NAMA SEKOLAH Oleh : Nama : Kelas
:
1) Batombe - Sumatera Barat Nama upacara adat Batombe adalah tradisi berbalas pantun antar pemudi dan pemuda Sumatera Barat yang dilakukan dalam sebuah rangkaian upacara adat, dimana tradisi ini dilakukan bertujuan sebagai bentuk rasa syukur atas peristiwa baik atau panen berlimpah. Banyak keunikan di dalam batombe, salah satunya adanya kesempatan seorang pemain batombe untuk mendapatkan jodoh dengan cara membalas pantun secara spontan. Batombe berasal dari Nagari Abai, Kecamatan Sangir Batang Hari, Kabupaten Solok Selatan, Provinsi Sumatera Barat. Makna Bagi masyarakat Solok Selatan, Batombe diakui sebagai penyemangat warga terikat dalam semangat kegotongroyongan
2) Aruh Baharain – Kalimantan Nama upacara adat Aruh Baharain merupakan tradisi suku dayak, dilakukan setelah masa panen padi selesai. Tujuan upacara ini adalah meminta izin kepada para leluhur yang telah tiada agar di ijinkan untuk menanam kembali. Masyarakat suku dayak percaya jika mereka menanam tanpa melakukan aruh baharain, maka bahaya akan datang ke kampung mereka. Dalam puncak Upacara Aruh Baharin, daging hewan yang telah disembelih akan dimasak dan dimakan bersama-sama. Sebagian lainnya akan di jadikan sesaji, namun uniknya sesaji terlebih dahulu diludahi oleh masyarakat, hal ini diyakini untuk menjauhi malapetaka. Upacara adat ini berasal dari Desa Kapul, Kecamatan Halongan, Kabupaten Balangan, Provinsi Kalimantan Selatan. Bagi
masyarakat Dayak, makna ritual ini adalah ungkapan syukur dan harapan agar musim tanam berikut panen padi berhasil baik
3) Unan Unan - Jawa Timur
Nama upacara adat Ritual unan unan di lakukan oleh suku tengger yang tinggal di wilayah Gunung Bromo, Probolinggo, Jawa Timur. Upacara adat ini dilakukan dengan tujuan untuk mengusir hal buruk dan menjauhkan dari malapetaka. Upacara ini tidak dilakukan setiap tahun melainkan dilakukan 5 tahun sekali. Upacara adat ini dimulai dengan mengarak kepala kerbau dari Balai desa Ngadisari, Probolinggo menuju tempat pendiri desa, atau punden. Prosesi mengarak kepala. Adapun keunikan pada acara adat Unan-Unan ini adalah dilaksanakan sekali dalam sewindu atau menurut kalender Tengger setiap 5 tahun sekali. Untuk menentukan tahun digunakan cara hitungan khusus dari adat Tengger. Dalam kalender Tengger masing-masing bulan dalam satu tahun dihitung mempunyai 30 hari. Pada tanggal dan bulan tertentu terdapat tanggal yang digabungkan karena adanya menak, yaitu tumbuknya dua tanggal. Dalam setiap tahun akan terdapat selisih 5 atau 6 hari. Setiap lima tahun sekali diadakan penyesuaian perhitungan jumlah hari. Pada periode lima tahunan, oleh karena setiap bulan terdapat selisih 5 atau 6 hari, maka jumlah sisa adalah 25 atau 26 hari. Jumlah hari tersebut dimasukkan pada hitungan bulan Dhesta (bulan kesebelas), tidak termasuk bulan tersebut dan bulan sebelumnya. Dengan habisnya jumlah hari barulah perhitungan memasuki bulan Dhesta. Masyarakat Tengger kemudian kembali pada perhitungan hari, bulan, dan tahun dengan jumlah hari untuk setiap bulan dihitung 30 hari. Oleh karena itu, setiap lima tahun diadakan penyesuaian, yaitu pada bulan kesebelas (Dhesta) digunakan untuk penyelenggaraan upacara Unan-unan (berasal dari istilah tuna, yang artinya rugi). Unan-unan dapat berarti melengkapi kerugian dengan upacara setiap lima tahun sekali. Disamping itu lelalui Upacara Unan-unan bermakna pula agar umat manusia seluruh dunia ( Lumahing Bumi kureping Langit ) mendapatkan keselamatan, kesejahteraan dan kedamaian abadi
4) Kebo Keboan - Banyuwangi Suku using yang tinggal di Kota Banyuwangi memiliki upacara adat yang unik, yakni kebo keboan. Konon upacara ini dilakukan akibat musibah pagebluk yang pernah dialami oleh suku using, kala itu, hampir seluruh warga terserang penyakit dan tanaman pun terserang hama. banyak warga meninggal akibat penyakit dan kelaparan. Salah seorang sesepuh yang dihormati, Mbah Karti mendapat wangsit untuk menggelar ritual kebo keboan yang bertujuan untuk mengagungkan Dewi Sri. Setelah ritual tersebut dilaksanakan berangsur angsur penyakit menghilang dan hama sirna.
Semenjak itu masyarakat using menggear upacara kebo keboan setiap tahunnya. Kebo-keboan berasal dari Desa Alasmalang Kecamatan Singojuruh Banyuwangi. Tujuan dari ritual adat ini digelar sebagai bentuk permohonan kepada Tuhan agar sawah subur dan panen berlangsung sukses Banyak hal yang unik dalam acara tersebut, dimana tanggal pelaksanaan acara kebo keboan didasarkan atas perhitungan kalender jawa kuno, Suku Using akan membuat sebuah gerbang dengan aneka hasil bumi yang nantinya akan dilalui oleh kebo keboan ( kebo jadi jadian). kebio kebo jadian tersebut adalah sejumlah pria suku using yang tubuhnya dilumuri oleh arang sehingga terlihat hitam legam, lengkap dengan hiasan tandur kerbau. Mereka akan berkeliling kampung dengan ditemani pawang kerbau, prosesi berkeliling ini dnamakan ider bumi. Kebo keboan akan bertingkah seperti kerbau, berguling dikubangan air dan akan menyeruduk siapaun yang menghalangi jalan merka. keboan keboan diakhiri dengan membajak sawah, sepasang kebo keboan akan menarik bajak layaknya kerbau yang sedang bertugas membajak sawah. Nilai dari adat budaya ini mempunyai makna, kebo-keboan ini dalam rangka menyambut kehidupan mengenal alam, dan menjadi tradisi yang memiliki nilai besar bagi masyarakat.
5) Nyadran – Jawa Nyadran adalah serangkaian upacara yang dilakukan oleh masyarakat Jawa, terutama Jawa Tengah. Nyadran berasal dari bahasa Sanskerta, sraddha yang artinya keyakinan. Nyadran adalah tradisi pembersihan makam oleh masyarakat Jawa, umumnya di pedesaan. Dalam bahasa Jawa, Nyadran berasal dari kata sadran yang artiya ruwah syakban. Nyadran adalah suatu rangkaian budaya yang berupa pembersihan makam leluhur, tabur bunga, dan puncaknya berupa kenduri selamatan di makam leluhur. Tradisi nyadran merupakan simbol adanya hubungan dengan para leluhur, sesama, dan Yang Mahakuasa atas segalanya. Nyadran merupakan sebuah pola ritual yang mencampurkan budaya lokal dan nilai-nilai Islam, sehingga sangat tampak adanya lokalitas yang masih kental islami. Budaya masyarakat yang sudah melekat erat menjadikan masyarakat Jawa sangat menjunjung tinggi nilai-nilai luhur dari kebudayaan itu. Dengan demikian tidak mengherankan kalau pelaksanaan nyadran masih kental dengan budaya Hindhu-Buddha dan animisme yang diakulturasikan dengan nilai-nilai Islam oleh Wali Songo. Adapun tujuan Nyadran Secara sosio-kultural, implementasi dari ritus nyadran tidak hanya sebatas membersihkan makam-makam leluhur, selamatan (kenduri), membuat kue apem, kolak, dan ketan sebagai unsur sesaji sekaligus landasan ritual doa. Selain itu Nyadran juga memiliki makna menjadi ajang silaturahmi keluarga dan sekaligus menjadi transformasi sosial, budaya, dan keagamaan.
Melihat proses yang terjadi di masyarakat jawa ada keunikan tersendiri, dilihat dari proses pra acara, saat acara dan pasca acara. Sekitar seminggu sebelum acara nyadran dilakukan, seluruh warga mengadakan acara kenduri terlebih dahulu. Masyarakat sering menyebutnya semacam sedekah. Setiap warga membawa makanan sendiri-sendiri dari rumah, kemudian makanan tersebut disusun berjejer dan seluruh warga memanjatkan doa supaya dilancarkan dalam menjalankan ibadah puasa yang akan segera datang. Setelah selesai berdoa kemudian makanan yang dibawa tadi juga dibagikan kepada seluruh warga masyarakat, namun berbeda dengan makanan yang dibawa dari rumah. Hal ini menunjukkan sifat masyarakat pedesaan yang masih sangat kental yaitu gotong royong dan saling berbagi satu sama lainnya.
6) Potong Jari – Papua Potong jari merupakan cara masyarakat yang tinggal di pengunungan papua untuk mengingat dan menunjukkan rasa berduka cita atas meninggalnya anggota keluarga. Dalam prosesi ini, orang tua yang masih hidup dari anggota keluarga yang telah meninggal akan memotong salah satu jarinya. Jika dalam sebuah keluarga hanya tersisa seorang ibu dengan tiga anak yang meninggal, maka ibu tersebut akan memotong tiga jarinya sebagai bentuk tanda duka cita. Ritual ini berasal dari Suku Dani – Papua. Pemotongan jari dimaksudkan sebagai lambang kehilangan yang amat sangat. Rasa sakitnya diumpamakan seperti menderitanya hati ketika saudara meninggal. Makanya, mereka pun seolah tak masalah melakukan ritual menyakitkan ini. Di samping itu, makna yang terkandung atas kemauan memutuskan salah satu ruas jari juga jadi bukti kesetiaan mereka terhadap keluarga. Orang-orang Dani tahu betul kalau ritual ini akan sakit, tapi mereka mau melakukannya atas nama kesetiaan. Keunikan pun dapat terlihat dari adat ini adalah Awalnya kita mungkin akan beranggapan kalau ritual ini dilakukan oleh semua orang, tapi dalam praktiknya Iki Palek hanya dijalani oleh kaum wanita saja. Biasanya adalah para ibu atau wanita tertua. Jadi, ketika ada kerabat dekat, mungkin suami, anak, atau saudara kandung yang meninggal, maka jari merekalah yang akan diputus