KODIFIKASI HADIS SECARA RESMI Oleh : Andi Wiliandi 08 PEDI 1232 A. Pendahuluan Membahas masalah kodifikasi hadis, yang dimaksud dengan kodifikasi hadis secara resmi ialah pengumpulan dan penulisan hadis-hadis atas perintah Khalifah atau penguasa daerah untuk disebarkan kepada masyarakat.1 Pengumpulan dan penulisan tersebut dilakukan sejak masa sahabat dan tabi’in yang ditulis di atas ¡a¥³fah-¡a¥³fah, namun pengumpulan tersebut cenderung bersifat individual yang diperuntukkan untuk kepentingan masingmasing. Abdullah bin Amr menjelaskan bahwa ia menulis sendiri ¡a¥³fah ini. Di sini terhimpun seribu hadis Rasulullah saw. ¢a¥³fah dalam tulisan tangan Abdullah bin Amr tidak ditemui sekarang, namun isinya terhimpun di dalam kitab-kitab hadis terutama di dalam Musnad Ahmad. Kebenaran adanya ¡a¥³fah ¡adiqah dan ¡a¥³fah-¡a¥³fah lain diakui oleh ucapan Abu Hurairah, “tak seorang pun di antara sahabat Rasulullah saw., yang lebih banyak menulis hadisnya daripadaku, kecuali Ibn Amr, karena dia terus menuis dan aku tidak.2 Keseluruhan deskripsi di atas merupakan bukti bahwa sahabat telah melakukan penulisan hadis Rasul saw., ¢a¥³fah¡a¥³fah itu telah sampai kepada generasi berikutnya. Namun disayangkan, naskah asli dari sejumlah ¡a¥³fah tersebut tidak ditemukan lagi karena telah ditelan sejarah. Walau demikian, 1 Ramli Abdul Wahid, Studi Ilmu Hadis, (Bandung: Citapustaka Media, 2005), h. 103.
2 Ibid., h. 97.
1
sejumlah ¡a¥³fah yang tersisa masih dapat dijumpai lagi. ¢a¥³fah ini mempunyai tempat khusus dalam pencatatan hadis karena ¡a¥³fah tersebut telah sampai kepada generasi sekarang
dalam
keadaan
utuh
dan
selamat,
persis
yang
diriwayatkan dan dalam ¡a¥³fah Hammam dari Abu Hurairah. Mu¥ammad Humaidullah, seorang peneliti terkemuka, secara kebetulan menemukan ¡a¥³fah ini di dalam dua manuskrip yang serupa di Damaskus dan Berlin. Isi ¡a¥³fah tersebut secara keseluruhan mirip seperti yang ada dalam Musnad Ahmad dan banyak di antara hadis-hadisnya diriwayatkan dalam ¡a¥³¥ alBukhari pada bab-bab yang berbeda-beda. Mengingat umat Islam pada masa itu telah memungkinkan untuk menulis hadis, namun secara nyata tidak ada perintah secara resmi untuk melakukan penulisan hadis, dikarenakan adanya kontroversi antara para sahabat, tabi’in, ulama dan umat Islam pada saat itu. Kondisi ini memicu keterlambatan pembukuan hadis yang dapat diukur dari tenggang waktu masa Rasul, sahabat dan tabiin yang cukup relatif panjang. Penulisan hadis baru resmi dilaksanakan pada abad ke-2 H, yang diprakarsai oleh Khalifah ‘Umar ibn ‘Abd al-‘Az³z yang memerintah pada tahun 99-101 H.3 Hal tersebut diperintahkan atas dasar beberapa pertimbangan dan faktor-faktor yang mendorong sehingga dilaksanakan penulisan hadis secara resmi pada abad tersebut. Dalam
makalah
singkat
ini,
akan
diuraikan
beberapa
penjelasan : pencatatan hadis secara pribadi dan bukti-bukti pencatatan hadis zaman awal Islam, kodifikasi hadis secara resmi, hadis-hadis yang menganjurkan dan melarang penulisan hadis serta cara mengkompromikannya, faktor-faktor yang mendorong 3 Ibid.,
2
kodifikasi, dan terakhir jasa ‘Umar ibn ‘Abd al-‘Az³z dan Ibn Syihab az-Zuhr³ dalam kodifikasi. B. Pencatatan
hadis
secara
pribadi
dan
bukti-bukti
pencatatan hadis zaman awal Islam Mengingat secara individual penulisan telah dilakukan oleh para sahabat sejak zaman Rasul saw., yang hal ini dapat dilakukan dikarenakan
kemampuan
umat
Islam
secara
teknis
telah
memungkinkan menuliskan hadis-hadis nabi saw. Namun kondisi ini menurut para sarjana dan ilmuan hadis hanya disebarkan lewat mulut ke mulut secara lisan, sampai akhir abad pertama Hijriah.4 Ada beberapa catatan yang mungkin dapat dijadikan bukti bahwa pada masa awal Islam telah dilakukan penulisan hadis, sehingga dapat ditelusuri ketika masa sahabat yang tercatat ada 50 orang sahabat yang menulis hadis, diantaranya: Abu Ayub al-An¡ari (w. 52 H), Ab Bakar as-¢idd³q (w. 13 H), Abu Sa’id al-Khudri (w. 74 H), dan ‘Abdullah bin ‘Abb±s (w. 68 H).5 Masa tabiin juga terdapat 52 orang yang menuliskan hadis, diantaranya: Aban bin ‘Usm±n (w. 105 H), Ibrahim bin Yajid (w. 96 H), ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz (w. 101 H), dan Urwah bin Zubair (w. 93 H).6 Penulisan tersebut dilakukan atas dasar keinginan individual dan kepentingan pribadi masingmasing, jadi tidak ada perintah khusus dari Rasul saw. C. Kodifikasi Resmi Secara etimologi, kodifikasi (tadwin) dapat diartikan menulis, mencatat (pembukuan).7 Secara terminologi, kodifikasi diartikan 4 Mu¥ammad Mustafa Azami, Hadis Nabi dan Kodifikasinya, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994), cet. I, h. 106. 5 ibid., h. 132-200. 6 Mu¥ammad Mustafa Azami, Hadis Nabi, h. 201-234. 7 Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir, Kamus Arab-Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Progressif, 1984), h. 435.
3
sebagai menghimpun syariat-syariat dalam undang-undang dasar8, atau dapat juga mengumpulkan undang-undang dan merangkainya atau
mengaturnya.9
kodifikasi
diartikan
Dalam sebagai
Kamus
Besar
perhimpunan
Bahasa
Indonesia,
berbagai
peraturan
menjadi undang-undang, klasifikasi hukum penggolongan hukum dan undang berdasarkan asas-asas tertentu di buku undangundang yang baku, proses pencatatan norma yang telah dihasilkan oleh pembakuan dalam bentuk buku tata bahasa, dan pemberian nomor atau lambang pada perkiraan pos, jurnal, faktur, atau dokumen lain yang berfungsi sebagai alat untuk membedakan pos yang satu dengan yang lainnya dan termasuk satu golongan.10 Dari disimpulkan
beberapa bahwa
pengertian kodifikasi
diatas, ialah
secara suatu
umum
proses
dapat dimana
dilakukannya upaya penghimpunan, pembukuan, pengklasifikasian, pencatat dan pemberian tanda terhadap suatu objek tertentu. Apabila yang menjadi objek penghimpunan, pengumpulan dan pencatatan itu adalah hadis-hadis, disebutlah kodifikasi hadis. Dengan demikian, secara sederhana kodifikasi dapat diartikan sebagai usaha menghimpun, mengumpul dan mencatat hadishadis Rasul saw., dalam buku. Dalam catatan sejarah umumnya dipercayai bahwa orang-orang yang pertama memikirkan dan melakukan pengumpulan serta penulisan hadis secara resmi adalah ‘Umar ibn ‘Abd al-‘Az³z. Terdorong oleh rasa tanggung jawab untuk melestarikan hadis Nabi dan memelihara kemurniannya, Khalifah ‘Umar bin ‘Abd ‘Aziz
mengintruksikan
kepada
gubernurnya
dan
para
ulama
8 Ilyas A. Ilyas dan Edwar E. Ilyas, al-Q±mus al-‘A¡r : Inggris-Arab, (Kairo, Elies Modern Press, 1968), h. 143. 9 Munir Ba’albaki, al-Maurid: Qamus Inggris-Arab, (Mesir: D±r al-‘Ilm Lil Malayin, 1979), h. 190. 10 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi ketiga, (Jakarta: Balai Pustaka, 2007), h. 578.
4
terkemuka untuk mengumpulkan dan membukukan hadis supaya disebarkan kepada masyarakat Islam. Ia mengirim instruksi kepada Gubernur Madinah Abu Bakar bin Mu¥ammad bin ‘Amr bin Hazm (w. 117 H.). Di antara isinya adalah :
Menurut riwayat lain redaksinya seperti berikut :
Umar ibn ‘Abd al-‘Az³z adalah Khalifah pertama dalam sejarah Islam yang mengambil kebijaksanaan untuk mengkodifikasi hadis. Kodifikasi secara resmi seperti ini belum pernah dilakukan penguasa-penguasa
sebelumnya.
Muhammad
‘Ajj±j
al-Khatib
menemukan adanya perintah dari Gubernur Mesir ‘Abd al-‘Az³z bin Marw±n (w. 85 H), ayah dari Khalifah ‘Umar kepada Katsir bin Murrah (w. sekitar 70-80 H) agar menuliskan hadis selain dari hadis Abu Hurairah, namun menurut para ulama hadis, kodifikasi Umarlah kodifikasi resmi pertama.
11
Berdasarkan keterangan di atas, maka berbicara masalah kodifikasi hadis harus bisa membedakan antara kodifikasi hadis yang bersifat individual/pribadi yang disebut juga dengan tadwin al-syakhshi yang dilakukan oleh para sahabat dan tabiin dengan kodifikasi hadis yang bersifat resmi yang disebut juga tadwin alrasmi yang dilakukan oleh ‘Umar ibn ‘Abd al-‘Az³z, para gubernur dan ulama. 11 Mu¥ammad ‘Ajj±j al-Kha¯ib, U¡ul al-Had³s: ‘Ulumuhu wa Mu¡¯alah, (Beirut: D±r al-Fikr, 1989), h. 218.
5
D. Hadis-hadis yang menganjurkan dan melarang penulisan hadis serta cara mengkompromikannya. Mencermati hal ini, ada beberapa kontroversi antara sahabat tentang larangan dan yang membolehkan penulisan hadis yang didasarkan kepada kekuatan dalil masing-masing mereka, dengan demikian terjadilah berbagai spekulasi dan argumentasi yang membedakan satu dengan lainnya dalam penulisan hadis. Ada beberapa pendapat para sahabat dan tabiin yang melarang untuk menulis hadis, diantaranya: Ibn ‘Umar, Ibn Mas‘d dan Zaid bin ¤ ±bit, dan ada juga beberapa pendapat para sahabat dan tabiin yang membolehkan untuk menulis hadis, diantaranya: ‘Abdull±h bin Amer dan Anas, ‘Umar bin ‘Abdul Az³z dan kebanyakan dari sahabat yang lainnya. Adapun keterangan hadis yang melarang dan membolehkan penulisan hadis dapat diamati dari beberapa kutipan hadis dibawah ini : Hadis-hadis yang melarang menuliskannya. Abu Sa’id al-Hudzri meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda:
“Jangan kalian menulis (hadis) dariku, dan barangsiapa menulis dariku selain Alquran maka hendaklah ia menghapusnya” Diriwayatkan dari Abu Hurairah, ia berkata, “Rasulullah saw. Mendatangi kami dan kami sedang menulis hadis. Kemudian beliau bertanya, ‘Apa yang sedang kalian tulis ini? Kami menjawab, ‘Kami menulis hadis yang kami dengar dari engkau, ya Rasulullah.’ Berliau bersabda:
6
“Tulisan selain Kitab Allah? Apakah kalian mengetahui? Bangsabangsa sebelum kalian tidak sesat kecuali karena mereka menulis tulisan lain bersama Kitab Allah”. Hadis yang membolekan penulisannya Abdullah bin Amr bin al-Ash r.a. berkata, “Saya menulis segala apa yang saya dengar dari Rasulullah saw. Saya hendak menghafalnya, namun orang-orang Quraisy melarangku. Mereka berkata, “Engkau menulis segala sesuatu Adanya
kontroversi
tentang
yang
melarang
dan
membolehkan penulisan hadis-hadis, para ulama berusaha mengkompromikannya
dengan
menawarkan
beberapa
argumentasi seperti: Mu¥ammad ‘Ajj±j al-Kha¯³b dalam konteks mengkompromikan perbedaan-perbedaan pendapat tersebut yaitu : a. Bahwa sebahagian ulama berargumentasi bahwa hadis
Abu
Sa’id
al-Khudr³,
sebagaimana
diungkapkan sebelumnya adalah mauquf, sehingga tidak dapat dijadikan sebagai hujjah. b. Bahwa larangan penulisan hadis hanya terjadi pada masa-masa awal Islam, karena dikhawatirkan hadis akan bercampur dengan Alquran. Namun ketika jumlah kaum muslimin semakin banyak dan mereka telah memahami Alquran dengan baik dan mampu membedakan antara Alquran dan hadis, maka terhapuslah larangan penulisan hadis tersebut. c. Bahwa
larangan
penulisan
hadis
itu
ditujukan
7
kepada orang yang hafalannya bisa diandalkan, sedangkan kebolehan menulis hadis itu ditujukan kepada orang yang tidak kuat hafalannya. d. Bahwa larangan penulisan hadis bersifat umum, sedangkan pembolehannya bersifat khusus, yaitu terbatas bagi orang yang pandai membaca dan menulis, tidak melakukan kesalahan dalam menulis, dan tidak dikhawatirkan berbuat kekeliruan.12 Lain
halnya
dengan
Ibnu
Hajar
al-‘Asqal±n³
dalam
mengkompromikan pendapat ulama tersebut sebagai berikut : a. Sebagian ulama menggunakan metode al-Jam‘u atau
kompromi,
yakni
larangan
menulis
hadis
berlaku khusus pada saat wahyu Alquran turun, sedang perintah kebolehan menulis hadis berlaku di luar saat tersebut. Kebijaksanaan Nabi itu bertujuan agar catatan wahyu Alquran terhindar dari yang bukan Alquran. b. Sebagian ulama lainnya menggunakan metode alJam‘u atau kompromi, yakni larangan menulis hadis berlaku bagi yang tidak cermat dalam mencatat, sedang kebolehan keizinan menulis hadis berlaku bagi yang tidak cermat dalam mencatat agar tidak mencampuradukkan catatan Alquran dengan hadis Nabi. c. Sebagian ulama lainnya lagi menggunakan metode al-Jam‘u atau kompromi, yakni larangan menulis hadis berlaku khusus bagi yang kuat hafalan, sedang kebolehan menulis hadis berlaku bagi yang 12 Mu¥ammad ‘Ajjaj al-Khatib, as-Sunnah Qabla at-Tadw³n, (Beirut: D±r alFikr, 1993), h. 306-308.
8
tidak kuat hafalan. Kebijaksanaan Nabi itu bertujuan agar yang kuat hafalan tidak membiasakan diri bersandarkan pada catatan. Dari beberapa keterangan dan penjelasan di atas, maka secara ringkas dapat disimpulkan bahwa jalan tengah dari kontroversi tentang larangan dan perintah penulisan hadis pada intinya harus : a. Melihat kembali hadis yang melarang penulisan tersebut itu apakah tergolong hadis ¬aif
atau
tergolong hadis ¢ahih, dalam artian cross chek ulang terhadap hadis tersebut. b. Hadis yang melarang nasakh atau mansukh. c. Bahwa
larangan
penulisan
hadis
itu
ditujukan
kepada orang yang kuat hafalannya. d. Bahwa
larangan
penulisan
karena
ditakutkan
kesalahan dalam penulisan yang dilakukan orang yang tidak bagus tulisannya. E. Faktor-faktor yang mendorong kodifikasi Ada beberapa hal yang mendorong ‘Umar bin ‘Abd al-‘Aziz mengambil inisiatif untuk memerintahkan para gubernur dan pembantunya
untuk
mengumpulkan
dan
menulis
hadis,
diantaranya adalah : a. Tidak
ada
lagi
kekhawatiran
dengan Alquran, karena
bercampurnya
hadis
Alquran ketika itu telah
dibuktikan dan disebarluaskan.13 b. Munculnya kekhawatiran akan hilang dan lenyapnya hadis karena banyak para sahabat yang meninggal dunia
akibat
usia
atau
karena
seringnya
terjadi
13 Nawer Yuslim, Ulumul Hadis, (Jakarta: PT. Mutiara Widya, 2001), h. 126.
9
peperangan.14 c. Semakin maraknya kegiatan pemalsuan hadis yang dilatar
belakangi
oleh
perpecahan
politik
dan
perbedaan mazhab di kalangan umat Islam. Hal ini upaya
untuk
menyelamatkan
hadis
dengan
cara
pembukuannya setelah melalui seleksi yang ketat harus segera dilakukan. d. Karena telah semakin luasnya daerah kekuasaan Islam disertai dengan semakin banyak dan kompleksnya permasalahan yang dihadapi umat Islam, maka hal tersebut menuntut mereka untuk mendapat petunjuk dari hadis Nabi saw., selain petunjuk Alquran. Senada dengan beberapa faktor-faktor yang telah dijelaskan di atas, di dalam Studi Ilmu Hadis oleh H. Ramli Abdul Wahid, menjelaskan bahwa selain faktor di atas, juga disebabkan adanya hadis mau«u’. Luasnya daerah Islam dan bertambahnya para mu’allaf
yang membutuhkan bimbingan keagamaan,15 sehingga
keadaan tersebut ikut mendorong penulisan hadis. Melihat berbagai persoalan muncul di atas, sebagai akibat terjadinya pergolakan politik, yang sudah cukup lama, dan mendesaknya kebutuhan untuk segera mengambil tindakan guna menyelamatkan hadis dari kemusnahan dan pemalsuan, maka ‘Umar bin ‘Abd al-‘Aziz sebagai seorang Khalifah yang memiliki tanggung jawab besar terhadap masalah agama, terdorong untuk mengambil tindakan untuk mengkodifikasikan hadis secara resmi.
14 Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadis, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1996), h. 68.
15 Ramli Abdul Wahid, Studi Ilmu Hadis, h. 104-105.
10
F. Jasa ‘Umar ibn ‘Abd al-‘Aziz dan Ibn Syihab az-Zuhr³ dalam kodifikasi 1. Jasa-jasa
Umar
ibn
Abdul
Aziz
dalam
kodifikasi hadis. Nama lengkapnya adalah ‘Umar ibn ‘Abd al-‘Aziz ibn Marwan ibn al-Hakim ibn Abi al-‘A¡ ibn Umayyah ibn ‘Abd Syam al-Quraisyi al-Umawi, atau disebut juga dengan Abu Hafs alMadani al-Dimasyqi. Ibunya adalah Umm Ashim binti Ashim ibn Umar ibn Kha¯ab.16 ‘Umar bin ‘Abd al-‘Aziz adalah seorang Khalifah ke-8 dari daulat Bani Umayyah. Ia memiliki perhatian cukup besar terhadap hadis Nabi saw. Beliau secara langsung menuliskan hadis-hadis yang di dengar dan diminatinya, selain mendorong para
ulama
untuk
melakukan
hal
yang
sama.
Menurut
pandangannya, dengan cara demikianlah hadis Nabi saw., dapat terpelihara. Salah satu kebijakan ‘Umar bin ‘Abd al-‘Aziz adalah menggalakkan para ulama dalam hal penulisan hadis serta memberi izin untuk itu, yang sebelumnya belum ada perizinan secara resmi. Meskipun masa pemerintahan ‘Umar bin ‘Abd al-‘Aziz relatif
singkat,
beliau
telah
mempergunakannya
dengan
maksimal dan efektif untuk pemeliharaan hadis-hadis Nabi saw., yaitu dengan mengeluarkan perintah secara resmi untuk pengumpulan dan pembukuan hadis. Atas prakarsa beliau dan bantuan para pembantunya beserta para ulama dan ahli hadis. Pada masa itu telah berhasil dikumpulkan dan dibukukan hadishadis Nabi saw., sehingga menjadi pegangan umat sampat hari
h. 18.
16 Ibn Hajar al-‘Asqal±n³, Kitab Ta¥z³b al-Ta¥z³b, (Beirut: D±r al-Fikr, 1995),
11
ini. 2. Jasa-jasa Mu¥ammad ibn Syihab az-Zuhr³ dalam kodifikasi hadis. Az-Zuhr³ telah meninggalkan pengaruh dan jasa-jasa besar ke dalam bidang hadis, diantaranya adalah: a. Az-Zuhr³
adalah
orang
pertama
yang
memenuhi himbauan Khalifah ‘Umar bin ‘Abd al-‘Aziz untuk membuktikan hadis, sehingga dia
telah berhasil
berbagai
kitab.
menghimpunnya Kitab-kitab
dalam
tersebut
selanjutnya di kirim oleh Khalifah kepada para penguasa di daerah-daerah. Oleh sebab itu, para ulama sepakat mengatakan bahwa azZuhr³
adalah
orang
yang
pertama
membukukan hadis secara resmi atas perintah Khalifah. b. Az-Zuhr³ telah berhasil mengumpulkan dan meriwayatkan sejumlah tertentu dari hadis Nabi saw., yang diriwayatkan oleh para perawi lain, sehingga jerih payahnya tersebut telah menyelamatkan hadis-hadis Nabi saw. dari kepunahan. Al-Laits ibn Sa‘ad berkata: Said ibn
‘Abd
ar-Rahman
telah
mengatakan
kepadaku, “Wahai Abu al-Haris, sekiranya tidak ada Ibn Shih±b, tentu telah hilang sejumlah tertentu dari hadis. Imam Muslim juga pernah mengatakan, “Ada sekitar 90 hadis yang diriwayatkan oleh az-Zuhr³ yang
12
berasal dari Nabi saw. yang tidak diriwayatkan oleh seorang perawi lain pun dengan sanad yang
baik.”
Pendapat
yang
senada
diungkapkan oleh al-H±fizh az-ªahab³. c. Az-Zuhr³ adalah orang yang sampai intens dan bersemangat dalam memelihara sanad hadis, sehingga
dia
senantiasa
menggalakkan
mendorong
penyebutan
sanad
dan
tatkala
meriwayatkan hadis kepada para ulama dan penuntun hadis. Imam Malik berkata: “Orang yang pertama kali melakukan penyebutan sanad
hadis
adalah
Ibn
Syih±b”.17
Yang
dimaksud oleh Imam Malik adalah bahwa azZuhr³ adalah orang yang pertama dalam menggalakkan
penyebutan
sanad
hadis
tatkala meriwayatkannya. d. Az-Zuhr³ telah memberikan perhatian yang besar dalam pengkajian ilmu hadis, bahkan dia
bersedia
terhadap
memberikan
mereka
yang
bantuan
materi
berkeinginan
mempelajari hadis namun tidak mempunyai dana untuk itu. Menurut Imam Malik ibn Anas, az-Zuhr³ mengumpulkan orang dan mengajari mereka maupun juga pada musim panas dan mereka diberinya makanan sesuai dengan musim tersebut. G. Penutup Penulisan hadis secara individual sudah dimulai sejak zaman 17 Mu¥ammad ‘Ajj±j al-Kha¯³b, as-Sunnah, h. 493.
13
Rasul saw. hal ini ditandai dengan munculnya nama sahabat dan tabi’in dalam menulis hadis. Namun penulisan dan pembukuan secara resmi adalah pada awal abad ke-2 H, yang dipimpin oleh Khalifah ‘Umar bin ‘Abd al-‘Aziz beserta para gubernurnya. Lambannya
pembukuan
hadis
dilatar
belakangi
oleh
kontroversi tentang adanya hadis Nabi saw. yang membolehkan dan melarang penulisan hadis, yang pada akhirnya diselesaikan dengan mengambil jalan tengah, dengan mengkaji kembali hadishadis tersebut dengan upaya : a. Melihat kembali hadis yang melarang penulisan tersebut itu apakah tergolong hadis «aif
atau
tergolong hadis ¡ahih, dalam artian cross chek ulang terhadap hadis tersebut. b. Hadis yang melarang di nasakh atau di mansukh. c. Bahwa
larangan
penulisan
hadis
itu
ditujukan
kepada orang yang kuat hafalannya. d. Bahwa
larangan
penulisan
karena
ditakutkan
kesalahan dalam penulisan yang dilakukan orang yang tidak bagus tulisannya. Berdasarkan hasil kompromi tersebut maka secara resmi berdasarkan intruksi dari Khalifah ‘Umar bin ‘Abd al-‘Aziz beserta para gubernurnya pada abad ke-2 H, dilakukan pembukuan hadis dengan harapan untuk menjaga kemurnian ajaran Islam selain itu untuk menyelamatkan hadis dari kehilangan yang disebabkan meninggalnya para perawi hadis, menghindari pemalsuan hadis serta
gejolak
politik
yang
mengakibatkan
perpecahan
dan
bergejolaknya pertentangan antara sesama umat Islam.
14
DAFTAR PUSTAKA Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir, Yogyakarta: Pustaka Progressif, 1984.
Kamus Arab-Indonesia,
Al-Kha¯³b al-Bagd±d³, Taqy³d al-‘Ilm, Damaskus: tp, 1949. Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi ketiga, Jakarta: Balai Pustaka, 2007. Ibn Hajar al-‘Asqal±n³, Kitab Ta¥z³b al-Ta¥z³b, Beirut: D±r al-Fikr, 1995. Ilyas A. Ilyas dan Edwar E. Ilyas, al-Q±mus al-‘A¡r : Inggris-Arab, Kairo, Elies Modern Press, 1968. Muhammad Mustafa Azami, Hadis Nabi dan Kodifikasinya, (terj.) Ali Mustafa Ya’cub. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994, cet. I. Munir Ba’albaki, al-Maurid: Qamus Inggris-Arab, Mesir: D±r al-‘Ilm Lil Malayin, 1979. Mu¥ammad ‘Ajj±j al-Kha¯ib, U¡ul al-Had³s: ‘Ulumuhu wa Mu¡¯alah, Beirut: D±r al-Fikr, 1989. __________________, as-Sunnah Qabla at-Tadw³n, Beirut: Dar al-Fikr, 1993. Nawer Yuslim, Ulumul Hadis, Jakarta: PT. Mutiara Widya, 2001. Ramli. Abdul Wahid, Studi Ilmu Hadis, Bandung: Citapustaka Media, 2005. Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadis, Jakarta: Gaya Media Pratama, 1996.
15