WALK THROUGH SURVEY PT. PUTRA BINTANG LIMA
19 Desember 2018
KESEHATAN KERJA DAN ERGONOMI
Disusun oleh: Kelompok A2 dr. Yurika Elizabeth Susanti dr. Hendry Wijaya dr. Richard Firmansyah dr. Kevin Alexander dr. Prayogo James Anggono dr. Novia Nathania Beatrice dr. Lucy Amanda dr. Christian dr. Febiola dr. Vanessa Aprilia Thomas dr. Klarissa Chrishalim dr. Grandy Ciputra dr. Ivan Bintang Pratama dr. Gabriela Stephanie Putri dr. Marcel Hanardi dr.Lidya Diantika Sigalingging dr. Meiria Jubilanti Ompusunggu dr. Hendar Fazrilullah dr. Lazuardiah Anandi dr. M. Endi Raharsadi
Pelatihan Hiperkes dan Keselamatan Kerja Kementerian Ketenagakerjaan Indonesia Periode 17-21 Desember 2018 Jakarta
1
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, penulis akhirnya dapat menyelesaikan laporan Walk Through Survey di PT. Putra Bintang Lima dengan baik. Selama proses penyusunan laporan ini penulis banyak mengamati dan belajar hal baru yang dapat berguna bagi penulis yang nanti akan bekerja sebagai dokter perusahaan. Penulis mengucapkan terima kasih kepada beberapa pihak yang telah mendukung keberhasilan penyusunan laporan ini. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada: 1. Pihak PT. Bina Okupasi Indonesia yang telah memfasilitasi kami dalam melakukan kunjungan 2. Pihak PT. Putra Bintang Lima dan segenap staff yang telah menerima dan memberikan banyak informasi kepada penulis Akhir kata, semoga Tuhan Yang Maha Esa berkenan membalas segala kebaikan semua pihak yang telah membantu. Semoga laporan ini membawa manfaat bagi pengembangan ilmu kedokteran okupasi dan dapat memberikan masukan untuk kemajuan PT. Putra Bintang Lima.
Jakarta, 19 Desember 2018
Penulis
2
DAFTAR ISI
Halaman Judul ................................................................................................... 1 Kata Pengantar .................................................................................................. 2 Daftar Isi ............................................................................................................. 3 BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 4 1.1 Latar Belakang ............................................................................................. 4 1.2 Dasar Hukum ............................................................................................... 5 1.3 Profil Perusahaan ......................................................................................... 6 1.4 Alur Produksi dan Pelaksanaan ................................................................... 6 1.5 Landasan Teori ............................................................................................ 16 BAB II PELAKSANAAN ...................................................................................... 29 2.1 Tanggal dan Waktu Pengamatan................................................................. 29 2.2 Lokasi Pengamatan ..................................................................................... 29 BAB III HASIL PENGAMATAN DAN PEMECAHAN MASALAH ........................ 30 BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN .................................................................. 37 4.1 Kesimpulan .................................................................................................. 37 4.2 Saran............................................................................................................ 37 BAB V PENUTUP............................................................................................... 39
3
BAB I PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG Dewasa ini, pembangunan nasional berkembang seiring dengan berjalannya perkembangan industri yang ditandai dengan modernisasi pada mekanisme produksi. Yakni, terjadi peningkatan penggunaan mesin-mesin, pesawat-pesawat, dan teknologi tinggi lainnya, serta bahan berbahaya. Namun, kemudahan dalam proses produksi dapat pula meningkatkan jumlah dan jenis bahaya di tempat kerja. Selain itu, tercipta lingkungan kerja yang kurang memenuhi syarat, proses dan sifat pekerjaan yang berbahaya. Masalah tersebut akan sangat mempengaruhi dan mendorong peningkatan jumlah maupun tingkat kecelakaan kerja. Penerapan
Kesehatan
dan
Keselamatan
Kerja
(K3)
dalam
sebuah
perusahaan menjadi sebuah keharusan guna meminimalkan kejadian kecelakaan kerja. Pada hakikatnya, faktor K3 berpengaruh terhadap efisiensi produksi dari suatu perusahaan
industri
sehingga
dapat
mempengaruhi
tingkat
pencapaian
produktivitasnya. Karena pada dasarnya tujuan K3 adalah melindungi para tenaga kerja atas hak keselamatannya dalam melakukan pekerjaan dan untuk menciptakan tenaga kerja yang sehat dan produktif. Kebijakan terkait penerapan Sistem Manajemen Kesehatan
dan
Keselamatan
Kerja
(SMK3) melibatkan
unsur
manajemen, tenaga kerja, dan kondisi lingkungan kerja yang terintegrasi dalam rangka mencegah, mengurangi kecelakaan, dan penyakit akibat kerja, serta terciptanya lingkungan kerja yang aman, efisien, dan produktif. Ruang lingkup dari keselamatan dan kesehatan kerja meliputi pencegahan kecelakaan, pencegahan kebakaran, pencegahan peledakan, pemasangan jalur evakuasi, pelaksanaan P3K, manajemen APD, pemantauan lingkungan kerja, pencegahan penyakit akibat kerja, pemantauan penerangan
tempat kerja,
pemantauan iklim kerja, pemasanan ventilasi, pelaksanaan sanitasi industri dan pemeriksaan kesehatan, pelaksanaan ergonomi, K3 angkat angkut, K3 konstruksi, K3 bongkar muat dan penempatan barang, K3 listrik dan K3 di tempat kerja beresiko tinggi. Semua lingkup tersebut dibagi menjadi 4 sektor, yaitu keselamatan kerja, higien industri, ergonomi, dan kesehatan kerja. Penerapan konsep ini tidak boleh dianggap sebagai upaya pencegahan kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja yang menghabiskan banyak biaya (cost) 4
perusahaan, melainkan harus dianggap sebagai bentuk investasi jangka panjang yang memberi keuntungan yang berlimpah pada masa yang akan datang. Berbagai macam permasalahan di bidang K3 masih banyak ditemukan terutama di negara 2 berkembang seperti Indonesia. Masalah yang masih ditemukan antara lain kurangnya perhatian dari semua pihak akan pentingnya keselamatan kerja, masih tingginya angka kecelakaan kerja dan rendahnya komitmen dari pemilik dan pengelola usaha. Hal ini juga berpengaruh terhadap kemampuan perusahaan untuk dapat bersaing secara global.
1.2 DASAR HUKUM Dengan alasan untuk melindungi para tenaga kerja dan pengembangan usaha demi tercapainya tidak adanya kecelakaan dan penyakit akibat kerja maka ada beberapa landasan yang digunakan oleh perusahaan, sebagai berikut : 1. UU No.I tahun 1970 tentang kesehatan dan keselamatan kerja. 2. UU No 13 tahun 2003 pasal 86 dan 87 tentang ketenagakerjaan. 3. UU No.23 tahun 1992 tentang kesehatan. 4. UU No 3 tahun 1992 tentang jaminan sosial tenaga kerja. 5. Permenakertrans No.03/Men/1982 tentang pelayanan kesehatan kerja. 6. Kepres RI No.22 tahun 1993 tentang penyakit yang disebabkan oleh pekerjaan atau lingkungan kerja. 7. Kepmenakertrans
No.68
tahun
2004
tentang
pencegahan
dan
penanggulangan HIV/AIDS di tempat kerja. 8. Permenakertrans No.11/Men/VI/2005 tentang pencegahan penyalahgunaan narkoba, psikotropika dan zat adiktif lainnya di tempat kerja. 9. Permenakertrans No.01/Men/1976 tentang kewajiban pelatihan hiperkes bagi dokter perusahaan. 10. Permenakertrans No.01/Men/1979 tentang kewajiban pelatihan hiperkes bagi paramedic perusahaan. 11. Permenakertrans No.Per 02/Men/1980 tentang pemeriksaan kesehatan tenaga kerja dalam penyelanggaraan keselamatan kerja. 12. Permenakertrans No.Per 03/Men/1983 tentang pelayanan kesehatan kerja. 13. SE.Menakertrans No.SE.01/Men/1979 tentang pengadaan kantin dan ruang makan.
5
14. SE.Dirjen binawas No.SE.86/BW/1989 tentang perusahaan catering yang mengelola makanan bagi tenaga kerja. 15. Permenakertrans No.Per 05/MEN/VIII/2008 tentang pertolongan pertama pada kecelakaan di tempat kerja.
1.3 PROFIL PERUSAHAAN a. Sejarah perusahaan PT Putra Bintang Lima adalah perusahaan industri topi baret di Indonesia, berdomisili di kawasan Cakung yang didirikan pada tahun 2013 b. Customers Instansi POLRI dan TNI di wilayah Jakarta c. Jumlah pegawai perusahaan Jumlah pegawai kurang lebih 150 orang. d. Jam kerja Senin-Jumat 08.00 – 17.00 , Sabtu 08.00 – 12.30 e. Asuransi BPJS Ketenagakerjaan untuk semua pekerja tetap, sedangkan pekerja kontrak ditanggung perusahaan
1.4 ALUR PRODUKSI DAN PELAKSANAAN 1.4.1 Spesifikasi dan Metode Pelaksanaan Pekerjaan dalam Pembuatan Baret A. BAHAN :
Material Baret
: 100% Wool
Kain rajut pelipit / Tatakan Keringat
: 100% Polyester
Benang Jahit
: 100% Spun Polyester
Mata Ayam / Ventilator
: Kuningan Oksidasi Hitam
Pelapis Mata Ayam / Ventilator
: Original Kulit
Pelindung Emblem
: Busa EVA
Pembungkus Pelindung Emblem
:100% Rayon Filamen (Satin)
Pita Webing Pengikat Lingkar Kepala
:100% Polyester
Label
:100% Satin Polyester
Lembaran Penutup Label
: Plastik
6
B. KONSTRUKSI
Bentuk
: Topi Baret
Ukuran
: Size 53 – 60
Keliling Lingkaran
Panjang
Lubang Kepala
penutup luar kepala
(ukuran dalam cm)
(ukuran dalam cm)
53
53± 0,5
41 ± 0,2
54
54± 0,5
41± 0,2
55
55± 0,5
42 ± 0,2
56
56± 0,5
42 ± 0,2
57
57± 0,5
42 ± 0,2
58
58± 0,5
43 ± 0,2
59
59± 0,5
43 ± 0,2
60
60± 0,5
43 ± 0,2
Ukuran
Penampang Keterangan
Panjang
pita
pengikat
lingkar
webbing kepala
ditambah 10 cm dari keliling lingkaran lubang kepala.
C. CARA PEMBUATAN Cara Pembuatan Baret KRI TNI AL sebagai berikut : 1. Baret terdiri dari bagian penampang penutup luar kepala & lubang kepala 2. Pembuatan baret melalui proses : Perajutan Linking Soom Penimbangan Pencelupan Pembentukan Pemanasan Pencukuran Penjahitan Setting Finishing
7
Penjahitan dengan ketentuan sebagai berikut : 1). Bagian luar dan dalam baret merupakan bagian penutup kepala dibuat dari kain rajut bahan dari serat wool 100 % melalui proses penggarukan. 2). Pemasangan pelipit dari bahan kain rajut polyester 100% dengan lebar 10 mm yang berfungsi sebagai tatakan keringat. Pada bagian belakang pelipit diberi lubang untuk jalan keluar kain pita webbing. 3). Pelindung emblem berbentuk setengah lingkaran dipasang pada posisi ¼ lingkaran baret berlawanan dengan pemasangan mata ayam. Pelindung emblem dibungkus dengan kain rayon filament 100 %. 4). Dua buah mata ayam yang dipasang dengan kuat dan rapih menembus lapisan luar dan dalam pada bagian samping kiri, kedua mata ayam letaknya 3,5 cm dari tepi baret dan berjarak 1,7 cm satu dengan lainnya. 5). Seluruh jahitan harus kuat dan rapih dengan kerapatan jahitan 4 boog atau 5 tusukan jarum per cm. 3. Penandaan.
Ditengah-tengah pembungkus pelindung emblem dibawah
plastik bening yang berbentuk empat persegi panjang diberi kode produksi dan terdapat Logo TNI AL yang dibuat dari pita rayon warna putih dicetak warna hitam yang tidak luntur dan yang tidak mudah mengelupas. 4. Pengemasan.
Tiap satu buah baret dimasukkan ke dalam kantong plastik
tebal 0,05 mm dan ditutup dengan pleseter. Tiap 5 buah baret diikat disatukan dengan staples, kemudian 250 buah baret dimasukkan ke dalam kotak karton.
GAMBAR BARET DAN EMBLEM
8
Berikut keterangan bagaimana proses pembuatan baret dilaksanakan: 1. Persiapan ➢ Persiapan awal untuk proses pembuatan baret adalah dimulai dari bahan baku baret yang terbuat dari 100% Wool. Benang ini dikumpulkan berdasarkan masing – masing LOT. Hal ini dilakukan untuk menghindari kemungkinan permasalahan yang akan didapatkan diproses pewarnaan. ➢ Setelah
bahan
baku
berupa
benang
wool
sudah
terkumpul
berdasarkan LOT nya, kemudian dilanjut dengan proses perajutan 2. Perajutan ➢ Proses perajutan adalah proses pembuatan benang dari berupa gulungan benang menjadi bentuk baret. Proses ini adalah awal pembentukan baret sebelum berlanjut ke proses berikutnya. ➢ Proses perajutan ini dilakukan di mesin knitting atau mesin rajut khusus benang , mesin di setting sedemikian rupa untuk menghasilkan bentuk baret yang di inginkan ➢ Setelah proses perajutan selesai, selanjutnya hasil yang didapat kemudian di kumpulkan sesuai dengan LOT masing – masing supaya tidak tercampur, kemudian dilanjutkan dengan proses linking. 3. Linking ➢ Proses linking
ini adalah proses untuk menyambung hasil rajutan
benang yang masih berbentuk setengan lingkaran yang dihasilkan dari proses perajutan di awal tadi. Setelah hasil rajutan di-linking maka benang wool akan menjadi bentuk lingkaran penuh. ➢ Hasil benang rajutan yang sudah di-linking harus dikumpulkan sesuai dengan LOT masing-masing yang kemudian akan di proses dengan tahap berikutnya yaitu soom. 4. Soom ➢ Proses soom ini adalah bagian proses yang dilakukan setelah perajutan dan linking. Proses ini adalah bagian untuk menutup bagian atas rajutan yang masih berlubang.
9
➢ Lubang dari hasil rajutan di-soom atau dijelujur mengikuti arah jalur hasil rajutan sehingga tidak ada bagian yang berlubang lagi. ➢ Hasil yang sudah di-soom dikelompokan kembali sesuai LOT masing – masing untuk kemudian berlanjut ke proses penimbangan. 5. Penimbangan ➢ Proses penimbangan ini dilakukan untuk mengelompokan berat rajutan setiap buahnya. Pengelompokan berat dilakukan sesuai permintaan pemesanan . ➢ Proses penimbangan dilakukan supaya setiap topi baret
menjadi
sama rata. ➢ Pengelompokan berat dikumpulkan berdasarkan LOT masing – masing, untuk selanjutnya masuk ke proses pencelupan. 6. Pencelupan ➢ Proses pencelupan ini adalah proses dimana hasil rajutan menjadi berwarna sesuai dengan warna yang diinginkan. ➢ Proses pewarnaan ini dilakukan harus per LOT dan berat yang sama, hal ini supaya mendapatkan hasil warna yang sama. ➢ Setiap proses pencelupan terdiri dari 150-250 buah, disesuaikan dengan kapasitas mesin celupnya. ➢ Hasil yang sudah dicelup dikelompokkan berdasarkan LOT warna dan berat untuk dilanjutkan ke proses moulding/cetak. 7. Moulding / Pembentukan Baret ➢ Proses moulding ini adalah proses dimana hasil pencelupan dibentuk menjadi baret dengan ukuran yang sudah disesuaikan . ➢ Proses moulding dilakukan berdasarkan kelompok berat, hal ini dilakukan
untuk
mempermudah
proses
pembentukan
dan
pengelompokan ukuran yang diinginkan. ➢ Setelah dilakukan proses moulding, baret dimasukkan ke dalam oven untuk dilakukan proses pemanasan.
10
8. Pemanasan / Pengovenan ➢ Pada proses ini baret dimasukan ke oven untuk dipanaskan sampai baret menjadi kering. ➢ Suhu panas yang digunakan berdasarkan kebutuhan dan disesuaikan dengan kondisi baretnya, setelah proses pemanasan selesai kemudian berlanjut ke pencukuran. 9. Pencukuran ➢ Proses pencukuran ini dilakukan untuk menghilangkan serat dan bulu yang timbul dari hasil pencelupan dan moulding. 10. Penjahitan dan Setting ➢ Proses penjahitan ini adalah proses dimana pelipit kepala dipasangkan di baret, pelipit yang digunakan disesuaikan dengan permintaan, ada yang berbentuk webing tape atau berbentuk kulit asli. ➢ Proses penjahitan juga dilakukan untuk pemasangan tali pengikat kepala . ➢ Proses penjahitan ini sekaligus dilakukan bersama dengan proses setting, untuk mendapakan ukuran lingkar kepala yang disesuaikan dengan jumlah yang di inginkan. ➢ Proses penjahitan dan setting dilakukan untuk mendapatkan ukuran kepala baret. Setelah proses penjahitan dan setting ini selesai, dilanjutkan ke tahap finishing. 11. Finishing ➢ Proses finishing adalah proses pembersihan benang hasil penjahitan sebelumnya. ➢ Setelah proses buang benang atau pembersihan sisa-sisa benang jahit, kemudian berlanjut ke proses pengemasan. Pengemasan dilakukan untuk memasukan baret ke dalam plastik. Setalah proses ini selesai, maka proses dilanjutkan dengan pengepakan. 12. Pengepakan ➢ Pengepakan adalah proses pemasukan baret yang sudah di-finishing ke dalam karton box atau peti, sesuai dengan permintaan.
11
➢ Proses pengepakan ini dilakukan sesuai permintaan apakah isinya solid size (ukuran sama semua) atau assorted size (ukuran campurcampur ).
1.4.2 Spesifikasi dan Metode Pelaksanaan Pekerjaan dalam Pembuatan Emblem Baret POLRI A. BENTUK / DESAIN 1. Bentuk/disain emblem baret Polri seperti pada gambar di bawah, yaitu : a. Gambar Tribrata di kelilingi pita menyerupai huruf ”S” yang saling berhadapan dan gambar untaian buah padi sebanyak 17 butir di bagian atas dan gambar 8 untaian bunga kapas di bagian bawah warna. b. Warna dasar emblem menunjukkan kegunaan sesuai fungsinya : 1). Warna merah untuk baret Korbrimob; 2). Warna kuning muda untuk baret Polsabhara 3). Warna hitam untuk baret Polsatwa 4). Warna biru laut untuk baret Polairud 5). Warna merah maroon untuk baret Satwal 6). Warna biru langit untuk baret Provos c. Bagian belakang dilengkapi tiga buah baut untuk pemasangan pada baret lengkap dengan mur berbentuk bulat pipih sebagai pengaman. B. BAHAN DAN WARNA a. Plat bahan logam tebal 1 mm dengan persyaratan teknis sebagai berikut: Hasil uji komposisi bahan: a)
Tembaga (Cu)
:
66,47
b)
Seng (Zn)
:
33,05
c)
Besi (Fe)
:
0,12
d)
Iridium (Ir)
:
0,36
b. Paku ulir/ring bahan logam kuningan diameter 1mm c. Mur berbentuk bulat pipih diameter 10 mm, tebal 2 mm d. Kawat berbentuk bulat e. Cat pewarna f. Bahan kimia untuk proses penyepuhan/pelapisan g. Logam emas 24 K untuk proses pelapisan emas
12
h. Cairan lacquer untuk sebagian hardener C. CARA PEMBUATAN DAN METODE PEMBUATAN EMBLEM Langkah awal sebelum proses pembuatan logam adalah persiapan bahan baku berupa lembaran kuningan dengan ketebalan yang disesuaikan dengan permintaan. Selanjutnya dilakukan proses selanjutnya sebagai berikut : a. Pemotongan bahan Pelat logam tebal 1 mm berbentuk empat persegi panjang dipotong memakai mesin potong elektrik sesuai ukuran emblem. b. Pemanasan Potong pelat logam tersebut kemudian dipanaskan untuk melunakkan bahan plat sehingga mudah diproses. c. Pengepresan Potongan plat logam yang sudah dipanaskan kemudian dilanjutkan dengan proses pengepresan menggunakan mesin punch sesuai bentuk emblem. d. Pemotongan Plat logam yang sudah terbentuk relief emblem, selanjutnya dipotong memakai mesin punch. e. Proses pemasangan paku ulir Paku ulir dipasangkan pada bagian belakang emblem dengan cara disolder sebanyak 3 (tiga) buah dengan posisi dua di atas dan sebuah di bawah. f. Proses pemolesan Hasil cetakan emblem selanjutnya dipoles menggunakan mesin poles sehingga permukaan menjadi halus tanpa mengurangi relief gambar. g. Proses pelapisan/pewarnaan Proses pelapisan dan pewarnaan melalui tahapan sebagai berikut : 1)
Pencucian untuk menghilangkan debu/kotoran.
2)
Pelapisan vernekel melalui sistem elektro (electro nickel plated system).
3)
Pencucian kembali untuk menghilangkan debu/kotoran.
4)
Pelapisan emas melalui sistem elektro (electro gold plated system) yang menghasilkan kilap tinggi dan tahan lama.
13
5)
Pewarnaan pada bagian dasar sesuai fungsi (merah, hitam, kuning, biru langit, biru langit atau merah maron)
i
Proses pengeras permukaan emblem Proses pengeras permukaan menggunakan cairan lacquer sehingga permukaan cat pada emblem menjadi tidak mudah tergores.
j. Proses Pemasangan mur/ring pada bagian belakang emblem. D. UKURAN Ukuran Emblem Baret Brimob, Polsatwa, Polair dan Satwal 1)
Tinggi emblem , mm
:
49
2)
Lebar emblem, mm
:
70
3)
Kancing pengaman a) Tinggi baut, mm
:
7
b) Diameter baut, mm
:
2
c) Tebal mur, mm
:
2
d) Diameter mur, mm
:
10
E. GAMBAR. Lihat pada lampiran. F. KETENTUAN LAIN a.
Pengujian Emblim Baret dilakukan menurut cara/metode sesuai dengan Standar Nasional Indonesia (SNI).
b.
Penandaan, pemasangan kode produksi pada dilakukan pada setiap kemasan emblem baret pada lembaran kertas karton warna putih ukuran 90 x 12cm, masing-masing kertas karton disablon kode produksi dibagian atasnya berbentuk empat persegi panjang tulisanwarna hitam yang tidak luntur dan tidak mudah pudar. 1)
2)
3)
4)
Garis bingkai a)
Panjang, mm
:
60
b)
Lebar, mm
:
25
Tulisan POLRI. a)
Panjang, mm
:
30
b)
Lebar, mm
:
7
Gambar lambang Tribrata a)
Tinggi, mm
:
30
b)
Lebar, mm
:
28
:
6
Tulisan kode produksi, tinggi, mm
14
Contoh kode produksi : 15. 099 yang artinya Angka 15 menunjukan tahun anggaran 2015. Angka 099 menunjukan nomor registrasi perusahaan. c.
Sebelum Emblem Baret dikemas, harus diadakan pemeriksaan terhadap semua Emblem sehingga tidak ada barang yang cacat terkemas dalam peti, hal-hal yang perlu diperhatikan : 1)
Tidak terdapat bagian-bagian yang tajam yang membahayakan pemakai.
2)
Proses pelapisan/pewarnaan harus baik, rata, tidak mengotori bagian relif dan tahan lama.
3) d.
Hasil polesan permukaan halus dan mengkilat.
Selanjutnya dilakukan pengemasan.Tiap jenis emblem dipasangkan pada kertas karton manila warna putih yang telah dicantumkan kode produksi kemudian dimasukan kedalam kantong plastik tebal 0,05 mm. Selanjutnya sebanyak 200 buah dimasukan kedalam kotak karton ukuran 25 x 25 x 25cm. Setiap 12 kotak karton dikemas kedalam peti pengepakan ukuran 75 x 50 x 50cm lengkap dengan packing list dan sesuai persyaratan pengemasan.
G. G A M B A R. Lihat pada lampiran. H. LAIN-LAIN. Ketentuan-ketentuan barang mengenai emblem baret Polri bertentangan dengan spesifikasi teknis bekal umum ini dinyatakan tidak berlaku lagi, untuk ukuran dan pengemasan ± 1-2 cm masih dapat ditoleransi.
Gambar E dan G 15
1.5 LANDASAN TEORI ERGONOMI Ergonomi menurut Badan Buruh Internasional (ILO=International Labor Organization) adalah penerapan ilmu biologi manusia sejalan dengan ilmu rekayasa untuk mencapai penyesuaian bersama antara pekerjaan dan manusia secara optimum agar bermanfaat demi efisiensi dan kesejahteraan.
Pada prosesnya
dibutuhkan kerjasama antara lingkungan kerja (ahli hiperkes), manusia (dokter dan paramedik) serta mesin perusahaan (ahli tehnik). Kerjasama ini disebut segitiga ergonomi. Tujuan dari ergonomi adalah efisiensi dan kesejahteraan yang berkaitan erat dengan produktivitas dan kepuasan kerja. Adapun sasaran dari ergonomi adalah seluruh tenaga kerja baik sektor formal, informal dan tradisional. Pendekatan ergonomi mengacu pada konsep total manusia, mesin dan lingkungan yang bertujuan agar pekerjaan dalam industri dapat berjalan secara efisien, selamat dan nyaman. Dengan demikian dalam penerapannya harus memperhatikan beberapa hal yaitu: tempat kerja, posisi kerja, proses kerja. Adapun tujuan penerapan ergonomi adalah sebagai berikut: 1) meningkatkan kesejahteraan fisik dan mental, dengan meniadakan beban kerja tambahan (fisik dan mental), mencegah penyakit akibat kerja, dan meningkatkan kepuasan kerja, 2) meningkatkan kesejahteraan sosial dengan jalan meningkatkan kualitas kerjasama sesama pekerja, pengorganisasian yang lebih baik dan menghidupkan sistem kebersamaan dalam tempat kerja, 3) berkontribusi di dalam keseimbangan rasional antara aspek-aspek teknik, ekonomi, antropologi dan budaya dari sistem manusia-mesin untuk tujuan meningkatkan efisiensi sistem manusia-mesin. Adapun manfaat pelaksanaan ergonomi adalah menurunnya angka kesakitan akibat kerja, menurunnya kecelakaan kerja, biaya pengobatan dan kompensasi berkurang,
stress akibat kerja berkurang, produktivitas membaik, alur kerja
bertambah baik, rasa aman karena bebas dari gangguan cedera, kepuasan kerja meningkat. Ruang lingkup ergonomi sangat luas aspeknya, antara lain meliputi : 1. Teknik 2. Fisik 3. Pengalaman psikis 4. Anatomi, utamanya yang berhubungan dengan kekuatan dan gerakan 16
otot dan persendian 5. Anthropometri 6. Sosiologi 7. Fisiologi, terutama berhubungan dengan temperatur tubuh, Oxygen up take dan aktivitas otot. 8. Desain, dll. Aplikasi/penerapan Ergonomik pada tenaga kerja: 1. Posisi Kerja Terdiri dari posisi duduk dan posisi berdiri, posisi duduk dimana kaki tidak terbebani dengan berat tubuh dan posisi stabil selama bekerja. Sedangkan posisi berdiri dimana posisi tulang belakang vertikal dan berat badan tertumpu secara seimbang pada dua kaki. 2. Proses Kerja Para pekerja dapat menjangkau peralatan kerja sesuai dengan posisi waktu bekerja dan sesuai dengan ukuran anthropometrinya. Harus dibedakan ukuran anthropometri barat dan timur. 3. Tata Letak Tempat Kerja Display harus jelas terlihat pada waktu melakukan aktivitas kerja. Sedangkan simbol yang berlaku secara internasional lebih banyak digunakan daripada kata-kata. 4. Mengangkat beban Bermacam-macam cara dalam mengangkat beban yakni, dengan kepala, bahu, tangan, punggung, dll. Beban yang terlalu berat dapat menimbulkan cedera tulang punggung, jaringan otot dan persendian akibat gerakan yang berlebihan. Semua pekerja secara kontinyu harus mendapat supervisi medis teratur. Supervisi medis yang biasanya dilakukan terhadap pekerja antara lain : 1. Pemeriksaan sebelum bekerja. Bertujuan untuk menyesuaikan dengan beban kerjanya. 2. Pemeriksaan berkala Bertujuan untuk memastikan pekerja sesuai dengan pekerjaannya dan mendeteksi bila ada kelainan.
17
3. Nasehat Harus diberikan tentang hygiene dan kesehatan, khususnya pada wanita muda dan yang sudah berumur.
KESEHATAN KERJA Kesehatan kerja adalah upaya penyeserasian antara kapasitas kerja, beban kerja, dan lingkungan kerja agar setiap pekerja dapat bekerja secara sehat tanpa membahayakan dirinya sendiri maupun masyarakat di sekelilingnya, agar diperoleh produktivitas kerja yang optimal (UU Kesehatan 1992 Pasal 23). Kesehatan kerja bertujuan untuk memperoleh derajat kesehatan yang setinggi-tingginya, baik fisik, mental dan sosial bagi masyarakat pekerja dan masyarakat yang berada di lingkungan perusahaan. Aplikasi kesehatan kerja berupa upaya promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif. Promosi kesehatan merupakan ilmu pengetahuan dan seni yang membantu seseorang untuk mengubah gaya hidup menuju kesehatan yang optimal, yaitu terjadinya keseimbangan kesehatan fisik, emosi, spiritual dan intelektual. Tujuan promosi kesehatan di tempat kerja adalah terciptanya perilaku dan lingkungan kerja sehat juga produktivitas yang tinggi. Tujuan dari promosi kesehatan adalah:
Mengembangkan perilaku kerja sehat
Menumbuhkan lingkungan kerja sehat
Menurunkan angka absensi sakit
Meningkatkan produktivitas kerja
Menurunnya biaya kesehatan
Meningkatnya semangat kerja
Upaya preventif dilakukan untuk mencegah terjadinya penyakit akibat kerja yang disebabkan oleh alat/mesin dan masyarakat yang berada di sekitar lingkungan kerja ataupun penyakit menular umumnya yang bisa terjangkit pada saat melakukan pekerjaan yang diakibatkan oleh pekerja. Upaya preventif diperlukan untuk menunjang kesehatan optimal pekerja agar didapat kepuasan antara pihak pekerja dan perusahaan sehingga menimbulkan keuntungan bagi kedua belah pihak. Aplikasi upaya preventif diantaranya pemakaian alat pelindung diri dan pemberian gizi makanan bagi pekerja.
18
Upaya kuratif merupakan langkah pemeliharaan dan peningkatan kesehatan bagi pekerja. Upaya penatalaksanaan penyakit yang timbul pada saat bekerja merupakan langkah untuk meningkatkan kepuasan pekerja dalam bekerja, sekaligus memberi motivasi untuk pekerja supaya memiliki kesehatan yang optimal. Penyakit yang sering timbul dalam suatu lokasi pekerjaan dapat menjadi tolak ukur dalam mengambil langkah promosi dan pencegahan, sehingga tujuan pemeliharaan dan peningkatan kesehatan kerja optimal dilaksanakan. Salah satu aspek yang harus diimplementasikan dalam kesehatan kerja adalah adanya pemeriksaan kesehatan bagi tenaga kerja, baik sejak awal sebelum bekerja, selama bekerja, maupun sesudah bekerja. Tujuan dari pemeriksaan kesehatan ini ditujukan agar selain tenaga kerja yang diterima di awal berada dalam kondisi kesehatan setinggi-tingginya,juga untuk memantau status kesehatan pekerja dan juga meminimalisir dan mendeteksi dini apakah ada penyakit akibat kerja yang ditimbulkan akibat proses produksi. Sarana
P3K
di
tempat
kerja
diatur
dalam
Permenakertrans
RI
No.
15/MEN/VIII/2008. Dalam Permenakertrans tersebut, dijabarkan bahwa Pertolongan Pertama Pada Kecelakaan di tempat kerja (P3K) adalah upaya memberikan
19
Rasio Jumlah Petugas P3K di Tempat Kerja pertolongan pertama secara cepat dan tepat kepada pekerja/buruh/dan/atau orang lain yang berada di tempat kerja, yang mengalami sakit atau cidera di tempat kerja. Fasilitas P3K yang dimaksud dalam Permenakertrans ini meliputi ruang P3K, kotak P3K dan isinya sesuai standar, alat evakuasi dan alat transportasi, fasilitas tambahan berupa alat pelindung diri dan/atau peralatan khusus di tempat kerja yang memiliki potensi bahaya yang bersifat khusus. Pengusaha wajib menyediakan ruang P3K dalam hal proses produksi mempekerjakan pekerja/buruh 100 orang atau lebih atau kurang dari 100 orang dengan potensi bahaya tinggi. Ruang P3K juga diatur standarnya, salah satunya meliputi lokasi yang harus dekat dengan toilet/kamar mandi, jalan keluar, mudah dijangkau, dan dekat dengan tempat parkir kendaraan. Kotak P3K juga harus memenuhi persyaratan sebagai berikut, yaitu terbuat dari bahan yang kuat dan mudah dibawa, berwarna dasar putih dengan lambang P3K berwarna putih dengan lambang P3K berwarna hijau dengan isi kotak sesuai dengan Permenakertrans yang mengatur. Penempatan kotak P3K juga harus pada tempat yang mudah dilihat dan dijangkau dengan diberi tanda arah yang jelas dan
20
cukup cahaya serta mudah diangkat apabila digunakan dan disesuaikan dengan jumlah tenaga kerja yang ada, dan dalam hal tempat kerja dengan unit kerja berjarak 500 meter atau lebih masing-masing unit kerja harus menyediakan kotak P3K sesuai jumlah pekerja/buruh.
GIZI KERJA Gizi kerja adalah gizi/nutrisi yang diperlukan oleh tenaga kerja untuk memenuhi kebutuhan sesuai dengan jenis pekerjaan dan beban kerja tambahan. Gizi kerja menjadi masalah disebabkan beberapa hal yaitu rendahnya kebiasaan makan pagi, kurangnya perhatian pengusaha, kurangnya pengetahuan tenaga kerja tentang gizi, tidak mendapat uang makan, serta jumlah, kapan dan apa dimakan tidak diketahui. Efek dari gizi kerja yang kurang bagi pekerja adalah: ▪
Pekerja tidak bekerja dengan maksimal
▪
Pertahanan tubuh terhadap penyakit berkurang
▪
Kemampuan fisik pekerja yang berkurang
▪
Berat badan pekerja yang berkurang atau berlebihan
▪
Reaksi pekerja yang lamban dan apatis,
▪
Pekerja tidak teliti
▪
Efisiensi dan produktivitas kerja berkurang
Jenis pekerjaan dan gizi yang tidak sesuai akan menyebabkantimbulnya berbagai penyakit seperti obesitas, penyakit jantung koroner, stroke, penyakit degenerative, arteriosklerotik, hipertensi, kurang gizi dan mudah terserang infeksi akut seperti gangguan saluran nafas. Ketersediaan makanan bergizi dan peran perusahaan untuk memberikan informasi gizi makanan atau pelaksanaan pemberian gizi kerja yang optimal akan meningkatkan kesehatan dan produktivitas yang setinggi-tingginya.
PENYAKIT AKIBAT KERJA Penyakit Akibat Kerja adalah penyakit yang disebabkan oleh pekerjaan, alat kerja, bahan, proses maupun lingkungan kerja. Dengan demikian Penyakit Akibat Kerja merupakan penyakit yang artifisial atau man made disease. Upaya Kesehatan Kerja adalah upaya penyerasian antara kapasitas kerja, beban kerja dan lingkungan kerja agar setiap pekerja dapat bekerja secara sehat tanpa
21
membahayakan dirinya sendiri maupun masyarakat di sekelilingnya, agar diperoleh produktivitas kerja yang optimal (UU Kesehatan Tahun 1992 Pasal 23). WHO membedakan empat kategori Penyakit Akibat Kerja: a. Penyakit
yang
hanya
disebabkan
oleh
pekerjaan,
misalnya
Pneumoconiosis b. Penyakit yang salah satu penyebabnya adalah pekerjaan, misalnya Karsinoma Bronkhogenik. c. Penyakit dengan pekerjaan merupakan salah satu penyebab di antara faktor-faktor penyebab lainnya, misalnya Bronkhitis khronis. d. Penyakit dimana pekerjaan memperberat suatu kondisi yang sudah ada sebelumnya, misalnya asma. Pada simposium internasional mengenai penyakit akibat hubungan pekerjaan yang diselenggarakan oleh ILO (International Labour Organization) di Linz, Austria, dihasilkan definisi menyangkut Penyakit Akibat Kerja adalah penyakit yang mempunyai penyebab yang spesifik atau asosiasi yang kuat dengan pekerjaan, yang pada umumnya terdiri dari satu agen penyebab yang sudah diakui. Penyakit
yang
Berhubungan
dengan
Pekerjaan
adalah
penyakit
yang
mempunyai beberapa agen penyebab, dimana faktor pekerjaan memegang peranan bersama dengan faktor risiko lainnya dalam berkembangnya penyakit yang mempunyai etiologi kompleks Penyebab beberapa penyakit tersebut timbul karena suatu faktor, tergantung pada bahan yang digunakan dalam proses kerja, lingkungan kerja ataupun cara kerja, sehingga tidak mungkin disebutkan satu per satu. Pada umumnya faktor penyebab dapat dikelompokkan dalam 5 golongan: o Golongan fisik : suara (bising), radiasi, suhu (panas/dingin), tekanan yang sangat tinggi, vibrasi, penerangan lampu yang kurang baik. o Golongan kimiawi : bahan kimiawi yang digunakan dalam proses kerja, maupun yang terdapat dalam lingkungan kerja, dapat berbentuk debu, uap, gas, larutan, awan atau kabut. o Golongan biologis : bakteri, virus atau jamur 22
o Golongan fisiologis : biasanya disebabkan oleh penataan tempat kerja dan cara kerja o Golongan psikososial : lingkungan kerja yang mengakibatkan stress. Penyakit akibat kerja juga perlu dilakukan beberapa tahap diagnose, yang sebelumnya perlu dilakukan pendekatan sistematisuntuk mendapatkan informasi yang diperlukan dan menginterpretasinya secara tepat yaitu sebagai berikut : 1) Tentukan Diagnosis klinisnya Diagnosis
klinis
harus
dapat
ditegakkan
terlebih
dahulu,
dengan
memanfaatkan fasilitas-fasilitas penunjang yang ada, seperti umumnya dilakukan untuk mendiagnosis suatu penyakit. Setelah diagnosis klinik ditegakkan baru dapat dipikirkan lebih lanjut apakah penyakit tersebut berhubungan dengan pekerjaan atau tidak. 2) Tentukan pajanan yang dialami oleh tenaga kerja selama ini Pengetahuan mengenai pajanan yang dialami oleh seorang tenaga kerja adalah esensial untuk dapat menghubungkan suatu penyakit dengan pekerjaannya. Untuk ini perlu dilakukan anamnesis mengenai riwayat pekerjaannya secara cermat dan teliti, yang mencakup: o
Penjelasan mengenai semua pekerjaan yang telah dilakukan oleh penderita secara khronologis
o
Lamanya melakukan masing-masing pekerjaan Bahan yang diproduksi
o
Materi (bahan baku) yang digunakan
o
Jumlah pajanannya
o
Pemakaian alat perlindungan diri (masker)
o
Pola waktu terjadinya gejala
o
Informasi mengenai tenaga kerja lain (apakah ada yang mengalami gejala serupa)
o
Informasi tertulis yang ada mengenai bahan-bahan yang digunakan (MSDS, label, dan sebagainya)
3) Tentukan apakah pajanan tersebut memang dapat menyebabkan penyakit tersebut Apakah terdapat bukti-bukti ilmiah dalam kepustakaan yang mendukung pendapat bahwa pajanan yang dialami menyebabkan penyakit yang diderita.
23
Jika dalam kepustakaan tidak ditemukan adanya dasar ilmiah yang menyatakan hal tersebut di atas, maka tidak dapat ditegakkan diagnosa penyakit akibat kerja. Jika dalam kepustakaan ada yang mendukung, perlu dipelajari lebih lanjut secara khusus mengenai pajanan sehingga dapat menyebabkan penyakit yang diderita (konsentrasi, jumlah, lama, dan sebagainya). 4) Tentukan apakah jumlah pajanan yang dialami cukup besar untuk dapat mengakibatkan penyakit tersebut. Jika penyakit yang diderita hanya dapat terjadi pada keadaan pajanan tertentu, maka pajanan yang dialami pasien di tempat kerja menjadi penting untuk diteliti lebih lanjut dan membandingkannya dengankepustakaan yang ada untuk dapat menentukan diagnosis penyakit akibat kerja. 5) Tentukan
apakah
ada
faktor-faktor
lain
yang
mungkin
dapat
mempengaruhi Apakah ada keterangan dari riwayat penyakit maupun riwayat pekerjaannya, yang dapat mengubah keadaan pajanannya, misalnya penggunaan APD, riwayat adanya pajanan serupa sebelumnya sehingga risikonya meningkat. Apakah pasien mempunyai riwayat kesehatan (riwayat keluarga) yang mengakibatkan penderita lebih rentan/lebih sensitif terhadap pajanan yang dialami. 6) Cari adanya kemungkinan lain yang dapat merupakan penyebab penyakit Apakah ada faktor lain yang dapat merupakan penyebab penyakit? Apakah penderita mengalami pajanan lain yang diketahui dapat merupakan penyebab penyakit. Meskipun demikian, adanya penyebab lain tidak selalu dapat digunakan untuk menyingkirkan penyebab di tempat kerja. 7) Buat keputusan apakah penyakit tersebut disebabkan oleh pekerjaannya Sesudah menerapkan ke enam langkah di atas perlu dibuat suatu keputusan berdasarkan informasi yang telah didapat yang memiliki dasar ilmiah. Seperti telah disebutkan sebelumnya, tidak selalu pekerjaan merupakan penyebab langsung suatu penyakit, kadang-kadang pekerjaan hanya memperberat suatu kondisi yang telah ada sebelumnya. Hal ini perlu dibedakan pada waktu menegakkan
diagnosis.
Suatu
pekerjaan/pajanan
dinyatakan
sebagai
24
penyebab suatu penyakit apabila tanpa melakukan pekerjaan atau tanpa adanya pajanan tertentu, pasien tidak akan menderita penyakit tersebut pada saat ini.Sedangkan pekerjaan dinyatakan memperberat suatu keadaan apabila penyakit telah ada atau timbul pada waktu yang sama tanpa tergantung pekerjaannya, tetapi pekerjaannya/pajanannya memperberat penyakit.
NARKOBA DAN HIV-AIDS Narkoba Banyak sekali orang mendengar kata narkoba,tetapi mereka tak tahu apa itu narkoba,banyak yang mengartikan narkoba adalah kepanajangan dari kata narkotika dan obat berbahaya,namun itu kepnjangan yang salah,yang benar adalah singkatan dari narkotika, psikotropika, dan bahan aditif lainnya. Narkoba adalah singkatan dari narkotika dan obat/bahan berbahaya. Selain "narkoba", istilah lain yang diperkenalkan khususnya oleh Departemen Kesehatan Republik Indonesiaa adalah napza yang merupakan singkatan dari Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif .Semua istilah ini, baik "narkoba" ataupun "napza", mengacu pada kelompok senyawa yang umumnya memiliki risiko kecanduan bagi penggunanya.
Menurut
pakar
kesehatan,narkoba
sebenarnya
adalah
senyawasenyawa psikotropika yang biasa dipakai untuk membius pasien saat hendak dioperasi atau obat-obatan untuk penyakit tertentu. Melalui pertolongan dokter, banyak jenis narkoba yang bermanfaat untuk kesembuhan
dan
keselamatan
manusia.
Masalahnya,
apabila
narkoba
disalahgunakan, bukan manfaat yang didapat, melainkan malapetaka. Jadi,yang harus hindari adalah penyalahgunaannya, bukan narkobanya. Jasa narkotika dan psikotropika sangat besar dimasa lalu, masa kini, dan masa yang akan datang. Tindakan oprasi (pembedahan) yang dilakukan oleh dokter harus didahului dengan pembiusan, padahal obat bius tergolong narkotika. Kemudian, Orang yang mengalami stress atau gangguan jiwa diberi obat-obatan yang tergolong psikotropika oleh dokter agar dapat sembuh. Dengan perhatian seperti itu, narkoba tidak selalu memberikan dampak buruk. Banyak sekali jenis-jenis narkoba yang bermanfaat dalam bidang kedokteran. Maka, sikap anti narkoba adalah keliru, yang benar adalah anti penyalahgunaanya. Jadi, yang harus kita hindari bukanlah narkoba, melainkan penyalahgunaannya. 25
Narkoba memiliki berbagai jenis diantaranya narkotika, psikotropika, dan bahan aditif lainnya. 1. Narkotika Narkotika adalah zat atau obat yang bersal dari tanaman atau bahan tanaman, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran dan hilangnya rasa.Narkotika memiliki daya adiksi (ketagihan) yang sangat berat. Narkotika juga memiliki daya toleran (penyesuaian) dan daya habitual (kebiasaan), ketiga sifat narkotika inilah yang menyebabkan pemakai narkotika tidak dapat lepas dari cengkramannya. 2. Psikotropika Psikotropika adalah zat atau obat bukan narkotika, baik alami maupun sintesis, yang memiliki sifat proaktif melalui pengaruh selektif pda susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas normal dan perilaku. Psikotropika adalah obat yang dugunakan oleh dokter untuk mengobati gangguan jiwa (psyche). Berdasarkan undang-undang no. 5 tahun 1997, psikotropika dapat dikelompokan ke dalam 4 golongan. a. Golongan petama adalah psikotropika dengan daya aditif yang sangat kuat, belum diketahui manfaatnya untuk pengobatan, dan sedang di teliti khasiatnya. Contoh adalah Ekstasi. b. Golongan kedua adalah psikotropika dengan daya adiktif kuat serta berguna
untuk
pengobatan
dan
penelitian.
Contohnya
adalah
amfetamin, metamfetamin, metakualon, dan sebagainya. c. Golongan ketiga adalah psikotropika dengan daya adiksi sedang serta berguna untuk pengobatan dan penelitian. Contohnya adalah lumbal, buprenorsina, flenitrazepam, dan sebagainya. 3. Golongan keempat adalah psikotropika yang memiliki daya adiktif ringan serta berguna untuk pengobatan dan penelitian. Contonya adalah nitrazepan (mogadon, dumolid), diazepam, dan lain-lain. 4. Prekursor narkotika Prekursor narkotika adalah zat atau bahn pemula atau bahan kimia yang dapat digunakan dalam pembuatan narkotika. 5. Bahan adiktif lainnya
26
Golongan
adiktif
lainnya
adalah
zat-zat
yang
dapat
menimbulkan
ketergantungan. Contohnya rokok, kelompok alkohol dan minuman lain yang memabukkan dan menimbulkan ketagihan, dan thinner dan zat-zat lainnya. HIV/AIDS Prinsip – prinsip kunci dari ILO tentang HIV/AIDS dan dunia kerja yang berlaku bagi semua aspek pekerjaan dan semua tempat kerja, termasuk sektor kesehatan: 1. Isu Tempat Kerja HIV/ AIDS adalah isu tempat kerja, karena dia mempengaruhi angkatan kerja, dan karena tempat kerja dapat memainkan peran vital dalam membatasi penularan dan dampak epideminya. 2. Non Diskriminasi Tidak ada diskriminasi terhadap pekerja berdasarkan status HIV yang nyata atau dicurigai. 3. Kesetaraan Gender Hubungan gender yang lebih setara dan pemberdayaan wanita adalah penting untuk mencegah penularan HIV dan membantu masyarakat mengelola dampaknya 4. Lingkungan Kerja yang Sehat Tempat kerja harus meminimalkan risiko pekerjaan, dan disesuaikan dengan kesehatan dan kemampuan pekerja. 5. Dialog Sosial Kebijakan dan program HIV/AIDS yang sukses membutuhkan kerjasama dan saling percaya antara pengusaha, pekerja dan pemerintah 6. Tidak boleh melakukan skrining untuk tujuan rekrutmen Tes HIV di tempat kerja harus dilaksanakan secara sukarela dan rahasia, tidak boleh digunakan untuk menskrining pelamar atau pekerja. 7. Kerahasiaan Akses kepada data perseorangan, termasuk status HIV pekerja, harus dibatasi oleh aturan dan kerahasiaan. 8. Melanjutkan Hubungan Pekerjaan Pekerja dengan penyakit yang berkaitan dengan HIV harus dibolehkan bekerja dalam kondisi yang sesuai selama dia mampu secara medik.
27
9. Pencegahan Mitra sosial mempunyai posisi yang unik untuk mempromosikan upaya pencegahan melalui informasi, pendidikan dan dukungan bagi perubahan perilaku. 10. Kepedulian dan dukungan Pekerja berhak mendapat pelayanan kesehatan yang terjangkau.
28
BAB II PELAKSANAAN
2.1. TANGGAL DAN WAKTU PENGAMATAN Kunjungan perusahaan ke PT Putra Bintang Lima ini dilakukan pada hari Rabu, 19 Desember 2018 pukul 09.00-11.00 WIB.
2.2 LOKASI PENGAMATAN PT Putra Bintang Lima, Jl. Raya Penggilingan Komplek Aneka Elok No. 44 RT 002/ RW 007, Kel. Penggilingan, Kec. Cakung, Jakarta Timur, DKI Jakarta, Indonesia.
29
BAB III HASIL PENGAMATAN DAN PEMECAHAN MASALAH NO.
Unit Kerja
Hasil Pengamatan
1.
Fasilitas Pelayanan Kesehatan
Tidak terdapat unit pelayanan kesehatan (klinik dan dokter perusahaan)
Dampak Yang Dapat Terjadi Tidak ada penanggung jawab terhadap pelayanan kesehatan
2.
Program kesehatan
Promotif: Tidak ada penyuluhan kesehatan ataupun petunjuk penggunaan APD yang benar, namun ada satu poster kesehatan pekerja (5R).
Kemungkinan terjadinya kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja dikemudian hari memiliki peluang tinggi.
Preventif : -Tidak ada dokter perusahaan yang melakukan pemantauan lingkungan kerja secara berkala dan pemeriksaan kesehatan para pekerja secara berkala. -Penggunaan APD tidak berjalan dengan baik di perusahaan. Pada area pencukuran terdapat mesin vakum untuk menyedot debu pada bagian atas ruangan agar tidak berterbangan, tetapi karena pekerja mengeluh
-Bila tidak ada dokter, maka saat terjadi kecelakaan kerja, penanganan dapat terlambat - Dapat terjadi kecelakaan kerja sewaktu-waktu diperusahaan akibat APD yang tidak lengkap
Upaya Perusahaan Belum Ada
Standar/PP
Pemecahan Masalah
PERMENAKER RI NO. 04/MEN/1987 tentang Panitia Pembina Keselamatan dan Kesehatan Kerja serta Tata Cara Penunjukan Ahli Keselamatan Kerja.
Perusahaan memiliki klinik perusahaan dan dokter perusahaan agar pekerja yang sakit dapat segera ditangani.
Belum ada
Keputusan Direktur Jendral Pembinaan Pengawasan Ketenagakerjaan No.Kep.22/DJPPK/V/2008
Belum ada
PP No.50 Tahun 2012 tentang Penerapan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3)
Perusahaan memberikan penyuluhan kesehatan kerja kepada tenaga kerja minimal 1 bulan sekali dan memasang media iklan berupa poster atau sejenisnya untuk mengingatkan tenaga kerja akan pentingnya kesehatan dan keselamatan dalam bekerja. -Perusahaan melengkapi sarana APD bagi tenaga kerja dan memberi peringatan bagi tenaga kerja yang tidak menggunakan APD pada saat bekerja -Perusahaan melakukan pemantauan lingkungan kerja secara berkala dan memiliki dokter perusahaan untuk melakukan pemeriksaan berkala pada para pekerja minimal sekali dalam 1 tahun.
30
panas dan bising, sehingga mesin tersebut tidak digunakan. Kuratif: Jika terdapat pekerja yang sakit atau terjadi kecelakaan kerja, pekerja diobati dengan sarana P3K yang tersedia di perusahaan, atau pasien berobat ke klinik swasta atau Puskesmas yang berlokasi dekat dengan perusahaan. Jika kasus berat atau yang memerlukan penanganan lebih lanjut, pekerja langsung dibawa ke RS terdekat. BPJS Ketenagakerjaan diberikan pada pekerja tetap, sedangkan pekerja kontrak biayanya ditanggung oleh perusahaan. Rehabilitatif: Para pekerja yang mengalami keluhan diberikan waktu untuk istirahat dengan syarat adanya surat keterangan dokter dan diupayakan dapat bekerja kembali di lingkungan sebelumnya. Perusahaan belum menyediakan program rehabilitasi untuk para pekerja yang mengalami kecelakaan kerja atau
Penanganan yang terlambat. Memperberat keadaan kecelakaan kerja. Memperburuk prognosis.
Belum ada
Pekerja yang mengalami kecelakaan kerja atau penyakit akibat kerja tidak dapat kembali bekerja ke pekerjaan semula secara optimal.
Belum ada
Perusahaan menyediakan dokter perusaan atau klinik yang bekerja sama dengan perusahaan untuk menjadi penanggung jawab kesehatan kerja.
Peraturan Pemerintah No.43 tahun1998 tentang Upaya Peningkatan Kesejahteraan Sosial Penyandang Cacat.
Perusahaan menyediakan program rehabilitasi bagi para pekerja yang mengalami kecelakaan kerja atau penyakit akibat kerja.
31
3.
Pencegaha n HIV, AIDS, dan Narkoba
4.
Pemeriksaa n kesehatan (Medical Check Up)
penyakit akibat kerja. Tidak ada tindakan maupun program pencegahan HIV/AIDS dan narkoba, seperti pemeriksaan atau skrining
-Pemeriksaan kesehatan awal belum dilakukan dan tidak diwajibkan oleh perusahaan sebagai syarat penerimaan bekerja -Pemeriksaan kesehatan berkala tidak dilakukan dan belum ada kebijakan dari perusahaan mengenai pengadaan pemeriksaan kesehatan berkala -Pemeriksaan kesehatan khusus tidak dilakukan oleh perusahaan. -Tidak ada dokter yang bertugas sebagai penanggung jawab kesehatan pekerja. -Pelaporan hasil pemeriksaan kesehatan tidak dimiliki oleh perusahaan.
-Pengetahuan dan kesadaran pekerja mengenai HIV/AIDS dan narkoba rendah -Peredaran dan penyalahgunaan narkoba mungkin terjadi -Tidak ada upaya pencegahan penularan HIV/AIDS Sulit mengetahui keadaan kesehatan pekerja dengan pasti sehingga kedepannya sulit untuk membedakan apakah penyakit yang timbul pada pekerja diakibatkan pekerjaan (PAK) atau memang sudah ada sebelumnya
Belum ada
-KepMenakertrans No. 68 tahun 2004 tentang Pencegahan dan Penanggulangan HIV/AIDS di Tempat Kerja. -PerMenakerTrans No. PER.11/MEN/VI/2005 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif Lainnya di Tempat Kerja
-Melakukan penyuluhan mengenai HIV/AIDS dan narkoba -Melakukan pemeriksaan HIV/AIDS dan menerapkan prosedur K3 sesuai kaidah ILO untuk pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS -Melakukan skrining narkoba pada pekerja secara berkala
Belum ada
-Permenaker No. 2 tahun 1980 -Pemeriksaan kesehatan awal dilakukan kepada pekerja sebagai syarat penerimaan bekerja dan dilakukan bila pekerja belum menjalani pemeriksaan kesehatan awal dalam 3 bulan terakhir. -Pemeriksaan kesehatan berkala dilakukan sebanyak minimal 1 (satu) kali dalam setahun. -Pemeriksaan kesehatan khusus dilakukan untuk menilai adanya pengaruh dari pekerjaan tertentu terhadap pekerja. -Perusahaan seharusnya memiliki dokter yang bertanggung jawab terhadap kesehatan pekerja. -Pelaporan hasil pemeriksaan kesehatan diberikan maksimal 2 (dua) bulan setelah pemeriksaan dilakukan.
- Perusahaan dianjurkan untuk memiliki dokter yang bertugas terhadap kesehatan tenaga kerja. - Pemeriksaan kesehatan awal sebaiknya dilakukan sebagai screening untuk mengetahui status kesehatan pekerja sebelum bekerja di perusahaan dan untuk mengetahui adanya kemungkinan penyakit akibat kerja setelah bekerja di perusahaan.
32
5.
Kesesuaian pekerja dengan alat (Ergonomi)
Semua kursi tidak memiliki sandaran, kebisingan dari mesin, jam kerja yang lama dengan posisi yang statis, pekerja di bagian pengeleman bekerja dalam keadaan jongkok Kursi berupa kursi plastik dengan letak yang kadang lebih rendah atau terlalu tinggi dibandingkan meja
Kursi yang digunakan merupakan kursi plastik atau kursi kayu yang memiliki tatakan duduk yang keras
Tinggi meja tempat kerja terlalu rendah pada pekerja dengan posisi berdiri
Musculoskeletal disorder, NIHL, Kecelakaan kerja
Belum ada
UU No.1 Th. 1970 tentang keselamatan kerja
Pengadaan alat kerja yang sesuai dengan prinsip-prinsip ergonomi.
Kursi yang tidak dapat diatur tingginya akan membuat pekerja sulit mencari posisi yang nyaman Kursi yang memiliki tempat duduk yang keras menyebabkan pekerja cepat kelelahan dan dapan menimbulkan masalah muskuloskeletal Posisi yang tidak ergonomis akan cepat membuat lelah dan dapat menyebabkan penyakit akibat kerja yang pada akhirnya menurunkan produktivitas
Belum ada
UU RI No.13 Th. 2001 Tentang Ketenagakerjaan
Pengadaan alat kerja yang sesuai dengan prinsip-prinsip ergonomi.
Belum ada, namun pekerja menyiasatinya dengan membawa bantal sebagai tatakan duduk Belum ada penggantian dengan meja yang sesuai dengan tinggi pekerjaan Belum pernah dilakukan penyuluhan bagaimana posisi yang ergonomics dalam melakukan
UU RI No.13 Th. 2001 Tentang Ketenagakerjaan PPNo. 50 Th 2012 tentang penerapan SMK3
Pengadaan alat kerja yang sesuai dengan prinsip-prinsip ergonomi. Diadakan penyuluhan atau pelatihan mengenai ergonomi serta posisi dan postur kerja yang ergonomis dan manfaat ergonomi pada tenaga kerja
33
6.
Program pemenuhan gizi tenaga kerja, kantin, atau ruang makan
7.
10 Penyakit tersering pada perusahaan
Pekerja tidak mengetahui mengenai postur kerja yang ergonomis
Penyakit akibat kerja yang berhubungan dengan ergonomi
pekerjaan -
Permenakertrans no. PER. 03/MEN/1982 tentang pelayanan kesehatan kerja
Belum ada program untuk pemenuhan gizi para karyawan seperti dapur karyawan, kantin, ataupun pengadaan catering perusahaan. Sebagai kompensasi, perusahaan memberikan uang makan susu 3x dalam seminggu. Mayoritas pekerja menyiapkan sendiri bekal makanan dari rumah dan sebagian kecil lain biasa membeli makanan dari para penjual di sekitar pabrik. Air minum dalam dispenser disediakan dari air sumur yang difilter dan diletakkan di setiap bagian produksi dari pabrik serta bebas dikonsumsi oleh para karyawan.. Filter tersebut diganti 2-3 hari sekali. Jumlah penyakit terbanyak yang diderita tenaga kerja di perusahaan PT. Putra
Penurunan produktivitas dari para karyawan dikarenakan tidak terpenuhinya gizi secara keseluruhan atau pola makan yang tidak seimbang
Belum ada
Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi no SE. 01/Men/1979 tentang pengadaan kantin dan ruang makan
Sebaiknya perusahaan melakukan pengadaan ruang makan atau kantin guna memenuhi kebutuhan gizi para karyawan sehingga dapat berdampak para meningkatnya hasil produktivitas
-Tidak dapat mengidentifikasi penyakit yang paling banyak
Belum ada
-Permenakertrans No Per. 01/Men/1981 tentang kewajiban lapor penyakit akibat kerja -Keputusan menteri tenaga kerja
-Perusahaan perlu menyediakan sarana pelayanan kesehatan, termasuk dokter dan paramedis di perusahaan. 34
Bintang Lima tidak dapat diketahui, dikarenakan tidak terdapat sarana pelayanan kesehatan di perusahaan serta sistem pencatatan penyakitnya.
diderita tenaga kerja di perusahaan sehingga tidak dapat dilakukan tindakan pencegahan. -Produktivitas perusahaan dapat menurun bila tenaga kerja di perusahaan sering sakit
No. 333 tahun 1989 tentang diagnosis dan laporan penyakit akibat kerja
-Perusahaan atau tenaga medis di sarana pelayanan kesehatan perusahaan perlu melakukan pencatatan jumlah penyakit yang diderita oleh tenaga kerja di perusahaan.
Diperlukan dokter perusahaan dan pembentukan P2K3 untuk melakukan pemeriksaan berkala agar dapat dilakukan pencatatan dan pelaporan kesehatan pekerja, agar apabila sewaktu-waktu terjadi PAK, pekerja mendapatkan kompensasi yang maksimal. Perlu ditambah isi obat dan alat kesehatan di dalam kotak P3K. Perusahaan juga perlu memasang pemberitahuan tentang nama dan lokasi P3K di tempat yang mudah terlihat.
8.
Penyakit Akibat Kerja yang Terjadi
Tidak ada laporan penyakit akibat kerja yang terjadi
Tidak adanya laporan penyakit akibat kerja membuat pekerja yang terkena PAK tidak mendapatkan kompensasi yang maksimal
Belum ada
Undaang undang no 1 tahun 1970 Bab IV: panitia pembina k3 pasal 10 Ada laporan tentang penyakit akibat kerja
9.
P3K
Keterlambatan atau hambatan dalam pertolongan pertama pada kecelakaan
Menyediakan kotak P3K di kantor management.
Permenakertrans RI No PER.15/MEN/VIII/2008 tentang Pertolongan Pertama pada Kecelakaan di tempat kerja
10
Personil kesehatan
Tidak terdapat ruang P3K. Perusahaan telah menyediakan sarana P3K di kantor management. Adapun isi dari kotak P3K tersebut adalah: kassa gulung steril, plester, betadine, gunting, dan beberapa obat-obatan. Pada perusahaan tidak terdapat petugas kesehatan (dokter maupun paramedis). Jika ada tenaga kerja yang sakit biasanya mereka ke
Tidak adanya pelayan kesehatan yang memadai dan akses cepat bagi para tenaga kerja menyebabkan
Belum ada upaya dari perusahaan dalam pengadaan pelayanan
Peraturan Menteri Tenaga Kerja no. Per 03/Men/1982 tentang Pelayan Kesehatan Kerja Dan UU Nomor 1 tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja
Perusahaan perlu menyediakan sarana pelayanan kesehatan, termasuk dokter dan paramedis di perusahaan
35
P3K untuk mendapat obat2an dan jika butuh pemeriksaan dokter mereka akan diperiksakan di klinik dekat perusahaan
keterlambatan penanganan
maupun tenaga kesehatan
36
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN 4.1 KESIMPULAN Kesimpulan yang didapatkan dari hasil walk through survey yang kami lakukan adalah: a. Perusahaan bekerja sama dengan fasilitas pelayanan kesehatan terdekat dengan lokasi perusahaan, yakni Klinik dan Puskesmas terdekat untuk menangani masalah kesehatan pada pekerja. b. Program kesehatan (promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif) Promotif: terdapat 1 (satu) buah poster promosi kesehatan di area pabrik. Preventif: penggunaan APD untuk tindakan preventif belum dilaksanakan dengan baik dan pekerja belum sepenuhnya mematuhi aturan yang ada. Kuratif: perusahaan bekerja sama dengan fasilitsk kesehatan terdekat terhadap penanganan kesehatan pekerja dan setiap pekerja mendapatkan BPJS Ketenagakerjaan. Rehabilitatif: perusahaan memberikan waktu istirahat kepada pekerja yang sakit, sesuai dengan surat keterangan dokter. c. Belum ada pemeriksaan kesehatan awal, berkala, dan khusus pada para pekerja. d. Pencegahan HIV/AIDS dan Narkoba belum dilakukan oleh perusahaan. e. Kesesuaian pekerja dengan alat masih kurang, ditandai dengan sikap dan cara kerja yang tidak ergonomis. Beban waktu kerja sudah sesuai, tidak melebihi batas maksimal waktu kerja per hari. Lingkungan kerja kurang kondusif untuk bekerja. f. Belum ada program pemenuhan gizi pekerja, kantin, atau ruang makan di lokasi perushaan. g. Belum ada pencatatan penyakit yang terjadi pada karyawan perusahaan. h. Sarana P3K tersedia di lokasi perusahaan. i. Belum ada personil kesehatan terlatih atau tenaga kesehatan medis dalam lingkungan perusahaan 4.2 SARAN Dari hasil walk through survey yang kami lakukan, maka kami ajukan beberapa saran, yaitu: a. Perusahaan harus mempunyai P2K3 yang sesuai dengan PERMENAKER RI NO/04/MEN/1987. b. Perusahaan memiliki klinik perusahaan dan dokter perusahaan untuk menjadi penanggung jawab kesehatan kerja, serta agar pekerja yang sakit dapat segera ditangani.
37
c. Perusahaan memberikan penyuluhan hiperkes dan kesehatan kerja (K3) kepada tenaga kerja dan memasang media promosi kesehatan yang di tempat mudah dilihat. d. Perusahaan melengkapi sarana APD bagi tenaga kerja dan memberi peringatan bagi tenaga kerja yang tidak menggunakan APD pada saat bekerja serta memberikan pengetahuan bagaimana cara menggunakan alat pelindung diri yang benar bagi tenaga kerjanya e. Perusahaan melakukan upaya pencegahan HIV/AIDS sesuai KepMenakertrans No. 68 tahun 2004 tentang Pencegahan dan Penanggulangan HIV/AIDS di Tempat Kerja. f. Perusahaan melakukan pencegahan penyalahgunaan narkoba, sesuai dengan PerMenakerTrans
No.
PER.11/MEN/VI/2005
Penanggulangan
Penyalahgunaan
dan
tentang
Peredaran
Pencegahan Gelap
dan
Narkotika,
Psikotropika, dan Zat Adiktif Lainnya di Tempat Kerja g. Perusahaan melakukan pemeriksaan kesehatan awal, berkala dan khusus pada pekerja h. Perusahaan membuat pelaporan hasil pemeriksaan kesehatan dan pencacatan jumlah penyakit yang diderita oleh tenaga kerja. i.
Perusahaan melakukan pengadaan ruang makan atau kantin guna memenuhi kebutuhan gizi para karyawan.
j.
Perusahaan memasang pemberitahuan mengenai nama dan lokasi kotak P3K di tempat kerja pada tempat yang mudah terlihat dan dijangkau.
38
BAB V PENUTUP Dari hasil walk through survey yang kami lakukan ke PT. Putra Bintang Lima, didapatkan bahwa masih terdapat banyak kekurangan dalam sistem manajemen kesehatan dan keselamatan kerja (SMK3). Semoga makalah ini dapat membantu dan memberikkan masukkan untuk perusahaan dalam memperbaiki SMK3 di lingkungan perusahaan.
39