Laporan Live-in Desa 2008 Minggu, 9 November 2008 Memang, pada hari Minggu saya dilanda rasa senang sekaligus takut dan juga penasaran. Para siswa wajib berkumpul pada pukul 1 siang, maka dengan itu saya pun datang pada jam tersebut. Namun ternyata pada jam satu pun masih banyak siswa yang belum berkumpul. Maka dari itu para siswa yang telah datang pun harus menunggu dengan sabar. Setelah ±2 jam menunggu, akhirnya anak-anak pun dikumpulkan untuk diberi pengarahan atau briefing. Setelah briefing berakhir, anak-anak pun dibagikan sumbangan pakaian bekas untuk dibawa ke dalam bus. Setelah memasukkan barangbarang ke dalam bus, bus pun akhirnya berangkat pada pukul 16.00. Waktu perjalanan memakan waktu ±18 jam, di mana seharusnya dijadwalkan memakan waktu ±14 jam. Hal ini dikarenakan kesalahan tekhnis pada bus dalam perjalanan pada malam hari di mana 1 bus mogok di tengah jalan dan 1 bus mengalami kerusakan pada AC. Kami semua pun berhenti di Pamanukan pada jam 19.00 untuk makan malam. Suasana di dalam bus pun lumayan ramai agar tidak dilanda kebosanan. Beberapa anak pun meramaikan suasana bus dengan bercanda bersama dengan guru, bermain kartu, dan berbagai kegiatan seru lainnya. Tetapi mereka pun tidak lupa untuk menghormati dan menghargai teman-teman yang lain yang sedang istirahat. Pada malam hari, suasana sudah mulai sepi dan anak-anak pun mulai istirahat.
Senin, 10 November 2008 Bus kami sampai di Pastoran kurang lebih pukul 10.00. Setelah kami sampai di Pastoran, kami segera makan pagi karena telah dihidangkan oleh pastoran. Sajian yang dihidangkan adalah nasi pecel. Yang membuat saya bingung adalah sayurannya harus diambilkan oleh para ibu yang telah siap melayani para anak-anak. Saya hanya heran. Saya hanya berpikir, bila saja sayurannya tidak diambilkan oleh para ibu tersebut, mungkin saja sayuran tersebut akan jarang tersentuh dan tidak dimakan oleh para siswa. Mungkin itu tujuan para ibu mengambilkan untuk anak-anak : agar sayurannya pun dimakan. Setelah semua anak-anak terkumpul dan makan siang, kami semua pun bersiap untuk pergi ke desa masing-masing. Pendistribusian ke desa masing-masing menggunakan alat transport yang sederhana. Saya beserta teman-teman sekampung saya menuju desa Pendem memakai truk. Pada saat telah sampai di sana, kami segera berkumpul di kapel kecil yang terbuat dari kayu. Kami berkumpul di sana untuk melakukan briefing secara singkat dan berkenalan dengan ketua lingkungan Katholik di desa Pendem. Setelah itu, kami diantarkan ke rumah tempat kami masing-masing akan tinggal. Saya pun diantarkan oleh istri tuan rumah tempat saya akan tinggali. Sesampainya di rumah tempat akan kami tinggali, saya dan Arvin, teman serumah saya, memperkenalkan diri dengan tuan rumah tersebut, demikian juga sebaliknya. Nama tuan rumah tersebut adalah Bapak Tomo. Beliau adalah seseorang yang telah tua. Ia telah memiliki anak-anak yang sudah dewasa dan tinggal di Jakarta. Sekarang, dia hanya tinggal bersama istrinya dan cucunya, Dika, yang berumur 9 tahun, yang dititipkan oleh anak Bapak Tomo agar dapat tinggal di desa dan bersekolah di desa tersebut. Alasan dititipkan di desa adalah agar Dika tidak dipengaruhi oleh pergaulan yang kurang baik di Jakarta. Bapak Tomo bekerja sebagai petani di sawah. Ia hanya menanam padi, jagung, dan sayur bayam. Di rumah, beliau juga menanam mangga. Istrinya, (sebut saja Ibu Tomo), tidak bekerja di sawah. Beliau hanya bertugas menjaga rumah, memasak, dan pergi ke pasar untuk membeli berbagai keperluan yang dibutuhkan di rumah. Ibu Tomo
juga merupakan pemasak yang hebat. Bapak Tomo mengatakan demikian karena bila ada hajatan, Ibu Tomo lah yang paling sering dimintai tolong untuk masak; dan di hari-hari ke depan, Ibu Tomolah yang menyiapkan makan pagi, siang, dan malam buat saya dan teman saya. Masakannya pun enak dan patut diancungi jempol. Dika adalah seorang anak yang duduk di bangku kelas 4 SD. Ia merupakan seorang anak yang lincah dan selalu bergembira, tetapi saya mendapat informasi bahwa Dika juga merupakan anak yang paling bandel di desa dan di sekolahnya. Rumah Bapak Tomo merupakan rumah yang sederhana, terbuat dari kayu dan lantai dari ubin batu. Rumahnya lumayan luas dan saya mudah terbiasa karena saya sudah terbiasa dengan rumah ibu saya yang jauh lebih kecil yang berada di Pontianak. Yang membuat saya terkagum-kagum adalah adanya kompor bakar yang terdapat di rumah tersebut, karena saya belum pernah melihat kompor bakar secara langsung. Sampahsampah seperti daun, kayu, kertas, dan plastik langsung digunakan untuk bahan bakar kompor bakar tersebut. Setelah kegiatan pekenalan dengan keluarga, kegiatan selanjutnya merupakan acara bebas sehingga anak-anak pun berkumpul bersama untuk bermain voli. Tetapi setiap pukul 19.00, anak-anak wajib berkumpul bersama untuk mengadakan refleksi kegiatan pada hari tersebut. Refleksi pada malam itu saya anggap tidak serius karena banyak anak-anak yang masih bercanda sehingga kegitan refleksi dianggap sebagai sebuah kegiatan yang tidak berguna sama sekali. Setelah kegiatan refleksi, anak-anak pun dapat kembali ke tempat tinggalnya masing-masing dan beristirahat.
Selasa, 11 November 2008 Saya harus bangun pagi pada hari Selasa karena saya dan Arvin akan menemani Bapak Tomo ke sawah. Perjalanan ke sawah ternyata tidak terlalu jauh. Dengan melewati jalan setapak yang berbatuan dan juga berlumpur karena hujan, kami pun dapat sampai ke sawah dan hektar milik Bapak Tomo. Kami ke sana membawa alat untuk menyiangi rumput. Di sana kami hanya bertugas menyiangi rumput karena masa panen jagung belum datang dan padinya pun baru tumbuh beberapa centimeter sehingga sangat belum siap untuk dipanen. Setelah hari agak siang dan Bapak juga agak lelah, barulah kami pulang untuk beristirahat dan mandi. Kegiatan di rumah selebihnya adalah kegiatan menganggur karena Bapak Tomo sudah tua, sehingga ia juga banyak tidur. Saya dan Arvin juga hanya disuruh nonton televisi dan tidur siang sehingga tidak ada pekerjaan yang berat bagi saya dan Arvin. Seperti biasa pada sore hari, anak-anak pun akan keluar dari rumah untuk bermain voli bersama anak-anak desa lainnya. Pada malamnya pun kami mengadakan kegiatan refleksi malam untuk merefleksikan kegiatan yang telah dikerjakan pada hari tersebut. Kali ini, kegiatan refleksi dapat berjalan lebih serius dan lebih tenang dibandingkan hari kemaren. Sebelum tidur, saya sempat mengobrol mengenai kehidupan di desa. Saya sangat kagum karena orang-orang di desa sungguh ramah. Mereka pun mengenali semua warga baik dari desa yang sama maupun dari desa yang berbeda. Saya pun hanya dapat membandingkan dengan Jakarta yang belum tentu saya kenali dengan baik tetanggatetangga saya. Di desa, orang pun saling menyapa satu sama lain baik bila berpapasan di jalan maupun hanya melewati rumahnya saja. Saya juga sempat merasa kasian pada sulitnya kehidupan di desa karena hasil panen yang mereka kumpulkan kadang-kadang hanya menghasilkan untung yang sedikit. Seperti halnya penjual melon, dapat diandaikan seperti taruhan uang. Bila penjual melon tersebut untung ya untung sekali mereka, tetapi sekali rugi maka rugi sekali mereka. Petani melon merupakan pekerjaan yang menghasilkan banyak uang tapi sekaligus susah untuk merawatnya. Sebagian warga yang menanam melon di desa pun bangkrut dan harus menjual rumahnya, tetapi ada juga warga yang menjadi kaya karena mendapatkan
hasil dari tanaman melonnya itu. Bapak Tomo mengatakan bahwa beliau tidak ingin menanam melon karena terlalu repot dan beresiko. Maka itu beliau pun memilih menanam padi dan jagung. Dari urutan atas, hasil panen yang paling untung adalah melon, padi, jagung. Sisanya adalah hasil sayur mayur lain seperti kacang panjang, pare, tomat, lombok (cabe), dsb. Tetapi yang paling untung dari semua panen tersebut adalah penjual pupuk karena semua petani pasti membutuhkan pupuk untuk melakukan menanami tanaman tersebut agar dapat berbuah dan memberikan hasil yang baik. Penjual pupuk pun mengelilingi dan berkunjung rumah demi rumah untuk menawarkan pupuknya dan juga untuk meminjamkan modal kepada para petani yang sedang membutuhkan.
Rabu, 12 November 2008 Meskipun saya dan Arvin bangun pagi, kami baru akan berangkat sedikit agak siangan karena Ibu Tomo takut jika Dika tidak ingin ke sekolah melainkan mengikuti ibunya. Tetapi kali ini kami tidak ke sawah, melainkan menemani Ibu Tomo ke Pasar Batu. Pasar Batu adalah pasar tradisional yang terletak jauh dari desa Pendem. Untuk mencapai ke sana, harus menggunakan bus umum yang berhenti di Pasar Batu. Jika dibandingkan dengan bus umum di Jakarta, bus di Wonogiri jauh lebih aman dan juga bersih. Tidak ada sampah dan suasana dalam bus juga lebih terang, meskipun ukuran busnya lebih kecil. Suasana Pasar Batu tidak jauh berbeda dengan pasar tradisional yang berada di Jakarta. Barang-barang yang dijual pun kurang lebih sama dengan pasar tradisional Jakarta; ada sayur, daging, minuman, dsb. Saya pun menemani Ibu Tomo membeli kebutuhan-kebutuhan rumah dan juga membantu Ibu Tomo membelikan obat untuk Bapak Tomo yang telah sakit sariawan selama tiga hari. Setelah selesai berbelanja, kami pun pulang dengan bus menuju desa tempat kami tinggal. Pada hari itu saya pun mendapatkan informasi dari salah satu teman saya, Vincent, bahwa orang-orang di desa hanya mendapatkan untung yang sedikit dan menurut saya tidak sepadan dengan usaha keras yang telah mereka kerjakan. Saya mengatakan demikian karena sungguh susah dengan uang yang didapatkan dengan waktu panen mereka yang lumayan lama. Saya ambil contoh seperti jagung. Masa panen jagung membutuhkan waktu yang cukup lama. Di hari panen, jagung-jagung yang sedemikian banyak itu dipetiki, tetapi tidak sampai di situ saja. Jagung-jagung tersebut harus dipreteli atau dilepas dari batangnya terlebih dahulu, dan proses tersebut memakan waktu yang lama dan usaha yang keras, tidak mungkin dilakukan dalam waktu semalam. Ternyata setelah usaha yang keras, jagung-jagung tersebut dijual. Untung yang mereka dapatkan tidak sampai 500.000 rupiah. Saya pun setelah membantu mempreteli jagung dengan susah, mendengar Vincent menceritakan keadaan tersebut, saya pun kaget dan sempat merasa kasihan karena usaha keras tersebut tidak sepadan dengan yang dihasilkan.
Setelah selesai bermain voli, kami pun segera pulang untuk segera bersiap mengikuti refleksi dan mengikuti misa ekaristi sabda.
Kamis, 13 November 2008 Pada hari Kamis, kami semua beserta siswa-siswa yang berada di desa lain berencana akan mengunjungi SMA Pangudi Luhur. Sekolah Pangudi Luhur adalah sebuah sekolah yang sederhana, lebih kecil daripada SMA Kanisius. Namun, siswa-siswa di SMA Pangudi Luhur terlihat lebih ramah dan lebih sopan. Setelah melakukan upacara di lapangan SMA Pangudi Luhur, siswa-siswa dari Kanisius pun bertanding sepak bola dan voli. Meskipun siswa dari Kanisius kalah, namun siswa Kanisius pun tidak merasa kecewa. Berita di televisi menunjukan bahwa sekarang terjadi kelangkaan dan kemahalan pupuk di daerah bagian Jawa. Sekarang banyak petani yang kesusahan mencari pupuk untuk menyuburkan tanah mereka. Akhirnya mereka tidak bisa mendapatkan hasil yang maksimal dari panen mereka. Para petani pun harus mencari pupuk tersebut sampai ke tempat yang jauh. Banyak petani yang kesal karena belum bisa mendapatkan pupuk. Meskipun terdapat pupuk, pasti yang terlihat adalah mahalnya harga karena kelangkaan pupuk tersebut. Hal tersebut pun ternyata juga dialami oleh Bapak Tomo dan para petani lainnya di Wonogiri. Saya pun sempat kaget karena saya baru tahu dan diberitahu pada saat saya melihat berita tersebut di televisi. Memang sungguh susah kehidupan para petani. Hidup mereka yang susah, harus ditambah beban yang lebih berat lagi hanya karena kelangkaan pupuk. Saat ini pemerintah memang sedang mengusahakan membenarkan masalah pupuk di Jawa.
Jumat, 14 November 2008 Memang hari Jumat adalah hari yang agak berat bagi kami semua karena kami akan berpisah dengan ‘orang tua’ kami di desa. Tetapi kami pun juga merasa lega karena akhirnya kami dapat pulang kembali ke rumah kami masing-masing. Sebelum berangkat kembali ke paroki, tidak lupa kami kami berpamitan terlebih dahulu ke ‘orang tua’ kami yang telah merawat kami dan mengajari kami di desa tersebut. Setelah sampai di paroki, kami harus mengadakan misa di Goa Maria Ratu Kenya. Kami semua berjalan kaki menuju ke Goa Maria Ratu Kenya dan harus mendaki bukit. Tempat misa di Goa tersebut pun lumayan sempit sehingga beberapa anak harus mengadakan misa di luar kapel tersebut. Setelah selesai misa, kami pun segera kembali ke Paroki untuk menikmati makan siang yang telah disediakan. Setelah mengabsen kembali anak-anak, bus pun akhirnya berangkat menuju ke Jakarta kurang lebih pada pukul 13.30