Laporan Ocular Autoimmune Systemic Inflammatory Infectious Study.docx

  • Uploaded by: Dony Dwi Putra
  • 0
  • 0
  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Laporan Ocular Autoimmune Systemic Inflammatory Infectious Study.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 3,413
  • Pages: 11
Laporan Ocular Autoimmune Systemic Inflammatory Infectious Study (OASIS) 4: Analisis dan Luaran Skleritis pada Populasi Asia Timur

Abstrak Latar belakang: Tujuan studi ini adalah untuk mengevaluasi spektrum skleritis dari database Ocular Autoimmune Systemic Inflammatory Infectious Study (OASIS) pada rumah sakit mata rujukan tersier di Singapura. Dilakukan tinjauan pada rekam medis 120 pasien dengan skleritis dari database 2200 pasien dari Ocular Autoimmune Systemic Inflammatory Infectious Study (OASIS). Hasil: 56.6% pasien adalah wanita dengan rerata usia 48.6 ± 15.9 tahun. 75 pasien (62.5%) mengalami skleritis anterior difus, 25 pasien (20.8%) mengalami skleritis anterior nodular, 7 pasien (5.8%) mengalami skleritis anterior nekrotikans, dan 13 pasien (10.8%) mengalami skleritis posterior. Komplikasi okular didapatkan pada 53.3% pasien, termasuk uveitis anterior (42.5%), peningkatan tekanan intraokular (12.5%), dan keterlibatan kornea (11.7%). Penyebab autoimun ditemukan pada 31 pasien (25.8%), dan 10 pasien (8.3%) dengan etiologi infektif, jauh lebih tinggi dibandingkan studi Kaukasia, 53.3% pasien diterapi dengan kortikosteroid oral sedangkan 26.7% membutuhkan obat imunosupresif. Kesimpulan: Etiologi infektif harus dipertimbangkan pada pasien Asia dengan skleritis. Dalam studi dan database OASIS, skleritis dihubungkan dengan penyakit autoimun sistemik dan komplikasi okular. Kata kunci: Skleritis, Epidemiologi, Komplikasi, Terapi

Latar Belakang Skleritis adalah penyakit inflamasi okular yang jarang yang berpotensi mengancam penglihatan [1,2]. Skleritis biasanya merupakan proses inflamasi berat yang nyeri yang dicirikan oleh inflamasi sklera yang berhubungan dengan pembengkakan pembuluh darah episklera konjungtiva, superfisial, dan dalam. Berdasarkan sistem klasifikasi Watson dan Hayreh [3], skleritis terbagi menjadi tipe anterior dan posterior. Tipe anterior dibagi lagi menjadi difus, nodular, dan nekrotikans dengan atau tanpa inflamasi. Komplikasi okular termasuk penipisan sklera dan kornea, perforasi, keratitis, uveitis anterior, glaukoma, katarak, dan retinal detachment eksudatif [1,3]. Skleritis nekrotikans, pada khususnya, lebih sering berhubungan dengan komplikasi okular [3,4]. Penyakit ini mungkin idiopatik namun studi sebelumnya menunjukkan bahwa skleritis seringkali berhubungan dan merupakan tanda pertama dari penyakit autoimun sistemik yang mengancam jiwa pada 30-50% pasien. Penyakit autoimun yang tersering adalah rematoid artritis, granulomatosis dengan poliangiitis (sebelumnya disebut granulomatosis Wegener), spondiloartropati seronegatif, polikondritis relaps, dan systemic lupus erythematosus (SLE)

[5-10]. Skleritis juga dapat berhubungan dengan penyebab infeksi, operasi okular sebelumnya, obat, atau keganasan [2,6,7]. Tatalaksana skleritis melibatkan pendekatan multidisiplin bila berhubungan dengan penyakit sistemik. Terapinya secara bertingkat dengan obat anti-inflamasi non-steroid (NSAID), diikuti dengan kortikosteroid, dan kemudian agen imunosupresif steroid-sparing pada kasus dengan respon terapi yang tidak memuaskan atau bila dibutuhkan terapi jangka panjang. Contoh agen tersebut antara lain azathioprine, siklosporin, metotreksat, siklofosfamid, dan mycophenolate mofetil (MMF) [11-13]. Pada kasus penyakit inflamasi okular yang refrakter atau resisten-terapi, antagonis tumor necrosis alpha (TNF-α) seperti infliximab dan adalimumab makin banyak digunakan, bersama dengan agen imunosupresif [14-20]. Baru-baru ini, rituximab, suatu antibodi monoklonal CD20, juga digunakan pada skleritis refrakter [21]. Karena skleritis adalah penyakit yang cukup jarang ditemukan, studi besar terkait pengalaman klinis tentang penyakit ini masih terbatas, terutama pada populasi Asia [22-24]. Kami bertujuan untuk menganalisis pengalaman klinis kami tentang penyakit ini, terutama, penyakit sistemik yang terkait, metode terapi, dan luaran pasien dengan skleritis yang datang ke institusi tersier di Singapura dari database penyakit inflamasi okular yang sangat besar – database Ocular Autoimmune Systemic Inflammatory Infectious Study. Hasil Seratus dua puluh pasien (5.45%) pasien dengan skleritis ditemukan dalam periode 11 tahun dari total 2200 pasien yang datang ke layanan Uveitis dan Inflamasi Okular kami. Demografi dan karakteristik klinis semua pasien yang disertakan dalam studi ini dijelaskan dalam Tabel 1. Terdapat 52 pasien pria (43.3%) dan 68 pasien wanita (56.7%). Rerata usia pasien adalah 48.6 ± 15.9 tahun (rentang usia 16-83 tahun). Delapan puluh tiga pasien (69.2%) adalah ras Cina, 15 pasien (12.5%) India, 14 pasien (11.7%) Melayu, dan 8 pasien (6.7%) dari ras lain. Skleritis terjadi bilateral pada 37 pasien (30.8%). Keluhan yang tersering termasuk mata merah (n = 105, 87.5%), nyeri okular (n = 80, 66.7%), dan mata kabur (n = 21, 17.5%). Skleritis anterior difus (n = 75, 62.5%) adalah tipe skleritis yang paling sering ditemukan, diikuti tipe nodular (n = 25, 20.8%), posterior (n = 13, 10.8%), dan anterior nekrotikans (n = 7, 5.8%). Demografi dan karakteristik klinis subtipe skleritis dijelaskan dalam Tabel 2. Rerata usia saat datang paling tinggi pada skleritis anterior nekrotikans (63.7 ± 16.5 tahun) dibandingkan tipe skleritis lain (48.6 ± 14.1 tahun untuk tipe difus, 44.0 ± 16.9 tahun untuk tipe nodular, dan 49.2 ± 16.9 tahun untuk tipe posterior). Terdapat perbedaan yang signifikan secara klinis pada usia antara 4 subtipe skleritis (p = 0.037). Perbandingan post hoc menunjukkan bahwa pasien pada subtipe nekrotikans berusia 19.7 tahun lebih tua

dibandingkan subtipe nodular (95% confidence interval (CI) dari 1.8 hingga 37.5, adjusted p = 0.022). Tabel 1 Karakteristik demografis dan klinis pasien dengan skleritis dari database Ocular Autoimmune Systemic Inflammatory Infectious Study (OASIS) Karakteristik Rerata usia ± SD (tahun) Rentang Jenis kelamin Pria Wanita Bilateralitas Ras Cina India Melayu Lain-lain Komplikasi okular (apapun) Segmen anterior Uveitis anterior Keterlibatan kornea (ulserasi, keratitis) Hipertensi okular Exudative retinal detachment Pembengkakan optic disc Asosiasi sistemik Autoimun Granulomatosis dengan poliangiitis Polikondritis relaps Sindrom Sjogren’s Artropati psoriatik Systemic lupus erythematosus Behcet’s disease Sindrom Churg-Strauss Kolitis ulseratif Arteritis Takayasu Penyakit autoimun non-spesifik Sindrom inflamasi orbita Penyakit sistemik non-autoimun lain: Sindrom myelodisplastik Gamopati poliklonal Dugaan asosiasi infeksius TB T-spot positif Herpes zoster ophtalmicus Herpes simpleks viral keratitis Acquired immunodeficiency syndrome Hansen’s disease Rekurensi Terapi Steroid topikal Obat anti-inflamasi non-steroid oral

Jumlah pasien, n (%) 48.6 ± 15.9 16-83 52 (43.3%) 68 (56.7%) 37 (30.8%) 83 (69.2%) 15 (11.7%) 14 (11.7%) 8 (6.7%) 64 (53.3%) 51 (42.5%) 14 (11.7%) 15 (12.5%) 5 (4.2%) 3 (2.5%) 31 (25.8%) 5 (4.2%) 4 (3.3%) 4 (3.3%) 2 (1.7%) 1 (0.8%) 1 (0.8%) 1 (0.8%) 1 (0.8%) 1 (0.8%) 1 (0.8%) 1 (0.8%) 2 (1.7%) 1 (0.8%) 1 (0.8%) 10 (8.3%) 5 (4.2%) 2 (1.7%) 1 (0.8%) 1 (0.8%) 1 (0.8%) 20 (16.7%) 114 (95.0%) 63 (47.3%)

Kortikosteroid oral Imunosupresan sistemik (apapun) Azatioprin Metotreksat Mycophenolate mofetil Sulfasalazin Siklosforin Siklofosfamid Antagonis tumor necrosis factor-α (infliximab)

64 (53.3%) 32 (26.7%) 16 (13.3%) 11 (9.2%) 6 (5.0%) 6 (5.0%) 4 (3.3%) 4 (3.3%) 2 (1.7%)

Tabel 2. Karakteristik demografis dan klinis pasien yang diklasifikasikan berdasarkan subtipe skleritis (jumlah pasien, n (%)) Jumlah pasien Usia (rerata) tahun Rentang Jenis kelamin Pria Wanita Komplikasi okular (apapun) Segmen anterior Keterlibatan kornea (ulserasi, keratitis) Hipertensi okular Uveitis anterior Segmen posterior Vitritis Cystoid macular edema Exudative retinal detachment Pembengkakan optic disc

Difus 75 (62.5) 48.6 20-74

Nodular 25 (20.8) 44.0 18-79

Nekrotikans 7 (5.8) 63.7 38-83

Posterior 13 (10.8) 49.2 16-80

32 (42.7) 43 (57.3) 37 (49.3)

12 (48.0) 13 (53.0) 10 (40.0)

2 (28.6) 5 (71.4) 6 (85.7)

5 (38.5) 8 (61.5) 12 (84.6)

7 (9.3)

4 (16.0)

2 (28.6)

1 (7.7)

9 (12.0) 30 (40.0)

2 (8.0) 8 (32.0)

2 (28.6) 5 (71.4)

2 (15.4) 8 (61.5)

0 0 0 1 (1.3)

0 0 0 0

0 0 1 (14.3) 0

3 (23.1) 3 (23.1) 4 (30.8) 2 (15.4)

Tabel 3. Penyakit autoimun dan sistemik yang terkait (jumlah pasien, n (%)) Jumlah pasien Penyakit autoimun sistemik Reumatoid artritis Granulomatosis dengan poliangiitis Polikondritis relaps Artropati psoriatik Dugaan infeksi

Difus 75 (62.5) 19 (25.3) 6 (5.0) 3 (4.0) 2 (2.7) 2 (2.7) 4 (5.3)

Nodular 25 (20.8) 2 (8.0) 0 0 1 (4.0) 1 (4.0) 6 (24.0)

Nekrotikans 7 (5.8) 6 (85.7) 3 (42.9) 0 1 (14.3) 1 (14.3) 0 (0)

Posterior 13 (10.8) 4 (30.8) 0 2 (15.4) 0 0 0 (0)

Tabel 4. Terapi dan rekurensi (jumlah pasien, n (%)) Jumlah pasien Steroid topikal NSAID oral Kortikosteroid oral Imunosupresif oral (tidak termasuk prednisolon) Steroid atau imunosupresif oral Rekurensi

Difus 75 (62.5) 71 (94.7) 40 (53.3) 37 (49.3) 19 (25.3)

Nodular 25 (20.8) 25 (100) 16 (64.0) 9 (36.0) 3 (12.0)

Nekrotikans 7 (5.8) 6 (85.7) 3 (42.9) 6 (85.7) 5 (71.4)

Posterior 13 (10.8) 12 (92.3) 4 (30.8) 12 (92.3) 5 (38.5)

40 (53.3) 14 (18.7)

9 (36.0) 2 (8.0)

6 (85.7) 2 (28.6)

12 (92.3) 2 (15.4)

Komplikasi Didapatkan setidaknya satu komplikasi okular pada 53.3% pasien baik saat pertama kali datang maupun saat follow up. Keterlibatan kornea (ulserasi, keratitis), tekanan intraokular yang tinggi, dan uveitis anterior merupakan komplikasi yang sering ditemukan pada segmen anterior, sedangkan vitritis, cystoid macular edema, retinal detachment eksudatif, dan pembengkakan optic disc merupakan komplikasi yang banyak ditemukan pada segmen posterior. Komplikasi okular ditemukan pada 49.3% (n = 37) pada skleritis difus, 40.0% (n = 10) pada skleritis nodular, 85.7% (n = 6) pada skleritis nekrotikans, dan 84.6% (n = 11) pada skleritis posterior. Skleritis posterior dan skleritis nekrotikans berhubungan dengan tingkat komplikasi okular yang lebih tinggi (p = 0.014). Komplikasi yang tersering adalah uveitis anterior, yang terjadi pada 51 pasien (42.5%). Komplikasi segmen posterior adalah yang paling sering ditemukan pada pasien dengan skleritis posterior (p < 0.001). Komplikasi tersebut termasuk retinal detachment (RD) eksudatif (30.8%, n = 4), cystoid macular edema (23.1%, n = 3), dan pembengkakan optic disc (15.4%, n = 2). Hubungan sistemik Penyakit autoimun dan infeksi yang berhubungan dijelaskan pada Tabel 3. Penyebab autoimun dan infeksi ditemukan pada masing-masing 31 (25.8%) dan 10 (8.3%) pasien skleritis. Penyebab autoimun yang tersering adalah reumatoid artritis (7.5%), diikuti granulomatosis dengan poliangiitis (4.2%), polikondritis relaps (3.3%), sindrom Sjogren’s (3.3%), dan artropati psoriatik (1.7%). Skleritis anterior nekrotikans memiliki proporsi tertinggi pada kondisi autoimun (85.7%), diikuti skleritis posterior (30.8%), dan skleritis difus (25.3%), p = 0.001. Hanya 2 dari 25 pasien (8.0%) dengan skleritis nodular yang berhubungan dengan kondisi autoimun. Skrining infeksi dilakukan pada 41 pasien. Infeksi tersering yang ditemukan adalah uji positif untuk infeksi mikobakterium laten. Sepuluh pasien menunjukkan TB T spot yang positif dan 3 pasien indeterminate. Sejumlah besar pasien dengan skleritis nodular (6 dari 25

pasien, atau 24%) berhubungan dengan penyebab infeksi, sedangkan hanya 8% pasien dengan penyebab autoimun. Ditemukan pula bahwa skleritis nodular lebih berhubungan dengan etiologi infektif. Terapi Modalitas terapi untuk semua pasien ditunjukkan pada Tabel 4. 114 pasien (95%) diberi kortikosteroid topikal sebagai terapi lini-pertama. 63 pasien (52.5%) diberi NSAID oral, 64

pasien

(53.3%)

diberi

kortikosteroid

oral,

dan

26.7%

pasien

membutuhkan

imunosupresan termasuk azatioprin (n = 16, 13.3%), metotreksat (n = 11, 9.2%), MMF (n = 6, 5%), sulfasalazin (n = 6, 5%), hidroksiklorokuin (n = 5, 4.2%), siklofosfamid (n = 4, 3.3%), dan siklosporin (n = 4, 3.3%). Metilprednisolon intravena diberikan pada 5 pasien (4.2%) dan 2 pasien membutuhkan agen biologis (Infliximab intravena) (1.7%). Pemilihan NSAID oral atau steroid/imunosupresan sistemik dibuat secara klinis, bergantung pada keparahan skleritis. Dari 100 pasien dengan skleritis anterior non-nekrotikans (difus dan nodular), 56 pasien (56.0%) mendapat NSAID oral sebagai terapi lini-pertama, dengan 96 pasien (96.0%) diterapi dengan steroid topikal. Dari 56 pasien yang mendapat terapi NSAID, 41 pasien (41.0%) merespon dan tidak lagi membutuhkan terapi lebih lanjut. Lima belas pasien (15.0%) tidak merespon terapi dan diberi kortikosteroid sistemik saja atau dikombinasikan dengan obat imunosupresif. Pada 31 pasien (31.0%), terapi pilihan pertamanya adalah kortikosteroid sistemik. Kortikosteroid oral digunakan pada 85.7% pasien dengan skleritis anterior nekrotikans dan 92.3% pada pasien dengan skleritis posterior, dibandingkan 49.3% pasien dengan skleritis difus dan 32% pasien dengan skleritis nodular. Sekitar 70% pasien dengan skleritis anterior nekrotikans dan 38.5% pasien dengan skleritis posterior membutuhkan agen imunosupresif, sedangkan hanya 24.0% dan 12.0% pasien dengan skleritis difus dan nodular yang memerlukan terapi imunosupresif. Terapi anti-tuberkulosis selama 6 bulan diberikan pada pasien dengan penyakit tuberkulosis laten.

Rekurensi dan resolusi Rekurensi skleritis terjadi pada 20 pasien (16.7%) dengan proporsi rekurensi paling besar pada pasien dengan skleritis anterior nekrotikans (n = 2, 26.6%), diikuti skleritis anterior difus (n = 14, 18.7%) (p = 0.463). Resolusi inflamasi lebih lama pada pasien dengan skleritis nekrotikans serta terjadi setelah 19.3 hari pada skleritis difus, 21.2 hari pada skleritis nodular, dan 75 hari pada skleritis nekrotikans.

Diskusi Skleritis adalah penyakit inflamasi yang jarang ditemukan yang dapat menyebabkan komplikasi bila tidak diterapi secara tepat waktu. Studi retrospektif ini melibatkan 120 pasien dengan skleritis di rumah sakit mata tersier di Singapura dalam periode 11 tahun. Rerata usia pasien kami adalah 48.6 tahun, sedikit lebih muda dibandingkan populasi Kaukasia (51.5 tahun) [9]. Rasio wanita dibanding pria kami adalah 1.3 : 1, hampir sama dengan rasio yang dilaporkan di literatur (1.27 : 1 dan 1.57 : 1) [4,9,27]. Sekitar 31% pasien mengalami skleritis bilateral, sesuai dengan data dari Sainz de la Maza et al (34%) [4]. Pemeriksaan laboratorium menunjukan penanda autoimun positif pada 34 pasien (28.3%), 14 pasien (11.7%) positif RF, 13 pasien (10.8%) positif ANA, 9 pasien (7.5%) positif ANCA, dan 3 pasien (2.5%) positif anti-dsDNA (DsDNA). Di antaranya, terdapat pasien yang baru terdiagnosis RA, tiga pasien dengan granulomatosis dengan poliangiitis, dan satu pasien dengan SLE. Hasil kami menunjukkan bahwa pemeriksaan laboratorium berperan dalam menegakkan diagnosis penyakit sistemik yang mendasari terjadinya skleritis. Skrining penyakit yang mendasari harus ditujukan untuk penyakit yang berhubungan erat dengan skleritis, misalnya RA dan granulomatosis dengan poliangiitis. Karena skleritis berhubungan dengan prognosis yang lebih buruk dan tingkat mortalitas yang lebih tinggi pada pasien dengan reumatoid artritis, maka evaluasi sistemik awal dan follow up ketat pada pasien dengan skleritis idiopatik dan positif rheumatoid factor sangat penting [25]. Serial sebelumnya dari Amerika Utara dan Eropa menunjukkan bahwa penyakit autoimun sistemik didapatkan pada sekitar 30-50% pasien dengan skleritis [3,4,26]. Dalam studi kami, 25.8% pasien mengalami penyakit rematologis sistemik. Hal ini hampir sama dengan studi Asia lain yang menunjukkan hubungan pada 15-22% pasien [24, 27-29]. Temuan kami juga menunjukkan bahwa hubungan dengan penyakit sistemik mungkin lebih rendah pada populasi Asia dengan skleritis dibandingkan populasi Amerika Utara dan Eropa [30,31].

Penyakit

rematologis

yang

paling

sering

ditemukan

adalah

RA,

diikuti

granulomatosis dengan poliangiitis, polikondritis relaps, sindrom Sjogren’s, dan artropati psoriatik. Perbandingkan hasil studi kami dengan data yang sebelumnya dipublikasikan (studi Asia, Eropa, dan Amerika Utara lain) dirangkum dalam Tabel 5. Skrining infektif ditemukan positif pada 10 pasien (8.3%) dengan TB sebagai yang paling sering ditemukan dalam studi kami. Tiga dari pasien yang diduga mengalami skleritis nodular terkait-TB adalah warga asing yang bekerja di Singapura (2 dari Cina dan 1 dari India). Berdasarkan literatur yang ada saat ini, penyebab infeksi ditemukan pada 4-18% pasien, di antaranya herpes zoster merupakan yang tersering, diikuti TB, lepra, dan Lyme

borreliosis [3,6,9,32] Studi oleh Tabara [33] menunjukkan bahwa TB terlibat dalam patogenesis skleritis pada beberapa pasien, terutama pada mata dnegan nodul lokal yang meninggi pada sklera. Pasien Asia dengan skleritis nodular dapat diuntungkan dari skrining agen infektif seperti TB, karena akan menghasilkan pendekatan terapeutik yang berbeda. Penting juga untuk diperhatikan bahwa TB masih menjadi penyebab infektif yang penting pada pasien Asia dengan skleritis. Selain penyakit autoimun dan infeksi, penting pula untuk diingat bahwa keganasan dapat mendasari skleritis pada beberapa pasien. Skleritis posterior telah dilaporkan pada pasien dengan limfoma, multiple myeloma, dan makroglobulinemia Waldenstrom [34]. Dalam studi kami, terdapat satu pasien dengan sindrom myelodisplastik dan satu pasien lain dengan gamopati poliklonal. Obat-obatan, pembedahan, dan trauma jarang ditemukan pada semua studi. Tatalaksana skleritis anterior non-nekrotikans terdiri dari NSAID dikombinasikan dengan kortikosteroid topikal sebagai terapi lini pertama berdasarkan data yang telah dipublikasikan

[2,5,35,36].

21%

pasien

dengan

skleritis

anterior

non-nekrotikans

membutuhkan agen imunosupresif tambahan, sedangkan 85.7% pasien dengan skleritis nekrotikans dan 30.8% pasien dengan skleritis posterior memerlukan terapi imunosupresif. Dalam studi oleh Jabs et al [8], hampir 67% pasien dengan skleritis membutuhkan terapi lain selain NSAID, dan 26% membutuhkan terapi imunosupresan. Dalam studi kami, kami menemukan pola terapi yang hampir sama dengan 65.8% pasien membutuhkan terapi lain selain NSAID untuk mengontrol inflamasi, dan 25.8% diterapi dengan obat imunosupresif. TNF-α (infliximab) adalah agen imunomodulatorik biologis yang digunakan sebagai terapi lini pertama pada Behcet’s disease atau untuk komplikasi okular reumatoid artritis bila pasien mengalami kegagalan terapi dengan satu atau lebih agen imunosupresif [35]. Dalam serial kami, 2 pasien (1.7%) memulai terapi infliximab. Satu pasien dengan skleritis anterior nekrotikans sekunder karena polikondritis relaps, dan satu pasien lain dengan skleritis nodular sekunder karena reumatoid artritis. Keduanya mengalami kegagalan terapi dengan kortikosteroid, azatioprin, siklosporin, dan mycophenolate mofetil. Secara umum, untuk studi ini, infliximab intravena hanya digunakan setelah kegagalan beberapa jenis agen imunosupresif secara bertahap, karena faktor finansial sebab asuransi tidak menanggung biaya agen ini. Resolusi inflamasi terjadi setelah 19.3 hari pada skleritis difus, 21.2 hari pada skleritis nodular, dan 75 hari pada skleritis nekrotikans. Dalam studi oleh Tuft dan Watson [9], pasien dengan skleritis difus mendapat terapi dalam jangka waktu yang paling cepat, sedangkan rerata terapi paling lama adalah pada kelompok nekrotikans. Temuan ini konsisten dengan studi kami yang menunjukkan bahwa resolusi inflamasi paling cepat pada

skleritis difus dan paling lama pada skleritis nekrotikans. Tingkat rekurensi paling tinggi pada skleritis nekrotikans, dengan 28.6% pasien mengalami setidaknya 1 rekurensi. Keterbatasan studi kami terutama terletak pada sifat retrospektifnya, dengan jumlah sampel yang relatif kecil yang didapatkan dari satu institusi. Hal ini mungkin tidak sepenuhnya menggambarkan spektrum skleritis pada keseluruhan populasi lokal kami. Selain itu, modalitas terapi dapat berbeda tergantung preferensi dokter yang merawat. Bagaimanapun, penyakit ini adalah kondisi yang cukup langka, dan data kami diambil dalam periode 11 tahun. Hasil studi ini dapat menambah pengetahuan terkait epidemiologi skleritis di Asia.

Kesimpulan Kesimpulannya, skleritis adalah inflamasi okular berat yang dapat idiopatik atau berhubungan dengan penyebab autoimun atau infektif. Meskipun penyebab infeksi cukup jarang, namun pasien Asia dengan skleritis nodular mungkin memerlukan skrining agen infektif seperti TB karena hal ini akan dapat mengubah tatalaksana yang diberikan. Terapinya melibatkan step ladder management strategy dengan NSAID oral, kortikosteroid oral,

dan

agen

imunosupresan/biologis.

Pada

pasien-pasien

tersebut

diperlukan

pemantauan ketat komplikasi, terutama untuk skleritis nekrotikans dan skleritis posterior, evaluasi sistemik, dan terapi secara tepat waktu.

Metode Kami melakukan analisis retrospektif pada rekam medis semua kasus skleritis baru yang terdiagnosis di layanan Uveitis dan Inflamasi Okular di rumah sakit kami, dari Januari 2004 hingga Desember 2014 dari 2200 pasien dalam database OASIS. Data yang dikumpulkan termasuk informasi seperti usia saat diagnosis, ras, jenis kelamin, lokasi anatomis inflamasi, keluhan, komplikasi okular, penyakit sistemik atau inflamasi terkait, pemeriksaan lain, penggunaan terapi topikal dan/atau sistemik, dan rekurensi. Diagnosis skleritis didasarkan pada anamnesis komprehensif termasuk tinjauan sistemik, pemeriksaan okular mendetail, dan investigations bila perlu. Sistem Watson digunakan untuk mengklasifikasikan tipe skleritis [3], dengan diagnosis skleritis posterior dikonfirmasi dengan ultrasonografi dan/atau CT orbita [34]. Pada semua kasus, diagnosis skleritis ditegakkan oleh spesialis uveitis di layanan inflamasi okular kami. Komplikasi dibagi menjadi komplikasi segmen anterior dan posterior. Komplikasi kornea termasuk penipisan ulseratif atau perifer, sedangkan uveitis anterior didiagnosis bila sel 1+ (berdasarkan Standardization of Uveitis Nomenclature Working Group Criteria) [37] atau lebih didapatkan pada bilik mata depan. Hipertensi okular didefinisikan sebagai

tekanan intraokular lebih dari 21 mmHg yang diukur dnegan tonometer aplanasi Goldmann (GAT). Adanya cystoid macular edema dilihat secara klinis dan dikonfirmasi dengan pemeriksaan lebih lanjut seperti optical coherence tomography atau fundus fluorescein angiography. Serous retinal detachment didiagnosis pada funduskopi atau ultrasonografi. Pemeriksaan laboratorium termasuk pemeriksaan darah, urin, dan foto toraks. Pemeriksaan darah termasuk darah lengkap dan hitung jenis sel darah putih, reaktan fase akut seperti laju endap eritrosit (ESR) dan C-reactive protein (CRP), serta uji fungsi ginjal dan hati. Penanda autoimun seperti rheumatoid factor (RF), anti-nuclear antibodies (ANA), anti-double-stranded DNA (anti-dsDNA), anti-neutrophil cytoplasmic antibody (ANCA) juga disertakan.

Pemeriksaan

menggunakan tuberculosis

lain,

termasuk

skrining

interferon gamma

infektif

release

untuk

assay

tuberkulosis

(T-SPOT.TB,

(TB) Oxford

Immunotec, UK) serta serologi treponema (IgG sifilis dan Venereal Disease Research Laboratory (VDRL)) tidak dilakukan secara rutin, namun dapat dilakukan bila diperlukan sesuai anamnesis dan pemeriksaan fisik. Riwayat skleritis dengan discharge, atau trauma, dan temuan berupa lesi nodular kekuningan dianggap mengarah ke penyebab infektif dan memerlukan pemeriksaan lebih lanjut. Penyakit

sistemik

terkait

dapat

diklasifikasikan

menjadi

infeksi

autoimun.

Diagnosisnya ditegakkan berdasarkan hasil anamnesis, gambaran klinis, dan data laboratorium, seringkali berhubungan dengan ahli rematologi dan ahli penyakit infeksi. Terapinya termasuk NSAID oral, kortikosteroid topikal dan/atau sistemik tergantung keparahan, lokasi, dan kronisitas proses inflamasi, serta risiko penurunan visus dan komplikasi. Obat imunosupresif digunakan sebagai terapi lini-kedua bila terdapat kegagalan respon terhadap monoterapi kortikosteroid oral, terjadinya efek samping kortikosteroid yang tidak dapat ditoleransi, atau terdapat penyakit rematologis yang terkait. Rekurensi didefinisikan sebagai episode skleritis berulang yang terpisah oleh periode inaktivitas selama lebih dari 3 bulan tanpa terapi. Durasi follow-up juga dicatat. Semua data dimasukkan ke dalam sistem database terkomputerisasi untuk analisis deskriptif dan dianalisis dengan perangkat lunak IBM SPSS Statistics (versi 22, IBM, New York, USA) dan R (versi 3.1.2, The R Foundation for Statistical Computing) dengan variabel kontinu diekspresikan sebagai rerata dengan standar deviasi serta variabel rentang dan kategorik diekspresikan sebagai persentase. Uji Pearson’s chi-square dilakukan untuk menganalisis hubungan antara kelompok pasien dengan karakteristik demografis dan klinisnya. Bila hasil hitungan dalam suatu kategori kurang dari lima untuk lebih dari 20% sel, maka digunakan Fisher’s exact test. Usia antar kelompok pasien dibandingkan menggunakan one way analysis of variance (ANOVA), dan post hoc pairwise comparison dengan koreksi Bonferroni dilakukan bila ANOVA menunjukkan hasil yang signifikan secara statistik. Nilai p <0.05 dianggap menunjukkan signifikansi statistik.

Studi ini disetujui oleh National Healthcare Group Domain Specific Review Board dan pelaksanaannya diawasi oleh National Healthcare Group Research Ethics Committee.

Related Documents


More Documents from "bpt2"