Konsep Regional Menurut Vidal De La Blache.docx

  • Uploaded by: Glendina Clara
  • 0
  • 0
  • November 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Konsep Regional Menurut Vidal De La Blache.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 1,167
  • Pages: 4
TUGAS PENGANTAR GEOGRAFI

DOSEN PENGAMPU : Dr. PUJI HARDATI, M.si EDI KURNIAWAN,S.Pd M.Pd

Disusun oleh : Nama : Glendina Clara Josephie Sinaga NIM: 3211417019

JURUSAN GEOGRAFI FAKULTAS ILMU SOSIAL UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG TAHUN 2017

Konsep regional menurut Vidal de la Blache Di Prancis Paul Vidal de la Blache ( 1845- 1918) juga merupakan tokoh pengembang paham region yang disampingnya merupakan seorang tokoh geografi . Vidal menampilkan konsep genre de vie yang berarti secara harfiah dara hidup atau gaya hidup. Menurut Vidal, sasaran utama geografi adalah mempelajari keragaman genre de Vie yang karakteristiknya ditentukan oleh tingkat peradaban ataupun kebudayaan manusianya, dan keduanya ialah factor kemungkinan lingkungan alam seta pengaruhnya ialah atas manusia. Maka keragaman genre de vie ialah hasil kegiatan manusia dalam usaha atau kemakmuran di muka bumi . Menganalisis daerah Tangerang menurut Vidal de la Blache. Faktor-faktor yang mempengaruhi atas timbulnya keanekaragaman disamping keadaan alam meliputi: 1. Sosial dan Sejarah 2. Ekonomi 3. Kerohanisan dan Jiwa

Pembahasan: 1. A Sejarah Tangerang Menurut tradisi lisan yang menjadi pengetahuan masyarakat Tangerang, nama daerah Tengerang dulu dikenal dengan sebutan Tanggeran yang berasal dari bahasa Sunda yaitu tengger dan perang. Kata “tengger” dalam bahasa Sunda memiliki arti “tanda” yaitu berupa tugu yang didirikan sebagai tanda batas wilayah kekuasaan Banten dan VOC, sekitar pertengahan abad 17. Oleh sebab itu, ada pula yang menyebut Tangerang berasal dari kata Tanggeran (dengan satu g maupun dobel g). Daerah yang dimaksud berada di bagian sebelah barat Sungai Cisadane (Kampung Grendeng atau tepatnya di ujung jalan Otto Iskandar Dinata sekarang), sedangkan istilah “perang” menunjuk pengertian bahwa daerah tersebut dalam perjalanan sejarah menjadi medan perang antara Kasultanan Banten dengan tentara VOC. Hal ini makin dibuktikan dengan adanya keberadaan benteng pertahanan kasultanan Banten di sebelah barat Cisadane dan benteng pertahanan VOC di sebelah Timur Cisadane. Keberadaan benteng tersebut juga menjadi dasar bagi sebutan daerah sekitarnya (Tangerang) sebagai daerah Beteng. Hingga masa pemerintahan kolonial, Tangerang lebih lazim disebut dengan istilah “Beteng”. Menurut cerita yang berkembang di masyarakat, sekitar tahun 1652, benteng pertahanan kasultanan Banten didirikan oleh tiga maulana (Yudhanegara, Wangsakara dan Santika) yang diangkat oleh penguasa Banten. Mereka mendirikan pusat pemerintahan kemaulanaan sekaligus menjadi pusat perlawanan terhadap VOC di daerah Tigaraksa. Sebutan Tigaraksa, diambil dari sebutan kehormatan kepada tiga maulana sebagai tiga pimpinan (tiga tiang/pemimpin). Mereka mendapat mandat dari Sultan Agung Tirtoyoso (1651-1680) melawan VOC yang mencoba menerapkan monopoli dagang yang merugikan Kesultanan Banten. Namun, dalam pertempuran melawan VOC, ketiga maulana tersebut berturut-turut gugur satu persatu. Perubahan sebutan Tangeran menjadi Tangerang terjadi pada masa daerah Tangeran mulai dikuasai oleh VOC yaitu sejak ditandatangani perjanjian antara Sultan Haji dan

VOC pada tanggal 17 April 1684. Daerah Tangerang seluruhnya masuk kekuasaan Belanda. Kala itu, tentara Belanda tidak hanya terdiri dari bangsa asli Belanda (bule) tetapi juga merekrut warga pribumi di antaranya dari Madura dan Makasar yang di antaranya ditempatkan di sekitar beteng. Tentara kompeni yang berasal dari Makasar tidak mengenal huruf mati, dan terbiasa menyebut “Tangeran” dengan “Tangerang”. Kesalahan ejaan dan dialek inilah yang diwariskan hingga kini. Sebutan “Tangerang” menjadi resmi pada masa pendudukan Jepang tahun 1942-1945. PemeriJepang melakukan pemindahan pusat pemerintahan Jakarta (Jakarta Ken) ke Tangerang yang dipimpin oleh Kentyo M Atik Soeardi dengan pangkat Tihoo Nito Gyoosieken seperti termuat dalam Po No. 34/2604. Terkait pemindahan Jakarta Ken Yaskusyo ke Tangerang tersebut, Panitia Hari Jadi Kabupaten Tangerang kemudian menetapkan tanggal tersebut sebagai hari lahir pemerintahan Tangerang yaitu pada tanggal 27 Desember 1943. Selanjutnya penetapan ini dikukuhkan dengan Peraturan Daerah Tingkat II Kabupaten Tangerang Nomor 18 Tahun 1984 tertanggal 25 Oktober 1984. 1. B. Sosial Tangerang Raya saat ini terbagi menjadi 3 daerah otonom, yaitu Kabupaten Tangerang, Kota Tangerang dan Kota Tangerang Selatan. Kondisi sosial, ekonomi dan lingkungan Tangerang Raya sangat beragam. Merupakan perpaduan antara daerah pesisir (Pantura) dengan daerah dataran rendah sampai menengah. Merupakan kombinasi antara daerah agraris dengan industri, pedesaan dengan metropolitan. Tangerang Raya merupakan daerah penyangga bagi Jakarta, yang berkedudukan sebagai ibu kota negara RI dan pusat bisnis terbesar di indonesia. Dengan demikian, apa yang terjadi di Jakarta segera berimbas ke Tangerang. Akibat melubernya jumlah penduduk Jakarta, maka sebagian bermigrasi ke Tangerang, dengan tetap mencari nafkah di Jakarta. Tangerang adalah pintu gerbang utama Indonesia. Hal itu karena keberadaan Bandara Internasional Soekarno Hatta yang berada di wilayah Kota Tangerang. Namun posisi tersebut, tidak serta merta mendongkrak sektor pariwisata Tangerang Raya. Kenyataannya, beragam sektor strategis di Tangerang Raya, kurang dikelola secara profesional. Hal ini dibuktikan dengan masih banyaknya jumlah pengangguran dan penduduk yang miskin. Geliat sektor perdagangan dan bisnis di sebagian kawasan, ternyata hanya memberikan keuntungan bagi segelintir orang saja, dan kurang menciptakan kemakmuran bagi rakyat banyak. Tumbuh pesatnya Kecamatan Serpong misalnya, justru menyebabkan banyak warga asli yang terpinggirkan. Begitu pula di beberapa kecamatan lainnya.

2. Ekonomi Tangerang adalah pusat manufaktur dan industri di pulau Jawa dan memiliki lebih dari 1000 pabrik. Banyak perusahaan-perusahaan internasional yang memiliki pabrik di kota ini. Tangerang memiliki cuaca yang cenderung panas dan lembap, dengan sedikit hutan atau bagian geografis lainnya. Kawasankawasan tertentu terdiri atas rawa-rawa, termasuk kawasan di sekitar Bandara Internasional SoekarnoHatta. Dalam beberapa tahun terakhir, perluasan urban Jakarta meliputi Tangerang, dan akibatnya banyak penduduknya yang berkomuter ke Jakarta untuk kerja, atau sebaliknya. Banyak kota-kota satelit kelas menengah dan kelas atas sedang dan telah dikembangkan di Tangerang, lengkap dengan pusat perbelanjaan, sekolah swasta dan mini market. Pemerintah bekerja dalam mengembangkan sistem jalan tol untuk mengakomodasikan arus lalu lintas yang semakin banyak ke dan dari Tangerang. Tangerang dahulu adalah bagian dari Provinsi Jawa Barat yang sejak tahun 2000 memisahkan diri dan menjadi bagian dari provinsi Banten. Tangerang dikenal pula sebagai kawasan 1.000 industri, karena keberadaan

aneka industri, terutama di sekitar Balaraja, Cisoka dan Cikupa. Tangerang juga memiliki area pesawahan yang masih sangat luas, meskipun keberadaannya terus terdesak oleh industrialisasi dan perluasan kota.

3. Kerohanian dan Jiwa Bila di lihat dari besaran agama yang paling banyak di anut, sebagain besar penduduk provinsi Banten memeluk agama Islam, yang berikutnya adalah Agama Kristen, Budha dan Katolik. Agama Islam menjadi mayoritas di semua kabupaten dan kota, sedangkan Agama Kristen dengan jumlah besar di Provinsi ini ada di Kota Tangerang, Kabupaten tangerang dan Kota Tangerang Selatan, Agama Budha dengan populasi besar berada di Kabupaten Tangerang dan Kota Tangerang Hubungan antarumat beragama kota Tangerang, adalah suatu kondisi yang merepresentasi hubunagn antarumat beragama di Indonesia. Khusunya yang terbawa oleh kondisi urbanisasi, dengan segala dampak sosial budayanya. Ketegangan antarkelompok masyarakat adalah suatu pergolakan budaya yang akan terus bergulir. Dalam konteks urbanisasi, agama berada dalam posisi instrument, namun menemukan jatidirinya ketika umat penganutnya merasa terusik oleh kekuatan luar yang mendesak secara tiba-tiba. Pergolakan antar budaya dan agama tampaknya telah dengan sempurna dimainkan oleh warga Kota Tangerang. Gaya konservatisme pada kelompok warga asli dan pasca modern di lain pihak, diperankan kaum pendatang dengan kekuatan ekonomi yang berlebih, ikut membayangi terjadinya persentuhan antaragama. Dalam konteks budaya, hal itu menjadi suatu hal yang tidak bisa dielakkan. Telah terjadi semacam cultural shock di tengah pergolakan tersebut. Pola interaksi sosial, semakin dikendalikan struktur baru dalam hidup kemodernan. Disumbang oleh perangkat teknologi kerumahtanggan dan berkembangnya teknologi komunikasi. Telah menciptakan gaya hidup yang abuabu, antara keharusan mempertahankan konservatisme dan keharusan mengadopsi kemodernan.

Related Documents


More Documents from "Shazana Binti Muhamed Sa'ad"