Kinerja 08.Oct.2007
Lingkungan
Perusahaan
Dua minggu yang lalu, sebuah survei global tentang CSR diumumkan hasilnya. Tidak menggembirakan. Perusahaan-perusahaan di Asia, termasuk Indonesia, dinyatakan tidak memiliki kinerja lingkungan yang bagus. Secara rataan, kinerja lingkungan perusahaan-perusahaan di Asia jauh di bawah perusahaan-perusahaan di Eropa, Amerika, dan Australia. Yang lebih tidak menggembirakan lagi, Indonesia berada di antara negaranegara yang kinerja lingkungan perusahaannya dianggap paling buruk di Asia. Agaknya kesimpulan-kesimpulan itu memang sulit disangkal. Berbagai studi memang telah konsisten memotret kondisi yang demikian. Namun, di antara kondisi yang secara umum belum menggembirakan itu, ada juga berita yang “menentramkan hati”. Harian Kompas menuliskan pada edisi 1 Oktobernya tentang bagaimana perusahaan Philips, termasuk yang beroperasi di Indonesia, terkenal secara global dengan kinerja lingkungannya yang bagus. Bukan itu saja, kinerja lingkungan itu bahkan telah membuat Philips mendapatkan keuntungan finansial yang sangat besar. Philips kini adalah pemimpin pasar industri elektronik, yang nilai penjualannya di tahun 2006 mencapai 27 miliar euro alias sekitar 300 triliun rupiah, dan itu—di antara berbagai faktor positif lainnya—merupakan hasil pemosisian dirinya sebagai produk elektronik yang ramah lingkungan. Prestasi yang ditorehkan Philips merupakan hasil kerja keras dalam jangka panjang. Ketika sebagian besar perusahaan di dunia belum lagi tersadar dari perilaku buruk mencemari lingkungan, Philips telah mengambil berbagai inisiatif untuk mengurangi konsumsi energi dan emisi karbon. Ini adalah inisiatif yang sangat maju karena hingga sekarang pun inisiatif mengurangi konsumsi energi terlebih lagi emisi karbon belumlah menjadi arus utama dalam pengelolaan lingkungan majoritas perusahaan. Sejak tahun 1970, Dewan Direksi Philips sudah merumuskan beberapa program yang berkaitan dengan lingkungan yang salah satu kegiatan langsungnya adalah berpartisipasi dalam Club of Rome. Tahun 1994 mereka membuat program “The Environmental Opportunity”. Catatan penting di tahun 1995 adalah prestasi pabrik Philips Surabaya yang berhasil membuat produk yang tidak mengandung timbal. Karena itu, manajemen Philips dunia memberikan kesempatan kepada pabrik tersebut untuk memasok komponen, lampu pijar, dan neon, ke seluruh pasar Asia Pasifik. Tahun 1998, Philips berhasil mendapatkan penghargaan ”International Corporate Environmental Achievement” dan memperkenalkan program Ecovision yang pertama di dunia. Fokus ke depan Philips, sebagaimana yang dicatat oleh Kompas, adalah menghasilkan produk lampu hemat energi. Alasan Philips, kesadaran masyarakat akan adanya peningkatan biaya dan pemanasan global kian kuat, sehingga kebutuhan lampu hemat energi ini meningkat 25 persen setiap tahun. Sebetulnya, dengan atau tanpa kesadaran akan dampak pemanasan global, secara logis konsumen akan lebih memilih lampu yang lebih hemat energi, karena dengan demikian mereka bisa berhemat tagihan
listrik. Yang tidak disadari majoritas konsumen, menghemat listrik juga berarti menekan jumlah emisi karbon. Tentu saja, kesadaran masyarakat akan dampak pemanasan global akan membuat alasan untuk membeli lampu—dan produk-produk elektronik lainnya— yang hemat energi akan semakin menguat. Dari kacamata Andrew Savitz dan Karl Weber yang menulis buku wajib baca ”The Triple Bottom Line: How Today’s Best-Run Companies are Achieving Economic, Social, and Environmental Success—and How You Can Too”—Philips telah menemukan “sustainability sweet spot”-nya. Atau, dalam istilah Daniel Esty dan Andrew Winston yang mengarang buku yang tak kalah bagus “Green to Gold: How Smart Companies Use Environmental Strategy to Innovate, Create Value and Build Competitive Advantage”, Philips telah berhasil memanfaatkan warna hijaunya untuk mendapatkan kilau emas. Ada banyak argumentasi dan bukti bagus yang dipaparkan dalam kedua buku. Sayangnya, seluruh contoh berasal dari luas Indonesia. Tampaknya kita musti bekerja keras untuk menemukan bukti-bukti bahwa memperjuangkan kinerja lingkungan yang tinggi memang akan berbuah manis. Philips, termasuk pabriknya yang berada di Indonesia, telah menunjukkannya. Ia menjadi sangat kompetitif sekaligus menguntungkan karena hasil kerjanya. Contoh lainnya mungkin berasal dari sektor kehutanan, yang diam-diam kini ada lebih dari satu juta hektar hutan di Indonesia yang telah mendapatkan sertifikat ekolabel. HPH dan HTI pengelolanya—jumlahnya masih dalam bilangan jari—telah berhasil mendapatkan ”green premium” yang membuat usaha mereka semakin menguntungkan. Contoh-contoh keberhasilan masih harus terus dicari dan dipaparkan. Kerja keras masih harus terus dilakukan, mengingat prestasi majoritas perusahaan di Indonesia masih jauh tertinggal dibanding contoh-contoh tersebut. Yang jelas, di masa depan hanya ada dua jenis perusahaan: yang menghijau dan terus tumbuh, atau yang coklat mengering lalu mati.