Komunikasi Budaya-sumadi

  • Uploaded by: sumadi
  • 0
  • 0
  • December 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Komunikasi Budaya-sumadi as PDF for free.

More details

  • Words: 3,488
  • Pages: 11
Peace Resolution for POSO by Sumadi (Pesantren Darussalam Ciamis) and B. Arnold Simangungson (Universitas Pelita Harapan Jakarta) Latar Belakang Konflik Poso

Konflik di Indonesia sudah seperti dinamika yang tiada henti. Pemicu konflik mungkin persoalan yang sangat kecil tetapi rasa etnosentris, dominasi, dan kekuasaan telah membuat konflik menjadi besar. Kadangkala makin besarnya konflik bukan karena ketiadaan kesadaran masyarakat yang berkonflik untuk hidup harmonis, tetapi ada faktor-faktor kepentingan yang ikut bermain dalam rangka melanggengkan kekuasaan yang sudah dimilikinya. Di Indonesia, misalnya kita ambil contoh adalah konflik di Poso. Poso yang merupakan salah satu kota dari Sulawesi Tengah terdiri dari 8 wilayah yang kebanyakan adalah beragama Islam di Kota dan pesisir pantai dan Protestan di daerah dataran tinggi. Tapi semenjak tahun 1990-an, sektor ekonomi dikuasai oleh orang-orang pendatang, dimana etnis Cina dan pedagang Bugis mendominasi pedagangan kakao, cengkeh dan kopra yang merupakan sumber penghasilan terbesar bagi penduduk Poso. Karena dominasi inilah yang akhirnya menjadi pemicu, ketika seorang Pemuda Protestan membunuh pemua Islam karena persoalan jual beli hingga akhirnya konflik merambat menjadi konflik agama. Konflik Poso merupakan konflik horizontal antar agama, meskipun sebenarnya konflik tersebut tidaklah sesederhana itu, karena melibatkan juga persilangan antar etnik, baik lokal maupun pendatang dan kepentingan politik sipil maupun militer serta masuknya kekuatan luar, baik seperti laskar jihad maupun militer seperti satuan-satuan TNI dan Polri yang di-BKO-kan. Konflik Poso dimulai pada tahun 1998 awalnya dipicu oleh tindakan-tindakan kriminal yang tidak mendapatkan proses yang menindakan perilaku kriminal tersebut secara penuh oleh aparat keamanan. Lalu konflik tersebut menyebar menjadi konflik horizontal antara komunitas Muslim dan Kristen sehingga memicu para elit politik dan agama, dimana agama dibagi lagi menjadi kelompok-kelompok etnis yang dibedakan oleh agama mereka, terjebak dalam memandang konflik sebagai dikotomi konflik agama. Berlanjutnya konflik ini akhirnya menuntut Pemerintah untuk turun tangan menangani masalah ini dengan melakukan rencana rekonsialiasi untuk pihak-pihak yang bermusuhan melalui 10 poin persetujuan yang dikenal sebagai Deklarasi Malino 1, yang ditandatangani pada 20 desember 2001. Tetapi dari persetujuan Deklarasi Malino 1, tidak mengalami penurunan

tingkat konflik, malah terus berlanjut hingga tahun 2004 masih terdapat 129 peristiwa kekerasaan yang terjadi. Kejadian kekerasaan ini pada tingkat akar rumput telah membentuk individu menjadi lebih mudah ’terprovokasi’ oleh pernyataan-pernyataan elit yang memecah belah sehingga membuat kondisi yang sudah aman menjadi bergejolak lagi. Kejadian ini memperlihatkan bagaimana komunikasi tidak berjalan dengan baik sehingga membuat individu masyarakat menjadi rentan terhadap isu-isu yang dapat memperbesar konflik sehingga aturan-aturan sosial tidak mampu dibentuk dengan baik. Kondisi

lain

yang

memperlihatkan

bahwa

kekerasaan

tidak

menurun

adalah

ketidakpercayaan masyarakat, dikedua belah pihak terhadap aparat keamanan. Kaum muslim akhirnya lebih percaya dengan Laskar Jihad yang datang dari Jawa untuk menjaga rasa aman mereka. Kejadian ini akhirnya membuat ’aturan sosial’ bukan dibuat oleh sistem yang ada, tetapi menurut persepsi masing-masing pihak. Penyebab Konflik Poso Konflik poso dimulai bukan hanya dari sudut pandang agama, tetapi hal pertama yang dilihat adalah konflik ini bermula dari kesenjangan sosial ekonomi, terutama mengenai pergeseran pemegang tampuk kekuasaan, dari etnis asli (pamona) ke pendatang baru. Pergeseran kesenjangan ini menyebabkan perubahan pola rekrutmen dan pusat perekonomian yang pindah wilayah. Pola rekrutmen dan pusat perekonomian yang berubah telah menuntut masyarakat asli lokal untuk berbagi peran dengan kaum pendatang. Berbagi peran mungkin tidak akan membuat konflik berkepanjangan, tetapi yang terjadi adalah terbentuknya pola pendominasian oleh kaum pendatang kepada kaum asli lokal, sehingga kaum asli lokal terjepit dan bahkan termarginalisasi. Akibat dari marginalisasi, terutama berkurangnya pemasukan pendapatan untuk kebutuhan sehari-hari mengakibatkan kaum asli lokal berusaha untuk meraihnya kembali posisi sebelumnya. Ketika terjadi perebutan posisi secara sosial ekonomi inilah terjadi perbenturan kepentingan antara kedua kelompok etnis. Kondisi lain yang perlu kita ketahui mengenai konflik Poso yang melibatkan 2 kelompok besar, yaitu asli lokal dengan pendatang dalam hal pembagian peran dan penerimaan sumber daya sosial dan ekonomi, maka dapat terlihat bahwa "konflik" sebenarnya bukan hanya masalah sosial ekonomi, tetapi karena 'keserakahan' manusia yang tidak mau masuk ke area untuk cukup terhadap pendapatan atau pemasukannya. Kondisi konflik ini terjadi karena tidak adanya pembagian yang seimbang, komunikasi untuk berbagi peran yang tidak seimbang, dan power

salah satu pihak yang terlalu besar sehingga keterlibatan masyarakat asli lokal tidak terjangkau dengan baik. Penyebab lain terjadinya konflik adalah adanya dominasi salah satu agama terhadap structural Pemerintahan. Sebelumnya sudah ada konsesus antara tingkatan masyarakat di Poso bahwa jabatan structural dibagi antara 2 kelompok, yaitu Islam dan Protestan. Karena jabatan paling tinggi adalah Bupati dan Sekwilda, maka apabila Bupatinya adalah Muslim, maka Sekwildanya adalah Protestan. Tetapi konsesus ini terputus ketika tahun 1999 kelompok Muslim menguasai kedudukan structural ini. Hipotetikal Konflik adalah sebuah gabungan antara krisis ekonomi dan kesempatan karena melibatkan perubahan-perubahan konfigurasi kekuaran dan alokasi sumber daya sebagai tantangan dari suatu kepentingan, aspirasi, kesempatan dan persepsi yang ada. Jadi konflik bisa dikatakan bukan hanya sebagai krisis tetapi juga sebagai kesempatan untuk perubahan (Barron, 2004) -- working paper social development paper : conflict prevention and reconstruction, paper no.19/dec 2004). Konflik di Poso sebenarnya memperlihatkan tingkat kesadaran masyarakat terhadap orang lain yang hidup berdampingan tidak berjalan baik. Mereka masih menilai diri mereka lebih berharga dibandingkan orang lain dan selalu mengganggap bahwa dominasi mereka lebih kuat dibandingkan orang lain terutama mereka yang pendatang dan minoritas. Peristiwa sebelum dan setelah Perjanjian Malino 1 tidak membuat individu yang ada dalam masyarakat peduli dan perhatian terhadap nilai, norma, dan kebiasaan hidup yang harmonis sebelum terjadi konflik. Dalam mempelajari konflik apalagi konflik di Indonesia, maka kita tidak akan terlepas atau saling kait mengkait dengan indikator budaya. Indikator untuk menganalisis konflik dengan menggunakan pendekatan budaya dapat dilakukan dengan 3 (tiga) pendekatan, seperti yang dikatakan oleh Martin dan Nakayama (2004, 47), yaitu : 1) pendekatan ilmu sosial atau pendekatan fungsionalis; 2) pendekatan interpretif; 3) pendekatan kritis. Ketiga pendekatan ini berbeda dalam cara memandang perilaku manusia, cara melakukan penelitiannya, metodologi, serta pemikiran dalam melakukan konseptualisasi mengenai budaya dan komunikasi. Pendekatan sosial atau fungsionalis Pendekatan fungsionalis mengatakan bahwa perilaku manusia bisa diprediksi dan tujuan dari peneliti adalah untuk menggambarkan dan memprediksi perilaku manusia. Karena itu peneliti

yang melakukan pendekatan ini seringkali menggunakan metode kuantitatif. Pendekatan ini didasarkan pada area psikologi dan sosiologi. Pada pendekatan yang berfokus pada metode kuantitatif, maka cara untuk mengetahui mengenai konflik yang ada di Poso itu sendiri bisa dilakukan dengan menggunakan survai dengan mengukur tingkat perhatian mereka terhadap konflik dan penyelesaiannya. Kemudian melalui pendekatan ini kita juga dapat mengetahui bagaimana pengaruh konflik ini terhadap tingkat ketakutan mereka terhadap individu yang berlainan, baik secara ideologis, posisi geografis, dan gender maupun secara agama. Atau kita bisa melakukannya untuk mengetahui pengaruh ‘opinion leaders’ terhadap sikap dan perilaku masyarakat yang terlibat konflik. Pendekatan Interpretive Pendekatan ini didasarkan pada area sosiolinguistik. Pendekatan ini menjelaskan bahwa realitas bukan berada diluar diri manusia, tetapi realitas adalah sesuatu yang dikonstruksi oleh manusia atau dengan perkataan lain manusia yang memberikan makna terhadap realitas. Pada pendekatan ini metode yang bisa dilakukan untuk mempelajari mengenai konflik itu sendiri bisa dilakukan dengan cara observasi partisipan maupun melakukan studi lapangan secara langsung. Dengan melakukan metode studi lapangan dan observasi partisipan diharapkan kita dapat mengetahui dengan jelas bagaimana individu, baik yang ‘terlibat’ secara langsung ataupun tidak sama sekali dalam konflik mencoba menilai mengenai konflik Poso ini. Apa yang akan mereka maknai dari konflik ini ? apakah konflik ini merupakan konflik agama, ekonomi, politis, atau lainnya ? Cara lainnya adalah dengan menggunakan metode etnografi. Metode ini berusaha untuk menggambarkan pola-pola komunikasi yang terjadi diantara kelompok-kelompok yang bertikai. Dalam kasus ini sebagai seorang peneliti kita bisa menemukan bagaimana cara berpikir, bersikap dan berperilaku anggota dalam suatu kelompok mengenai budaya, mengenai konflik yang terjadi dan mengenai rasa memilikinya. Pendekatan ini biasanya menggunakan metode kualitatif yang diambil dari antropologi maupun sosiologi karena kita tidak hanya melihat budaya saja tetapi juga system kemasyarakatannya. Pendekatan Kritis Pendekatan kritis berfokus pada pentingnya mempelajari konteks atau kondisi dimana komunikasi terjadi – seperti situasi, latar belakang, atau lingkungan. Pendekatan ini juga bersifat subjektif namun juga tertarik pada adanya suatu kekuataan dalam komunikasi. Jadi bisa dikatakan bahwa pendekatan ini melihat manusia atau kelompok manusia mempunyai dominasi

satu terhadap lainnya dan pendekatan ini berusaha untuk mengeliminasi dominasi ini sehingga kondisi masyarakat dapat berubah atau seperti dikatakan oleh Littlejohn (1996,17),” they are especially concerned with inequality and oppression”. Jadi pada pendekatan ini budaya memainkan peran penting untuk penyelesaiannya. Salah satu metode yang bisa digunakan untuk menampilkan pendekatan ini adalah dengan menggunakan analisis tekstual yang tersaji pada media. Sehingga bisa dikatakan bahwa pada konflik Poso ini secara kasat mata tidak terlihat ada kondisi yang mendominasi, tetapi konflik dipicu karena rasa aman dari aparatur pemerintahan tidak berjalan dengan baik sehingga akhirnya aturan dibuat dengan persepsi masing-masing kelompok. Pada kondisi ini, pendekatan kritis digunakan untuk mencoba menggali akar konflik serta mengkritisinya. Dari ketiga pendekatan diatas, Sosial, interpretif dan kritis, maka Nakayama (2004, 62) menawarkan pendekatan yang mengaitkannya dengan bidang budaya yaitu pendekatan dialektikal. Nakayama mengatakan bahwa pendekatan dialektikal menekankan pada suatu proses (dimana fenomena dianggap sebagai suatu yang terus berubah), hubungan (bahwa diantara elemen-elemen budaya saling terkait satu dengan lainnya), dan kontradiksi yang biasa terjadi pada komunikasi antar budaya, dimana mencakup segala jenis pengetahuan antar budaya. Inilah yang coba kita bahas dalam menawarkan solusi penyelesaian konflik. Konseptualisasi Konflik Masalah konflik, terutama konflik di suatu daerah, selalu dimulai dengan adanya perbedaan budaya diantara anggota kelompok maupun kelompok dalam masyarakat. Secara terminologi konsep konflik dapat digabungkan dari 2 hal penting terutama dalam masyarakat, yakni krisis ekonomi dan kesempatan. Kedua hal ini erat kaitannya dengan perubahan konfigurasi kekuatan dan alokasi sumber daya sebagai tantangan dari suatu kepentingan, aspirasi, kesempatan dan persepsi yang ada. Sehingga konflik itu sendiri menurut Barron (2004), ” bahwa konflik bisa dikatakan bukan hanya sebagai suatu krisis tetapi juga kesempatan untuk perubahan”. working paper social development paper : conflict prevention and reconstruction, paper no.19/dec 2004). Sebagai suatu krisis, berarti konflik bisa dilihat sebagai suatu kondisi dimana terjadinya disintegrasi dari kelompok masyarakat yang terlibat konflik, tetapi sebagai suatu kesempatan berarti konflik bisa digunakan sebagai medium untuk membuat harmonisasi dalam masyarakat menjadi semakin baik dan terikat. Apalagi konflik seringkali ”diekspose” oleh media untuk kepentingan kelompok tertentu sehingga konflik yang seharusnya menjadi suatu medium kesempatan menjadi lebih menjadi krisis yang lebih besar. Untuk awal ini kita akan memberikan

gambaran mengenai definisi konflik sehingga kita bisa mencapai pengertian, mengenai apa itu konflik. Konflik dapat diketahui dengan beberapa karakteristik yang mempengaruhinya. Menurut Horowitz (2000), konflik dapat dibagi menjadi 4 (empat) perspektif besar, yaitu secara sosiologi budaya, ekonomi politik, sosiologi politik, dan antropologi. Perspektif sosiologi budaya, atau biasa disebut sebagai primodialisme, konflik terjadi akibat adanya perbedaan antara satu kelompok etnis dengan kelompok etnis yang lain dengan memiliki ’akar’ budaya yang sudah kuat. Sehingga perbedaan bukan menjadi harmonisasi, tetapi sebagai ’medium’ untuk saling mendominasi. Perspektif ekonomi politik, menurut Galtung (1969),sebagai penyebab terjadinya konflik adalah suatu kondisi dimana terdapat adanya dominasi dan ekploitasi dalam masyarakat, dan Galtung juga menekankan bahwa suatu ’perdamaian yang abadi’ tidak akan pernah ada. Pemikiran Galtung ini mengindikasikan bahwa konflik ada sejauh manusia dan kelompoknya melakukan dominasi dan eksploitasi yang akhirnya merugikan pihak lain. Sedangkan perspektif sosiologi politik konflik lebih ditekankan pada peran yang dimainkan oleh kaum intelektual dan elit politik dalam menciptakan (dan mempertahankan) konsepsi mengenai individu dan kelompok dengan menekankan pada pentingnya pemahaman karakteristik dari lembaga masyarakat dimana konflik terjadi. Pada perspektif antropologi memberikan suatu pengertian mengenai konflik yang terfokus pada pemahaman tentang bagaimana suatu komunitas mencoba mempertahankan tatanan dalam konteks dimana konflik antar manusia terus berlanjut. Konflik antar manusia itu meliputi konflik mengenai status kepemilikan, batasan, sumber daya utama (air), kepemimpinan, dan dinamika keluarga (hubungan kekerabatan, hubungan seksual), Sedangkan satu lagi definisi mengenai konflik dari sisi persepsi manusia dikatakan oleh Neuliep (2006, 5),”conflict stems from our inability to see another person’s point of view, especially if that person is from different culture”. Ini berarti bahwa konflik bukan hanya karena adanya pandangan secara ekonomi politik, sosiologi politik, antropologi dan sosiologi budaya, tetapi juga dari faktor stereotype yang dipersepsi individu terhadap individu lainnya, karena perbedaan ’frame of reference’ dan ’field of experience-nya’. Menurut Stella Ting Toomey seperti dikutip oleh Gudykunst (2005, 72),” conflict of any kind is an emotionally laden, face-threatening phenomenon”. Kemudian konflik itu sendiri dibagi menurut 3 macam tujuan konflik, yaitu 1) content conflict. Suatu konflik yang terjadi mengenai isu-isu eksternal diluar individu-individu yang terlibat; 2) Relational conflict. Bertujuan untuk mengetahui bagaimana individu-individu mencoba untuk mendefinisikan mengenai suatu

hubungan dalam suatu tahapan-tahapan konflik; 3) identity-based goals. Berkaitan dengan isuisu yang berkaitan dengan sebuah identitas, konfirmasi-penolakan, hormat-tidak hormat, persetujuan-ketidaksetujuan. Pada penulisan ini tujuan konflik terfokus pada identity based goals, dimana konflik itu bukan hanya diselesaikan dengan negosiasi, tetapi juga merupakan suatu dialektika. Penekanan pada tulisan ini adalah bukan pada konflik itu sendiri tapi bagaimana konflik yang bernuansa budaya coba diresolusi dengan baik. Kita coba mulai dengan fokus kepada budaya sebagai medium resolusi konflik. Budaya secara gamblang dapat dikatakan sebagai hasil karya manusia – manusia membentuk budaya berdasarkan interaksi dalam kehidupan bermasyarakatnya. Oleh karena interaksi tersebutlah budaya tidak bisa terlepas dari komunikasi dengan manusia lain. Memahami antara budaya dan komunikasi seringkali mengalami suatu kesulitan tersendiri. Karena komunikasi selalu fokus pada aktivitas yang prosesual, maka dari itu budaya sebagai hasil interaksi manusia juga harusnya bersifat prosesual. Maksud dari prosesual disini, seperti dikutip dari Martin dan Nakayama (2004, 62), adalah perubahan budaya yang terus menerus atau bisa dikatakan sebagai dinamis. Perubahan budaya akhirnya terkait dengan manusia yang membentuk budaya juga terus berubah. Sedangkan Menurut Stella Ting Toomey dalam Gudykunst (2005, 71),” culture is learned system of meanings that fosters a particular sense of shared identity and community among its group member”. Bisa dikatakan bahwa suatu budaya bisa digambarkan sebagai sebuah sistem yang memperlihatkan identitas yang sama, artinya bahwa identitas tersebut sudah diinteraksikan dalam waktu yang cukup signifikan didalam sistem komunitasnya. Seperti dikatakan oleh Stuart Hall bahwa ”culture affect communication, and communication affect culture”. Ini berarti budaya tidak akan muncul dan terus diketahui tanpa adanya saluran komunikasi yang mewadahinya. Kalau dikaitkan dengan konflik Poso, konflik ini menjadi tereskalasi salah satunya karena budaya bukan digunakan sebagai alat harmoniasasi, tetapi sebagai alat penguat etnosentris. Disini etnosentris dikatakan sebagai tendensi untuk menempatkan kelompoknya sendiri (budaya, etnis atau keagamaan) dalam posisi yang lebih penting dan lebih tinggi yang kemudian akan menciptakan sikap negatif dan perilaku terhadap kelompok lainnya. Budaya sebagai suatu saluran etnosentris telah membawa konflik sebagai bagian dari suatu budaya. Kondisi seperti ini telah membuat konflik sebagai bagian dari aktivitas budaya seperti dikatakan oleh John Paul Lederach, seperti dikutip oleh Avruch, Black, & Scimecca (1998,

11), ” conflict are in every sense of the word, ”cultural events” – such common sense includes knowledge about what is right and wrong, how to proceed, whom to turn to, when, where, and with what expectations”. Jadi bisa dikatakan bahwa konflik dasarnya bisa disamakan dengan kegiatan kultural karena tiap individu mempersepsikan apa yang didapatnya dengan dikotomi yang jelas yaitu siapa yang salah dan siapa yang benar. Dikotomi yang salah dan benar merupakan suatu bentuk persepsi yang terbentuk karena faktor identitas sosial mereka. Seperti dikatakan oleh Hect et.al dalam Gudykunst (2005, 259),” identity formation as a product of social categorization – are parts of a structured society. Individuals belong to various social categories and form identities based on membership social categories”. Jadi bisa dikatakan bahwa sebenarnya anggota dalam kelompok masyarakat, baik itu Muslim ataupun Protestan, sudah dibentuk oleh identitas sosial yang melekat sebelumnya sejak mereka lahir. Identitas sosial yang melekat inilah yang membuat persepsi mereka mengenai kehidupan selalu terfokus pada etnosentris diri dan kelompok mereka. Sehingga tidak dapat dipungkiri bahwa ketika ada satu individu atau kelompok ’merasa’ diri mereka atau harga diri mereka ataupun kelompok didominasi akan keluar untuk mempertahankannya. Kondisi inilah yang dikatakan oleh Lederach bahwa konflik adalah sebuah aktivitas budaya. Sebagai aktivitas budaya konflik seperti dinyatakan oleh Lederach, membawa konsekuensi bahwa konflik tidak akan pernah lepas dari dinamika yang melingkupinya. Karena itu kalau Lederach, mengajukan suatu pemikiran bahwa konflik bisa disamakan dengan kegiatan kultural, maka konflik itu terus mengalami dinamika atau perubahan-perubahan tingkatan konflik. Resolusi Konflik Perubahan-perubahan inilah yang telah membawa budaya dan manusia mencoba untuk menyesuaikan pemikiran, kebiasaan, dan perilaku budayanya dengan budaya lain. Penyesuaian inilah yang dalam komunikasi dikenal sebagai pendekatan dialektikal. Pendekatan ini tidak sama dengan dialektikal pada pemikiran Marxis, tetapi pendekatan ini fokus kepada dialektikal yang diajukan oleh Mikhael Bakhtin. Kalau pendekatannya adalah dialektikal Marxis maka akan ada solusi dalam masalah, namun kalau pendekatannya dari pemikiran Bakhtin maka yang disebut dengan penyelesaian tidak ada sama sekali. Seperti dikatakan oleh Griffin (1994, 207), ”unlike the thesis-antithesis-synthesis stages of Marxis dialectical theory, Bakhtin Fusion-fission opposites have no ultimate resolution -- Relationship is always in Flux”. Jadi ketika Baxter menyatakan pemikiran mengenai dialektik, terutama relational dialektik, seperti dikutip oleh Griffin (2006, 162), ” the term relational dialectics, not referring to

being of two minds – the cognitive dillemma within the head of an individual who is grappling with conflicting desires – the contradictions that are ”located in the relationship between parties, produced and reproduced through the parties’ joint communicative activity”. Pernyataan ini sesuai dengan bagaimana resolusi konflik harus diselesaikan, bukan dengan cara menempatkan satu pihak salah dan pihak lain benar; tetapi lebih memposisikan bagaimana kedua belah pihak berusaha untuk menghasilkan secara terus-menerus suatu solusi melalui aktivitas komunikasi bersama – atau intinya Kenapa kelompok kami mengajukan penyelesaian konflik bukan dengan dialog untuk mencari solusi, tetapi lebih fokus pada bagaimana konflik dinegosiasikan. Karena sifatnya dinamis, pastilah konflik tidak mengalami stagnasi, dan dinamika tersebut bukan hanya dipengaruhi oleh lingkungan tetapi juga individu dan kelompok bahkan kepentingan sesaat. Karena dengan menggunakan dialektikal, maka kemungkinan menjadikannya medium untuk dialog akan sangat besar. Karena pada diri tiap manusia selalu ada perbedaan yang melingkupi dirinya, ada yang ingin bersatu, ada yang tidak. Perbedaan inilah yang dijadikan ’titik’ awal untuk membentuk kondisi dialogis. Perbedaan untuk mencapai pemahaman dalam membentuk kondisi dialogis seringkali dipengaruhi oleh budaya. Oleh karena itu akan lebih baik lagi kalau kita mengetahui mengenai sifat dasar dari budaya itu sendiri, dimana menurut Neuliep (2006, 21), ”culture is defined as an accumulated pattern of values, beliefs, and behaviors, shared by an identifiable group of people with a common history and verbal and non-verbal symbol systems”. Jadi budaya selain sebagai hasil karya manusia, budaya juga sudah mengakar dalam suatu kelompok yang bisa teridentifikasi sejak dahulu. Budaya dan proses dialektikal menjadi 2 (dua) faktor penting keberhasilan suatu penyelesaian konflik. Kegagalan penyelesaian masalah yang ada pada Malino 1 karena tidak memperhatikan keberagaman dari budaya masyarakat. Keberagaman tersebut karena hasil karya manusia atau ciptaan manusia, sangat mungkin akan terus berubah, karena perkembangan teknologi dan informasi. Jadi harusnya pendekatan yang bisa dilakukan untuk resolusi bukan mencari solusinya, tetapi membuat keberagaman menjadi suatu kondisi dialektis dimana masing-masing pihak menghargai, menghormati, dan memahami keberagaman mereka. Pendekatan dialektik adalah sebuah pendekatan yang fokus pada implikasi dalam suatu hubungan. Hubungan disini bukan hanya secara antarpribadi, tapi bagaimana suatu kondisi konflik. Kemudian Baxter mengatakan bahwa tanpa dialog tidak akan ada hubungan, walaupun dialog itu bukan untuk mencari penyelesaian masalah, tetapi dialog dilakukan untuk membuat konflik sebagai ’game’ yang bersifat dinamis.

Baxter seperti dikutip oleh Griffin (2006, 167-171) bahwa terdapat 5 pengertian dialog dalam dialektika :1) dialog adalah proses membentuk sesuatu yang berfokus pada bagaimana cara kita berkomunikasi atau membentuk dunia sosial kita, dalam hal ini adalah bagaimana konflik itu dimaknai sebagai sesuatu berarti akibat pemaknaan yang kita lakukan. 2) dialog adalah suatu dialektika yang terus berubah dan percaya bahwa dunia sosial adalah produk dari kesatuan yang berisi kontradiksi; 3) dialog adalah suatu peristiwa seni, ini artinya bahwa dialog adalah perasaan sesaat mengenai persatuan melalui penghargaan mengenai pendapat berbeda dalam sebuah dialog; 4) dialog sebagai sebuah pernyataan ; 5) dialog adalah suatu kepekaan yang kritis, artinya adalah kita harus melakukan kritik pada dominasi terhadap pernyataan yang mendominasi suatu keadaan. Sedangkan menurut Nakayama (2004, 64-67), untuk membahas dialektik terdapat 6 (enam) karakteristik untuk menganalisisnya : 1) dialektik antara budaya –individu, jadi analisis ini fokus pada bagaimana melihat budaya sebagai satu kesatuan dengan individunya; 2) dialektik antara individu dengan konteksnya, bagaimana melibatkan peranan konteks dalam hubungan antar budaya dan fokus pada individu dengan konteksnya; 3) dialektik antara perbedaan dan persamaan, yang melihat bahwa dalam diri individu ada persamaan dan perbdaan; 4) dialektik antara dinamis-statis; 5) dialektik mengenai waktu; 6) dialektik mengenai privasi dan ketidakuntungan. Pernyataan diatas memperlihatkan bagaimana sebenarnya resolusi konflik harus diselesaikan. Karena proses dialektikal seharusnya tiap kelompok menyakini bahwa dalam suatu hubungan atau resolusi pastilah terdapat perbedaan cara pandang antara kelompok yang bertikai. Jadi resolusi itu adalah suatu kondisi yang harus dibentuk melalui pertukaran pikiran dan pendapat dari masing-masing pihak berkonflik tanpa adanya tendensi untuk mendominasi. Pada peristiwa Malino 1, yang terjadi adalah antar kelompok saling terlibat pemikiran dan perasaan dominasi budaya (etnosentris) sehingga persetujuan itu akan semu sifatnya. Daftar Pustaka Avruch, Kevin, Peter W Black & Joseph A. Scimecca. 1998. Conflict Resolution : Cross-Cultural Perspectives, Praeger, London Griffin, EM. 1994. A First Look of Communication Theory, 2nd edition, McGraw Hill, USA. ----------------.2006. A First Look of Communication Theory, 6th edition, McGraw Hill, USA. Gudykunst, William B. Theorizing about Intercultural Communication. 2005. Sage Publication, California.

LittleJohn, Stephen W. 1996. Theories of Human Communication 5th edition. Wadsworth Publishing Company, USA. Martin, Judith N & Thomas K. Nakayama. 2004. Intercultural Communication in Contexts 3rd edition, McGraw Hill, New York, USA. Neuliep, James W. Intercultural Communication : A Contextual Approach 3rd edition. 2006. Sage Publications, California.

Related Documents

Komunikasi
May 2020 43
Komunikasi
June 2020 38
Komunikasi
May 2020 39
Komunikasi
August 2019 54
Komunikasi
July 2020 30
Komunikasi
June 2020 27

More Documents from ""