Konon, salah satu klausul dalam regulasi tersebut adalah melarang operator membikin menara BTS sendiri. Tentunya pembuatan aturan menyenangkan hati Sakti Wahyu Trenggono Presiden Direktur PT Solusindo Kreasi Pratama yang memiliki Indonesian Tower. Baginya bukan saja bisnis yang dilakoninya menjadi bertumbuh dan berkembang. Tapi ini juga bisa dengan menara bersama ini dapat menekan biaya hingga para oprator menjadi cost competitive dan tentunya menara BTS tidak menjadi polusi pandang. Pesatnya pembangunan menara BTS tak terbayangkan. Sekitar 15 tahun silam, jumlah BTS mungkin bisa dihitung pake jari. Kini, ada 45 ribu menara BTS bertebaran di pelosok negeri. wajah kota mungkin akan berubah jadi hutan menara jika pembangunan BTS dibiarkan tanpa diatur. Itu sebabnya perlu dibuat regulasi agar para oprator mau menerapkan pengelolaan menara BTS bersama. Kini dimana semakin kompleksnya permasalahan yang dihadapi oleh para oprator, maka kegiatan yang menyangkut menara BTS ini sudah sepatutnya dikelola oleh sebuah perusahaan tersendiri. Mulai dari pencarian lokasi, pengurusan izin, pembangunan menara sampai ke perawatannya. Dalam hal ini dibutuhkan kemampuan dan ketelitian serta tingkat keamanan yang besar. Semua itu menurut Trenggono untuk sebuah BTS investasinya bisa mencapai Rp 700 juta hingga Rp 1 miliar. Hal itu belum termasuk listrik dan perawatan, sedangkan dengan tower bersama, operator diperkirakan bisa menghemat pengeluaran investasi hingga 30 persen. Kondisi seperti ini, melahirkan provider tower. Bukan saja hanya membangun tapi juga mengelolanya dan menyewakan ke para oprator seluler. Perusahaan oprator seluler tanpa harus direpotkan, hingga bisa berkonsentrasi pada fitur dan pelayanan kepada pelanggan. Dari sekian banyak perusahaan yang bergerak dibidang menara ini, salah satunya adalah Indonesian Tower. yang menjadi pelopor bisnis penyewaan menara BTS untuk perusahaan-perusahaan operator telepon selular. Tahun 2002 Trenggono melihat peluang bisnis ini di balik perkembangan industri telekomunikasi selular yang sangat pesat di tanah Air. Saat ini, Indonesian Tower memiliki 2000-an menara dengan 260 orang karyawan dan140 diantaranya teknisi. Bagi Indonesian Tower, persoalan seperti mengurus perizinan tempat pembangunan menara, baik di di Pemda tingkat 1 dan 2 bisa diselesaikan, makanya bagi Trenggono main golf bersama para bupati merupakan cara bergaul dengan petinggi-petinggi birokrasi lokal dan ini merupakan bagian dari proses bisnis yang harus dijalaninya. Termasuk juga bernegosiasi dengan penduduk di sekitar pembangunan menara, dan memberikan jaminan kekuatan dan keamanan tower. Inilah bagian kopetensi yang selalu di dengungkan oleh Trenggono dalam menerapkan dan menjalankan bisnisnya. Walhasil, dari usaha ini ada pihak yang menikmati gurihnya pertumbuhan diindustri telekomunikasi. Salah satunya adalah penyedia (provider) sewa menara BTS yang bisa digunakan bersama oleh para operator seluler yakni Indonesian Tower. Saat ini sudah lima operator yang bekerjasama dengan Aspimtel. Yaitu, Telkom, Telkomsel, Excelcomindo, Mobile-8, dan PT Wireless Indonesia (Win),"

Bahkan, tutur Trenggono, tahun depan diperkirakan,Lippo Telecom akan ikut bergabung. Aspimtel adalah Asosiasi Pengembang Infrastruktur Menara Telekomunikasi yang dibentuk oleh delapan pengembang BTS diantara Protelindo, Pandu Sarana Global, Wahana Lintassentral Telekomunikasi, Indonesian Tower (Solusindo), Bali Telecom, Comet Consortium, Telcentec Indonesia, Deltacomsel Indonesia. Hingga saat ini anggotanya sudah mencapai 12 perusahaan. Operator Bersatu, Sewa Menara Tinggal Waktu Pihak operator tentu bakal jadi pihak yang agak kerepotan dengan peraturan sharing menara BS yang akan dirilis pemerintah ini. Peraturan ini diperkirakan bakal meminimalisasi atau bahkan mengurangi jumlah menara yang dianggap terlalu banyak ini. Tidak tertutup kemungkinan bahwa akan banyak menara yang harus dinonaktifkan. Banyak problem memang muncul apabila pembangunan menara ini tidak bisa ditekan, seperti masalah lingkungan dan masalah sosial misalnya. Termasuk dari sisi operator sendiri yang mulai kesulitan lahan. Tindakan merepresi jumlah menara BTS ini memang dibarengi dengan kampanye untuk memakai menara secara bersamaan. Artinya satu menara bisa dipakai oleh lebih dari satu operator. Rencananya sendiri satu menara ini minimal dipakai oleh tiga operator, di mana setiap pemilik menara diberi kesempatan selama satu tahun untuk mencari pihak lain yang akan menyewa menara tersebut. DIDUKUNG OPERATOR Dalam menyikapi kebijakan tower sharing ini, setiap operator memiliki kiat yang berbeda-beda. PT Excelmindo (XL) adalah salah satu pihak yang cukup agresif untuk melakukan tower sharing. Sejauh ini mereka sudah melakukan kerja sama dengan PT Hutchison CP Telecom Indonesia, PT Sampoerna Telekomunikasi Indonesia, dan PT Bakrie Telecom. Terakhir juga mereka melakukan kerja sama sejenis dengan PT Natrindo Telepon Seluler (NTS). Untuk kerja sama dengan NTS, mereka akan telah sepakat untuk melakukan kerja sama ini selama 10 tahun. Lain XL, lain juga Telkomsel. Pihak Telkomsel sendiri juga berencana untuk menanggapi serius peraturan ini, meski masih dengan hati-hati. Pihak Telkomsel berencana untuk membentuk semacam tim khusus untuk melihat lebih jauh soal tower sharing ini. Kebijakannya juga akan diatur apakah tower sharing ini dilakukan sebatas Pulau Jawa saja atau juga ke luar Jawa. Meski begitu untuk langkah awal, mereka memilih untuk bagi-bagi menara ini bersama dengan saudara dekatnya, yaitu Telkomflexi. Indosat juga punya sikap soal kebijakan ini. Sempat mengeluarkan pernyataan yang cukup kontroversif soal penolakan tower sharing yang akhirnya diklarifikasi ini, Indosat mengemukakan pendapat yang hampir senada dengan Telkomsel. Sama dengan Telkomsel, Indosat perlu lebih melihat dulu sejauh mana kebijakan ini bisa diaplikasikan. Indosat perlu melihat lebih dalam lagi teknologi menara yang mereka miliki, apakah itu dimungkinkan untuk dibagi atau tidak. Kerja sama empat operator dengan XL memang jadi semacam preseden atas geliat bisnis telekomunikasi ke depan. Bisa jadi tower sharing akan menjadi tren

karena para operator terutama yang masih baru tidak perlu ambil pusing untuk pembangunan menara. Sementara itu, PT Bakrie Telecom sendiri mengakui bahwa strategi tower sharing ini amat membantu. Banyak hal yang dimudahkan dengan adanya kebijakan ini nanti. Pendapat yang mirip juga diutarakan oleh PT Sampoerna Telekomunikasi Indonesia. Bagi mereka, adanya kebijakan ini akan berarti meningkatkan efisiensi karena di daerah yang sudah mapan infrastrukturnya tidak lagi perlu dibangun menara lagi. Meski banyak yang kelihatan sudah bergerak menanggapi kebijakan tower sharing ini, ternyata di satu dua sisi masih ada beberapa hal yang patut dicermati lebih dalam. Beberapa pendapat mengatakan bahwa sebagian menara itu dibangun tidak dalam kapasitas untuk dibagi dengan operator lain. Artinya, beberapa menara dianggap kurang sanggup secara teknologi untuk dilakukan tower sharing. Dari Telkomsel sendiri memang mengakui bahwa sekitar 80% BTS yang berupa menara milik Telkomsel, hanya 65 % yang bisa di-sharing dengan operator lain. Itu mungkin alasan kenapa beberapa operator tidak terburu-buru untuk mengambil sikap, karena mereka sendiri mau melihat sejauh mana teknologi yang mereka pakai sudah cukup memadai atau belum. KENDALA Kendati operator sudah mengaku siap, tapi selalu saja ada kendala untuk menghambat ide ini untuk terjadi. Menurut Sakti Wahyu Trenggono, Dirut Indonesian Tower, di sela-sela Seminar Sharing Menara BTS yang diselenggarakan Majalah HandPHONE Rabu 16 Januari 2008 lalu, pihaknya kerap menemui kendala soal ini karena pihak operator kadang tidak begitu peduli akan problem dari pembangunan menara yang dilakukan secara masif. Bagi operator yang penting adalah jangkauan alias coverage. Operator mana sih yang ingin memiliki jangkauan yang sempit. Maka, solusinya ketika itu adalah tidak lain dengan membangun menara sebanyak mungkin di mana saja. Dalam kondisi yang terkini, ternyata masalah yang muncul dari membabibutanya pembangunan menara tidak hanya sebatas coverage lagi. Teknologi jaringan telekomunikasi yang kita ketahui berkembang amat pesat ini juga menuntut banyak hal lain selain sebatas perluasan jangkauan. Sistem jaringan yang makin beragam juga menuntut setiap operator untuk mengadaptasi itu demi kepuasan pelanggan itu sendiri. Itu yang membuat beberapa operator merasa keberatan dengan peraturan yang akan datang ini. Di sisi lain, masalah tower sharing ini juga bisa jadi akan terbentur di soal kepercayaan. Dua operator dalam satu menara yang tentunya memiliki kepentingan yang berbeda bukan tidak mungkin menimbulkan permasalahan. Permasalahan itu bisa secara teknis juga bisa secara politis. Sebuah ruang yang dipakai bersama oleh dua pihak yang memiliki kepentingan yang kompetitif itu rawan sekali terjadi friksi. Atas dasar itu maka pihak operator bisa jadi enggan untuk melakukan itu. MASALAH TEKNIS

Sebetulnya, jika problemnya adalah masalah teknis atau masalah teknologi, bukan tidak mungkin problem itu bisa diselesaikan. Pada dasarnya meski sebuah operator memiliki banyak sistem jaringan (GSM 900, GSM 1800. GSM 1900, CDMA 2000) bukan berarti satu menara hanya sanggup untuk satu operator saja. Beberapa operator masih dimungkinkan untuk menumpang. Memang kenyataannya sudah ada teknologi yang mendukung untuk dua operator untuk membagi node tanpa harus terganggu satu sama lain. Teknologi Multiple PLMN (Public Land Mobile Networks) misalnya, merupakan salah satu cara yang memungkinkan hal itu. Dengan sangat terbukanya kemungkinan untuk pemakaian menara secara bersama-sama ini maka tidak ada alasan bahwa secara teknis sebuah operator itu tidak mungkin melakukan tower sharing. Jadi, problem teknis sepertinya bisa diatasi dengan teknologi yang ada sekarang. Jika para operator menumpang pada menara yang dibangun oleh pihak ketiga (bukan operator lain yang membangun) maka itu lebih mudah lagi. Itu karena segala problem teknis diserahkan saja jadi penanggung jawab pemilik menara, kecuali kesalahan berada pada sistem yang dimiliki operator penumpang. Tapi, kalau terjadi problem politis atau problem sosial, maka itu yang patut diwaspadai secara lebih cermat lagi. Tentu sebelum para operator memutuskan untuk bekerja sama untuk memakai satu menara secara bersamaan, pasti ada perjanjian hukum hitam di atas putih yang mengatur masing-masing pihak. Hal ini tentu buat menghindari hal yang tidak diinginkan antar operator apabila sebuah masalah terjadi. Sekali lagi, sebuah ruang yang dipakai bersama oleh dua pihak yang memiliki kepentingan yang kompetitif itu rawan sekali terjadi friksi. Juga sangat dimungkinkan bakal terjadi masalah yang tidak terpikirkan sebelumnya, dan ke depan itu juga patut diperhatikan. Itu masalah trial and error saja. Problem non teknis lain juga soal masalah sosial yang amat mungkin terjadi. Setiap menara tentu dibangun di atas tanah yang di sekelilingnya terdapat pemukiman tempat tinggal. Masalah yang jamak terjadi adalah ketakutan publik atas adanya menara ini adalah soal radiasi tegangan yang bisa dimungkinkan. Jika radiasi EMF (electromagnetic field - gelombang elektromagnetik) memang diketahui tidak membahayakan, maka pihak yang terkait perlu melakukan sosialisasi untuk meredam kekhawatiran tersebut. Ketika menara itu dipakai bersama, maka tanggung jawab untuk edukasi tersebut bukan hanya untuk pemilik menara lagi, tapi setiap pihak yang memanfaatkan. Dengan sosialisasi yang makin luas dari pihak yang makin beragam ini maka diharapkan ketakutan yang ada juga bisa dihilangkan. Dengan adanya peraturan ini tentu para operator tentu akan mendapat perspektif baru bahwa demi sebuah pelayanan publik bukan berarti harus mengorbankan lingkungan dan situasi sosial. Adanya peraturan ini juga membuat semua pihak tersadar bahwa teknologi publik pada akhirnya patut diperhatikan secara bersama-sama, oleh semua operator yang terlibat. Ini bukan semata-mata sebuah kompetisi lagi.

Tidak bisa dipungkiri bahwa HP merupakan bagian dari kehidupan warga kota. Hampir semua orang punya HP. Apalagi promosi dari operator seluler yang semakin

gencar menawarkan program bundling dengan pabrikan HP, menggerojok pasar dengan HP murah. 200 ribu dapat HP, baru! Laris manis bak kacang goreng! Operator seluler-pun terus berusaha meningkatkan coverage area. Pembangunan tower BTS terus dikebut. Jumlahnya terus bertambah. Hampir di tiap kelurahan ada. Bahkan ada yang sampai 6 tower dalam satu kelurahan. Itu dari 1 operator saja. Sedangkan saat ini setidaknya ada 8 operator GSM dan CDMA. Bisa dihitung sendiri, berapa jumlah tower di kota ini. Maka tak heran jika kemudian ada sebutan: Surabaya kota Tower! Bagi pelanggan seluler, hal tersebut sangat menguntungkan karena tidak ada lagi blank spot. Tidak perlu takut kehilangan sinyal. Komunikasi selalu lancar. Tapi ternyata pembangunan tower yang tidak tertata tersebut juga menimbulkan masalah baru bagi kota tercinta. Konstruksi tower baja galvanis seberat puluhan ton yang berada di tengah pemukiman yang padat penduduk menjadi ancaman keselamatan baru. Warga yang berada di dekat tower terancam jiwanya ketika terjadi hujan lebat disertai angin kencang. Bagaimana seandainya tower tersebut roboh dan menimpa mereka? Klaim asuransi yang diberikan tak akan mampu menggantikan nyawa manusia! Lalu bagaimana solusinya? Kali ini saya langsung tunjuk hidung pemkot dan pemprov, karena di tangan merekalah proses perijinan pendirian tower ini berada. Meskipun tidak bisa dipungkiri bahwa saat ini terdapat ratusan tower gelap alias tanpa ijin. Justru dari sana-lah pemerintah harusnya bergerak. Segera buat regulasi yang jelas tentang pendirian tower baru dan laksanakan aturan tersebut dengan tegas Lakukan pendataan terhadap semua tower yang ada, bukan hanya dengan mengecek berkas ijin, tapi survey langsung ke lapangan. Evaluasi keberadaannya. Jika perlu dirobohkan ya dirobohkan saja. Jika ketahuan tidak berijin, segera tindak tegas. Denda mereka. Tapi uangnya jangan dimakan sendiri ya! Dari sisi engineering sebenarnya ada solusi yang lebih aplicable, yaitu dengan mendirikan tower bersama. Artinya satu tower bisa dipakai secara bersama oleh beberapa operator. Tower tersebut bisa dimiliki oleh pihak ke-3 maupun pemkot sebagai investor. Dengan demikian titik-titik tower bisa dikontrol penuh oleh pemkot. Operator seluler tinggal sewa pakai. Dan uangnya? tentu bisa menjadi andalan PAD baru! Dari sisi estetika, katakanlah solusi sebelumnya tidak bisa dijalankan, maka tower yang ada saat ini bisa dipercantik dengan kreasi bentuk. Misalnya tower didandani menjadi seperti pohon cemara. Tentu tanpa mengabaikan faktor kekuatan sinyal. Akan kelihatan lebih indah jika dibandingkan dengan tower berbentuk standard. Dari kacamata arsitektur, bentuk tower bisa meniru beberapa negara maju, yaitu dibuat bangunan permanen yang menjulang tinggi. Bentuknya bisa dikreasi. Kan banyak arsitek handal di kota ini. Selain bisa difungsikan sebagai tempat rekreasi melihat kota dari ketinggian atau difungsikan sebagai gedung perkantoran, di bagian

ujung bangunan bisa ditancapkan tower yang bisa disewakan ke stasiun TV, radio dan operator seluler. Juga bisa menjadi ikon baru kota Surabaya 1. Tower BTS yang menjulang tinggi tersebut memang sangat membahayakan warga sekitar apalagi saat ini sedang musim penghujan. Kalau roboh atau ada bagian-bagian yang jatuh bisa membahayakan warga. Solusinya mungkin ya harus mendirikan tower yang lokasinya jauh dari diinginkan bisa dihindari. 1. blank spot.. tapi ya itu tadi… jadi tak tertata.. stahuku aja, untuk operator baru yang namanya smart, mereka harus bikin banyak BTS agar sinyalnya tetap ada. maklum saja, dia ambil frekuensi 1900 ( kenapa nggak pake caranya XL yang nggak pake BTS.. tapi pake fiber optik yang bahkan sudah banyak dilakukan seperti itu. Masalahnya kalau dilakukan optimalisasi sehingga tower tidak berserakan dimana-mana perlu dilakukan koordinasi dari semua yang berkepentingan, karena tower yang ada mungkin tidak didisain untuk beban yang banyak. Tapi secara teknis itu bisa diakali sehingga bisa dilakukan penataan secara keseluruhan. Mari kita sama-sama melakukan perubahan untuk terus maju dan terus beruntung dan …..tetap indah dan juga terjaga keselamatan orang banyak.

Related Documents

Lia
November 2019 35
Lia
December 2019 35
Fami Lia
June 2020 26
Lia Buku.docx
November 2019 29
Biologi Lia
October 2019 34
Lia Asriawati.pptx
December 2019 26