Komunikasi_dalam_islam_komunikasi_dalam.doc

  • Uploaded by: Adinda Puspawidya M
  • 0
  • 0
  • November 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Komunikasi_dalam_islam_komunikasi_dalam.doc as PDF for free.

More details

  • Words: 2,582
  • Pages: 12
KOMUNIKASI DALAM ISLAM KOMUNIKASI DALAM ISLAM A. Pengertian Islam merupakan wahyu yang diturunkan oleh Allah SWT sebagai petunjuk bagi kehidupan manusia dalam segala hal. Dimana allah juga memberikan Al-Qur’an sebagai sumber penerangan dan pegangan untuk umatnya beribadah dan nilai ketaqwaan, ketauhidan, kemanusiaan dan kaidah-kaidah lainnya sebagai sandaran dalam berbagai aspek perbuatan manusia. Islam erat kaitannya dengan komunikasi, baik komunikasi antara manusia dengan Allah SWT, komunikasi antar manusia, dan komunikasi antara manusia dengan lingkungannya. Seperti yang kita ketahui, bahwasanya komunikasi merupakan suatu hal yang mendasar dalam kehidupan manusia. Didalam Al-Qur;an juga banyak terdapat kajian yang berisi seputar komunikasi, cara berkomunikasi dan metode-metode yang digunakan dalam berkomunikasi. Tanpa adanya komunikasi manusia tidak akan mampu untuk bertahan hidup. Manusia merupakan makhluk social yang membutuhkan bantuan orang lain dan juga dibutuhkan oleh orang lain. Dengan demikian manusia sangat perlu melakukan komunikasi untuk membuat suatu kesepakatan dengan menggunakan etika dalam berkomunikasi, sehingga komunikasi akan berjalan dengan baik. Komunikasi dalam bahasa arab disebut dengan istilah Ittisal atau Wasola yang berarti sampaikan. Seperti yang terkandung didalam Al Qur’an surat al-Qashas ayat 51: Artinya: “Dan sungguh, kami telah menyampaikan perkataan ini (Al Qur’an) kepada mereka, agar mereka selalu mengingatnya”.

Menurut Colin Chery, berdasarkan pendekatan Sosiologi mendefinisikan komunikasi sebagai usaha untuk membuat satuan social dari individu dengan menggunakan bahasa, atau tanda dalam memiiliki sendiri serangkaian peraturan untuk berbagai kegiatan guna mencapai suatu tujuan, jadi komunikasi merupakan peristiwa social yang bertujuan untuk memberikan informasi, memberikan pengertian, menghibur, dan mempengaruhi orang lain Komunikasi islam adalah suatu proses penyampaian pesan mengenai keislaman dengan menggunakan prinsip-prinsip berkomuikasi dalam islam. Dengan kata lain dalam berkomunikasi islam menekankan pada unsur pesan yang mengandung risalah atau nilai-nilai islam yang meliputi seluruh ajaran Islam, akidah, syariah, dan akhlak. Dalam komunikasi islam menekankan pada aspek social, agama, dan kebudayaan. Hasil dari ketiga aspek tersebut menghasilkan suatu aspek baru yaitu aspek komunikasi Interpersonal yang mengarah kepada sosio agama dan budaya. Komunikasi Interpersonal merupakan cara untuk mengekalkan satu order social adil serta sebagai asas dalam penyusunan cara hidup dalam islam. Dalam komunkasi terdapat beberapa pandangan mengenai cakupan komunikasi, baik secara tatap muka maupun dengan menggunakan media. Dengan demikian terdapat beberapa kata kunci dalam presepsi ini, yaitu sebagaimana yang terdaat dalam gambar berikut ini: B.

Prinsip-prinsip Komunikasi berdasarkan kandungan dalam AL Qur’an Al Qur’an sebagai kalamullah merupakan sumber dari segala ilmu yang benar adanya.

Meskipun Al Qur’an tidak menjelaskan secara spesifik mengenai masalah komunikasi, namun bila diteliti aka nada banyak ayat yang didalamnya memberikan gambaran secara umum mengenai prinsip-prinsip komunikasi dan gaya bicara dalam berkomunikasi, diantaranya yaitu: 1.

Prinsip Qaulan Baligha (ً‫)قبووغل ببلليِغغا‬

Qaulan Baligha adalah surat an-Nisa’. Dalam surat an-Nisa’ terkandung makna mengenai berkomunikasi yaitu berbicara dengan menggunakan ungkapan yang mengena, mencapai sasaran dan tujuan, berbicara dengan jelas, terang dan tepat. Hal ini berarti berbicara secara efektif “Mereka itu adalah orang-orang yang (sesungguhnya) Allah mengetahui apa yang ada di dalam hatinya. Karena itu berpalinglah kamu dari mereka, dan berilah mereka nasihat, dan katakanlah kepada mereka perkataan yang membekas pada jiwanya.” (Q.s. an-Nisa': 63). Ayat diatas menjelaskan mengenai kebusukan hati kaum munafik, bahwa mereka tidak akan bertahkim kepada Rasulillah saw, meski mereka telah bersumpah atas nama Allah, bahwa apa yang telah mereka lakukan semata-mata hanya menghendaki suatu kebaikan. Meski demikian allah melarang untuk menghukum mereka secara fisik, cukup dengan memberikan nasehat serta ancaman bahwasannya perbuatan buruknya akan mengekibatkan turunnya siksa dari Allah dan berkata kepada mereka dengan perkataan yang baligh. Kata baligh dapat dimaknai dengan cukup (al-kifayah), yaitu perkataan yang dapat merasuk dan membekas didalam jiwa. Sedangkan menurut al-Ishfahani, bahwa baligh yang dimaksud mengandung tiga unsur utama, yaitu dengan bahasa yang tepat, sesuai dengan yang dikehendaki, dan isi dari perkataan tersebut adalah suatu kebenaran. Para pakar sastra yang dikutip oleh Quraish Shihab, membuat suatu kriteria-kriteria khusus mengenai suatu pesan yang dapat dianggap baligh, antara lain yaitu: 

Tertampungnya seluruh pesan dalam kalimat yang disampaikaN



Kesesuaian dengan tata bahasa



Pemilihan kosa katanya mudah dipahami oleh pendengar dan bukan sesuatu

yang asing.



Kalimat yang digunakan tidaklah bertele-tele dan tidak terlalu pendek sehingga

pengertiannya menjadi kabur. 

Kesesuaian kandungan dan gaya bahasa yang digunakan dengan lawan bicaranya.

2.

Prinsip Qoulan Karima (ً‫)قكوومل ككرريِمما‬

Kata tersebut hanya akan dijumpai sekali dalam Al Qur’an, tepatnya pada surah al-Isra’ ayat 23, yaitu membahas mengenai berbicara mulia yang menyiratkan kata dimana isi, pesan, cara serta tujuannya selalu baik, terpuji, penuh hormat dan mencerminkkan akhlak terpuji dan mulia. Artinya: "Dan Tuhanmu telah memerintahkan agar kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah berbuat baik kepada ibu bapak. Jika salah seorang di antara keduanya atau keduaduanya sampai berusia lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah engkau mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah engkau membentak keduanya, dan ucapkanlah kepada keduanya perkataan yang baik." (Q.s. al-Isra': 23) Ayat ini menginformasikan bahwa ada dua ketetapan Allah yang menjadi kewajiban setiap manusia, yaitu menyembah Allah dan berbakti kepada kedua orang tua. Ajaran ini sebenarnya ajaran kemanusiaan bersifat umum, karena setiap manusia pasti menyandang dua predikat ini sekaligus, yakni sebagai makhluk ciptaan Allah, yang oleh karenanya harus menghamba kepadaNya semata; dan anak dari kedua orang tuanya. Sebab, kedua orang tuanyalah yang menjadi perantara kehadirannya di muka bumi ini. Bukan hanya itu, struktur ayat ini, di mana dua pernyataan tersebut dirangkai dengan huruf wawu 'athaf, yang salah satu fungsinya adalah menggabungkan dua pernyataan yang tidak bisa saling dipisahkan, menunjukkan bahwa berbakti kepada kedua orag tua menjadi parameter bagi kualitas penghambaan manusia kepada Allah. Dalam sebuah hadis riwayat Ahmad, Nabi Saw. Bersabda:

"Merugilah 3 x, seseorang yang menemukan salah satu atau kedua orang tuanya sudah lanjut usia tidak bisa masuk surga.” Bila dikaitkan maka sesungguhnya Al Qur’an memberikan petunjuk bagaimana cara berperilaku dan berkomunikasi secara baik dan benar terhadap kedua orang tua, dimana saat keduanya ataupun salah satu dari mereka telah berusia lanjut, sehingga seorang anak dapat dikatakan memiliki sifat karim dengan melihat perilaku dalam kesehariannya. Ibnu Asyur mengatakan bahwa Qaul karim adalah perkataan yang tidak memojikkan pihak lain yang menjadikan orang tersebut merasa seakan terhina. Contoh: “Ketika seorang anak yang hendak menasehati orang tuanya yang salah, yakni hendaknya tetap menjaga sopan santun serta tidak bermaksud untuk mengguruinya, apalagi sampai membuat beliau tersinggung. Pada intinya Qaul Karima yaitu setiap perkataan yang dikenal lembut, baik, dan mengandung unsur pemuliaan serta penghormatan. 3.

Prinsip Qaulan Maysura (ً‫سومرا‬ ‫)قكوومل كموي س‬

Qaulan Masyura hanya terdapat pada surah al-Isra’ ayat 28, yaitu berisi mengenai berbicara dengan baik dan pantas agar orang tidak merasa kecewa. Artinya: “Dan jiks engksu berpaling dari mereka untuk memperoleh rahmat dari Tuhanmu yang engkau hrapkan, maka katakanlah kepada mereka ucapan yang lemah lembut” Ibn Zaid berkata, "Ayat ini turun berkenaan dengan kasus suatu kaum yang minta sesuatu kepada Rasulullah saw namun beliau tidak mengabulkan permintaannya, sebab beliau tahu kalau mereka seringkali membelanjakan harta kepada hal-hal yang tidak bermanfaat. Sehingga berpalingnya beliau adalah semata-mata karena berharap pahala. Sebab, dengan begitu beliau

tidak mendukung kebiasaan buruknya dalam menghambur-hamburkan harta. Namun begitu, harus tetap berkata dengan perkataan yang menyenangkan atau melegakan.". Ayat ini juga mengajarkan, apabila kita tidak bisa memberi atau mengabulkan permintaan karena memang tidak ada, maka harus disertai dengan perkataan yang baik dan alasan-alasan yang rasional. Pada prinsipnya, qaul maisur adalah segala bentuk perkataan yang baik, lembut, dan melegakan. Ada juga yang menjelaskan, qaul maisura adalah menjawab dengan cara yang sangat baik, perkataan yang lembut dan tidak mengada-ada. Ada juga yang mengidentikkan qaul maisura dengan qaul ma'ruf. Artinya, perkataan yang maisur adalah ucapan yang wajar dan sudah dikenal sebagai perkataan yang baik bagi masyarakat setempat. 4.

Prinsip Qaulan Ma’rufa (ً‫)قكوومل كموعسروُمفا‬

Empat kali kata ini disebutkan di dalam Al Qur’an, yaitu pada surah al-Baqarah, ayat 235, an-Nisa’, ayat 5 dan 8, dan surah al-Ahzab, ayat 32.  Al Qur’an surah an-Nisa’:8, yaitu:

Artinya: “Dan jiks engksu berpaling dari mereka untuk memperoleh rahmat dari Tuhanmu yang engkau hrapkan, maka katakanlah kepada mereka ucapan yang lemah lembut” Ibn Zaid berkata, "Ayat ini turun berkenaan dengan kasus suatu kaum yang minta sesuatu kepada Rasulullah saw namun beliau tidak mengabulkan permintaannya, sebab beliau tahu kalau mereka seringkali membelanjakan harta kepada hal-hal yang tidak bermanfaat. Sehingga berpalingnya beliau adalah semata-mata karena berharap pahala. Sebab, dengan begitu beliau tidak mendukung kebiasaan buruknya dalam menghambur-hamburkan harta. Namun begitu, harus tetap berkata dengan perkataan yang menyenangkan atau melegakan.".

Ayat ini juga mengajarkan, apabila kita tidak bisa memberi atau mengabulkan permintaan karena memang tidak ada, maka harus disertai dengan perkataan yang baik dan alasan-alasan yang rasional. Pada prinsipnya, qaul maisur adalah segala bentuk perkataan yang baik, lembut, dan melegakan. Ada juga yang menjelaskan, qaul maisura adalah menjawab dengan cara yang sangat baik, perkataan yang lembut dan tidak mengada-ada. Ada juga yang mengidentikkan qaul maisura dengan qaul ma'ruf. Artinya, perkataan yang maisur adalah ucapan yang wajar dan sudah dikenal sebagai perkataan yang baik bagi masyarakat setempat. Prinsip Qaulan Ma’rufa (ً‫)قكوومل كموعسروُمفا‬

5.

Empat kali kata ini disebutkan di dalam Al Qur’an, yaitu pada surah al-Baqarah, ayat 235, an-Nisa’, ayat 5 dan 8, dan surah al-Ahzab, ayat 32.  Al Qur’an surah an-Nisa’:8, yaitu:

Artinya: “Pergilah kamu bedua kepada Fir'aun, sesungguhnya dia benar-benar telah melampaui batas; maka berbicaralah kamu berdua kepadanya (Fir'aun) dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan dia sadar atau takut." (Q.s. Thaha: 44). Ayat diatas menceritakan kisah Nabi Musa dan Harun saat beliau diperintah untuk menghadapi fir’aun, dengan maksut agar keduanya mengatakan kepada fir’aun dengan menggunakan perkataan yang layyin, yaitu dengan lembut atau gemulai dalam menunjuk gerakan tubuh. Qaul layyina adalah perkataan yang mengandung anjuran, ajakan, pemberian contoh, di mana si pembicara berusaha meyakinkan pihak lain bahwa apa yang disampaikan adalah benar dan rasional, dengan tidak bermaksud merendahkan pendapat atau pandangan orang yang diajak

bicara tersebut. Dengan demikian, qaul layyina adalah salah satu metode dakwah, karena tujuan utama dakwah adalah mengajak orang lain kepada kebenaran, bukan untuk memaksa dan unjuk kekuatan. 6.

Prinsip Qaulan Sadida (ً‫سرديِمدا‬ ‫)قكوومل ك‬

Qaulan Sadida terdapat dalam Al Qur’an surah an-Nisa’ ayat 9, dan al-Ahzab ayat 70  Al Qur’an surah an-Nisa’:9

Artinya: "Dan hendaklah takut (kepada Allah) orang-orang yang sekiranya mereka meninggalkan keturunan yang lemah di belakang mereka yang mereka khawatir atas (kesejahteraan)nya. Oleh sebab itu, hendaklah mereka bertaqwa kepada Allah, dan hendaklah mereka berbicara dengan tutur kata yang benar." (Q.s. al-Nisa': 9) Ucapan yang benar adalah yang sesuai dengan Al-Quran, Assunnah, dan Ilmu. Al-Quran menyindir keras orang-orang yang berdiskusi tanpa merujuk kepada Al-Kitab, petunjuk dan ilmu. Diantara manusia yang berdebat tentang Allah tanpa ilmu petunjuk dan kitab yang menerangi (Qs;31:20). Al-Quran menyatakan bahwa berbicara yang benar,menyampaikan pesan yang benar,adalah prasyarat untuk kebenaran (kebaikan, kemaslahatan) amal. Bila kita ingin menyukseskan karya kita, bila kita ingin memperbaiki masyarakat kita, maka kita harus menyebarkan pesan yang benar dengan perkataan yang lain. Hal ini berarti masyarakat menjadi rusak jika isi pesan komunikasi tidak benar.  Al Qur’an surah al-Ahzab: 70

Artinya:

"Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar. (Q.s. al-ahzab/33: 70) Ayat ini diawali dengan seruan kepada orang-orang beriman. Hal ini menunjukkan bahwa salah satu konsekwensi keimanan adalah berkata dengan perkataan yang sadid. Atau dengan istilah lain, qaul sadid menduduki posisi yang cukup penting dalam konteks kualitas keimanan dan ketaqwaan seseorang. Sementara berkaitan dengan qaul sadid, terdapat banyak penafsiran, antara lain, perkataan yang jujur dan tepat sasaran. perkataan yang lembut dan mengandung pemuliaan bagi pihak lain, pembicaraan yang tepat sasaran dan logis, perkataan yang tidak menyakitkan pihak lain,perkataan yang memiliki kesesuaian antara yang diucapkan dengan apa yang ada di dalam hatinya. C.

Macam-macam Komunikasi dalam Islam a.

Komunikasi dengan Allah SWT

Manusia akan selalu membutuhkan komunikasi untuk melanjutkan kehidupannya, terutama komunikasi dengan tuhannya. Islam mengajarkan untuk berkomunikasi dengan Allah baik secara verbal maupun non ferbal dan dalam pelaksanaannya daat terjadi secara langsung maupun secara tidak langsung.  Komunikasi Secara Langsung

Dalam berkomunikasi secara langsung kepada Allah dapat dilakukan dengan cara senantiasa menjauhi larangannya dan menjalankan segala perintahnya seperti senantiasa menjalankan kewajiban sebagai umat islam berdasarkan rukun islam (Shahadat, Sholat, zakat, puasa, dan naik haji bila mampu) dan rukun iman (Iman kepada Allah, Malaikat, Kitab-kitab Allah, Rasul-rasul Allah, dan Hari Kiamat).

Dalam menjalankan kewajiban sebagai umat islam, Shalat merupakan hal yang sangat penting, dimana shalat dapat menjadi ukuran keimanan seseorang muslim. Rasulullah Saw bersabda: “Salat adalah tiang agama, barang siapa yang mendirikannya berarti ia menegakan agama, dan barang siapa yang meninggalkannya berarti ia meruntuhkan agama” (HR. ABaihaqi dari Umar RA). Salat juga merupakan sarana komunikasi langsung antara seorang muslim dengan allh SWT. Firman Allah dalam QS. Thaha (20):14: Artinya: “Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tiada Tuhan (yang hak) selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah salat untuk mengingatku.” (Thaha: 14).  Komunikasi Tidak Langsung

Komunikasi tidak langsung adalah sebuah komunikasi atau ibadah yang dikerjakan oleh umat manusia tetapi tidak secara langsung atau melalui perantara, tetapi walaupun memakai perantara tetap ditujukan untuk Allah dan senantiasa mengharap ridha-Nya. Contohnya dengan kita berinfak membantu sesama manusia yang secara langsung akan membantu meringankan bebannya, dan secara tidak langsung dia telah beribadah kepada Allah melalui infak tersebut. Tetapi kalu infak terserbut niatnya bukan karena mengharap rida Allah maka infak tersebut jadi sia-sia. b.

Komunikasi dengan Sesama Manusia

Penciptaan manusia yang sempurna dengan potensi yang diberikan Allh Swt yaitu akal, jiwa, dan hati (IQ, EQ, dan SQ). semuanya dipersiapkan oleh Allah Swt agar manusia mampu berperan sebagai khalifah di muka bumi. Dan sebagai khalifah di muka bumi ini adalah berarti

manusia, mengemban tugas untuk menolong agama Allah dalam merealisasikan dan sekaligus menjadi saksi dan bukti atas kekuasaan Allah di alam jagad raya ini. Manusia yang tercipta sebagai khalifah di muka bumi ini berarti dia harus mampu berkomunikasi dengan manusia lainnya, karena tidak akan tercipta seorang pemimpin, kalau pemimpin tersebut tidak mampu berkomunikasi dengan yang lainnya. Hal ini menandakan bahwa manusia senantiasa harus selalu menjaga silaturahminya dengan yang lain. Dari Abdur Rahman bin auf Ra., ia berkata “Saya mendengan Rasullulah SAW. Bersabda, “Allah berfirman, “Aku-lah Allah, Aku-lah yang maha pemurah, aku menciptakan rahim (persaudaraan) dan Aku pecahkan dari nama-Ku, barangsiapa yang menyambungnya, maka Aku menyambung orang itu, dan barangsiapa yang memutuskannya maka Aku putuskan di” (Hadits ditakhrij oleh Tirmidzi). Dari hadits di atas menyiratkan bahwa dalam Islam silaturahmi antar sesama sangat ditekankan keberadaanya, dan silaturahmi terserbut atau berhubungan antar sesama manusia tersebut tidak mungkin terwujud tanpa adanya sebuah komunkasi yang baik. c.

Komunikasi dengan Lingkungan

Lingkungan hidup merupakan pendukung terhadap kehidupan dan kesejahteraan, bukan saja terhadap manusia tetapi juga bagi makhluk lain. Karenanya lingkungan harus tetap terjaga kelestarian dan kelangsungan hidupnya. Allah telah memberikan kelengkapan bagi manusia berupa potensi-potensi rokhani yang tidak dimiliki oleh makhluk-makhluk hidup lain terutama akal. Maka manusia diberi beban tugas untuk memelihara, melestarikan, dan memanfaatkan alam semesta ini. Sebagaimana firman Allah dalam Al Qur’an surah al-Baqarah:29 Artinya:

“Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu kemudian dia menuju ke langit. Dan dia maha mengetahui segala sesuatu”. (QS. Al-Baqarah:29). Dan kemudian pada ayat yang lain Allah menerangkan lagi agar manusia mengambil manfaat yang sebesar-besarnya untuk kehidupan mereka seluruh isi ala mini, misalnya laut beserta isinya, sebagaimana firman Allah: Artinya: “Dan Dia-lah, Allah yang menundukan lautan untukmu, agar kamu dapat memakan daripada daging yang segar (ikan), dan kamu mengeluarkan dari lautan itu perhiasan yang kamu pakai dan kamu melihat bahtera berlayar padanya, dan supaya kamu mencari (keuntungan) dari karunia-Nya, dan supaya kamu bersyukur” (QS. An-Nahl:14). Selain Allah memerintahkan untuk memanfaatkan semua kekayaan alam, allah juga senantiasa merintahkan agar tidak merusak atau membuat kerusakan di permukaan bumi ini agar lingkungan hidup terjaga ekosisitemnya dan senantiasa manusia agar selalu berdampingan dengan alamnya. Sebagimana dijelaskan Allah dalam Firman-Nya: Artinya: “Makan dan minumlah rizki yang duberikan allah, dan janganlah kamu berkeliaran di muka bumi dengan berbuat kerusakan’ (QS. Al-Baqarah:60). Jadi jelaslah dalam agama Islam sangat menjaga sekali hubungan atau komunikasi dengan alam atau lingkungan sekitar.

More Documents from "Adinda Puspawidya M"