Legal Opinion Hak Angket Kepada Kpk.docx

  • Uploaded by: yolan
  • 0
  • 0
  • April 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Legal Opinion Hak Angket Kepada Kpk.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 3,186
  • Pages: 14
LEGAL OPINION HAK ANGKET DEWAN PERWAKILAN RAKYAT (DPR) KEPADA KOMISI PEMBERANTASANTASAN KORUPSI (KPK)

OLEH KELOMPOK 1: Claudia Yolanda Pricilla (205160226) Descar Christian Saragih Erizal Nurwansyah Desy Susilawati Monica Kurniawan

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS TARUMANAGARA 2018

Summary Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mempunyai beberapa tugas dan kewenangan, yaitu di bidang legislasi, pengawasan dan anggaran. Dalam rangka melaksanakan kewenangan di bidang pengawasan DPR dibekali sejumlah hak, termasuk hak angket. Di dalam Undang-Undang MPR, DPR, DPD, dan DPRD disebutkan bahwa DPR dapat melakukan hak angket terhadap pelaksanaan UU dan terhadap kebijakan Pemerintah. Hak angket dilakukan terhadap kebijakan Pemerintah (eksekutif). DPR dalam melaksanakan hak angketnya dapat memanggil setiap orang warga negara Indonesia, termasuk warga negara asing, untuk dimintai keterangan selain itu DPR juga dapat melakukan panggilan terhadap pejabat negara, pejabat pemerintah, badan hukum, atau warga masyarakat untuk memberikan keterangan. Memanggil KPK sebagai lembaga negara yang bersifat independen tidak termasuk dalam kategori hak angket DPR. Hal ini karena dalam konteks hukum tata negara, angket itu diperuntukkan bagi DPR untuk mengawasi eksekutif (Presiden dan/atau Wakil Presiden), bukan untuk yudikatif (kekuasaan kehakiman). Bukan pula untuk cabang kekuasaan negara yang keempat (di luar legislatif, eksekutif, dan yudikatif) seperti lembaga independen negara semacam KPK. Pada putusan yang dikeluarkan pada tanggal 8 Februari 2018 Mahkamah Konstitusi (MK) menolak tiga permohonan uji materi Pasal 79 ayat (3) UU MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) terkait dengan hak angket DPR kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Tiga perkara tersebut terdaftar dengan nomor 36/PUU-XV/2017, 37/PUU-XV/2017, dan 40/PUU-XV/2017. Perkara nomor 36 dimohonkan oleh gabungan mahasiswa dan dosen fakultas hukum yang menamai diri mereka Forum Kajian Hukum dan Konstitusi (FKHK). Sementara itu perkara nomor 37 diajukan oleh Horas A.M. Naiborhu selaku Direktur Eksekutif Lira Institute, dan perkara nomor 40 dilakukan oleh sejumlah pegawai KPK. MK menyatakan KPK adalah bagian dari eksekutif dan bisa diangket oleh DPR.. MK juga berpendapat bahwa meskipun tergolong lembaga penunjang dan bersifat independen, KPK masih termasuk lembaga eksekutif karena melaksanakan tugas dan wewenang sebagai lembaga eksekutif. Dengan demikian, DPR mempunyai hak untuk meminta pertanggung jawaban kepada KPK sama seperti KPK yang memiliki kewajiban untuk bertanggung jawab kepada publik Putusan tersebut tak sejalan dengan putusan yang pernah dikeluarkan MK sebelumnya yang menyatakan KPK bersifat independen dan bagian dari yudikatif bukan eksekutif. Putusan yang dimaksud adalah putusan atas perkara nomor 012016-019/PUU-IV/2006, 19/PUU-V/2007, 37-39/PUU-VIII/2010, dan Nomor 5/PUU-IX/2011. Dalam putusan MK tersebut salah satunya mengenai Pasal 3 UU

KPK yang berbunyi, "Komisi Pemberantasan Korupsi adalah lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun ". Dalam pasal tersebut menunjukkan bahwa KPK memiliki kekuasaan yang absolut. Atas hal tersebut Mahkamah Konstitusi berpendapat: - Bahwa rumusan dalam Pasal 3 UU KPK itu sendiri telah tidak memberikan kemungkinan adanya penafsiran lain selain yang terumuskan dalam ketentuan pasal dimaksud, yaitu bahwa independensi dan bebasnya KPK dari pengaruh kekuasaan mana pun adalah dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya. Tidak terdapat persoalan konstitusionalitas dalam rumusan Pasal 3 UU KPK tersebut. - Bahwa penegasan tentang independensi dan bebasnya KPK dari pengaruh kekuasaan mana pun dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya justru menjadi penting agar tidak terdapat keragu-raguan dalam diri pejabat KPK.

Pertanyaan Hukum Apakah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dapat diangket oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) ? Dasar Hukum 1. Undang - Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 2. Undang - Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua Atas Undang - Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawarata Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat , Dewan Perwakilan Daerah , dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.  Pasal 79 tentang Hak DPR 1. DPR mempunyai hak: a. interpelasi b. angket c. menyatakan pendapat. 2. Hak interpelasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a adalah hak DPR untuk meminta keterangan kepada Pemerintah mengenai kebijakan Pemerintah yang penting dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. 3. Hak angket sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b adalah hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau kebijakan Pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan

bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. 4. Hak menyatakan pendapat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c adalah hak DPR untuk menyatakan pendapat atas: a. kebijakan pemerintah atau mengenai kejadian luar biasa yang terjadi di tanah air atau di dunia internasional b. tindak lanjut pelaksanaan hak interpelasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan hak angket sebagaimana dimaksud pada ayat (3); atau c. dugaan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden melakukan pelanggaran hukum baik berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, maupun perbuatan tercela, dan/atau Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.

3. Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Tindak Pidana Korupsi . Terdiri atas 2 yaitu : 1) Materil  Pasal 1 angka (1) Tindak Pidana Korupsi adalah tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UndangUndang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.  Pasal 3 Komisi Pemberantasan Korupsi adalah lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun 2) Formil  Pasal 11 Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf c, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang: a. melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana

korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara negara b. mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat; dan/atau c. menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah). Keterangan : Mengacu pada pasal 1 angka (1) , (4), dan (7) KUHP 4. Undang - Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia  Pasal 8 Penyelidik adalah pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk melakukan penyelidikan.  Pasal 9 Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menuru  Pasal 10 Penyidik adalah pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan.  Pasal 13 Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. 5. Undang - Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia  Pasal 1 Jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksana putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap serta wewenang lain berdasarkan undang-undang.  Pasal 3 Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Hukum Acara Pidana dengan

permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan. 6. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana  Pasal 1 angka (1) Penyidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan.  Pasal 1 Angka (4) Penyelidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penyelidikan.  Pasal 1 Angka (7) Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan. 7. Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Repubik Indonesia Nomor 1 Tahun 2014 tentang Tata Tertib  Pasal 4 angka (1) DPR mempunyai fungsi: a. legislasi b. anggaran c. pengawasan.  Pasal 5 angka (3) Fungsi pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf c dilaksanakan melalui pengawasan atas pelaksanaan undang-undang dan APBN.  Pasal 6 huruf (f) membahas dan menindaklanjuti hasil pengawasan yang disampaikan oleh DPD atas pelaksanaan undang-undang mengenai otonomi daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan APBN, pajak, pendidikan, dan agama  Pasal 7 huruf (d) melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan undang-undang, APBN, dan kebijakan pemerintah

8. Putusan atas Perkara Nomor 36/PUU-XV/2017, 37/PUU-XV/2017, dan 40/PUU-XV/2017 sebagaimana perubahan dari Putusan atas Perkara Nomor 012-016-019/PUU-IV/2006, 19/PUU-V/2007, 37-39/PUUVIII/2010, dan Nomor 5/PUU-IX/2011. 9. Pendapat Hukum atau Doktrin

Analisis A. Pengertian Hak Angket Berdasarkan Pasal 79 ayat (3) Undang - Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua Atas Undang Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawarata Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat , Dewan Perwakilan Daerah , dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Hak angket adalah hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau kebijakan Pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. B. Hak DPR dalam Menjalankan Tugas dan Fungsinya Dalam menjalankan tugas dan fungsinya, khususnya terkait pelaksanaan fungsi pengawasan, DPR dibekali 3 (tiga) hak, yakni: 1. Hak Interpelasi: hak DPR untuk meminta keterangan kepada Pemerintah mengenai kebijakan pemerintah yang penting dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. 2. Hak Angket hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang/kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. 3. Hak Menyatakan Pendapat: hak DPR untuk menyatakan pendapat atas: a. Kebijakan pemerintah atau mengenai kejadian luar biasa yang terjadi di tanah air atau di dunia internasional b. Tindak lanjut pelaksanaan hak interpelasi dan hak angket; atau

c. Dugaan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden melakukan pelanggaran hukum baik berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, maupun perbuatan tercela, dan/atau Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden. Terkait dengan fungsi pengawasan, DPR memiliki tugas dan wewenang:  

Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan UU, APBN dan kebijakan pemerintah Membahas dan menindaklanjuti hasil pengawasan yang disampaikan oleh DPD (terkait pelaksanaan UU mengenai otonomi daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, pengelolaan SDA dan SDE lainnya, pelaksanaan APBN, pajak, pendidikan dan agama)

C. Komisi Pemberantasan Korupsi Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Tindak Pidana Korupsi : Pasal 3 Komisi Pemberantasan Korupsi adalah lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun. Pasal 4 Komisi Pemberantasan Korupsi dibentuk dengan tujuan meningkatkan daya guna dan hasil guna terhadap upaya pemberantasan tindak pidana korupsi. Pasal 5 Dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, Komisi Pemberantasan Korupsi berasaskan pada : a. kepastian hukum b. keterbukaan c. akuntabilitas d. kepentingan umum e. proporsionalitas. Pasal 6 Komisi Pemberantasan Korupsi mempunyai tugas:

a. koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi b. supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi c. melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi d. melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi; dan e. melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara. Pasal 7 Komisi Pemberantasan Korupsi mempunyai wewenang: a. mengkoordinasikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi b. menetapkan sistem pelaporan dalam kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi c. meminta informasi tentang kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi kepada instansi yang terkait d. melaksanakan dengar pendapat atau pertemuan dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi e. meminta laporan instansi terkait mengenai pencegahan tindak pidana korupsi. Pasal 15 Komisi Pemberantasan Korupsi mempunyai kewajiban : a. memberikan perlindungan terhadap saksi atau pelapor yang menyampaikan laporan ataupun memberikan keterangan mengenai terjadinya tindak pidana korupsi b. memberikan informasi kepada masyarakat yang memerlukan atau memberikan bantuan untuk memperoleh data lain yang berkaitan dengan hasil penuntutan tindak pidana korupsi yang ditanganinya c. menyusun laporan tahunan dan menyampaikannya kepada Presiden Republik Indonesia, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, dan Badan Pemeriksa Keuangan d. menegakkan sumpah jabatan e. menjalankan tugas, tanggung jawab, dan wewenangnya berdasarkan asas-asas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5. D. Apakah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dapat diangket oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) ?

Pada putusan yang dikeluarkan pada tanggal 8 Februari 2018 Mahkamah Konstitusi (MK) menolak tiga permohonan uji materi Pasal 79 ayat (3) UU MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) terkait dengan hak angket DPR kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Tiga perkara tersebut terdaftar dengan nomor 36/PUU-XV/2017, 37/PUU-XV/2017, dan 40/PUU-XV/2017. MK menyatakan KPK adalah bagian dari eksekutif dan bisa diangket oleh DPR.. MK berpendapat bahwa meskipun tergolong lembaga penunjang dan bersifat independen, KPK masih termasuk lembaga eksekutif karena melaksanakan tugas dan wewenang sebagai lembaga eksekutif. Dengan demikian, DPR mempunyai hak untuk meminta pertanggung jawaban kepada KPK sama seperti KPK yang memiliki kewajiban untuk bertanggung jawab kepada publik. Putusan tersebut tak sejalan dengan putusan yang pernah dikeluarkan MK sebelumnya yang menyatakan KPK bersifat independen dan bagian dari yudikatif bukan eksekutif. Putusan yang dimaksud adalah putusan atas perkara nomor 012-016-019/PUU-IV/2006, 19/PUU-V/2007, 37-39/PUUVIII/2010, dan Nomor 5/PUU-IX/2011. Dalam putusan MK tersebut salah satunya mengenai Pasal 3 Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Tindak Pidana Korupsi yang berbunyi, "Komisi Pemberantasan Korupsi adalah lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun ". Dalam pasal tersebut menunjukkan bahwa KPK memiliki kekuasaan yang absolut. Berdasarkan Pasal 6 Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Tindak Pidana Korupsi , KPK mempunyai tugas sebagai berikut : a. koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi b. supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi c. melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi d. melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi; dan e. melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara.

Sedangkan Hak angket adalah hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau kebijakan Pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. DPR dalam melaksanakan hak angketnya dapat memanggil setiap orang warga negara Indonesia, termasuk warga negara asing, untuk dimintai keterangan selain itu DPR juga dapat melakukan panggilan terhadap pejabat negara, pejabat pemerintah, badan hukum, atau warga masyarakat untuk memberikan keterangan. Memanggil KPK sebagai lembaga negara yang bersifat independen tidak termasuk dalam kategori hak angket DPR. Hal ini karena dalam konteks hukum tata negara, angket itu diperuntukkan bagi DPR untuk mengawasi eksekutif (Presiden dan/atau Wakil Presiden), bukan untuk yudikatif (kekuasaan kehakiman). Bukan pula untuk cabang kekuasaan negara yang keempat (di luar legislatif, eksekutif, dan yudikatif) seperti lembaga independen negara semacam KPK. KPK bukanlah penyelenggara pemerintahan maupun bertugas membuat suatu kebijakan pemerintah, melainkan merupakan lembaga negara yang bersifat independen yang salah satu tugasnya adalah melakukan monitor terhadap penyelenggaraaan pemerintahan negara. Dalam putusan yang dikeluarkan pada tanggal 2 februari 2018 sebagaimna yang telah dijelaskan diatas , MK menyatakan bahwa KPK merupakan bagian dari eksekutif sehingga bisa menjadi objek hak angket. Implikasi dari putusan ini, jika ada tindakan KPK yang tidak disukai DPR, sewaktu-waktu hak angket tersebut bisa dikeluarkan lagi. Akibat dari putusan MK tersebut, KPK dalam menjalankan tugas dan kewajibannya menjadi rentan sebab setiap saat dapat diganggu oleh angket DPR. . Menurut pendapat Ahli yang diajukan KPK sebagai pihak terkait dalam sidang uji materi terkait pansus hak angket, Dr. Refly Harun, S.H., M.H., LL.M, berpendapat bahwa DPR berhak menjalankan fungsi pengawasan terhadap KPK. Namun, fungsi pengawasan tersebut tidak dapat dilakukan melalui mekanisme hak angket dan tidak terkait dengan proses penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan. "KPK merupakan lembaga negara yang bersifat independen sesuai dengan UU KPK. Kendati demikian, bukan berarti DPR tidak bisa melakukan pengawasan terhadap KPK sepanjang pengawasan tersebut tidak terkait dengan proses penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan," Ujar Dr. Refly Harun, saat memberikan keterangan ahli dalam sidang uji materi Pasal 79 ayat (3) UU MD3 di

Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta Pusat, Rabu (25/10/2017). sebagai lembaga yang memiliki fungsi pengawasan, DPR dapat mengawasi kinerja KPK melalui rapat-rapat kerja komisi. pengawasan DPR tak dapat dilakukan dalam kerangka penggunaan hak angket yang secara filosofis merupakan hak pengawasan terhadap pemerintah. sesuai ketentuan Pasal 79 ayat (3) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (UU MD3), hak angket hanya dapat ditujukan terhadap pemerintah dalam rangka check and balances. Sementara, KPK bukan merupakan bagian dari pemerintah dan tidak memiliki kekuasaan dalam sistem pemerintahan. Hak untuk melakukan penyelidikan tersebut dilakukan terhadap pelaksanaan suatu undangundang yang dilaksanakan sendiri oleh Presiden, Wakil Presiden, menteri negara, Panglima TNI, Kapolri, Jaksa Agung, atau pimpinan lembaga pemerintah non kementerian. Terkait pelaksanaan fungsi pengawasan DPR, fungsi pengawasan tersebut tidak dapat dilakukan melalui mekanisme hak angket dan tidak terkait dengan proses penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan. Karena berdasarkan Pasal 11 huruf (a) Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Tindak Pidana Korupsi menyebutkan bahwa : "Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf (c), Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara negara". Berkaitan dengan pasal tersebut aparat penegak hukum yang berwenang dilibatkan dalam proses peneyelidikan , penyidikan dan penuntutan dalam pelaksanaan tugas dan wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi adalah : 1. Pasal 1 angka (1) Penyidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan. 2. Pasal 1 Angka (4) Penyelidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penyelidikan.

3. Pasal 1 Angka (7) Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan.

Kesimpulan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) tidak dapat diangket oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) karena berdasarkan Pasal 3 UndangUndang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Tindak Pidana Korupsi yang berbunyi, "Komisi Pemberantasan Korupsi adalah lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun ". Dalam pasal tersebut menunjukkan bahwa KPK memiliki kekuasaan yang absolut. Memanggil KPK sebagai lembaga negara yang bersifat independen tidak termasuk dalam kategori hak angket DPR. Hal ini karena dalam konteks hukum tata negara, angket itu diperuntukkan bagi DPR untuk mengawasi eksekutif (Presiden dan/atau Wakil Presiden), bukan untuk yudikatif (kekuasaan kehakiman). Bukan pula untuk cabang kekuasaan negara yang keempat (di luar legislatif, eksekutif, dan yudikatif) seperti lembaga independen negara semacam KPK. KPK bukanlah penyelenggara pemerintahan maupun bertugas membuat suatu kebijakan pemerintah, melainkan merupakan lembaga negara yang bersifat independen yang salah satu tugasnya adalah melakukan monitor terhadap penyelenggaraaan pemerintahan negara,bukan berarti DPR tidak bisa melakukan pengawasan terhadap KPK sepanjang pengawasan tersebut tidak terkait dengan proses penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan dan fungsi pengawasan tersebut tidak dapat dilakukan melalui mekanisme hak angket. sebagai lembaga yang memiliki fungsi pengawasan, DPR dapat mengawasi kinerja KPK melalui rapat-rapat kerja komisi. pengawasan DPR tak dapat dilakukan dalam kerangka penggunaan hak angket yang secara filosofis merupakan hak pengawasan terhadap pemerintah. sesuai ketentuan Pasal 79 ayat (3) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (UU MD3), hak angket hanya dapat ditujukan terhadap pemerintah dalam rangka check and balances. Sementara, KPK bukan merupakan bagian dari pemerintah dan tidak memiliki kekuasaan dalam sistem pemerintahan. Hak untuk melakukan penyelidikan tersebut dilakukan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang yang dilaksanakan sendiri oleh Presiden, Wakil Presiden, menteri negara, Panglima TNI, Kapolri, Jaksa Agung, atau pimpinan lembaga pemerintah non kementerian.

Related Documents


More Documents from ""