KATA PENGANTAR Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah S.W.T yang selalu mencurahkan rahmat dan karunia-Nya. Alhamdulillahi Robbil’alamin atas isin dan pertolongan-Nya, serta melalui usaha yang sungguh-sungguh disertai dengan bantuan berbagai pihak baik moril maupun materil penulis dapat menyelesaikan karya tulis ini. Karya tulis ini berjudul “Gambaran Tingkat Konsumsi Sat Gisi Makro Pada
Tuberkulosis Paru di Rumah Sakit Paru Jawa Barat ” karya tulis ini disusun dalam rangka memenuhi Tugas Mata Kuliah metodologi penelitian. Selain itu, penulis juga bertujuan menambah wawasan selama penulisan karya tulis ini. Melalui karya tulis ini penulis berharap meningkatkan pengetahuan dalam mengenal Gambaran Tingkat Konsumsi Sat Gisi Makro Pada Tuberkulosis Paru di
Rumah Sakit Paru Jawa Barat. Dalam penyusunan karya tulis ini penulis menyajikan dengan sebaik-baiknya, namun mengingat kemampuan dan pengetahuan penulis yang cukup terbatas maka tidak menutup kemungkinan adanya kesalahan dan kekurangan dalam karya tulis ini. Oleh karena itu kritik yang bersifat membangun sangat diharapkan penulis. Harapan penulis agar karya tulis ini dapat bermanfaat bagi pembaca maupun penulis sendiri.
Cirebon, Maret 2017
Penulis
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..............................................................................Halaman i DAFTAR ISI...........................................................................................Halaman ii BAB I PENDAHULUAN...................................................................... Halaman 1 A. Latar Belakang...............................................................................Halaman 1 B. Rumusan Masalah............................................................................Halaman 3 C. Tujuan Penelitian..............................................................................Halaman 3 D. Manfaat Penelitian...........................................................................Halaman 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA............................................................Halaman 5 A. Pengertian......................................................................................Halaman 5 B. Etiologi..........................................................................................Halaman 5 C. Patogenesa.....................................................................................Halaman 7 D. Faktor Resiko.................................................................................Halaman 7 E. Klasifikasi....................................................................................Halaman 11 F.
Gejala Klinis................................................................................Halaman 13
G. Diagnose......................................................................................Halaman 15 H. Pengobatan...................................................................................Halaman 17 I.
Status Gisi....................................................................................Halaman 18
J.
Proses Asuhan Gisi Terstandar (PAGT).......................................Halaman 23
ii
Kerangka Teori.....................................................................................Halaman 32 Kerangka Konsep.................................................................................Halaman 33 DAFTAR PUSTAKA.............................................................................Halaman iii
iii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tuberkulosis (TB) adalah suatu penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh bakteri Mycrobacterium tuberculosis, yang dapat menyerang berbagai organ, terutama paru-paru. Penyakit ini apabila tidak diobati atau pengobatannya tidak tuntas dapat menimbulkan komplikasi berbahaya hingga kematian. Namun kemajuan dalam penemuan dan pengendalian penyakit TB baru terjadi dalam dua abad terakhir (Depkes,2016). Tingginya prevalensi Tuberculosis (TB) di dunia menjadi penyebab tinggiya angka kematian akibat TB. Hampir Sepertiga dari populasi dunia tertular dengan TB dimana sebagian besar penderita TB adalah usia produktif (15-55 tahun). Dalam laporan WHO tahun 2013 diperkirakan terdapat 8,6 juta kasus TB pada tahun 2012 dimana 1,1 juta orang (13%) diantaranya adalah pasien dengan HIV positif. Sekitar 75% dari pasien tersebut berada di wilayah Afrika, pada ahun 2012 diperkirakan terdapat 450.000 orang yang menderita Tuberkulosis Multi Drug Resistant (TB MDR) dan 170.000 diantaranya meningggal dunia. Pada tahun 2012 diperkirakan proporsi kasus TB anak diantara seluruh kasus TB secara global mencapai 6% atau 530.000 pasien TB anak pertahun, atau sekitar 8% dari total kematian yang disebabkan oleh TB. Berdasarkan data World Health Organisation (WHO) pada tahun 2013 terdapat 9 juta penduduk dunia telah terinfeksi kuman TB (WHO, 2014). Pada
1
tahun 2014 terdapat 9,6 juta penduduk dunia terinfeksi kuman TB (WHO, 2015). Pada tahun 2014, jumlah kasus TB paru terbanyak berada pada wilayah Afrika (37%), wilayah Asia Tenggara (28%), dan wilayah Mediterania Timur (17%) (WHO, 2015). Dalam Global Report 2009 WHO melaporkanbaha pada tahun 2008 Indonesia berada pada peringkat 5 dunia penderita TB terbanyak setelah India, China, Afrika Selatan dan Nigeria. Peringkat ini turun dibandingkan tahun 2007 yang menempatkan Indonesia pada posisi ke-3 kasus TB terbanyak setelah India dan China. Berasarkan data Case Notification Rate (CNR) di pulau Jawa, Jawa Barat (141/100.000 penduduk) menempati posisi kedua setelah DKI Jakarta (254/100.000 penduduk) yang menderita penyakit tuberculosis. Tinggi rendahnya CNR di suatu wilayah selain dipengaruhi oleh upaya penemuan penemuan kasus (case finding) juga dipengaruhi oleh faktor-faktor yang lain seperti kinerja system pencatatan dan pelaporan wilayah tersebut, jumlah fasyankes yang terlibat dalam layanan Directly Observed Treatment Shot-course (DOTS), dan banyaknya pasien TB yang dilaporkan oleh fasyankes. Hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 1995 menunjukkan bahwa TB Paru merupakan penyakit kematian nomor tiga setelah penyakit Kardiovaskuler dan penyakit saluran pernafasan. Dari permasalahan tersebut, perlu adanya upaya untuk menurunkan prevalensi TB, namun dalam praktiknya banyak hambatan-hambatan yang memperlambat proses
penurunan prevalensi TB,diantaranya adalaah proses
2
pengobatan yang terhambat oleh status ekonomi yang rendah sehingga proses pegobatan penderita TB menjadi terhambat. Status ekonomi sangat erat kaitannya dengan tingkat konsumsi. Tingkat konsumsi dan asupan makanan akan berpengaruh terhadap status gisi seseorang. Status gisi yang kurang akan memiliki resiko yang tinggi terhadap kejadian infeksi. Status gisi penderita tuberculosis akan mengalami penurunan karena adanya perubahan metabolisme pada tubuh penderita yang disebabkan oleh adanya bakteri Mycrobacterium tuberculosis. Bakteri ini akan menurunkan system imun pada penderita tuberculosis. Daya tahan tubuh yang rendah akan mempermudah masuknya suatu penyakit kedalam tubuh, sehingga meningkatkan angka morbiditas (kesakitan). Salah satunya adalah kejadian infeksi pada penderita tuberculosis. Infeksi yang terjadi pada penderita penyakit tuberculosis ini disebabkan oleh bakteri yang masuk ke dalam tubuh sebagai akibat dari keterpaparan penyakit dari penderita TB. Kondisi diatas diperlu adanya pemantauan mengenai asupan sat gisi pada penderita tuberculosis. Asupan sat gisi pada penderita tuberculosis akan berpengaruh terhadap status gisi penderita tuberculosis. Adanya peran penting asupan sat gisi dengan status gisi, karena erat kaitannya dengan faktor kesembuhan penderita tuberculosis. Pemberian asupan pada penderita TB harus sesuai dengan tingkat kebutuhannya. Perlu adanya pemilihan makanan yang disesuaikan dengan kuantitas dan kualitas yang dibutuhkan. Asupan yang sesusai dengan
3
kebutuhannya
akan
menunjang
terhadap
proses
penyembuhan
penyakit
tuberculosis terutama pada penderita yang menderita malnutrisi. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk meneliti gambaran asupan sat gisi mikro dan status gisi pada penderita Tuborkulosis. B. Rumusan Masalah Bagaimana gambaran asuapan sat gisi makro dan status gisi pada penderita Tubercolosis rawat inap di rumah sakit Paru Jawa Barat? C. Tujuan Penelitian Tujuan Umum: Mengetahui Gambaran Tingkat Konsumsi Sat Gisi Makro Pada Tuberkulosis Paru di Rumah Sakit Paru Jawa Barat Tujuan Khusus:
Mengetahui karakteristik penderita penyakit Tuberkulosis Paru Mengetahui asupan energi penderita Tuberkulosis Paru Mengetahui asupan protein penderita Tuberkulosis Paru Mengetahui asupan lemak penderita Tuberkulosis Paru Mengetahui asupan karbohidrat penderita Tuberkulosis Paru Mengetahui asupan status gisi penderita Tuberkulosis Paru
D. Manfaat Penelitian 1. Bagi peneliti Untuk memberikan pengetahuan atau wawasan kepada peneliti mengenai tingkat konsumsi sat gisi makro pada Tuberkulosis di Rumah sakit Paru Jawa Barat 2. Bagi Institusi Pendidikan 4
Hasil penelitian ini bisa digunakan sebagai acuan literatul pembelajaran untuk kedepannya. 3. Bagi pasien Untuk
memberikan
pengetahuan
atau
wawasan
kepada
pasien
Tuberkulosis di Rumah sakit Paru Jawa Barat mengenai tingkat konsumsi sat gisi makro 4. Bagi rumah sakit Hasil penelitian ini dapat memberikan gambaran tingkat konsumsi sat gisi makro pada paien TB di Rumah Sakit Paru jawa Barat sehingga dapat memberikan masukan dalam tatalakasana pemberian asupan sat gisi makro pada pasien TB.
5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Definisi status gisi Status gisi adalah keadaan tubuh sebagai akibat konsumsi makanan dan penggunaan sat-sat gisi. Dibedakan anatara status gisi buruk, kurang, baik, dan lebih. (Sunita Almatsier, 2005). Pedoman umum gisi seimbang (PUGS) adalah pedomn dasar tentang gisi seimbang yang disususn sebagai penuntun pada perilaku
konsumsi
makanan di masyarakat secara baik dan benar (Sunita Almatsier, 2005). Angka Kecukupan Gisi yang dianjurkan (AKG) atau Recommended Dietary Allowances (RDA) adalah tingkat konsumsi sat-sat gisi esensial yang dinilai cukup untuk memenuhi kebutuhan gisi hampir semua orang sehta disuatu negara. AKG untuk Indonesia didasarkan atas patokan berat badan untuk masing-masing kelompok meneurut umur, gender, dan aktifitas fisik yang di tetapkan secara berkala melalui survei penduduk. AKG digunakan sebagai standar untuk mencapai status gisi optimal bagi penduduk dalam hal penyedaiaan pangan secara nasional dan regional serta penilaian kecukupan gisi penduduk golongan masyarakat tertentu yang diperoleh dari konsumsi makanannya (Sunita Almatsier, 2005) Cara menetukan kebutuhan Faal sebisa mungkin, AKG ditetapkan terlebih dahulu menetapkan kebutuhan faal rata-rata tubuh terdapat sat gisi yang sudah diserap / absorpsi. Nilai ini disesuaikan dengan faktor kehilangan karena penyerapan tidak sempurna dan untuk menampung variasi antar individu dan ketersediaan faal sat gisi antar sumber makanan dengan demikian, AKG sudah dimasukan faktor kemanaan untuk setiap sat gisi, yang berkaitan dengan pengetahuan gisi yang bersangkutan, ketersedaiaan
iii
faalinya, dan variasi antar penduduk. Kebutuhan untuk bayi dan anak merupakan kebutuhan sat gisi yang memungkinkan pertumbuhan dan perkembangan yang memuaskan; sedangkan untuk orang dewasa merupakan jumlah kebutuhan untuk memelihara berat badan normal dan mencegah deplesi sat gisi dari tubuh yang diperkirakan melalui penelitiaan keseimbangan, seerta pemeliharaan konsentrasi normal sat gisi di dalam darah dan jaringan tubuh. Untuk sat-sat gisi tertentu kebutuhan mungkin pula didasarkan atas jumlah yang diperlukan baik untuk mencegah ketidakmampuan tubuh melakukan fungsi khusus, maupun untuk mencegah timbulnya tanda-tanda defisiensi khusu, yaitu jumlah yang mungkin sangat berbeda dengan kebutuhan guna mempertahankan simpanan tubuh. Dengan demikian penetapatan kebutuhan untuk setiap sat gisi berbeda sesuai kriteria yang dipilih (Sunita Almatsier, 2005). Dari hal tersebut perlu dipertimbangkan setiap faktor yang berpengaruh terhadap absorpsi zat-zat gizi atau efisiensi pengguanannya didalam tubuh. Untuk sebagian zat gizi, sebagian dari kebutuhan mungkin dapat dipengaruhi dengan mengkonsusmsi suatu zat yang didalam tubuh kemudian dapat diubah menajdi zat gisi esensial, oleh karena itu AKG dapat dijadikan sebagai pedoman, agar menu yang dikonsumsi bervariasi guna memenuhi AKG untuk sat-sat gisi yang memenuhi kebutuhan. Diperlukan adanya sautu anjuran agar menu sehari-hari terdiri dari berbagai golongan bahan pangan (bukan dari suplementasi atau fortifikasi), dan upaya diperhitungkan pula kemungkinan kehilangan satsat gisi selama pengolahan makanan. DiIndonesia pola enu seimbang
iv
tergambar dalam PGS (Pedoman Gisi Seimbang) (Depkes, 2014) yang terdiri dari : 1. Syukuri dan nikmati aneka ragam makanan. 2. Banyak makan sayuran dan cukup buah-buahan. 3. Biasakan menkonsumsi lauk pauk yang mengandung protein tinggi. 4. Biasakan menkonsumsi beranekaragam makanan pokok. 5. Batasi konsumsi pangan manis, asin, dan berlemak. 6. Biasakan sarapan. 7. Biasakan minum air putih yang cukup dan aman. 8. Biasakna membaca label pada kemasan pangan. 9. Cuci tangan pakai sabun dengan air bersih dan mengalir. 10. Lakukan aktivitas fisik yang cukup dan pertahankan berat badan normal. Status gizi adalah ekspresi dari keadaan keseimbangan dalam bentuk variabel
tersebut
(Supariasa, 2002). Penilaian
status
gizi
dapat
dilakukan dengan beberapa cara yaitu dengan biofisik, biokimia dan antropometri, karena relatif lebih mudah, murah dan tidak memerlukan tenaga
yang
ahli
(Djiteng, 1989). Indikator yang digunakan dalam
penilaian status gisi adalah Index Masa Tubuh dihitung dengan pembagian Berat Badan (dalam kilogram) dan Tinggi Badan (dalam meter) pangkat dua (Supariasa, 2002) dengan rumus:
IMT :
Tabel 5. Katagori IMT menurut (Almatsir,2005) sebagai berikut: Kriteria < 17,0 17,0 -18,4 18,5-25 25,1-27 >27
Klasifikasi Status gisi sangat kurus Status gisi kurus Status gisi normal Status gisi gemuk Status gisi obesitas
v
1. Asupan Sat Gisi Asupan makan adalah jumlah makanan yang dikonsumsi seseorang untuk memperoleh
energi guna melakukan kegiatan fisik sehari-hari. Makanan
memasok energi yang menjadi kebutuhan kita melalui tiga jenis unsur gisi dasar penghasilan energi yaitu karbohidrat, protein, lemak. Ketiga sat gisi tersebut sering disebut dengan sat gisi makro (Suhardjo, 1992). Sat-sat gisi menyediakan kebutuhan sel-sel tubuh beraneka ragam. Sebagai mesin hidup sel memerlukan energi, bahan-bahan pembangun dan bahanbahan untuk memperbaiki atau mengganti bagian-bagian yang rusak. Setiap jenis sel mempunyai kebutuhan yang berbeda.(Muctadi,2009). a. Karbohidrat Karbohidrat fungsi utama ( pati, gula ) adalah sebagai sumber energi. Glukosa adalah sumber energi utama bagi jaringan saraf dan paru-paru, selain dari pangan yang dikonsumsi, tubuh dapat memproduksi glukosa dari bagian molukel protein atau lemak melalui proses yang dikenal sebagai “ Glukoneogenesis (pembentukan glukosa baru)” Karbohidrat (dalam hal ini pati, gula atau glikogen) merupakan sat gisi sumber energi paling penting bagi makhluk hidup karena molekulnya menyediakan unsur karbon yang siap digunakan oleh sel (Muctadi,2009 ). b. Protein Protein merupakan salah satu sat gisi makro yang penting bagi tubuh manusia.
Secara
umum,
protein
berfungsi
untuk
pertumbuhan
pembentukan komponen struktural pengangkut dan penyimpan sat gisi ensim pembentukan anti body, dan sumber energi Sumber energi dari 1 gram protein menghasilkan 4 kalori protein berfungsi sebagai anti body adalah protein yang mengikat partikel-partikel asing berbahaya yang memasuki tubuh manusia misalnya virus dan bakteri untuk melindungi
vi
tubuh dari pengaruh yang membahayakan kesehatan. Angka Kecukupan protein adalah 0,75 untuk dewasa ( Damayanti, 2017 ) . c. Lemak Lemak dan minyak merupakan sumber energi paling padat, yang menghasilkan 9 kkalori untuk setiap gram, yaitu 2 ½ kali besar energi yang dihasilkan oleh karbohidrat dan protein dalam jumlah yang sama. Sebagai simpanan lemak, lemak merupakan cadangan energi tubuh paling besar. Simpanan ini berasal dari konsumsi berlebihan salah satu atau kombinasi sat-sat energi: karbohirat, protein dan lemak. Lemak tubuh pada umumnya
disimpan
sebagai
berikut:
50
%
dijaringan
bawah
kulit( subkutan ), 45% disekeliling organ dalam rongga perut, dan 5 % dijaringan intramuskuler (Almatsier, 2010). 2. Faktor yang mempengaruhi asupan sat gisi Ada beberapa faktor yang mempengaruhi asupan sat gisi penderita faktor tersebut antara lain: a) Keadaan Sosial Ekonomi Keadaan sosial ekonomi berkaitan dengan pendidikan, keadaan sanitasi lingkungan, gisi dan akses terhadap pelayanan kesehatan. Penurunan pendapatan dapat menyebabkan kurangnya kemampuan daya beli dalam memenuhi konsumsi makanan sehingga akan berpergaruh terhadap status gisi. Apabila status gisi buruk maka akan menyebabkan kekebalan tubuh yang menurun sehingga memudahkan terkena infeksi Tuberkulosis Paru (Fatimah, 2002). b) Faktor Psikologi Penderita
vii
Orang yang sakit harus mengatur kehidupan yang berbeda dengan apa yang dialami setiap harinya. Terutama jumlah makanan dan variasi menu untuk menimbulkan nafsu makan. c) Keadaan Jasmani Orang Sakit Keadaan jasmani orang sakit merupakan faktor yang perlu diperhatikan karena menentukan bentuk atau kronis diit yang akan diberikan, orang sakit yang dalam keadaan lemah dan kesadaran menurun, memerlukan waktu yang khusus (Moehyi, 1999). d) Riwayat Terapi Terapi diit memegang peran penting dalam proses penyembuhan penyakit, jenis diit, penampilan dan rasa makanan yang disajikan akan berdampak pada asupan makan. Variasi makanan yang disajikan merupakan salah satu upaya untuk menghilangkan rasa bosan. Orang sakit akan merasa bosan apabila menu yang dihidangkan tidak menarik sehingga
mengurangi
nafsu
makan. Akibatnya
makanan
yang
dikonsumsi sedikit atau asupan sat gisi berkurang (Lisdiana, 1998). 3. Proses Asuhan Gisi Terstandar (PAGT) Sebelum melakukan asuhan gisi terstandar terlebih dahulu dilakukan skrining gisi. Skrining gisi pada pasien tuberculosis pada umumnya sama dengan penyakit infeksi lainnya dimana dilakukan untuk menapis masalah gisi yang ada atau resiko yang dapat menimbulkan malnutrisi. a. Pengkajian gisi 1) Antropometri a) Dewasa Pengukuran status gisi pada dewasa dengan menggunakan indeks masa tubuh (IMT), atau apabila pasien tidak dapat di
viii
ukur BB dan tuberculosis dapat menggunakan lingkar lengan atas (LiLA). Penilaian IMT menggunkan batas ambang: Tabel 3. Penilaian IMT menggunkan Batas Ambang
IMT < 17,0
Kategori Kurus (kekurangan berat badan
17,0 -18,4
tingkat berat) Kurus (kekurangan berat badan
18,5 -25,0 25,1 -27,0
tingkat ringan) Normal Gemuk (kelebihan brat badan
>27,0
tingkat ringan) Obes (kelebihan berat badan
tingkat berat) Sumber: Depkes, Keluarga Sadar Gisi, 2009. Tabel 4. Klasifikasi pasien dewasa menggunkan LiLA
Jenis kelamin Laki-laki
LiLA Klasifikasi ≥23 cm Normal 18,5-23 cm Malnutrisis ringan 16-18,5 cm Malnutrisi sedang <16 cm Malnutrisi berat Perempuan ≥22 cm Normal 18,5-22 cm Malnutrisi ringan 16-18,5 cm Malnutrisi sedang <16 cm Malnutrisi berat Sumber: Nutrition Asessment, Counselling and Suport for PLHIP Operatonal Guidelines Food and nutrtion Technical Resistance, 2005. (1) Biokimia Hasil pemeriksaan biokimia terkait gisi yang penting untuk dikaji pada pasien tuberkulosis adalah: (a) Pemeriksaan Hemoglobin, kaitannya dengan anemia (a)Albumin, kaitannya dengan transport protein darah (b) Pemeriksaan Elektrolit darah (Na, K Cl) pada pasien Tuberkulosis yang mengalami dehidrasi (misalnya
ix
karena diare, muntah, dll) sehingga rentan kehilangan elektrolit darah (2) Klinis Pemeriksaan klinis terkait gisi yang penting untuk dikaji pada pasien tuberkulosis antara lain: (a)Demam mengakibatkan peningkatan kebutuhan gisi (a)Penurunan Nafsu Makan mempengaruhi jumlah asupan makanan yang dikonsumsi (b) Mual merupakan efek samping obat dan gejala komorbid dapat mempengaruhi asupan makan (c)Sesak Nafas mempengaruhi asupan dan konsistensi makanan (d) Keringat
berlebih
mempengaruhi
pemenuhan
kebutuhan cairan (e) Batuk mempengaruhi jumlah asupan makan (f) Penurunan berat badan mempengaruhi peningkatan kebutuhan gisi Penurunan BB lebih dari 5% harus mendapatkan perhatian khusus dalam pemberian makanannya agar dapat meningkatkan atau mencegah penurunan BB lebih lanjut. Cara menghitung penurunan berat badan adalah: [(BBW – BB aktual)/BBW] x 100% = % Penurunan BB BBW = Berat badan pertama kali tercatat di rekam medik BB aktual = Berat badan saat ini Pedoman Pelayanan Gisi Pada (3)
Pasien Tuberkulosi. Riwayat Gisi Gambaran riwayat gisi diperlukan untuk mengetahui tingkat kecukupan asupan energi dan sat gisi, kebiasaan makan serta ketersediaan makanan pasien. Metode yang digunakan adalah food recall dan formulirn food frequency.
x
Asupan Gisi Food Recall 24 jam mengetahui tingkat kecukupan asupan gisi. Pola Makan Formulir Food Frequency mengetahui variasi makanan, akses makanan (4)
Riwayat Personal Riwayat personal yang berkaitan dengan masalah gisi pada
pasien tuberkulosis antara lain kondisi sosial dan ekonomi, kesehatan lingkungan, akses terhadap makanan, riwayat penyakit pasien dan keluarga. b. Diagnosis gisi Diagnosis gisi merupakan masalah yang berkaitan dengan risiko kekurangan gisi yang dapat dikelompokkan menjadi tiga domain, yaitu: 1) Domain Asupan Masalah gisi yang umum pada pasien tuberkulosis dilihat dari domain asupan adalah: a) Asupan gisi tidak adekuat b) Pola makan tidak seimbang Intervensi: Pemenuhan kebutuhan energi dan sat gisi. 2) Domain Klinis Masalah gisi yang umum pada pasien tuberkulosis dilihat dari domain klinis adalah a) Penurunan BB yang tidak diharapkan, bisa terjadi karena asupan tidak adekuat akibat peningkatan kebutuhan karena adanya
infeksi
dan
gangguan
makan.
Intervensi:
Pemenuhan kebutuhan gisi dengan memperhatikan kondisi tersebut yang bertujuan agar terjadi peningkatan berat badan. 3) Domain perilaku Masalah gisi yang umum pada pasien Tuberkulosis dilihat dari domain perilaku adalah: a) Kebiasaan makan dan minum yang tidak tepat
xi
b) Akses terhadap makanan c) Kurangnya pengetahuan d) Ketidaksiapan untuk melakukan perubahan perilaku terkait gisi c. Intervensi: Edukasi dan konseling gisi 1) Syarat Diiit Syarat-syarat diit tinggi energi tinggi protein adalah: a) Energi tinggi, yaitu 40-45 Kkal/Kg BB b) Protein tinggi yitu 20-25gr/KgBB c) Lemak cukup, yaitu 10-25% dari kebutuhan energi total d) Karbohidrat cukup, yaitu sisah dari kebutuhan total e) Vitamin dan mineral cukup, sesuai dengan keutuhan normal. f) Makanan diberikan dalam bentuk mudah cerna. 2) Prinsip Diet (1) Makanan yang diberikan mengandung energi dan protein tinggi (Tinggi Energi Tinggi Protein). (2) Bentuk makanan disesuaikan dengan kemampuan makan pasien, misalnya saat mengalami batuk yang terus menerus dianjurkan diberi makanan dalam bentuk makanan lunak. (3) Apabila asupan kurang dari 50% kebutuhan, perlu kombinasi pemberian makanan, misalnya bentuk makanan lunak dan makanan cair (enteral). (4) Frekuensi makan dapat sampai 6 kali makanan utama dengan porsi kecil yang padat gisi. Makanan padat gisi dapat dibuat dengan menambahkan susu, telur, tepung, minyak, santan, dll dalam makanan. (5) Makanan berkuah atau banyak cairan. (6) Utamakan sumber karbohidrat kompleks misalnya nasi, kentang, mi, bihun, roti. (7) Hidangan makanan menarik dan mengundang selera makan. (8) Bila memungkinkan konsumsi susu 2 – 3 gelas/hari. (9) Konsumsi sayur dan buah sebanyak 5 – 6 porsi/hari.
xii
(10)
Hindari pengolahan makanan dengan digoreng,
terlalu manis (gula dan sirup), terlalu asam, es dan pedas atau merangsang lainnya seperti teh dan kopi karena akan merangsang batuk. (11) Hindari alcohol. B. Definisi Tuberculosis Tuberculosis (TB) adalah suatu penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh bakteri Mycrobacterium tuberculosis, yang dapat menerang berbagai organ, terutama paru-paru. Penyakit ini pula tidak diobati atau pengobatannya tidak tuntas dapat menimbulkan komplikasi berbahaya hingga kematian. TB diperkirakan sudah ada di dunia sejak 5.000 tahun sebelum Masehi, namun kemajuan dalam penemuan dan pengendalian penyakit TB baru terjadi dalam dua abad terakhir (Depkes, 2016). 1. Etiologi Penyebab penyakit Tuberculosis adalah kuman Mycrobacterium Tuberculosis, dimana sebagia besar menyerang paru yang di sebut tuberculosis paru, selain itu dapat menyerang organ tubuh lainnya di luar paru atau disebut Tuberculosis ekstraparu, yang dapat menunar pada siapaun. Adapun cara penularannya adalah ketika terdapat penderita TB dengan BTA positif, saat penderita bersin atau batuk maka pada saat itu pula bakteri dapat meyebar ke udara yang berasal dari batuk atau bersin penderita dalam bentuk percikan dahak (droplet nuclei). Sekali bauk dapat meghasilkan sekitar 3.000 percikan dahak. Umumnya penularan terjadi dalam ruangan dimana percikan dahak berada dalam waktu yang lama.
xiii
Ventilasi dapat mengurangi jumlah perikan, sementara sinar matahari langsung dapat membunuh bakteri tersebut. Percikan dapat bertahan selama beberapa jam dalam keadaan yang gelap dan lembab. Daya penularan seorang pasien ditentukan oleh banyaknya bakteri yang dikeluarkan dari parunya. Semakin tinggi derajat kepositfan hasil pemeriksaan dahak, maka semakin tinggi pula resiko penuranya. Faktor yang memungkinkan seseorang terkena kuman TB ditentukan oleh konsentrasi percikan dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut (Depkes,2014). Penyakit yang sudah cukup lama ini merupakan masalah global di dunia dan di perkirakan sekitar sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi oleh Mycrobacterium tuberculosis. Yang memiliki karakteristik sebagai berikut: 1. Berbentuk panjang dan batang 1-10 mikron, lebar 0,2-0,6 mikron. 2. Bersifa tahan asam dalam pewarnaan dengan metode Siehl Neelsen. 3. Memerlukan media khusus untuk biakan, antara lain Laweinstein Jensen, Ogawa. 4. Bakteri Nampak berbentuk batang berwarna merah dalam pemeriksaan dibawah mikroskop. 5. Tahan terhadap suhu rendah sehingga dapat bertahan hidup dalam angka waktu yang lama pada suhu anta 4o C sampai minus 70 o C. 6. Kuman sangat peka terhadap panas, sinar matahari dan sinar ultraviolet. 7. Paparan langsung terhadap sinar ultraviolet, sebagian besar bakteri tersebut akan mati dalam beberapa menit. 8. Pada dahak dengan suhu antara 30-70 o C akan mati dalam kurun waktu kurang lebih satu minggu. 9. Kuman bisa bersifat dormant (tidur/tidak berkembang).
xiv
2. Patogenesa Infeksi primer terjadi saat seseorang terpapar pertama kali dengan kuman TBC. Dropet yang terhirup sangat kecil ukuranya, sehingga dapat melewati sistem pertahanan mukulosilir bronkus, dan terus berjalan sehingga sampai di alveolus dan menetap disana. Infeksi dimulai saat kuman TBC berhasil berkembangbiak dengan cara pembelahan diri di paru yang mengakibatkan peradangan di dalam paru. Saluran limfe akan membawa kuman TBC kekelenjar limfe disekitar hilus paru, dan ini disebut sebagai kompleks primer. Waktu antara terjadinya infeksi sampai pembentukan kompleks primer adalah sekitar 4-6 minggu. Adanya infeksi menjadi positif (Depkes RI, 2002). Kelanjutan setelah infeksi primer tergantung dari banyaknya kuman yang masuk dan besarnya respon daya tahan tubuh (imunitas seluler). Pada umumnya reaksi daya tahan tubuh dapat menghentikan perkembangan kuman TB. Meskipun demikian beberapa kuman akan menetap sebagai kuman persisten atau dorman (tidur). Kadang daya tahan tubuh tidak mampu menghentikan perkembangan kuman, akibatnya dalam beberapa bulan yang bersangkutan akan menjadi sakit TB. 3. Faktor Resiko Faktor Karakteristik Individu Beberapa faktor karakteristik individu yang menjadi faktor risiko terhadap kejadian TB paru adalah: a. Faktor usia Berdasarkan penelitian yang dilakukan Haryanto dkk.(2004), kasus kematian penderita TB paru hampir tersebar pada semua kelompok usia dan paling banyak pada kelompok usia produktif yaitu usia 20-49 xv
tahun sekitar 58%. Di Indonesia sendiri diperkirakan 75% penderita TB paru adalah usia produktif yaitu usia 15-50 tahun (Depkes RI, 2007; Herryanto dkk., 2004) b. Faktor jenis kelamin Jenis kelamin juga mempengaruhi kejadian TB paru karena berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Aditama (2005) bahwa prevalensi TB paru terbanyak diderita oleh laki-laki 17 karena sebagian besar laki-laki kebiasaan merokok sehingga mudah terkena TB paru. Selain dari kebiasaan merokok laki-laki lebih beresiko terkena TB paru dibandingkan dengan perempuan hal ini berkaitan erat dengan interaksi sosial yang lebih tinggi pada laki-laki dibandingkan perempuan
(Aditama,
2005;
Illu
dkk.,
2012).
Pada asap rokok terdapat 4000 sat kimia berbahaya bagi kesehatan. Sehingga, merokok dapat mengganggu dapat mengganggu kejernihan mukosa silia yang digunakan sebagai mekanisme pertahanan utama dalam melawan infeksi. Hal ini juga dapat memperbaiki menempelnya bakteri dan infeksi.
Merokok dimungkinkkan menghasilkan
penurunan fungsi sel T yang dimanifestasikan oleh penurunan perkembangbiakan mitogen sel T. Polarisasi fungsi sel T dari respon TH-1 ke TH-2 mungkin juga mengganggu dampak negatif pada fungsi limfosit B untuk menurunkan produksi imunoglobulin (Eisner, 2008). Perempuan cenderung lebih banyak mengalami konversi BTA hal ini dipengaruhi faktor hormon. Pada perempuan terdapat estrogen yang dapat meningkatkan sekresi INF-γ dan mengaktifkan makrofag sehingga respon imun meningkat dan terjadi konversi BTA sedangkan
xvi
pada laki-laki terdapat testosteron yang menghambat respon imun (Utami dkk, 2012). c. Status gisi Keadaan malnutrisi atau kekurangan kalori, protein, vitamin, sat besi, dan lain-lain, akan mempengaruhi daya tahan tubuh seseorang sehingga rentan terhadap penyakit termasuk TB paru. Keadaan ini merupakan faktor penting yang berpengaruh di negara miskin, baik pada orang dewasa maupun anak-anak (Hiswani, 2009). 4. Klasifikasi Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan paru, tidak termasuk pleura (selaput paru). 1. Berdasar hasil pemeriksaan dahak (BTA) TB paru dibagi dalam: a. Tuberkulosis Paru BTA Positif (+) Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak menunjukkan hasil BTA positif Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan kelainan radiologik menunjukkan gambaran tuberkulosis aktif • Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan biakan positif b. Tuberkulosis Paru BTA Negatif (-) Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif, gambaran klinik dan kelainan radiologik menunjukkan tuberkulosis aktif serta tidak respons dengan pemberian antibiotik spektrum luas dan hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif dan biakan M.tuberculosis positif . Jika belum ada hasil pemeriksaan dahak, tulis BTA belum diperiksa. 2. Berdasarkan Tipe Penderita
Tipe
penderita
ditentukan
berdasarkan
sebelumnya. Ada beberapa tipe penderita yaitu: xvii
riwayat
pengobatan
a. Kasus baru Adalah penderita yang belum pernah mendapat pengobatan dengan OAT atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (30 dosis harian) b. Kasus kambuh (relaps) Adalah penderita tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, kemudian kembali lagi berobat dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif atau biakan positif. Bila hanya menunjukkan perubahan pada gambaran radiologik sehingga dicurigai lesi aktif kembali, harus dipikirkan beberapa kemungkinan: • Infeksi sekunder • Infeksi jamur • TB paru kambuh c. Kasus pindahan (Transfer In) Adalah penderita yang sedang mendapatkan pengobatan di suatu kabupaten dan kemudian pindah berobat ke kabupaten lain. Penderita pindahan tersebut harus membawa surat rujukan/pindah d. Kasus lalai berobat Adalah penderita yang sudah berobat paling kurang 1 bulan, dan berhenti 2 minggu atau lebih, kemudian datang kembali berobat. Umumnya penderita tersebut kembali dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif. e. Kasus Gagal
xviii
Adalah penderita BTA positif yang masih tetap positif atau kembali menjadi positif pada akhir bulan ke-5 (satu bulan sebelum akhir pengobatan) f. Kasus Kronik Adalah penderita dengan hasil BTA negatif gambaran radiologik positif menjadi BTA positif pada akhir bulan ke-2 pengobatan dan atau gambaran radiologik ulang hasilnya perburukan f. Kasus kronik Adalah penderita dengan hasil pemeriksaan dahak BTA masih positif setelah selesai pengobatan ulang kategori 2 dengan pengawasan yang baik g. Kasus bekas TB Hasil pemeriksaan dahak mikroskopik (biakan jika ada fasilitas) negatif dan gambaran radiologik paru menunjukkan lesi TB inaktif, terlebih gambaran radiologik serial menunjukkan gambaran yang menetap. Dan Riwayat pengobatan OAT yang adekuat akan lebih mendukung. Pada kasus dengan gambaran radiologik meragukan lesi TB aktif, namun setelah mendapat pengobatan OAT selama 2 bulan ternyata tidak ada perubahan radiologi. 5. Gejala Klinis Keluhan yang dirasakan penderita tuberkulosis dapat bermacam-macam atau malah banyak penderita ditemukan Tuberkulosis Paru tanpa keluhan sama sekali dalam pemeriksaan kesehatan (Bahar Asril, 1996). Keluhan yang banyak terdapat pada penderita Tuberkulosis Paru yaitu: 1. Demam Biasanya menyerupai demam influensa. Tetapi kadang-kadang panas badan dapat mencapai 40-41°C. keadaan ini sangat dipengaruhi oleh daya tahan tubuh pasien dan berat ringannya infeksi kuman
xix
tuberculosis yang masuk. 2. Batuk Gejala ini banyak ditemukan, batuk terjadi karena adanya iritasi pada bronkus. Sifat bentuk dimulai dari batuk kering (non-produktif) kemudian setelah timbul peradangan menjadi produktif (menghasilkan spuntum) 3. Sesak nafas Pada penyakit yang ringan (baru tumbuh) belum dirasakan sesak nafas akan ditemukan pada penyakit yang sudah lanjut, yang infiltrasinya sudah meliputisetengah bagian paru-paru. 4. Nyeri Dada Gejala ini agak jarang ditemukan. Nyeri dada timbul bila infiltrasi radang sudah sampai ke pleura sehingga menimbulkan pleuritis. Terjadi gesekan kedua pleura sewaktu pasien menarik atau melepaskan napasnya. 5. Malaise Penyakit tuberkulosis bersifat radang yang menahun. Gejala malaise sering ditemukan berupa anoreksia tidak ada nafsu makan, badan makin kurus (berat badan turun), sakit kepala, meriang, nyeri otot, keringat malam. 6. Diagnose Diagnosis tuberculosis paru pada penderita dewasa ditegakan dengan penemuan Basil Tahan Asam (BTA). Pada Program Nasional Pengendalian Tuberculsis (PNPT), penemuan BTA melalui pemeriksaan dahak secara mikroskopik
merupaan
cara
penegakan
xx
diagnosis
yang
utama.
Pemeriksaan lain seperti foto toraks dan bakan digunkan sebagai penunjang diagnosis atas indikasi. Diagnosis Tuberculosis ekstraparu dewasa perlu dicurgai apabila diemukan gejala-gejala : nyeri dada (Tuberculosis Pleural/pleuritis), pembesaran kelenjar getah bening superfisial (limfadenitis Tuberculosis dewasa) serta hasil pemeriksaan penunjang, misalnya : uji tuberculin, radiologi serta pemeriksaan sputum BTA
bila memungkinkan.
Berdasarkan hal tesebut maka diagnosis tuberculosis pada anak mengikut alur khusus yaitu Sistim Skoring yang direkomendasikan oleh ikatan dokter anak Indonesia. Diagnosis tuberculosis pada pasien HIV berbeda dengan diagnosis tuberculosis pada umunya. Pada pasien koinfeksi TB-HIV gejala klinis tidak spedifik, yang dominan adalah penurunan BB yang drstis dan demam yang berkepanjangan, sementara batuk lama tida thoraks tidak spesifik terutaa pada pasien HIV lanjut dan pemeriksaan sputum BTA lebih sering nrgatif (Depkes,2014). Adapun untuk diagnose penunjang, ada beberapa pemeriksaan untuk mendiagnosa seseorang menderita TBC antara lain: 1. Pemeriksaan Mikroskopis Hasil pemeriksaan dahak tersebut adalah: a. Hasil pemeriksaan di nyatakan positif apabila sedikitnya dua dari tiga spesimen dahak sewaktu-pagi-sewaktu (SPS), maka terdapat BTA positif dan dinyatakan sebagai penderita tuberkulosis paru. b. Bila hanya terdapat 1 spesimen yang positif perlu dilakukan pemeriksaan dahak SPS diulang, apabila hasilnya masih tetap sama maka dilakukan pemeriksaan foto ronsen dada. c. Bila ketiga spesimen hasilnya negatif, diberikan antibiotik spektrum luas (misalnya; Kontrimoksasol atau amoksilin) selama
xxi
1-2 minggu.Unit pelayanan kesehatan yang tidak memiliki fasilitas rontgen, penderita dapat dirujuk untuk foto rontgen. 2. Pemeriksaan foto rontgen dada Suspek dengan BTA negatif, pemeriksaan foto rontgen dada merupakan pemeriksaan lanjutan, apabila setelah pemberian antibiotik spekrum luas tanpa ada perubahan dan pemeriksaan ulang dahak SPS hasilnya tetap negatif. Untuk penderita dengan BTA positif hanya sebagian kecil dari penderita dengan hasil pemeriksaan BTA positif. Yang perlu dilakukan foto rontgen dada yaitu: a. Penderita tersebut diduga mengalami komplikasi, misalnya: sesak nafas berat yang memerlukan penanganan khusus. b. Penderita yang sering hemoptisis berat, untuk menyingkirkan kemungkinan (pelebaran bronkus setempat). c. Hanya 1 dari 3 spesimen dahak SPS yang hasilnya BTA positif dan pemeriksaan rontgen diperlukan untuk mendukung diagnosis TBC paru BTA positif. 3. Uji Tuberkulin (mantoux) Dilakukan dengan cara mantoux, semprit tuberkulin 1 cc jarum nomor 26. Pembacaan dilakukan 48-72 jam setelah penyuntikan. Uji tuberkulin positif bila durasi > 10 mm (pada gisi baik), atau 5 mm pada gisi buruk. Uji tuberkulin positif, menunjukkan adanya infeksi TBC. Apabila uji tuberkulin meragukan, maka dilakukan uji ulang (Depkes RI, 2002). 7. Pengobatan Pengobatan Tuberkulosis
bertujuan
untuk menyembuhkan
pasien,
mencegah kematian, memutuskan rantai penularan dan mencegah
xxii
terjadinya resistensi kuman Mycobacterium Tuberculosis terhadap Obat Anti Tuberkulosis (OAT). Obat TBC diberikan dalam bentuk kombinasi dari beberapa jenis, dalam jumlah cukup dan dosis tepat selama 6-8 bulan, supaya semua kuman (termasuk kuman persiten) dapat dibunuh. Dosis tahap intensif dan dosis tahap lanjutan ditelan sebagai dosis tunggal, sebaiknya pada saat perut kosong. Apabila panduan obat yang digunakan tidak adekuat (jenis, dosis, dan jangka waktu pengobatan), kuman TBC akan berkembang menjadi kuman resisten (Depkes RI, 2002) Adapun jenis dan dosis obat anti tuberkulosis (OAT) yang digunakan untuk pengobatan tuberkulosis, antara lain a. Isoniasid (H) Obat ini bersifat bakterisid, dapat membunuh 90 % populasi kuman dalam beberapa hari pertama pengobatan. Dosis harian yang dianjurkan 5 mg/kg BB, sedangkan untuk pengobatan intermitien 3 kali seminggu diberikan dengan dosis 10 mg/kg BB. b. Rifampisin (R) Obat ini bersifat bakterisid, dapat membunuh kuman semi dormant yang tidak dapat dibunuh oleh isonoid. Dosis 10 mg/kg BB diberikan sama untuk pengobatan harian maupun intermitten 3 kali seminggu. c. Pirasinamid (P) Bersifat bakterisid, dapat membunuh kuman yang berada dalam sel dengan suasana asam. Dosis yang dianjurkan 25 mg/kg BB, sedangkan untuk pengobatan intermitten 3 kali seminggu diberikan dengan dosis 35 mg/kg BB. d. Sterptomisin (S) Bersifat bakterisid, dosis harian yang dianjurkan 15 mg/kg BB, sedangkan untuk pengobatan intermitten 3 kali seminggu digunakan untuk dosis yang sama. Penderita yang berumur sampai xxiii
dengan 60 tahun dosisnya 0,75 gr/hari, sedangkan untuk yang berumur >60 tahun atau lebih diberikan 0,50 g/hari. C. Kerangka Teori
Penyakit TBC
Terapi Diit
Asupan Energi Terapi Obat
Asupan Protein Asupan Lemak Asupan Karbohidrat Faktor sosial ekonomi Faktor psikologi Pasien Status Gizi
Keadaan jasmani Riwayat penyakit
Gambar 1. Kerangka Teori
xxiv
D. Kerangka Konsep
Penyakit TBC
Terapi Diit
Asupan Energi Asupan Protein Asupan Lemak Asupan Karbohidrat
Status Gizi
Gambar 2. Kerangka Konsep Penelitian E. Hipotesis
F. Definisi Operasional
Variable Status Gisi
Definisi Cara Ukur/ Hasil Operasional Alat Ukur Status Gisi, adalah Menimbang 1. Kurus tingkat berat(<17) keadaan tubuh 2. Kurus tingkat ringan Berat sebagai akibat (17-18,5) Badan dan konsumsi makanan 3. Normal (18,5-25) Tinggi
xxv
Skala Ordinal
Asupan Energi
Asupan protein
Asupan lemak
Asupan karbohidrat
dan penggunaan Badan sat-sat gisi yang Timbangan dapat diukur dan dengan Microtoa menggunakan IMT yaitu dengan cara menghitung Berat Badan dibagi Tinggi Badan Jumlah sat gisi pada Wawancara makanan yang (Recall 24 dikonsumsi jam) bersumber dari bahan pangan yaitu karbohidrat, protein dan lemak yang dikonversi kedalam kalori.
4. Overwight(25-27) 5. Obesitas(>27)
Jumlah protein Wawancara pada makanan yang (Recall 24 dikonsumsi jam) bersumber dari protein nabati ataupun hewani yang dikonversi kedalam gram.
1 : >120% (Berlebih) 2 : 90-119%
Jumlah lemak pada Wawancara (Recall 24 makanan yang jam) dikonsumsi yang dikonversi kedalam gram.
Jumlah Wawancara karbohidrat (Recall 24 pada makanan jam) yang dikonsumsi yang dikonversi kedalam gram.)
xxvi
1 : >120% (Berlebih) 2 : 90-119%
Ordinal
(Normal) 3 : 80-89% (defisit Ringan) 4 : 70-79% (defisit Sedang) 5 : <70% (Defisit Berat) (Depkes, 1999) Ordinal
(Normal) 3 : 80-89% (defisit Ringan) 4 : 70-79% (defisit Sedang) 5 : <70% (Defisit Berat) (Depkes, 1999) 1 : >120% (Berlebih) 2 : 90-119%
Ordinal
(Normal) 3 : 80-89% (defisit Ringan) 4 : 70-79% (defisit Sedang) 5 : <70% (Defisit Berat) (Depkes, 1999) 1 : >120% (Berlebih) 2 : 90-119% (Normal) 3 : 80-89% (defisit Ringan) 4 : 70-79%
Ordinal
(defisit Sedang) 5 : <70% (Defisit Berat) (Depkes, 1999)
xxvii
BAB III METODOLOGI PENELITIAN A.
Jenis/Desain penelitian Deskriptiv observasional yaitu suatu penelitian yang dilakukan dengan tujuan utamanya untuk membuat suatu gambaran atau deskripsi suatu keeadaan secara objectivedengan pendekatan cross sectional (Notoatmodjo, 2017)
B.
Lokasi penelitian Penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit Paru Provinsi Jawa Barat, karena di rumah sakit terebut belum ada yang melakukan penelitian mengenai gambaran konumi sat gsii makro dan statu gisi. Merupakan alah atu rumah akit yang berfokus pada organ paru ehingga dapat membantu mepermudah dalam melakukan pengambilan sampel.
C.
Populasi Seluruh pasien rawat inap Rumah Sakit Paru Provinsi Jawa Barat.
D.
Sampel Seluruh pasien rawat inap Rumah Sakit Paru Provinsi Jawa Barat dengan diagnosa TB paru dan berusia 15-45 tahun.
E.
Teknik sampel Acidental sampling yaitu pengambilansampel yang dilakukan seadanya tanpa direncanakan terlebioh dahulu dan penggambaran hasil dari pengumpulan data tidak disarankan padametode yang baku (Rachmat, 2016)
F.
Pengumpulan data
G.
Instrmen penelitian 1. Form identitas pasien 2. Alat ukur antropometri (Timbangan BB dan Microtois) 3. Form food recall 24 jam 4. Food model
H.
Teknik Pengolahan data Teknik pengolahan data menggunakan spss.17, yaitu pengolahan 1. Editing
xxviii
Proses editing dilakukan ditempat pengambilan data (penelitian), karena 2.
3.
untuk memudahkan peneliti ketika terdapat data yang tidak valid/sesuai. Computing Proses computing dilakukan dalam perhitungan IMT untuk melihat status gisi responden. Coding 1. Intake energi 1 : berlebih 2 : normal 3 : defisit tingkat ringan 4 : defisit tingkat sedang 5 : defisit tingkat berat 2. Intake protein 1 : berlebih 2 : normal 3 : defisit tingkat ringan 4 : defisit tingkat sedang 5 : defisit tingkat berat 3. Intake lemak 1 : berlebih 2 : normal 3 : defisit tingkat ringan 4 : defisit tingkat sedang 5 : defisit tingkat berat 4. Intake karbohidrat 1 : berlebih 2 : normal 3 : defisit tingkat ringan 4 : defisit tingkat sedang 5 : defisit tingkat berat 5. Status gisi 1. Kurus tingkat berat 2. Kurus tingkat ringan 3. Normal 2. Over weight 3. Obesitas Keterangan : a. Intake : 1 : >120% 2 : 90-119% 3 : 80-89% 4 : 70-79% 5 : <70% b. status gisi : 1 : <17 2 : 17-18,4 3 :18,5-24,99 4 : 25-27 xxix
5 : >27 4. Tabulating 5. Cleaning Cleaning dilakukan untuk melihat apakah terdapat data yang missing atau tidak.
DAFTAR PUSTAKA
xxx
Kuesioner Penelitian Gambaran Konsumsi Sat gisi Makro dan Status Gisi Penderita Tuberkulosis Paru di Rumah Sakit Paru Jawa Barat A. IDENTITAS RESPONDEN
Nama Responden
:
Nama Panggilan Responden
:
Tanggal Wawancara
:
Nomer Responden
:
1. Nama Responden 2. Jenis Kelamin 3. Umur 4. Alamat 5. Pendidikan 6. Pekerjaan 7. Berat Badan 8. Tinggi Badan 9. Berapa Lama terkena TB 10. Lama Pengobatan TB
: : : : : : : : : :
PERNYATAAN KESEDIAAN MENJADI RESPONDEN Yang bertanda tangan di bawah ini, saya :
iii
Nama
:
Umur
:
Alamat
: Menyatakan bersedia untuk berpartisipasi dalam penelitian yang berjudul “
Gambaran Konsumsi Sat gisi Makro dan Status Gisi Penderita Tuberkulosis Paru di Rumah Sakit Paru Jawa Barat “ yang dilakukan dari Politeknik Kementrian Kesehatan Tasikmalaya Prodi DIII Gisi dan akan dijaga kerahasiaannya hanya untuk penelitian. Atas
iv
FORMULA FOOD RECALL Hari/tanggal :
Waktu makan
Menu
Bahan pangan
v
URT
Berat (g)