Kelompok Klinik 1.doc

  • Uploaded by: winnaningsih
  • 0
  • 0
  • April 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Kelompok Klinik 1.doc as PDF for free.

More details

  • Words: 5,834
  • Pages: 38
PROPOSAL PENELITIAN GAMBARAN KONSUMSI ZAT GIZI MAKRO DAN STATUS GIZI PADA PASIEN TUBERKULOSIS DI RUMAHAKIT PARU JAWA BARAT Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah metodologi penelitian Dosen Pengampu Ir. Anis Abdul Muis, M.Kes. Priyo Sulistiyono, SKM., MKM. Samuel, S.Gz,. M.Gizi

Disusun oleh IKA ROHMATUN P2.06.31.2.15.016 IRFAN PRIYADI P2.06.31.2.15.018 WINANINGSIH P2.06.31.2.15.039

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGENMBANGAN DAN PEMBERDAYAAN SDM KESEHATAN JURUSAN GIZI POLITEKNIK KESEHATAN TASIKMALAYA PROGRAM STUDI D.III CIREBON

2017

KATA PENGANTAR Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah S.W.T yang selalu mencurahkan rahmat dan karunia-Nya. Alhamdulillahi Robbil’alamin atas isin dan pertolongan-Nya, serta melalui usaha yang sungguh-sungguh disertai dengan bantuan berbagai pihak baik moril maupun materil penulis dapat menyelesaikan karya tulis ini. Karya tulis ini berjudul “Gambaran Tingkat Konsumsi Zat gizi

Makro Pada

Tuberkulosis Paru di Rumah Sakit Paru Jawa Barat ” karya tulis ini disusun dalam rangka memenuhi Tugas Mata Kuliah metodologi penelitian. Selain itu, penulis juga bertujuan menambah wawasan selama penulisan karya tulis ini. Melalui karya tulis ini penulis berharap meningkatkan pengetahuan dalam mengenal Gambaran Tingkat Konsumsi Zat gizi Makro Pada Tuberkulosis Paru di

Rumah Sakit Paru Jawa Barat. Dalam penyusunan karya tulis ini penulis menyajikan dengan sebaik-baiknya, namun mengingat kemampuan dan pengetahuan penulis yang cukup terbatas maka tidak menutup kemungkinan adanya kesalahan dan kekurangan dalam karya tulis ini. Oleh karena itu kritik yang bersifat membangun sangat diharapkan penulis. Harapan penulis agar karya tulis ini dapat bermanfaat bagi pembaca maupun penulis sendiri.

Cirebon, Maret 2017

Penulis

i

DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR........................................................................................................i DAFTAR ISI.....................................................................................................................ii BAB I PENDAHULUAN.................................................................................................1 A. Latar Belakang..............................................................................................................1 B. Rumusan Masalah.........................................................................................................4 C. Tujuan Penelitian...........................................................................................................4 D. Manfaat Penelitian........................................................................................................5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA......................................................................................7 A. Status Gizi.....................................................................................................................7 1.Cara pengukuran status gizi................................................................................9 2. Asupan Zat gizi...............................................................................................13 1.Faktor yang mempengaruhi asupan Zat gizi.....................................................14 B. Definisi Tuberculosis..................................................................................................15 1.Etiologi.............................................................................................................16 2.Patogenesa........................................................................................................18 3.Faktor Resiko...................................................................................................18 2.Klasifikasi........................................................................................................20 3.Gejala Klinis.....................................................................................................23 4.Diagnose...........................................................................................................24 5.Pengobatan.......................................................................................................26 C.

Kerangka Teori.......................................................................................................28

D.

Kerangka Konsep...................................................................................................29

E. Definisi Operasional...................................................................................................29 BAB III METODOLOGI PENELITIAN.....................................................................31 A. Jenis/Desain penelitian................................................................................................31 B. Waktu penelitian.........................................................................................................31 C. Lokasi penelitian.........................................................................................................31 D. Populasi......................................................................................................................31 E. Sampel........................................................................................................................31 F. Teknik sampel.............................................................................................................31 ii

G. Pengumpulan data.......................................................................................................31 H. Instrmen penelitian......................................................................................................32 I. Teknik Pengolahan data..............................................................................................32 H. Anlisis data..................................................................................................................33 DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................................iv LAMPIRAN

iii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tuberkulosis (TB) adalah suatu penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh bakteri Mycrobacterium tuberculosis, yang dapat menyerang berbagai organ, terutama paru-paru. Penyakit ini apabila tidak diobati atau pengobatannya tidak tuntas dapat menimbulkan komplikasi berbahaya hingga kematian. Namun kemajuan dalam penemuan dan pengendalian penyakit TB baru terjadi dalam dua abad terakhir (Depkes,2016). Tingginya prevalensi Tuberculosis (TB) di dunia menjadi penyebab tinggiya angka kematian akibat TB. Hampir Sepertiga dari populasi dunia tertular dengan TB dimana sebagian besar penderita TB adalah usia produktif (15-55 tahun). Dalam laporan WHO tahun 2013 diperkirakan terdapat 8,6 juta kasus TB pada tahun 2012 dimana 1,1 juta orang (13%) diantaranya adalah pasien dengan HIV positif. Sekitar 75% dari pasien tersebut berada di wilayah Afrika, pada ahun 2012 diperkirakan terdapat 450.000 orang yang menderita Tuberkulosis Multi Drug Resistant (TB MDR) dan 170.000 diantaranya meningggal dunia. Pada tahun 2012 diperkirakan proporsi kasus TB anak diantara seluruh kasus TB secara global mencapai 6% atau 530.000 pasien TB anak pertahun, atau sekitar 8% dari total kematian yang disebabkan oleh TB. Berdasarkan data World Health Organisation (WHO) pada tahun 2013 terdapat 9 juta penduduk dunia telah terinfeksi kuman TB (WHO, 2014). Pada 1

tahun 2014 terdapat 9,6 juta penduduk dunia terinfeksi kuman TB (WHO, 2015). Pada tahun 2014, jumlah kasus TB paru terbanyak berada pada wilayah Afrika (37%), wilayah Asia Tenggara (28%), dan wilayah Mediterania Timur (17%) (WHO, 2015). Dalam Global Report 2009 WHO melaporkanbaha pada tahun 2008 Indonesia berada pada peringkat 5 dunia penderita TB terbanyak setelah India, China, Afrika Selatan dan Nigeria. Peringkat ini turun dibandingkan tahun 2007 yang menempatkan Indonesia pada posisi ke-3 kasus TB terbanyak setelah India dan China. Berasarkan data Case Notification Rate (CNR) tahun 2014 di pulau Jawa, Jawa Barat (141/100.000 penduduk) menempati posisi kedua setelah DKI Jakarta (254/100.000 penduduk) yang menderita penyakit tuberculosis. Tinggi rendahnya CNR di suatu wilayah selain dipengaruhi oleh upaya penemuan penemuan kasus (case finding) juga dipengaruhi oleh faktor-faktor yang lain seperti kinerja system pencatatan dan pelaporan wilayah tersebut, jumlah fasyankes yang terlibat dalam layanan Directly Observed Treatment Shot-course (DOTS), dan banyaknya pasien TB yang dilaporkan oleh fasyankes. Hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 1995 menunjukkan bahwa TB Paru merupakan penyakit kematian nomor tiga setelah penyakit Kardiovaskuler dan penyakit saluran pernafasan. Dari permasalahan tersebut, perlu adanya upaya untuk menurunkan prevalensi TB, namun dalam praktiknya banyak hambatan-hambatan yang memperlambat proses

penurunan prevalensi TB,diantaranya adalaah proses

2

pengobatan yang terhambat oleh status ekonomi yang rendah sehingga proses pegobatan penderita TB menjadi terhambat. Daya tahan tubuh yang rendah akan mempermudah masuknya suatu penyakit kedalam tubuh, sehingga meningkatkan angka morbiditas (kesakitan). Salah satunya adalah kejadian infeksi pada penderita tuberculosis. Infeksi yang terjadi pada penderita penyakit tuberculosis ini disebabkan oleh bakteri yang masuk ke dalam tubuh sebagai akibat dari keterpaparan penyakit dari penderita TB. Bila dikaitkan dengan status gizi bahwa gizi merupakan faktor pendukung bagi penanggulangan penyakit infeksi seperti Tuberkulosis, maka gizi yang seimbang dapat membantu mempercepat proses penyembuhan penyakit Tuberkulosis. Risiko komplikasi, termasuk kematian pada pasien Tuberkulosis dipengaruhi oleh status gizi secara individual. Status gizi dan utilisasi/penggunaan zat gizi menjadi terganggu akibat adanya infeksi. Selain itu dengan adanya infeksi, kebutuhan zat gizi menjadi meningkat karena tubuh memerlukan energi untuk melawan penyakit. Adanya ketidakmampuan memenuhi kebutuhan zat gizi yang meningkat akan mengakibatkan tubuh mengalami defisiensi/ kekurangan zat gizi terutama energi dan protein. Karena itulah tubuh menggunakan cadangan energi yang menyebabkan penurunan berat badan, lemah dan status gizi menurun (Depkes, 2014). Berdasarkan hasil penelitian Prof. Dr.drg.A. Arsunan Arsin, M.Kes tahun 2012 tingkat konsumsi zat gizi makro penderita tuberculosis memiliki rata-rata asupan energi 1144,4±455,0, asupan protein 38,79±19,8, 3 lemak 18,1±199,1.

3

Dari data tersebut dapat dilihat bahwa tngka kecukupan asupan zat gizi makro pada penderita tuberkulsis masih rendah. Kondisi diatas menunjukkan pentingnya perencanaan kebutuhan gizi dan pemantauan terhadap asupan makanan serta status gizi pasien, disamping pemantauan

terhadap

pengobatan

Tuberkulosis.

Untuk

ituperlu

adanya

pemantauan tingkat konsumsi zat gizi bagi pasien tuberculosis. (Depkes. 2014). Pemberian asupan pada penderita TB harus sesuai dengan tingkat kebutuhannya. Perlu adanya pemilihan makanan yang disesuaikan dengan kuantitas dan kualitas yang dibutuhkan. Asupan yang sesusai dengan kebutuhannya

akan

menunjang

terhadap

proses

penyembuhan

penyakit

tuberculosis terutama pada penderita yang menderita malnutrisi. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk meneliti gambaran asupan Zat gizi mikro dan status gizi pada penderita Tuborkulosis. B. Rumusan Masalah Zat gizi makro menjadi salah satu faktor pendukung terhadap proses penyembuh penyakit infeksi termasuk tuberculosis yang akan berpengaruh terhadap status gizi pasien tersebut. Bagaimana gambaran asuapan Zat gizi makro dan status gizi pada penderita Tubercolosis rawat inap di rumah sakit Paru Jawa Barat? C. Tujuan Penelitian Tujuan Umum: Mengetahui Gambaran Tingkat Konsumsi Zat gizi Makro Pada Tuberkulosis Paru di Rumah Sakit Paru Jawa Barat 4

Tujuan Khusus:      

Mengetahui karakteristik penderita penyakit Tuberkulosis Paru Mengetahui asupan energi penderita Tuberkulosis Paru Mengetahui asupan protein penderita Tuberkulosis Paru Mengetahui asupan lemak penderita Tuberkulosis Paru Mengetahui asupan karbohidrat penderita Tuberkulosis Paru Mengetahui asupan status gizi penderita Tuberkulosis Paru

D. Manfaat Penelitian 1. Bagi peneliti Untuk memberikan pengetahuan atau wawasan kepada peneliti mengenai tingkat konsumsi Zat gizi makro pada Tuberkulosis di Rumah sakit Paru Jawa Barat 2. Bagi Institusi Pendidikan Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai acuan literatul pembelajaran untuk kedepannya. 3. Bagi pasien Untuk

memberikan

pengetahuan

atau

wawasan

kepada

pasien

Tuberkulosis di Rumah sakit Paru Jawa Barat mengenai tingkat konsumsi Zat gizi makro 4. Bagi rumah sakit Hasil penelitian ini dapat memberikan gambaran tingkat konsumsi Zat gizi makro pada paien TB di Rumah Sakit Paru jawa Barat sehingga dapat memberikan masukan dalam tatalakasana pemberian asupan Zat gizi makro pada pasien TB.

5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Status Gizi Status gizi adalah keadaan tubuh sebagai akibat konsumsi makanan dan penggunaan sat-Zat gizi . Dibedakan antara status gizi buruk, kurang, baik, dan lebih. (Sunita Almatsier, 2005). Status gizi adalah ekspresi dari keadaan keseimbangan dalam bentuk variabel tersebut (Supariasa, 2002). Status gizi tersebut dipengaruhi oleh Angka Kecukupan Gizi (AKG) yang dianjurkan (AKG) atau Recommended Dietary Allowances (RDA) adalah tingkat konsumsi sat-Zat gizi esensial yang dinilai cukup untuk memenuhi kebutuhan gizi hampir semua orang sehta disuatu negara. AKG untuk Indonesia didasarkan atas patokan berat badan untuk masingmasing kelompok meneurut umur, gender, dan aktifitas fisik yang di tetapkan secara berkala melalui survei penduduk. AKG digunakan sebagai standar untuk mencapai status gizi optimal bagi penduduk dalam hal penyediaan pangan secara nasional dan regional serta penilaian kecukupan gizi penduduk golongan masyarakat tertentu yang diperoleh dari konsumsi makanannya (Sunita Almatsier, 2005). Cara menetukan kebutuhan Faal sebisa mungkin, AKG ditetapkan terlebih dahulu menetapkan kebutuhan faal rata-rata tubuh terdapat Zat gizi yang sudah diserap / absorpsi. Nilai ini disesuaikan dengan faktor kehilangan karena penyerapan tidak sempurna dan untuk menampung variasi antar individu dan ketersediaan faal zat gizi antar sumber makanan dengan demikian, AKG sudah dimasukan faktor keamanan untuk setiap

6

zat gizi , yang berkaitan dengan pengetahuan gizi yang bersangkutan, ketersedaiaan faalinya, dan variasi antar penduduk. Kebutuhan untuk bayi dan anak merupakan kebutuhan zat gizi yang memungkinkan pertumbuhan dan perkembangan yang memuaskan; sedangkan untuk orang dewasa merupakan jumlah kebutuhan untuk memelihara berat badan normal dan mencegah deplesi zat gizi dari tubuh yang diperkirakan melalui penelitiaan keseimbangan, serta pemeliharaan konsentrasi normal zat gizi di dalam darah dan jaringan tubuh. Untuk zat-zat gizi tertentu kebutuhan mungkin pula didasarkan atas jumlah yang diperlukan baik untuk mencegah ketidakmampuan tubuh melakukan fungsi khusus, maupun untuk mencegah timbulnya tanda-tanda defisiensi khusus, yaitu jumlah yang mungkin sangat berbeda dengan kebutuhan guna mempertahankan simpanan tubuh. Dengan demikian penetapatan kebutuhan untuk setiap zat gizi berbeda sesuai kriteria yang dipilih (Sunita Almatsier, 2005). Dari hal tersebut perlu dipertimbangkan setiap faktor yang berpengaruh terhadap absorpsi zat-zat gizi atau efisiensi pengguanannya didalam tubuh. Untuk sebagian zat gizi, sebagian dari kebutuhan mungkin dapat dipengaruhi dengan mengkonsumsi suatu zat yang didalam tubuh kemudian dapat diubah menajdi zat gizi esensial, oleh karena itu AKG dapat dijadikan sebagai pedoman, agar menu yang dikonsumsi bervariasi guna memenuhi AKG untuk zat-zat gizi

yang memenuhi kebutuhan.

Diperlukan adanya sautu anjuran agar menu sehari-hari terdiri dari berbagai golongan bahan pangan (bukan dari suplementasi atau fortifikasi), dan upaya diperhitungkan pula kemungkinan kehilangan zatzat gizi selama pengolahan makanan. DiIndonesia pola menu seimbang

7

tergambar dalam PGS (Pedoman Gizi Seimbang) (Depkes, 2014) yang terdiri dari : 1. Syukuri dan nikmati aneka ragam makanan. 2. Banyak makan sayuran dan cukup buah-buahan. 3. Biasakan menkonsumsi lauk pauk yang mengandung protein tinggi. 4. Biasakan menkonsumsi beranekaragam makanan pokok. 5. Batasi konsumsi pangan manis, asin, dan berlemak. 6. Biasakan sarapan. 7. Biasakan minum air putih yang cukup dan aman. 8. Biasakna membaca label pada kemasan pangan. 9. Cuci tangan pakai sabun dengan air bersih dan mengalir. 10. Lakukan aktivitas fisik yang cukup dan pertahankan berat badan normal. 1. Cara pengukuran status gizi Penilaian status gizi dapat dilakukan dengan beberapa cara yaitu dengan biofisik, biokimia dan antropometri, karena relatif lebih mudah, murah dan tidak memerlukan tenaga yang ahli (Djiteng, 1989). a. 1)

Antropometri Dewasa Pengukuran status gizi pada dewasa dengan menggunakan indeks masa tubuh (IMT), atau apabila pasien tidak dapat di ukur BB dan tuberculosis dapat menggunakan lingkar lengan atas (LiLA). Penilaian IMT menggunkan batas ambang: Indikator yang digunakan dalam penilaian status gizi adalah

Index Masa Tubuh dihitung dengan pembagian Berat Badan (dalam kilogram) dan Tinggi Badan (dalam meter) pangkat dua (Supariasa, 2002) dengan rumus: IMT = Tabel 5. Katagori IMT menurut (Almatsir,2005) sebagai berikut:

8

Kriteria < 17,0 17,0 -18,4 18,5-25 25,1-27 >27

Klasifikasi Status gizi sangat kurus Status gizi kurus Status gizi normal Status gizi gemuk Status gizi obesitas

Tabel 4. Klasifikasi pasien dewasa menggunkan LiLA Jenis kelamin Laki-laki

LiLA Klasifikasi ≥23 cm Normal 18,5-23 cm Malnutrisis ringan 16-18,5 cm Malnutrisi sedang <16 cm Malnutrisi berat Perempuan ≥22 cm Normal 18,5-22 cm Malnutrisi ringan 16-18,5 cm Malnutrisi sedang <16 cm Malnutrisi berat Sumber: Nutrition Asessment, Counselling and Suport for PLHIP Operatonal Guidelines Food and nutrtion Technical Resistance, 2005. b. Biokimia Hasil pemeriksaan biokimia terkait gizi yang penting untuk dikaji pada pasien tuberkulosis adalah: 1) Pemeriksaan Hemoglobin, kaitannya dengan anemia 1) Albumin, kaitannya dengan transport protein darah 2) Pemeriksaan Elektrolit darah (Na, K Cl) pada pasien Tuberkulosis yang mengalami dehidrasi (misalnya karena diare, muntah, dll) sehingga rentan kehilangan elektrolit darah c. Klinis Pemeriksaan klinis terkait gizi yang penting untuk dikaji pada pasien tuberkulosis antara lain: 1) Demam mengakibatkan peningkatan kebutuhan gizi 1) Penurunan Nafsu Makan mempengaruhi jumlah asupan makanan yang dikonsumsi 2) Mual merupakan efek samping obat dan gejala komorbid dapat mempengaruhi asupan makan

9

3) Sesak Nafas mempengaruhi asupan dan konsistensi makanan 4) Keringat berlebih mempengaruhi pemenuhan kebutuhan cairan 5) Batuk mempengaruhi jumlah asupan makan 6) Penurunan berat badan mempengaruhi kebutuhan

gizi

Penurunan

BB

lebih

dari

peningkatan 5%

harus

mendapatkan perhatian khusus dalam pemberian makanannya agar dapat meningkatkan atau mencegah penurunan BB lebih lanjut. Cara menghitung penurunan berat badan adalah: [(BBW – BB aktual)/BBW] x 100% = % Penurunan BB BBW = Berat badan pertama kali tercatat di rekam medik BB aktual = Berat badan saat ini Pedoman Pelayanan Gizi Pada Pasien Tuberkulosi. d. Riwayat Gizi Gambaran riwayat gizi diperlukan untuk mengetahui tingkat kecukupan asupan energi dan Zat gizi , kebiasaan makan serta ketersediaan makanan pasien. Metode yang digunakan adalah food recall dan formulirn food frequency. Asupan Gizi Food Recall 24 jam mengetahui tingkat kecukupan asupan gizi. Pola Makan Formulir Food Frequency mengetahui variasi makanan, akses makanan e. Riwayat Personal Riwayat personal yang berkaitan dengan masalah gizi pada pasien tuberkulosis antara lain kondisi sosial dan ekonomi, kesehatan lingkungan, akses terhadap makanan, riwayat penyakit pasien dan keluarga.

10

2. Asupan Zat gizi Asupan makan adalah jumlah makanan yang dikonsumsi seseorang untuk memperoleh

energi guna melakukan kegiatan fisik sehari-hari. Makanan

memasok energi yang menjadi kebutuhan kita melalui tiga jenis unsur gizi dasar penghasilan energi yaitu karbohidrat, protein, lemak. Ketiga Zat gizi tersebut sering disebut dengan Zat gizi makro (Suhardjo, 1992). Sat-Zat gizi

menyediakan kebutuhan sel-sel tubuh beraneka ragam.

Sebagai mesin hidup sel memerlukan energi, bahan-bahan pembangun dan bahan-bahan untuk memperbaiki atau mengganti bagian-bagian yang rusak. Setiap jenis sel mempunyai kebutuhan yang berbeda.(Muctadi,2009). a. Karbohidrat Karbohidrat fungsi utama ( pati, gula ) adalah sebagai sumber energi. Glukosa adalah sumber energi utama bagi jaringan saraf dan paru-paru, selain dari pangan yang dikonsumsi, tubuh dapat memproduksi glukosa dari bagian molukel protein atau lemak melalui proses yang dikenal sebagai “ Glukoneogenesis (pembentukan glukosa baru)” Karbohidrat (dalam hal ini pati, gula atau glikogen) merupakan Zat gizi sumber energi paling penting bagi makhluk hidup karena molekulnya menyediakan unsur karbon yang siap digunakan oleh sel (Muctadi,2009 ). b. Protein Protein merupakan salah satu Zat gizi makro yang penting bagi tubuh manusia.

Secara

umum,

protein

berfungsi

untuk

pertumbuhan

pembentukan komponen struktural pengangkut dan penyimpan Zat gizi ensim pembentukan anti body, dan sumber energi Sumber energi dari 1 gram protein menghasilkan 4 kalori protein berfungsi sebagai anti body adalah protein yang mengikat partikel-partikel asing berbahaya yang memasuki tubuh manusia misalnya virus dan bakteri untuk melindungi

11

tubuh dari pengaruh yang membahayakan kesehatan. Angka Kecukupan protein adalah 0,75 untuk dewasa ( Damayanti, 2017 ) . c. Lemak Lemak dan minyak merupakan sumber energi paling padat, yang menghasilkan 9 kkalori untuk setiap gram, yaitu 2 ½ kali besar energi yang dihasilkan oleh karbohidrat dan protein dalam jumlah yang sama. Sebagai simpanan lemak, lemak merupakan cadangan energi tubuh paling besar. Simpanan ini berasal dari konsumsi berlebihan salah satu atau kombinasi sat-sat energi: karbohirat, protein dan lemak. Lemak tubuh pada umumnya

disimpan

sebagai

berikut:

50

%

dijaringan

bawah

kulit( subkutan ), 45% disekeliling organ dalam rongga perut, dan 5 % dijaringan intramuskuler (Almatsier, 2010). 1. Faktor yang mempengaruhi asupan Zat gizi Ada beberapa faktor yang mempengaruhi asupan Zat gizi penderita faktor tersebut antara lain: a) Keadaan Sosial Ekonomi Keadaan sosial ekonomi berkaitan dengan pendidikan, keadaan sanitasi lingkungan, gizi dan akses terhadap pelayanan kesehatan. Penurunan pendapatan dapat menyebabkan kurangnya kemampuan daya beli dalam memenuhi konsumsi makanan sehingga akan berpergaruh terhadap status gizi. Apabila status gizi buruk maka akan menyebabkan kekebalan tubuh yang menurun sehingga memudahkan terkena infeksi Tuberkulosis Paru (Fatimah, 2002). b) Faktor Psikologi Penderita

12

Orang yang sakit harus mengatur kehidupan yang berbeda dengan apa yang dialami setiap harinya. Terutama jumlah makanan dan variasi menu untuk menimbulkan nafsu makan. c) Keadaan Jasmani Orang Sakit Keadaan jasmani orang sakit merupakan faktor yang perlu diperhatikan karena menentukan bentuk atau kronis diit yang akan diberikan, orang sakit yang dalam keadaan lemah dan kesadaran menurun, memerlukan waktu yang khusus (Moehyi, 1999). d) Riwayat Terapi Terapi diit memegang peran penting dalam proses penyembuhan penyakit, jenis diit, penampilan dan rasa makanan yang disajikan akan berdampak pada asupan makan. Variasi makanan yang disajikan merupakan salah satu upaya untuk menghilangkan rasa bosan. Orang sakit akan merasa bosan apabila menu yang dihidangkan tidak menarik sehingga

mengurangi

nafsu

makan. Akibatnya

makanan

yang

dikonsumsi sedikit atau asupan Zat gizi berkurang (Lisdiana, 1998). B.

Definisi Tuberculosis Tuberculosis (TB) adalah suatu penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh bakteri Mycrobacterium tuberculosis, yang dapat menerang berbagai organ, terutama paru-paru. Penyakit ini pula tidak diobati atau pengobatannya tidak tuntas dapat menimbulkan komplikasi berbahaya hingga kematian. TB diperkirakan sudah ada di dunia sejak 5.000 tahun sebelum Masehi, namun kemajuan dalam penemuan dan

13

pengendalian penyakit TB baru terjadi dalam dua abad terakhir (Depkes, 2016). 1. Etiologi Penyebab penyakit Tuberculosis adalah kuman Mycrobacterium Tuberculosis, dimana sebagai besar menyerang paru yang di sebut tuberculosis paru, selain itu dapat menyerang organ tubuh lainnya di luar paru atau disebut Tuberculosis ekstraparu, yang dapat menunar pada siapaun. Adapun cara penularannya adalah ketika terdapat penderita TB dengan BTA positif, saat penderita bersin atau batuk maka pada saat itu pula bakteri dapat meyebar ke udara yang berasal dari batuk atau bersin penderita dalam bentuk percikan dahak (droplet nuclei). Sekali bauk dapat meghasilkan sekitar 3.000 percikan dahak. Umumnya penularan terjadi dalam ruangan dimana percikan dahak berada dalam waktu yang lama. Ventilasi dapat mengurangi jumlah perikan, sementara sinar matahari langsung dapat membunuh bakteri tersebut. Percikan dapat bertahan selama beberapa jam dalam keadaan yang gelap dan lembab. Daya penularan seorang pasien ditentukan oleh banyaknya bakteri yang dikeluarkan dari parunya. Semakin tinggi derajat kepositfan hasil pemeriksaan dahak, maka semakin tinggi pula resiko penuranya. Faktor yang memungkinkan seseorang terkena kuman TB ditentukan oleh konsentrasi percikan dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut (Depkes,2014). Penyakit yang sudah cukup lama ini merupakan masalah global di dunia dan di perkirakan sekitar sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi

14

oleh Mycrobacterium tuberculosis. Yang memiliki karakteristik sebagai berikut: a. Berbentuk panjang dan batang 1-10 mikron, lebar 0,2-0,6 mikron. a. Bersifa tahan asam dalam pewarnaan dengan metode Siehl Neelsen. b. Memerlukan media khusus untuk biakan, antara lain Laweinstein Jensen, Ogawa. c. Bakteri Nampak berbentuk batang berwarna merah dalam pemeriksaan dibawah mikroskop. d. Tahan terhadap suhu rendah sehingga dapat bertahan hidup dalam angka waktu yang lama pada suhu anta 4o C sampai minus 70 o C. e. Kuman sangat peka terhadap panas, sinar matahari dan sinar ultraviolet. f. Paparan langsung terhadap sinar ultraviolet, sebagian besar bakteri tersebut akan mati dalam beberapa menit. g. Pada dahak dengan suhu antara 30-70 o C akan mati dalam kurun waktu kurang lebih satu minggu. h. Kuman bisa bersifat dormant (tidur/tidak berkembang). 2. Patogenesa Infeksi primer terjadi saat seseorang terpapar pertama kali dengan kuman TBC. Dropet yang terhirup sangat kecil ukuranya, sehingga dapat melewati sistem pertahanan mukulosilir bronkus, dan terus berjalan sehingga sampai di alveolus dan menetap disana. Infeksi dimulai saat kuman TBC berhasil berkembangbiak dengan cara pembelahan diri di paru yang mengakibatkan peradangan di dalam paru. Saluran limfe akan membawa kuman TBC kekelenjar limfe disekitar hilus paru, dan ini disebut sebagai kompleks primer. Waktu antara terjadinya infeksi sampai pembentukan kompleks primer adalah sekitar 4-6 minggu. Adanya infeksi menjadi positif (Depkes RI, 2002). 15

Kelanjutan setelah infeksi primer tergantung dari banyaknya kuman yang masuk dan besarnya respon daya tahan tubuh (imunitas seluler). Pada umumnya reaksi daya tahan tubuh dapat menghentikan perkembangan kuman TB. Meskipun demikian beberapa kuman akan menetap sebagai kuman persisten atau dorman (tidur). Kadang daya tahan tubuh tidak mampu menghentikan perkembangan kuman, akibatnya dalam beberapa bulan yang bersangkutan akan menjadi sakit TB. 3. Faktor Resiko Faktor Karakteristik Individu Beberapa faktor karakteristik individu yang menjadi faktor risiko terhadap kejadian TB paru adalah: a. Faktor usia Berdasarkan penelitian yang dilakukan Haryanto dkk.(2004), kasus kematian penderita TB paru hampir tersebar pada semua kelompok usia dan paling banyak pada kelompok usia produktif yaitu usia 20-49 tahun sekitar 58%. Di Indonesia sendiri diperkirakan 75% penderita TB paru adalah usia produktif yaitu usia 15-50 tahun (Depkes RI, 2007; Herryanto dkk., 2004) b. Faktor jenis kelamin Jenis kelamin juga mempengaruhi kejadian TB paru karena berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Aditama (2005) bahwa prevalensi TB paru terbanyak diderita oleh laki-laki 17 karena sebagian besar laki-laki kebiasaan merokok sehingga mudah terkena TB paru. Selain dari kebiasaan merokok laki-laki lebih beresiko terkena TB paru dibandingkan dengan perempuan hal ini berkaitan erat dengan interaksi sosial yang lebih tinggi pada laki-laki dibandingkan perempuan

(Aditama,

2005;

16

Illu

dkk.,

2012).

Pada asap rokok terdapat 4000 sat kimia berbahaya bagi kesehatan. Sehingga, merokok dapat mengganggu dapat mengganggu kejernihan mukosa silia yang digunakan sebagai mekanisme pertahanan utama dalam melawan infeksi. Hal ini juga dapat memperbaiki menempelnya bakteri dan infeksi.

Merokok dimungkinkkan menghasilkan

penurunan fungsi sel T yang dimanifestasikan oleh penurunan perkembangbiakan mitogen sel T. Polarisasi fungsi sel T dari respon TH-1 ke TH-2 mungkin juga mengganggu dampak negatif pada fungsi limfosit B untuk menurunkan produksi imunoglobulin (Eisner, 2008). Perempuan cenderung lebih banyak mengalami konversi BTA hal ini dipengaruhi faktor hormon. Pada perempuan terdapat estrogen yang dapat meningkatkan sekresi INF-γ dan mengaktifkan makrofag sehingga respon imun meningkat dan terjadi konversi BTA sedangkan pada laki-laki terdapat testosteron yang menghambat respon imun (Utami dkk, 2012). c. Status gizi Keadaan malnutrisi atau kekurangan kalori, protein, vitamin, sat besi, dan lain-lain, akan mempengaruhi daya tahan tubuh seseorang sehingga rentan terhadap penyakit termasuk TB paru. Keadaan ini merupakan faktor penting yang berpengaruh di negara miskin, baik pada orang dewasa maupun anak-anak (Hiswani, 2009). 2. Klasifikasi Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan paru, tidak termasuk pleura (selaput paru). 1. Berdasar hasil pemeriksaan dahak (BTA) TB paru dibagi dalam: a. Tuberkulosis Paru BTA Positif (+) 17

Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak menunjukkan hasil BTA positif Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan kelainan radiologik menunjukkan gambaran tuberkulosis aktif • Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan biakan positif b. Tuberkulosis Paru BTA Negatif (-) Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif, gambaran klinik dan kelainan radiologik menunjukkan tuberkulosis aktif serta tidak respons dengan pemberian antibiotik spektrum luas dan hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif dan biakan M.tuberculosis positif . Jika belum ada hasil pemeriksaan dahak, tulis BTA belum diperiksa. 2. Berdasarkan Tipe Penderita

Tipe

penderita

ditentukan

berdasarkan

riwayat

pengobatan

sebelumnya. Ada beberapa tipe penderita yaitu: a. Kasus baru Adalah penderita yang belum pernah mendapat pengobatan dengan OAT atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (30 dosis harian) b. Kasus kambuh (relaps) Adalah penderita tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, kemudian kembali lagi berobat dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif atau biakan positif. Bila hanya menunjukkan perubahan pada gambaran radiologik sehingga dicurigai lesi aktif kembali, harus dipikirkan beberapa kemungkinan: • Infeksi sekunder • Infeksi jamur 18

• TB paru kambuh c. Kasus pindahan (Transfer In) Adalah penderita yang sedang mendapatkan pengobatan di suatu kabupaten dan kemudian pindah berobat ke kabupaten lain. Penderita pindahan tersebut harus membawa surat rujukan/pindah d. Kasus lalai berobat Adalah penderita yang sudah berobat paling kurang 1 bulan, dan berhenti 2 minggu atau lebih, kemudian datang kembali berobat. Umumnya penderita tersebut kembali dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif. e. Kasus Gagal Adalah penderita BTA positif yang masih tetap positif atau kembali menjadi positif pada akhir bulan ke-5 (satu bulan sebelum akhir pengobatan) f. Kasus Kronik Adalah penderita dengan hasil BTA negatif gambaran radiologik positif menjadi BTA positif pada akhir bulan ke-2 pengobatan dan atau gambaran radiologik ulang hasilnya perburukan f. Kasus kronik Adalah penderita dengan hasil pemeriksaan dahak BTA masih positif setelah selesai pengobatan ulang kategori 2 dengan pengawasan yang baik g. Kasus bekas TB Hasil pemeriksaan dahak mikroskopik (biakan jika ada fasilitas) negatif dan gambaran radiologik paru menunjukkan lesi TB inaktif, terlebih gambaran radiologik serial menunjukkan gambaran yang menetap. Dan Riwayat pengobatan OAT yang adekuat akan lebih mendukung. Pada kasus dengan gambaran radiologik meragukan

19

lesi TB aktif, namun setelah mendapat pengobatan OAT selama 2 bulan ternyata tidak ada perubahan radiologi. 3. Gejala Klinis Keluhan yang dirasakan penderita tuberkulosis dapat bermacam-macam atau malah banyak penderita ditemukan Tuberkulosis Paru tanpa keluhan sama sekali dalam pemeriksaan kesehatan (Bahar Asril, 1996). Keluhan yang banyak terdapat pada penderita Tuberkulosis Paru yaitu: 1. Demam Biasanya menyerupai demam influensa. Tetapi kadang-kadang panas badan dapat mencapai 40-41°C. keadaan ini sangat dipengaruhi oleh daya tahan tubuh pasien dan berat ringannya infeksi kuman tuberculosis yang masuk. 2. Batuk Gejala ini banyak ditemukan, batuk terjadi karena adanya iritasi pada bronkus. Sifat bentuk dimulai dari batuk kering (non-produktif) kemudian setelah timbul peradangan menjadi produktif (menghasilkan spuntum) 3. Sesak nafas Pada penyakit yang ringan (baru tumbuh) belum dirasakan sesak nafas akan ditemukan pada penyakit yang sudah lanjut, yang infiltrasinya sudah meliputisetengah bagian paru-paru. 4. Nyeri Dada Gejala ini agak jarang ditemukan. Nyeri dada timbul bila infiltrasi radang sudah sampai ke pleura sehingga menimbulkan pleuritis. Terjadi gesekan kedua pleura sewaktu pasien menarik atau melepaskan napasnya.

20

5. Malaise Penyakit tuberkulosis bersifat radang yang menahun. Gejala malaise sering ditemukan berupa anoreksia tidak ada nafsu makan, badan makin kurus (berat badan turun), sakit kepala, meriang, nyeri otot, keringat malam. 4. Diagnose Diagnosis tuberculosis paru pada penderita dewasa ditegakan dengan penemuan Basil Tahan Asam (BTA). Pada Program Nasional Pengendalian Tuberculsis (PNPT), penemuan BTA melalui pemeriksaan dahak secara mikroskopik

merupaan

cara

penegakan

diagnosis

yang

utama.

Pemeriksaan lain seperti foto toraks dan bakan digunkan sebagai penunjang diagnosis atas indikasi. Diagnosis Tuberculosis ekstraparu dewasa perlu dicurgai apabila diemukan gejala-gejala : nyeri dada (Tuberculosis Pleural/pleuritis), pembesaran kelenjar getah bening superfisial (limfadenitis Tuberculosis dewasa) serta hasil pemeriksaan penunjang, misalnya : uji tuberculin, radiologi serta pemeriksaan sputum BTA

bila memungkinkan.

Berdasarkan hal tesebut maka diagnosis tuberculosis pada anak mengikut alur khusus yaitu Sistim Skoring yang direkomendasikan oleh ikatan dokter anak Indonesia. Diagnosis tuberculosis pada pasien HIV berbeda dengan diagnosis tuberculosis pada umunya. Pada pasien koinfeksi TB-HIV gejala klinis tidak spedifik, yang dominan adalah penurunan BB yang drstis dan demam yang berkepanjangan, sementara batuk lama tida thoraks tidak spesifik terutaa pada pasien HIV lanjut dan pemeriksaan sputum BTA

21

lebih sering nrgatif (Depkes,2014). Adapun untuk diagnose penunjang, ada beberapa pemeriksaan untuk mendiagnosa seseorang menderita TBC antara lain: 1. Pemeriksaan Mikroskopis Hasil pemeriksaan dahak tersebut adalah: a. Hasil pemeriksaan di nyatakan positif apabila sedikitnya dua dari tiga spesimen dahak sewaktu-pagi-sewaktu (SPS), maka terdapat BTA positif dan dinyatakan sebagai penderita tuberkulosis paru. b. Bila hanya terdapat 1 spesimen yang positif perlu dilakukan pemeriksaan dahak SPS diulang, apabila hasilnya masih tetap sama maka dilakukan pemeriksaan foto ronsen dada. c. Bila ketiga spesimen hasilnya negatif, diberikan antibiotik spektrum luas (misalnya; Kontrimoksasol atau amoksilin) selama 1-2 minggu.Unit pelayanan kesehatan yang tidak memiliki fasilitas rontgen, penderita dapat dirujuk untuk foto rontgen. 2. Pemeriksaan foto rontgen dada Suspek dengan BTA negatif, pemeriksaan foto rontgen dada merupakan pemeriksaan lanjutan, apabila setelah pemberian antibiotik spekrum luas tanpa ada perubahan dan pemeriksaan ulang dahak SPS hasilnya tetap negatif. Untuk penderita dengan BTA positif hanya sebagian kecil dari penderita dengan hasil pemeriksaan BTA positif. Yang perlu dilakukan foto rontgen dada yaitu: a. Penderita tersebut diduga mengalami komplikasi, misalnya: sesak nafas berat yang memerlukan penanganan khusus. b. Penderita yang sering hemoptisis berat, untuk menyingkirkan kemungkinan (pelebaran bronkus setempat).

22

c. Hanya 1 dari 3 spesimen dahak SPS yang hasilnya BTA positif dan pemeriksaan rontgen diperlukan untuk mendukung diagnosis TBC paru BTA positif. 3. Uji Tuberkulin (mantoux) Dilakukan dengan cara mantoux, semprit tuberkulin 1 cc jarum nomor 26. Pembacaan dilakukan 48-72 jam setelah penyuntikan. Uji tuberkulin positif bila durasi > 10 mm (pada gizi baik), atau 5 mm pada gizi buruk. Uji tuberkulin positif, menunjukkan adanya infeksi TBC. Apabila uji tuberkulin meragukan, maka dilakukan uji ulang (Depkes RI, 2002). 5. Pengobatan Pengobatan Tuberkulosis

bertujuan

untuk menyembuhkan

pasien,

mencegah kematian, memutuskan rantai penularan dan mencegah terjadinya resistensi kuman Mycobacterium Tuberculosis terhadap Obat Anti Tuberkulosis (OAT). Obat TBC diberikan dalam bentuk kombinasi dari beberapa jenis, dalam jumlah cukup dan dosis tepat selama 6-8 bulan, supaya semua kuman (termasuk kuman persiten) dapat dibunuh. Dosis tahap intensif dan dosis tahap lanjutan ditelan sebagai dosis tunggal, sebaiknya pada saat perut kosong. Apabila panduan obat yang digunakan tidak adekuat (jenis, dosis, dan jangka waktu pengobatan), kuman TBC akan berkembang menjadi kuman resisten (Depkes RI, 2002) Adapun jenis dan dosis obat anti tuberkulosis (OAT) yang digunakan untuk pengobatan tuberkulosis, antara lain a. Isoniasid (H)

23

Obat ini bersifat bakterisid, dapat membunuh 90 % populasi kuman dalam beberapa hari pertama pengobatan. Dosis harian yang dianjurkan 5 mg/kg BB, sedangkan untuk pengobatan intermitien 3 kali seminggu diberikan dengan dosis 10 mg/kg BB. b. Rifampisin (R) Obat ini bersifat bakterisid, dapat membunuh kuman semi dormant yang tidak dapat dibunuh oleh isonoid. Dosis 10 mg/kg BB diberikan sama untuk pengobatan harian maupun intermitten 3 kali seminggu. c. Pirasinamid (P) Bersifat bakterisid, dapat membunuh kuman yang berada dalam sel dengan suasana asam. Dosis yang dianjurkan 25 mg/kg BB, sedangkan untuk pengobatan intermitten 3 kali seminggu diberikan dengan dosis 35 mg/kg BB. d. Sterptomisin (S) Bersifat bakterisid, dosis harian yang dianjurkan 15 mg/kg BB, sedangkan untuk pengobatan intermitten 3 kali seminggu digunakan untuk dosis yang sama. Penderita yang berumur sampai dengan 60 tahun dosisnya 0,75 gr/hari, sedangkan untuk yang berumur >60 tahun atau lebih diberikan 0,50 g/hari. C. Kerangka Teori

Penyakit TBC

Terapi Obat

Terapi Diit

Asupan Energi

Faktor sosial ekonomi

Asupan Protein

Faktor psikologi Pasien

Asupan Lemak

Keadaan jasmani

Asupan Karbohidrat

Riwayat penyakit

24

Status Gizi

Gambar 1. Kerangka Teori

25

D. Kerangka Konsep

Penyakit TBC

Status Gizi

Asupan Energi Asupan Protein Asupan Lemak Asupan Karbohidrat

Gambar 2. Kerangka Konsep Penelitian E. Definisi Operasional

Variable Status Gizi

Tingkat konsumsi zat gizi makro

Definisi Cara Ukur/ Operasional Alat Ukur Status Gizi, adalah  Menimbang keadaan tubuh Berat sebagai akibat Badan dan konsumsi makanan Tinggi dan penggunaan Badan sat-Zat gizi yang  Timbangan dapat diukur dan dengan Microtoa menggunakan IMT yaitu dengan cara menghitung Berat Badan dibagi Tinggi Badan Jumlah Zat gizi  Wawancara pada makanan yang (Recall 24 dikonsumsi jam) bersumber dari bahan pangan yaitu karbohidrat, protein dan lemak yang dikonversi kedalam 26

Hasil

Skala

1. Kurus tingkat berat(<17) 2. Kurus tingkat ringan (17-18,5) 3. Normal (18,5-25) 4. Overwight(25-27) 5. Obesitas(>27)

Ordinal

1 : >120% (Berlebih) 2 : 90-119%

Ordinal

(Normal) 3 : 80-89% (defisit Ringan) 4 : 70-79% (defisit Sedang)

kalori. Tingkat konsumsi ini akan dibandingkan dengan Angka Kecukupan Gizi (AKG)

5 : <70% (Defisit Berat) (Depkes, 1999)

27

BAB III METODOLOGI PENELITIAN A.

Jenis/Desain penelitian Deskriptiv observasional yaitu suatu penelitian yang dilakukan dengan

tujuan utamanya untuk membuat suatu gambaran atau deskripsi suatu keeadaan secara objectivedengan pendekatan cross sectional (Notoatmodjo, 2017) B.

Waktu penelitian Pengambilan data dasar dilakukan peneliti pada bulan Mei 2016 dan

penelitian dilakukan bulan Juni 2017. C.

Lokasi penelitian Penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit Paru Provinsi Jawa Barat, karena di

rumah sakit terebut belum ada yang melakukan penelitian mengenai gambaran konumi sat gsii makro dan statu gizi. Merupakan alah atu rumah akit yang berfokus pada organ paru ehingga dapat membantu mepermudah dalam melakukan pengambilan sampel. D. Populasi Seluruh pasien rawat inap Rumah Sakit Paru Provinsi Jawa Barat. E.

Sampel Seluruh pasien rawat inap Rumah Sakit Paru Provinsi Jawa Barat dengan

diagnosa TB paru dan berusia 15-45 tahun. F.

Teknik sampel Acidental sampling yaitu pengambilan sampel yang dilakukan seadanya

tanpa direncanakan terlebioh dahulu dan penggambaran hasil dari pengumpulan data tidak disarankan padametode yang baku (Rachmat, 2016) G.

Pengumpulan data 1.

Data primer

Data primer diperoleh melalui wawancara langsung dengan responden dengan menggunakan daftar pertanyaan yang telah disediakan. Data tesebut

28

alah formulir persetujuan responden, formuir identitas pasien dan formulr food recall 2 x24 jam. 2. Data sekunder Data ini diperoleh dari rekam medis Rumah Sakit Paru Provinsi Jawa Barat. H.

I.

Instrmen penelitian 1. Form identitas pasien 2. Alat ukur antropometri (Timbangan BB dan Microtois) 3. Form food recall 24 jam 4. Food model Teknik Pengolahan data 1. Editing Proses editing dilakukan ditempat pengambilan data (penelitian), karena untuk memudahkan peneliti ketika terdapat data yang tidak valid/sesuai. 2. Computing Proses computing dilakukan dalam perhitungan IMT untuk melihat status gizi responden. 3. Coding 1. Intake zat gizi makro (energi, protein, lemak dan karbohidrat) a. 1 : berlebih b. 2 : normal c. 3 : defisit tingkat ringan d. 4 : defisit tingkat sedang e. 5 : defisit tingkat berat 2. Status gizi a. 1. Kurus tingkat berat b. 2. Kurus tingkat ringan c. 3. Normal d. 2. Over weight e. 3. Obesitas Keterangan : a. Intake : 1 : >120% 2 : 90-119% 3 : 80-89% 4 : 70-79% 5 : <70% b. status gizi : 1 : <17 2 : 17-18,4

29

3 :18,5-24,99 4 : 25-27 5 : >27 4. Tabulating 5. Cleaning Cleaning dilakukan untuk melihat apakah terdapat data yang missing atau tidak.

H. Anlisis data 1. analisis Univariat Analisis univariat dilakukan untuk mendapatkan gambaran umum masalah penelitian dengan cara mendeskripsikan tiap-tiap variabel yang digunakan dalam variabel ini, yakni dengan melihat gambaran distribusi frekuensi serta presentase tunggal yang teerkait dengan tujuan penelitian.

30

DAFTAR PUSTAKA

Almatsier, Sunita. Ilmu Gizi Dasar. Jakarta: Gramedia, 2010. Handayani, Vynna Budi. 2009. “Gambaran Asupan Zat Gizi Makro Dan Status Gizi Pada Penderita Tuberkulosis Paru Rawat Inap Di Rsud.” K.Kesehatan, R Indonesia. 2015. Infodatin_Tb.Pdf. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. “Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.” N.D. Kesehatan, Kementerian. 2016. Infodatin-2016-Tb.Pdf. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Kesehatan, Kementerian, And Republik Indonesia. 2014. Pedoman Pelayanangizi Pada Passien Tuberkulosis. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Lingkungan, D A N Penyehatan, And T I M Penyusun. 2011. Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Muchtiadi, Dedi. Pengantar Ilmu Gizi. Bandung: Alfabeta, 2009. Prof. Dr.Drg.A. Arsunan Arsin, M.Kes. 2012. “19621231 199103 0011.” Gambaran Asupan Zat Gizi Dan Status Gizi Penderita Tb Paru Di Kota Makassar, 1–81.

iv

Kuesioner Penelitian Gambaran Konsumsi Zat gizi Makro dan Status Gizi Penderita Tuberkulosis Paru di Rumah Sakit Paru Jawa Barat A. IDENTITAS RESPONDEN

Nama Responden

:

Nama Panggilan Responden

:

Tanggal Wawancara

:

Nomer Responden

:

1. Nama Responden 2. Jenis Kelamin 3. Umur 4. Alamat 5. Pendidikan 6. Pekerjaan 7. Berat Badan 8. Tinggi Badan 9. Berapa Lama terkena TB 10. Lama Pengobatan TB

: : : : : : : : : :

PERNYATAAN KESEDIAAN MENJADI RESPONDEN Yang bertanda tangan di bawah ini, saya :

Nama

:

Umur

:

Alamat

: Menyatakan bersedia untuk berpartisipasi dalam penelitian yang berjudul “

Gambaran “Konsumsi Zat gizi Makro dan Status Gizi Penderita Tuberkulosis Paru di Rumah Sakit Paru Jawa Barat “ yang dilakukan dari Politeknik Kementrian Kesehatan Tasikmalaya Prodi DIII Gizi dan akan dijaga kerahasiaannya hanya untuk penelitian. Atas bantuan kami ucapkan terimakasih.

Cirebon,..........................2017

Panelis,

FORMULA FOOD RECALL Hari/tanggal :

Waktu makan

Menu

Bahan Makanan Bahan makanan URT Berat (gram )

PERTANYAAN ASUPAN MAKANAN 1.

Apakah saudara mengalami penurunan nafsu makan selama terkena Tuberkulosis ?

2.

Apakah saudara mengalami mual dan muntah ?

3.

Apakah saudara mengalami kesulitan menelan dan mengunyah ?

4.

Apakah ibu mempunyai riwayat alergi atau intoleransi zat gizi ?

Related Documents

Kelompok Klinik 1.doc
April 2020 0
Benchmarking 1doc
June 2020 45
Homework.1doc
October 2019 76
Supervisi Klinik
July 2020 26
Klinik Mentari.docx
June 2020 16
Pml Klinik
December 2019 43

More Documents from "Susilo Wirawan"

Bismillah.doc
April 2020 0
Kelompok Klinik 1.doc
April 2020 0