Kepemimpinan Dalam Pelatihan Sekilas lalu saya melewati sebuah papan pamflet, yang penuh sesak oleh hanya satu macam pamflet, tentang Pelatihan Kepemimpinan dan Manajemen Mahasiswa (PKMM). Menyoal kepemimpinan, selalu terkait dengan pemimpin dan memimpin. Kepemimpinan adalah kapasitas, kemampuan untuk me-pimpin. Sedangkan pemimpin lebih mengacu kepada subyek. Maka, kepemimpinan adalah sifat, memimpin adalah kerja, dan pemimpin lebih mengacu kepada subyek. Dan ini adalah hal yang berbeda dari menjadi seorang ketua organisasi, apapun itu. Tak terkecuali ketua kelas, ketua HIMA, ketua BEM, Rektor, bahkan Presiden sekalipun ; kepemimpinan bukan ke-jabatan-an, juga bukan ke-posisi-an. Dan pemimpin tidak bisa direduksi menjadi sekedar jabatan. Orang dengan jabatan akan mengalami post power syndrome, tetapi kepemimpinan tidak mengenal kata ‘post’, tidak mengenal ‘bekas’ atau mantan. Sebuah posisi, juga jabatan, adalah sesuatu yang diraih, atau terberikan, maka dari itu lebih berdimensi keluar (diri). Menjabat kemudian terkait dengan bagaimana melaksanakan jabatan, karena jabatan adalah amanat. Tetapi kepemimpinan lebih kepada sebuah proses menjadi dalam rentang trajektori, sehingga mempunyai dimensi ke luar sekaligus ke dalam. Jabatan bisa ditinggalkan dan meninggalkan (dengan paksa) orang yang menyandangnya, sedangkan
kepemimpinan menyatu dengan manusianya, adalah
kepribadian yang mendarah daging, bahkan sampai maut tiba. Jabatan disukai oleh manusia yang menyandangnya, tetapi bisa jadi -bahkan sangat- jabatan diam-diam tidak menyukai manusia yang menyandangnya. Pelatihan Kepemimpinan? Beberapa bulan lalu saya berkesempatan untuk mengikuti sebuah pelatihan kepemimpinan, yang diselenggarakan oleh salah satu BEM Fakultas di Unnes, dengan tajuk “Kepemimpinan ; Bakat atau Panggilan Jiwa”. Dalam pelatihan tersebut, berbagai macam materi disajikan, mulai dari analisis SWOT sampai dengan tekhnik lobi. Dari teori sampai simulasi, dari banyak diktat
sampai (tentu saja) lembar sertifikat. Mencetuskan sebuah ide, menggagas konsep dan tema, membicarakan tekhnis acara, dan pada akhirnya melaksanakan suatu kegiatan, tentu membutuhkan sebuah dasar pikir. Dan mungkin juga, perhitungan untung-rugi secara financial dari penyelenggaraan acara. (semoga saja hal ini tidak menjadi prioritas). Bertolak dari alur di atas, maka PKMM, sebagai sebuah kegiatan juga tak bisa lepas dari hal tersebut. Setidaknya
diperlukan
pemahaman
tentang
arti,
makna,
dan
fungsi
kepemimpinan, baru kemudian menyusun materi-materi yang diberikan pada peserta pelatihan, dan tentu saja menentukan pemateri yang (dianggap) berkapabilitas. Dan dari berbagai materi yang disajikan, sebenarnya dapat dilihat secara implisit, tentang bagaimana pemahaman penyelenggara pelatihan tentang sebuah kepemimpinan. Rupanya, dalam pelatihan kepemimpinan, kepemimpinan telah tidak terbedakan dengan jabatan. Bagaimana melobi, bagaimana mengkoordinasi “anak buah”, dan selembar sertifikat, adalah anasir kecil, dari bagaimana menjadi ketua organisasi. Dan menjadi ketua organisasi itu sendiri, adalah sedikit aplikasi dari sebuah kepemimpinan. Pelatihan semacam itu, mungkin lebih tepat disebut pelatihan berorganisasi, itu saja. Ahmad Fahmi Mubarok Psikologi FIP Unnes