Daftar Perusahaan

  • Uploaded by: Ricka Aulia
  • 0
  • 0
  • September 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Daftar Perusahaan as PDF for free.

More details

  • Words: 3,322
  • Pages: 17
1. Latar Belakang

Wajib Daftar Perusahaan adalah sebagai upaya dalam mewujudkan pemberian perlindungan tersebut, serta juga pembinaan kepada dunia usaha dan perusahaan, khususnya golongan ekonomi lemah. Dalam penyusunannya diperhatikan pula kebiasaan-kebiasaan yang benar-benar hidup dalam masyarakat pada umumnya dan dunia usaha pada khususnya.1 Bagi Pemerintah, adanya Daftar Perusahaan sangat penting karena akan memudahkan untuk sewaktu-waktu dapat mengikuti secara seksama keadaan dan perkembangan sebenarnya dari dunia usaha di wilayah Negara Republik Indonesia secara menyeluruh, termasuk tentang perusahaan asing. Dengan demikian Pemerintah dapat memperoleh informasi secara seksama mengenai keadaan dan perkembangan yang sebenarnya tentang dunia usaha di wilayah Negara Republik Indonesia yang sangat berguna untuk menyusun dan menetapkan kebijaksanaan dalam rangka memberikan bimbingan, pembinaan, dan pengawasan atas dunia usaha, serta dalam menciptakan iklim usaha yang sehat dan tertib. Disamping untuk kepentingan tersebut diatas Daftar Perusahaan sekaligus dapat dipergunakan sebagai pengaman pendapatan Negara, karena dengan wajib dafar perusahaan itu dapat diarahkan dan diusahakan terciptanya iklim usaha yang sehat dan tertib.2 Bagi dunia usaha, daftar perusahaan penting untuk mencegah dan menghindari

praktek-praktek

usaha

yang

tidak

jujur

(persaingan

curang,

penyelundupan dan lain sebagainya). Sebagaimana telah disampaikan dimuka, salah

1

Handri Raharjo, Hukum Perusahaan, Pustaka Yustisia, Yogyakarta, 2009, h. 12. 2

Abdul Kadir Muhammad, Pengantar Hukum Perusahaan Indonesia, PT. Citra Aditia Bakti, Bandung, 1991, h. 129.

1

2

satu tujuan utama daftar perusahaan adalah untuk melindungi perusahaan yang dijalankan secara jujur (“te goeder trouw”). Daftar perusahaan dapat dipergunakan sebagai sumber informasi untuk kepentingan usahanya. Demikian pula untuk pihak ketiga yang berkepentingan akan informasi semacam itu. Daftar Perusahaan tersebut yaitu daftar catatan resmi yang diadakan menurut aturan

atau

berdasarkan

ketentuan

perundang-undang

dan

atau

peraturan

pelaksanaannya, dan memuat hal-hal yang wajib didaftarkan oleh setiap perusaahan serta disahkan oleh pejabat yang berwenang dari kantor pendaftaran perusahaan.3 Dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1982 Tentang Wajib Daftar Perusahaan telah dijelaskan secara rinci tentang hal-hal apa yang wajib didaftarkan, termasuk Badan Hukum (termasuk di dalamnya Koperasi), Persekutuan, Perorangan dan Perusahaan lainnya. Pada Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2018 untuk mendaftarkan perusahaan antara perorangan dan non perorangan tidak juga mempunyai persyaratan yang sama. Sedangkan pada Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 76 Tahun 2018 hanya menjelaskan syarat untuk mendaftar perusahaan dan tidak dijelaskan lebih lanjut syarat pendaftaran perusahaan perorangan, dan juga persyaratan pendaftaran perusahaan dalam Permendagri Nomor 76 Tahun 2018 tersebut sama dengan persyaratan pendaftaran perorangan yang terdapat di Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2018. Berdasarkan latar belakang masalah tersebut diatas, maka penulis ingin mengambil judul penelitian “Keabsahan Syarat Daftar Perusahaan Ditinjau Dari Peraturan Menteri Nomor 76 Tahaun 2018 Tentang Penyelenggaraan Pendaftaran Perusahan”. 3

Elsi Kartika Sari dan Advendi, Hukum Dalam Ekonomi ed.2, PT Grasindo, Jakarta, 2008, h. 47.

3

2. Rumusan Masalah 1. Apakah syarat pendaftaran perusahaan dalam Peraturan Menteri Nomor 76 Tahun 2018 dapat digunakan sebagai syarat untuk mendaftar ? 2. Apakah mendaftarkan perusahaan sebagai bentuk izin kepada Pemerintah

untuk mendirikan usaha ? 3. Tujuan Penelitian 3.1. Tujuan Umum a. Untuk mengetahui dan menganalisa apakah syarat untuk mendaftarkan perusahaan dalam Peraturan Menteri Nomor 76 Tahun 2018 dapat digunakan sebagai syarat untuk mendaftar. b. Untuk mengetahui dan menganalisa apakah mendaftarkan perusahaan

sebagai bentuk izin untuk mendirikan usaha. 3.2. Tujuan Khusus a. Untuk mendapatkan bahan-bahan hukum yang digunakan sebagai penunjang pembuatan tesis untuk pemenuhan syarat agar memperoleh gelar Magister Kenotariatan di Universitas Airlangga; b. Untuk menambah wawasan, pengetahuan, dan kemampuan penulis

terkait dengan syarat untuk mendaftarkan perusahaan. 4. Manfaat Penelitian Manfaat yang diperoleh dari penelitian ini dapat ditinjau dari dua segi, yaitu segi teoritis dan segi praktis. Adapun manfaat-manfaat tersebut adalah sebagai berikut : 4.1. Manfaat Teoritis Hasil penulisan secara teoritis diharapkan dapat memberikan sumbangan wawasan terkait syarat untuk mendaftar perusahaan. 4.2. Manfaat Praktis Hasil penulisan tesis ini secara praktis, diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran maupun masukan ilmu terutama dalam bidang Ilmu

4

Hukum kepada masyarakat pada umumnya dan bagi orang-orang yang bekerja dalam bidang hukum pada khususnya. 5. Tinjauan Pustaka 5.1. Perusahaan Sebelum memberikan pengertian mengenai yang dimaksud dengan perusahaan, ada baiknya diberikan terlebih dahulu pengertian mengenai seseorang yang sangat penting keberadaannya di dalam perusahaan, yaitu pelaku usaha atau pengusaha. Menurut H. M. N. Purwosutjipto yang menyatakan sebagai berikut: ”Pengusaha adalah seseorang yang melakukan atau menyuruh melakukan perusahaan. Dia dapat melakukan perusahaan itu sendirian, namun dapat juga dia menyuruh orang lain membantunya dalam melakukan perusahaan itu, tetapi ada juga kemungkinan bahwa dia menyuruh orang lain melakukan perusahaannya. Jadi dia dapat saja tidak turut serta melakukan perusahaan itu, karena misalnya dia mempunyai kekurangan ahli, sedangkan dia mempunyai cukup modal untuk melakukan usaha itu dan dia ada minat untuk melakukan perusahaan yang bersangkutan”.4 Pengertian yang diberikan oleh H.M.N. Purwosutjipto di atas sebagaimana dikutip dalam Satsa, menunjukkan bahwa untuk dapat disebut sebagai pengusaha setidaknya seseorang menjalankan perusahaannya seperti berikut: a. ”Pengusaha adalah orang yang menjalankan perusahaan dengan melakukannya sendiri, bentuk perusahaannya sangat sederhana dan semua pekerjaan dilakukan sendiri. Bentuk perusahaan yang dijalankan biasanya adalah perusahaan perseorangan; 4

H. M. N. Purwosutjipto, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia (Pengetahuan Dasar Hukum Dagang), Cetakan ke-4, Penerbit Djambatan, Jakarta, 1984, h. 41.

5

b. Pengusaha adalah orang yang menjalankan perusahaan dengan dibantu

oleh orang lain, artinya pengusaha turut serta dalam melakukan perusahaan, jadi dia mempunyai dua kedudukan yaitu sebagai pengusaha dan pemimpin perusahaan. Bentuk perusahaan yang dijalankan biasanya adalah perusahaan besar; c. Pengusaha adalah orang yang menjalankan perusahaan dengan menyuruh orang lain, artinya dia tidak ikut serta dalam melakukan perusahaan dan hanya memiliki satu kedudukan sebagai seorang pengusaha. Bentuk perusahaan yang dijalankan biasanya adalah perusahaan yang berjenis besar”.5 Pertama kali istilah perusahaan dalam perundang-undangan terdapat di dalam Pasal 6, 16, dan 36 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) , tetapi pengertian secara jelas dari perusahaan itu sendiri tidak termuat dalam KUHD. Sebelumnya terjadi perubahan terhadap KUHD yaitu Menurut L.N. 1938-276 yang mulai berlaku pada tanggal 17 Juli 1938, bab kesatu yang berkepala: “Tentang pedagang-pedagang dan tentang perbuatan dagang” dan meliputi Pasal 2, 3, 4, dan 5 telah dihapuskan. Menurut Chidir Ali, dengan perubahan tersebut dicantumkan istilah baru yaitu perusahaan (bedrijf; ondenting), yang di mana pengertian perusahaan jauh lebih luas dari pengertian pedagang berdasar undang-undang yang lama.6

5

Satsa, Menjalankan Perusahaan, Urusan Perusahaan, Pengusaha, dan Pembantunya, www.pdfcoke.com, dipostkan tanggal 25 Februari 2009. 6

Chidir Ali, Badan Hukum, P.T. Alumni, Bandung, 2011, h. 102.

6

Dalam penjelasan pembentuk undang-undang (Memorie van Teoligting, MvT) mengemukakan sebagai berikut: “Perusahaan adalah keseluruhan perbuatan yang dilakukan, secara tidak terputus-putus, terang-terangan, dalam kedudukan tertentu untuk mencari laba.”7 Menurut Molengraaff mengenai defenisi perusahaan adalah sebagai berikut: “Perusahaan adalah keseluruhan perbuatan yang dilakukan secara terusmenerus, bertindak keluar, untuk memperoleh penghasilan, dengan cara memperdagangkan atau menyerahkan barang atau mengadakan perjanjian perdagangan”.8 Pengertian perusahaan

menurut

Molengraaff

tidak

menekankan

perusahaan sebagai sebuah badan usaha, melainkan hanya menyebutkan perusahaan sebagai sebuah kegiatan atau hanya terkhusus pada jenis usaha saja. Walaupun dalam pengertian tersebut telah memiliki aspek hukum perusahaan yaitu berupa perjanjian dengan pihak lain. Pandangan Polak dalam buku Abdulkadir Muhammad, memandang perusahaan dari sisi komersil yang artinya perusahaan ada apabila diperlukan perhitungan laba rugi berupa perkiraan dan pencatatan dalam pembukuan.9 Unsur pembukuan dalam pandangan perusahaan menurut Polak merupakan unsur yang wajib adanya dalam sebuah perusahaan, hal ini sesuai dengan Pasal 6 KUHD yang sekarang telah diganti dengan Undang-Undang

7

Sentosa Sembiring, Hukum Dagang, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2008, h. 14. 8

Molengraaff dalam Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perusahaan Indonesia, PT Citra Aditya Bakti, 2010, Bandung, h. 7 9 Ibid., h. 8.

7

Nomor 8 Tahun 1997 tentang Dokumen Perusahaan. Polak dalam pandangannya mengenai perusahaan juga tidak membahas perusahaan sebagai badan hukum. R. Soekardono mengemukakan bahwa untuk menafsirkan defenisi perusahaan dapat menggunakan jawaban dari Minister van Justitie di depan parlemen pada waktu itu yang berkaitan dengan perubahan Pasal 2 sampai Pasal 5 KUHD, yakni barulah dapat dikatakan ada perusahaan apabila pihak yang berkepentingan bertindak secara tidak terputus-putus dan terang-terangan di dalam kedudukan tertentu untuk mendapatkan laba bagi dirinya sendiri.10 Defenisi mengenai perusahaan secara jelas menurut hukum untuk pertama kali dirumuskan di dalam Pasal 1 huruf b Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan yang ditentukan sebagai berikut: “Perusahaan adalah setiap bentuk usaha yang menjalankan setiap jenis usaha yang bersifat tetap dan terus-menerus dan didirikan, bekerja, serta berkedudukan dalam wilayah negara Indonesia dengan tujuan memperoleh keuntungan dan atau laba.” Selain itu, terdapat juga defenisi perusahaan menurut Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1997 tentang Dokumen Perusahaan yang berbunyi: ”Perusahaan adalah setiap bentuk usaha yang melakukan kegiatan secara tetap dan terus menerus dengan memperoleh keuntungan dan atau laba, baik yang diselenggarakan oleh orang perorangan maupun badan usaha yang berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum, yang didirikan dan berkedudukan dalam wilayah negara Republik Indonesia.” Kedua defenisi perusahaan menurut undang-undang tersebut mengatur tidak hanya jenis usaha yang berupa kegiatan ekonomi, tetapi juga telah mengatur

10

R. Soekardono dalam Sentosa Sembiring., Loc.Cit.

8

mengenai bentuk usaha yang berwujud badan

usaha yang

didirikan, bekerja,

serta berkedudukadalam wilayah Negara Indonesia. Menurut undang-undang yang berlaku, perusahaan dianggap ada jika kegiatan dalam bidang ekonomi yang dilakukan terus-menerus dan terangterangan, terhadap pihak ketiga, dengan maksud untuk mendapat keuntungan di dalam wujud sebuah badan usaha atau wajib untuk memiliki suatu bentuk usaha. Berdasarkan defenisi perusahaan yang dikemukakan oleh Molengraaf, Polak, dan pembentuk undang-undang Abdul Kadir Muhammad merumuskan defenisi perusahaan sebagai berikut: “Perusahaan adalah setiap badan usaha yang menjalankan kegiatan dalam bidang perekonomian secara terus-menerus, bersifat tetap, dan terangterangan dengan tujuan memperoleh keuntungan dan atau laba yang dibuktikan dengan catatan (pembukuan).”11 5.2. Daftar Perusahaan Kemajuan dan peningkatan pembangunan nasional pada umumnya dan perkembangan kegiatan ekonomi pada khususnya yang menyebabkan pula berkembangnya dunia usaha dan perusahaan, memerlukan adanya Daftar Perusahaan yang merupakan sumber informasi resmi untuk semua pihak yang berkepentingan mengenai identitas dan hal-hal yang menyangkut dunia usaha dan perusahaan yang didirikan, bekerja serta berkedudukan di wilayah Negara Republik Indonesia. Adanya Daftar Perusahaan itu penting untuk Pemerintah guna melakukan pembinaan, pengarahan, pengawasan dan menciptakan iklim dunia usaha yang sehat karena Daftar Perusahaan mencatat bahan-bahan

11

Abdul Kadir Muhammad, Op.Cit., h. 13.

9

keterangan yang dibuat secara benar dari setiap kegiatan usaha sehingga dapat lebih menjamin perkembangan dan kepastian berusaha bagi dunia usaha.12 Daftar Perusahaan adalah daftar catatan resmi yang diadakan menurut aturan atau berdasarkan ketentuan undang-undang ini dan atau peraturan pelaksanaannya, dan memuat hal-hal yang wajib didaftarkan oleh setiap perusahaan serta disahkan oleh pejabat yang berwenang dari kantor pendaftaran perusahaan.”13 Menurut Pasal 1 huruf (a) Undang-Undang No 3 Tahun 1982 : “Daftar Perusahaan adalah daftar catatan resmi yang diadakan menurut atau berdasarkan ketentuan Undangundang ini dan atau peraturanperaturan pelaksanaannya, dan memuat hal-hal yang wajib didaftarkan oleh setiap perusahaan serta disahkan oleh pejabat yang berwenang dari kantor pendaftaran perusahaan.” Salah satu tujuan untuk daftar perusahaan untuk melindungi masyarakat atau konsumen dari kemungkinan kerugian akibat perbuatan yang tidak jujur atau insolvable suatu perusahaan. Dengan kewajiban pendaftaran perusahaan dapat diketahui keadaan perusahaan melalui daftar perusahaan yang sifatnya terbuka untuk semua pihak.14 Sifat daftar perusahaan menurut Pasal 3 Undang-Undang No 3 Tahun 1982 adalah terbuka untuk semua pihak, artinya daftar perusahaan itu dapat dipergunakan oleh pihak ketiga sebagai sumber informasi. 15 Setiap pihak yang berkepentingan, setelah memenuhi biaya administrasi yang ditetapkan oleh 12

https://josephinejoe.wordpress.com/2014/06/11/wajib-daftar-perusahaan/, diunggah pada 11 Juni 2014, diakses pada 28 November 2018, pukul 11.18 WIB. 13

Elsi Kartika Sari dan Advendi., Loc.Cit.

14

Sudaryat Permana, Bikin Perusahaan itu Gampang, PT Buku Kita, 2009, Yogyakarta, h. 95.

15

Handri Raharjo, Op. Cit. h. 12.

10

Menteri, berhak

memperoleh keterangan yang diperlukan dengan cara

mendapatkan salinan atau petikan resmi dari keterangan yang tercantum dalam Daftar Perusahaan yang disahkan oleh pejabat yang berwenang untuk itu dari kantor pendaftaran perusahaan.16 Setiap perusahaan wajib didaftarkan dalam daftar perusahaan dan perusahaan yang wajib didaftarkan adalah setiap perusahaan yang berkedudukan di wilayah NKRI menurut ketentuan perundang-undangan yang berlaku termasuk di dalamnya kantor cabang, kantor pembantu, anak perusahaan, dan agen serta perwakilan dari perusahaan itu yang mempunyai wewenang untuk mengadakan perjanjian. Dalam pengertian perusahaan ini termasuk perusahaan asing yang berkedudukan dan menjalankan usahanya di wilayah Negara Republik Indonesia menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Agen dan perwakilan perusahaan diperlakukan sama dengan perusahaan.17 Pendaftaran wajib dilakukan oleh pemilik atau pengurus perusahaan yang bersangkutan atau dapat diwakilkan kepada orang lain dengan memberikan surat kuasa yang sah. Apabila salah seorang dari mereka telah memenuhi kewajibannya, yang lain dibebaskan dari kewajiban tersebut.18 5.3. Perizinan Perizinan adalah pemberian legalitas kepada seseorang atau pelaku usaha/kegiatan tertentu, baik dalam bentuk izin maupun tanda daftar usaha. Izin

16

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar perusahaan, BAB II Tujuan dan Sifat, pasal 4, h. 2. 17

Handri Raharjo, Op. Cit., h.13.

18

Sudaryat Permana, Op. Cit., h. 96.

11

ialah salah satu instrumen yang paling banyak digunakan dalam hukum administrasi, untukmengemudikan tingkah laku para warga.19 Tidaklah mudah memberikan defenisi untuk menyatakan pengertian perizinan seperti yang dikemukakan oleh Sajchran Basah. 21 Pendapat yang dikatakan Sajchran Basah sama dengan yang berlaku di negeri Belanda, seperti dikemukakan van der Pot “Het is uiterst moelijk voor begrip vergunning een definitie te vinden” (sangat sukar membuat defenisi untuk menyatakan penegrtian izin itu).20 Hal ini disebabkan oleh antara para pakar tidak terdapat persesuaian paham, masingmasing melihat dari sisiyang berlainan terhadap objek yang didefenisikannya. Sukar memberikan defenisi bukan berarti tidak terdapat defenisi, bahkan ditemukan sejumlah defenisi yang beragam.21 Menurut Utrecht, bilamana pembuat peraturan tidak umumnya melarang suatu perbuatan, tetapi masih juga memperkenankannya asal saja diadakan secara yang ditentukan untuk masing-masing hal konkret, maka perbuatan administrasi negara yang memperkenankan perbuatan tersebut bersifat suatu izin (vergunning). Izin (vergunning) adalah suatu persetujuan dari penguasa berdasarkan undangundang atau peraturan pemerintah untuk dalam keadaan tertentu menyimpang dari ketentuan-ketentuan larangan peraturan perundang-undangan. Izin dapat juga diartikan sebagai dispensasi atau pelepasan/pembebasan dari suatu larangan. Hal pokok pada izin adalah bahwa suatu tindakan dilarang, kecuali diperkenankan dengan tujuan agar dalam ketentuan-ketentuan yang bersangkutan 19

20

21

Philipus M. Hadjon, Pengantar Hukum Perizinan, Yuridika, Surabaya, 1993, h. 2. E. Utrecht, Pengantar dalam Hukum Indonesia, Ichtiar, Jakarta, 1957, h. 187. Ibid., h. 186.

12

dengan perkenan dapat dengan teliti diberikan batas-batas tertentu bagi tiap kasus. Konsep yang menjadi dasar pemberian izin adalah sebagai instrument pengawas terhadap perilaku masyarakat. Pemberian izin dapat juga diartikan dengan pembatasan-pembatasan sebagai keputusan yang bersifat menguntungkan. Mengenai perizinan, ranah Hukum Administrasi Negara yang mengaturnya, karena hukum ini mengatur cara-cara menjalankan tugas (hak dan kewajiban) dari kekuasaan alat-alat perlengkapan negara. Hukum Administrasi Negara belajar tentang perizinan karena izin merupakan suatu hubungan antara pemerintah. dengan masyarakat. Pejabat administratif menjadi pihak yang berwenang mengeluarkan izin dalam hal perizinan, kaitannya adalah dengan tugas pemerintah dalam hal memberikan pelayanan umum kepada masyarakat. Dalam hal pelayanan publik, izin merupakan bentuk pelayanan yang harus diberikan kepada masyarakat dalam bentuk pelayanan administratif, yaitu pelayanan yang menghasilkan berbagai bentuk dokumen resmi yang dibutuhkan oleh publik. Izin dapat berbentuk tertulis dan atau tidak tertulis, namun dalam Hukum Administrasi Negara izin harus tertulis, kaitannya apabila terjadi sesuatu hal yang tidak diingikan, maka izin yang berbentuk suatu keputusan adminstrasi negara (beschicking) dapat dijadikan sebagai alat bukti dalam pengadilan. Izin yang berbentuk beschiking, sudah tentu mempunyai sifat konkrit (objeknya tidak abstrak, melainkan berwujud, tertentu dan ditentukan), individual (siapa yang diberikan izin), final (seseorang yang telah mempunyai hak untuk melakukan suatu perbuatan hukum sesuai dengan isinya yang secara definitif dapat menimbulkan akibat hukum tertentu). Unsur-unsur mana yang harus dipenuhi

13

agar hukum (peraturan perundang-undangan) dapat digunakan secara efektif sebagai suatu instrument (kebijakan publik) dan batas-batas kemungkinan penggunaan yang demikian itu adalah suatu langkah yang penting baik secara teoritik maupun praktik, karena itu perkembangan studi-studi kebijaksanaan dalam peraturan perundang-undangan menyangkut permasalahan hukum dan perilaku sosial.22 Pengertian izin menurut devinisi yaitu perkenan atau pernyataan mengabulkan. Sedangkan istilah mengizinkan mempunyai arti memperkenankan, memperbolehkan, tidak melarang. Secara garis besar hukum perizinan adalah hukum yang mengatur hubungan masyarakat dengan Negara dalam hal adanya masyarakat yang memohon izin. Perizinan dalam arti luas adalah suatu persetujuan dari penguasa berdasarkan undang-undang. Perizinan dalam arti sempit adalah pembebasan, dispensasi dan konsesi. Pengertian izin menurut definisi yaitu perkenan atau pernyataan mengabulkan. Sedangkan istilah mengizinkan

mempunyai

arti

memperkenankan,

memperbolehkan,

tidak

melarang. Secara garis besar hukum perizinan adalah hukum yang mengatur hubungan masyarakat dengan Negara dalam hal adanya masyarakat yang memohon izin. Izin merupakan perbuatan Hukum Administrasi Negara bersegi satu yang diaplikasikan dalam peraturan berdasarkan persyaratan dan prosedur sebagaimana ketentuan perundang-undangan. 6. Metode Penelitian 6.1. Tipe Penulisan

22

Bambang Sunggono, Hukum dan Kebijaksanaan Publik, Sinar Grafika, Jakarta, 1994, h. 155.

14

Tipe penulisan yang digunakan dalam penyusunan proposal ini adalah Yuridis Normatif, yaitu penulisan dengan menggunakan bahan-bahan hukum primer untuk memecahkan fakta atau persoalan hukum, dan untuk mendapatkan bahan hukum tersebut serta menganalisa melalui penelusuran studi pustaka (Peraturan Perundang-undangan dan Literatur). Menurut Peter Mahmud Marzuki : “.. penelitian hukum dilakukan untuk memecahkan isu hukum yang dihadapai”.23 6.2. Pendekatan Masalah “Pendekatan yang digunakan di dalam penelitian hukum ini adalah pendekatan

peraturan

perundang-undangan

(statute

approach),

dan

pendekatan kasus (case approach)”.24 Statute approach yaitu pendekatan yang dilakukan dengan mengkaji peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan berkaitan dengan kasus yang dibahas. Sedangkan pendekatan secara conseptual approach yaitu suatu pendekatan yang dilaksanakan dengan menggunakan literatur-literatur dan pendapat para sarjana sebagai pendukung. 6.3.

Sumber Bahan Hukum Sesuai dengan karakter penulisan yang normatif, penulisan ini menggunakan bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder yang selanjutnya diolah

23

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, cet.12, Kharisma Utama Putra, Surabaya, 2016, h. 60. 24

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2006, h. 93.

15

dan dikelompokkan berdasarkan kriteria yang cermat sesuai dengan perumusan masalah penelitian untuk dianalisis. Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang mengikat dalam bentuk peraturan perundang-undangan, khususnya yang mengatur atau berkenaan dengan pokok masalah yang dibahas dalam penelitian ini. Sedang bahan hukum sekunder merupakan bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer.25 1. Bahan

Hukum Primer, yaitu yaitu bahan hukum yang bersifat mengikat,

berupa peraturan perundang-undangan, dalam hal ini adalah Kitab UndangUndang Hukum Dagang, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1997 tentang Dokumen Perusahaan dan peraturan lain yang berkaitan dengan materi yang dibahas. 2. Bahan

sekunder yaitu bahan hukum yang menunjang bahan hukum primer,

berupa buku-buku, jurnal-jurnal dan makalah-makalah yang ditulis oleh para ahli hukum, termasuk laporan hasil penelitian sebelumnya, sepanjang isinya relevan dengan pokok masalah yang dibahas dalam tulisan ini. 6.4. Pengumpulan Analisa Bahan Hukum

Sumber bahan hukum yang berupa bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder tersebut di atas, diolah atau dianalisis secara kualitatif. Analisis ini dilakukan dalam rangka menjawab pokok permasalahan dalam penelitian ini.

25

Soekamto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, cet IV, Raja Gafindo Persada, Jakarta, h. 12-13

16

Dalam penelitian hukum normatif, analisis hukum juga dapat dilakukan dengan menggunakan metode interprestasi. Analisis bahan hukum dalam penelitian ini dilakukan melalui beberapa tahap. Tahap pertama, bahan hukum primer yang berupa peraturan perundangundangan diidentifikasi sesuai dengan pokok masalah yang dibahas. Tahap kedua, bahan primer tersebut diklasifikasi dan dicari relevansinya dengan bahan hukum sekunder. Setelah bahan-bahan hukum tersusun menurut klasifikasi masalah, maka tahap ketiga adalah melakukan analisis bahan hukum. Setelah bahan hukum dianalisis, pada tahap keempat yaitu menarik kesimpulan terhadap pokok masalah berdasarkan bahan-bahan hukum tersebut diatas. 7. Sistematika Penulisan Sistematika penyusunan proposal ini dibagi menjadi empat bab dan masingmasing bab terdiri dari sub-sub bab sebagai berikut: BAB I : Pendahuluan. Bab yang mengawali seluruh rangkaian uraian dan pembahasan, sehingga telah tepat jika diletakkan pada awal pembahasan. Sub bab pendahuluan terdiri dari latar belakang masalah yang memberikan gambaran umum permasalahan yang akan dijabarkan, kemudian dilanjutkan dengan rumusan masalah, alasan pemilihan judul, tujuan penulisan, metode penelitian, dan pertanggungjawaban sistematika. BAB II : Tinjauan umum tentang pengertian perusahaan, daftar perusahaan dan izin untuk mendirikan perusahaan Bab ini merupakan landasan teori yang

17

berisikan tentang kajian teori untuk dipergunakan sebagai dasar pembahasan masalah. Sub bab uraian secara teoritis yang terdiri dari pengertian-pengertian. BAB III : Bab ini membahas tentang keabsahan syarat untuk mendaftarkan perusahaan yang diatur dalam Peraturan Menteri Nomor 76 Tahun 2018 dan membahas mendaftarkan perusahaan sebagai bentuk izin kepada Pemerintah untuk mendirikan usaha. Pada sub bab ini disajikan dalam bentuk pembahasan atas permasalahan, sehingga merupakan inti pembahasan dari proposal ini. BAB IV : Penutup. Bab ini merupakan akhir dari seluruh rangkaian pembahasan. Sub babnya terdiri dari simpulan yang berisi hasil pembahasan sekaligus jawaban atas masalah dan saran sebagai bahan masukan yang dapat digunakan untuk menanggulangi permasalahan-permasalahan serupa dikemudian hari.

Related Documents


More Documents from ""