Mentri agama dan menteri dalam negeri no. 1 tahun 1979 di atas bisa dirafsirkan sebagai bukti dekatnya atau membaiknya hubungan umat islam dengan pemerintah order baru, kendati kasus Fatwa MUI tentang natal tahun 1981 bisa juga dilihat sebagai ganguan kecil atas hubungan itu. Tetapi tak lama kemudian pertentangan politik antara islam dan pemerintah order baru terjadi lagi,yaitu ketika pemerintah mencetuskan gagasan tentang pentingnya menjadi pancasila sebagai asas tunggal bagi semua organisasi politik maupun kemasyarakatan. Pada tanggal 18 maret 1982 ini berawal dari bentrok antara massa PPP dengan massa Golkar yang sedang berkampanye di lingkungan patung pembebasan irian barat di kawasan lapangan banteng, jakarta. Bentrok ini kemudian berkembang menjadi perusakantoko-toko milik warga keturunan tiongkong dan gedung-gedung pemerintah di berbagai penjuru jakarta. Benarbenar bebas Golkar dan mengalami kelumpuhan total. Setelah sekitar enam jam beraksi, para demontran itu menghentikan aksinya. Tercatat 100 orang terluka dirumah sakit pusat angkatan darat “Gatot subroto” dua anggota polisi dan enam anak sekolah meninggal dunia, tidak kurang 100 mobil dan 75 sepeda motor hangus terbakar, dan tidak kurang 400 orang demontran ditahan perisriwa 18 maret 1982 ini ditafsirkan presiden soeharto sebagai belum bersatunya seluruh lapisan masyarakat untuk menerima pancasila. Teriakan massa yang mengelu-elukan ka’bah sebagai simbol PPP berasas islam seakan membenarkan tafsiran presiden ini. terutama kepada PPP yang masih mencantumkan islam sebagai asasnya ketika ia dibentuk pada tahun 1973, dan tidak kepada organisasi kemasyarakatan. Hal ini dibantah oleh abdul gafur yang saat itu menjadi menteri Negara pemuda dan olahraga. Kesimpangsiuran pandangan tentang perlu tidaknya asas tunggal pancasila dikenakan pada organisasi kemasyarakatan segera diluruskan oleh presiden soeharto dalam beberapa kesempatan, misalnya dalam pidato kenegaraan pada tanggal 16 agustus 1983 dan musyawarah Nasional III golongan karya pada tanggal 20 Oktober 1983. Pemerintah juga berusaha mensosialisasikan gagasan asas tunggal itu, baik melalui serangkaian pidato presiden maupun penjelasan dari sejumlah menteri, termasuk penjelasan menteri agama kepada ormas islam, yang pada pokoknya menekankan bahwa pancasila tidak bertentangan, malah sebaliknya sangat serasi dengan nilai-nilai yang terkandung dalam islam. Setelah dipandang cukup maka pada tanggal 23 juni 1984 pemerintah menyampaikan RUU tentang partai politik dan golongan karya dan RUU tentang organisasi kemasyarakatan di samping tiga RUU lainya. RUU ini disetujui DPR pada tanggal 13 mein1985 dan ditandatangani
presiden soeharto pada tanggal 17 juni 1985, dan dikenal sebagai undang-undang No. 8/1985 tentang organisasi kemasyarakatan. Gagasan ini menimbulkan pro dan kontra. Khusus dikalangan organisasi-organisasi islam terdapat reaksi dan tanggapan yang beragam, Thaba megelompokannya menjadi tiga kategori. 1. Merima tanpa reserve alias pasif-konstitusional 2. Menerima karena terpaksa 3. Menolak sama sekali alias ekstrem- inkonstitusional. Kategori yang pertama diwakili oleh PPP sebagai partai politik islam dan sejumlah ormas islam lainya, termasuk NU dan perti. PPP menerima UU tersebut tanpa syarat antara lain karena posisi mereka yang telah sangat terjepit dan juga menerima asas tunggal pada tahun 1983 dengan alasan bahwa tidak ada yang perlu dipertentangkan antara islam dan pancasila. Kategori yang kedua antara lain adalah Muhamadiyah dan HMI. PII memang dikenal sebagai ormas pelajar islam yang konsisten mengamalkan ajaran islam, sikap PII terhadap pancasila menurut keputusan kongres 1990 adalah sebagai dasar dari filsafat negara indonesia sebagai konsensus nasional. Karena pancasila adalah filsafat negara dan bukan agama maka dan jangan sekali-kali dipandang sebagai agama. Untuk itu mereka berpendapat bahwa umat islam harus membagi agama. Untuk itu mereka berpendapat bahwa umat islam harus memiliki sikap pertama, tidak dapat memandang pancasila sebagai sesuatu yang sakral, keramat, abadi, sumber dari segala sumber, mutlak yaitu memandang pancasila sebagai agama, apalagi menganggap pancasila melebihi atau mengatasi agama. Kedua, pancasila tidak dapat menggantikan agama (islam) dengan agama lain atau aliran lain, kepercayaan (mysticism) ataupun ideologi dan filsafat. Tetapi pada 7 september 1984 seorang babinsa bernama sersan satu Hermanu dianggap telah lancang memasuki mushala Assa’adiah di koja selatan tanpa membuka alas kaki. Hal ini mengundang emosi sejumlah orang yang ada di mushala tersebut. Sertu hermanu lalu dikejar massa, namun berhasil meloloskan diri. Masyarakat-masyarakat umat islam juga dikagetkan oleh peristiwa GPK Warsidi di lampung pada tahun 1980 yang juga dianggap sebagai ungkapan penolakan terhadap pancasila. Sebenarnya kelompok warsidi adalah orang-orang yang berencana mendirikan perkampungan khusus untuk memudahkan
mereka
melaksanakan syariat islam. Entah kenapa mereka kemudian ditangkap dengan tuduhan
membunuh beberapa anggota ABRI, lalu mereka diserang dengan suatu operasi khusus militer di malam hari.`` Bagaimana dengan respon kalangan kristen? Dari uraian terdahulu jelas terlihat bahwa sejal 1945 umat kristen melalui tokoh-tokoh
tertentu, gereja maupun partai potitik kristen (
parkindo dan partai katolik, sebelum berfusi kedalam PDI) terus berjuang agar pancasila tetap menjadi dasar negara. Namun demikian, ketika pemerintah menghendaki agar pancasila dijadikan satu-satunya asas oleh organisasi kemasyarakatan, dan gereja-termasuk perhimpunannya ( seperti DGI/PGI,PII,DPI,dll) juga dimasukan kedalam kategori ormas, maka gereja perlu menentukan sikapnya dan tidak dengan mudah menerimanya. Ada yang berpendapat bahwa pancasila dapat dijadikan sebagai asas gereja, bahkan perlu dilihat sebagai anugrah Tuhan kepada gereja. Tetapi ada pula yang berpendapat bahwa pancasila tidak dapat dijadikan asas atau dasar gereja, karena dasar gereja satu-satunya adalah Yesus Kristus (1 Korintus 3:11). Karena tidak terdapat kesepakatan, maka sidang BPL, DGI itu memutuskan untuk menyerahkan agar dibalas lebih lanjut pada Sidang Raya X di Ambon, 21-31 Oktober 1984. Pada sidang raya ini akhirnya DGI- yang berganti nama menjadi PGI- mengambil “jalan tengah”. Didalam pasal 3 dari Tata Dasarnya PGI tetap menyatakan Yesus Kristus sebagai dasar gereja, lalu “dalam terang dasar seperti tercantum pada pasal 3 di atas. Sementara itu MAWI atas nama gereja dan umat katolik setelah melalui pergumulan yang panjang pada akhirnya, melalui sidnag parauskup november 1984, juga menerima pancasila sebagai asas dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara”. Demikian kepada lembaga-lembaga keagamaan diberi peluang untuk tetap berdasarkan agama dan keyakinan masing-masing di samping menerima pancasila sebagai asas kehidupan bermasyarakat berbangsa dan bernegara. Kembali ke kalangan islam, penerimaan mereka-walau tidak semua terhadap pancasila sangat mempengaruhi hubungan antara mereka dan pemerintah. Pemerintah mulai bersikap akomodatif dengan segala hal yang berkaitan dengan kebutuhan umat islam. Penghapusan larangan mengenakan jilbab di sekolah-sekolah pada tahun 1986, pengesahan RUU sistem pendidikan Nasional, pengesahan RUU peradilan agama pelarangan sumbangan dana sosial berhadiah. Isu utama yang disorot sehubungan dengan RUU pendidikan nasioanl yang diajukan pemerintah melalui menteri pendidikan.
Kepastian jawaban atas sederet pertanyaan ini terutama penting bagi kalangan islam, karena selama ini banyak di antara mereka yang kwatir atau mengeluh bahwa sekolah/perguruan tinggi kristen telah juga digunakan sebagai alat kristenisasi dengan cara mewajibkan siswa/ mahasiswa beragama islam untuk mengikuti pendidikan agama kristen ini misalnya sudah terungkap sejak 1960-an. Pembahasan yang serius tentang tempat pendidikan agama didalam kurikulum yang diatur secara nasional setidak-tidaknya sudah mulai muncul pada sidang umum MPR tahun 1973. RUU pendidikan nasional ini diprotes oleh kelompok islam, antara lain karena RUU ini tidak mengatur kewajiban penyelenggaraan pendidikan agama di sekolah-sekolah. Untuk mengatasi kebuntuan dalam pembahasan RUU itu di panitia khusus yang dibentuk didalam tubuh DPR, FPP mengusulkan supaya terdapat pasal 28 ayat (2), pada bulan maret 1989 DPR menyetujui RUU pendidikan nasional menjadi UU sistem pendidikan Nasional (untuk selanjutnya diundangkan) dengan catatan khusus dari FPDI, yaitu agar penjelasan atas pasal 20 ayat (2) dihapuskan karena tidak sesuai GBHN. Dalam kenyataannya penjelasan itu tidak pernah dihapus, bahkan kemudian ditampung juga didalam peraturan pemerintah (PP) no. 28/1990 pasal 16 dan PP 29/1990 pasal 17 yang dengan tegas menyatakan “hak siswa untuk memperoleh pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya, menurut kalangan islam rumusan penjelasan pasal 20 ayat (2) dari UU SPN no.2/1989 itu. Kalangan kristen tidak dapat menerima rumusan penjelasan atas ayat 28 (2) itu, lalu mengajukan kebertan sambil meminta kepada DPR agar hal ini dibahas kembali. Seperti telah disinggung, dengan adanya penjelasan yang dimiliki maka kelompok kristen khwatir bahwa sekolah-sekolah kristen, yang
sebagian muridnya adalah muslim, akan diwajibkan untuk mengerjakan
pendidikan agama islam. itu berarti bahwa sekolah-sekolah itu akan kehilangan kekahsanya, sebagaimana dinyatakan dalam tujuan pendirinya, tetapi kalangan islam tertentu misalnya Muhammadiyah melalui wakil ketuanya Lukman Harun Ternyata dalam rapat kerja DPR dengan Mendikbud bulan oktober 1990 soal itu dibahas kembali. Menyatakan ketentuan tentang pendidikan agama harus sesuai dengan agama guru dan siswa hanya diwajibkan disekolah-sekolah negri, sedangkan sekolah-sekolah swasta tetap dapat mempertahankan ciri khasnya. Untuk mendukung penyataannya itu Fuad
Hassan
menggunakan pengadaian. Dalam kenyataanya, hingga tahun 2003 sekolah-sekolah kristen hanya memberikan pendidikan agama kristen kepada semua siswanya seperti juga sekolahsekolah islam hanya memberikan pendidikan agama islam. Dibanyak sekolah kristen, kepada
orangtua murid baru selalu disampaikan formulir berisi pernyataan tidak keberatan bila anaknya memperoleh pendidikan agama sesuai dengan kekhasan sekolah yang kalangan islam tertentu, sehingga mereka terus berjuang agar rumusan batang tubuh UUSPN itu sendiri, bukan hanya didalam penjelasan dan hasil perjuangan itu terlihat di dalam UUSPN yang baru, yang disarankan DPR pada tanggal 11 juni 2003. Menjadi pegangan yang seragam bagi hakim-hakim agama di seluruh indonesia yang selama ini memang sudah menjalankan peradilan agama. Peradilan agama sendiri sebenarnya sudah lama ada di negri ini, bukan menurut pengamatan tertentu sudah zaman kerajaan- kerajaan islam, sebelum kedatangan penjajah barat. Kendati kalangan islam dan presiden menegaskan bahwa RUU PA tidak ada kaitanya dengan piagam jakarta ataupun dengan niat untuk mendikriminasikan kalangan non islam di bidang hukum, tetapi saja muncul reaksi yang bernada prihatin ataupun khawatir, walaupun tidak segencar ketika membahas RUU perkawinan dan RUU pendidikan nasional. PGI dalam sidang majelis pekerja lengkap (MPL) April 1989 dan dalam surat kepala DPR 10 mei 1989, mengungkapkan kekwatiran bahwa RUU PA ini dapat mengganggu konsensus nasional yang menetapkan pancasila sebagai satu-satunya asas dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara lebih lanjut keputusan sidang MPL PGI mengenai pokok ini. untuk mengakhiri problem ini, fraksi ABRI kemudian mengusulkann agar dalam pasal 1 dinyatakan bahwa subjek hukum RUU tersebut hanyalah umat islam. Menginstruksikan kepada mentri agama untuk menggunakan kompilasi hukum islam di indonesia yang dihasilkan oleh proyek kompikasi hukum islam tadi sebagai dasar umat berbagai keputusan di pengadilan-pengadilan agama.a