PENGAMANAN SELAT MALAKA DAN MASALAH KEDALAUTAN. Keinginan sejumlah negara besar, terutama Amerika Serikat, untuk menjaga keamanan Selat Malaka dengan mengelar pasukan militer, menimbulkan silang pendapat. Apa pun alasannya, kehadiran pasukan asing di Selat Malaka akan mengundang banyak suara menentang karena dipandang dapat melanggar kedaulatan. Maka tanggung jawab utama bagi pengamanan Selat Malaka harus dikembalikan Indonesia, Malaysia dan Singapura yang perairannya berada dalam jalur Selat Malaka. Keterlibatan negara lain dalam mengamanan Selat Malaka tentu saja sangat dibutuhkan, tapi sifatnya hanya dukungan, bukan faktor penentu. Dukungan itu penting karena banyak negara berkepentingan menggunakan Selat Malaka sebagai jalur perdagangan. Dari segi ekonomi dan strategis, Selat Malaka merupakan salah satu jalur pelayaran terpenting di dunia, sama pentingnya seperti Terusan Suez atau Terusan Panama. Selat Malaka membentuk jalur pelayaran terusan antara Samudra Hindia dan Samudra Pasifik serta menghubungkan tiga dari negara-negara dengan jumlah penduduk terbesar di dunia: India, Indonesia dan Republik Rakyat Cina. Sebanyak 50.000 kapal melintasi Selat Malaka setiap tahun, mengangkut antara seperlima dan seperempat perdagangan laut dunia. Sebanyak setengah dari minyak yang diangkut oleh kapal tanker melintasi selat ini; pada 2003, jumlah itu diperkirakan mencapai 11 juta barel minyak per hari, suatu jumlah yang dipastikan akan meningkat mengingat besarnya permintaan dari China. Sistem penjagaan keamanan Selat Malaka dari waktu ke waktu memang perlu ditingkatkan untuk mengantisipasi kemungkinan gangguan kejahatan seperti perampokan, bajak laut dan terorisme. Selama ratusan tahun, selat itu termasuk rawan gangguan bajak laut dan perampok. Risikonya gangguan keamanan bertambah karena Selat Malaka telah menjadi salah satu jalur pelayaran terpadat di dunia. Selat Malaka yang terletak di perairan antara Pulau Sumatera dan Semenanjung Malaka merupakan urat nadi lalu lintas perdagangan terpadat di dunia, yang menghubungkan Asia Barat dan Asia Timur. Panjang Selat Malaka diperkirakan 800 kilometer dengan waktu tempuh 12 jam atau terpendek apabila dibandingkan dengan Selat Sunda sepanjang 1.630 kilometer dengan waktu tempuh 24 jam atau Selat Lombok jaraknya 2.780 kilometer dengan waktu tempuh 70 jam. Sebagai pemangku kepentingan langsung atas Selat Malaka, koordinasi pengamanan perlu dilakukan antara Indonesia, Malaysia dan Singapura. Sistem penjagaan Indonesia dipusatkan di perairan Pulau Batam dan Belawan, Malaysia di perairan Lumut, dan Singapura di perairan Changi. Jika ada informasi mengenai kapal yang mengalami gangguan dan ancaman, ketiga negara siap memberikan bantuan pengamanan dengan cepat atau sesegera mungkin. Jelas pula pengamanan Selat Malaka sesungguhnya bukanlah kepentingan bagi Malaysia, Singapura, dan Indonesia saja, tetapi juga seluruh negara yang ada di dunia. Karena itu, negara-negara luar yang mau ikut bekerja sama mengamankan Selat Malaka dipersilakan, seperti melalui berbagi informasi intelijen, peralatan , dan pelatihan.
Namun kalau ada negara lain ingin terlibat langsung dalam pengamanan Selat Malaka, permohonan harus disetujui oleh tiga negara, Indonesia, Malaysia dan Singapura. Jika dulu dalam pengamanan Selat Malaka oleh Malaysia, Singapura, dan Indonesia masih dibatasi dengan batas wilayah, kini dengan koordinasi patroli bersama hal itu tidak ada lagi. Patroli oleh masing-masing negara dibolehkan memasuki perairan negara lain di saat mengejar kapal perompak yang memasuki negara lain. Langkahlangkah tersebut dilakukan melalui penahapan pemberian laporan dan kemudian pengecekan kebenarannya. Karena itu, kapal Indonesia boleh saja masuk ke perairan Malaysia ketika mengejar perompak yang melarikan diri ke Malaysia. Kapal patroli Indonesia cukup berkoordinasi dengan kapal patroli Malaysia, lalu tangkapannya diserahkan ke Malaysia. Kerja sama patroli ini sekaligus sebagai tanggapan atas kerisauan dunia internasional tentang masalah kerawanan keamanan Selat Malaka. Disebutkan, pada tahun 2000 terjadi perompakan (piracy) dan perampokan bersenjata (armed robbery). Kasus ini berkurang pada tahun 2001 menjadi 17 kasus dan menurun lagi menjadi 16 kasus tahun 2002. Namun, di tahun 2003 kasus serupa meningkat menjadi 28 kasus. Khusus tahun 2008 ini, disebutkan gangguan bajak laut dan perampokan bersenjata cenderung menurun. Namun kewaspadaan tidak boleh diturunkan. Kerisauan tentang kerawanan di Selat Malaka tidak terlepas dari kekhawatiran AS atas kemungkinan serangan perompak di laut yang dapat ditunggangi oleh kelompok teroris. Jika hal itu benar, tentu saja akan merisaukan para pengguna laut di Selat Malaka yang merupakan selat paling padat di dunia. Masalahnya, apakah kekhawatiran tersebut beralasan? Hal ini menjadi kewajiban Indonesia selaku negara pantai yang lebih tahu karakteristik kerawanan di wilayah Selat Malaka untuk menjelaskan bagaimana duduk permasalahannya sesuai dengan realita di lapangan agar pihak-pihak yang merasa risau menjadi paham. Kekhawatiran atas kemungkinan terjadinya serangan terorisme terhadap obyek di laut, khususnya kapal yang sedang berlayar di Selat Malaka, perlu dikaji secara mendalam karena kenyataan di lapangan menunjukkan, menyerang sasaran bergerak di laut tidaklah mudah. Kesulitan bertambah ketika mengejar sasaran yang bergerak karena harus memperhitungkan sudut cegat yang memerlukan perhitungan cermat. Namun apa pun juga Indonesia sebagai negara pantai yang berdaulat atas keamanan di Selat Malaka untuk menyusun cetak biru pengamanan di Selat Malaka, baik internal maupun eksternal, secara terpadu dengan negara yang berdaulat agar kekuatan asing tidak bisa memaksakan kehendaknya tanpa alasan yang tepat. Wacana tentang kehadiran militer asing perlu diabaikan pula karena justru berpotensi menimbulkan masalah baru, berupa munculnya penolakan dari kelompok yang menentang kehadiran kekuatan militer asing di Selat Malaka. (Letkol E. Rensyana L.)