KOEFISIEN PARTISI
A. TUJUAN Mengetahui pengaruh pH terhadap koefisien partisi obat yang besifat asam lemah dalam campuran pelarut klorofom-air. B. LANDASAN TEORI Jika kelebihan cairan atau zat padat ditambahkan ke dalam campuran dari dua cairan tidak bercampur, zat itu akan mendistribusi diri di antara kedua fase sehingga masing-masing menjadi jenuh. Jika zat itu ditambahkan ke dalam pelarut tidak tercampur dalam jumlah yang tidak cukup untuk menjenuhkan larutan, maka zat tersebut tetap berdistribusi di antara kedua lapisan dengan perbandingan konsentrasi tertentu (Martin, dkk, 1990). Jika C1 dan C2 adalah konsenntrasi kesetimbangan zat dalam pelarut1 dan pelarut2, persamaan kesetimbangan menjadi :
=
. Tetapan kesetimbangan K dikenal sebagai
perbandingan distribusi atau koefisien partisi. Persamaan tersebut dikenal dengan hukum distribusi, jelas hanya dapat dipakai dalam larutan encer di mana koefisien keaktifan dapat diabaikan (Martin, dkk, 1990). Pengetahuan tentang partisi sangat penting untuk ahli farmasi, karena prinsip ini melibatkan beberapa bidang ilmu farmasetik. Termasuk di sini pengawetan minyak-air, kerja obat pada tempat yang tidak spesifik, absorpsi dan distribusi obat ke seluruh tubuh (Martin, dkk, 1990). Kecepatan absorbs obat sangat dipengaruhi oleh keofisien partisi. Hal ini disebabkan oleh komponen dinding usus yang sebagian besar terdiri dari lipida. Dengan
demikian obat-obat yang mudah larut dalam lipida akan dengan mudah melaluinya. Sebaliknya obat-obat yang sukar larut dalam lipida akan sukar diabsorpsi. Obat-obat yang larut dalam lipida tersebut dengan sendirinya memiliki koefisien partisi lipida-air yang besar, sebaliknya obat-obat yang sukar larut dalam lipid akan memiliki koefisien partisi yang sangat kecil (Anonim, 2012). Pada umumnya obat-obat bersifat asam lemah atau basah lemah. Jika obat tersebut dilarutkan dalam air, sebagian akan terionisasi. Besarnya fraksi obat yang terionkan tergantung pH larutannya. Obat-obat yang tidak terionkan (unionized) lebih mudah larut dalam lipida, sebaliknya yang dalam bentuk ion kelarutannya kecil atau bahkan praktis tidak larut, dengan demikian pengaruh pH terhadap kecepatan absorpsi obat yang bersifat asam lemah atau basa lemah sangat besar (Anonim, 2012). Adsorpsi merupakan suatu fenomena yang terjadi pada permukaan batas antar dua fasa sebagaimana akibat dan akumulasi atau permukaan substansi adsorbad (ion atau atom) pada permukaan adsorben. Fenomena perpindahan ini dapat terjadi pada antar muka antara dua fasa, misalnya fasa cair dengan fasa cair, fasa gas dengan fasa cair, fasa gas dengan fasa padat, dan fasa cair dengan fasa padat (Suseno, 2011). Secara umum mengklasifikasikan adsorpsi ke dalam dua kategori, yaitu adsorpsi fisika dan adsorpsi kimia. Adsorpsi fisika terjadi jika reaksi antara adsorben dan adsorbad melibatkan gaya-gaya antar molekul seperti ikatan hidrogen atau van der Waals. Pada proses ini molekul yang teradsorpsi mudah dilepas kembali dengan menurunkan tekanan gas atau konsentrasi zat terlarut. Zat yang teradsorpsi dapat membentuk beberapa lapisan tunggal dan kondisi kesetimbangan akan tercapai segera setelah adsorben bersentuhan dengan adsorbad (Suseno, 2011).
Adanya pemahaman tentang koefisien partisi dan pengaruh pH pada koefisien partisis akan bermanfaat dalam hubungannya dengan ekstraksi dan kromatografi obat. Secara sederhana, koefisien partisi suatu senyawa (P) dapat ditentukan dengan : =
, di mana
merupakan konsentrasi senyawa padat pada fase organik dan
merupakan senyawa dalam air (Gandjar, dkk, 2007). Semakin besar nilai P maka semakin banyak senyawa dalam pelarut organik. Nilai P suatu senyawa tergantung pada pelarut organik tertentu yang digunakan untuk melakukan pengukuran. Beberapa pengukuran koefisien partisi dilakukan dengan menggunakan partisi air dan n-oktanol, karena n-oktanol dalam banyak hal menyerupai membran biologis, dan juga merupakan model yang baik pada kromatografi fase terbalik (Gandjar, dkk, 2007). Nilai P seringkali dinyataka dengan nilai log P. Sebagai contoh nilai log P1 setara dengan nilai P10. Nilai P = 10 merupakan nilai P untuk senyawa tertentu yang mengalami partisi ke dalam pelarut organik tertentu. Partisi dilakukan dengan air dan pelarut organik dalam jumlah yang sama. P = 10 berarti bahwa 10 bagian senyawa berada dalam lapisan organik dan 1 bagian berada dalam lapisan air (Gandjar, dkk, 2007). Pada abad peralihan, Meyer dan Overton mengajukan hipotesis bahwa kerja narkotik dari obat nonspesifik adalah fungsi koefisien distribusi suatu senyawa antara medium lipoid dan air. Belakangan disimpulkan bahwa norkosis hanya merupakan fungsi dari konsentrasi obat dalam lemak dari sel. Jadi, berbagai variasi obat dengan tipe kimia yang berbeda akan menghasilkan kerja narkotik yang sama pada konsentrasi sama dalam sel lemak dari suatu bahan (Martin, dkk, 1990).
Namun kemudian, terdapat suatu konfirmasi aturan yang masih dipegang teguh bahwa tingkat narcosis yang sama terjadi pada keaktifan termodinamik yang sama (dan bukan pada koefisien partisi yang sama seperti diusulkan semula oleh Meyer dan Overton), sehingga dapat dilihat bahwa walaupun koefisien distribusi berbeda, keaktifan termodinamik senyawa semuanya kira-kira sama (Martin, dkk, 1990). Koefisien partisi minyak – air adalah suatu petunjuk sifat lipofilik atau hidrofobik dari molekul obat. Lewatnya obat melalui membran lemak dan interaksi dengan makromolekul pada reseptor kadang-kadang berhubungan baik dengan koefisien partisi oktanol / air dari obat (Martin, dkk, 1990). Lipofilitas molekul diukur dari nolai log P dengan P dinyatakan sebagai koefisien partisi kelarutan dalam lemak/ air yang mempunyai rentang nilai -0,4 sampai 5 dan optimal pada nilai log P – 3 (Husniati, dkk, 2008). Beberapa obat mengandung gugus – gugus yang mudah mengalami ionisasi. Oleh karena itu, koefisien partisi obat-obat ini pada pH tertentu sulit diprediksi terlebih jika melibatkan lebih dari satu gugus yang mengalami ionisasi daripada gugus yang lain pada pH tertentu. Persamaan Henderson – Hasselbach dapat dturunkan untuk menghitung variasi koefisien partisi asam-asam atau basa-basa asam/ basa-basa dilarutkan ke dalamnya : Untuk asam :
=
Untuk basa :
=
Papp (app = apparent) merupakan koefisien partisi nyata yang nilainya bervariasi terhadap pH. Jika suatu senyawa, asam atau basa mengalami ionisasi sebesar 50%
(pH=pKa) maka koefisisen partisinya setengah dari koefisien partisi obat yang tidak mengalami ionisasi (Gandjar, dkk, 2007). Koefisien partisi terbagi menjadi dua macam, yaitu koefisien partisi atau TPC (True Partition Coefficient) dan koefisien partisi semu atau APC (Apparent Partition Coefficient). Untuk koefisien partisi atau TPC, pada percobaannya harus memenuhi persyaratan kondisi yaitu antara kedua pelarut benar-benar tidak bercampur satu sama lain, bahan obat (solut) tidak mengalami asosiasi atau disosiasi. Jika semua persyaratan tersebut dipenuhi, maka berlaku persamaan :
=
, di mana C1 merupakan kadar
obat dalam fase lipoid, dan C2 merupakan kadar obat dalam fase air (Anonim, 2012). Apabila persyaratan TPC tidak terpenuhi, maka hasilnya adalah koefisien partisi semu. Dalam biofarmasetika dan pada berbagai tujuan yang lain umumnya memiliki kondisi nonideal dan tidak disertai koreksinya, sehingga hasilnya adalah koefisien partisi semu. Biasanya sebagai fase lipoid adalah oktanol, kloform, sikloheksan, isopropyl, miristat, dan lain-lain. Fase air yang biasa digunakan adalah larutan dapar. pada keadaan ini berlaku persamaan : = ′
′ ′
×
×
, di mana
merupakan kadar obat dalam fase air mula-mula;
merupakan kadar obat dalam fase air setelah mencapai kesetimbangan; a
merupakan volume fase air; dan b merupakan volume fase lipoid (Anonim, 2012). Pada bagian ini, contoh obat yang bersifat asam lemah yang digunakan adalah asam salisilat. Acidum salicylicum atau asam salisilat mengandung tidak kurang dari 99,5% dan tidak lebih dari 101,0% C7H6O3, dihitung terhadap zat yang telah dikeringkan. Pemeriannya ialah hablur putih; biasanya berbentuk jarum halus atau serbuk hablur putih halus; rasa agak manis tajam, dan stabil di udara. Jika dibuat dari
metil salisilat alami, dapat berwarna kekuningan atau merah jambu dan berbau lemah mirip metanol (Anonim, 1995). Asam salisiat bersifat sukar larut dalam air dan dalam benzene, mudah larut dalam etanol dan dalam eter, larut dalam air mendidih, dan agak sukar larut dalam klorofom. Identifikasinya menunjukkan reaksi salisilat seperti yang tertera pada uji identifikasi umum, memiliki jarak lebur antara 1580 dan 1610 (Anonim, 1995).
C. ALAT DAN BAHAN 1. Alat Adapun alat-alat yang digunakan dalam percobaan ini adalah : • Gelas kimia 4 buah • Erlenmeyer 3 buah • Pipet volume • Filler • Pipet tetes • Tabung percobaan • Botol semprot • Waterbath • Spektrofotometer • Kuvet 2 buah • Corong pisah 2. Bahan Adapun bahan-bahan yang digunakan dalam percobaan ini adalah : • Larutan dapar salisilat dengan pH 3, pH 4, dan pH 5 • Koroform (CHCl3) • FeCl3 • Akuades
D. PROSEDUR KERJA Dapar salisilat dengan pH 3, pH 4, dan − Diambil 25ml & dimasukkan dalam erlenmeyer erlenmeyer − Ditambahkan kloroform p.a masing-masing 10ml − Diinkubasi selama ±20 menit − Dimasukkan dalam corong pisah − Didiamkan − Dimasukkan dalam tabung percobaan − Diukur volume fase air (asam salisilat) − Diukur volume fase lipoid (kloroform)
Dapar salisilat (fase air)
Kloroform (fase lipoid)
− Ditambahkan FeCl3 − Dimasukkan dalam kuvet & spektrofotometer dan diukur absorbansinya. − Dihitung APC (koefisien partisi semu)-nya
Hasil Pengamatan ……..?
E. HASIL PENGAMATAN a) Tabel Hasil Pengamatan Nilai Absorbansi Asam Salisilat : Ph Dapar Salisilat
Absorbansi Asam Salisilat
3
0,571
4
0,620
5
0,555
b) Analisis Data § Volume fase air (asam salisilat) = 25 ml § Volume fase lipoid (kloroform) = 9 ml § Absorbansi awal asam salisilat = 0,155
Ø Absorsivitas molar (Asam Salisilat) A=ε.b.c Keterangan : A
=
Absorbansi
ε
=
Absorsivitas Molar
b
=
Tebal Kuvet (diketahui = 0,1 cm)
c
=
Konsentrasi
A = ε×b×c 0,155 = ε × 0,1
ε =
155 × 10 10
ε = 155
× 0,01
Ø Konsentrasi Asam Salisilat pada pH = 3 pH = 3 [H]+ = 10-3 [ [
] ]
[ ]
=
10
= 1,06 × 10
10
− 10 [ ] = 1,06 × 10
[ ]
10
= 1,06 × 10 [ ] + 10
[ ]
10
= 2,06 × 10
[ ]=
0,01 10 = = 0,00485 = 4,85 × 10 2,06 2,06
= 4,85 × 10
= ε ×
[ ] ( 0,01 − [ ])
[ ]
M
×
0,571 = 155 =
× 0,1
0,571 155
= 0,0368
×
= 3,68 × 10
= 3,68 × 10
Ø Koefisien Partisi Semu (APC) Asam Salisilat pada pH = 3 =
=
−
′
′
×
×
(4,85 × 10 − 3,68 × 10 3,68 × 10 ×9
) × 25
=
(0,485 × 10 – 3,68 × 10 ×9 3,65 × 10
) × 25
= −2,411 c) Tabel Hasil Pengamatan Absorbansi dan Koefisien Partisi Semu Asam salisilat Sebagaimana pada perhitungan di atas, nilai-nilai absorbansi dan koefisien partisi semu pada larutan dengan pH4 dan pH5 disajikan pada tabel berikut: No pH Absorbansi APC (Koefisisen Partisi Semu) 1
3
0,571
-2,411
2
4
0,620
-2,717
3
5
0,555
-2,770
d) Grafik Hubungan Absorbansi – pH Asam Salisilat Kurva Hubungan Absorbansi dan pH Asam Salisilat 0.7 0.6
0.62
0.571
0.555
Absorbansi
0.5 0.4 0.3 0.2 0.1 0 -0.1 0
0 1
2
3
pH
4
5
6
e) Grafik Hubungan APC – pH Asam Salisilat Kurva Hubungan APC dan pH Asam Salisilat APC ( Koefisien Partisi Semu)
0.5 0 -0.5
0 0
1
2
3
4
5
6
-1 -1.5 -2 -2.411
-2.5 -3
-2.717
pH
-2.770
F. PEMBAHASAN Percobaan dalam praktikum ialah mengenai pengaruh koefisien partisi terhadap pH suatu bahan obat yang bersifat asam lemah. Seperti yang diketahui bahwa pada umumnya bahan-bahan obat sebagian besarnya bersifat asam lemah atau basah lemah. Jika dilarutkan dalam air akan membentuk ion-ion dan ada juga yang tidak terbentuk dalam ion, karena tidak mudah atau bahkan tidak larut dalam air. Tetapi, beberapa obat yang tidak larut dalam air tersebut dapat larut dalam lipid. Kelarutan obat tersebut terutama dipengaruhi oleh pH-nya. Semakin cepat obat tersebut larut dalam tubuh, maka semakin cepat pula proses absorbsi atau penyerapannya oleh tubuh. Absorbsi obat juga dipengaruhi oleh koefisien partisi bahan obat tersebut. Koefisien partisi suatu obat merupakan perbandingan nilai kadar obat dalam fase lipoid terhadap kadar obat dalam fase air setelah mencapai keseimbangan. Dalam percobaan ini, bahan yang digunakan adalah dapar salisilat, dengan pH tertentu, yaitu pH3, pH4, dan pH5 yang hendak diketahui koefisien partisinya. Digunakan larutan dapar salisilat ini karena larutan dapar merupakan larutan yang dapat mempertahankan pH-nya walaupun ditambahkan sedikit asam, maupun ditambahkan sedikit basa. Larutan dapar salisilat yang digunakan tersebut dijadikan sebagai obat dalam fase cair. Penggunaan pH larutan dapar salisilat dibuat beragam dari pH3 hingga pH5 bertujuan untuk mengetahui pengaruh perubahan pH terhadap koefisien partisi asam salisilat, sehingga dalam hal ini larutan dapar salislat yang harus dibuat beragam. Karena koefisien partisi merupakan perbandingan kadar obat fase lipoid tehadap fase airnya, maka perlu dibuat fase lipoid. Dalam percobaan ini, untuk membuat fase lipoid digunakan kloroform p.a..
Larutan dapar salisilat lalu dimasukkan dalam erlenmeyer dan ditambahkan kloroform serta diinkubasi selama ±20 menit. Perlu dilakukan inkubasi untuk mempercepat pemisahan antara kedua fase. Di samping itu, tidak menutup kemungkinan bahwa ada sedikit bagian dari salah satu fase yang bereaksi terhadap fase lainnya (larutan salisilat dan kloroform). Setelah diinkubasi, larutan tersebut dimasukkan dalam corong pisah, selanjutnya didiamkan beberapa saat, akan tampak dua lapisan atau dua fase cair yang berpisah dan tidak saling bercampur. Kedua fase itu disebut sebagai fase air, yaitu larutan dapar salisilat yang berada pada lapisan atas dan fase lipoid, yaitu klorofom yang berada pada lapisan bawah. Pemisahan dua fase tersebut dipengaruhi oleh perbedaan kepolaran dari masingmasing fase tersebut, di mana larutan dapar salisilat tersebut bersifat polar, karena sebagian juga mengandung air yang bersifat polar, sedangkan kloroform bersifat semi polar, di mana tingkat kepolarannya sangat rendah. Dua cairan atau lebih dapat bercampur jika memiliki kepolaran yang sama. Disamping itu, kloroform berada pada lapisan bawah karena memiliki berat molekul yang lebih besar yaitu 119 gram/mol jika dibandingkan dengan berat molekul asam salisilat, yaitu 138,12 gram/mol. Setelah dikeluarkan dari corong pisah dan diukur volume fase air dan volume fase lipoid sebagaimana yang telah diperoleh pada hasil pengamatan, larutan salisilat (fase air) dan kloroform (fase lipoid) masing-masing diukur absorbansinya. Absorbansi merupakan sinar yang diserap oleh senyawa dalam larutan. Pengukuran absorbansi dengan menggunakan spektrofotometer. Dalam spektrofotometer akan memancarkan sinar tampak yang kemudian melewati suatu larutan dan diserap oleh larutan yang dilewati
sehingga serapannya tersebut yang dikatakan sebagai absorbansi. Namun, sinar tampak tersebut hanya dapat melewati larutan berwarna, sehingga untuk larutan yang tidak berwarna perlu diwarnakan terlebih dahulu. Pewarnaan larutan tersebut dilakukan dengan penambahan beberapa tetes larutan FeCl3 yang dapat memberi warna ungu pada larutan. Dengan mengetahui besarnya absorbansi pada setiap larutan, dapat diketahui koefisien partisi dengan menggunakan beberapa persamaan yang telah diuraikan pada hasil pengamatan di atas, sehingga dapat diketahui hubungan
absorbansi terhadap
perubahan pH dan hubungan koefisien partisi terhadap perubahan pH. Berdasarkan percobaan yang telah dilakukan dan grafik hubungan perubahan absorbansi terhadap pH larutan sebagaimana pada hasil pengamatan di atas, bahwa secara umum, semakin meningkat pH larutan suatu asam lemah, dalam hal ini adalah asam salisilat, maka semakin meningkat juga nilai absorbansinya. Hal ini menunjukka bahwa perubahan pH mempengaruhi nilai absorbansi suatu larutan, di mana nilai pH suatu larutan berbading lurus dengan absorbansi. Namun, jika diperhatikan lebih seksama, nilai absorbansi paling tinggi pada titik di saat pH larutan sama dengan 4 dengan nilai absorbansi 0,620. Pada saat pH larutan sama dengan 5, nilai absorbansinya sedikit menurun bahkan lebih rendah dibanding saat pH larutan sama dengan 3, yaitu 0,555. Hal tersebut kemungkinan dipengaruhi oleh tidak meratanya konsentrasi larutan FeCl3 saat ditambahkan pada masing-masing larutan tersebut. Selanjutnya ialah nilai koefisien partisi dari larutan asam salisilat. sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, bahwa untuk memperoleh koefisien partisi suatu zat tertentu diperlukan persyaratan kondisi tertentu. Apabila salah satu dari persyaratan tersebut tidak
terpenuhi, maka yang diperoleh adalah koefisien partisi semu atau biasa disingkat APC (Apparent Partition Coefficient). Untuk memperoleh nilai APC dapat digunakan beberapa persamaan matematis. Berdasarkan hasil pengolahan analisis data yang juga disajikan dalam kurva hubungan APC terhadap perubahan pH asam salisilat di atas, dapat diketahui bahwa semakin tinggi nilai pH suatu larutan, maka semakin rendah nilai koefisien partisinya. Hal tersebut berarti semakin mudah bahan obat tersebut terabsorbsi atau diserap oleh tubuh, karena berdasarkan teori bahwa semakin besar koefisien partisi suatu bahan obat, maka semaki sulit bahan obat tersebut terabsorbsi oleh tubuh, begitupun sebaliknya. Disamping itu, setelah mengetahui bagaimana hubungan APC suatu bahan obat terhadap perubahan pH-nya, dapat diketahui pula hubungan absorbansi terhadap APC. Menurut kurva hubungan APC-pH dan absorbansi-pH, diketahui bahwa nilai APC berbanding terbalik dengan nilai absorbansi, di mana semakin besar nilai absorbansi suatu larutan, maka nilai koefisien partisinya semakin kecil. Hal tersebut sejalan dengan teori yang mengatakan bahwa semakin besar nilai koefisien partisi suatu larutan, maka semakin kecil absorbansinya, begitu pula sebaliknya.
G. KESIMPULAN Berdasarkan percobaan yang telah dilakukan, dapat ditarik kesimpulan bahwa pH mempengaruhi koefisien partisi suatu bahan obat yang bersifat asam lemah, di mana pH berbanding terbalik terhadap koefisien partisi, di mana semakin besar nilai pH maka semakin kecil nilai koefisien partisinya, begitupun sebaliknya, semakin kecil nilai pH maka semakin besar koefisien partisinya.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 1995, Farmakope Indonesia Edisi IV, Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta. Anonim, 2012, Penuntun Praktikum Farmasi Fisika I, Universitas Haluoleo, Kendari Gandjar, Ibnu Gholib, Abdul Rohman, 2007, Kimia Farmasi Anaisis, Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Husniati, dkk, 2008, Studi Bioaktivitas Dari Pengaruh Lipofilitas Senyawa Anti Kanker Analog UK-3A Secara In-Vitro dan In-Silico, Teknologi Indonesia, Vol (I), No 31, Hal. 57. Martin, Alfred, dkk, 1990, Farmasi Fisik. Dasar-dasar Farmasi Fisik Dalam Ilmu Farmasetik, Universitas Indonesia Press, Jakarta. Suseno, Hadi Prasetyo, 2011, Model Adsorpsi Mn2+, Cd+2, dan Hg+2 Dalam Sistem AirSedimen di Sepanjang Sungai Code, Yogyakarta, Jurnal Teknologi, Vol (IV), No 2, Hal. 175.