LAPORAN KASUS MORBUS HANSEN TIPE PAUSIBASILER
Penyusun: Lidya Setia Dinata
17710124
Pembimbing: dr. Kurniati, Sp.KK
SMF KULIT DAN KELAMIN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS WIJAYA KUSUMA SURABAYA RSUD IBNU SINA KABUPATEN GRESIK
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa berkat dan rahmatnya lah penulis dapat menyelesaikan tugas laporan kasus “Morbus Hansen” sebagai salah satu syarat untuk mengikuti ujian di bidang ilmu Kulit dan Kelamin dalam menyelesaikan Pendidikan dokter muda di Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya. Laporan kasus ini dibuat selain tugas, juga semoga dapat membantu teman sejawat yang ingin mengetahui tentang “Morbus Hansen” dan juga membantu penulis dalam mempelajari lebih dalam tentang “Morbus Hansen”. Selain itu penulis ingin mengucapkan rasa hormat dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1. Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya. 2. Direktur RSUD Ibnu Sina Kabupaten Gresik, atas kesempatan yang diberikan sehingga saya dapat menimba ilmu dirumah sakit ini. 3. dr. Wind Faidati, Sp.KK selaku Kepala Bagian Ilmu Kulit dan Kelamin di RSUD Ibnu Sina Kabupaten Gresik. 4. dr. Kurniati, Sp.KK selaku dokter pembimbing saya dan teman-teman saya. 5. Kedua orang tua saya yang telah memberikan dukungan moril, materil, maupun spiritual. Penulis menyadari bahwa laporan kasus ini masih jauh dari sempurna, maka dari itu penulis mengharap kritik dan saran yang membangun. Semoga laporan kasus ini dapat bermanfaat untuk dokter muda yang melaksanakan kepanitraan klinik pada khususnya, serta masyarakat pada umumnya.
Gresik, Maret 2019
ii
DAFTAR ISI
Halaman Halaman Judul......................................................................................
i
Kata Pengantar ....................................................................................
ii
Daftar Isi...............................................................................................
iii
BAB I LAPORAN KASUS .................................................................
1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi ....................................................................................
7
2.2. Etiologi ....................................................................................
7
2.3. Epidemiologi............................................................................
8
2.4. Patogenesis ..............................................................................
8
2.5. Histopatologi ...........................................................................
9
2.6. Gejala klinis ............................................................................
10
2.7. Penatalaksanaan ......................................................................
13
2.8. Prognosis .................................................................................
16
BAB III PEMBAHASAN ....................................................................
17
DAFTAR PUSTAKA
iii
BAB I LAPORAN KASUS 1.1. IDENTITAS PASIEN Nama
: Ny. Yuni
Umur
:56 tahun
Alamat
: Kedung Banteng, Desa Gredek RT 02 / RW 01 Kec. Duduksampeyan, Gresik, Jawa Timur
Pekerjaan
: Ibu rumah tangga
Tanggal pemeriksaan
: 22 Maret 2019
No. RM
: 725367
1.2. ANAMNESA Keluhan utama
: Sulit menggerakkan kelingking kiri
Riwayat penyakit sekarang
: Pasien datang dengan keluhan kesulitan menggerakkan jari kelingking kirinya. Keluhan dirasa sejak 2 minggu yang lalu. Semakin
lama
dirasa
semakin
sulit
digerakkan disertai rasa kaku pada tangan kirinya. Pasien juga kadang tidak dapat merasakan sentuhan pada jari tangan kirinya. Kondisi itu dirasa setelah pasien melahirkan anak kedua ± 30 tahun yang lalu. Tidak ada rasa nyeri atau gatal. Tidak ada keluhan lain selain yang diatas.
1
Riwayat penyakit dahulu
: Pasien mengatakan tidak pernah sakit seperti ini sebelumnya. Riwayat Hipertensi : disangkal Riwayat Diabetes Mellitus : disangkal Riwayat PJK : disangkal Riwayat Alergi : disangkal
Riwayat penyakit keluarga
: Riwayat keluarga sakit serupa disangkal
Riwayat pengobatan
: Pasien belum pernah berobat sebelumnya
Riwayat sosial
: Pasien merupakan ibu rumah tangga. Tidak ada yang sakit seperti ini di sekitar pasien.
1.3. PEMERIKSAAN FISIK Status generalis Keadaan umum
: cukup
Kesadaran
: compos mentis
GCS
: 4-5-6
Tanda vital
:
Tekanan darah
: 120/80 mmHg
Nadi
: 84 kali / menit
Respiration rate
: 15 kali / menit
Suhu
: 36.50C
2
Kepala / Leher Mata
: isokor, anemis (-/-), icterus (-/-), madarosis (-/-), lagoftalmus (-/-)
Telinga
: tak tampak kelainan, penebalan cuping telinga (-/-)
Hidung
: tak tampak kelainan, saddle nose (-), penebalan cuping hidung (-)
Mulut
: sianosis (-), bibir kering (-), lidah kotor (–)
Wajah
: Leonine fascies(-)
Leher
: pembesaran kelenjar getah bening (-/-) peningkatan JVP (-/-) pembesaran nervus auricularis magnus (-/-)
Thorax Simetris, retraksi dada (-) Jantung
: S1 S2 tunggal, reguler, Gallop (-)
Paru
: vesikuler pada kedua lapang paru
Abdomen Flat, soefl, bising usus (+)normal, organomegaly (–) Ekstremitas Superior
: Akral hangat kering merah (+/+) Pembesaran nervus ulnaris (-/+) Kekuatan otot (5/3) Atrofi otot tenar dan hipotenar sinistra Clawing hands (-/+)
3
Deformitas digiti V sinistra Inferior
: Akral hangat kering merah (+/+) Pembesaran nervus peroneus communis (-/-) Pembesaran nervus tibialis posterior (-/-) Kekuatan otot (5/5)
Status dermatologis : -
Tidak ditemukan lesi berupa makula atau plak yang tersebar di regional tubuh
Pemeriksaan Saraf Tepi : -
Tampak penebalan N. Ulnaris Sinistra
4
Gambar 1.1 Regio Manus Sinistra tampak atrofi otot tenar dan hipotenar di sertai deformitas pada digiti V
1.4. DIAGNOSIS Morbus Hansen Tipe Pausibasiler dengan Clawing Hands 1.5. DIAGNOSIS BANDING a. Carpal Tunnel Syndrome b. Skleroderma sistemik 1.6. RENCANA (EDUKASI, DIAGNOSTIK, TERAPI) a. Planning diagnostic a. Pemeriksaan lab : Darah lengkap b. Pemeriksaan bakteriologis : Tes Uji Cukit Kulit (BTA) c. Pemeriksaan Serologis : Tes Lepromin b. Medikamentosa a. Rifampicin 600mg/bulan (diminum di depan petugas) b. Dapson 100mg/hari (diminum selama 6 bulan, maksimal 9 bulan)
5
c. Non medikamentosa a. Istirahat yang cukup b. Pola makan teratur dengan asupan gizi yang cukup d. KIE a. Menjelaskan pada pasien dan keluarga mengenai penyakit ini. b. Memberi edukasi kepada pasien dan keluarga mengenai pentingnya
keteraturan
pengobatan
dan
menyelesaikan
pengobatan sesuai waktu yang ditentukan. c. Memberi edukasi kepada pasien dan keluarga mengenai cara perawatan. d. Memberi edukasi pada pasien untuk tidak meminum obat lain tanpa sepengetahuan dokter kulit. e. Memberi edukasi untuk sering melatih jari-jari tangan terutama tangan kiri agar fungsinya tidak menurun 1.7. PROGNOSIS Dubia ad bonam
6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. DEFINISI Istilah kusta berasal dari bahasa sansekerta, yakni kustha berarti kumpulan gejala-gejala kulit secara umum. Penyakit kusta atau lepra disebut juga Morbus Hansen, sesuai dengan nama yang menemukan kuman. Kusta adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium leprae.1 Kusta menyerang berbagai bagian tubuh diantaranya saraf dan kulit. Penyakit ini adalah tipe penyakit granulomatosa pada saraf tepi dan mukosa dari saluran pernafasan atas dan lesi pada kulit adalah tanda yang bisa di amati dari luar. Bila tidak ditangani, kusta dapat sangat progresif menyebabkan kerusakan pada kulit, saraf, anggota gerak dan mata.1
2.2. ETIOLOGI Mycobacterium leprae dan Mycobacterium lepromatosis adalah bakteri tahan asam yang berbentuk batang.2 Pada umumnya bakteri tersebut di sebarkan dari manusia ke manusia melalui droplet yang di keluarkan saat bernafas atau batuk. Masa inkubasi bakteri tersebut di dalam tubuh manusia tergantung daya tahan tubuh tiap individu, tetapi WHO menyatakan masa inkubasi bakteri tersebut dalam tubuh manusia sampai 20 tahun.2
7
2.3. EPIDEMIOLOGI Indonesia menduduki peringkat ketiga di dunia penderita kusta terbanyak pada tahun 2014 setelah India dan Brazil. Jawa Timur menduduki peringkat pertama pada tahun 2015 dengan jumlah kasus kusta yang tercatat 3.952 kasus dengan PB 256 kasus dan MB 3.696 kasus sedangkan prevalensi 1,02 per 100.000 penduduk. Jawa Timur termasuk wilayah endemis penyakit kusta setidaknya 30 persen penderita kusta di Indonesia berasal dari Jawa Timur. Kasus baru kusta provinsi Jawa Timur tahun 2014, kasus terbanyak kabupaten Sumenep 517 kasus, Kabupaten Sampang 487 kasus, Kabupaten Jember 294 kasus dan Kota Surabaya sebanyak 176 kasus. Surabaya merupakan kota terbesar kedua setelah Jakarta dengan populasi penduduk sekitar 3 juta orang. Pada tahun 2014 masih terdapat kasus kusta yang cukup besar yaitu sebanyak 176 kasus.3
2.4. PATOGENESIS Dua rute keluarnya
Micobacterium leprae
dari tubuh manusia yaitu
melalui kulit dan mukosa hidung. Rute masuknya Micobacterium leprae kedalam tubuh manusia tidak diketahui secara pasti. Dua rute masuknya kemungkinan besar adalah kulit dan saluran pernafasan. Dari beberapa penelitian, saluran pernafasan merupakan rute penyebaran yang utama pada penyakit ini.4 Sulit mengukur periode inkubasi dalam kusta
karena kurangnya alat
imunologi yang memadai dan onset yang lambat dari timbulnya penyakit
8
tersebut. Periode inkubasi tercepat terjadi selama beberapa minggu dan yang terlama dapat mencapai selama 30 tahun. Pada daerah non-endemik kusta, masa inkubasi rata-rata tiga sampai sepuluh tahun.4 Sel Schwann adalah target utama untuk leprae
yang
menyebabkan
cedera
pada
infeksi oleh Micobacterium saraf,
demielinisasi
dan
mengakibatkan kecacatan. Adanya ikatan antara bakteri Micobacterium leprae dengan selubung saraf merangsang keluarnya protein-protein yang mengakibatkan terjadinya demielinisasi dan terjadinya kerusakan saraf-saraf yang terinfeksi.4
2.5. HISTOPATOLOGI Secara histopatologis, lesi kulit dari pasien tuberkuloid ditandai oleh infiltrat inflamasi yang memiliki bentuk berupa granuloma dengan bentukan makrofag yang berbeda, sel epiteloid dan giant cells, dan didominasi oleh sel T CD4+ di area lesi tersebut. Pasien menunjukkan respon imun positif kuat terhadap Micobacterium leprae dengan ditandai hadirnya Th1, produksi IFN-, dan tes kulit positif ( Tes Lepromin). Pasien lepromatosa datang dengan beberapa lesi kulit yang di dominasi oleh sel T CD8+ , tidak beberbentuk granuloma, dan permukaan rata pada lapisan epidermis. Jumlah basil dari pasien yang terdiagnosis lepromatosis dapat mencapai 1012 bakteri pergram jaringan. Pasien kusta LL memiliki rasio CD4:CD8 sekitar 1:2 dengan respon Th2 yang dominan dan titer antibodi Micobakterium leprae yang tinggi.4
9
2.6. GEJALA KLINIS a. Gejala Klinis yang ditimbulkan Gejala-gejalanya terutama mengenai kulit, saraf, dan selaput lendir (area lunak dan lembab yang terdapat di dalam permukaan tubuh.5 Gejala yang ditimbulkan pada kulit berupa :5
Bercak-bercak kulit yang berubah warna, biasanya rata, yang mungkin mati rasa dan terlihat pudar (lebih terang dari kulit sekitarnya),
Pertumbuhan nodul pada kulit
Kulit tebal, kaku atau kering
Bisul tanpa rasa sakit di telapak kaki
Pembengkakan tanpa rasa sakit atau benjolan di wajah atau telinga
Hilangnya alis atau bulu mata
Gejala yang ditimbulkan pada saraf berupa : 5 Mati rasa pada kulit yang terkena Kelemahan atau kelumpuhan otot (terutama ditangan atau dikaki) Saraf yang membesar (terutama disiku dan lutut dan sisi leher) Masalah mata yang dapat menyebabkan kebutaan (ketika mengenai saraf wajah) Gejala yang ditimbulkan pada membran mukosa : 5 Hidung tersumbat Mimisan
10
b. Keterlibatan dan komplikasi pada saraf Jaringan kulit dan batang saraf sering menjadi target sasaran dari Mycobacterium leprae. Manifestasi yang ditimbulkan tergantung saraf yang terinfeksi, respon imunitas individu, jenis kusta dan reaksinya. Kerusakan saraf di tandai dengan gangguan atau hilangnya sensorik lengkap di area yang berhubungan dengan saraf perifer. Kerusakan saraf dapat terjadi pada tingkat kutis (dimana ujung saraf terinfeksi), pada tingkat saraf bagian subkutan, dan pada tingkat batang saraf. Fungsi motorik dan otonom juga bisa dipengaruhi. Kerusakan saraf otonom menyebabkan terjadinya sianosis, membran mukosa kering, dan berkurangnya keringat pada bagian saraf yang terinfeksi. Paresis atau kelumpuhan dan atrofi otot juga dapat terjadi bila infeksi tersebut menyerang bagian saraf. Saraf perifer adalah saraf yang paling sering terkena infeksi kusta tersebut (biasanya simetris atau asimetris). 6 Pada kasus ini terjadi infeksi pada saraf ulnarisnya. Saraf ulnaris ini paling sering terkena pada penyakit kusta yang ditandai dengan kerusakan saraf mulai dari bagian proximal sampai percabangannya di olecranon. Bila hal tersebut tidak segera ditangani, maka akan terjadi kerusakan saraf yang lebih fatal ditandai dengan hilangnya sensasi rasa (Sensorik) serta terjadi atrofi otot yang progresif pada hipotenar. Seiring berjalannya waktu, jari keempat dan kelima menjadi tertekuk di sendi interphalangeal
proximal
dan
bisa
memanjang
sampai
sendi
metacharpophalangeal. Kondisi seperti ini akan menunjukkan gambaran
11
tangan yang berbentuk cakar atau sebutannya Ulnar Claw. Tanpa perawatan dan pencegahan kecacatan yang maksimal, kondisi ini akan berujung pada kerusakan tulang dan hilangnya jari pasien.6
Gambar 2.1 Ulnar claw. Jari kempat dan kelima fleksi dikarenakan kerukasan pada Nervus ulnaris pada pasien kusta.6
c. Klasifikasi Morbus Hansen Tabel 2.1 Klasifikasi Morbus Hansen7
TANDA-TANDA
PAUSIBASILER (PB)
MULTIBASILER (MB)
Bercak kusta
Jumlah 1-5
Jumlah > 5
Penebalan saraf tepi
Hanya 1 saraf
Lebih dari 1 saraf
Kerokan jaringan kulit
BTA negatif
BTA Positif
Distribusi
Unilateral atau bilateral Bilateral simetris asimetris
Permukaan bercak
Kering, kasar
Halus, mengkilap
12
Batas bercak
Tegas
Kurang tegas
Mati rasa pada bercak
Jelas
Biasanya kurang jelas
Deformitas
Proses terjadi lebih cepat Terjadi pada tahap lanjut
Ciri-ciri khas
-
Madarosis, hidung pelana, wajah
singa
leonina),
(facies
ginekomasti
pada laki-laki
2.7. PENATALAKSANAAN a. Nonmedikamentosa7 1. Untuk tangan yang mati rasa Tangan yang mati rasa dapat terluka oleh : - Benda panas - Benda tajam - Gesekan dari alat kerja Memeriksa : seringlah berhenti dan periksa tangan dengan teliti apakah ada luka atau lecet sekecil apapun Melindungi : Lindungilah tangan dari benda yang panas , kasar atau tajam,
dengan memakai kaos tangan tebal atau alas kain
dan
mencegah luka dengan membagi tugas rumah tangga supaya orang lain mengerjakan bagian yang berbahaya bagi tangan yang mati rasa Merawat Luka : Jika ada luka, memar atau lecet sekecil apapun, rawatlah dan istirahatkan bagian tangan itu sampai sembuh.
13
2. Untuk jari tangan yang bengkok Jika dibiarkan bengkok, maka jari tangan akan kaku dan otot akan memendek sehingga jari akan menjadi lebih kaku dan tidak dapat digunakan, serta dapat menyebabkan luka. Untuk mencegahnya dengan cara : Memeriksa : Periksa tangan secara rutin untuk luka yang mungkin terjadi akibat penggunaan tangan dengan jari yang bengkok. Melindungi : Menggunakan alat bantu untuk aktifitas sehari-hari yang dimodifikasi untuk digunakan pada jari yang bengkok. Merawat : Sesering mungkin menggunakan tangan yang lain untuk meluruskan sendi-sendinya dan mencegah supaya jangan sampai terjadi kekakuan lebih berat dengan cara : -
Taruh tangan diatas paha, luruskan dan bengkokan jari berulang kali
-
Pegang ibu jari dengan tangan lain dan gerakkan sendi supaya tidak kaku
-
Atau jika ada kelemahan pada jari, kuatkan dengan cara taruh tangan di meja atau paha, pisahkan dan rapatkan jari berulang kali. Ikat jari dengan 2-3 karet gelang, lalu pisahkan
dan
rapatkan jari berulang kali (jari ke 2 s/d 5). b. Medikamentosa7 Regimen pengobatan MDT di Indonesia sesuai dengan yang di rekomendasikan oleh WHO. Regimen tersebut adalah sebagai berikut :
14
1. Pasien Pausibasiler (PB) Dewasa Pengobatan bulanan : hari pertama (obat diminum di depan petugas)
2 kapsul rifampicin @300mg (600mg)
1 tablet dapson / DDS 100mg
Pengobatan harian : hari ke 2-28 1 tablet dapson / DDS 100mg Satu blister untuk 1 bulan. Dibutuhkan 6 blister yang diminum selama 6-9 bulan. 2. Pasien Multibasiler (MB) Dewasa Pengobatan bulanan : hari pertama (obat diminum di depan petugas)
2 kapsul rifampicin @300mg (600mg)
3 tablet lampren @100mg (300mg)
1 tablet dapson/ DDS 100mg
Pengobatan harian : hari ke 2-28
1 tablet lampren 50 mg
1 tablet dapson/DDS 100mg
Satu blister untuk 1 bulan. Dibutuhkan 12 blister untuk diminum selama 12-18 bulan
15
2.8. PROGNOSIS Prognosis pasien dengan Morbus Hansen akan baik jika didiagnosis dengan cepat dan mendapatkan terapi yang adekuat. Rekurensi dapat terjadi apabila terapi yang diberikan inadekuat. Pentingnya memutuskan mata rantai penularan agar pasien tidak terinfeksi kembali dan perlunya penanganan pencegahan kecacatan untuk meningkatkan kualitas hidup pasien. 1,5,7.
16
BAB III PEMBAHASAN
Kemenkes RI sudah menetapkan dalam sebuah jurnal yang dikeluarkan pada tahun 2015 halaman 1, dimana dalam jurnal tersebut menjelaskan mengenai kusta yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium leprae.1 Dalam jurnal “Clinical Aspect of Leprosy” halaman 26, menyatakan Leprosy (Kusta) merupakan penyakit kronik yang menginfeksi sistem saraf perifer, kulit dan beberapa jaringan seperti sistem retikulo-endotelial, tulang dan sendi, membran mukosa, mata, otot dan kelenjar adrenal .2 Centers for Disease Control and Prevention (CDC) menjelaskan bahwa gejala yang ditimbulkan bervariasi tergantung manifestasi dari bakteri tersebut. Gejalanya antara lain pada kulit dapat ditemukan munculnya plak/ makula yang berubah warna bisa disertai pertumbuhan nodul pada kulit, kulit terasa tebal, kaku, dan kering.5 Pada gangguan saraf dapat ditemukan gejala berupa kehilangan sensasi rasa karena terganggunya fungsi saraf sensorik dan dapat terjadi atrofi pada otot yang dipersarafi oleh saraf tersebut.5 Pada kasus ini pasien datang dengan keluhan sulit menggerakkan kelingking kiri. Dimana
keluhan tersebut disertai dengan
hilangnya sensasi rasa (Sensorik) pada jari tangan pasien dan atrofi pada otot tenar dan hipotenar pasien. Jari tangan pasien juga sering terasa kaku dan sulit digerakkan. Pedoman Nasional Program Pengendalian Penyakit kusta halaman 73 menetapkan klasifikasi Kusta (Morbus Hansen) dibagi menjadi dua tipe yaitu tipe
17
pausibasiler dan multibasiler.7 Penentuan tipe tersebut berdasarkan beberapa kategori antara lain jumlah bercak kusta, penebalan saraf tepi, kerokan jaringan kulit, distribusi, permukaan bercak, batas bercak, mati rasa pada bercak, deformitas.
7
Pada pasien ini tidak ditemukan bercak-bercak pada kulitnya, oleh
sebab itu terdapat kesulitan dalam menegakkan diagnosis. Namun, dari hasil pemeriksaan fisik ditemukan beberapa tanda khas yang dapat dijumpai pada pasien kusta. Pada pasien ini ditemukan penebalan pada N. Ulnaris sinistra dimana menunjukkan adanya infeksi pada saraf tersebut. Selain itu ditemukan deformitas pada digiti v sinistra yang disertai dengan claw hands. Oleh sebab itu pasien pada kasus ini dapat di klasifikasikan sebagai tipe pausibasiler karena hanya ditemukan gangguan pada satu saraf tepi. Penegakkan
diagnosis
dari
penyakit
ini
berdasarkan
anamnesis,
pemeriksaan fisik yang telah dilakukan.7 Pemeriksaan penunjang yang dianjurkan berupa darah lengkap, tes BTA, tes lepromin diharapkan dapat menegakkan diagnosis secara pasti. Ketiga langkah meneggakkan diagnosis kusta tersebut telah sesuai dengan pedoman dalam jurnal Pedoman Nasional Program Pengendalian Penyakit kusta halaman 75 yang telah ditetapkan oleh Kemenkes RI. Adapun diagnosis banding pada penyakit ini yang mana pada pasien tidak ditemukan bercak-bercak seperti pada umumnya sehingga tidak dapat menentukan diagnosis banding seperti penyakit kusta pada umumnya yaitu tinea korporis atau psoriasis vulgaris. Namun adanya satu gejala khas pada pasien yaitu claw hands dapat merujuk pada diagnosis banding yaitu carpal tunnel syndrome (CTS) dan sistemik skleroderma sesuai dengan yang tercantum dalam jurnal Clinical Aspect of
18
Leprosy halaman 35 yang menyatakan bahwa beberapa penyakit yang dapat menjadi diagnosis banding dari kusta dengan gangguan saraf perifer antara lain carpal tunnel syndrome dan sistemik skleroderma.6 Pemberian terapi pada pasien Kusta (Morbus Hansen) berdasarkan tipenya yaitu tipe pausibasiler atau tipe multibasiler. Pengobatan menggunakan beberapa regimen obat dimana tiap tipe memiliki regimen obat yang berbeda dan lama pengobatan yang berbeda. Sesuai Pedoman Nasional Program Pengendalian Penyakit Kusta halaman 100, pada pasien ini ditegakkan diagnosis Morbus Hansen tipe pausibasiler sehingga menggunakan regiman obat untuk tipe pausibasiler dan lama pengobatan yang diperlukan 6-9 bulan.7 Regimen obat yang digunakan adalah rifampicin dan dapson.7 Kondisi pada pasien ini telah menunjukkan komplikasi dimana terdapat deformitas pada jari kelingking kiri disertai bentukan tangan khas yaitu claw hands yang menandakan adanya kerusakan saraf pasien. Oleh sebab itu selain pemberian obat yang adekuat, juga diperlukan terapi untuk meningkatkan kualitas hidup pasien agar fungsi jari-jari tangannya tidak menurun. Fisioterapi dapat dilakukan dengan melatih jari-jari tangan secara berulang-ulang dan secara konsisten. Latihan tersebut juga dapat mengurangi risiko yang lebih lenjut yaitu kerusakan tulang hingga kehilangan jari tangan. Oleh sebab itu apabila pengobatan secara medikamentosa dan non medikamentosa dapat dilakukan secara adekuat maka prognosis untuk pasien ini adalah dubia ad bonam. Namun tidak menutup kemungkinan kondisi seperti ini bisa kambuh lagi tergantung dari daya tahan tubuh pasien dan kondisi lingkungan pasien tersebut.7
19
DAFTAR PUSTAKA
1. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 2015. Pusat Data dan Informasi Kementrian kesehatan RI : KUSTA. Departement Kesehatan Republik Indonesia (DEPKES RI) Hal. 1 (http://www.depkes.go.id/download.php?file=download/pusdatin/infodatin/inf odatin_kusta.pdf ) diakses pada tanggal 25 Maret 2019 Pukul 20.00 WIB. 2. White Cassandra. 2017. Clinical and Social Aspects of Leprosy (Hansen’s Disease) dan Contemporary Challanges to Elimination. Department of Anthropology, Georgia State University, USA. Journal of Dermatology and Clinical Research. Hal 2 3. Gustam Tasalina Yohana Parameswari,dkk. 2017. Hubungan antara Riwayat Kontak
dengan
Kejadian
Kusta
Multibasiler.
University
Research
Colloquium. ISSN 2407-9189. Hal 36 4. Barth Ramesh Marne and Prakash Chaitra. 2012. Leprosy : An Overview Pathophysiology.
Department of
Dermatology, Father Muller Medical
Collage, Kartanaka, India. Hindawi Publishing Corporation. Hal 2-3 5. Centers for Disease Control and Prevention. 2017. Hansen’s Disease (Leprosy) : Signs and Symptoms. National Center for Emerging and Zoonotic Infectious Diseases. https://www.cdc.gov/leprosy/resources/index.html diakses pada tanggal 26 Maret 2019 pada pukul 12.000 WIB
20
6. Talhari Carolina, MD, PhD, dkk. 2015. Clinic Aspect of Leprosy. Clinics and Dermatology. Elsevier. 33, Hal 26-37 7. Kemenkes RI. 2012. Pedoman Nasional Program Pengendalian Penyakit Kusta. Jakarta : Kementrian kesehatan RI Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit Dan Penyehatan Lingkungan. Hal 72 - 131
21