Kucing yang Bertamu Di rumahku pada jam-jam tertentu, selalu kedatangan seekor kucing sebagai tamu. Mula-mulai ia cuma tidur-tiduran di bangku depan, lama-lama masuk ke dalam dan akhirnya menjelajah ke sekujur ruangan. Terakhir, sebagai bukti bahwa ia sudah akrap dengan keluargaku, ia telah diizinkan tidur di atas bantal besar kesayangan anak lelakiku. Sementara si kucing tidur dengan nyenyak di bantal besarnya, anakku cukup mengambil tempat di sebelahnya, tidur dengan alas seadanya. Keduanya tidur bersama tetapi tidak benar-benar tidur. Sebentar-sebentar si kucing ini melenguh dan merubah posisi tubuhnya. Sebentar-sebentar anakku terjaga untuk mengamati seluruh gerakan kucingnya. Tak bisa berlama-lama kucing itu dengan tidurnya, karena akan datang istri dan anak perempuanku untuk merubungnya. Berebut mengelus bulu-bulunya. Jika mereka hendak tertawa kucing ini digodanya sedemikian rupa. Jika kedua belah pihak telah merasa cukup bemain, sang kucing akan pamit pergi dengan caranya sendiri yang keluargaku telah menghafalinya. Jika pintu kami tertutup, ia akan mengetuk-etukkan kakinya sampai pintu itu terbuka. Jika ia hendak pergi, anak dan istriku akan mengantarnya di depan pintu. Jika jam-jam kucing itu hendak datang bertamu, keluargaku tegang menunggu. Jika tamu itu benar-benar datang, semuanya berteriak girang. Sudah tentu, kecuali aku. Dari seluruh keriuhan itu biasanya aku memang cuma mengamati dari kejauhan. Sikap inilah yang dianggap mengurangi kegembiraan keluargaku. Dianggapnya aku sama sekali tidak ikut bergembira bersama mereka. Anggapan itu pasti keliru. Ketika aku melihat anak lelakiku merelakan bantal besarnya untuk tidur si kucing, sementara ia sendiri cukup beralas apa saja, dari jauh mataku sesungguhnya telah berkacakaca. Tetapi pasti aku tidak mau kehilangan muka. Menangis di hadapan anak dan istri? Huh, gengsi! Maka biarlah aku terharu dengan caraku sendiri. Ini bukan sekadar keharuan bapak atas anak, melainkan keharuan atas hasutan imajinasiku sendiri. Begitulah sejatinya seluruh hati anak-anak di dunia, seluruh hati manusia, ia selalu memiliki ruang-ruang yang besar untuk cinta, untuk menyayangi sesamanya. Dan ruang-ruang itu jika dibuka lebar-lebar, seluruh dunia ini akan berisi cinta. Cinta yang besar itu cukup disulut dengan soal-soal sederhana. Kucing ini sama sesali kucing liar, ia bukan jenis anggora yang ningrat dan manja. Hewan ini datang tanpa diminta dan pergi tanpa dipaksa. Sesungguhnya, ia tetaplah kucing tanpa kelas. Tapi tak peduli siapapun dia, kedatangannya di rumah kami seperti menyalakan lampu raksasa. Setiap meong pertama di kemunculannya akan langsung disambut suka cita. Anakanakku akan berlarian dan istriku dengan sok anggun mengikutinya. Tapi sebetulnya tidak. Perasaan istriku itu pasti setara saja dangan anak-anaknya yang gegapgempita. Cuma karena kedudukannya sebagai ibu, ia merasa perlu menganggunanggunkan diri. Untuk menggembirakan seluruh keluarga, cukup dengan hanya meongan seekor kucing, betapa murahnya. Dan ketika kucing ini tiba gilirannya pergi, seluluruh keluargaku serentak terharu bersama. Jangan disangka bobot keharuan lebih rendah katimbang kegembiraan. Keduanya setara dan sama menakjubkannya. Keharuan adalah kegembiran yang tengah bermetamorfosa. Maka ketika dalam sehari kami setidaknya memilik sekali kegembiraan dan sekali keharuan, sesungguhnya kami telah gembira berkali-kali. Belum lagl, kegembiraan atas kucing ini bisa kami perpanjang. Jika malam menjelang, kepada anak-anak, kami
dongengkan betapa esok pagi ia akan ketemu kucingnya lagi. Dan tidur berbekal kerinduan atas kegembiraan esok hari, pasti tidur yang menyenangkan. Dan pagi hari ketika mereka hendak ke sekolah, bersiap menempuh hari-hari yang berat, kami ingatkan, bahwa sepulang sekolah nanti, kucingnya telah menanti. Jika kegembiraan menjadi bekalnya, keberatan hidup itu pasti akan meringan dengan sendirinya. Cuma dengan seekor kucing liar yang tak jelas asalusulnya, keluarga kami gembira setiap hari. Ini bukti satu lagi, bahwa kegembiraan itu sejatinya murah sekali! (Prie GS/Cn08)