LAPORAN KUNJUNGAN PERUSAHAAN “KESEHATAN KERJA DAN ERGONOMI “ PC. GABUNGAN KOPERASI BATIK INDONESIA (PC. GKBI)
DISUSUN OLEH: KELOMPOK 3
dr. Krisnawati Intan Suwignyo
dr. Marita Puspitasari
dr. Lamtioma Roito Sri Hartini Gultom
dr. Markus Yushan Nandiwardhana
dr. Latifa Zulfa Shofiana
dr. Matius Dimas Reza Dana Ismaya
dr. M. Gazali Hafid
dr. Miftahuljannah Sudirman
dr. M. Sulistiawan Nur
dr. Muhammad Reza Wardana
PELATIHAN HIPERKES DAN KESELAMATAN KERJA BAGI DOKTER PERUSAHAAN/INSTANSI BALAI HIPERKES DAN KESELAMATAN KERJA DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA AGUSTUS 2018
KATA PENGANTAR Puji dan syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmat dan karuniaNya sehingga kami telah berhasil menyelesaikan laporan kunjungan Perusahaan PC. Gabungan Koperasi Batik Indonesia (PC. GKBI) dengan topik pembahasan Kesehatan Kerja dan Ergonomi. Makalah ini merupakan tugas akhir dalam pelaksanaan pelatihan Hiperkes dan Keselamatan Kerja bagi dokter perusahaan yang berlangsung selama tujuh hari di Yogyakarta (26 Agustus-1 September 2018). Makalah ini berisikan tentang hasil observasi, analisa dan diskusi kami pada saat berkunjung ke PC. Gabungan Koperasi Batik Indonesia (PC. GKBI). Kami berharap makalah ini dapat memberikan pengetahuan dan informasi kepada kita semua mengenai penerapan ilmu kesehatan kerja dan ergonomi dalam profesi kita sebagai dokter perusahaan. Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna sehingga kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun semata-mata demi kesempurnaan makalah ini.Akhir kata kami ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir.
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Keselamatan dan kesehatan kerja merupakan suatu pemikiran dan upaya untuk menjamin keutuhan dan kesempumaan baik jasmani maupun rohani.Dengan keselamatan dan kesehatan kerja, maka para pihak diharapkan dapat melakukan pekerjaan dengan aman dan nyaman. Pekerjaan dikatakan aman jika apapun yang dilakukan oleh pekerja tersebut risiko yang akan muncul dapat dihindari. Lingkungan kerja atau tempat kerja dikatakan baik apabila dalam kondisi tertentu manusia dapat melakukan kegiatannya dengan optimal.Ketidaksesuaian lingkungan kerja dengan manusia yang bekerja pada lingkungan tersebut dapat terlihat akibatnya dalam jangka waktu tertentu, seperti turunnya produktivitas kerja, efisiensi dan ketelitian.Keselamatan dan kesehatan kerja serta lingkungan fisik tempat kerja sangat berpengaruh terhadap produktivitas kerja. Seorang pekerja akan mampu bekerja dengan baik apabila ditunjang oleh lingkungan yang baik pula sehingga dicapai hasil yang optimal. Setiap karyawan yang bekerja sangat membutuhkan perhatian salah satu contohnya adalah perhatian tentang kesehatan dan keselamatan kerja sehingga dengan terjaminnya rasa aman tersebut maka karyawan dapat bekerja lebih baik sehingga produktivitas dari karyawan dapat meningkat. Kondisi keselamatan dan kesehatan kerja pada suatu perusahaan menentukan baik tidaknya suatu performansi kerja dalam perusahaan tersebut.Kemampuan seseorang sangat bergantung pada gabungan dari karakteristik pribadi, kapasitas fisiologis, psikologis serta biomekanika yang dimilikinya sedangkan aktivitas yang dilakukan tergantung kepada tugas, organisasi dan Iingkungan yang dapat dihadapi.
Untuk menunjang terbentuknya sumber daya yang sehat dan produktif, kesehatan dan keselamatan pekerja juga harus mendapat perhatian.Pada kenyataannya, ratusan tenaga kerja di seluruh dunia saat ini bekerja pada kondisi yang tidak aman dan dapat menyebabkan gangguan kesehatan. Menurut International Labor Organization (ILO), setiap tahun terjadi 1,1 juta kematian yang disebabkan oleh penyakit atau kecelakaan akibat hubungan kerja. Sekitar 300 ribu kematian terjadi dari 250 juta kecelakaan, sedangkan sisanya adalah kematian karena penyakit akibat hubungan kerja, dimana diperkirakan terjadi 160 juta penyakit akibat hubungan kerja baru setiap tahun. Namun besamya angka diatas tidak ditunjang oleh pelayanan kesehatan yang memadai dari sektor industri.Menurut WHO diperkirakan hanya 5-10% pekerja di negara berkembang dan 20-50 % pekerja di negara industri yang mempunyai akses terhadap pelayanan kesehatan kerja yang memadai. Potensi bahaya yang muncul dapat berupa cara kerja dari tenaga kerja, peralatan kerja yang canggih, beban kerja yang berat yang akan mengakibatkan penyakit akibat kerja, kecacatan bahkan kematian. Antisipasi terhadap potensi bahaya tersebut harus dilaksanakan sedini mungkin. Sebagai salah satu aspek perlindungan tenaga kerja yang sarat dengan muatan hak asasi manusia termasuk salah satu syarat untuk memenuhi tuntutan globalisasi sehingga K3 perlu mendapat
perhatian
kita
untuk
lebih
dimasyarakatkan
kepada
seluruh
dunia
usaha.Pengembangan dan peningkatan K3 di sektor kesehatan perlu dilakukan dalam rangka menekan serendah mungkin risiko kecelakaan dan penyakit yang timbul akibat hubungan kerja untuk meningkatkan produktivitas dan efisiensi kerja. Meskipun ketentuan mengenai kesehatan dan keselamatan kerja telah diatur sedemikian rupa, tetapi dalam praktiknya tidak seperti yang diharapkan.Begitu banyak faktor di lapangan yang mempengaruhi kesehatan dan keselamatan kerja seperti faktor manusia, lingkungan dan psikologis.Masih banyak perusahaan yang tidak memenuhi standar kesehatan dan
keselamatan kerja sehingga kasus kecelakaan kerja masih sering didapatkan.Oleh karena itudisamping perhatian perusahaan pemerintah juga perlu memfasilitasi dengan peraturan atau aturan perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja. 1.2 Dasar Hukum Dengan alasan untuk melindungi para tenaga kerja dan pengembangan usaha demi tercapainya tidak adanya kecelakaan dan penyakit akibat kerja maka ada beberapa landasan yang digunakan oleh perusahaan sebagai berikut: 1.
UU No. 1 tahun 1970 tentang kesehatan dan keselamatan kerja
2.
UU No. 13 tahun 2003 pasal 86 tentang ketenagakerjaan.
3.
UU No. 23 tahun 1992 tentang kesehatan
4.
UU No. 3 tahun 1992 tentang jaminan sosial tenaga kerja.
5.
Permenakertrans No.03/Men/1982 tentang pelayanan kesehatan kerja
6.
Kepres RI No.22 tahun 1993 tentang penyakit yang disebabkan oleh pekerjaan atau lingkungan kerja.
7.
Kepmenakertrans no 66 tahun 2004 tentang pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS di tempat kerja.
8.
Perrmenakertrans No. 1 / Men /1 /2005 tentang pencegahan penyalahgunaan narkoba, psikotropika dan zat adiktif lainnya di tempat kerja.
9.
Permenakertrans No.01/Men/1976 tentang kewajiban pelatihan hiperkes bagi dokter perusahaan.
10.
Permenakertrans No. 01 / Men / 1979 tentang kewajiban pelatihan hiperkes bagi paramedik perusahaan.
11.
Permenakertrans No.02/ Men / 1980 tentang pemeriksaan kesehatan tenaga kerja dalam penyelenggara keselamatan kerja.
12.
Permenakertrans No.03/Men/1983 tentang pelayanan kesehatan kerja.
13.
SE Menakertrans No.SE.01/Men/1979 tentang pengadaan kantin dan ruang makan.
14.
SE Dirjen Binawas No.SE.86/BW/1989 tentang perusahaan katering yang mengelola makan bagi tenaga kerja.
15.
Permenakertrans No. Per05/Men/8/2008 tentang pertolongan pertama pada kecelakaan di tempat kerja Berdasar observasi oleh peneliti secara detil pada unit – unit kerja di PC. Gabungan
Koperasi Batik Indonesia (PC. GKBI), hal-hal yang merupakan problema tersebut di atas, disebabkan oleh cara kerja pekerja yang tidak ergonomis. Penyebab negatif tersebut di antaranya adalah: 1)
Operator bekerja dengan posisi kerja duduk dan berdiri dengan sudut tertentu pada tubuh secara tidak tepat dikombinasikan dengan gerakan tubuh yang salah.
2)
Operator bekerja dengan ritme gerakan yang tidak teratur secara berulang - ulang.
3)
Operator bekerja dengan menggunakan peralatan kerja dan bahan bahan yang dimensinya berat, keras, runcing dan sebagainya.
4)
Operator bekerja pada tempat yang faktor fisiknya buruk misalnya terlalu panas, bising.
5)
Getaran mekanis yang cukup tinggi dan tumpahan minyak yang berlebihan. Hal-hal tersebut secara visual dapat dilihat sebagai jenis – jenis penyebab
negatif.Berbagai persoalan yang menjadi penyebab tersebut akhirnya menghasilkan akibat.Penyebab yang terjadi pada aktivitas kerja para pekerja pada unit-unit kerja di PC. Gabungan Koperasi Batik Indonesia telah menghasilkan akibat yang dikeluhkan dan ditemui oleh para pekerja. Sistem industri tidak pula dapat eksis tanpa peran signifikan para manajernya.Perangkat manajemen yang handal dengan pengetahuan dan keahlian manajernya yang paham, kredibel, tangguh atau dengan kata lain profesional, sangat menentukan keberlangsungan dan daya tahan industri dari berbagai goncangan organisasional maupun ekonomi.
Dalam konteks 'Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) pada segi manajerial atau skala ''makro'' telah ada regulasi yang ditetapkan oleh Pemerintah Republik Indonesia, yaitu pada Peraturan Menteri Tenaga Kerja, Nomor: Per.05/Men/1996, tanggal 12 Desember 1996, tentang Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3). Problema serius yang menjadi masalah skala ''mikro'' (lingkup pembahasan kerja teknis), terdapat pada sistem kerja yaitu gerakan dan posisi kerja pekerja. Terdapat pula masalah durasi waktu proses produksi yang belum ditentukan secara pasti. Hal lain yang juga berpengaruh adalah belum diterapkannya SMK3 yang menjadi bagian utuh sistem manajemen industri. Berdasarkan hasil inventarisasi problema tersebut, masalah penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut: 1) Bagaimana gambaran pelaksanaan program kesehatan kerja di PC. Gabungan Koperasi Batik Indonesia (PC. GKBI)? 2) Bagaimanakah bentuk sistem kerja yang ergonomis ditinjau dari segi gerakan dan posisi kerja para pegawai di PC. Gabungan Koperasi Batik Indonesia (PC. GKBI)?
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian Keselamatan dan Kesehatan Kerja Keselamatan dan kesehatan kerja difilosofikan sebagai suatu pemikiran dan upaya untuk menjamin keutuhan dan keempunaan baik jasmani maupun rohani tenaga kerja pada khususnya dan manusia pada umumnya, hasil karya dan budayanya menuju masyarakat makmur dan sejahtera.Sedangkan pengertian secara keilmuan adalah suatu ilmu pengetahuan dan penerapan nya dalam usaha mencegah kemungkinan terjadinya kecelakaan dan penyakit akibat kerja. Terdapat beragam definisi kesehatan dan keselamatan kerja, definisi kesehatan kerja menurut beberapa ahli diantaranya menurut Suma'mur (1981), keselamatan kerja merupakan rangkaian usaha untuk menciptakan suasana kerja yang aman dan tentram bagi para karyawan yang bekerja di perusahaan yang bersangkutan.Kesehatan kerja menurut Suma'mur adalah ilmu spesialisasi dalam ilmu kesehatan yang bertujuan agar para pekerja dan masyarakat pekerja memperoleh derajat kesehatan setinggi-tingginya baik fisik atau mental maupun sosial dengan usaha-usaha prevensif dan kuratif terhadap penyakit atau gangguan kesehatan yang diakibatkan faktor pekerjaan dan lingkungan kerja serta penyakit umum. Menurut Simanjuntak, Payaman J (1994), keselamatan kerja adalah kondisi keselamatan yang bebas dari resiko kecelakaan dan kerusakan dimana kita bekerja yang mencakup tentang kondisi bangunan, kondisi mesin, peralatan keselamatan, dan kondisi pekerja.
Status kesehatan seseorang, menurut Blum ditentukan oleh empat faktor yakni: a. Lingkungan, berupa lingkungan fisik (alami, buatan), kimia (organik, atau anorganik, logam berat atau debu), biologis (virus, bakteri, mikroorganisme lain) dan sosial budaya (ekonomi, pendidikan dan pekerjaan). b. Perilaku, yang meliputi: sikap, kebiasaan, dan tingkah laku. c. Pelayanan kesehatan yang meliputi: promotif, perawatan, pengobatan, pencegahan kecacatan, dan rehabilitasi. d. Genetik yang merupakan faktor bawaan setiap manusia. Pekerjaan yang mungkin berdampak negatif bagi kesehatan akan tetapi sebaliknya pekerjaan juga dapat memperbaiki tingkat kesehatan dan kesejahteraan pekerja bila dikelola dengan baik. Demikian juga status kesehatan pekerja yang sangat mempengaruhi produktivitas kerjanya, pekerja yang sehat memungkinkan tercapainya hasil kerja baik bila dibandingkan dengan pekerja yang terganggu kesehatannya (Suma’mur, 1967) Pada tahun 1950 satu komisi bersama ILO dan WHO menyusun definisi kesehatan kerja.Menurut komisi tersebut kesehatan kerja adalah merupakan promosi dan pemeliharaan kesejahteraan fisik, mental dan sosial pekerja pada jabatan apapun dengan sebaik-baiknya dan layanan tersebut memerlukan peran serta para manajer dan serikat kerja. Sejumlah kaum profesional terlibat dalam bidang ini seperti Dokter, Ahli Higene Kerja, Ahli Toksiologi, Ahli Mikrobiologi, Ahli Ergonomi, Perawat, Sarjana Hukum, Ahli Labotari Ahli Epidemiologi, dan Insinyur Keselamatan (Suma'mur, 1967). Menurut Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia, kesehatan kerja bertujuan untuk: 1. Memberi bantuan kepada tenaga kerja. 2. Melindungi tenaga kerja dari gangguan kesehatan yang timbul dari pekerjaan dan lingkungan kerja.
3. Meningkatkan kesehatan. 4. Memberi pengobatan dan perawatan serta rehabilitasi Sedangkan tujuan kesehatan kerja menurut Suma'mur adalah sebagai berikut: a. Menciptakan tenaga kerja yang hebat dan produktif. b. Pencegahan dan pemberantasan penyakit-penyakit dan kecelakaan akibat kerja. c. Pemeliharaan dan peningkatan kesehatan dan gizi tenaga kerja. d. Pemberantasan kelelahan kerja dan penglipatgandaan kegairahan kerja e. Perawatan dan mempertinggi efisiensi dan daya produktivitas tenaga manusia. f. Perlindungan bagi masyarakat sekitar perusahaan yang bersangkutan. g. Dan perlindungan masyarakat luas dari bahaya-bahaya yang mungkin ditimbulkan oleh produk-produk industri. Dalam pasal 86 UU no. 13 tahun 2003, dinyatakan bahwa setiap pekerja atau buruh mempunyai hak untuk memperoleh perlindunga
atas keselematan dan kesehatan kerja,
moral, dan kesusilaan dan perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat serta nilai- nilai agama. Oleh karena itu perlu adanya pemantauan kesehatan kerja tersebut, menurut V. Rivai (2003) pemantauan kesehatan kerja dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut : 1. Mengurangi timbulnya penyakit. Pada umumnya perusahaan sulit mengembangkan strategi untuk mengurangi timbulnya penyakit-penyakit, karena hubungan sebab-akibat antara lingkungan fisik dengan penyakit-penyakit yang berhubungan dengan pekerjaan sering kabur.Padahal, penyakit-penyakit yang berhubungan dengan pekerjaan jauh lebih merugikan, baik bagi perusahaan maupun pekerja. 2. Penyimpanan catatan tentang lingkungan kerja. Mewajibkan perusahaan untuk setidak-tidaknya melakukan pemeriksaan terhadap kadar bahan kimia yang terdapat dalam lingkungan pekerjaan dan menyimpan catatan
mengenai informasi yang terinci tersebut. Catatan ini juga harus mencantumkan informasi tentang penyakit-penyakit yang dapat ditimbulkan dan jarak yang aman dan pengaruh berbahaya bahan-bahan tersebut. 3. Memantau kontak langsung. Pendekatan yang pertama dalam mengendalikan penyakit-penyakit yang berhubungan dengan pekerjaan adalah dengan membebaskan tempat kerja dan bahanbahan kimia atau racun.Satu pendekatan altematifnya adalah dengan memantau dan membatasi kontak langsung terhadap zat-zat berbahaya. 4. Penyaringan genetik. Penyaringan genetik adalah pendekatan untuk mengendalikan penyakitpenyakit yang paling ekstrem, sehingga sangat kontroversial.Dengan menggunakan uji genetik untuk menyaring individu-individu yang rentan terbadap penyakit penyakit tertentu, perusahaan dapat mengurangi kemungkinan untuk menghadapi klaim kompensasi dan masalahmasalah yang terkait dengan hal itu. Selain usaha pemantuan, perlu adanya usaha untuk mengantisipasi permasalahan keselamatan
dan
kesehatan
kerja
tersebut,
maka
dikeluarkanlah
peraturan
perundangundangan di bidang keselamatan dan kesehatan kerja sebagai pengganti peraturan sebelumnya yaitu Veiligheids Reglement, STBI No.406 tahun 1910 yang dinilai sudah tidak memadai menghadapi kemajuan dan perkembangan yang ada. 2.2. Dasar Hukum Pengaturan K3 di Indonesia 2.2.1. Undang-undang No. 1 Tahun 1951 tentang Kerja Di dalam UU No.1 tahun 1951 tentang Kerja, mengatur tentang jam kerja, cuti tahunan cuti hamil, cuti haid bagi pekerja wanita, peraturan tentang kerja anak - anak, orang muda dan wanita, persyaratan tempat kerja, dan lain lain. Dalam Pasial 16 ayat 1 UU No.
1tahun 1951 yang menetapkan, bahwa ''Majikan harus mengadakan tempat kerja dan perumahan yang memenuhi syarat-syarat kebersihan dan kesehatan''. Undang-undang No. 2 tahun 1952 tentang Kecelakaan Kerja, UndangUndang Kompensasi Pekerja (Workmen Compensation Law) Undang-undang ini menentukan penggantian kerugian kepada buruh yang mendapat kecelakaan atau penyakit akibat kerja. 2.2.2. Undang-undang No. 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja dan UndangUndang Keselamatan Kerja diundangkan pada tahun 1970 dan menggantikan Veilligbeids Reglement pada Tahun 1910 (Stb No. 406) Mengatur tentang syarat-syarat keselamatan kerja, kewajiban dari pengurus, sanksi terhadap pelanggaran terhadap undang-undang ini dan juga mengatur tentang Panitia Pembina Kesehatan dan Keselamatan Kerja.Selain Undang-undang tentang Keselamatan Kerja, Pemerintah telah mengeluarkan regulasi guna mendukung Pelaksanaan Keselamatan dan Kesehatan Kerja. 2.2.3. Undang-undang No.3 Tahun 1992 tentang Jamsostek Peraturan ini mengandung empat pokok program, yakni: a.
Jaminan Kecelakaan kerja
b.
Jaminan Kematian
c.
Jaminan Hari Tua
d.
Jaminan Pemeliharaan Kesehatan
2.3 Ergonomi 2.3.1. Definisi Ergonomi Istilah ergonomi berasal dari bahasa Latin yaitu ergon (kerja) dan nomos (hukum alam) dan dapat didefinisikan sebagai studi tentang aspek aspek manusia dalam lingkungan kerjanya yang ditinjau secara anatomi fisiologi, psikologi, engineering, manajemen dan desain perancangan.Ergonomi berkenaan pula dengan optimasi, efisiensi, kesehatan,
keselamatan dan kenyamanan manusia di tempat kerja, di rumah dan tempat rekreasi.Di dalam ergonomi dibutuhkan studi tentang sistem di mana manusia, fasilitas kerja dan lingkungannya saling berinteraksi dengan tujuan utama yaitu menyesuaikan suasana kerja dengan manusianya (Nurmianto, 2004). Apabila ingin meningkatkan kemampuan manusia untuk melakukan tugas, maka beberapa hal di sekitar lingkungan alam manusia seperti peralatan, lingkungan fisik, posisi gerak (kerja) perlu direvisi atau dimodifikasi atau redesain atau didesain disesuaikan dengan kemampuan dan keterbatasan manusia. Dengan kemampuan tubuh yang meningkat secara optimal, maka tugas kerja yang dapat diselesaikan juga akan meningkat. Sebaliknya, apabila lingkungan alam sekitar termasuk peralatan yang tidak sesuai dengan kemampuan alamiah tubuh manusia, maka akan boros penggunaan energi dalam tubuh cepat lelah, hasil tidak optimal bahkan mencelakakan. 2.3.2. Tujuan dan Manfaat Ergonomi Tujuan dari ergonomi ini adalah untuk menciptakan suatu kombinasi yang paling serasi antara sub sistem peralatan kerja dengan manusia sebagai tenaga kerja. Tujuan utama ergonomi ada empat (Santoso, 2004; Notoatmodjo, 2003), yaitu: a. Memaksimalkan efisiensi karyawan. b. Memperbaiki kesehatan dan keselamatan kerja. c. Menganjurkan agar bekerja dengan aman, nyaman dan bersemangat. d. Memaksimalkan bentuk kerja Menurut Nurmianto (2004), peranan penerapan ergonomi antara lain: a. Aktivitas rancang bangun (desain) ataupun rancang ulang (re-desain). Hal ini dapat meliputi perangkat keras sepetti misalnya perkakas kerja (tools), bangku kerja (benches), platform, kursi, pegangan alat kerja, (workholders), sistem pengendali (controls), alat
peraga(displays), jalan/lorong (access ways), pintu (doors), jendela (windows) dan lainlain. b. Desain pekerjaan pada suatu organisasi. Misalnya: penentuan jumlah jam istirahat, pemilihan jadwal pergantian waktu kerja (shift kerja), meningkatkan variasi pekerjaan dan lain lain. c. Meningkatkan faktor keselamatan dan kesehatan kerja. Misalnya: desain suatu sistem kerja untuk mengurangi rasa nyeri dan ngilu pada sistem kerangka dan otot manusia, desain stasiun kerja untuk alat peraga visual (visual display unit station). Hal itu adalah untuk mengurangi ketidaknyamanan visual dan postur kerja, desain suatu perkakas kerja (hand tools) untuk mengurangi kelelahan kerja, desain suatu peletakan instrumen dan sistem pengendalian agar didapat optimasi dalam proses transfer informasi dan lain lain. 2.3.3. Aspek Ergonomi A.
Faktor Manusia Manusia dalam suatu sistem kerja menjadi pelaku atau pengguna sebagai titik sentral,
sehingga perancangan berpusat pada manusia.Sebagai titik sentral maka unsur keterbatasan manusia menjadi patokan dalam penataan produk yang ergonomi. Ada beberapa faktor yang berlaku sebagai faktor pembatas yang tidak boleh dilampaui agar dapat bekerja dengan aman, nyaman, dan sehat: 1. Faktor dari dalam Yang termasuk faktor dalam berasal dari manusia seperti: umur, jenis kelamin, kekuatan otot, bentuk dan ukuran tubuh dan lainnya. 2. Faktor dari luar Faktor luar berasal dari luar manusia, seperti: penyakit, gizi, lingkungan kerja, sosial ekonomi, adat istiadat dan lain sebagainya.
B.
Sarana Kerja Sarana kerja dibuat sesuai dengan penggunanya sehingga pekerja atau pengguna
menjadi nyaman, sehingga tercapai efektivitas dan efisiensi kerja yang optimal, sehingga menghindari kelelahan kerja dan kecelakaan kerja. Antropometri berasal dari kata antropos dan metricos.Antropos berarti manusia dan metricos berarti ukuran.Antropometri adalah ukuran- ukuran tubuh manusia secara alamiah baik dalam melakukan aktivitas statis (ukuran sebenamya) maupun dinamis (disesuaikan dengan pekerjaan) (Wignjosoebroto, 2003). Antropometri adalah ilmu yang berhubungan dengan pengukuran dimensi dan karakteristik tubuh manusia lainnya seperti volume, pusat gravitasi dan massa segmen tubuh manusia. Ukuran-ukuran tubuh manusia sangat bervariasi, bergantung pada umur, jenis kelamin, ras, pekerjaan dan periode dari masa ke masa. Pengukuran dimensi - dimensi tubuh manusia merupakan bagian yang terpenting dari antropometri karena akan menjadi data dasar untuk mempersiapkan desain berbagai peralatan, mesin, proses dan tempat kerja (Harrianto, 2008). Ukuran tubuh yang penting untuk penerapan ergonomi, yaitu: a.
Pada sikap berdiri: tinggi badan berdiri, tinggi mata, tinggi bahu, tinggi siku, tinggi pinggul, tinggi pangkal jari tangan, tinggi ujung, ujung jari.
b.
Pada sikap duduk: tinggi duduk, tinggi posisi mata, tinggi bahu, tinggi siku, tebal paha, jarak bokong lutut, jarak bokong lekuk lutut, tinggi lutut, lebar bahu, lebar pinggul (Harrianto, 2008). Penerapan data antropometri dapat dilakukan jika tersedia nilai rata rata dan standar
deviasi (SD) dari suatu distribusi normal. Sedangkan persentil adalah suatu nilai yang menyatakan bahwa persentase tertentu dari sekelompok orang yang ukurannya sama atau lebih rendah dari nilai tersebut (setelah perhitungan persentil). Misalnya 95th persentil akan menunjukkan 95% populasi akan berada pada atau berada di bawah ukuran tersebut;
sedangkan 5th persentil akan menunjukkan 5% populasi akan berada pada atau di bawah ukuran itu (Wignjosoebroto, 2003). Pemakaian nilai-nilai persentil yang umum diaplikasikan dalam perhitungan antropometri dapat dilihat pada tabel 2.1.di bawah ini: Tabel 2.1. Macam Persentil dan Cara Perhitungan Dalam Distribusi Persentil dan Cara Perhitungan Dalam Distribusi Persentil Persentil
Perhitungan
1st
x̅ - 2.325 σ X
2.5th
x̅ - 1,96 σ X
5th
x̅ - 1,645 σ X
10th
x̅ - 1,28 σ X
50th
x̅
90th
x̅ - 1,28 σ X
95th
x̅ - 1,645 σ X
97.5th
x̅ - 1,96 σ X
99th
x̅ - 2.325 σ X
Alat antropometer dapat digunakan untuk mengetahui ukuran tubuh. Selain itu, pengukuran tubuh dapat dilakukan dengan metode ukur tukang jahit menurut Suma'mur (antropometry by Suma'mur' s tailor method) (Suma'mur, 1989). 2.3.4. Sikap Kerja Ada beberapa hal yang dapat diperhatikan berkaitan dengan sikap tubuh dalam melakukan pekerjaan, yaitu: a.
Semua pekerjaan hendaknya dilakukan dalam sikap duduk atau sikap berdiri secara bergantian.
b.
Semua sikap tubuh yang tidak alami harus dihindarkan. Seandainya hal ini tidak memungkinkan, hendaknya diusahakan agar beban statis diperkecil.
c.
Tempat duduk harus dibuat sedemikian rupa, sehingga tidak membebani melainkan dapat memberikan relaksasi pada otot -otot yang sedang tidak dipakai untuk bekerja dan tidak. menimbulkan penekanan pada bagian tubuh (paha). Hal ini dimaksudkan untuk mencegah terjadinya gangguan sirkulasi darah dan juga untuk mencegah keluhan kesemutan yang dapat mengganggu aktivitas (Tarwaka, 2004).
Sikap tubuh dalam bekerja terdiri dari : I. Sikap Duduk
Gambar 2.1 Contoh Antropometri di Meja Kerja Sikap kerja duduk merupakan sikap kerja yang kaki tidak terbebani dengan berat tubuh dan posisi stabil selama bekerja.Duduk memerlukan lebih sedikit energi daripada berdiri karena hal itu dapat mengurangi banyaknya beban otot statis pada kaki.Kegiatan bekerja sambil duduk harus dilakukan secara ergonomi sehingga dapat memberikan kenyamanan dalam bekerja.Sikap duduk yang keliru merupakan penyebab adanya masalah masalah punggung. Hal ini dapat terjadi karena tekanan pada bagian tulang belakang akan meningkat pada saat duduk dibandingkan dengan saat berdiri ataupun berbaring. Jika diasumsikan tekanan tersebut sekitar 100 %, maka cara duduk yang tegang atau kaku (erect posture) dapat menyebabkan tekanan tersebut mencapai 140% dan cara duduk yang
dilakukan dengan membungkuk ke depan menyebabkan tekanan tersebut sampai 190% (Nurmianto, 2004). Sikap duduk paling baik yang tidak berpengaruh buruk terhadap sikap badan dan tulang belakang adalah sikap duduk dengan sedikit lardosa pada pinggang dan sedikit mungkin kifosis pada punggung (Suma'mur, 1989).Sikap duduk yang benar yaitu sebaiknya duduk dengan punggung lurus dan bahu berada dibelakang serta bokong menyentuh belakang kursi.Selain itu, duduklah dengan lutut tetap setinggi atau sedikit lebih tinggi panggul (gunakan penyangga kaki) dan sebaiknya kedua tungkai tidak saling menyilang. Jaga agar kedua kaki tidak menggantung dan hindari duduk dengan posisi yang sama lebih dari 20-30 menit. Selama duduk, istirahatkan siku dan lengan pada kursi jaga bahu tetap rileks (Wasisto, 2005).
Gambar 2.2 Sikap kerja pada Visual Display Terminal WDT yang direkomendasikan oleh Cakir et al. (1980) (kiri) dan Grandjean et al. (1982, 1984) (kanan). (Sumber : Pheasant, S, 1986).
Keuntungan bekerja sambil duduk adalah sebagai berikut : a.
Kurangnya kelelahan pada kaki.
b.
Terhindanya sikap - sikap yang tidak alamiah.
c.
Berkurangnya pemakaian energi dalam bekerja.
d.
Kurangnya tingkat keperluan sirkulasi darah. Namun, kegiatan bekerja sambil duduk juga dapat menimbulkan kerugian / masalah
bila dilakukan secara tidak ergonomis. Kerugian tersebut antara lain: 1)
Melembeknya otot otot perut.
2)
Melengkungnya punggung.
3)
Tidak baik bagi organ dalam tubuh, khususnya pada organ pada system pencernaan jika posisi dilakukan secara membungkuk.
Gambar 2.3 Posisi ergonomis didepan komputer Hubungan tenaga kerja dalam sikap dan interaksinya terhadap sarana kerja, akan menentukan efisiensi, efektifitas dan produktifitas kerja, selain SOP (standard operating procedures) yang terdapat pada setiap jenis pekerjaan. Semua sikap tubuh yang tidak alamiah dalam bekerja, misalnya sikap menjangkau barang yang melebihi jangkauan tangan, harus
dihindari.Apabila hal ini tidak memungkinkan maka harus diupayakan agar beban statiknya diperkecil. Penggunaan meja dan kursi kerja ukuran baku oleh orang yang mempunyai ukuran tubuh yang lebih tinggi atau sikap duduk yang terlalu tinggi sedikit banyak akan berpengaruh terhadap hasil kerjanya. Tanpa disadari, tenaga kerja tersebut akan sedikit membungkuk saat melakukan pekerjaannya. Hal ini akan menyebabkan terjadinya kelelahan local di daerah pinggang dan bahu, yang pada akhirnya akan menimbulkan nyeri pinggang dan nyeri bahu, namun karena penderitanya tidak mencolok maka biasanya keluhan tersebut dianggap “ bukan masalah”, tetapi kerugian yang ditimbulkannya bisa berwujud hilangnya jam kerja, terhambatnya produksi dan lainnya. Pada waktu bekerja diusahakan agar bersikap secara alamiah dan bergerak optimal. 2. Sikap kerja berdiri. Selain sikap kerja duduk sikap kerja berdiri juga banyak ditemukan di perusahaan.Sikap kerja berdiri merupakan sikap kerja yang posisi tulang belakang vertikal dan berat badan tertumpu secara seimbang pada dua kaki. Bekerja dengan posisi berdiri terus menerus sangat mungkin akan terjadi penumpukan darah dan berbagai cairan tubuh pada kaki dan hal ini akan bertambah bila berbagai bentuk dan ukuran sepatu yang tidak sesuai. Sikap kerja berdiri dapat menimbulkan keluhan subjektif dan juga kelelahan bila sikap kerja ini tidak dilakukan bergantian dengan sikap kerja duduk (Rizki, 2007).
Gambar 2.4 Sikap kerja berdiri yang ergonomis Dalam sistcm kerja angkat dan angkut, sering dijumpai nyeri pinggang sebagai akibat kesalahan dalam mengangkat maupun mengangkut, baik itu mengenai teknik maupun berat ukuran beban.Nyeri pinggang dapat pula terjadi sebagai sikap paksa yang disebabkan karena penggunaan sarana kerja yang tidak sesuai dengan ukuran tubuhnya.Kondisi demikian menggambarkan tidak adanya keserasian antara ukuran tubuh pekerja dengan bentuk dan ukuran sarana kerja sehingga terjadi pembebanan setempat yang berlebihan di daerah pinggang dan inilah yang menyebabkan nyeri pinggang akibat kerja.
Gambar 2.5 Pekerjaan Angkat dan Angkut Untuk jenis pekerjaan angkat dan angkut, maka beban maksimum yang diperkenankan, agar tidak menimbulkan kecelakaan kerja, sesuai dengan peraturan Menteri
tenaga kerja transmigasi dan koperasi No Per 01/MEN/1978 tentang keselamatan dan kesehatan kerja dalam penebangan dan pengangkutan kayu. Sikap tubuh dalam bekerja yang dikatakan secara ergonomis adalah yang memberikan rasa nyaman, aman, sehat dan selamat dalam bekerja yang dapat dilakukan antara lain dengan cara: a.
Menghindarkan sikap yang tidak alamiah dalam bekerja.
b.
Diusahakan beban statis menja di sekecil-kecilnya.
c.
Perlu dibuat dan ditentukan kriteria ukuran baku tentang peralatan kerja yang sesuai dengan ukuran antopometri tenaga kerja penggunanya.
d.
Agar diupayakan bekerja dengan sikap duduk dan berdiri secara bergantian.
BAB III HASIL OBSERVASI DAN PEMBAHASAN
Identitas Perusahaan
3.1.
Nama Perusahaan
: PC. Gabungan Koperasi Batik Indonesia (PC. GKBI)
Jenis Perusahaan
: Garmen
Alamat Perusahaan
: Jl. Magelang KM 14.5 Yogyakarta
Jumlah Tenaga Kerja
: ± 750 orang
Tanggal Kunjungan
: 31 Agustus 2018
Penyelenggaraan Kesehatan Tenaga Kerja
3.1.1. Pemeriksaan Kesehatan Tenaga Kerja a. Pemeriksaan Kesehatan Awal Pemeriksaan kesehatan awal tetap dilakukan walaupun calon pekerja telah membawa surat keterangan sehat dari dokter. b. Pemeriksaan Kesehatan Berkala Pemeriksaan kesehatan berkala bagi tenaga kerja PC-GKBI tidak dilakukan. c. Pemeriksaan Kesehatan Khusus Pemeriksaan khusus bagi tenaga kerja PC-GKBI dilakukan terutama bila ada keluhan dari tenaga kerja. Langkah pelaporannya yaitu dengan mengunjungi bagian personalia, kemudian diantar ke poliklinik. Apabila poliklinik tidak mampu menangani, maka tenaga kerja akan dirujuk ke rumah sakit yg bekerjasama dengan perusahaan (RSUD Sleman). d. Pemeriksaan Kesehatan Purna Kerja Pemeriksaan kesehatan purna kerja tidak dilakukan.
3.1.2 Penyelenggaraan Kesehatan Kerja 1. Poliklinik perusahaan Dari keterangan pembimbing lapangan dikatakan bahwa terdapat poliklinik, namun kami tidak ditunjukkan ruangan poliklinik tersebut. 2. Dokter Perusahaan Tidak tersedia, karena keterbatasan biaya/anggaran perusahaan. 3. Perawat Perusahaan Ada, 1 orang perawat dengan jam kerja mulai dari 8 pagi sampai 4 sore. 4. Kunjungan ke poliklinik Kunjungan rata-rata per bulan tidak diketahui dikarenakan petugas sedang tidak ditempat. 5. Biaya pemeriksaan/obat Seluruh karyawan ditanggung oleh BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. 3.1.3 Laporan Kunjungan Poliklinik Laporan kunjungan poliklinik tidak bisa dilaporkan karena petugas medis sedang tugas luar. 3.1.4 Kemungkinan PAK di Perusahaan Berikut ini beberapa penyakit akibat kerja yang kemungkinan terjadi di PC. Gabungan Koperasi Batik Indonesia (PC. GKBI).
Gambar Kemungkinan PAK kimiawi debu
Gambar Kemungkinan PAK kebisingan dan getaran
Gambar Kemungkinan PAK lantai yang licin
Gambar Kemungkinan PAK makanan yang tidak tertutup
Gambar Kemungkinan PAK mesin jahit dan pemotongan kain
Gambar Kemungkinan PAK ergonomi yang tidak benar
Gambar Kemungkinan PAK ergonomi yang tidak benar
3.1.5 Promosi Kesehatan PC.GKBI hanya melaksanakan promosi kesehatan berupa poster dibeberapa tempat dan senam bersama setahun sekali. Pada masing-masing bagian terdapat tim P2K3 yang bertugas untuk melakukan penyuluhan tentang APD.
Gambar Poster Promosi Kesehatan
3.2 Penilaian Ergonomi Pekerja PC.GKBI 3.2.1. Sikap Kerja a. Sikap Duduk Beberapa tenaga kerja PC.GKBI yang berada di unit produksi menggunakan kursi besi tidak sesuai dengan kaidah ergonomis. Hal ini bisa dilihat dari pengamatan dalam beberapa faktor, mulai dari fasilitas kursi ataupun bangku yang tidak memenuhi standar kursi yang baik dimana harus memiliki arm rest, back rest, dan foot rest. Kursi yang digunakan kebanyakan adalah kursi standar seadanya dengan beragam variasi ukuran dengan model yang tidak memenuhi standar kursi kerja yang baik.Sehingga membuat para pekerja harus duduk sesuai dengan kondisi dan sesuai dengan fasilitas
yang seadanya. Setiap pekerja memiliki waktu kerja efektif 8 jam, dimana 4 jam kerja diselingi 60 menit istirahat lalu dilanjutkan 4 jam kerja berikutnya hingga pulang.
Gambar. Sikap Duduk saat berkerja dan tempat duduk kerja yang tidak sesuai dengan kaidah Ergonomi
Gambar. Sikap Duduk yang sesuai dengan kaidah Ergonomi
b. Sikap Berdiri Para tenaga kerja bagian produksi kebanyakan juga melakukan pekerjaannya tidak sesuai dengan kaidah ergonomi, dimana sebagian pekerja harus melakukan pekerjaannya hingga menundukkan kepala, bahkan waktu duduk hampir tidak ada, dengan waktu kerja efektifnya sama sebanyak 8 jam efektif disertai 60 menit istirahat. Para pekerja juga mengaku lebih nyaman melakukan pekerjaannya secara berdiri dibandingkan duduk, namun posisi berdiri yang tidak ergonomis. Posisi berdiri
ini tidak dilakukan terus menerus, para pekerja berdiri menunduk hanya pada saat melakukan pengecekan alat.
Gambar. Sikap Berdiri saat kerja yang tidak sesuai kaidah Ergonomi
Gambar. Sikap Berdiri saat kerja yang sesuai dengan kaidah Ergonomi
3.2.2. Cara Kerja a. Angkat Angkut
Mayoritas angkat angkut barang di PC.GKBI menggunakan alat bantu seperti troli, over head crane, forklift, dan mobil pick up. Hanya beberapa barang yang masih diangkut secara manual.Saat kunjungan, proses angkat angkut sedang berlangsung, dimana terdapat pekerja yang melakukan loading barang namun caranya tidak sesuai dengan kaidah SMK3. Tidak ada juga pekerja yang mengenakan korset untuk menjaga tulang belakang.
Gambar. Proses angkat angkut yang tidak sesui dengan prosedur SMK3 b. Non angkat angkut Pekerja yang mengoperasikan mesin sebagian besar dalam posisi berdiri. Contohnya adalah pekerja yang berada di bagian pemutihan dan pengepakan. Untuk posisi mengoperasikan sendiri tidak ergonomis karena beberapa tempat kerja berada setinggi pinggang padahal harus bekerja dengan berdiri, dan juga jarak antara pekerja dengan alat juga agak jauh karena harus dioperasikan dengan kaki.
Gambar: Proses kerja non angkut yang tidak ergonomis. 3.2.3. Kesesuaian Mesin / Peralatan Kerja Berdasarkan pengamatan yang kami lakukan pada bagian tenun, penempatan mesin pada ruangan terlalu dekat jaraknya. Mesin juga terlalu lebar dan tidak sesuai dengan antropometri pekerjanya sehingga pekerja harus menyesuaikan jangkauannya saat melakukan pekerjaan.
Gambar Mesin/Alat Kerja
a. Work Station / Ruang Kerja
Work station dengan ruangan seluas kurang lebih 500m2 terdapat kurang lebih 60 pekerja dalam 1 shift dan 496 mesin tenun. Ruang kerja sudah cukup luas namun perlu diperhatikan penempatan mesin tenunnya sehingga pekerja bisa leluasa dalam bergerak dan bekerja.
Gambar Ruang Kerja
b. Cubic Space Berdasarkan pengamatan yang kami lakukan terutama di bagian tenun, cubic space untuk setiap pekerja masih terlalu sempit. Pekerja tidak leluasa dalam bergerak karena jarak antar mesin terlalu dekat.
Gambar Cubic Space
c. Jalur Dari hasil pengamatan kami di bagian tenun terdapat satu jalur yang besar di tengah dan banyak jalur yang sempit diantara mesin. Lebar jalan yang digunakan oleh pekerja untuk berpindah dari mesin ke mesin lain belum sesuai karena tidak dapat digunakan untuk berpapasan dua orang. Lantai pabrik tidak licin.
Gambar Jalur Sempit d. Tangga Terdapat tangga yang tidak berkeramik di dekat pabrik yang memiliki lebar 1 meter dan kemiringan 45o. Kemiringan tangga yang ideal 25-30o. Namun ada sebuah tangga di kantin yang tingkat kemiringannya melebihi 45o .
Gambar Tangga
e. Lingkungan Kerja Berdasarkan pengamatan kami, lingkungan kerja sudah kondusif bagi para pekerja. Tersedia ruangan yang dapat digunakan para pekerja untuk menyimpan barang (loker), beristirahat, dan makan siang. Para pekerja tampak menikmati pekerjaannya dan interaksi antar pekerja berjalan dengan baik. Lingkungan di luar gedung pabrik terlihat asri, terdapat taman dan pepohonan rindang yang mengelilingi bangunan. Warna hijau dari pepohonan menimbulkan kesan nyaman dan tenang.
Gambar Lingkungan Kerja PC.GKBI
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan 1. Perusahaan GKBI telah melakukan pemeriksaan kesehatan awal, tidak melakukan pemeriksaan kesehatan berkala, melakukan pemeriksaan kesehatan khusus, dan tidak melakukan pemeriksaan kesehatan purna kerja. 2. Perusahaan GKBI memiliki poliklinik namun tidak ditunjukkan, tidak ada dokter, ada paramedis yaitu perawat satu orang yang bekerja mulai jam 08.00-16.00 WIB. 3. Kemungkinan PAK di perusahaan GKBI mulai dari masalah saluran nafas, kulit, masalah pendengaran, dan lain-lain. 4. Promosi kesehatan kerja di PC GKBI berupa poster dibeberapa tempat dan senam bersama setahun sekali. 5. Sikap kerja, cara kerja, dan kesesuaian mesin dengan tenaga kerja tidak seluruhnya sesuai dengan kaidah ergonomi.
B. Saran 1. Perusahaan sebaiknya menyediakan pemeriksaan kesehatan berkala dan purna kerja. 2. Perusahaan sebaiknya menyediakan dokter yang selalu siap melayani di klinik yang jelas waktu buka dan sosialisasinya 3. Perusahaan perlu mendisiplinkan karyawan dalam penggunaan APD agar PAK dapat dicegah 4. Perlu dilakukan monitoring dan evaluasi dari program promosi kesehatan 5. Pekerja di bagian produksi perlu diupayakan untuk dilakukan sosialisasi berulang tentang cara kerja dan dilakukan penyesuaian bentuk antropometri dengan mesin dan alat
DAFTAR PUSTAKA Harrianto, R. 2008. Buku Ajar Kesehatan Kerja.EGC. Jakarta. Nurmianto, Eko. 2004. Ergonomi, Konsep Dasar dan Aplikasinya. Guna Widya Jakarta. Santoso, G. 2004. Ergonomi Manusia, Peralatan dan Lingkungan. PT. Prestasi Pustaka Publisher. Jakarta. Suma’mur, PK. 1989. Ergonomi Untuk Produktivitas Kerja. Haji Masagung. Jakarta. Wignjosoebroto, Sritomo. 2008. Ergonomi, Studi Gerak dan Waktu. Guna Widya. Jakarta.